Media Kedokteran Hewan
Vol. 21, No. 3, September 2005
Respon Imun Humoral Kelinci dalam Membentuk Antibodi Anti-Toxocara cati Humoral Immune Response of Rabbit to Antibody Production Against Toxocara cati Kusnoto1 , Sri Subekti1 , dan Suwarno2 1 Laboratorium
2 Laboratorium
Helmin th ologi, Fakultas Kedokteran Hewan , Un iversitas Airlan gga Virologi da n Imun ologi, Fa kultas Kedoktera n Hewan , Universitas Airlangga
Abstract The dermatitis-test and indirect-ELISA were the diagnostic technique that often used to diagnose toxocariasis. Therefore, both of th ese techniques were not efficient because they n eed a long time and have low specificity, especially if crude protein was used as an antigen. Double antibody sandwich-ELISA was used to develop ELISA technique to get the high sensitivity and specificity tests. For this technique n eeded a polyclonal antibody as coating. This research used nine males Angora rabbit were divided into three groups. The first group was injected by adjuvant as a control. The second were injected by L2 immunogen of T. cati. The third were injected by the adult worm immun ogen. There were two steps of injections, as follow: initiation step with CFA added to homogenate and the second step was booster immunization that was done two weeks after initiation, with IFA added to homogenate. The booster was done three times with two weeks interval. Sera was taken two weeks after the final booster. Antibody titers were 0 for the control, 40,960 for L2 immunization, and 20,480 for T. cati adult immunization. The positive optical density was 0.540 ± 0.050 sera with L2 homogenate immunization that statistically did not significantly difference (p>0.05) with T. cati adult homogenate immunization, was 0.528 ± 0.034.Therefore both of these results showed high significantly difference (p<0.01) with the control, was 0.208±0.004. Key words: polyclonal antibody, toxocariasis, sensitivity, specificity
Pendahuluan
Seperti telah diketahui bahwa siklus hidup T. cati mengalami beberapa stadium, yakni telur, larva stadium pertama (L1), kedua (L2), ketiga (L3), keempat (L4), dan cacing dewasa sehingga dalam memproduksi antibodi poliklonal harus ditentukan pilihan yang tepat agar dapat diperoleh hasil yang optimal. Antibodi poliklonal antiT. cati diperlukan untuk karakterisasi protein spesifik sebagai dasar isolasi protein dan sebagai antibodi pelapis pada uji serologis dengan teknik sandwich-ELISA. Uji serologis pada toxocariasis diperlukan karena diagnosis toxocariasis secara konvensional untuk menemukan telur cacing dalam feses tidak selalu dapat dilakukan, mengingat telur dan cacing dewasa T. c ati tidak dapat ditemukan pada hospes transport, termasuk manusia. Uga et al. (1990) menyatakan bahwa, diagnosis berdasarkan gejala klinis juga sulit dilakukan, karena gejala klinis toxocariasis sangat bervariasi. Keberadaan antibodi poliklonal anti-T. cati menjadi keharusan agar dapat melakukan uji serologis terhadap kasus toxocariasis. Antibodi poliklonal anti-T. cati dapat diproduksi dengan menyuntikkan homogenat berbagai stadium T. cati pada kelinci. Namun imunogenesitas berbagai stadium T. cati pada kelinci hingga saat ini belum banyak diketahui. Toxocariasis tidak saja berbahaya bagi hospes definitif, tetapi juga dilaporkan dapat menginfeksi manusia, sehingga tergolong penyakit zoonosis (Uga et al., 1990). Toxocariasis yang disebabkan oleh T. cati perlu mendapat