INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA IKAN MAS TRANSGENIK
NURLY FARIDAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Introduksi dan Ekspresi Gen Hormon Pertumbuhan pada Ikan Mas Transgenik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Nurly Faridah NIM C151080311
ABSTRACT NURLY FARIDAH. Introduction and Expression of Growth Hormone Gene on Transgenic Common Carp. Under direction of ALIMUDDIN, and KOMAR SUMANTADINATA. Common carp Cyprinus carpio is one of the economically valuable aquaculture fish species in Indonesia. This research was aimed to produce transgenic common carp that grow rapidly by over-expressing the tilapia growth hormone (tiGH) gene. Trangenic common carp were produced by spermmediated gene transfer using electroporation method. In this study, two electroporation programs that developed by other researcher were applied to obtain a suitable electroporation method for common carp. The electroporated sperm were then used to fertilize eggs to produce F0 transgenic fish. Transgenic F0 carrying tiGH in their sperm were crossed with non-transgenic fish to produce transgenic first (F1) generation. Identification of transgenic fish was performed by PCR method using specific primer for tiGH gene. Expression of tiGH was analyzed using RT-PCR method and growth measurement at F1 fish generation. The results showed that electroporation of sperm using 50 Volt/cm, and DNA concentration of 25 ng/µl was produced higher percentarge of fish carrying tiGH in their gamet compared to that of another electroporation program (40 Volt/cm, DNA concentration of 50 ng/µl). Five sexually matured males F0 transgenic fish were selected and mated with non-transgenic to produce F1 generation. Percentage of F1 progenies carrying tiGH was 47,2-66,7%. Variated measure of F1 genereations was 10,1->12,0 cm size (22,5%-42,9%), 8,1->10,0 cm size (14,3%-42,9%), 6,1->8,0 cm size (11,9%-29,2%), 4,1->6,0 cm size (0,0%39,3%). Increasing of growth of F1 was about 1,4-1,87 times for non transgenic fish. Survival of transgenic and non-transgenic F1 was generally similar. RT-PCR analysis showed that the F1 transgenic fish have tiGH gene expression in caudal fin, while no expression in non-transgenic fish were found. Thus, the increased body weight of F1 transgenic common carp was associated with expression of tiGH gene, and this fish can be used as broodstock for the production of fast-grow stable transgenic common carp. Key words: gene transfer, growth hormone, electroporation, common carp
RINGKASAN NURLY FARIDAH. Introduksi dan Ekspresi Gen Hormon Pertumbuhan pada Ikan Mas Transgenik. Dibimbing oleh ALIMUDDIN, dan KOMAR SUMANTADINATA. Aplikasi teknologi transfer gen telah menunjukkan potensi yang tinggi dalam meningkatkan produksi budidaya ikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan bobot ikan transgenik yang signifikan dibandingkan dengan non-transgenik. Ikan transgenik yang mengeskpresikan gen hormon pertumbuhan dapat memiliki laju pertumbuhan 2-35 kali lebih tinggi daripada ikan non-transgenik. Over-ekspresi gen hormon pertumbuhan diharapkan juga meningkatkan pertumbuhan ikan mas secara signifikan. Ikan mas merupakan salah satu spesies yang menjadi target program peningkatan produksi budidaya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan 2009-2014. Keberhasilan transfer gen yang tinggi dengan menggunakan metode elektroporasi telah ditunjukkan pada berbagai spesies ikan seperti ikan zebra, ikan loach, dan ikan ayu. Persentase keberhasilan transfer gen yang tinggi juga diharapkan dapat dicapai pada ikan mas. Pada penelitian ini 2 program elektroporasi, masing-masing sudah diuji pada ikan kerapu tikus dan ikan mas dibandingkan untuk memperoleh prosedur yang menghasilkan ikan mas transgenik yang lebih banyak. Indukasi ovulasi dilakukan menggunakan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg bobot tubuh induk mas betina. Ikan mas yang digunakan adalah strain majalaya, sebanyak satu ekor betina, dan satu ekor jantan. Pemijahan dilakukan dengan metode semi buatan. Elektroporasi dilakukan menggunakan Gene Pulser II (Biorad, USA) dengan tipe kejutan square wave. Program pertama berdasarkan Subiyakto (2010) dilakukan pada ikan kerapu tikus menggunakan kuat tegangan listrik 50 Volt/cm, lama kejutan 0,5 ms, jumlah kejutan 5 kali, jeda waktu antar kejutan 0,1 s serta konsentrasi DNA 25 ng/μL. Program kedua berdasarkan Faqih (2011) dilakukan pada ikan mas dengan kuat tegangan listrik 40 Volt/cm, lama kejutan 0,5 ms, jumlah kejutan 4 