RESPON IMUN AYAM M SINGLE E COMB BR ROWN LEG GHORN TERHADAP KOI HER RPESVIRUS S (KHV)
GE ETRA DOR RA
FAK KULTAS K KEDOKTER RAN HEWA AN IN NSTITUT P PERTANIAN BOGOR 2007
RESPON IMUN AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN TERHADAP KOI HERPESVIRUS (KHV)
GETRA DORA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Hidup adalah cobaan dan pengorbanan, kasabaran dalam menghadapi segala cobaan tanpa keputusasaan, akan terasa indah apabila kita mampu melewatinya dengan senyum keikhlasan
LEMBAR PENGESAHAN
Judul skripsi
: Respon Imun Ayam Single Comb Brown Leghorn terhadap Koi Herpesvirus (KHV)
Penyusun
: Getra Dora
NRP
: B04103033
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu
drh. Okti Nadia
Poetri, Msi 130 701 878
132 313 046
Diketahui Wakil Dekan
DR. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS 131 129 090
Tanggal Lulus :
RINGKASAN GETRA DORA. Respon Imun Ayam Single Comb Brown Leghorn terhadap Koi Herpesvirus (KHV). Dibimbing oleh Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. Okti Nadia Poetri, Msi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon imun ayam Single Comb Brown Leghorn terhadap Koi Herpesvirus dengan dua metode aplikasi penyuntikan. Penelitian ini menggunakan 2 ekor ayam Single Comb Brown Leghorn yang berumur 23 minggu. Kedua ayam divaksinasi dengan antigen Koi Herpesvirus (KHV), dengan titer virus 103,8TCID50/ml. Pada metode I, ayam divaksinasi secara intramuskular dengan 0.4 ml antigen Koi Herpesvirus (KHV) ditambahkan freund adjuvan komplit sebanyak 0.4 ml pada vaksinasi pertama dan 0.3 ml antigen Koi Herpesvirus (KHV) ditambahkan freund adjuvan inkomplit sebanyak 0.3 ml pada vaksinasi kedua. Vaksinasi ketiga dan keempat dilakukan secara intramuskular masing-masing sebanyak 0.5 ml antigen Koi Herpesvirus (KHV) dan 0.5 ml freund adjuvan inkomplit. Sedangkan pada metode II, ayam divaksinasi sebanyak 0.3 ml antigen Koi Herpesvirus (KHV) secara intravena (0.1 ml selama tiga hari). Vaksinasi kedua sebanyak 0.3 ml antigen Koi Herpesvirus (KHV) dilakukan secara intramuskular dengan penambahan 0.3 ml freund adjuvan inkomplit. Sedangkan vaksinasi minggu ketiga dan keempat dilakukan secara intramuskular masing-masing 0.5 ml antigen Koi Herpesvirus (KHV) dan 0.5 ml freund adjuvan inkomplit. Serum dikumpulkan setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat). Keberadaan antibodi pada serum dideteksi menggunakan metode AGPT (Agar Gel Presipitation Test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada metode I antibodi spesifik KHVdalam serum dapat terdeteksi setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat) dan bertahan sampai dengan enam minggu setelah vaksinasi terakhir. Sedangkan pada metode II antibodi spesifik KHV dapat terdeteksi setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat) dan bertahan sampai dengan 7 minggu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan respon imun dari kedua aplikasi penyuntikan, dan hasil yang lebih baik ditunjukkan pada metode I. Kata kunci: Koi Herpesvirus (KHV ), respon imun, AGPT.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat ALLAH SWT. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi dengan judul “Respon Imun Ayam Single Comb Brown Leghorn terhadap Koi Herpesvirus dapat penulis selesaikan dengan baik dan lancar. Terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Papa, mama dan saudara-saudara koe tersayang serta seluruh kelurga atas doa restu, perhatian, nasihat dan perhatiannya. 2. Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh.Okti Nadia Poetri, Msi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bantuan biaya, bimbingan, pengarahan, koreksi dan saran serta nasehat dan perhatiannya. 3. Dr.drh. Risa Tiuria selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan nasehatnya. 4. Pusat Riset Kelautan dan Perikanan Budidaya Pasar Minggu Jakarta Selatan yang telah memberikan bantuan berupa isolat KHV (Koi herpesvirus) 5. Mba Tuty, Uni Hessy, Mba Nila dan Seluruh staf Pusat Riset Kelautan dan Perikanan Budidaya Pasar Minggu Jakarta Selatan yang telah banyak mencurahkan tenaga dan waktu bersama kami selama penelitian 6. Mba Santi, Mba ika, Mas Rizal atas bantuannya selama penelitian. 7. Staf Laboratorium Imunologi dan Bakteriologi (Pak Agus, Mba Sellin, Mba Lia, Pak Lukman, Mas Wahyu, Pak Nur) 8. Abangkoe Sandi Mulyadi sebagai motivator dan inspiratorkoe atas segala kasih sayang, perhatian, kesabaran, serta waktu, tenaga dan fikiran. 9. Sahabatkoe Ramlah, sekaligus rekan sepenelitian Uni Dini, Sherlly, Mas Rama terima kasih atas bantuan dan kerjasama serta kesabarannya selama penelitian.
iii
10. “ Sahabat-sahabat tersayang” Mumud, Anyoet, Nandhito, Dajal, ‘mas’ Feri n Abang Aguih, Uda Cipal, Abang Anda, Uni Yeyen, Gitong, n Cimon. 11. IKMPer’S, IPMM’erS atas Kebersamaannya. 12. Gymnolaemataer’S, atas kebersaman dan kekompakkannya, I love you all friends.Adek-adekoe 41 dan 42 atas kebersamannya. 13. Adindaner’S atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. 14. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam tulisan ini dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga karya ini menjadi sempurna. Namun penulis juga berharap, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis serta semua pihak yang memerlukannya , amin.
Bogor, September 2007
Getra Dora
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sialang Atas, Sumatera Barat pada tanggal 3 agustus 1984 dari pasangan Syakrani dan Elyaresni sebagai anak tunggal. Pendidikan sekolah dasar penulis selesaikan di SD Negeri 14 Sialang Atas Kapur IX, Sumatera Barat dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1997. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Kapur IX, Sumatera Barat dan lulus tahun 2000. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMU Negeri 1 Harau, Sumatera Barat dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jaringan Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor penulis aktif di Himpunan Minat Profesi (HIMPRO) Ornithologi dan Unggas sebagai anggota Bidang Eksternal 2004-2005, anggota Bidang Dana Usaha 2005-2006. Disamping itu aktif sebagai anggota Gita Klinika 2004sekarang. Disamping itu juga terdaftar sebagai anggota Himpunan Profesi Ruminansia dan Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM). Selain organisasi Intra kampus penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam sebagai Ketua Bidang KOHATI 2003-2004 dan WABENDUM 2006-2007 komisariat Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga aktif di OMDA Ikatan Persaudaraan Mahasiswa Minang sebagai Ketua Bidang HUMAS 2005-2006, Sekretaris 20042006 dan Bendahara 2006-sekarang Koperasi Mahasiswa Pelajar (KEMPAN) Kapur IX.
v
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………….
iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...
vi
DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
viii
DAFTAR GAMBAR …….……………………………………………….
ix
DAFTAR LAMPIRAN …………….……………………………………...
x
Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..……………………………………………...
1
1. 2 Tujuan Penelitian ..……………………………………………
2
Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Ikan Koi…....…………………………………………………..
3
2. 2 KHV (Koi Herpesvirus)……..…...……………………………
4
2. 2.1 Sejarah…….…………………….…………………………...
4
2. 2.2 Sifat dan Morfologi …………………………........................
5
2.2.3 Epizootiologi ………………………………………….…......
5
2.2.4 Gejala Klinis.............................................................................
6
2. 3 Antigen.......................................................................................
7
2. 4 Antibodi………………………..................................................
8
2. 5 Struktur Imunoglobulin…………………………………..........
9
2.6 Imunoglobulin Y (Ig-Y)..............................................................
10
2.7 Mekanisme Sistem Imun ……………………………………...
10
2.8 Respon Imun Terhadap Virus.………………………………....
15
2.9 Interaksi antara Antigen dan Antibodi …………………….....
15
2.10 Agar Gel Presipitation Test (AGPT)........................................
16
Bab III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian......................................................
18
3.2 Bahan dan Alat Penelitian............................................................
18
3.3 Metoda penelitian.........................................................................
18
3.3.1 Preparasi Antigen KHV (Koi Herpesvirus)..............................
18
3.3.2 Vaksinasi Ayam ………………………………………….......
19
vi
3.3.3 Preparasi Antigen KHV untuk AGPT ………………………
19
3.3.4 Pengambilan Darah dan Pemisahan Serum ……....................
19
3.3.5 Pengujian Serum dengan metode AGPT................................
19
3.3.6 Pengenceran Serum dan Pengujian AGPT ………………….
20
Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Antibodi (IgY) Anti Koi Herpesvirus (KHV)
21
pada Serum Ayam...................................................................... 4.2 Penghitungan Konsentrasi (IgY) Anti Koi Herpesvirus (KHV)
26
pada Serum Ayam ……………………………………………. Bab V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan …………………………………………………...