perhatian khusus karena populasi kucing di Indonesia cukup tinggi dan kedekatan hewan kesayangan ini dengan manusia. Kebiasaan kucing menimbun feses dengan tanah setelah berak dapat memperlama daya tahan telur cacing, hal ini perlu diwaspadai mengingat kebanyakan anak punya kecenderungan senang berada di tanah gembur. Di lain fihak, prevalensi toxocariasis pada kucing di Surabaya cukup tinggi, yaitu sekitar 74% (Sudiana dkk., 1994), sedangkan pada kucing liar sebesar 60,9% (Koesdarto dkk., 2002). Adapun pemeriksaan tanah di Surabaya, didapatkan hasil 23,6% positif mengandung telur Toxocara spp dari 178 sampel yang diamati (Kusnoto dkk., 2002). Manusia dapat tertular karena makanan atau minuman terkontaminasi oleh telur infektif
137
Kusnoto dkk.; Respons Imun Humoral Kelinci dalam Membentuk Antibodi Anti-T.cati
(mengandung L2) atau larva jaringan terutama apabila pemasakan kurang sempurna (Ito et al., 1986), namun demikian menurut Radman et al. (2000), tanah terkontaminasi dengan telur infektif (embryonated egg) merupakan sumber utama infeksi pada manusia. Perbedaan antar stadium dalam siklus hidup T. cati ditentukan berdasarkan perbedaan morfologi. Perbedaan struktur morfologi tersebut menyebabkan perbedaan perangkat antigenik dan imunogenesitas dalam memicu pembentukan antibodi (Warren, 1993). Pada telur cacing, protein antigenik dapat diperoleh dari kulit telur, membrana vitelina dan granular layer. Adapun pada stadium larva dan dewasa yang paling sering digunakan adalah antigen excretory-secretory (E-S antigen), di samping itu juga surface antigen, dan antigen somatik (whole extract). Telah diketahui di seluruh dunia, bahwa T. canis dan T. cati memungkinkan sebagai penyebab infeksi pada manusia, termasuk manifestasi klinisnya, yaitu visceral dan ocular larvae migrans (Hubner et al., 2001). Mengingat dampak yang ditimbulkan sangat berat terutama bila terjadi ocular larva migrans maupun bila larva sampai ke otak (Havasiova-Reiterova et al., 1995), maka perlu dipikirkan penggunaan imunodiagnosis pada hospes transport termasuk manusia. Teknik diagnostik yang sering digunakan untuk diagnosis toxocariasis adalah dermatitis-test dan indirect-enzyme linked immunosorbent assay (indirect-ELISA). Namun kedua teknik ini tak dapat diandalkan karena dermatitis-test membutuhkan waktu yang lama sedangkan indirect-ELISA memiliki spesifisitas yang rendah, terutama bila menggunakan bahan uji (antigen) yang masih kasar (crude protein). Untuk memperoleh hasil uji dengan sensitivitas dan spesifisitas uji yang sangat tinggi adalah dengan mengembangkan teknik ELISA, yaitu double antibodi sandwich ELISA atau lebih dikenal dengan sebutan indirect capture-ELISA. Pengembangan teknik tersebut membutuhkan antibodi poliklonal sebagai pelapis. Pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui imunogenesitas dari larva kedua (L2) dan cacing dewasa sebagai pemicu pembentukan antibodi pada kelinci. Antibodi yang terbentuk dapat dideteksi dengan uji ELISA berdasarkan nilai optical density (OD) yang diperoleh. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Apakah terdapat perbedaan titer dan nilai optical density (OD) antibodi dalam serum darah kelinci setelah pemberian suspensi homogenat larva stadium kedua (L2) dan cacing dewasa Toxocara cati?” Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menentukan imunogenesitas homogenat berbagai stadium Toxocara cati pada kelinci.
