INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN FRAGMEN ANTIBODI UNTAI TUNGGAL (scFv) ANTI-EGFRvIII PADA Pichia pastoris
AI HERTATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Pichia pastoris adalah karya saya bersama komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor dan LIPI. Bogor,
April 2013
Ai Hertati NRP P051090141
4
RINGKASAN
AI HERTATI. Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Pichia pastoris. Dibimbing oleh ANJA MERYANDINI DAN ASRUL MUHAMAD FUAD EGFRvIII merupakan salah satu varian mutan Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) yang mengalami mutasi pada bagian ekstraselularnya. EGFRvIII hanya ditemukan pada sel kanker dan tidak pada sel normal, sehingga merupakan target terapi kanker yang sangat menarik. Molekul antibodi utuh telah digunakan sebagai agen terapi kanker. Akan tetapi penggunaannya dalam konstruksi obat dengan sistem penghantaran terarah memiliki kelemahan karena ukurannya yang relatif besar (150 kDa). Hal ini disebabkan karena ukuran yang besar dapat mengurangi kemampuan untuk penetrasi ke dalam sel tumor. Permasalahan tersebut diatasi dengan membuat suatu fragmen antibodi untai tunggal (scFv) anti-EGFRvIII yang memiliki ukuran 25 kDa. Fragmen antibodi terdiri dari bagian untai berat (VH) dan untai ringan (VL) yang dihubungkan oleh suatu peptida yang disebut linker (G4S)3. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkonstruksi scFv, mengintroduksi dan mengekspresikannya ke dalam Pichia pastoris. Fragmen antibodi dibuat dalam 2 versi, yaitu versi 1 (VH-L-VL) dan versi 2 (VL-L-VH), yang dimaksudkan untuk mempelajari sifat afinitasnya terhadap antigen. Fragmen antibodi versi 1 dirancang dan dibuat secara sintetik dan kemudian diklon ke dalam vektor pPICZαA dan ditransformasikan ke dalam E. coli. Plasmid rekombinan (pPICZαA-scFv-1) dianalisis dengan menggunakan PCR, enzim restriksi dan sekuensing. Plasmid rekombinan dengan urutan DNA yang tepat kemudian difusikan dengan suatu gen penanda yaitu Green Fluorescent Protein (GFP) lalu ditransformasikan ke dalam P. pastoris SMD1168H. Nilai efisiensi transformasi yang diperoleh adalah 1,2x 104 cfu/µg DNA plasmid. Hasil analisis dengan teknik SDS-PAGE dan Slot blot terhadap media kultur bebas sel menunjukkan bahwa fusi scFv-GFP telah berhasil diekspresikan secara ekstraselular dengan ukuran 60 kDa. Fragmen antibodi versi 2 dibuat dengan menggunakan teknik overlap extension PCR lalu diklon ke dalam vektor pTZ57r/t dan ditransformasikan ke dalam E. coli. Kata kunci: Green fluorescent protein, EGFR, EGFRvIII, Pichia pastoris, scFv
5
SUMMARY
AI HERTATI. Introduction and Expression of Single Chain Fragment Variable (scFv) Anti-EGFRvIII Gene Into Pichia pastoris. Supervised by ANJA MERYANDINI and ASRUL MUHAMAD FUAD EGFRvIII is one of EGFR (epidermal growth factor receptor) mutant variant that has deletion in its extracellular domain. EGFRvIII is one of important targets for cancer therapy since its only found in cancer cell. EGFRvIII antibody binds to truncated extracellular domain of EGFRvIII. Intact antibody has been used as cancer therapeutic agent. The size of intact antibody (150 kDa) could be an obstacle in targeted drug delivery system. it reduces ability to penetrate the cancer cell. It is well known that bigger molecule has bigger immunogenicity. These problems might be solved by using smaller molecule such as single chain fragment variable (scFv) that has a smaller size (25 kDa). The scFv consist of variable light (VL) and variable heavy (VH) domains joined by a flexible peptide linker (G4S)3. The aimed of this studies were to construct scFv, transforms and express this gene into P. pastoris. Two version of scFv genes was constructed in this study. First version of scFv (VH-L-VL) was designed and made synthetically. While the second version (VL-L-VH) was made by overlap extension PCR technique. One of those constructs (scFv-1) was cloned into pPICZαA and transformed into E. coli. A recombinant plasmid (pPICZαA-scFv-1) was analyzed using PCR, restriction enzyme and DNA sequencing. Some clones of scFv with proper DNA sequence and orientation have been obtained. EGFP gene was then fused with the recombinant plasmid (pPICZα-scFv-1) and transformed into P. pastoris. Transformation of P. pastoris was performed using electroporation method. The transformation efficiency observed was 1,2x104 cfu/µg DNA plasmid. SDS-PAGE and Slot Blot analysis of free-cell culture medium showed the presence of scFv-GFP protein fusion having a size of 60 kDa and expressed extracellularly. scFv-2 that has structure VL-L-VH has been made by overlap extension PCR technique. It was cloned to pTZ57r/t and transformed into E. coli. Key words: anti-EGFRvIII, cancer therapy, EGFR, targeted drug delivery system, transformation.
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB & LIPI Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB & LIPI
7
INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN FRAGMEN ANTIBODI UNTAI TUNGGAL (scFv) ANTI-EGFRvIII PADA Pichia pastoris
AI HERTATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
8
Penguji Luar Komisi: Dr Ir Miftahudin, MSi
9
Judul Penelitian Nama NIM
: Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) Anti-EGFRvIII pada Pichia pastoris : Ai Hertati : P051090141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Anja Meryandini, MS Ketua
Dr Asrul Muhamad Fuad, MSi Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
29 Januari 2013
10
PRAKATA
Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Introduksi dan Ekspresi Gen Fragmen Antibodi Untai Tunggal (scFv) AntiEGFRvIII pada Pichia pastoris”. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Protein, Vaksin dan Sistem Penghantaran Terarah, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Prof. Dr. Anja Meryandini, MS dan Dr. Asrul Muhamad Fuad, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penyusunan tesis ini. 2. Drs. Djadjat Tisnadjaja, M.Tech yang telah memberikan kesempatan dan dukungan sehingga penulis dapat mengikuti program pendidikan pascasarjana. 3. Teh Goli, Prety, Dian, bu Ami, Rithami, Maya dan Riyona atas bantuannya selama penelitian di Laboratorium Protein, Vaksin dan Sistem Penghantaran Terarah. Nurlaili, dr. Ela dan Herman dari Laboratorium Biopharmaceutical atas pengertiannya selama penulis mengerjakan penelitian. 4. Teman-teman Program Studi BTK 2009 Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mamah, Apa, Mas dan Fikri tersayang atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, maka masukan berupa saran dan kritik guna penyempurnaan penulisan karya ilmiah ini sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan terutama pengembangan ilmu penulis.
Bogor, April 2013 Ai Hertati
11
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA EGFR dan EGFRvIII Sistem Ekspresi Pichia pastoris Green Fluorescent Protein (GFP) METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Metode Prosedur Kerja
1 1 2 2 3 3 4 6 7 7 7 8
HASIL DAN PEMBAHASAN Subkloning scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi Fusi Gen scFv-1 dengan gen GFP Introduksi ke dalam Pichia pastoris Seleksi Sel Pichia pastoris Transforman Uji Ekspresi dan Analisis Ekspresi Protein Rekombinan Skala Kecil Konstruksi scFv Versi 2 (VL-L-VH) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
13 13 18 24 27 31 33 39 39 39 40
LAMPIRAN
43
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
51
12
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6
Primer yang digunakan dalam penelitian Hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA-scFv(1)-GFP pada E. coli TOP10F’ Hasil penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid rekombinan pPICZαA-scFv(1)-EGFP dengan menggunakan nanofotometer Kondisi pada saat elektroporasi plasmid rekombinan pPICZαAscFv(1)-EGFP dengan menggunakan alat elektroporator Jumlah koloni hasil transformasi P. pastoris dengan plasmid pPICZαA-scFv(1)-EGFP Persentase hasil seleksi P. pastoris transforman
Halaman 8 21 26 26 27 28
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15
Skema struktur protein pada EGFR wild-type dan EGFRvIII Peta vektor pPICZαA Skema struktur plasmid pAF_scFv-01 Target konstruksi scFv anti-EGFRvIII Skema PCR untuk konstruksi scFv versi 2 Produk amplifikasi PCR plasmid pAF-scFv-1 dengan pasangan primer VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho Hasil potong vektor pPICZαA dan gen scFv hasil PCR dengan enzim XhoI Hasil transformasi pPICZαA-scFv-1 ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas Posisi penempelan primer VH101-F dan VL101-R pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 Hasil PCR koloni transforman pPICZαA-scFv-1 dengan menggunakan primer VH101-F dan VL101-R Posisi penempelan primer AOX-F dan VH101-R pada plasmid rekombinan pPICZαA-scFv-1 Hasil PCR penentuan orientasi gen scFv dalam konstruk pPICZαA-scFv-1 dengan pasangan primer AOX-F dan VH101R Hasil pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI terhadap plasmid rekombinan pPICZαA_scFv Hasil amplifikasi (tahap pertama) dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan EGFP-R Hasil amplifikasi gen egfp dengan PCR tahap kedua menggunakan pasangan primer EGFP-G4S-ClaI dengan EGFP-
Halaman 3 5 7 7 12 13 14 14 15 16 16 17
18 19 19
13
16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
R-ClaI Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli TOP10F’ Posisi penempelan primer pada proses PCR koloni dengan menggunakan primer AOX-F dan AOX-R Hasil PCR koloni transforman dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan AOX-R Posisi penempelan primer pada proses orientasi konstruk dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R Hasil PCR penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R Hasil pemotongan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi ClaI Hasil isolasi DNA plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP Hasil potong plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi SacI Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang mengandung zeocin 100 µg/ml Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang mengandung zeocin 200 µg/ml Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang mengandung zeocin 300 µg/ml Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang mengandung zeocin 1000 µg/ml Hasil analisis ekspresi protein rekombinan dengan teknik SDSPAGE Hasil analisis immunoblotting menggunakan teknik Slot Blot terhadap sampel protein beberapa galur P. pastoris transforman Hasil pengamatan sel transforman P. pastoris yang mengandung gen penanda GFP yang berfluoresen hijau Hasil amplifikasi PCR fragmen VH, VL dan Linker Hasil amplifikasi PCR dan purifikasi fragmen scFv-2 menggunakan pasangan primer VL-F dan VH-R Hasil transformasi plasmid rekombinan pTZ_scFv ke dalam E. coli DH5α Hasil PCR koloni E. coli transforman pTZ_scFv-2 Hasil isolasi DNA plasmid pTZ_scFv-2 dari beberapa klon E. coli transforman Hasil PCR plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan menggunakan pasangan primer VL101-F dan VH101-R Hasil pemotongan plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan menggunakan enzim XbaI
20 21 22 22 23 23
25 25 27 29 29 30 30 31 32 32 34 35 35 36 36 37 38
14
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5
Komposisi dan cara pembuatan media, larutan dan buffer Bahan yang digunakan dalam pembuatan gel poliakrilamid Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP Hasil sekuen DNA plasmid pTZ-scFv-2
Halaman 43 45 46 48 49
15
PENDAHULUAN Latar Belakang Terapi kanker terarah berbasis antibodi merupakan salah satu jenis terapi kanker generasi baru yang diharapkan dapat bersifat selektif sehingga dapat mengurangi efek samping terhadap sel normal. Faktor yang sangat penting dalam pembuatan terapi kanker terarah adalah pemilihan target terapi yang tepat. Salah satu target terapi yang telah diketahui mengalami overekspresi pada beberapa jenis sel kanker adalah epidermal growth factor receptor (EGFR) (Gupta et al. 2010 , Kuan et al. 2001). Epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan suatu reseptor glikoprotein yang memiliki berat molekul sebesar 170 kDa. EGFR adalah anggota famili reseptor tirosin kinase yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan proliferasi sel (Pedersen et al. 2001). Fakta bahwa EGFR ditemukan pada sel normal mengharuskan para peneliti dalam bidang onkologi mencari alternatif antigen lain yang lebih spesifik pada sel kanker. EGFRvIII merupakan salah satu varian mutan EGFR yang diketahui mengalami overekspresi pada beberapa jenis sel kanker seperti kanker paru-paru (16%), kanker payudara (78%) dan kanker ovarium (73%) (Pedersen et al. 2001). EGFRvIII merupakan target terapi yang sangat ideal karena hasil mutasi delesi ekson 2-7 menghasilkan suatu residu asam amino glisin dan membentuk sekuen peptida unik yang menjadikannya sebagai antigen spesifik. Selain itu ekspresi EGFR vIII tidak ditemukan pada sel normal (Pedersen et al. 2001, Gupta et al. 2010). Antibodi yang digunakan dalam terapi kanker terarah dapat berupa molekul antibodi utuh atau berupa fragmen antibodi. Kedua molekul ini berperan sebagai ligan untuk menghantarkan agen sitotoksik pada sel target yang dituju. Terdapat beberapa hambatan apabila digunakan molekul antibodi utuh sebagai ligan. Hambatan ini terutama disebabkan karena ukuran molekul antibodi yang relatif besar (150 kDa) dapat mengurangi kemampuannya untuk penetrasi melewati membran sel tumor. Selain itu semakin besar ligan yang digunakan semakin besar pula imunogenisitas dari ligan tersebut. Oleh karena itu dicari ligan lain yang berukuran lebih kecil seperti fragmen antibodi untai tunggal (scFv). ScFv terdiri atas domain variable untai berat (VH) dan domain variable untai ringan (VL) yang dihubungkan oleh suatu polipeptida penghubung (linker). ScFv memiliki ukuran yang lebih kecil (25 kDa) sehingga memiliki kemampuan penetrasi membran sel tumor yang lebih baik dan imunogenisitas yang lebih rendah (Ahmad et al. 2011, Jafari et al. 2011) ScFv telah diekspresikan pada beberapa sel inang mulai dari sel prokariot (E. coli) hingga sel mamalia (Chinese Hamster Ovary). Ekspresi scFv pada E. coli memiliki beberapa kelemahan seperti scFv yang dihasilkan tidak mengalami proses modifikasi pasca translasi sehingga terkadang menghasilkan scFv yang tidak fungsional. Selain itu ekspresi scFv pada E. coli juga dapat menghasilkan insoluble inclusion bodies yang memerlukan beberapa langkah tambahan agar menghasilkan scFv yang aktif (Naumann et al.2011, Peterson et al. 2006) Sistem ekspresi mamalia memberikan hasil yang lebih baik karena scFv yang dihasilkan dapat mengalami serangkaian proses modifikasi pasca translasi. Namun kelemahan dari sistem ini adalah proses pengerjaannya tidak mudah dan dibutuhkan biaya yang cukup besar (Naumann et al. 2011).