28
5. 2 Saran ………………………………………………………….
28
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………................
29
LAMPIRAN ………………………………………………………………
vii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Produksi antibodi (IgY) anti Koi Herpesvirus (KHV) pada serum Ayam…
21
2 Penghitungan konsentrasi (IgY) anti Koi Herpesvirus (KHV) pada
26
serum ayam ………………………………………………………………
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Gejala Klinis Ikan yang terinfeksi Koi Herpesvirus (KHV)..............
7
2 Struktur Imunoglobulin......................................................................
10
3 Mekanisme Presipitasi ….………………………………………
17
4 Reaksi AGPT (Agar Gel Presipitation Test) Serum ……………… 5 Kurva Presipitasi Kuantitatif ……………………………………….
24 25
6 Grafik Titer IgY pada Serum …………………………………….
28
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian …….………………………….
x
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan koi berasal dari negara ”tirai bambu” Jepang. Di Jepang ikan ini lebih dikenal dengan nama Nishikigoi. Ikan koi merupakan ikan hias air tawar yang memiliki bentuk badan seperti torpedo dengan berbagai variasi warna dan termasuk golongan omnivora. Selain keanekaragaman warna, pola, serta bentuk tubuh yang unik, ikan koi juga memiliki ketahanan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi kesehatan ikan koi sangat ditentukan oleh faktor kepadatan ikan, air, kondisi lingkungan, parasit dan kondisi kesehatan ikan itu sendiri (Effendy dan Hersanto 1993). Ikan koi memiliki sepuluh keistimewaan yaitu merupakan karya seni jepang, raja ikan hias air tawar, ikan pemberani dan tidak takut terhadap apapun, lemah lembut dan jinak, tidak memilih perawat, mudah menerima pakan, mudah menyesuaikan diri,murah namun indah, warna-warninya beragam serta bisa menjadi teman seumur hidup (Susanto 2002). Walaupun harga ikan koi relatif mahal, tetapi karena bernilai estetika tinggi menyebabkan banyak sekali orang yang menggemari ikan koi. Oleh karena itu, ikan koi menjadi komoditi yang sangat prospektif untuk dikembangkan. Selain sebagai alternatif hiburan dan pelepasan stress, ikan koi juga sudah memiliki kontes resmi yang dilombakan baik domestik maupun internasional. Hal ini semakin menambah nilai ekonomi dari ikan koi tersebut. Namun demikian pengembangan ikan koi dewasa ini mengalami gangguan yang sangat berarti. Ratusan hingga ribuan ikan koi mengalami kematian akibat virus KHV (Koi Herpesvirus). Sampai saat ini belum ditemukan cara efektif untuk memberantas KHV (Koi Herpesvirus) karena informasi patogenitas KHV (Koi Herpesvirus) masih sangat terbatas. KHV (Koi Herpesvirus) ini mampu menyebabkan kematian pada peternakan ikan koi dengan persentase yang sangat luar biasa yaitu mencapai 95% dan hal ini hanya membutuhkan waktu satu minggu karena masa inkubasi virus ini yang sangat cepat yaitu maksimal 7 hari (Davenport 2001). Kerugian ekonomi yang telah disebabkan KHV (Koi Herpesvirus) diperkirakan mencapai ratusan miliar. KHV (Koi Herpesvirus) pertama kali menyerang daerah Blitar pada tahun 2002. Meskipun penyebaran KHV (Koi Herpesvirus) ini cepat yaitu 10-30 km/mg menurut Departemen
2
Kelautan dan Perikanan (2002), tetapi KHV (Koi Herpesvirus) tidak menular pada manusia. Pemanfaatan imunoglobulin Y (IgY) unggas sebagai kekebalan pasif khususnya untuk pencegahan dan pengobatan sudah banyak dilakukan. Antibodi asal kuning telur (IgY) dapat digunakan sebagai imunoterapi untuk memberikan kekebalan pasif pada tubuh (Li-Chan 2000). Dibandingkan dengan menggunakan mamalia seperti kelinci, mencit putih, tikus, babi, dan hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba dan sapi yang memproduksi imunoglobulin G (IgG), maka ayam petelur sebagai produsen antibodi imunoglobulin Y (IgY) memiliki potensi yang lebih efektif. Prosedur produksi antibodi pada mamalia menyebabkan hewan mengalami cekaman (stress). Cekaman terjadi saat melakukan imunisasi pada hewan dan pengambilan darah untuk memanen antibodi. Berkenaan dengan animal welfare dan juga efisiensi biaya, penggunaan telur untuk memproduksi antibodi lebih bisa diterima dibandingkan dengan penggunaan hewan percobaan (Svendsen dan Hau 1995).
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon imun ayam Single Comb Brown Leghorn terhadap Koi Herpesvirus dengan dua metode aplikasi penyuntikan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Koi Koi merupakan salah satu ikan hias yang sudah cukup populer di Indonesia, dan sejenis dengan ikan mas (Cyprinus carpio). Perbedaan fisik antara keduanya terletak pada bentuk, pola warna, dan pemanfaatannya. Proses budidaya, baik pembenihan maupun pembesarannya hampir sama. Namun berbeda dalam seleksi dan pemberian pakan (Susanto 2002). Menurut sejarah, orang Cina yang pertama kali menemukan ikan karper pada tahun1300-an. Koi diklaim sebagai produk Jepang karena pusat pembenihan koi di Jepang berada di daerah pegunungan Ojiya Niigata. Daerah ini terkenal sebagai penghasil karper, karena penduduk Ojiya banyak membudidayakan karper untuk lauk sewaktu musim panas. Dahulu peternak ikan di Jepang hanya mengenal satu macam warna koi yang polos, yaitu hitam (Karisugoi dan Sumigoi). Melalui suatu pembudidayaan selama ratusan tahun karena melalui rekayasa breeding dari koi berwarna polos akhirnya diperoleh strain karper berwarna merah atau biru cerah. Kemudian mulai tahun 1930 ditemukan karper warna dengan garis yang lain. Adapun koi-koi cantik yang mulai dikenal adalah Showa Sanke (merah, putih ,dan hitam). Selain itu muncul juga koi dengan corak lain seperti Kinrin (sisik merah), Ginrin (sisik perak), dan Ogon (emas) (Susanto 2002) Koi identik dengan Jepang. Ikan itu telah dianggap sebagai salah satu tonggak budaya Jepang yang sangat dijunjung tinggi. Dengan badannya yang kekar dan warna-warni yang memikat, koi mempunyai tempat tersendiri di hati pencintanya (Susanto 2002). Ikan ini memang baru beberapa tahun terakhir cukup populer, padahal telah masuk di Indonesia sudah sekitar 20 tahun yang lalu. Di Jepang, ikan ini dinamakan nishikigoi (Cyprinus carpadie), artinya ikan berwarna warni. Goi sendiri artinya ikan karper dan kata koi berasal dari bahasa Cina. Kebetulan ini sudah ada sejak 2.500 tahun lalu, pada zaman pemerintahan Raja Shoko dan sampai sekarang dipakai para penggemarnya di seluruh dunia (Syaifullah dalam KOMPAS 2001).
4
Klasifikasi ikan koi (Cyprinus carpio) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Pisces
Sub Class
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Cyprinoidea
Family
: Cyprinidae
Subfamily
: Cyprininae
Genus
: Cyprinus
Species
: Cyprinus carpio
2.2 Koi Herpesvirus (KHV) 2.2.1 Sejarah Wabah KHV pertama kali terjadi di Magan Michael Farm Israel dan Amerika Serikat pada tahun 1998 yang menyebabkan kematian lebih kurang 6000 ton ikan jenis common carp dengan kerugian mencapai lebih kurang 4 juta dollar (OATA 2001). Virus ini merupakan virus DNA yang sangat virulen karena menyebabkan kematian dalam waktu yang pendek. Di Asia khususnya di Indonesia, KHV ditemukan pertama kali pada sentra-sentra budidaya ikan koi. Di Indonesia penyakit KHV pertama kali terjadi pada ikan koi di Blitar, Jawa Timur pada bulan Maret 2002. Pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002 ikan koi yang berasal dari Cina ini masuk ke Surabaya melalui Hongkong setelah dari Surabaya, ikan ini selanjutnya dibawa ke Blitar dan kematian massal (8095%) mulai terjadi. Sampai saat ini wabah KHV di Indonesia telah menyebar sampai ke Bali (Denpasar), Jawa Timur (Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, Surabaya), Jawa Tengah (Semarang, Brebes), Jawa Barat (Subang, Bogor, Bandung, Purwakarta, Cianjur, Bekasi), Banten, Sumatera (Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan) (Rukyani dan Sunarto 2003).