Metode Penelitian Tempat dan Waktu Isolasi spesimen larva kedua (L2) dan cacing dewasa T. cati serta pemupukan telur dilaksanakan di Laboratorium Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Pembuatan homogenat dilakukan di Laboratorium Intestinal Parasite, Tropical Disease Center Universitas Airlangga. Peneraan antibodi serum kelinci dilakukan di Laboratorium Virologi & Imunologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Penelitian mulai isolasi spesimen hingga peneraan kadar antibodi dilakukan sejak bulan April hingga Desember 2004. Materi Penelitian Beberapa peralatan yang digunakan pada tahap isolasi dan pembuatan homogenat L2 dan T.cati dewasa adalah mikroskop inverted, mikroskop cahaya, penyemprot, cawan petri, tabung reaksi, corong, mortir, spu it disposable, jarum trokar, saringan ukuran 1 mm, saringan nilon (sablon) T200 (setara 25 ±m), sentrifus, gelas objek, pipet plastik, sonikator, pinset, pisau scalpel, gunting bedah, nampan aluminium, inkubator. Adapun alat yang diperlukan untuk peneraan antibodi pada indirect-ELISA, adalah mikropipet multichannel, pipet tip, mikroplate ELISA, washing dish, ELISA-reader dan peralatan gelas lain. Bahan yang digunakan pada isolasi dan pembuatan homogenat L2 dan T. cati dewasa adalah aquadest, larutan sukrosa dengan berbagai konsentrasi, phosphate buffer saline (PBS), formalin 1%. Bahan yang digunakan pada imunisasi adalah complete Freund’s adjuvan (CFA), incomplete Freund’s adjuvan (IFA), PBS, carbonat buffer, washing buffer, blocking buffer, conjugate, substrat buffer, substrat dan NaOH 3 N. Adapun hewan coba yang digunakan adalah kelinci ras angora (Lepus europaeuns) betina dengan berat ±5 kg. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdapat beberapa tahap, yaitu isolasi dan pemupukan telur cacing Toxocara cati, pembuatan homogenat T. cati, imunisasi homogenat T. cati pada kelinci, serta penentuan titer antibodi dan nilai optical density (OD) serum kelinci.
142
Media Kedokteran Hewan
Vol. 21, No. 3, September 2005
Isolasi dan pemupukan tel ur cacing Toxocara cati Toxocara cati dewasa diisolasi dari anak kucing penderita toxocariasis. Beberapa ekor kucing umur ±2 bulan yang diperoleh dari beberapa Pasar dan RS Dr. Soetomo Surabaya, dipelihara secara intensif. Feses ditampung kemudian diperiksa secara mikroskopis untuk mengetahui keberadaan infeksi cacing T. cati. Anak kucing yang dinyatakan penderita toxocariasis diberi pengobatan dengan piperasin sitrat, satu hari kemudian dilakukan koleksi feses dan isolasi spesimen T. cati. Cacing T. cati yang diperoleh dibersihkan dengan phosphat buffer saline (PBS) kemudian disimpan dalam freezer -20°C hingga digunakan untuk pembuatan homogenat cacing dewasa. Telur cacing diisolasi dari feses anak kucing dengan teknik preparasi gradien. Telur cacing yang diperoleh dipupuk dalam medium PBS dengan penambahan formalin 1% hingga didapatkan larva pertama (L1) dan larva kedua (L2). Perkembangan telur cacing diamati dengan mikroskop inverted dan didokumentasikan dalam bentuk foto, kemudian L2 yang diperoleh pada hari 21-28 masa pemupukan disiapkan untuk pembuatan homogenat. Teknik isolasi menurut cara yang biasa dikerjakan di Lab. Helminthologi FKH Unair (Sri Subekti dkk., 1999). Pembuatan homogenat dan imunogen T. cati Spesimen L2 dan cacing dewasa T. cati yang diperoleh dipersiapkan untuk pembuatan homogenat. Cacing dewasa T. cati dicincang dengan gunting dan ditampung dalam cawan porselin kemudian digerus dengan mortir. Setelah hancur, larutan dimasukkan tabung konikal dan disonikasi dengan frekuensi 30-40 kHz sebanyak 3 x 30 detik secara periodik dengan interval istirahat 1 menit. Larutan yang diperoleh