16
Sistem ekspresi khamir dapat menggabungkan keuntungan dari kedua sistem yang dijelaskan di awal. Sistem ekspresi khamir memiliki kemudahan proses seperti E. coli dan memungkinkan terjadinya proses modifikasi pasca translasi sehingga dihasilkan molekul scFv yang aktif. Ekspresi pada khamir dapat terjadi secara intraselular maupun ekstraselular. Pichia pastoris merupakan salah satu khamir yang telah banyak digunakan sebagai sel inang untuk ekspresi beberapa jenis protein rekombinan termasuk scFv (Daly & Hearn 2005). Beberapa keunggulan P. pastoris sebagai sel inang diantaranya adalah mampu tumbuh dengan densitas sel yang tinggi pada media yang sederhana dan memiliki promotor AOX1 yang sangat efisien sehingga mampu memproduksi protein rekombinan dalam jumlah yang cukup besar (Cupit et al. 1999) Green fluorescent protein (GFP) merupakan suatu protein yang dapat berperan sebagai penanda bagi beberapa proses biologis seperti ekspresi suatu protein atau untuk menentukan lokasi dari protein target di dalam sel atau organisme tertentu. Fusi scFv dengan GFP telah diketahui memiliki beberapa manfaat seperti dalam proses analisis tumor, penemuan obat baru serta mempelajari proses internalisasi dan farmakodinamika terapi gen (Naumann et al. 2011). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuat fragmen antibodi untai tunggal (scFv) yang digunakan sebagai ligan untuk membawa agen sitotoksik. Manfaat Penelitian Fragmen antibodi (scFv) anti-EGFRvIII diharapkan dapat menjadi suatu ligan spesifik yang berperan membawa agen antikanker yang dapat bermanfaat untuk pengembangan terapi kanker terarah.
17
TINJAUAN PUSTAKA EGFR dan EGFRvIII Epidermal growth factor (EGF) yang ditemukan pada tahun 1950-an oleh Levi-Montalcini dan Stanley Cohen adalah faktor pertumbuhan yang pertama kali ditemukan. Pada tahun 1970-an protein membran plasma yang berikatan dengan EGF ditemukan dan diberi nama EGFR. EGFR merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 170 kDa dan termasuk ke dalam famili reseptor tirosin kinase (Carpenter & Cohen 1979). Karena peranannya sebagai mediator dalam proses pertumbuhan dan proliferasi sel, EGFR diasosiasikan dengan sebagian besar kasus malignancy pada manusia termasuk diantaranya kanker payudara, kanker paru-paru, kanker otak, kanker prostat dan kanker mulut (Harari 2004). Mekanisme yang menyebabkan EGFR menjadi onkogenik bervariasi yaitu : proses autocrine growth factor loops, amplifikasi dan overekspresi EGFR, serta mutasi yang menyebabkan perubahan aktivasi reseptor yang semula bersifat terinduksi ligan menjadi bersifat konstitutif (Harari 2004). Mutan EGFR ini biasa ditemukan pada beberapa kasus tumor manusia dan mutasi yang paling sering terjadi adalah delesi pada daerah ekstraselular. Delesi ini mengakibatkan EGFR bersifat konstitutif. Salah satu varian mutan EGFR yang mengalami mutasi adalah EGFRvIII (Kuan et al. 2001, Mendelsohn & Baselga 2003). EGFRvIII merupakan suatu EGFR yang telah mengalami mutasi pada bagian ekstraselularnya. Bentuk mutasi yang terjadi adalah delesi pada 801 pasang basa yang terdapat pada ekson 2-7 pada mRNA, menghasilkan kehilangan asam amino nomor 6-273 pada bagian ekstraselular. EGFRvIII memiliki berat molekul sebesar 145 kDa. EGFRvIII tetap memiliki kemapuan untuk masuk ke dalam membran sel karena tidak ada perubahan pada signal peptida. Perbedaan struktur EGFR dengan EGFRvIII dapat lihat pada Gambar 1 (Kuan et al. 2001).
Gambar 1 Skema Struktur Protein pada EGFR Wild-type dan EGFRvIII (Kuan et al. 2001) EGFRvIII memiliki jalur transduksi signal yang berbeda dengan EGFR. Perbedaan inilah yang mungkin menyebabkan perbedaan malignancy pada sel yang mengekspresikan EGFRvIII. EGFRvIII hanya ditemukan pada sel tumor oleh karena itu sangat ideal sebagai target terapi untuk terapi kanker terarah. EGFRvIII dapat dihambat dengan menggunakan beberapa cara seperti menggunakan antibodi, ribozim dan inhibitor tirosin kinase (Kuan et al. 2001).
18
Sistem Ekspresi Pichia pastoris Sistem ekspresi prokariot biasanya digunakan untuk memproduksi protein heterolog rekombinan dari cDNA eukariot. Akan tetapi, dari hasil beberapa penelitian diketahui bahwa protein yang berasal dari sel eukariot membutuhkan proses modifikasi pasca translasi agar menjadi suatu bentuk protein yang stabil dan aktif secara biologis. Sistem ekspresi prokariot tidak mempunyai perangkat untuk melakukan proses modifikasi pasca translasi ini. Kelemahan sistem ekspresi prokariot yang lain adalah senyawa toksin dari bakteri dan yang bersifat pirogen dapat mengkontaminasi produk protein rekombinan yang dihasilkan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dikembangkan sistem ekspresi protein eukariot, yaitu ragi, serangga, atau sel mamalia sehingga protein yang dihasilkan bebas dari kontaminasi, stabil dan memiliki aktivitas biologis (Daly & Hearn 2005). Ekspresi protein dalam S. cerevisiae telah berhasil digunakan untuk ekspresi berbagai protein dari sumber yang berbeda. Pada beberapa hasil penelitian hasil ekspresinya rendah. Pada penelitian lain disebutkan bahwa protein rekombinan yang diproduksi pada sistem ekspresi S. cerevisiae ini mengalami proses hiperglikosilasi dengan jumlah residu manosa 50-150 residu pada rantai samping N-linked oligosakarida. Inti oligosakarida S. cerevisiae memiliki ikatan 1,3 glikan pada ujungnya yang diduga menyebabkan efek hiper antigenik sehingga protein yang dihasilkan tidak dapat digunakan sebagai agen terapetik. Selain itu, pada S. cerevisiae apabila densitas sel tinggi maka akan memproduksi etanol yang bersifat toksik bagi sel. Oleh karena itu, jumlah protein yang disekresikan harus lebih rendah (Cregg et al. 1989, Daly & Hearn 2005). Peneliti lalu mencari sistem ekspresi eukariot lain yang dapat berperan sebagai sel inang yang efektif untuk memproduksi protein rekombinan tanpa kendala yang telah diuraikan dibagian sebelumnya. P. pastoris sebagai sistem ekspresi eukariot memiliki kemampuan untuk memproduksi protein, pelipatan protein dan modifikasi pasca translasi. Namun disisi lain P. pastoris mudah untuk dimanipulasi seperti E. coli dan S. cerevisiae. P. pastoris merupakan khamir metilotropik, yaitu khamir yang mampu menggunakan metanol sebagai sumber karbonnya (Cereghino & Cregg 2000). Terdapat tiga faktor yang menyebabkan P. pastoris sangat baik untuk produksi protein rekombinan, yaitu : 1. Biomassa yang dihasilkan tinggi, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan dengan kultur S. cerevisiae 2. Memiliki promotor yang sangat kuat sehingga tingkat ekspresinya tinggi. Promotor gen AOX1 adalah promotor dari enzim alkohol oksidase yang dapat diinduksi oleh metanol. Jumlah alkohol oksidase di dalam sel bisa mencapai 30% dari total protein sel saat ditumbuhkan dengan substrat metanol. 3. Mensekresikan sangat sedikit protein native sehingga mempermudah proses purifikasi protein rekombinan yang disekresikan. 4. Tidak terjadi proses hiperglikosilasi pada protein rekombinan yang dihasilkan, dimana residu manosa yang ditambahkan hanya 8-14 residu untuk setiap rantai samping. 5. Pada struktur inti oligosakaridanya tidak terdapat ikatan 1,3- glikan yang menyebabkan efek hiper antigenik.
19
Vektor ekspresi P. pastoris biasanya dibuat untuk dapat berintegrasi ke dalam kromosom sehingga tidak akan terjadi masalah sedikitnya jumlah produk yang dihasilkan karena ketidakstabilan plasmid. Gen target dan marka seleksi ragi disisipkan ke kromosom melalui proses rekombinasi homolog antara DNA pada vektor dengan daerah yang homolog pada genom P. pastoris (Cregg et al. 2008). Vektor pPICZ dan pPICZα merupakan vektor ekspresi untuk P. pastoris yang memiliki tingkat ekspresi yang tinggi. Kedua vektor ini mempunyai marker seleksi antibiotik Zeocin sehingga proses seleksi dapat dilakukan secara langsung. Zeocin juga dapat digunakan untuk E. coli sehingga dapat mengurangi penggunaan antibiotik lain (Gambar 3) (Invitrogen 2008). Vektor pPICZ dan pPICZα memiliki : (1) promoter AOX1 untuk mengekspresikan protein dengan level tinggi yang diinduksi oleh metanol. (2) cterminal c-myc epitope dan urutan 6xhis untuk memudahkan proses deteksi dan purifikasi protein. (3) gen 5’AOX1 yang berfungsi untuk mengarahkan integrasi ke genom P. pastoris. Vektor pPICZα juga memiliki signal sekresi α-faktor yang berfungsi untuk menargetkan sekresi protein rekombinan ke medium (Invitrogen 2008).