5
2.2.2 Sifat dan Morfologi Virus bukan termasuk sel dan hanya dapat hidup di dalam sel makhluk hidup. Di luar sel, virus bersifat sebagai benda mati. Ukuran virus bervariasi antara 30-300 nm. Virus herpes adalah virus yang berukuran besar dibandingkan virus lainnya. Struktur virus herpes dari dalam keluar terdiri atas genom DNA untai ganda linear berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen dan selubung, sebagian selubung berasal dari membran sel yang diinfeksinya. Karena dalam selubung mengandung unsur kapsid, virus herpes menjadi sensitif terhadap pengaruh detergen dan pelarut lipid lainnya (Daili dan Makes 2002). Virus herpes bereplikasi dalam metabolisme sel inang dengan menggunakan asam nukleatnya. Virus yang menempel pada induk semang akan masuk ke metabolisme induk semang dan bergabung membentuk sejumlah virus yang keluar dari sel induk semang dangan merusak membran plasma (lisis sel) (Sugiri 1992). Virus ini dapat hidup dan berkembang biak pada suhu antara 18 – 30˚ C oleh karena itu serangan penyakit KHV akan mereda apabila ikan dipelihara di luar rentang suhu tersebut. Kematian terjadi sangat cepat karena virus ini mempunyai masa inkubasi antara 5 - 7 hari dengan tingkat kematian mencapai 80 - 95% dalam waktu satu minggu sejak gejala klinis pertama muncul (Davenport 2001).
2.2.3 Epizootiologi Virus KHV ini hanya menyerang golongan ikan jenis ikan mas dan koi, dan dapat menyebabkan kematian yang sangat tinggi mencapai 80 - 90%. Penyebaran penyakit ini adalah melalui kontak langsung antara ikan yang sehat dengan ikan yang sakit, kontaminasi air dan peralatan. Hipotesis dari fenomena ini adalah virus bersifat laten dan akan aktif pada keadaan tertentu seperti stress dari transportasi dan penanganan serta pergantian lingkungan dan fluktuasi temperatur (Sunarto et al. 2005). Menurut Lipps 1999, dalam Mulyana 2006). Titer virus standar dari HSV1 (herpes simplex virus type-1) dan HSV-2 pada CH (chang’s liver cell) yaitu antara 102,025-102,033 TCID50/ml sedangkan pada virus BHV-1 (bovine herpes virus) titer virus normalnya yaitu 105TCID50/ml. Namun, pada infectious
6
haemotopoietic
necrosis
virus
(IHNV)
diperoleh
titer
virusnya
yaitu
103,19TCID50/ml (Gregorch et al. 2004, dalam Mulyana 2006).
2.2.4 Gejala Klinis Gejala sakit yang ditimbulkan virus ini dapat bersifat klinis (nyata) dan subklinis (tidak nyata). Umumnya virus ini menyerang secara akut dan gejalanya tidak teramati, serta bersifat fatal pada populasi ikan koi. Gejala klinis ikan yang terinfeksi akan terlihat lemah, ditunjukkan dengan kehilangan keseimbangan dan kesulitan menghirup udara. Gejala klinis umum yang terlihat adalah terjadinya pengelupasan epitel dengan produksi mukus yang berkurang dan kulit terasa kasar, hemorhagi (perdarahan) pada operkulum, sirip, ekor, dan perut yag disertai kerusakan pada insang. Beberapa ikan yang sakit memperlihatkan gejala lepuhlepuh pada kulit, yang disebut juga “penyakit melepuh” di Indonesia. Selama wabah KHV berlanjut, telah banyak diamati dan dilaporkan terjadi variasi gejala klinis. Bagaimanapun juga, gejala klinis yang utama terlihat adalah nekrosis pada insang (Rukyani dan Sunarto 2004). Menurut Rabinow (1998) Diagnosa KHV dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti deteksi PCR (Polymerase Chain Reaction), histopatologi, dan mengamati gejala klinisnya. PCR adalah sutu teknik yang dipakai untuk melipatgandakan asam nukleat (DNA) in vitro secara enzimatis (Rabinow 1998). Virus Herpes merupakan golongan virus yang virulen dan termasuk virus DNA. Metoda PCR (Polymerase Chain Reaction) digunakan sebagai konfirmasi keberadaan DNA virus KHV yang telah diinokulasikan pada masing-masing kultur sel. Pada semua kultur sel yang telah diinokulasikan virus KHV dengan berbagai perlakuan jam telah diuji menggunakan metoda PCR (Polymerase Chain Reaction), didapatkan hasil pada pengujian 0, 1, 2, 4, 8, 24, 48 dan 96 jam positif KHV, sedangkan pada perlakuan 192 jam didapat hasil yang negatif KHV (Arasyi 2005). Virus tidak dapat diobati dengan antibiotik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif terhadap virus. Namun beberapa penyakit viral dapat dicegah dengan vaksinasi misalnya rabies, polio, hepatitis dan sebagainya. Menurut Yosha (2003) pengobatan dengan potassium permanganat dapat digunakan untuk mengobati penyakit pada ikan yang disebabkan oleh infeksi
7
bakteri, fungi, dan parasit pada insang. Untuk meningkatan sistem kekebalan diberikan vitaminC, tetapi bukan berarti bahwa ikan yang terinfeksi KHV (Koi Herpesvirus) dapat disembuhkan.
Gambar 1 Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV (Koi Herpesvirus) (Departemen Perikanan dan Kelautan 2004)
2.3 Antigen Bahan asing dalam imunologi dikenal dengan istilah Antigen. Antigen berasal dari kata Antibody Generating Substances, yang berarti suatu bahan atau senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi. Antigen ini dapat berwujud protein, lemak, polisakarida, asam inti, lipopolisakarida, lipoprotein dan lain-lain. Sifat suatu senyawa yang mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap senyawa tersebut disebut antigenik (Wibawan et al. 2003). Ciri pokok yang harus dimiliki antigen antara lain dapat dilihat dari limitasi
fisikokimiawi,
keteruraian
dan
keasingan.
Dari
segi
limitasi
fisikokimiawi, agar dapat bersifat antigenik molekul harus besar, kaku dan kimiawi komplek. Walau molekul kecil dapat berlaku sebagai antigen, molekul besar jauh lebih baik. Makromolekul dengan struktur yang komplek seperti protein merupakan antigen yang jauh lebih baik daripada polimer besar sederhana dengan subunit berulang yang identik. Oleh sebab itu, lemak, karbohidrat dan asam nukleat, maupun polimer satu asam amino, merupakan antigen yang buruk. Senyawa yang memiliki struktur lentur (senyawa dengan konfigurasi tidak stabil) tidak dapat dikenal dengan mudah, sehingga bersifat kurang antigenik. Contohnya ialah gelatin, suatu protein dengan struktur yang tidak stabil, merupakan antigen
8
yang lemah, kecuali jika distabilkan oleh penggabungan molekul tirosin atau triptofan (Tizard 1988). Senyawa yang bersifat antigenik belum tentu dapat meningkatkan respon kekebalan di dalam tubuh. Suatu senyawa yang dapat merangsang pembentukan kekebalan atau imunitas disebut Imunogen yang berasal dari kata Immunity Generating Substance. Menurut Baratawijaya (1991), dalam Simorangkir (1993) kedua istilah dibedakan berdasarkan fungsionalnya. Banyak bahan yang tidak menimbulkan respon imun, tetapi dapat mengikat komponen sistem imun yang dapat ditimbulkan secara spesifik terhadapnya. Semua imunogen adalah antigen, tetapi tidak semua antigen adalah imunogen. Sifat senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler disebut imunogenik (Wibawan et al. 2003). Sedangkan imunogenitas merupakan kemampuan substansi untuk merangsang respon imun, baik respons selular maupun respon humoral atau keduanya (Kresno 2001). 2.4 Antibodi Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara Limfosit B peka-antigen dan antigen khusus. Antibodi memiliki kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat penghancuran dan penyingkirannya. Antibodi terbentuk sebagai hasil reaksi sistem kekebalan yang bersifat humoral untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi dari zat yang dianggap asing oleh tubuh. Molekul antibodi berupa protein globulin sehingga dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) (Tizard 1988). Globulin ditemukan dalam serum darah yang terdiri dari globulin alfa, globulin beta dan globulin gamma (Martin 1992, dalam Mulyono 1996). Antibodi terdapat dalam berbagai cairan tubuh tetapi terdapat dalam konsentrasi tertinggi dan termudah diperoleh dalam jumlah yang banyak untuk analisis dari serum darah (Tizard 1988). Istilah imunoglobulin dipakai untuk menggambarkan semua protein yang mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa protein yang mempunyai struktur imunoglobulin yang khas tetapi tidak memiliki aktivitas antibodi (Tizard 1988).