disentrifugasi 5.000 rpm selama 5 menit, supernatan yang merupakan homogenat cacing dewasa dipisahkan dan ditampung dalam tabung konikal steril, kemudian konsentrasi protein ditera dengan bantuan spektrofometer pada panjang gelombang 570 nm, homogenat siap diproses untuk pembuatan imunogen. Sebelum dilakukan pembuatan homogenat L2, dilakukan pencucian L2 dengan cara menyaring medium dengan saringan 25 µm (nilon sablon ukuran T200) dan disemprot dengan PBS hingga bersih, L2 yang menempel pada saringan dimasukkan ke dalam tabung konikal. Volume medium dikurangi dengan cara melakukan sentrifugasi 5.000 rpm hingga didapatkan kandungan L2 sebanyak 106 butir/ml. Lebih lanjut, L2 dalam tabung konikal disonikasi dengan frekuensi 30-40 kHz sebanyak 3 x 30 detik secara periodik dengan interval istirahat 1 menit. Cairan dalam tabung kemudian diperiksa dengan mikroskop 400x untuk mengamati tingkat kehancuran L2, apabila tingkat kehancuran <80% dilakukan sonikasi ulang. Setelah L2 yang hancur >80%, homogenat disentrifugasi 5.000 rpm selama 5 menit, supernatan dipisahkan dan ditampung dalam tabung konikal steril, kemudian konsentrasi protein ditera dengan bantuan spektrofometer pada panjang gelombang 570 nm, homogenat disiapkan untuk pembuatan imunogen L2 T. cati. Imunogen L2 dan cacing dewasa dibuat dengan cara menambahkan ajuvan (complete Freund’s adjuvant atau incomplete Freund’s adjuvant) dengan perbandingan 1:1 dan penisilin-streptomisin 20 IU/ml ke dalam homogenat, kemudian diaduk secara manual dengan pipet steril hingga homogen (±4 jam). Setelah homogen imunogen ini disimpan dalam refrigerator suhu 4°C hingga digunakan untuk imunisasi pada kelinci. Imunisasi pada kelinci Imunisasi kelinci dengan homogenat L2 dan T. cati dewasa dilakukan dengan dosis 500-1000 µg per ekor. Ajuvan yang digunakan terdapat dua macam yaitu complete Freund’s adjuvant (CFA) dan incomplete Freund’s adjuvant (IFA). Penambahan ajuvan berguna untuk meningkatkan daya imunogenesitas homogenat (Harlow dan Lane, 1993). Sebanyak 9 ekor kelinci ras Angora jantan dibagi secara acak menjadi tiga kelompok. Kelompok I, diinjeksi dengan ajuvan, sebagai kontrol. Kelompok II, diinjeksi dengan imunogen L2 T. cati. Kelompok III, diinjeksi dengan imunogen cacing dewasa. Injeksi dilakukan sebanyak dua tahap, yaitu tahap inisiasi dengan penambahan CFA pada homogenat. Tahap kedua adalah imunisasi ulang (booster) dilakukan dua minggu setelah inisiasi, dengan penambahan IFA pada homogenat. Booster dilakukan tiga kali dengan interval dua minggu.
143
Kusnoto dkk.; Respons Imun Humoral Kelinci dalam Membentuk Antibodi Anti-T.cati
Penentuan titer antibodi dan nilai optical density Dua minggu setelah injeksi terakhir dilakukan pengambilan darah kelinci percobaan melalui vena auricularis sebanyak 3 ml. Darah dimasukkan tabung sentrifus (streril) didiamkan hingga mengendap, kemudian disentrifugasi 3.000 rpm selama 5 menit. Serum diambil, dimasukkan ke dalam microtube steril dan disimpan hingga dilakukan peneraan kadar antibodi an ti-T. cati. Peneraan kadar antibodi anti-T. cati dilakukan dengan teknik indirect-ELISA menggunakan konjugate goat anti-rabbit yang dilabel dengan enzim alkalin fosfatase. Pembacaan dilakukan dengan bantuan ELISA-reader pada panjang gelombang 405 nm (Harlow dan Lane, 1993). Rancangan Penelitian dan Analisis Data Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah The Post-Test Only Control Group Design (Zainuddin, 2001). Data yang diperoleh berupa nilai OD pada ELISA-reader, dianalisis dengan uji F yang dilanjutkan dengan Duncan’s multiple range test, menggunakan statistical program and service solution (SPSS) rel 10.0 for windows (Santoso, 2000).