Gambar 2 Peta vektor pPICZαA (Invitrogen 2008) Vektor untuk P. pastoris yang lain, seperti pGAPZ dan pGAPZα memiliki sifat yang berbeda dengan kedua vektor yang disebut terlebih dulu. Vektor ini dapat mengekspresikan protein tanpa memerlukan metanol sebagai penginduksi. Vektor ini memiliki promoter GAP untuk mengekspresikan protein dengan level tinggi, marker seleksi Zeocin untuk seleksi langsung, C-terminal c-myc epitope serta 6xHis untuk memudahkan proses deteksi dan purifikasi protein. pGAPZα juga mengandung signal sekresi α-faktor yang berfungsi untuk menargetkan sekresi protein rekombinan ke medium. P. pastoris telah banyak digunakan sebagai sel inang alternatif untuk ekspresi protein eukariot yang komplek. Khamir dapat melakukan proses
20
modifikasi pasca-translasi seperti pada sel mamalia, sel serangga atau sel tanaman. P. pastoris dilaporkan mampu mensintesa beberapa produk protein mamalia seperti human-Insulin, h-IFN-α1, porcine-Lactoferin, h-α-Glucosidase, h-EPO mutan (Skoko et al. 2003) dan beberapa protein antibodi (scFv) (Shi et al. 2003). Sementara itu produksi protein heterolog pada P. pastoris dilaporkan cukup beragam, mulai dari beberapa mg/L sampai beberapa g/L kultur. Perbedaan tingkat ekspresi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat dan asal protein target, perbedaan kodon, konstruksi vektor ekspresi, serta efisiensi sekresi protein ekstrasel. Peningkatan ekspresi protein rekombinan dapat dilakukan dengan cara optimasi kodon dari gen target dengan kodon preferensi dari sel inang (Cereghino & Cregg 2000). Green Fluorescent Protein (GFP) Green fluorescent protein (GFP) adalah protein yang ditemukan dari uburubur (Aequorea victoria) oleh Osamu Shimomura pada tahun 1962 pada saat meneliti aequorin. GFP berhasil diklon pertama kali pada tahun 1992 oleh Prasher dan kemudian diketahui terdiri atas 238 asam amino. Ketiga residu asam amino yaitu serin-tirosin-glisin pada posisi 65-67 berperan sebagai gugus kromofor yang menjadikan GFP dapat berfluoresensi. GFP telah diketahui bersifat non toksik dan dapat diekspresikan dalam jumlah yang cukup tinggi pada berbagai organisme yang berbeda dan sama sekali tidak berpengaruh pada efek fisiologinya. Ketika GFP difusikan dengan suatu protein target yang sedang diteliti maka protein tersebut dapat diekspresikan dan tetap aktif. Di sisi lain GFP sendiri tetap berfluoresensi (Tsien 1998). Berdasarkan sifat GFP di atas, maka GFP memiliki peranan yang sangat penting dalam penelitian di bidang biologi. GFP dapat digunakan sebagai pewarta dalam mempelajari proses-proses yang terjadi di dalam sel seperti proses transfer protein, mempelajari organel-organel yang terikat pada membran sel dan juga berperan dalam proses pencitraan sel serta jaringan (Huang & Shusta 2006). Roger Tsien (1998) menyebutkan bahwa GFP selain dapat diekspresikan pada E.coli dan C. elegans juga berhasil diekspresikan pada khamir Sacharomyces cerevisiae dan sel mamalia. Pada saat yang bersamaan juga diketahui bahwa GFP berhasil diekspresikan pada Drosophila melanogaster. Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan bahwa GFP dapat diekspresikan pada keempat jenis organisme model sehingga GFP dapat digunakan sebagai penanda genetik universal dalam penelitian di bidang biologi. Roger Tsien (1998) juga menyebutkan bahwa pembentukan gugus kromofor pada GFP terjadi pada proses pasca translasi dan hanya memerlukan molekul oksigen untuk mengaktifkannya. Oleh karena itu, GFP dapat diekspresikan pada semua organisme. Pada salah satu penelitian fusi GFP dengan fragmen antibodi untai tunggal (scFv) yang dilakukan oleh Huang dan Shusta (2006) diketahui bahwa fusi GFP dengan protein target akan lebih resisten terhadap proses degradasi apabila ditempatkan pada ujung karboksi. Enhanced Green Fluorescent Protein (EGFP) adalah salah satu varian mutan GFP yang mengalami mutasi pada gugus kromofornya, yaitu substitusi Phe-64 menjadi Leu dan Ser-65 menjadi Thr. Mutasi substitusi ini menyebabkan EGFP berpendar 35 kali lebih terang intensitasnya dibandingkan GFP (Wang et al. 2003).
21
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2011 sampai Oktober 2012, bertempat di Laboratorium Protein, Vaksin dan Sistem Penghantaran Terarah, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor. Bahan dan Metode Gen, Plasmid dan Mikroorganisme Gen scFv anti EGFRvIII dibuat secara sintetik dan diklon dalam plasmid pJ201 di DNA 2.0 Inc USA berdasarkan sekuen protein anti-EGFRvIII (Weber et al. 2009). Sekuen gen anti-EGFRvIII sintetik telah dioptimasi dengan kodon preferensi P. pastoris. Plasmid yang dihasilkan disebut pAF-scFv-01 (Gambar 3). Plasmid pPICZαA (Invitrogen, USA) digunakan sebagai vektor ekspresi gen scFv pada sistem ekspresi P. pastoris. E. coli yang digunakan untuk kloning plasmid rekombinan adalah E. coli DH5α dan E. coli TOP10F’. P. pastoris SMD1168H (Invitrogen, USA) digunakan sebagai sel inang untuk ekspresi protein rekombinan. Plasmid pTZ_EGFP digunakan sebagai sumber gen gfp. Sekuen gen gfp pada pTZ_EGFP berasal dari pEGFP1 (Clontech, USA)
Gambar 3 Skema struktur plasmid pAF_scFv-01 Keterangan : VH= domain untai berat, VL= domain untai ringan, L= Linker, 6xH= polihistidin tag, X= kodon stop; XhoI, ClaI dan XbaI= situs restriksi, KanR= penanda resistensi antibiotik kanamisin. Fragmen antibodi scFv dibuat dalam 2 versi yang berbeda (Gambar 4). Fragmen scFv versi 1 (scFv-1) kemudian difusikan dengan gen gfp sebagai penanda. Fragmen scFv versi 2 (scFv-2) yang memiliki struktur VL-L-VH dibuat dengan teknik overlap extension PCR.
Gambar 4 Target konstruksi scFv anti-EGFRvIII Keterangan : A= scFv versi 1, B= scFv versi 2, C= Fusi scFv versi 1 dengan gen gfp
22
Media Media-media yang digunakan dalam penelitian ini adalah Luria Bertani (LB), Low Salt Luria Bertani (LSLB), YPD, YPDS, BMGY, BMMY dan 2xYT. Komposisi media dapat dilihat pada lampiran. Primer DNA yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Primer yang digunakan dalam penelitian. NO. 1. 2. 3. 4. 5.
NAMA PRIMER VH101-F VH101-R VL101-F VL101-R Linker101-F
6.
Linker101-R
7. 8. 9. 10. 11.
VH101-F-NdeXho VL101-R-NdeXho EGFP-F EGFP-R EGFP-F-G4S-Cla
12. 13. 14.
EGFP-R-Cla AOX-F AOX-R
URUTAN NUKLEOTIDA 5’-CAA GTT CAA TTG GTT GAG TCA GGA G-3’ 5’-AGA CGA CAC TGT TAC CAG CGT-3’ 5’-GAT ATT GTT ATG ACC CAA ACA CCA TTG TC-3’ 5’-TTT GAT TTC GAC TTT AGT TCC TTG ACC A-3’ 5’- GGT CAA GGA ACT AAA GTC GAA ATC AAA GGA GGT GGC GGT TCC GGT GGTGGTGGT AGT GGT-3’ 5’- CTC CTG ACT CAA CCA ATT GAA CTT GTG AAC CTC CTC CAC CAC TAC CAC CACCAC CGG AA-3’ 5’- CAT ATG CTC GAG AAG AGG GAG-3’ 5’- CAT ATG CTCGAG TCA TTA ACA ATG ATG-3’ 5’- ATG GTG AGC AAG GGC GAG GAG-3’ 5’- CTT GTA CAG CTC GTC CAT GCC G-3’ 5’- GGG ATC GAT GGA GGT GGC GGT TCT ATG GTG AGC AAG GGC GAG GAG -3’ 5’- GGG ATC GAT CTT GTA CAG CTC GTC CAT GCC -3’ 5’- GAC TGG TTC CAA TTG ACA AGG-3’ 5’- GCA AAT GGC ATT CTG ACA TCC-3’
Prosedur Kerja Subkloning gen scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi Gen scFv pada plasmid pAF-scFv-01 memiliki struktur VH-L-VL (disebut scFv-1). VH adalah fragmen variabel untai berat, VL fragmen variabel untai ringan dan L adalah peptida penghubung (linker) yang menghubungkan VH dan VL. Linker (L) yang digunakan memiliki sekuen (G4S)3. Subkloning gen scFv ke dalam plasmid pPICZαA diawali dengan proses amplifikasi gen scFv pada plasmid pAF-scFv-01 menggunakan pasangan primer VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho untuk menghasilkan fragmen scFv. Produk PCR scFv dan vektor pPICZαA kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi XhoI. Fragmen antibodi dan plasmid pPICZαA yang telah dipotong selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa (1%). Kedua komponen tersebut kemudian diisolasi dari gel agarosa menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid). Hasil isolasi DNA diverifikasi dengan elektroforesis. Ligasi antara plasmid pPICZαA dan fragmen antibodi dilakukan menurut protokol umum biologi molekuler (Ausubel et al. 2002). Hasil ligasi kemudian ditransformasikan pada E. coli TOP10F’ dengan metoda Heat Shock dan disebar pada media LSLB yang mengandung zeocin (25 µg/ml). Analisis PCR koloni dilakukan secara langsung menggunakan E. coli sebagai sumber DNA untuk mengetahui adanya DNA sisipan pada plasmid rekombinan. Primer yang digunakan adalah primer spesifik gen target, yaitu VH101-F dan VL101-R. Selanjutnya plasmid rekombinan diekstraksi dari klon E. coli yang positif mengandung gen target. Verifikasi selanjutnya dilakukan untuk menentukan orientasi gen dalam konstruk dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan VH101-R. Plasmid
23
rekombinan kemudian dianalisis dengan cara pemotongan menggunakan enzim restriksi XhoI. Klon yang menunjukkan hasil positif kemudian dipersiapkan untuk analisis urutan nukleotida (sekuensing DNA). Plasmid yang diperoleh disebut pPICZαA_scFv_1. Klon dengan urutan nukleotida yang tepat digunakan dalam langkah berikutnya yaitu fusi gen scFv dengan gen gfp. Fusi Gen scFv dengan gen gfp Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv_1 digunakan untuk fusi gen scFv dengan gen gfp. Gen gfp difusikan pada ujung-C dari scFv. Gen gfp diamplifikasi dari plasmid pTZ-EGFP menggunakan pasangan primer EGFP-F-G4S-ClaI (forward) dan EGFP-R-ClaI (reverse). Gen gfp hasil PCR dan plasmid pPICZαA_scFv dipotong dengan enzim restriksi ClaI. Selanjutnya gen gfp diligasikan dengan plasmid pPICZαA_scFv. Hasil ligasi ditransformasikan ke dalam E.coli TOP10F’. Sel tansforman diseleksi pada medium LSLB yang mengandung antibiotik zeocin (25 µg/ml). Untuk memperoleh klon plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP yang tepat, dilakukan analisis lebih lanjut dengan teknik PCR. Pertama, PCR koloni dilakukan terhadap beberapa klon yang tumbuh dalam media seleksi menggunakan primer AOX1-F (forward) dan AOX1-R (reverse). Klon yang memberikan hasil positif kemudian diekstraksi dari E. coli. Kedua, PCR plasmid dilakukan terhadap klon yang positif mengandung gen sisipan (egfp) menggunakan primer EGFP-F (forward) dan AOX-R (reverse) untuk menentukan orientasi gen pada plasmid. Plasmid rekombinan yang diperoleh (pPICZαA_scFv(1)_EGFP) kemudian dipotong dengan enzim restriksi ClaI. Beberapa klon plasmid rekombinan dengan fusi scFv-EGFP yang tepat kemudian disiapkan untuk analisis urutan nukleotida. Klon dengan urutan DNA yang tepat digunakan untuk tahap selanjutnya dan plasmid yang diperoleh disebut sebagai pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Introduksi Plasmid Rekombinan ke dalam P. pastoris Sebanyak 5-10 µg plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dilinearisasi dengan cara dipotong menggunakan enzim SacI. Hasil pemotongan diperiksa dengan elektroforesis. Plasmid yang telah terpotong diisolasi dari gel agarosa menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid, USA). Sel kompeten P. pastoris disiapkan menurut protokol dari produsen pada manual Easy SelectTMPichia Expression Kit (Invitrogen). Transformasi P. pastoris dilakukan dengan metoda elektroporasi. Sebanyak 80 µl sel kompeten P. pastoris yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam kuvet elektroporasi steril (2 mm gap) kemudian diinkubasi dalam es. Ke dalam kuvet yang sama dimasukkan 5-10 µg DNA (dalam 10 µl air steril) dan diaduk perlahan (kuvet digoyang dengan ujung jari). Kuvet, sel dan DNA diinkubasi dalam es selama 5 menit. Elektroporasi dilakukan menggunakan elektroporator (Gene Pulser BioRad, USA). Kondisi elektroporasi adalah kondisi optimal yang dasarankan oleh produsen alat (BioRad, USA), yaitu 2000V, 25uF, 200ohm, 5 msec dengan kuvet 2mm gap dan 40 ul suspensi sel. Segera setelah elektroporasi dilakukan, ditambahkan 1 ml sorbitol (1M, 0°C) ke dalam kuvet. Kemudian isi kuvet ditransfer ke dalam tabung 1,5 ml steril dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 1-2 jam. Sel hasil elektroporasi disebar pada cawan yang mengandung medium agar YPDS dengan 100 µg/ml zeocin dengan
24