9
2.5 Struktur Imunoglobulin Antibodi (Ab) terdiri dari beberapa imunoglobulin (Ig) yang merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Imunoglobulin adalh protein yang mempunyai aktivitas antibodi (Tizard 1988). Imunoglobulin dihasilkan oleh sel plasma yang merupakan fase internal dalam diferensiasi sel B. Dalam tubuh terdapat 2 bentuk imunoglobulin yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan untuk antigen dan sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ektraseluler. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai adaptor yang berfungsi untuk mengikat antigen pada struktur binding site-nya yang spesifik (Wibawan et al. 2003). Imunoglobulin memiliki struktur dan fungsi biologik molekul protein yang sama, namun berbeda dalam susunan asam amino pembentuknya (Wibawan et al. 2003). Imunoglobulin dibentuk oleh 4 rantai polipeptida dasar yang terdiri dari 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian juga rantai berat satu dengan yang lain dihubungkan dengan ikatan S-S. Enzim proteolitik papain dapat memecah struktur ini menjadi 3 fragmen, yaitu 2 fragmen yang memiliki susunan sama terdiri atas rantai berat (H) dan rantai ringan (L), fragmen ini dapat bereaksi dengan determinan antigen serta hapten, (disebut fragmen antigen binding site (Fab) dan satu fragmen yang tidak dapat mengikat antigen, tetapi dapat terkristalkan disebut fragmen crystallizable (Fc) (Tizard 1988, Jawetz et al. 1972). Fragmen antigen binding site (Fab) dibentuk oleh domain terminal N, sedangkan fragmen fragmen crystallizable (Fc) dibentuk oleh domain terminal C. Fab dan Fc dihubungkan dengan leher atau hinge yang fleksibel. Fab memiliki bagian yang dapat berubah- ubah sesuai dengan antigen yang terikat sehingga bagian tersebut disebut sebagai VL (Variable Light) dan VH (Variable Heavy) serta bagian yang konstan disebut Cy1( jika IgG) dan CL, sedangkan Fc merupakan struktur tetap atau konstan (Wibawan et al. 2003).
10
Gambar 2 Struktur Imunoglobulin (Anonimous 2007)
2.6 Imunoglobulin Y (IgY) Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul protein dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada ayam terdapat tiga kelas imunoglobulin yang analog dengan imunoglobulin mamalia yaitu IgA, IgM dan IgY (IgG). Imunoglobulin Y (IgY) memiliki fungsi yang setara dengan imunoglobulin G (IgG) mamalia (Carlander 2002). Meskipun terdapat kemiripan struktur antara IgY amfibi, reptil dan aves terhadap IgG mamalia, penyebutan IgY lebih tepat digunakan karena IgY strukturnya berbeda dengan IgG (Szabo et al. 1998). IgY pada unggas identik dengan IgG pada mamalia, dengan perbedaan pada hinge IgY yang tidak fleksibel serta IgY tidak dapat bereaksi dengan protein A. Imunoglobulin dengan berat molekul terendah pada mamalia adalah IgG, sedangkan pada unggas, reptil, serta amfibi adalah IgY. IgY memiliki sifat biologik yang merupakan gabungan dari sifat biologik IgG dan IgE. IgY tidak dapat berikatan dengan komplemen dan FcR mamalia. IgY memiliki rantai berat yang tersusun dari 4 bagian yang konstan (Cv1-4) dan bagian variabel (VH) sedangkan rantai ringannya tersusun dari 1 rantai konstan (CL) dan 1 rantai variabel (VL) dengan bagian leher IgY tidak fleksibel seperti IgG (Wibawan et al. 2003).
2.7 Mekanisme Sistem Imun Respon imun merupakan serangkaian proses yang saling berkaitan dan diatur oleh sistem yang saling menunjang. Dalam keadaan optimal atau dalam keadaan sehat, sistem ini berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat
11
terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing. Ada 3 keadaan yang mengkibatkan kegagalan sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh yaitu: 1) Respon yang in-adekuat terhadap patogen (imunodefisiensi) yang berakibat kepekaan terhadap infeksi; 2) Kegagalan dalam mengenal antigen secara selektif yang berakibat hilangnya self-tolerance sehingga timbul penyakit auto imun; 3) Respon berlebihan dan tidak terkendali yang berakibat hipersensitivitas (Kresno 2001) Inti respon imun, khususnya respon imun didapat adalah aktivasi klon limfosit yang dapat mengenal paparan antigen sebelumnya. Limfosit adalah satusatunya jenis sel dalam tubuh yang mengekpresikan reseptor antigen dengan diversitas yang sangat tinggi dan dapat mengenal berbagai substansi asing yang jenisnya sangat bervariasi. Diversitas ini terbentuk pada saat perkembangan sel limfosit dari sel prekursor yang tidak mengekspresikan reseptor antigen dan tidak dapat mengenal antigen. Pematangan (maturasi) limfosit menghasilkan sel yang dapat mengenal antigen secara sangat spesifik, kemampuan untuk mengenal bermacam-macam antigen yang sangat bervariasi, bergantung pada pembentukan berbagai jenis reseptor antigen dipermukaan limfosit pada saat perkembangannya. Fase awal respon imun adalah mengenal antigen dan ekspansi klon yang diperlukan; fase berikutnya adalah diferensiasi selanjutnya dari sel-sel yang mampu memberi respon dan rekrutmen serta aktivasi sistem efektor, misalnya produksi antibodi, aktivasi makrofag, pembentukan sel sitotoksik dan lain-lain, untuk menyingkirkan antigen bersangkutan (Kresno 2001). Reaksi kebal itu diperantarai oleh sel, biasanya menunjukkan bahwa kekebalan dapat dipindahkan dari hewan yang telah dibuat peka ke hewan normal dengan menggunakan limfosit (Tizard 1988). Pada saat pemaparan kedua, antigen akan dapat dikenal oleh sel pertahanan dengan lebih efisien. Karena jumlah sel B dan sel T juga lebih banyak, kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen akan lebih besar, sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Di samping itu, antibodi yang tersisa juga dapat bereaksi dengan antigen, sehingga komplek antigen-antibodi menjadi lebih mudah ditangkap oleh APC dan diproses, selanjutnya akan terjadi stimulasi sel T dan sel
12
B seperti halnya pada respon imun primer dengan kecepatan dan efisiensi yang lebih tinggi. Sistem imun dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kekebalan bawaan (respon imun non spesifik) dan kekebalan dapatan (respon imun spesifik) (Carlander 2002). Jika suatu individu terpapar oleh bahan asing maka yang pertama kali akan berespon adalah sistem pertahanan bawaan/respon imun non spesifik, yaitu kekebalan fisik-mekanik, kekebalan kimiawi, kekebalan biologis, dan kekebalan seluler. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendir, yang merupakan sistem pertahanan utama tubuh karena kulit dan lendir ini merupakan bagian permukaan tubuh paling luar yang mencegah masuknya bahan asing (Wibawan et al. 2003). Menurut Kresno (2001) komponen-komponen utama dalam respon imun spesifik lainnya adalah berbagai jenis protein dalam darah termasuk
komponen
sistem
komplemen,
sel-sel
fagosit
yaitu
sel-sel
polymorfonuklear dan makrofag serta sel natural killer (NK). Kekebalan bawaan (respon imun spesifik) berupa kekebalan tubuh yang bersifat fisik dan berfungsi sebagai garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Kekebalan bawaan dapat dibagi menjadi empat jenis barier pertahanan yaitu anatomis, fisiologis, endositikfagositik dan peradangan. Menurut Bellanti (1993) respon imun spesifik merupakan suatu reaksi tubuh terhadap benda asing yang mencakup rangkaian interaksi seluler yang diekspresikan dengan penyebaran produk-produk sel spesifik kekebalan dapatan sangat spesifik untuk partikular antigen. Antibodi termasuk kekebalan dapatan (Carlander 2002). Menurut Kuby (1997) dua kelompok sel yang berperan penting dalam respon imun spesifik ini adalah limfosit dan antigen presenting cells (APC). Antigen presenting cells merupakan sel yang menghancurkan antigen melalui proses fagositosis dan menyajikan bagian dari antigen tersebut sehingga dapat dikenali oleh sistem imun spesifik (Kuby 1997). Setelah antigen berhasil melalui sistem pertahanan non spesifik maka ia akan berhadapan dengan makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting cells (APC). Antigen presenting cells yang memfragmentasi antigen akan mempresentasikan antigen tersebut kepada sel limfosit T melalui molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak di permukaan makrofag
13
(Wibawan et al. 2003). Menurut Kuby (1997) limfosit adalah satu dari beberapa jenis sel darah putih yang diproduksi di sumsum tulang selama proses hematopoesis. Limfosit meninggalkan sumsum tulang bersirkulasi dalam darah dan sistem limfatik menempati beberapa organ limfoid. Limfosit terdiri dari dua kelompok sel yaitu sel limfosit B dan sel limfosit T (sel limfosit T-helper/sel Th dan sel limfosit T-cytotoxic/sel Tc). Sel T hanya akan bereaksi dengan antigen asing jika antigen tersebut ditampilkan pada permukaan antigen presenting cells (APC) bersama-sama dengan MHC, sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas II (MHC II) dan sel Tc mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas I ( MHC I). Dengan demikian, maka molekul MHC berperan dengan mengatur interaksi antara berbagai sel yang terlibat dalam respon imun. MHC II akan membawa antigen yang disajikan oleh HPC kepada sel Th. Interaksi sel Th dengan MHC II dilakukan melalui molekul permukaan sel Th yaitu CD4 (Cluster of Differentiation 4) dan TCR (T cell Receptor) yang dimiliki oleh sel Th. Interaksi sel Th dan antigen presenting cells (APC) akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan dari proses ini hanya bereaksi dengan antigen yang ada di permukaan sel, sehingga disebut sebagai
kekebalan humoral atau kekebalan permukaan
(Humoral Mediated Immunity/ HMI) (Wibawan et al. 2003). Kekebalan humoral ini tidak dapat berespon dengan antigen yang berada di dalam sel, oleh karena itu mekanisme pembentukan kekebalan seluler adalah dengan menggunakan sel limfosit Tc (Cytotoxic). Antigen akan dipresentasikan oleh APC ke sel Tc melalui MHC I. Interaksi antara sel Tc dengan MHC I dilakukan melalui molekul CD8 dan TCR yang dimiliki oleh sel Tc. Sel Tc ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya walaupun host tidak menunjukkan gejala sakit. Tujuan dari penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler tersebut ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya. Proses seperti ini dikenal sebagai proses kekebalan seluler (Cellular Mediated Immunity/ CMI) (Wibawan et al. 2003).