Hasil dan Pembahasan Isolasi Larva Stadium Kedua (L2) Toxocara cati Untuk mememperoleh L2 T. cati pada penelitian ini dilakukan isolasi telur cacing dari feses kucing penderita toxocariasis. Telur kemudian dimurnikan dari feses dengan metode preparasi gradien, selanjutnya dipupuk dalam petridish berisi media phosphat buffer saline (PBS) pada suhu kamar. Perkembangan telur hingga mencapai L2 diikuti dengan memeriksa dengan mikroskop inverted (M=100x dan 400x). Setelah dilakukan pengukuran kadar protein dengan teknik eletrokromatografi ternyata didapatkan kadar protein yang berbeda. Hal ini karena secara material bahan yang ditera juga berbeda, pada cacing dewasa didapatkan kadar protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan L2. Hasil peneraan protein tersebut digunakan sebagai dasar penentuan dosis imunisasi pada pembuatan antibodi poliklonal dan pengenceran antigen pada uji ELISA. Penentuan Titer Antibodi dan Nilai Optical Density Untuk mengetahui imunogenesitas protein L2 dan cacing dewasa T. cati, dilakukan imunisasi pada kelinci sebanyak empat kali. Dua minggu setelah imunisasi terakhir dilakukan pengambilan darah kelinci dan dilakukan pemisahan serum dengan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 5 menit. Kadar antibodi dalam serum ditera dengan teknik indirect-ELISA menggunakan konjugat Ig G anti-rabbit. Hasil pembacaan ELISA-reader dengan panjang gelombang 405 nm dinyatakan dalam titer antibodi dan nilai optical density (OD). Antibodi kelinci yang diimunisasi dengan L2 menghasilkan nilai titer paling tinggi dibanding kelompok lainnya. Pada visualisasi hasil ELISA, seperti terlihat pada Gambar 3, tampak perubahan warna serum kelinci yang diimunisasi dengan homogenat L2 T. cati lebih kuat pada mikroplat dibandingkan serum kelinci yang diimunisasi dengan homogenat cacing T. cati dewasa. Perubahan warna tersebut tamapk lebih kuat pada kolom 2-7 dan melemah mulai kolom 8-11. Hal ini menunjukkan bahwa stadium L2 T. cati mengandung protein imunogenik yang dapat membangkitkan respons imun kelinci lebih tinggi dibanding dengan homogenat cacing dewasa. Namun demikian masih perlu diketahui karakter protein pada L2 maupun cacing T. cati dewasa agar dapat ditentukan imunogen yang lebih baik pada pembuatan antibodi poliklonal anti T. cati. Hasil pembacaan nilai OD405 dengan ELISA-reader secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Nilai OD405 dinyatakan positif apabila nilai tersebut menunjukkan OD lebih tinggi dari 2 x COV rataan OD405 kontrol negatif. Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap nilai OD405 positif dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0,05) antara kelompok kontrol (diinjeksi dengan ajuvan) dengan kelompok perlakuan baik imunisasi dengan L2 maupun cacing dewasa T. cati. Namun dengan Duncan’s Multiple Range Test dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan nyata (p > 0,05) antara nilai OD405 serum darah kelinci baik yang diimunisasi dengan L2 maupun cacing dewasa T. cati. Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat persamaan respons imun kelinci terhadap paparan L2 dan cacing dewasa T. cati. Kusnoto (2003) menyatakan bahwa profil protein antara L2 dan cacing dewasa T. cati didapatkan banyak persamaan dalam hal berat molekul. Sesuai dengan pendapat Abbas et al. (2000) yang menyatakan bahwa Imunogenesitas protein sangat berkaitan dengan tingkat keasingan protein terhadap hospes, kelarutan, berat molekul dan konsentrasi protein. Faktor lain yang mempengaruhi titer antibodi adalah kualitas antigen yang
144
Media Kedokteran Hewan
Vol. 21, No. 3, September 2005
digunakan, rute aplikasi, dosis protein, jumlah dan interval imunisasi (Suwarno, 2003). Aplikasi imunisasi dilakukan secara sub cutan dengan harapan terbentuk depo protein yang akan dilepas secara bertahap (gradual). Dosis imunisasi pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 500-1000 μg/ekor, hal ini dilakukan karena pada tahap pembuatan imunogen dan aplikasi imunisasi terdapat pelekatan homogenat pada tabung, sehingga sulit ditentukan dosis dengan pasti. Faktor lain yang dapat menjaga titer antibodi tetap tinggi dalam darah adalah dengan melakukan booster.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan: 1) Homogenat larva kedua (L2) dan cacing dewasa T. cati dengan dosis 500-1000 µg/ekor dengan pemberian empat kali dan interval dua minggu dapat memicu respons imun humoral kelinci dalam membentuk antibodi; dan 2) Homogenat larva kedua (L2) dan cacing dewasa T. cati dapat digunakan sebagai imunogen dalam memproduksi antibodi poliklonal untuk keperluan diagnosis toxocariasis menggunakan teknik blotting maupun sandwich-ELISA.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pengelola dana “DIK Rutin dan DIK Suplemen” Universitas Airlangga atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mendapatkan dana tersebut guna menyelesaikan penelitian ini.