kali, jeda waktu antar kejutan 0,1 s serta konsentrasi DNA 300 ng/μL. DNA yang ditransfer adalah dalam bentuk plasmid pmBA-tiGH (Kobayashi et al. 2007). Gen hormon pertumbuhan ikan nila (tiGH) pada konstruksi ini dikendalikan oleh promoter β-aktin ikan medaka (mBA). Derajat motilitas, dan viabilitas sperma pasca elektroporasi dihitung setelah mengamati pergerakan spermatozoa di bawah mikroskop pada pembesaran 400x, dan 1000x dari 3 bidang pandang. Penilaian viabilitas sperma didasarkan pada perbedaan kriteria sperma yang hidup, dan mati. Motilitas dan viabilitas sperma relatif tinggi dan sama antara program 1, program 2 dan kontrol. Derajat penetasan dan kelangsungan hidup larva umur 5 hari juga relatif sama. Dengan demikian, elektroporasi tidak mempengaruhi
motilitas dan viabilitas sperma, derajat pembuahan, penetasan telur, dan kelangsungan hidup larva umur 5 hari. Untuk memastikan bahwa sperma yang diberi elektroporasi adalah mengandung gen tiGH, maka dilakukan analisis PCR. Pita DNA produk PCR (sekitar 250 bp) terlihat dari hasil analisis DNA sperma hasil elektroporasi, sedangkan pada kontrol tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa kedua program elektroporasi yang diuji telah menyebabkan gen tiGH masuk ke sperma ikan mas. Sperma hasil elektroporasi program 1 dan 2 digunakan untuk membuahi telur ikan mas. Setelah ikan berumur 2 bulan, dilakukan identifikasi ikan transgenik F0 yang membawa gen tiGH pada sirip ekor. Persentase ikan perlakuan elektroporasi 1 (51,1%) yang membawa gen tiGH di sirip ekor adalah lebih tinggi daripada pada perlakuan elektroporasi 2 (31,7%). Demikian juga halnya dalam identifikasi ikan F0 yang membawa gen tiGH di sperma, persentase ikan perlakuan elektroporosi 1 (49,1%) lebih banyak membawa gen tiGH dibandingkan dengan elektroporasi 2 (32,1%). Selain itu, jumlah DNA yang digunakan dalam elektroporasi 1 (25 ng/µL) lebih sedikit dibandingkan dengan elektroporasi 2 (300 ng/µL). Dengan demikian, program elektroporasi 1 lebih tepat digunakan untuk sperma ikan mas. Produksi individu F1 dilakukan dengan memijahkan 5 ekor individu jantan F0 berbeda yang membawa tiGH di sperma masing-masing dengan 1 ekor ikan mas betina normal (non-transgenik). Ikan transgenik F1 berhasil diproduksi dengan persentase berkisar antara 47,2-66,7%, sebanyak 22,5%-42,9% diantaranya memiliki kisaran panjang tubuh 10,1->12,0 cm, 14,3%-42,9%: memiliki kisaran panjang tubuh 8,1->10,0 cm, 11,9%-29,2%; memiliki kisaran panjang tubuh 6,1->8,0 cm, dan 0,0%-39,3%; memiliki kisaran panjang tubuh 4,1->6,0 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa gen tiGH dapat diwariskan, dan peningkatan ukuran tubuh tersebut diduga sebagai akibat dari ekspresi gen tiGH. Rerata bobot tubuh ikan transgenik F1 dan non-transgenik pada umur 2 bulan relatif sama, tetapi bobot tubuh ikan transgenik meningkat lebih tinggi pada umur 4 bulan. Peningkatan pertumbuhan tubuh ikan transgenik F1 berkisar 1,40-1,87 kali dibandingkan kontrol non transgenik. Selanjutnya, kelangsungan hidup ikan transgenik dan non-transgenik secara umum adalah sama. Tingkat ekspresi mRNA tiGH dianalisis menggunakan metode semikuantitatif RT-PCR. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekspresi tiGH pada ikan transgenik F1 kelompok ukuran jauh lebih besar dan lebih besar dari kontrol nontransgenik adalah lebih tinggi daripada ikan transgenik kelompok ukuran relatif sama dan lebih kecil daripada kontrol. Ikan non-transgenik tidak menunjukkan adanya ekspresi mRNA tiGH. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran ikan transgenik F1 yang signifikan dibandingkan dengan kontrol adalah karena ekspresi tiGH yang tinggi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
INTRODUKSI DAN EKSPRESI GEN HORMON PERTUMBUHAN PADA IKAN MAS TRANSGENIK
NURLY FARIDAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA
Judul Tesis
: Introduksi dan Ekspresi Gen Hormon Pertumbuhan pada Ikan Mas Transgenik
Nama
: Nurly Faridah, S.Pi
NIM
: C151080311