14
Perbedaan dalam respon imun primer dan sekunder seperti kadar antibodi yang dibentuk, lamanya lag fase dan lain-lain, sangat tergantung pada jenis, dan cara masuk antigen, serta sensitivitas teknik yang digunakan untuk mengukur antibodi. Secara garis besar perbedaan respon imun primer dan respon sekunder adalah sebagai: 1. Perbedaan dalam waktu. Respon imun sekunder menunjukkan lag fase yang lebih pendek dan waktu penurunan respon yang lebih panjang. 2. Kadar antibodi pada respon sekunder lebih tinggi bahkan dapat mencapai 10x lebih tinggi dari kadar antibodi yang dihasilkan oleh respon imun primer. 3. Perbedaan dalam kelas-kelas antibodi. Pada respon imun primer, antibodi yang dihasilkan dalam jumlah banyak adalah IgM sedangkan pada respon imun sekunder antibodi yang dihasilkan dalam jumlah banyak adalah IgG dengan sedikit IgM. 4. Perbedaan dalam afinitas antibodi. Afinitas antibodi pada respon imun sekunder biasanya lebih tinggi dibanding pada respon imun primer. Oleh karena itu kita dapat menganggap kebutuhan dasar sistem kebal termasuk cara penjeratan dan pengolahan antigen; satu mekanisme untuk bereaksi khusus terhadap antigen atau dengan kata lain, sel peka-antigen; sel untuk menghasilkan antibodi atau berperan serta dalam tanggap kebal berperantara sel; sel untuk menyimpan ingatan tentang peristiwa dan bereaksi khusus dengan antigen pada pertemuannya kelak; dan akhirnya, sel untuk melenyapkan antigen. Semua tipe sel di atas diketahui ada di dalam tubuh. Antigen diikat, diolah dan akhirnya disingkirkan oleh makrofag. Sel peka-antigen, baik yang terdapat pada permulaan tanggap primer dan sel memori yang akan memulai tanggap sekunder, maupun sel efektor dalam tanggap yang berperantara sel, dikenal sebagai limfosit kecil sedangkan sel penghasil antibodi berasal dari limfosit dan dikenal sebagai sel plasma (Wibawan et al. 2003).
15
2.8 Respon Imun terhadap Infeksi Virus Kresno 2001 menyatakan bahwa virus mempunyai sifat-sifat khusus, yaitu: 1) Dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan respon inflamasi; 2) Dapat berkembang biak dalam sel penyaji tanpa merusaknya; 3) Ada kalanya mengganggu fungsi khusus sel yang terinfeksi tanpa merusaknya secara nyata; 4) Kadang-kadang virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh. Respon imun terhadap infeksi virus melibatkan respon nonspesifik maupun spesifik. Ada 2 mekanisme utama respon non-spesifik terhadap virus yaitu: 1) Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN (Interferon) oleh sel-sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus; 2) Sel NK (natural killer) melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK (natural killer) mampu melisiskan sel terinfeksi virus, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC I, karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sasaran yang MHC-negatif. Antibodi spesifik mempunyai peranan penting pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang mengalami lisis (Kresno 2001).
2.9 Interaksi antara Antigen dan Antibodi Proses netralisasi dapat terjadi apabila antigen dikenali oleh antibodi. Bagian antigen yang dikenal atau bereaksi dengan antibodi disebut epitop, sedangkan bagian antibodi yang dapat mengenali antigen disebut paratop. Wibawan et al. (2003) menyatakan bahwa antibodi selalu bersifat spesifik terhadap antigen tertentu. Sebagai contoh, (a) paratop antibodi 1 hanya dapat berikatan dengan Epitop antigen I, (b) Paratop antibodi 2 hanya dapat berikatan dengan Epitop antigen 2. Keadaan seperti contoh di atas disebut homolog, jadi antibodi 1 homolog dengan antigen 1 dan antibodi 2 homolog dengan antigen 2. jika antibodi tidak dapat mengenal antigen maka disebut antibodi dan antigen tersebut heterolog, jadi antibodi 1 heterolog terhadap antigen 2 dan antibodi 2 heterolog terhadap antigen 1. Antigen dapat memiliki lebih dari satu epitop, sehingga tubuh dapat membentuk antibodi terhadap epitop-epitop tersebut. Apabila seluruh antigen
16
disuntikkan ke hewan percobaan, maka di dalam serum hewan tersebut akan diperoleh antibodi yang dapat berinteraksi terhadap banyak epitop antigen. Antibodi yang demikian
disebut antibodi poliklonal. Sedangkan antibodi
monoklonal adalah antibodi yang hanya berikatan dengan satu epitop antigen. Antibodi merupakan suatu produk sel yang dihasilkan oleh sel limfosit B dan bereaksi spesifik/ khas terhadap antigen tertentu (Wibawan et al. 2003). Antigen dapat dinetralkan dengan cara, antibodi membuat antigen tersebut menjadi tidak larut di dalam tubuh, karena antigen hanya dapat menimbulkan efek dalam tubuh jika ia larut. Dalam perannya sebagai penetral antigen, maka antibodi berfungsi sebagai persipitin yang mengendapkan antigen, aglutinin yang menggumpal antigen, inhibin yang menghambat perlekatan antigen antigen dengan sel target serta sebagai apsonin atau saus agar antigen lebih mudah difagosit (Wibawan et al. 2003).
2.10 Agar Gel Presipitation Test (AGPT) Pengujian keberadaan antibodi (IgY) dalam serum dilakukan uji imunodifusi (teknik imunopresipitasi). Teknik imunopresipitasi merupakan salah satu cara yang banyak dipakai untuk mengukur kadar antigen atau antibodi (Kresno 2001). Teknik imunodifusi adalah menggunakan metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT). Satu lubang diisi antigen, yang lain dengan antiserum, antigen diletakkan di sumur bagian tengah sedangkan serum diletakkan pada sumur-sumur disekelilingnya. Pereaksi tadi akan berdifusi radial karena terbentuknya gradien konsentrasi sirkuler untuk masing-masing pereaksi dan akhirnya saling bertemu. Bila larutan antigen dan antibodi dilapiskan satu di atas yang lain, tidak dengan pencampuran, komponen-komponen tadi akan berdifusi satu sama lain. Pada rasio reagen dalam proporsi optimal, membentuk garis presipitasi. Jadi akan terjadi proporsi optimal untuk terjadinya suatu presipitasi pada suatu zone gradien yang berlapis, dan akan muncul garis buram putih dikawasan ini (Kresno 2001). Antibodi umumnya bivalen dan karenanya hanya mampu berikatan silang dengan dua determinan antigen dalam suatu waktu, tetapi protein antigen umumnya multivalen, mempunyai determinan antigen yang relatif sangat besar. Dalam campuran berisi antibodi berlebihan , setiap molekul antigen
17
ditutup dengan antibodi, mencegah ikatan silang dan karena itu mencegah presipitasi. Bila pereaksi optimal, rasio antigen terhadap antibodi sedemikian hingga keterikatan silang ekstensif dan terjadi pembentukan ”kisi-kisi”. Karena kisi-kisi ini berkembang menjadi besar, menjadi tidak larut dan akhirnya mengendap. Dalam campuran yang berlebihan antigen, setiap antibodi diikat sepasang molekul antigen. Dalam hal ini ikatan silang selanjutnya tidak mungkin dan karena itu kompleks ini kecil dan larut, tidak terjadi presipitasi. Sel sistem fagositik-mononuklir sangat efisien mengikat dan menghasilkan kompleks yang terbentuk pada proporsi optimal dan pada antibodi berlebihan (Tizard 1988). Mekanisme presipitasi ditunjukkan pada Gambar 3.