volume beragam pada setiap cawan (50, 25 dan 20 µl). Cawan diinkubasi selama 2-4 hari pada suhu 30°C sampai terlihat koloni yang tumbuh. Selanjutnya koloni tersebut ditumbuhkan kembali pada media YPD baru yang mengandung zeocin dengan konsentrasi zeocin meningkat untuk proses seleksi. Sel P. pastoris transforman diseleksi pada medium YPD dengan beberapa konsentrasi zeocin meningkat, yaitu 200, 300 dan 1000 µg/ml untuk mendapatkan transforman yang memiliki stabilitas genetik tinggi dan jumlah salinan gen lebih dari satu. Pengujian tersebut dilakukan dengan memilih koloni yang tumbuh baik pada media YPD dengan konsentrasi zeocin 100 µg/ml. Koloni tersebut kemudian digoreskan pada medium YPD dengan konsentrasi zeocin 200 µg/ml. Kultur kemudian diinkubasi selama 1-2 hari pada suhu 30°C. Koloni yang tumbuh baik pada medium tersebut kemudian digoreskan pada media dengan konsentrasi zeocin 300 µg/ml dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 1-2 hari. Hal yang sama dilakukan pada media dengan zeocin 1000 µg/ml. Koloni yang tumbuh dengan baik pada media dengan konsentrasi zeocin tertinggi digunakan untuk uji ekspresi protein. Uji Ekspresi Protein Rekombinan Skala Kecil Sebanyak 2 ml media BMGY diinokulasi dengan satu koloni transforman kemudian diinkubasi dalam incubator shaker pada suhu 28-30°C dengan agitasi 200 rpm selama 16-18 jam sehingga kultur mencapai nilai OD600 = 2-6. Sel kemudian dipanen dengan cara sentrifugasi pada 3000 g selama 5 menit pada suhu ruang. Supernatan didekantasi kemudian sel pelet diresuspensi dengan 5 ml medium BMMY hingga OD600 = 1. Kultur kemudian diinkubasi dalam incubator shaker pada suhu 28-30 °C, 200 rpm, selama 72 jam. Metanol ditambahkan ke dalam media induksi hingga konsentrasi akhir 0,5% (v/v) setiap 12 jam untuk induksi ekspresi protein rekombinan. Pengambilan contoh sebanyak 300 μl untuk analisis ekspresi protein rekombinan dilakukan pada jam ke 0, 24, 48 dan 72. Analisis Ekspresi Protein Rekombinan Sel Pichia transforman dan non transforman diamati dengan mikroskop fluoresens Leica DM 1000. Pengamatan dilakukan terhadap ekspresi EGFP yang akan berpendar hijau dibawah pengamatan mikrokop fluoresens. Sampel adalah sel yang diambil setiap 24 jam setelah induksi dengan methanol, yaitu sampel setelah 24, 48 dan 72 jam induksi. Sebanyak 5-10 μl sel diteteskan pada kaca preparat dan dilihat dengan menggunakan mikroskop fluoresens. Protein rekombinan yang diekspresikan dianalisis menggunakan SDSPAGE (konsentrasi poliakrilamid 12%) dan Slot Blot (immunoblotting). Prosedur SDS-PAGE dilakukan sesuai metode dari Ausubel et al (2002) dengan pewarnaan coomassie blue. SDS-PAGE dimulai dengan pembuatan gel poliakrilamid 12% yang terdiri dari stacking dan separating gel (lampiran). Sampel yang dianalisis merupakan supernatan yang telah dipresitasi sebelumnya dengan menggunakan larutan TCA 100% (trichloroacetic acid) menurut Sanchez (2001). Metode Slot Blot dilakukan sesuai dengan metode dari Amersham Bioscience (2011). Peralatan Slot Blot dan membran niroselulosa dipasang dan kemudian dihubungkan dengan pompa vakum. Sampel protein yang sebelumnya telah dilarutkan dalam buffer TBS dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat pada alat Slot Blot. Setelah pompa vakum dinyalakan, maka sampel ditransfer ke
25
membran niroselulosa. Membran nitroselulosa kemudian direndam dan digoyang dengan larutan blocking (lampiran) selama 1 jam. Membran lalu dicuci dengan larutan washing (lampiran) sebanyak 3 kali masing-masing selama 15, 5 dan 5 menit. Membran kemudian direndam dan digoyang dengan antibodi primer yang dicampur dengan larutan blocking dengan perbandingan 1:2500 selama 1 jam lalu dicuci seperti pada langkah sebelumnya. Membran lalu direndam dan digoyang lagi dengan antibodi sekunder yang telah dicampur dengan larutan blocking dengan perbandingan 1:2500 selama 1 jam. Membran kemudian dicuci lagi sesuai dengan langkah sebelumnya dan ditambahkan developer yaitu Western Blue Stabilized Substrate for Alkaline Phosphatase (Promega, USA). Oleh karena fusi protein scFv-EGFP mengandung His-tag, maka antibody primer yang digunakan adalah mouse anti-His (Promega, USA). Antibodi sekunder yang digunakan adalah goat anti-mouse IgG-AP conjugate (Santa Cruz, USA). Konstruksi scFv-2 (VL-L-VH) Fragmen scFv-2 dibuat dengan menggunakan sekuen scFv-1 sebagai cetakan. Dua pasang primer VH-F/VH-R dan VL-F/VL-R digunakan masingmasing untuk amplifikasi fragmen VH dan VL. Pasangan primer linker –F dan linker-R digunakan untuk mengkonstruksi fragmen linker yang masing-masing memiliki daerah overlap dengan fragmen VH dan VL. Fragmen VH, VL dan linker masing-masing diamplifikasi secara terpisah. Produk PCR selanjutnya dipurifikasi dari gel agarose dengan menggunakan kit dari GeneAid. Fragmen scFv-2 (versi-2) ini dikonstruksi dengan metode PCR menggunakan teknik overlap extention PCR dengan menggabungkan ketiga produk PCR tersebut (VH, VL dan Linker) dalam satu reaksi PCR. Produk DNA target, yaitu untai VL—L— VH, diamplifikasi dengan pasangan primer VL-F/VH-R. Produk PCR yang dihasilkan dianalisis dengan elektroforesis gel agarose (1 %) dan pita DNA target diisolasi dari gel agarose menggunakan Gel DNA Extraction Kit (GeneAid). Selanjutnya fragmen scFv-2 ini diklon kedalam plasmid kloning pTZ57R (Fermentas) dan ditransformasikan pada E. coli DH5. Transformasi dilakukan menggunakan Bacterial Transformation Kit (Fermentas). E. coli transforman diseleksi menggunakan medium agar LB yang mengandung ampisilin, IPTG dan X-Gal. Beberapa klon transforman yang mengandung plasmid rekombinan dengan DNA sisipan yang tepat dipilih untuk dilakukan analisis sekuen DNA. Semua primer yang digunakan dalam proses konstruksi scFv-2 dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan proses PCR dapat dilihat pada Gambar 5.
26
Gambar 5 Skema PCR untuk kosntruksi scFv versi 2
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Subkloning scFv-1 (VH-L-VL) ke dalam Vektor Ekspresi Fragmen gen scFv-1 yang terdapat di dalam plasmid pAF_scFv-1 diklon ke dalam vektor ekspresi pPICZαA. Fragmen scFv diperoleh melalui amplifikasi gen scFv-1 pada pAF_scFv-1 dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer VH101-F-NdeXho dan VL101-R-NdeXho. Situs restriksi XhoI yang diperlukan untuk proses subkloning gen ke dalam pPICZαA ditambahkan pada kedua ujungnya. Hasil amplifikasi PCR dari gen scFv-1 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Produk amplifikasi PCR plasmid pAF-scFv-1 dengan pasangan primer VH101-F-NdeXho dan VL101F-R-NdeXho. Keterangan : M= Marka DNA berukuran 1 kb, Lajur 1 dan 2= produk PCR gen scFv Produk PCR menunjukkan pita DNA dengan ukuran 759 pb (Gambar 6). Produk PCR dan vektor pPICZαA kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi XhoI untuk mempermudah proses kloning ke dalam vektor ekspresi pPICZαA. Hasil restriksi kemudian diperiksa dengan elektroforesis pada gel agarosa 1% (Gambar 7).
28
Gambar 7 Hasil potong vektor pPICZαA dan gen scFv hasil PCR dengan enzim XhoI. Keterangan : M= Marka DNA berukuran 1 kb, Lajur 1= Vektor pPICZαA (tidak dipotong), Lajur 2= Vektor pPICZαA dipotong dengan enzim XhoI, Lajur 3= gen scFv, Lajur 4= gen scFv dipotong dengan enzim restriksi XhoI. Proses kloning berikutnya adalah ligasi dan transformasi ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas (heat shock). Dari hasil transformasi diperoleh sebanyak 42 koloni yang diduga membawa fragmen scFv yang diinsersikan (Gambar 8). Nilai efisiensi transformasi yang dihasilkan adalah sebesar 2,47 x 103 cfu/µg DNA plasmid. Rendahnya nilai efisiensi transformasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah konsentrasi DNA plasmid yang digunakan pada saat proses ligasi terlalu rendah, perbandingan antara komponen DNA plasmid dan DNA gen sisipan yang belum optimal, suhu inkubasi pada saat proses ligasi yang belum optimal dan aktivitas enzim ligase yang digunakan. (Brown 2006; Glick & Pasternak 1994).
Gambar 8
Hasil Transformasi pPICZαA_scFv-1 ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas. Keterangan : K= koloni E. coli transforman
29
Koloni E. coli yang tumbuh diduga mengandung sisipan gen scFv. Koloni E. coli tersebut diverifikasi dengan beberapa cara, diantaranya adalah teknik PCR koloni, pengecekan orientasi gen dalam konstruksi, pemotongan menggunakan enzim restriksi XhoI dan analisis sekuen DNA.
Gambar 9 Posisi penempelan primer VH101-F dan VL101-R pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 PCR koloni dilakukan untuk memverifikasi keberadaan sisipan gen scFv di dalam plasmid rekombinan pPICZαA_scFv. PCR koloni dilakukan dengan menggunakan pasangan primer VH101-F dan VL101-R (Tabel 1). Posisi penempelan primer pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil PCR koloni menunjukkan bahwa dari 42 sampel koloni yang diperiksa diperoleh 16 sampel yang diduga positif mengandung sisipan gen scFv. Dengan kata lain hanya 38% sampel yang diduga positif mengandung gen scFv. Rendahnya jumlah sampel positif kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan proses ligasi. Proses ligasi akan memberikan hasil optimal apabila komponen-komponen yang terlibat dalam proses ligasi dan prosesnya itu sendiri berada dalam kondisi optimum. Komponen ligasi yang penting adalah DNA plasmid, DNA gen sisipan dan enzim ligase. Perbandingan antara DNA plasmid dan DNA gen sisipan akan sangat menentukan keberhasilan suatu proses ligasi. Perbandingan yang tidak tepat antara DNA plasmid dengan DNA gen sisipan akan membuat komponen tersebut tidak akan mengalami ligasi yang diharapkan yaitu antara DNA plasmid dengan DNA gen sisipan. Konsentrasi enzim ligase dan waktu serta suhu inkubasi juga mempengaruhi keberhasilan proses ligasi. Suhu yang tidak tepat akan menyebabkan enzim ligase yang digunakan tidak bekerja optimal. Demikian pula dengan konsentrasi enzim ligase yang digunakan. Gambar 10 memperlihatkan sebagian hasil PCR koloni dari 42 koloni yang tumbuh. Pada Gambar 10 terlihat bahwa klon pada kolom ke-2, 3, 4, 5, 8 dan 9 diduga mengandung sisipan gen scFv dengan ukuran sebesar 711 pb. Sampel tersebut kemudian diverifikasi dengan langkah berikutnya yaitu penentuan orientasi dari struktur scFv.
30
Gambar 10 Hasil PCR koloni transforman pPICZαA_scFv dengan menggunakan primer VH101-F dan VL101-R. Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, (K+)= Hasil PCR koloni dengan cetakan plasmid pAF-scFv-01, Lajur 1-10= transforman pPICZαA_scFv
Gambar 11 Posisi penempelan primer AOX-F dan VH101-R pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 Penentuan orientasi struktur scFv dilakukan dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer AOX-F dengan VH101-R. Penentuan orientasi konstruk dilakukan untuk mengetahui posisi dari sisipan gen scFv telah tepat atau belum, karena terdapat kemungkinan terjadinya orientasi yang salah dari gen scF. Kesalahan ini dapat disebabkan oleh pada saat pemotongan plasmid hanya digunakan satu enzim restriksi (XhoI) sehingga kemungkinan kesalahan orientasi akan sangat besar. Pemilihan primer yang digunakan yaitu AOX-F dan VH101-R selain untuk menentukan orientasi juga dipilih untuk mengetahui apakah proses fusi antara α-faktor telah terjadi atau belum. Posisi penempelan primer pada proses pengecekan orientasi konstruk dapat dilihat pada Gambar 11. Apabila sampel memiliki orientasi yang tepat, maka produk PCR yang terbentuk sebesar 750 bp . Gambar 12 memperlihatkan hasil penentuan orientasi konstruk.
31
Gambar 12 Hasil PCR penentuan orientasi gen scFv dalam konstruk pPICZαA_scFv dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan VH101-R. Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman Penentuan orientasi konstruk yang dilakukan terhadap 16 sampel klon yang diduga mengandung DNA sisipan diperoleh 8 klon yang mengandung gen scFv dengan orientasi yang tepat yaitu sebesar 50%. Hasil ini lebih rendah dari nilai yang diharapkan yaitu sekitar 80%. Orientasi gen sisipan di dalam konstruk menentukan aktivitas dari protein yang diekspresikan. Orientasi yang salah akan menyebabkan protein target tidak terekspresi. Gambar 12 menunjukkan sebagian hasil pengecekan orientasi konstruk yang positif, yaitu klon pada lajur ke-2, 3, 4, 5, 7 dan 8. Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI dilakukan untuk memastikan keberadaan sisipan gen scFv yang terfusi pada situs restriksi tertentu (XhoI). Gambar 13 memperlihatkan hasil pemotongan 8 sampel yang dipotong dengan menggunakan enzim restriksi XhoI. Klon pada kolom ke-4 sampai 10 memberikan 2 pita yaitu pita a yang berukuran 3600 pb dan pita b yang berukuran 750 pb. Pita a diduga merupakan vektor pPICZαA sedangkan pita b merupakan sisipan gen scFv. Hasil pemotongan menggunakan enzim restriksi XhoI dari 8 sampel yang dipotong diperoleh 7 klon sampel yang diduga mengandung sisipan gen scFv. Gambar 13 lajur 11 menunjukkan bahwa satu klon yang dipotong tidak memberikan pita seperti yang diharapkan, yaitu pita a (3600 pb) dan pita b (750 pb). Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan tidak terpotongnya plasmid rekombinan pada kedua situs restriksi XhoI. Diantaranya adalah kemungkinan terjadinya mutasi pada salah satu situs restriksi XhoI yang terdapat pada klon tersebut.