Daftar Pustaka Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Cellular and Mollecular Immunology. 4th ed. Philadelphia Saunders Company. Harlow, E. and D. Lane. 1993. Antibodies. A Laboratory Manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory. Havasiova-Reiterova K, Tomasovicova O, and Dubinsky P. 1995. Effect of various doses of infective Toxocara canis and Toxocara cati eggs on humoral renponse and distribution of larvae in mice. Parasitol. Res. 81(1): 13-7. Hubner J, Uhlikova M, and Leissova M. 2001. Diagnosis of the early phase of larval toxocariasis using IgG avidity. Epidemiol Mikrobiol Imunol; 50(2): 67-70 Ito K, Sakai K, Okajima K, Quchi K, Funakoshi A, Nishimura J, Ibayashi H, and Tsuji M. 1986. Three cases of visceral larva migrans due to ingestion of raw chickens or cow liver. Nihon Naikagaku Zassi; 75: 759-766. Koesdarto S, Uga S, Machfudz, Sri Mumpuni S, Kusnoto, and Puspitawati H. 1999. The prevalence of Toxocara vitulorum in dairy cows in Surabaya. Proceeding Seminar on Infectious Diseases in The Tropics. TDC Airlangga University, Surabaya. 46-49. Kusnoto, Koesdarto S, dan Sri Mumpuni S. 2002. Kontaminasi tanah di sekitar peternakan sapi perah dan rumah potong hewan dengan telur Toxocara sp di Surabaya. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga. Kusnoto. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Protein Immunologi Larva Stadium II Toxocara cati Isolat Lokal. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Hal. 3: 11-13: 14 Radman NE, Archelli SM, Fonrouge RD, del V Guardis M, and Linzitto OR. 2000. Human toxocariasis. Its seroprevalence in the city of La Plata. Mem Inst Oswaldo Cruz; 95(3): 281-5 Santoso, S. 2001. Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.
SPSS versi 10.
Penerbit PT Elex Media
Sri Subekti BS, Koesdarto S, Sri Mumpuni S, Puspitawati H, dan Kusnoto. 2002. Helminthologi veteriner. Buku Ajar. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya. Sudiana IK, Putra ST, dan Dachlan YP. 1994. Studi perubahan prosentase lekosit dan kadar hemoglobin darah kucing yang mengidap toxocariasis. Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia, Surabaya. Suwarno, S. Sugijanto, dan F.A. Rantam. 2003. Produksi antibodi monoklonal terhadap virus dengue isolat Surabaya. Media Kedokteran Hewan; 18(2): 64-68
143
Kusnoto dkk.; Respons Imun Humoral Kelinci dalam Membentuk Antibodi Anti-T.cati
Uga S, Matsumura T, Fujisawa K, Okubo K, Kataoka N, and Kondo K. 1990. Incidence of seropositivity to human Toxocarariasis in Hyogo Prefecture, Japan and its possible role in opthalmic disease. Jpn J. Parasitol. 39 (5): 500-502. Warren KS. 1993. Immunology and molecular biology of parasit infections. Eidinburg, Blackwell Sc. Pp. 55. Zainuddin, M. 1993. Metodologi Penelitian. Program Pascasarjana, Universitas Airlangga.
144