Antibodi adalah bivalen
Antigen adalah multivalent
Antigen
yang
dicampur
dengan
dicampur
dengan
antibodi berlebihan
Antibodi
yang
antigen berlebihan
Antigen dan antibodi dicampur pada proporsi optimal
Gambar 3 Mekanisme presipitasi ( Tizard 1988).
18
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan September 2006 sampai bulan Juli 2007 di Laboratorium Bakteriologi dan Unit Pelayanan Terpadu Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta Kandang Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat virus KHV yang diperoleh dari Pusat Riset Perikanan dan Kelautan Budidaya Pasar Minggu dan telah dikarakterisasi oleh Mulyana (2006), 2 ekor ayam Single Comb Brown Leghorn umur 23 minggu, freund Adjuvan komplit, freund Adjuvan inkomplit, Naazide 0.1%, PBS (Phosphat Buffer Saline) dengan (pH 7.2), Agarose, Polyetilen Glikol (PEG) 6000 1,2 gram, aquades (pH 7.2), kapas, kertas tissu, alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah vortex mixer, tabung reaksi, gelas ukur berbagai ukuran, gelas objek, tabung Erlenmeyer, api bunsen, dispossible syringe volume 3 ml, water bath, inkubator, bulb, pipet berskala 5 ml dan 10 ml, microtube 1.5 ml (Ependorf), gel Puncher, microplate, refrigerator (Sanyo Medicool), deep freezer (Sanyo Ultralow), mikropipet (10-100µl), tip, timbangan, microwave, wadah penyimpanan AGPT (Agar Gel Prespitation Test).
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Preparasi Antigen KHV (Koi Herpesvirus) Isolat virus KHV yang diinokulasikan
pada sel KT (Koi Tail 2)
mempunyai titer virus 103,8TCID50/ml dengan bentuk CPE (cytopathic effect) berupa vakuolisasi pada biakan sel, nilai titer ini merupakan hasil isolasi virus dari target organ yaitu ginjal, limpa, dan insang ikan koi yang terinfeksi pada Jawa Barat (Mulyana 2006). Kemudian isolat virus KHV dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Setelah homogen virus KHV diinaktifkan dalam waterbath 60 ºC selama 30 menit, suspensi disimpan dalam refrigerator 4 ºC dan untuk pemakaian jangka waktu lama disimpan pada suhu -47 ºC (deep freezer).
19
3.3.2 Vaksinasi Ayam Dua ekor ayam disiapkan untuk perlakuan. Vaksinasi dilakukan dengan dua metode aplikasi penyuntikan. Pada metode I ayam di vaksinasi secara intramuskular pada otot dada sebanyak 0.4 ml antigen KHV dalam adjuvan komplit ,satu minggu kemudian ayam divaksinasi dengan 0.3 ml antigen KHV dalam freund adjuvan komplit secara intramuskular pada otot dada. Kemudian vaksinasi pada minggu ketiga dan keempat dilakukan seperti pada minggu sebelumnya, dengan jumlah antigen KHV 0,5 ml dalam freund adjuvan inkomplit secara intramuskular (otot dada). Pada metode II ayam divaksinasi dengan 0.1 ml antigen KHV secara intravena selama 3 hari berturut-turut melalui vena axillaris. Kemudian pada minggu kedua disuntikkan antigen sebanyak 0.3 ml dalam freund adjuvan komplit secara intra muskular pada otot dada. Setelah itu dilakukan pengulangan pada minggu ketiga dan keempat menggunakan dosis 0.5 ml antigen KHV dalam freund adjuvan inkomplit, secara intramuskular.
3.3.3 Preparasi antigen KHV (Koi Herpesvirus) untuk AGPT Isolat KHV (Koi Herpesvirus) yang disimpan dalam deep freezer (Sanyo Ultralow), dicairkan (thawing). Kemudian antigen KHV (Koi Herpesvirus) dapat digunakan untuk AGPT (Agar Gel Presipitation Test).
3.3.4 Pengambilan Darah dan Pemisahan Serum Untuk memperoleh serum maka darah diambil sebanyak 2 – 3 melalui vena axillaris. Pengambilan darah dilakukan tiga minggu setelah vaksinasi ketiga Darah yang telah diambil diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 30 - 60 menit, lalu serum dipisahkan dari gumpalan darah. Serum dapat disimpan dalam microtube pada suhu 4 ºC dan jika digunakan jangka waktu yang lama dapat disimpan pada suhu -20ºC
3.3.5 Pengujian Serum dengan metode AGPT Sebanyak 0.4 gram agarose dan 1.2 gram Polyetilen Glikol (PEG 6000) ditambahkan Na-azide 0.01 gram dilarutkan dalam 25 ml PBS pH 7.2 dan 25 ml
20
aquades (pH 7.2). Larutan tersebut dipanaskan dalam microwave sampai larut (larutan terlihat bening). Dengan menggunakan pipet berskala agar dituang pada kaca objek sebanyak 4 ml dan dibiarkan mengeras pada suhu ruang. Kemudian dibuat sumur-sumur dengan gel puncher. Media agar yang telah siap, diisi dengan antigen dan serum. Pada sumur tengah diteteskan antigen KHV (Koi Herpesvirus) sebanyak 25 µl sedangkan sumur-sumur disekelilingnya diteteskan serum yang akan diuji, masing-masing sumur sebanyak 25 µl. Agar disimpan pada tempat lembab dan suhu ruang berupa wadah lembab (baskom yang diberi alas kertas tissu lalu dibasahi dan ditutup). Pengamatan dilakukan setelah 24 jam sampai 48 jam. Reaksi positif dicirikan dengan munculnya garis berwarna buram putih (presipitasi) pada daerah antara sumur antigen dengan serum.
3.3.6 Pengenceran Serum dan Pengujian AGPT Pengenceran serum dilakukan dengan mengisi sumur-sumur microplate PBS (Phosphat Buffer Saline) pH 7.2 sebanyak 50 µl pada masing-masing sumur (sumur 1-6). Serum yang telah diperoleh diambil sebanyak 50 µl lalu dihomogenkan dengan PBS (Phosphat Buffer Saline) pH 7.2 yang telah diisi sebanyak 50 µl pada sumur pertama, setelah homogen diambil sebanyak 50 µl larutan dan dimasukkan pada sumur kedua lalu dihomogenkan lagi. Pada sumursumur berikutnya sampai sumur keenam dilakukan hal yang sama. Sehingga diperoleh larutan dengan perbandingan 1/2 (20), 1/4 (22), 1/8 (24), 1/16 (26), 1/32 (28), 1/64 (216). Setelah media agar disiapkan untuk pengujian AGPT, antigen sebanyak 25 µl dimasukkan pada sumur bagian tengah dan serum yang telah diencerkan dimasukkan pada sumur-sumur disekelilingnya sebanyak 25 µl. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam.
21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan antibodi (IgY) dalam serum dapat dideteksi dengan pengujian AGPT. Hasil AGPT ditunjukkan pada Tabel 1.