32
Gambar 13 Hasil pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi XhoI terhadap plasmid rekombinan pPICZαA_scFv. Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1= pPICZαA, lajur 2= pPICZαA dipotong dengan enzim restriksi XhoI, lajur 3= pPICZαA_scFv, lajur 4-11= pPICZαA_scFv dipotong dengan enzim restriksi XhoI, a= pPICZαA, b= sisipan gen scFv Analisis sekuen dilakukan terhadap 7 klon yang memberikan hasil positif dengan pengecekan bertahap yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Analisis sekuensing dilakukan untuk memperkuat hasil analisis dengan menggunakan teknik PCR dan pemotongan dengan enzim restriksi tertentu, karena analisis tersebut tidak dapat mendeteksi terjadinya mutasi pada urutan DNA plasmid rekombinan yang diperoleh. Analisis sekuensing juga dilakukan untuk mengetahui fusi antara α-faktor dengan gen scFv telah terjadi pada kerangka baca terbuka yang tepat. Analisis sekuensing dilakukan dengan menggunakan primer AOX-Forward. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa 2 sampel yaitu klon no. 21 dan 41 memiliki urutan DNA yang sesuai dengan sekuen DNA gen sintetik yang dibuat (Lampiran 3). Lampiran 3 menunjukkan bahwa proses subkloning scFv telah berhasil dilakukan ke dalam vektor pPICZαA pada situs restriksi XhoI. Lampiran 3 juga menunjukkan fusi antara α-factor signal sequence dengan fragmen scFv. α-factor signal sequence berfungsi sebagai perangkat untuk mengarahkan sekresi protein rekombinan ke dalam medium (sekresi ekstraselular) (Cregg et al. 1993). Fusi Gen scFv Versi 1 dengan gen egfp Fusi gen scFv dengan penanda EGFP dilakukan untuk mempermudah proses pendeteksian ekspresi protein rekombinan pada P. pastoris (Morino et al. 2001). Gen egfp diperoleh melalui teknik amplifikasi PCR dengan menggunakan plasmid PTZ_EGFP sebagai cetakan. Proses PCR dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan menggunakan primer EGFP-F dan EGFP-R untuk memperoleh fragmen gen egfp. Tahap kedua dilakukan dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F-G4S-ClaI dan EGFP-R-Cla untuk
33
menambahkan situs restriksi ClaI yang diperlukan untuk proses fusi gen scFv dengan gen egfp.
Gambar 14 Hasil amplifikasi (tahap pertama) dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan EGFP-R Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, lajur 1&2= produk PCR gen egfp tahap pertama. Pada amplifikasi gen egfp tahap pertama dengan pasangan primer EGFP-F dan EGFP-R diperoleh produk PCR dengan ukuran 717 pb (Gambar 14). Produk PCR yang diperoleh kemudian dijadikan sebagai cetakan untuk proses PCR tahap kedua. Proses PCR tahap kedua yang menggunakan pasangan primer EGFP-G4SClaI dan EGFP-R-ClaI diperoleh produk PCR dengan ukuran 759 pb (Gambar 15). Amplifikasi gen egfp dengan teknik PCR 2 tahap ini diperlukan untuk mengintroduksi situs restriksi ClaI yang dibutuhkan untuk proses subkloning ke dalam vektor. Pasangan primer yang digunakan pada PCR tahap kedua memiliki situs restriksi ClaI sehingga pada waktu proses subkloning hanya diperlukan 1 situs restriksi. Produk ini kemudian dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA Fragment Extraction Kit dari GeneAid.
Gambar 15 Hasil amplifikasi gen egfp dengan PCR tahap kedua menggunakan pasangan primer EGFP-G4S-ClaI dengan EGFP-R-ClaI. Keterangan : M= marka DNA 1 kb, lajur 1&2= produk PCR gen egfp tahap kedua. Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1) dan gen egfp kemudian dipotong dengan enzim restriksi ClaI. Gen egfp kemudian disubklon ke dalam plasmid
34
pPICZαA_scFv-1 melalui proses ligasi dan transformasi plasmid rekombinan ke dalam E. coli TOP10F’ dengan metoda kejut panas (heat shock). Gen egfp difusikan pada ujung-3’ dari gen scFv. Ligasi antara plasmid rekombinan pPICZαA_scFv dengan gen egfp menghasilkan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Gambar 16 menunjukkan hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli TOP10F’. Hasil transformasi E. coli dengan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP yang tumbuh pada media LSLB agar yang mengandung zeocin 25 µg/ml mencapai 865 koloni (Tabel 2). Sementara itu, dari proses religasi plasmid tanpa DNA sisipan yang digunakan sebagai kontrol tumbuh 442 koloni. Melihat hasil transformasi tersebut maka diduga hanya sekitar 51% koloni yang tumbuh pada media seleksi tersebut merupakan koloni yang membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP. Salah satu faktor penyebab rendahnya presentase koloni yang diduga membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP adalah kemungkinan pada saat proses defosforilasi enzim alkalin fosfatase tidak bekerja secara optimal karena suhu dan waktu inkubasi yang tidak tepat. Akibatnya masih banyak plasmid yang mengalami religasi (Glick & Pasternak 1994). Proses yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi koloni yang membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP antara lain dengan teknik verifikasi menggunakan PCR koloni terhadap keberadaan gen egfp, penentuan orientasi konstruk fusi scFv dengan gen egfp, pemotongan plasmid rekombinan dengan enzim restriksi ClaI dan analisis sekuensing plasmid rekombinan yang diperoleh.
Gambar 16 Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada E. coli TOP10F’
35
Tabel 2 Hasil Transformasi Plasmid Rekombinan pPICZαA_scFv(1)_GFP pada E. coli TOP10F’ Plate A B Religasi 1 87 120 1 20 97 198 2 33 209 124 3 33 229 4 35 121 5 Jumlah 122 743 442 Keterangan : A= Ligasi pPICZαA_scFv dengan EGFP dengan perbandingan 1:4, B= Ligasi pPICZαA_scFv dengan EGFP dengan perbandingan 1:8, Religasi = pPICZαA_scFv.
Gambar 17 Posisi penempelan primer pada proses PCR koloni dengan menggunakan primer AOX-F dan AOX-R PCR koloni dilakukan terhadap 115 koloni transforman yang tumbuh yang dipilih secara acak dari semua plate. PCR koloni dilakukan dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan AOX-R. Posisi penempelan primer AOX-F dan AOX-R pada plasmid rekombinan dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil analisis pada gel agarosa (Gambar 18) menunjukkan terdapat 2 pita produk PCR yang berukuran 2000 pb dan 1200 pb (lajur no. 1 dan 5). Sampel transforman yang memberikan produk PCR dengan ukuran sekitar 2000 pb diduga membawa DNA sisipan gen egfp. Sedangkan transforman yang memberikan produk PCR berukuran 1200 pb diduga tidak mengandung gen sisipan egfp. Hal ini diperoleh dari ukuran komponen plasmid rekombinan, yaitu α- faktor (500 pb), gen scFv (750 pb) dan gen egfp (800 pb). Hasil PCR koloni menunjukkan dari 115 koloni transforman yang diuji diperoleh 23 koloni transforman yang diduga membawa plasmid rekombinan pPICZαA_scFv_EGFP.
36
Gambar 18 Hasil PCR koloni transforman dengan menggunakan pasangan primer AOX-F dan AOX-R Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman
Gambar 19 Posisi penempelan primer pada proses orientasi konstruk dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R Proses verifikasi selanjutnya adalah penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOXR. Pasangan primer tersebut digunakan untuk menentukan posisi relatif dari sisipan gen egfp terhadap komponen lain di dalam konstruk plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP. Posisi penempelan pasangan primer EGFP-F dan AOXR pada plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dapat dilihat pada Gambar 19. Proses verifikasi dengan teknik PCR ini akan menghasilkan produk PCR yang berukuran 750 pb apabila memiliki gen sisipan egfp dengan orientasi yang tepat. (Gambar 20). Sebanyak 14 koloni transforman memberikan pita yang berukuran 750 pb yang berarti koloni tersebut diduga memiliki orientasi konstruk yang tepat, sedangkan 9 koloni lainnya (lajur no. 1, 2, 7 dan 11) tidak terdapat pita yang berukuran 750 pb. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena telah terjadi kesalahan orientasi gen egfp di dalam konstruk.
37
Gambar 20 Hasil PCR penentuan orientasi gen egfp di dalam konstruk dengan menggunakan pasangan primer EGFP-F dan AOX-R. Keterangan : M = marka DNA 1 kb, lajur 1-12 = sampel transforman Verifikasi dengan cara pemotongan menggunakan enzim restriksi ClaI dilakukan terhadap 14 sampel koloni transforman (Gambar 21). Hasil pemotongan dengan enzim restriksi ClaI seharusnya memberikan hasil 2 buah pita yaitu pita plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1) (4350 pb) dan pita gen egfp (800 pb), akan tetapi pada sampel plasmid hasil pemotongan dengan enzim restriksi ClaI tidak diperoleh kedua pita tersebut. Gambar 21 menunjukkan bahwa hasil pemotongan plasmid rekombinan dengan menggunakan enzim restriksi ClaI hanya diperoleh 1 pita DNA yang berukuran sekitar 5000 pb. Pita tersebut diduga diperoleh dari hasil pemotongan hanya pada satu situs restriksi ClaI sehingga plasmid rekombinan menjadi berbentuk linear akan tetapi tidak dapat mengeluarkan sisipan gen egfp. Hal ini dapat diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti aktivitas enzim restriksi ClaI yang berkurang atau karena telah terjadi mutasi pada situs restriksi ClaI. Untuk mengetahui penyebab tidak terbentuknya dua pita pada pemotongan dengan enzim restriksi ClaI maka dilakukan analisis sekuensing terhadap 4 sampel yang dipilih secara acak dari 14 koloni yang diperoleh untuk mengidentifikasi urutan nukleotida klon tersebut.
Gambar 21 Hasil pemotongan plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi ClaI. Keterangan : M= marka DNA 1 kb, 1= plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP, lajur 2-8= pPICZαA_scFv(1)_EGFP dipotong dengan enzim restriksi ClaI
38
Hasil analisis sekuensing terhadap 4 koloni transforman menunjukkan bahwa hanya satu klon, yaitu A3 yang memiliki plasmid rekombinan dengan urutan nukleotida yang tepat (Lampiran 4). Hasil sekuensing menunjukkan bahwa fusi antara gen scFv dengan gen egfp telah terjadi pada situs restriksi ClaI. Dua situs restriksi ClaI terdapat pada kedua ujung gen egfp (ujung-3’ dan ujung-5’). Hasil sekuensing ini belum dapat menjelaskan penyebab tidak terpotongnya plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP oleh enzim restriksi ClaI meskipun tidak terjadi mutasi pada situs restriksi tersebut. Penyebab tidak terpotongnya plasmid rekombinan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah aktivitas enzim ClaI yang digunakan kemungkinan belum optimal, suhu dan waktu inkubasi pada saat proses digesti dengan enzim restriksi yang kurang optimal atau kemungkinan karena telah terjadi proses metilasi pada situs restriksi ClaI. Hasil analisis sekuen DNA dari beberapa klon yang lain menunjukkan terjadinya mutasi baik pada bagian gen scFv maupun gen egfp. Introduksi Plasmid Rekombinan ke dalam P. pastoris P. pastoris yang digunakan sebagai inang dalam proses transformasi ini adalah P. pastoris SMD1168H yang memiliki genotip His4 dan pep4 serta fenotip Mut+, His- dan pep4-. Proses transformasi plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP ke dalam P. pastoris diawali dengan preparasi sel kompeten P. pastoris dan plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP. Sel kompeten P. pastoris dibuat sesuai dengan prosedur pembuatan sel kompeten Invitrogen Easy SelectTM Pichia Expression Kit. Plasmid rekombinan pPICZα_scFv(1)_EGFP diisolasi dari E. coli TOP10F’ (Gambar 22) dan kemudian dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA Fragment Extraction Kit dari GeneAid. Kemurnian dari plasmid yang akan ditransformasikan ke dalam P. pastoris akan sangat berpengaruh terhadap hasil transformasi. Pita DNA hasil isolasi (Gambar 22) menunjukkan adanya 3 pita DNA yang terbentuk. Diduga pita yang berada paling atas adalah pita DNA genom oleh karena itu harus dilakukan purifikasi terhadap preparasi plasmid tersebut. Plasmid rekombinan tersebut kemudian dipotong dengan menggunakan enzim restriksi SacI agar diperoleh DNA plasmid yang linear. Menurut Cregg et al. 1989 pemotongan DNA plasmid rekombinan ini bertujuan untuk meningkatkan hasil transformasi, karena DNA yang telah dipotong akan mengarahkan proses rekombinasi secara langsung pada sekuen DNA target, yaitu sekuen promotor AOX1. Di dalam Easy SelectTM Pichia Expression Kit disebutkan bahwa apabila digunakan plasmid DNA yang sudah dipotong (linearized) maka DNA yang diperlukan untuk proses transformasi sebesar 5-10 μg, sedangkan apabila digunakan DNA sirkular, maka dibutuhkan jumlah DNA yang jauh lebih besar yaitu 50-100 μg DNA. Plasmid yang telah dipotong dengan enzim restriksi SacI (Gambar 23) kemudian dipurifikasi lagi dengan menggunakan Gel/PCR DNA Extraction Kit dari GeneAid untuk menghilangkan komponen-komponen yang digunakan pada saat restriksi yang juga dapat mengganggu tingkat keberhasilan transformasi.
39
Gambar 22 Hasil isolasi DNA plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP Keterangan : K = kontrol plasmid pPICZαA_scFv, lajur 1&2= plasmid pPICZαA_scFv_EGFP
Gambar 23 Hasil potong plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan enzim restriksi SacI. Keterangan : M = marka DNA 1 kb, Lajur 1 = plasmid pPICZαA (tidak dipotong), Lajur 2 = plasmid pPICZαA dipotong dengan enzim restriksi SacI, Lajur 3 = plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP, Lajur 4-5 = plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP dipotong dengan enzim restriksi SacI. Konsentrasi DNA plasmid yang akan digunakan dalam proses transformasi ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan nanofotometer (Tabel 3). Hasil penentuan konsentrasi menunjukkan bahwa konsentrasi DNA plasmid yang diperoleh relatif kecil, sehingga bila kita mengacu pada jumlah DNA yang digunakan dalam protokol Easy SelectTM Pichia Expression Kit yaitu sebesar 5-10 µg, maka diperlukan volume yang banyak untuk mencapai jumlah DNA yang cukup untuk proses transformasi. Nilai konsentrasi DNA yang kecil akan mempengaruhi hasil transformasi baik dari segi jumlah transforman yang dihasilkan maupun keberhasilan proses integrasi DNA plasmid rekombinan ke dalam genom P. pastoris.
40
Tabel 3 Hasil penentuan konsentrasi dan kemurnian plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan menggunakan nanofotometer Sampel A260/280 Konsentrasi (ng/µl) 2,5 12,1 pPICZαA_scFv_EGFP (ekstraksi ke-1) 3,0 7,3 pPICZαA_scFv_EGFP (ekstraksi ke-2) Proses transformasi pada P. pastoris dilakukan sesuai dengan prosedur yang terdapat pada Easy SelectTM Pichia Expression Kit (Invitrogen) dengan metoda elektroporasi menggunakan alat elektroporator (BioRad). Proses elektroporasi yang dilakukan menggunakan protokol dan kondisi elektroporasi yang optimal untuk transformasi P. pastoris. Kondisi pada saat proses elektroporasi dapat dilihat pada Tabel 4. DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP sebanyak 20 µl (0,24 µg) ditransformasikan ke dalam 40 µl sel kompeten P. pastoris. Ke dalam campuran antara plasmid rekombinan dan sel kompeten kemudian ditambahkan 1 ml sorbitol 1 M segera setelah proses elektroporasi. Penambahan sorbitol bertujuan untuk menjaga tekanan osmotik sel agar tidak pecah setelah proses elektroporasi dan membantu sel untuk memperbaiki diri. Selain itu sorbitol juga berfungsi untuk menjaga agar DNA yang sudah masuk ke dalam sel tidak kembali lagi keluar sel (Invitrogen 2001). Tabel
4
Kondisi pada saat elektroporasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP dengan Elektroporator
Sampel
Waktu Pulsa (milisecond) 4,9 4,8
Tegangan (volt) 1977 1978
plasmid rekombinan menggunakan alat
pPICZαA_scFv_EGFP Kontrol Keterangan : kontrol (sel kompeten P. pastoris SMD1168H)
Kapasitas (µF) 25 25
Resisten (Ω) 200 200
Hasil transformasi plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris dapat dilihat pada Gambar 24. Tabel 5 menunjukkan jumlah koloni hasil transformasi dengan efisiensi transformasi sebesar 1,2 x 104 cfu/µg DNA. Menurut Invitrogen (2001), efisiensi transformasi dengan teknik elektroporasi berada pada kisaran 103-104 transforman/µg DNA plasmid. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya jumlah transforman yang dihasilkan. Hal yang pertama adalah DNA plasmid yang digunakan terlalu rendah konsentrasinya, yaitu hanya 0,24 μg. Sedangkan menurut prosedur yang terdapat pada Easy SelectTM Pichia Expression Kit DNA plasmid yang digunakan berkisar antara 5-10 μg untuk setiap proses transformasi. Faktor berikutnya adalah sel kompeten dan DNA plasmid tidak tercampur secara homogen. Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai efisiensi transformasi, diantaranya adalah waktu inkubasi yang terlalu singkat, kondisi pada saat elektroporasi dan preparasi sel kompeten juga harus dilakukan sebaik mungkin agar diperoleh sel kompeten yang berkualitas baik.
41
A
B
C
Gambar 24 Hasil transformasi pPICZαA_scFv(1)_EGFP pada P. pastoris Keterangan : A, B & C menunjukkan koloni P. pastoris hasil elektroporasi dan disebar pada medium seleksi YPDS + zeocin (100 µg/ml). Volume yang disebar : 50 μl (A), 25μl (B) & 20 μl (C) Tabel 5 Jumlah koloni hasil transformasi P. pastoris dengan plasmid pPICZαA_scFv(1)_EGFP Plate A B C Kontrol 1 41 73 19 3 2 85 76 155 0 3 0 37 18 0 Jumlah 126 186 192 3 Jumlah Total 504 3 Keterangan : A, B & C menunjukkan sel hasil elektroporasi yang disebar masingmasing 50 μl (A), 25μl (B) & 20 μl (C). Ada beberapa metoda transformasi yang dapat digunakan untuk P. pastoris, diantaranya adalah elektroporasi dan spheroplast. Metoda elektroporasi memiliki beberapa keunggulan dibanding metoda spheroplast. Keungguluan yang pertama adalah sangat efisien karena memungkinkan proses seleksi langsung pada media yang mengandung zeocin. Keunggulan yang kedua adalah metoda ini memberikan hasil transformasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metoda spheroplast (Cregg et al. 1985). Pada metoda spheroplast, dinding sel yang mengalami kerusakan akan memerlukan waktu untuk pemulihan sehingga meningkatkan sensitivitas sel terhadap zeocin. Oleh karena itu sel yang mungkin saja membawa plasmid rekombinan akan tidak dapat bertahan hidup sebelum sempat mengekspresikan gen resistensi zeocin yang telah dimiliki. Untuk memperoleh nilai efisiensi transformasi yang tinggi selain memperhatikan faktorfaktor yang telai diuraikan di bagian sebelumnya juga harus dilakukan optimasi proses elektroporasi agar diperoleh kondisi elektroporasi yang optimal. Seleksi P. pastoris Transforman Seleksi P. pastoris transforman dilakukan untuk mencari transforman yang memiliki stabilitas genetik dan kemungkinan jumlah salinan gen lebih dari 1. Dari 504 transforman yang diperoleh sebanyak 130 transforman diseleksi kembali pada media dengan konsentrasi zeocin yang meningkat, yaitu 200, 300 dan 1000 µg/ml. Hasil seleksi dan uji tumbuh galur transforman pada medium seleksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 25-28.
42
Tabel 6 Persentase hasil seleksi P. pastoris transforman Konsentrasi zeocin (μg/ml) 100 200 300 1000
Koloni yang diuji 130 128 96 15
Koloni yang tumbuh 128 96 21 -
Persentase (%) 96,46 75,00 21,88 0
Klon P. pastoris transforman yang sebelumnya tumbuh pada media dengan zeocin yang lebih rendah konsentrasinya, ternyata setelah ditumbuhkan kembali pada media dengan zeocin yang konsentrasi yang lebih tinggi klon tersebut tidak tumbuh. Hal ini kemungkinan disebabkan karena proses integrasi DNA pada klon tersebut tidak stabil. Hanya transforman yang DNA plasmid rekombinannya telah terintegrasi ke dalam genom yang dapat tumbuh dengan baik. Seleksi menggunakan media dengan konsentrasi zeocin yang tinggi dapat menghasilkan transforman yang lebih stabil dan plasmid rekombinan yang mengandung marka resistensi zeocin telah terintegrasi stabil di dalam sel (Cereghino et al. 2008). Transforman yang dapat tumbuh pada medium dengan konsentrasi zeocin 100 μg/ml hanya perlu memiliki 1 salinan gen, sedangkan untuk dapat tumbuh pada medium dengan kandungan zeocin 1000 μg/ml diperlukan sedikitnya 3 salinan dan 4 salinan gen untuk 2000 μg/ml zeocin. Peningkatan konsentrasi zeocin yang digunakan pada medium seleksi akan menghasilkan galur yang memiliki kestabilan genetik yang tinggi serta jumlah salinan gen lebih dari satu pada genom transforman tersebut. Jika transforman masih dapat tumbuh pada konsentrasi zeocin yang lebih tinggi diduga semakin banyak jumlah salinan gen yang terdapat pada galur transforman tersebut (Daly & Hearn 2005). Pada penelitian ini, transforman masih tumbuh dengan baik pada medium seleksi dengan kandungan zeocin 300 µg/ml. Pada medium seleksi dengan 1000 µg/ml zeocin sama sekali tidak ada transforman yang dapat tumbuh. Hal ini mengkin menunjukkan bahwa transforman yang diperoleh kemungkinan memiliki salinan gen lebih dari 1 seperti yang terdapat pada uraian sebelumnya. Menurut literatur lain, disebutkan bahwa transforman yang bisa tumbuh baik pada zeocin 1000 µg/ml memiliki jumlah salinan gen sebanyak 15-25 buah (Sarramegna et al. 2002).
43
Gambar 25 Hasil seleksi transforman P. pastorid pada media YPD agar yang mengandung zeocin 100 µg/ml Keterangan : A= media YPD agar; B, C, D & E= media YPD agar + zeocin 100 µg/ml
Gambar 26 Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang mengandung zeocin 200 µg/ml Keterangan : A= media YPD agar; B, C, D, E & F= media YPD agar + zeocin 200 µg/ml
44
Gambar 27 Hasil seleksi transforman P. pastoris pada media YPD agar yang mengandung zeocin 300 µg/ml Keterangan : A= media YPD agar; B, C & D= media YPD agar + zeocin 300 µg/ml
Gambar 28 Hasil seleksi transforman pada media YPD agar yang mengandung antibiotik zeocin 1000 µg/ml Keterangan : A= media YPD agar; B, C & D= media YPD agar + zeocin 1000 µg/ml
45
Uji Ekspresi dan Analisis Protein Rekombinan Skala Kecil Uji ekspresi protein rekombinan skala kecil dilakukan terhadap transforman yang tumbuh dengan baik pada konsentrasi zeocin 300 µg/ml (21 koloni transforman). Pengujian ini bertujuan untuk menguji transforman tersebut akan mengekspresikan protein rekombinan yang diinginkan. Proses ekspresi protein rekombinan terbagi dalam 2 tahap yaitu produksi biomassa sel P. pastoris transforman dan proses induksi protein fusi scFv-EGFP rekombinan. Proses produksi biomassa sel berlangsung dengan menggunakan media BMGY sedangkan proses induksi menggunakan media BMMY. Analisis protein rekombinan dilakukan terhadap sampel yang merupakan cairan kultur bebas sel. Protein dipresipitasi menggunakan larutan TCA. Hasil SDS PAGE (Gambar 29) dengan pewarna coomassie blue menunjukkan bahwa telah terbentuk beberapa pita protein yang diduga merupakan protein target yaitu fusi scFv-EGFP. Ukuran protein target dalam penelitian ini adalah 60 kDa. Gambar 29 memperlihatkan bahwa pita protein yang dihasilkan masih beragam karena protein rekombinan yang dihasilkan belum melalui proses purifikasi. Untuk mengkonfirmasi bila protein tersebut telah berhasil diekspresikan dari P. pastoris, maka diperlukan pengujian tambahan salah satunya dengan teknik immunoblotting dengan menggunakan antibodi spesifik.
Gambar 29 Hasil analisis ekspresi protein rekombinan dengan teknik SDS-PAGE Keterangan : M : marka protein 250 kDa, K1 dan K2 = kontrol pastoris, T1-T7 = P. pastoris transforman Analisis immunoblotting dengan teknik Slot Blot dilakukan untuk mengkonfirmasi ekspresi protein dan untuk melihat tingkat ekspresi protein rekombinan fusi scFv_EGFP (Gambar 30). Oleh karena fusi protein scFv-EGFP mengandung His-tag, maka antibodi primer yang digunakan adalah mouse antiHis (Promega, USA). Antibodi sekunder yang digunakan adalah goat anti-mouseAP conjugate (Santa Cruz, USA). Gambar 30 menunjukkan bahwa diperoleh berbagai tingkatan ekspresi protein rekombinan yang terlihat dari intensitas warna ungu yang dihasilkan. Semakin kuat intensitas warna ungu yang dihasilkan diduga semakin banyak protein rekombinan yang diproduksi oleh transforman tersebut.