4.1 Produksi Antibodi (IgY) Anti Koi Herpesvirus (KHV) pada Serum Ayam Tabel 1 Hasil AGPT pada serum Hasil AGPT
Metode
(Minggu ke-)
I
II
0
*
*
1
*
*
2
*
*
3
*
*
4
+
+
5
+
+
6
+
+
7
+
+
8
+
+
9
+
+
10
+
+
Ket : Minggu ke-0 Minggu ke-1 dst + *
: Minggu sebelum vaksinasi : Minggu setelah vaksinasi terakhir : Tidak terjadi presipitasi : Terjadi presipitasi : Tidak dilakukan pengujian
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sampel serum minggu ke 0-3 (sebelum vaksinasi) menunjukkan hasil AGPT negatif pada kedua ayam yang ditandai tidak terbentuknya garis presipitasi (Gambar 4 B) karena belum dilakukannya pengujian serum (pengumpulan serum). Pembentukan antibodi kedua ayam ditunjukan oleh adanya reaksi positif dari AGPT serum ditandai dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 4 A) yang diperoleh setelah vaksinasi ketiga pada minggu keempat sebelum vaksinasi terakhir. Sistem imun ayam sangat responsif terhadap
22
protein asing atau mikroorganisme yang memaparnya (akibat vaksinasi atau infeksi alami) (Davis & Reeves 2002, dalam Rawendra 2005). Menurut Carlander (2002) ayam memiliki sensitivitas tinggi terhadap protein asing sehingga walaupun dalam jumlah sedikit dapat memberikan respon pembentukan antibodi. Keberadaan Hadrian gland didaerah nasotrakheal dan Bursa Fabricius juga memungkinkan unggas sangat responsif terhadap berbagai protein asing (Coleman 2002, dalam Rawendra 2005). Reaksi positif hasil AGPT pada metode I berlangsung sampai minggu ke10 (antibodi bertahan selama 7 minggu) sampai pengujian terakhir. Penurunan produksi antibodi dapat terjadi apabila jumlah antigen berkurang sehingga tidak mampu menggertak sistem kekebalan. Respon imun primer terjadi apabila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah kira-kira 7 hari. Enam sampai 7 hari setelah pemaparan dalam serum mulai dapat dideteksi adanya IgG, kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10 – 14 hari setelah pemaparan antigen (Wibawan et al. 2003) dan menurut Bellanti (1993) reaksi antibodi
akan
terbentuk 10 – 14 hari pasca injeksi. Sedangkan pada metode II hasil AGPT juga positif sampai minggu ke-10 (keberadaan antibodi bertahan selama 7 minggu). Untuk minggu-minggu berikutnya pada metode II tidak dilakukan lagi pengujian. Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di imunisasi, rute aplikasi, dan sensitifitas assay. Pada metode I dilakukan secara intramuskular dengan penambahan freund adjuvan komplit dan freund adjuvan inkomplit. Adjuvan merupakan substansi yang apabila dicampurkan antigen dapat meningkatkan imunogenitas antigen tersebut. Freund adjuvan terdiri dari campuran minyak mineral dan pengemulsi, adjuvan yang mengandung larutan minyak mineral dan zat emulsi seperti Mannide monooleate (freund adjuvan inkomplit) mengedarkan minyak menjadi droplet kecil mengelilingi antigen. Kemudian antigen dilepaskan secara perlahan dari tempat penyuntikan. Sedangkan campuran minyak mineral dan zat emulsi yang mengandung mikobakteria dengan komponen tambahan Muramyl dipeptida (freund adjuvan komplit). Muramyl dipeptida dapat mengganti mikobakteria dalam emulsi
23
minyak, dan mengaktivasi makrofag sehingga freund adjuvan komplit lebih kuat dari freund adjuvan inkomplit (Kuby 1997; Smith 1995). Penambahan adjuvan juga mempertahankan keberadaan antigen dalam tubuh sehingga dapat menyediakan rangsangan antigenik yang lama. Adjuvan dapat efektif pada setiap tingkat proses imunisasi yang dapat memodifikasi imunogen atau bekerja pada tingkat sel dari respon imun inang. Pada tingkat sistem imun inang, penambahan adjuvan dapat memodifikasi membran sel (mengaktifkan agen di permukaan) sehingga mempermudah pengikatan imunogen ke makrofag dan limfosit, merangsang aktivitas sel yang terlibat dalam respon imun terutama fagositosis oleh makrofag, dan membentuk depot imunogen sehingga memperlambat pelepasannya dari lokasi inokulasi (Smith 1995). Keberadaan antigen yang berkesinambungan bertujuan untuk meningkatkan produksi antibodi dan mempertahankan keberadaan antibodi untuk waktu yang lama di dalam tubuh. Hal yang sama dilakukan pada metode II tetapi imunisasi dilakukan secara intravena dan intramuskular sehingga mampu merangsang terbentuknya respon imun sekunder dan antibodi yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan pada respon imun primer. Penyuntikan antigen menyebabkan terbentuknya antibodi yang bereaksi dengan antigen, antibodi hanya berikatan dengan antigen yang merangsang pembentukannya (Tizard 1988). Jenis adjuvan sangat mempengaruhi rute injeksinya,
tetapi apabila menggunakan adjuvan yang diserap lambat
terutama freund adjuvan sebaiknya tidak diberikan secara intravena. Aplikasi penyuntikan melalui intravena dan intramuskular dengan penambahan freund adjuvan komplit pada metode II merangsang respon antibodi yang kuat untuk waktu yang lama dengan membebaskan tetes-tetes emulsi dengan perlahan dan merangsang fungsi makrofag serta dapat mempercepat proses induksi sehingga antigen cepat menyebar dalam darah dan segera merangsang terbentuknya antibodi (Smith 1995). Sedangkan aplikasi penyuntikan melalui intramuskular dengan penambahan freund adjuvan komplit maupun freund adjuvan inkomplit pada metode I diharapkan agar penderitaan hewan minimum
dan dapat
merangsang pembentukan antibodi yang berkesinambungan dan dalam jumlah yang lebih banyak ( Bellanti 1993; Smith 1995)
24
b
b Garis presipitasi
b
b
b
b
a
a
b
b b
b
A.
b
B.
Gambar 4 (A) Reaksi positif dari AGPT serum pada minggu ke-6 metode I, terdapat garis presipitasi antara sumur antigen (a) dan sumur antibodi (b) dari serum ayam yang divaksinasi KHV (1-6). (B) Reaksi negatif dari AGPT serum, tidak terdapat garis presipitasi antara sumur antigen (a) dan sumur antibodi (b) dari serum ayam yang divaksinasi KHV (16) Antibodi yang direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut (presipitat) diukur dengan reaksi presipitasi. Hal yang paling menentukan adalah spesifisitas antiserum yang digunakan, dan larutan standar yang stabil dengan kadar yang pasti serta afiditas antibodi. Afiditas antibodi menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan (antigen dinding site); kompleks yang tarbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi mempunyai afiditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi afiditas antibodi makin stabil kompleks antigen-antibodi yang terbentuk. Faktor-faktor lain yang berpengaruh yaitu suhu, pH dan molaritas larutan yang dipakai serta perbandingan antara konsentrasi antigen dan antibodi (Kresno 2001). Apabila digunakan beberapa campuran antigen-antibodi, setiap komponen akan mencapai proporsi optimal pada posisi yang tidak sama. Bila kedua garis tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap identik. Bila garis-garis bersilangan, maka kedua antigen berbeda, sedangkan bila garis-garis bersatu dengan pembentukan taji, maka terdapat identitas parsial dengan masing-masing antigen mempunyai determinan antigen bersama (Tizard 1988).
25
Jumlah presipitat yang terbentuk 4 (mg)
Zona antibodi berlebihan
Zona proporsi optimal
Zona antigen berlebihan
3 2 1
0
0,5
1
1,5
Jumlah antigen yang bertambah (mg)
Gambar 5 Kurva
presipitasi kuantitatif
penambahan
yang menunjukkan efek dari
jumlah antigen yang meningkat terhadap jumlah
antibodi yang konstan ( Tizard 1988)
Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali kompleks yang terbentuk, sedangkan antibodi berlebihan menyebabkan kompleks antigen-antibodi tetap ada dalam larutan. Zona ekivalen merupakan daerah antigen dan antibodi dalam keadaan seimbang. Pada umumnya bila digunakan teknik imunopresipitasi yang menggunakan semisolid, diusahakan supaya reaksi presipitasi berlangsung dalam zona ekivalen, jadi antigen dan antibodi berimbang (Kresno 2001).
26
4.2 Penghitungan Konsentrasi (IgY) Anti Koi Herpesvirus (KHV) pada Serum Ayam Tabel 2 Titer IgY pada serum Hasil AGPT minggu
Ket : Minggu ke-0 Minggu ke-1 dst + * # 2, 4, 8, 16, 32, 64
Metode
ke-
I
II
0
*
*
1
*
*
2
*
*
3
*
*
4
4
2
5
4
4
6
4
4
7
4
*
8
2
2
9
2
2
10
4
2
: Minggu sebelum vaksinasi : Minggu setelah vaksinasi terakhir : Tidak terjadi presipitasi : Terjadi presipitasi : Tidak dilakukan pengujian : dilakukan booster : Nilai titer IgY
Pada Tabel 2 Titer antibodi (IgY) pada serum metode I mulai terlihat dari minggu ke-4 sampai minggu ke-10 dan mengalami penurunan dari minggu ke-8 sampai minggu ke-9 dan meningkat lagi pada minggu ke-10. Menurut Tizard (1988) penurunan titer ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kondisi ayam (stress, sakit, kelelahan), lingkungan, dan nutrisi. Selain itu umur dan kondisi hipofungsi berpengaruh pada imunitas (Kresno 2001). Faktor lain yang juga mempengaruhi titer antibodi (IgY) adalah ukuran molekul antigen, kerumitan struktur kimiawi antigen, konstitusi genetik, metode pemasukan antigen, dosis antigen yang diberikan dan sifat imunogenitas dari antigen (Subowo 1993).