46
Gambar 30 Hasil analisis immunoblotting menggunakan teknik Slot Blot terhadap sampel protein beberapa galur P. pastoris transforman. Keterangan : A= Air, M= Media, K= kontrol non transforman, T1-T9= sampel protein dari beberapa galur P. pastoris transforman. Gambar 30 menunjukkan bahwa galur P. pastoris transforman memiliki tingkat ekspresi yang beragam. Hal ini terlihat dari perbedaan intensitas warna antara galur yang satu dengan yang lainnya. Galur T2 terlihat memiliki intensitas warna ungu yang lebih tebal jika dibandingkan dengan galur yang lain, dan ini berarti bahwa galur T2 memiliki tingkat ekspresi paling tinggi. Sedangkan pada galur lain terlihat sangat tipis bahkan tidak terlihat sama sekali. Tidak terlihatnya warna ungu kemungkinan disebabkan oleh rendahnya afinitas antara antigen dengan antibodi yang digunakan serta preparasi sampel protein yang kurang baik pada proses blotting (Moore 2009). Sel transforman dan non transforman P. pastoris diamati dengan menggunakan mikroskop fluoresens Leica DM1000 (Gambar 31). Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan proses ekspresi protein rekombinan fusi scFv-EGFP dengan melihat pendaran EGFP pada panjang gelombang 450-490 nm (Morino et al. 2001). Fluoresensi diduga berasal dari EGFP yang berada pada bagian retikulum endoplasma, badan golgi atau terakumulasi di permukaan sel (Naumann et al. 2011).
Gambar 31 Hasil pengamatan sel transforman P. pastoris yang mengandung gen penanda GFP yang berfluoresen hijau. Keterangan : A= sel pada fase kontras, B= sel pada fase kontras & fluoresen, dengan perbesaran 100x. Nomor pada gambar menunjukkan nomor kloni transforman.
47
Pengamatan dengan menggukan mikroskop menunjukkan terlihat perbedaan antara kontrol P. pastoris non transforman (K) dengan P. pastoris transforman (diwakili oleh sampel no. 1, 6, 10 dan 100) yaitu pada fase kontras dan fase fluoresen. Pada fase tersebut P. pastoris transforman yang mengandung fusi scFvEGFP berfluoresen hijau (ditunjukkan oleh panah berwarna merah pada Gambar 30). Hasil pengamatan ini mempermudah proses pendeteksian keberhasilan transformasi fusi scFv-EGFP ke dalam P. pastoris. Selain galur-galur yang terlihat berfluoresensi yang menunjukkan terdapat fusi antara scFv dengan EGFP ditemukan juga beberapa galur yang tidak terlihat fluoresensinya. Penyebab tidak terlihatnya pendaran ini kemungkinan karena ekspresi protein belum optimal, ekspresi sebenarnya ada hanya jumlahnya terlalu sedikit atau sangat lemah sehingga tidak dapat terlihat dan mungkin karena beberapa galur tertentu memiliki tingkat ekspresi yang lebih rendah dibanding yang lain (Morino et al. 2001). Konstruksi ScFv Versi 2 (VL-L-VH) dengan Menggunakan Teknik Overlap Extension PCR Proses konstruksi scFv-2 dilakukan dengan teknik PCR menggunakan gen scFv-1 sebagai cetakan. Tahapan proses konstruksi dapat dilihat pada Gambar 5. scFv anti-EGFRvIII dibuat dalam dua versi berbeda dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh posisi domain VH, Linker dan VL terhadap aktivitas dan afinitas fragmen antibodi tersebut. Tidak ada suatu ketentuan umum yang menyatakan bahwa konstruk dengan susunan VH-L-VL lebih aktif daripada konstruk dengan susunan VL-L-VH. Aktivitas dan afinitas fragmen antibodi tersebut tergantung kepada gennya itu sendiri (Chang et al. 2008). Proses PCR bagian pertama terbagi ke dalam 3 tahap reaksi yang berbeda, yaitu untuk menghasilkan masing-masing fragmen VH, VL dan Linker. Proses konstruksi fragmen VH dilakukan dengan menggunakan pasangan primer VH101F dengan VH101-R. Enzim yang digunakan adalah KOD Hot Start DNA Polymerase. Suhu annealing yang digunakan pada reaksi PCR (60°C) ini merupakan hasil optimasi sehingga diperoleh pita yang paling baik kualitasnya. Proses konstruksi fragmen VH menghasilkan pita dengan ukuran 318 pb (Gambar 31). Proses konstruksi fragmen VL dilakukan dengan prosedur yang sama dengan proses konstruksi fragmen VH. Pasangan primer yang digunakan dalam proses konstruksi ini adalah VL101-F dan VL101-R. Pita yang dihasilkan dalam proses konstruksi fragmen VL berukuran 348 pb (Gambar 31). Tahapan konstruksi yang terakhir adalah konstruksi Linker yang akan menghubungkan fragmen VH dan VL. Linker dikonstruksi dengan menggunakan pasangan primer L101-F dan L101-R. Tahapan yang sangat kritis dalam pembuatan suatu fragmen antibodi scFv adalah tahapan konstruksi masing-masing domain VH, VL dan linker serta proses penyusunannya menjadi suatu kesatuan yang utuh (He et al. 2002).
48
Gambar 32 Hasil amplifikasi PCR fragmen VH, VL dan Linker. Keterangan : M= marka DNA 100 bp, lajur 1= fragmen VH, lajur 2= fragmen VL, lajur 3 fragmen Linker Proses PCR bagian kedua terdiri dari 2 tahap, yaitu untuk menggabungkan fragmen VL dengan Linker (VL-L) serta Linker dengan VH (L-VH). Proses ini kemudian diikuti dengan tahapan yang ketiga, yaitu menggabungkan bagian 1 (VL-L) dengan bagian 2 (L-VH). Proses ini dibedakan dalam 2 reaksi PCR. Reaksi yang pertama adalah penggabungan kedua bagian tersebut, sedangkan reaksi yang kedua adalah amplifikasi fragmen VL-L-VH yang telah terbentuk dari reaksi PCR sebelumnya. Rangkaian proses PCR ini menghasilkan fragmen scFv versi 2 dengan struktur VL-L-VH. Fragmen scFv versi 2 kemudian diinkubasi dengan enzim Taq Polymerase untuk menambahkan ujung A sehingga mempermudah proses kloning fragmen scFv versi 2 ke dlam vektor pTZ57R/T. Gambar 32 menunjukkan hasil purifikasi fragmen scFv versi 2 yang telah diinkubasi dengan enzim Taq Polymerase.
49
Gambar 33 Hasil amplifikasi PCR dan purifikasi fragmen scFv-2 menggunakan pasangan primer VL-F dan VH-R. Keterangan : M= Marka DNA 1 kb, Lajur 1 dan 2 = fragmen scFv versi 2 Proses berikutnya adalah subkloning fragmen scFv-2 ke dalam vektor pTZ57R/T. Hasil ligasi ditransformasikan pada E. coli DH5α. Hasil transformasi disebar pada media LB agar yang mengandung antibiotik ampicillin (50 μg/ml) yang telah ditambahkan X-Gal dan IPTG. Koloni yang tumbuh setelah diinkubasi selama 16-18 jam sebanyak 114 koloni (Gambar 34). Koloni tersebut semuanya berwarna putih. Koloni putih diduga membawa plasmid rekombinan yang diinginkan yaitu pTZ_scFv. Verifikasi terhadap koloni putih tersebut dilakukan dengan teknik PCR, pemotongan menggunakan enzim restriksi dan analisis sekuen DNA.
Gambar 34 Hasil transformasi plasmid rekombinan pTZ_scFv ke dalam E. coli DH5α Keterangan : A dan B = ulangan
50
Verifikasi pertama terhadap E. coli transforman yang diperoleh dilakukan dengan teknik PCR koloni untuk menentukan keberadaan gen sisipan (scFv) menggunakan pasangan primer VL101F-Xho dan VH101R-Xba. Reaksi PCR ini akan menghasilkan pita DNA yang berukuran sekitar 750 bp. PCR koloni dilakukan terhadap 71 klon E. coli yang dipilih secara acak. Koloni E. coli transforman yang diduga membawa plasmid rekombinan pTZ_scFv diperoleh sebanyak 19 klon (Gambar 35). Koloni E. coli transforman yang diduga membawa plasmid rekombinan pTZ_scFv ditunjukkan pada Gambar 35. Sampel tersebut kemudian diisolasi DNA plasmidnya untuk digunakan dalam proses verifikasi selanjutnya (Gambar 36).
750 pb
Gambar 35 Hasil PCR koloni E. coli transforman pTZ_scFv-2 Keterangan : M= marka DNA 1 kb, (K+)= kontrol positif pPICZαA_scFv, Lajur 1-11= sampel E. coli transforman, a= menunjukkan koloni transforman yang positif.
Gambar 36 Hasil isolasi DNA plasmid pTZ_scFv-2 dari beberapa klon E. coli ransforman.
51
Verifikasi kedua terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh dengan teknik PCR dilakukan untuk menetukan keberadaan gen target scFv-2 menggunakan plasmid rekombinan sebagai cetakan dan pasangan primer VL101F dengan VH101-R. Koloni transforman yang mengandung gen scFv-2 akan menghasilkan produk PCR berukuran 750 bp. Hasil amplifikasi PCR menunjukkan bahwa 17 dari 19 sampel yang diuji diduga mengandung gen scFv2 dan memiliki memiliki orientasi yang tepat (VL-L-VH) (Gambar 37).
Gambar 37 Hasil PCR plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan menggunakan pasangan primer VL101-F dan VH101-R Keterangan : M= marka DNA 1 kb, Lajur 1-11= sampel transforman pTZ_scFv, A= sampel transforman yang diduga memiliki orientasi yang tepat. Verifikasi ketiga terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh dilakukan dengan cara memotong plasmid tersebut (pTZ_scFv) menggunakan enzim restriksi XbaI (Gambar 38). Hasil pemotongan plasmid dengan XbaI akan menghasilkan dua buah pita, yaitu pita vektor (pTZ57R/T) yang berukuran 2886 pb dan pita gen scFv yang berukuran 750 pb. Dari hasil analisis potong tersebut didapat 7 sampel plasmid rekombinan yang terpotong dengan baik menggunakan enzim XbaI. Ketujuh plasmid rekombinan yang berasal dari 7 klon E. coli yang berbeda tersebut telah mengandung 2 situs restriksi XbaI yang tepat pada kedua ujungnya. Untuk memperoleh gen scFv-2 yang tepat masih diperlukjan verifikasi lebih lanjut yaitu melalui analisis sekuen DNA dari gen scFv-2 hasil konstruksi yang telah dilakukan.
52
Gambar 38 Hasil pemotongan plasmid rekombinan pTZ_scFv dengan menggunakan enzim XbaI. Keterangan : M= marka DNA 1 kb, Lajur1-12= sampel transforman pTZ_scFv, a= sisipan gen scFv Verifikasi keempat terhadap plasmid rekombinan yang diperoleh dilakukan dengan analisis sekuen DNA terhadap 5 sampel plasmid rekombinan dari 5 klon E. coli berbeda. Analisis sekuen DNA dilakukan untuk menentukan urutan nukleotida gen scFv-2 hasil konstruksi yang telah diklon dalam plasmid pTZ-scFv-2. Hasil analisis sekuen DNA (Lampiran 5) menunjukkan adanya 2 sampel yang memiliki susunan nukleotida yang tepat yaitu sampel no. 29 dan 60. Hasil analisis sekuen DNA menunjukkan bahwa posisi VL telah berada di bagian depan dari VH dan dihubungkan oleh linker. Hasil analisis sekuen DNA tersebut sekaligus menunjukkan bahwa proses konstruksi gen scFv-2 telah berhasil dilakukan, yaitu dengan mengubah posisi relatif VH dari VL pada susunan yang berlawanan dari konstruk sebelumnya (scFv-1). Pada konstruk scFv-2, posisi VL berada pada ujung-N, sedangkan VH pada ujung-C. Dengan demikian konstruksi akhir dari scFv-2, yaitu VL-L-VH telah berhasil diperoleh,
53
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gen scFv anti-EGFRvIII (versi 1) telah berhasil disubklon ke dalam vektor ekspresi pPICZαA. Dari hasil analisis urutan DNA diperoleh 2 klon yang memiliki urutan DNA yang tepat. Fusi gen scFv-1 dengan gen egfp berhasil dilakukan pada situs restriksi ClaI. Fusi gen ini kemudian ditransformasikan pada P. pastoris dan protein fusi berhasil diekspresikan. Hasil analisis ekspresi protein rekombinan menggunakan teknik Slot Blot dan SDS-PAGE menunjukkan bahwa protein rekombinan berhasil diekspresikan secara ekstraselular dan memiliki ukuran 60 kDa. Pengamatan visual terhadap sel transforman P. pastoris menggunakan mikroskop fluoresens Leica DM 1000 menunjukkan bahwa sel Pichia transforman memancarkan fluoresensi berwarna hijau yang berasal dari protein EGFP terfusi. Gen scFv anti-EGFRvIII (versi 2) dengan struktur VL-L-VH telah berhasil dikonstruksi dengan menggunakan teknik Overlap Extension PCR. Verifikasi plasmid rekombinan dengan analisis PCR koloni, pengecekan orientasi gen dalam konstruksi dan pemotongan dengan enzim restriksi serta analisis urutan DNA memberikan hasil 2 klon yang memiliki urutan DNA yang tepat. Saran Perlu dilakukan analisis ekspresi protein rekombinan lebih lanjut seperti menggunakan teknik Western Blot. Optimasi ekspresi protein rekombinan perlu dilakukan untuk isolasi, purifikasi dan karakterisasi protein.
54
DAFTAR PUSTAKA Ahmad ZA, Yeap SK, Ali AM, Ho WY, Alitheen NB and Hamid M. 2012. ScFv antibody : principles and clinical application. Clin Develop Immunol 2012 : 1-15. Ausubel FM, Brent R, Kingston RE, Moore DD, Seidman JG, Smith JA, and Struhl K (editors). 2002. Short Protocol in Molecular Biology. 5th Edition. John Wiley & Sons Inc. Brown TA. 2006. Gene Cloning & DNA Analysis. 5th edition. Blackwell Publishing. Manchester. UK. Carpenter G & Cohen S. 1979. Epidermal Growth Factor. Annu Rev Bio Chem 48 : 193-216. Cereghino JL & Cregg JM. 2000. Heterologous protein expression in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol Rev 24 : 45-66. Cereghino JL et al. 2008. Direct selection of Pichia pastoris expression strains using new G418 resistance vectors. Yeast. 25(4): 293- 299. Chang HJ, Choi SW & Chun HS. 2008. Expression of functional single-chain variable domain fragment antibody (scFv) against mycotoxin zearalenone in Pichia pastoris. Biotechnol Lett 30:1801–1806. Cregg JM, Barringer KJ, Hessler AY & Madden KR. 1985. Pichia pastoris as a host system for transformation. Moll Cell Biol 12 : 3376-3385. Creg JM et al. 1989. Expression of foreign genes in Pichia pastoris. In Genetics and Molecular Biology of Industrial Microorganism. Charles L. Hershbrger, Stephen W. Queener and George Hegeman (editors). American Society for Microbiology. Washington DC. USA. Cregg JM, Vedvick TS & Raschke WC. 1993. Recent advances in the expression of foreign genes in Pichia pastoris. Biotechnology 11 : 905-910. Cregg JM et al. 2007. Pichia protocol. 2nd Edition. Humana Press. New Jersey. USA. Cupit PM et al. 1999. Cloning and expression of single chain antibody fragments in Escherichia coli and Pichia pastoris. Lett Appl Micr 29 : 273-277. Daly R and Hearn MTW. 2005. Expression of heterologous proteins in Pichia pastoris : a useful experimental tool in protein engineering and production. J Mol Recog 18 : 119-138. Glick BR & Pasternak JJ. 1994. Molecular Biotechnology : Principles and applications of recombinant DNA. American Society for Microbiology. Massachusets. USA. Gupta P, SY Han, M Holgado-Madruga, SS Mitra, G Li, RT Nitta, and AJ Wong. 2010. Development of an EGFRvIII specific recombinant antibodi. BMC Biotechnol 10:72 Harari PM. 2004. Epidermal growth factor receptor inhibition strategies in oncology. Endocrine-related Cancer 11 : 689-708. He FT, Nie YZ, Chen BJ, Qiao TD, Fan DM, Li RF, Kang YS & Zhang Y. 2002. Expression and identification of recombinant soluble single-chain variable fragment of monoclonal antibody MC3. World J Gastroenterol 8:258-262.
55
Huang D & Shusta EV. 2006. A yeast platform for the production of single-chain antibody-green fluorescent protein fusion. Appl Env Microbiol 72 : 77487759. Invitrogen. 2008. pPICZα A, B, and C: Pichia expression vectors for selection on ZeocinTM and purification of secreted, recombinant proteins. Invitrogen Corp., California, USA. Jafari R, Holm P, Piercecchi M and Sundstrom BE. 2011. Construction of divalent anti-keratin 8 single-chain antibodies (sc(Fv)2), expression in Pichia pastoris and their reactivity with multicellular tumor spheroids. J Immunol Method 364 : 65-76. Kuan CT, Wikstrand CJ, and Bigner DD. 2001. EGF mutant receptor vIII as a molecular target in cancer therapy. Endocrine-related Cancer 8: 83-96. Laroche Y, Storme V, Meutter JD, Messens J & Lauwereys M. 1994. High level secretion and very efficient isotopic labeling of tick anticoagulant (TAP) expressed in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotechnology 12 : 1119-1124. Mendelsohn J & Baselga J. 2003. Status of epidermal growth factor receptor antagonist in the biology and treatment of cancer. J Clin Oncol 21 : 2787-2799. Moore C. 2009. Introduction to western blotting. MorphoSys. Oxford. USA. Morino K, Katsumi H, Akahori Y, Iba Y, Shinohara M, Ukai Y, Kohara Y & Kurosawa Y. 2001. Antibody fusion with fluorescent proteins : a versatile reagent for profiling protein expression. J Immunol Meth 257 : 175-184. Naumann JM, Kuttner G and Bureik M. 2011. Expression and secretion of a CB41 scFv-GFP fusion protein by fission khamir. Appl Biochem Biotechnol 163 : 80-89. Pedersen MW, Meltorn M, Damstrup L and Poulsen H. 2001. The type III epidermal growth factor mutation. Ann Oncol 12 : 745-760. Peterson E, Owens SM and Henry RL. 2006. Monoclonal antibody form and function : manufacturing the right antibodies for targeting drug abuse. The AAPS J 8 : 383-390. Sanchez L. 2001. TCA protein precipitation protocol. http : //www.its.caltech.edu.protocol.pdf. [12 Januari 2012]. Sarramegna V, Demange V, Milon A & Talmont F. 2002. Optimizing functional versus total expression of the human mu-opioid receptor in Pichia pastoris. Protein Express Purif 24 : 212-220. Shi X, Karkut T, Chamankhah M, Alting-Mees M, Hemmingsen SM & Hegedus D. 2003. Optimal condition for the expression of a single-chain antibody (scFv) gene in Pichia pastoris. Prot Express Purif 28 : 321-330. Skoko NB, Agramante NK, Tisminetzky SG, Glisin V & Ljubijankic G. 2003. Expression and characterization of human interferon-β1 in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotech Appl Biochem 38. Tsien RY. 1998. The green fluorescent protein. Annu Rev Biochem 67 : 509-544. Wang M, Boenicke L, Howard BD, Vogel I & Kalthoff H. 2003. Gene transfer and expression of EGFP in variant HT-29 cells. World J Gastroenterology 9 : 2083-2087.
56
Weber R et al. 2009. Antibodies directed to deletion mutants of epidermal growth factor receptor and uses thereof. US Patent Application Publication No. US2009/0240038A1.
57
Lampiran 1 Komposisi dan cara pembuatan media, larutan dan buffer
Media, Larutan dan buffer Larutan TAE 50x dan 0,5x
Loading dye 6x
Larutan SDS/NaOH Larutan GTE
Larutan kalium Asetat
0,5μl/ml etidium Bromida CaCl2
YPD (Yeast extract peptone dextrose)
Komposisi dan cara pembuatan Sebanyak 242 g tris base, 57,1 ml asam asetat glasial, dan 37,29 g Na2EDTA dilarutkan di dalam akuades hingga volumenya mencapai tepat 1000 ml untuk menghasilkan larutan stock buffer TAE 50x. BufferTAE 0,5x dibuat dengan cara mencampurkan 2,5 ml TAE 50x dan akuades hingga volumenya mencapai tepat 500 ml. Bromofenol biru 0,03%, 10mM Tris-HCl (pH 7,6), gliserol 60%, 60mM EDTA, dan xylenecyanol FF dilarutkan di dalam akuades Sebanyak 20 μl NaOH 0,2 N dan 200 μl SDS 10% dilarutkan di dalam akuades hingga volume mencapai 1 ml. Sebanyak 50 mM glukosa, 25 mM Tris-Cl (pH 8,0), dan 10 mM EDTA dilarutkan di dalam akuades hingga volume mencapai 100 ml, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C, tekanan 2 atm, selama 20 menit dan disimpan pada suhu 4°C. Sebanyak 29,5 ml asam asetat glasial dan pelet KOH (pH 4,8) dilarutkan dalam akuades hingga volume mencapai 100 ml, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C, tekanan 2 atm, selama 20 menit dan disimpan pada suhu 4°C. Sebanyak 10 μl etidium bromida (10 mg/ml) dilarutkan dalam 200 ml akuades Sebanyak 1,017 g CaCl2.H2O dicampurkan ke dalam akuades steril hingga volume mencapai 50 ml. Bahan dihomogenkan menggunakan magnetic stirrer. Medium disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C, tekanan 2 atm, selama 20 menit, kemudian disimpan pada suhu 4°C. Medium YPD 1 L dibuat dengan melarutkan 10 g yeast estract dan 20 g pepton dalam 900 ml akuades. Sebanyak 20 g agar ditambahkan ke dalam larutan tersebut jika membuat media YPD agar. Medium disterilkan dalam autokalf pada suhu 121°C dan tekanan 1 atm selama 20 menit. Medium didinginkan sampai suhu 60°C, kemudian ditambahkan 100 ml larutan dextrose 10x.
58
Larutan elektrotransfer
3, 03 g g 25 mM Tris dan 14,4 g 192 mM glisin dicampurkan dengan 200 ml metanol. Larutan tersebut kemudian ditambahkan akuades hingga volume 1 L Larutan electrorunning 15,5 g 128 mM Tris, 72 g 959 mM glisin dan 5 g SDS dilarutkan dalam 1 L akuades 4x sample buffer 25 ml 4x Tris-Cl pH 6,8 20 ml gliserol, 4 g SDS, 2 ml 2merkaptoetanol, 20x DTT (0,4 ml 1 M) dan 1 mg bromfenol blue dilarutkan dengan 100 ml akuades Staining solution Coomassie blue dicampur dengan larutan staining coomassie blue solution dengan perbandingan 1:8 Staining solution Sebanyak 40 ml metanol, 7 ml asam asetat dan 53 ml akuades dicampur kemudian dihomogenkan Destaining solution Sebanyak 5 ml metanol, 7 ml asam asetat, dan 53 ml akuades dicampur lalu dihomogenkan 10 x PBS (phosphate 83,3 g NaH2PO4 dan 40 g NaCl dilarutkan dalam 1 L buffer saline) dH2O TBS (tris buffer saline) 100 mM Tris-Cl pH 6,5 dicampurkan dengan 150 mM NaCl Blocking buffer 10 g susu tanpa lemak dicampurkan dengan 100 ml TBS Washing buffer 0,3 ml tween 20 dicampurkan dengan 300 ml TBS (Sumber: Ausubel et al. 2002, Fermentas 2006, Invitrogen 2001)
59
Lampiran 2 Bahan yang digunakan dalam pembuatan gel poliakrilamid Bahan dH2O steril 1,5 M Tris HCL (pH 8,8) Separating Gel (12%)
Stacking gel (12%)
SDS 10% Amonium persulfat 10% TEMED
dH2O steril 1,5 M Tris HCL (pH 6,8) Akrilamid 30 % SDS 10% Amonium persulfat 10% TEMED
Volume (ml) 3,35 2,50 0,1 0,05 0,005 6,1 2,5 1,3 0,1 0,05 0,01
60
Lampiran 3 Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1
α- factor signal sequence
α- factor signal sequence
scFv
Gambar 39 Hasil sekuen DNA sampel plasmid rekombinan pPICZαA_scFv-1 klon no. 21 menunjukkan sekuen fusi antara α-factor signal sequence dan bagian ujung-N dari scFv-1.
61
Gambar 40 Hasil sekuen DNA plasmid pPICZαA_scFv-1 klon no. 41 yang menunjukkan sekuen fusi antara α-factor signal sequence dengan ujung-N dari scFv-1
62
Lampiran 4 Hasil Sekuen DNA Plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP
A
B
Gambar 41 Hasil sekuen DNA plasmid rekombinan pPICZαA_scFv(1)_EGFP yang menunjukkan sekuen ujung-C dari gen egfp yang terfusi dengan 6xHis-tag (A), dan sekuen fusi antara ujung-N gen egfp dan ujung-C gen scFv (B)
63
Lampiran 5 Hasil sekuen DNA plasmid pTZ-scFv-2
VL
VL
VL
Gambar 42 Hasil sekuen DNA plasmid pTZ_scFv-2 klon nomor 29 yang menunjukkan sekuen fusi antara fragmen VL, linker dan VH
64
XbaI
VL
VL
VL
Linker
VL
VH
VH
Gambar 43 Hasil sekuen DNA plasmid pTZ_scFv-2 klon no. 60 yang menunjukkan sekuen fusi antara fragmen VL, Linker dan VH.
65
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 7 Maret 1980 dari Ayah Iyos dan ibu Wardani, S.Pd. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran lulus pada tahun 2003. Penulis kemudian mengambil Program Profesi Apoteker di Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, UNPAD dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2009 penulis mengikuti program S2 di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Bioteknologi. Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Laboratorium Biopharmaceutical Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sejak tahun 2005 di Cibinong. Bidang penelitian yang dikerjakan adalah bidang bioproses.