27
Pada serum metode II titer antibodi (IgY) mulai terlihat pada minggu ke-4 sampai minggu ke-10. Tetapi pada minggu ke-7 nilai konsentrasi IgY 0 disebabkan tidak dilakukannya pengujian, serum tidak mencukupi untuk dilakukan pengenceran. Titer IgY meningkat minggu ke-5 sampai minggu ke-6 dan mengalami penurunan pada minggu ke-8 sampai minggu ke-10, keberadaan antibodi dalam keadaan kurang stabil. Untuk mendapatkan serum dengan titer dan afiditas paling tinggi maka dosis pertama sebaiknya diberikan dalam freund adjuvan komplit, sedangkan imunisasi selanjutnya harus diberikan dalam freund adjuvan inkomplit untuk menghindari reaksi hipersensitivitas yang hebat (Goding 1986, dalam Smith).
Titler lg Y
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
7
Hasil AGPT minggu keMetode 1
Metode 2
Gambar 6 Grafik titer IgY pada serum ayam Single Comb Brown Leghorn Gambar 6 menunjukkan perbandingan grafik titer IgY pada metode I dan metode II. Grafik menggambarkan serum pada metode I cenderung lebih stabil dan berkesinambungan dibandingkan metode II. Menurut Carlander (2002) bahwa persentase titer bergantung pada kondisi individu, prosedur vaksinasi serta imunogenitas antigen.
28
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN •
Pada metode I antibodi spesifik KHV dalam serum dapat terdeteksi setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat) dan bertahan sampai dengan enam minggu setelah vaksinasi terakhir. Pada metode II antibodi spesifik KHV dapat terdeteksi setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat) dan bertahan sampai dengan 7 minggu.
•
Terdapat perbedaan respon imun dari kedua aplikasi penyuntikan, dan hasil yang lebih baik ditunjukkan pada metode I.
SARAN •
Penelitian merupakan tahap awal, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi antibodi anti KHV (Koi herpesvirus) pada kuning telur ayam single comb brown leghorn. Selanjutnya produksi antibodi dapat diuji efektifitasnya dalam pencegahan dan pengobatan penyakit KHV (Koi Herpesvirus) pada ikan.
•
Manajemen kandang yang lebih baik sehingga sistem respon imun ayam single comb brown leghorn berfungsi lebih efektif.
yang digunakan dalam
penelitian dapat
29
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2006. http://id.wikipedia.org/wiki/Koi. [14 -07-2006]. Anonimous. 2007. http://images.google.co.id/images?hl=id&q=koi+herpesvirus& btnG= cari+gambar [23-07-2007]. Anonimous. 2007. http://www.beckmancoulter.com/products/images/IgY [23-072006]. Arasyi AR. 2005. Studi Viabilitas KHV (Koi herpesvirus ) diluar sel inang dengan menggunakan Kultur sel KT-2 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Carlander D. 2002. Avian Ig Y antibody: In Vitro and In Vivo. [Disertasi]. Acta Universitatis Upsaliensis. Upsala. Daili S.F, Makes W.I. 2002. Infeksi Virus Herpes FK UI. Kelompok Studi Herpes Virus. Jakarta. Davenport K. 2001. Koi Herpes Virus (KHV). Ornamental Aquatic Trade Association. United Kingdom. Departemen
Kelautan
dan
Perikanan.
2002.
SK
No:
1874/DPB.4/IK.225.D4/V/2002. Wabah Penyakit Pada Budidaya Ikan Mas. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Petunjuk. Pengendalian Penyakit Insang Membusuk. http://www.dkp.go.id/content.php ?c=1631. Bogor, Indonesia. [27-8-2006]. Effendy dan Hersanto 1993. Mengenal Beberapa Jenis Koi (Karper JepangNishikigoi). Kanisius. Yogyakarta. Herdiansyah Y. 2001. Produksi Antibodi Anti-Enteropathogenic Eschericia coli (EPEC) K.1.1 dari Serum dan Kuning Telur Ayam Single Comb Brown Leghorn. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnostik dan Prosedur Laboratorium. Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Kuby J. 1997. Immunology 3th ed. W.H Freeman and Company; New York. Li-Chan ECY. 2000. Application of Egg Imunoglobulin in Immunoafinity Chromatoghrapy.
Egg
Nutrition
and
Biotechnology.
Faculty
of
30
Agricultural
Sciences.
Univ.
Of
British
columbia.
CAB
International.Canada.p: 323-337. Mulyana, A. 2006. Titer Dosis Infektif Koi Herpesvirus (KHV) Dengan Menggunakan Kultur Sel KT-2 (Koi Tail no 2).[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Mulyono R.H. 1996. Pengaruh Vaksinasi Newcastle Disease terhadap Titer Antibodi dan Fraksi Protein Serum Ayam Kampung, Pelu dan Kedu pada Umur 20-30 Minggu. [Disertasi] Institut pertanian Bogor. OATA. 2001. Koi Herpes Virus (KHV). http://www.ornamentalfish.org Rabinow
P.
1998.
What
The
Heck
is
PCR
?
/
!.
http://people.ku.edu/~jbrown/pcr.html. Berkeley, California [12 Juli 2004]. Rawendra R. 2005. Imunoglobulin Y (IgY) Fraksi Larut Air (WSF) kuning Telur Kering Beku Anti Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC). [Disertasi] Institut pertanian Bogor. Rukyani A, Sunarto A. 2003. Makalah Seminar Penilaian Kualitas Ikan Koi : Mewaspadai Bahaya Penyakit Koi Herpesvirus (KHV). Jakarta. Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan. Binatjipta. Bogor. Sano T, Fukuda H, Furukawa M, Hosoya H, Moriya Y. 1985. A Herpes Virus Isolated From Carp Papilloma In Japan. Fis Shelfish Pathology 32:307311. Setiadarma G.1993. Pembuatan Pellet Bervaksin Aeromonas hydropila Metode Sonikasi pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Simorangkir M. 1993. Isolasi dan Identifikasi Immunoglobulin Gama (IgG) Serum Ayam Buras dan Ayam Ras dengan Metode Komatografi Pertukaran Ion dan Imunokimia. [Disertasi] Institut Pertanian Bogor. Syaifullah M. 2001. Satu Moyang dengan Ikan Emas. Kompas. 16 Juli 2001. Schubert G.H. 1996. The Infective Agent In Carp Pox. Bulletin Office International Epizootie 65:1011-1022. Smith J.R. 1995. Produksi Serum Imun. Dalam Burgess GW. (Penerjemah): Wayan. TA. Tekhnologi ELISA dalam Diagnosis Penelitian. Gajah mada University Press.
31
Suartha N. 2003. Telur sebagai Imunoterapi. [Makalah]. Pascasarjana. Bogor. http;//rudyct.tripod.com/pps702_71034/71034_14.htm [12 Mei 2006] Subowo. 1993. Imunobiologi. Penerbit Angkasa: Bandung Sugiri N. 1992. Biologi Sel vol 1. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Sunarto A, Rukyani A, Hami T. 2005. Indonesia Experience On The Outbreak Og KHV In Koi And Carp (Cyprinus carpio). Bulletin Of Fisheries Research Agency. Sunarto A. 2004. Epidemiology, Diagnostic and Preventive Practices for Koi Herpesvirus (KHV) in Indonesia. Tokyo University of Marine Science and Technology. Fisheries Research Agency. Sunarto A, Rukyani A, Itami T. 2005. Indonesian Experience on The Outbreak of Koi Herpesvirus in Koi and Carp (Cyprinus carpio). Bulletin of Fisheries Research Agency. Susanto H. 2002. Koi. Penebar Swadaya. Jakarta. Svendsen BL, Hau J. 1995. Chickens Eggs in polyclonal Antibody Production. Scand J Lab Anim Sci. 23: 85-91. Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Terjemahan: Dr. Masduki Partodirejo. Airlangga University: Surabaya. Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti Cs, Tauffani TB. 2003. Diktat Imunologi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Yosha S. 2003. Update On Koi Herpesvirus (KHV) For The Koi Hobbyist. KOI USA Magazine March / April 2003.
32
LAMPIRAN
Alat-alat yang digunakan selama penelitian
Refrigerator (Sanyo Medicool)
Microwave
Water bath (Eyela)
Gel puncher
Vortex (Maxi mix II)
Timbangan
In Kandang ayam
kubator
Sentrifuge
Deep freezer (Sanyo Ultralow)
Microplate
Micropipet (10-100 µl), tip, microtube1,5 ml