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir Komar Sumantadinata, M.Sc Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 13 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis “Introduksi dan Ekspresi Gen Hormon Pertumbuhan pada Ikan Mas Transgenik” dilaksanakan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Genetika Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 – November 2011. Sebagian dari hasil penelitian ini telah dipresentasikan dalam Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, tanggal 19-21 Juli 2011 di Bali, dengan abstrak seperti terlampir pada Lampiran 1. Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing: Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc dan Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc., atas segala bimbingannya hingga terselesaikannya karya ilmiah ini, serta Dr.Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA sebagai dosen penguji pada sidang akhir. Terima kasih disampaikan pula kepada Prof. Dr. Goro Yoshizaki atas kontribusi kebaikan hatinya memberikan konstruksi gen yang digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan juga kepada Ir. Maskur, M.Si selaku Kepala BBPBAT Sukabumi, rekan-rekan kerja di BBPBAT Sukabumi, rekan-rekan Akuakultur program Magister angkatan 2008, dan rekan-rekan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Dwi Hany Yanti, Arief Eko Prasetiyo, dan Anna Octavera atas bantuan dan dukungannya selama penelitian dan penyelesaian tesis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta Dian Hardiantho,S.Pi.M.Si., anak-anakku tersayang Annisa Nur Rahmayanti dan Dinda Aulia Rahmayanti atas dukungan, doa, kasih sayang dan kesabarannya selama penulis menempuh studi hingga terselesaikannya tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan Erfan Rizaly,SH., ayahanda Tahiruddin dan ibunda Kustiningsih (alm) atas teladan ketegaran hati, dukungan semangat dan doanya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang tak dapat penulis tuliskan satu persatu di sini, atas segala bantuan, dukungan semangat dan doanya hingga terselesaikannya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan penelitian dan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi ikan budidaya di Indonesia.
Bogor, Agustus 2012 Nurly Faridah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 24 Mei 1972 dari ayah H. Tahiruddin dan Ibu Kustiningsih. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah dilalui adalah SMAN I Jember dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan tinggi di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor dan memilih program studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis lulus pada tahun 1996. Selanjutnya penulis mengabdi sebagai staf Departemen Kelautan dan Perikanan, pada Unit Pelaksana Teknis Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi, hingga saat ini. Pada tahun 2008, penulis menempuh jenjang pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Akuakultur IPB. Sebagai tugas akhir dari studi tersebut, penulis melakukan riset dan menulis tesis dengan judul Introduksi dan Ekspresi Gen Hormon Pertumbuhan pada Ikan Mas Transgenik.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar belakang .................................................................................. 1.2 Rumusan masalah ............................................................................ 1.3 Tujuan .............................................................................................. 1.4 Manfaat penelitian .......................................................................... 1.5 Hipotesis .........................................................................................
1 1 3 3 3 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1 Ikan mas Cyprinus carpio ................................................................ 2.2 Motilitas dan viabilitas sperma ikan ............................................... 2.3 Hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) dan sistem regulasinya ....................................................................................... 2.4 Transgenesis melalui metode elektroporasi .................................... 2.5 Ekspresi gen ....................................................................................
5 5 5 8 11 14
III. BAHAN DAN METODE .......................................................................
16
3.1 Perangsangan ovulasi dan spermiasi ............................................... 3.2 Elektroporasi sperma dan analisis efektivitas transfer gen GH eksogen pada ikan mas founder (F0) ............................................... 3.3 Produksi dan analisis ekspresi transgen ikan mas transgenik F1 .... 3.4 Parameter dan analisis data ..............................................................
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 4.1 Elektroporasi sperma dan analisis efektivitas transfer gen GH eksogen pada ikan mas founder (F0) ............................................... 4.2 Produksi dan analisis ekspresi transgen pada ikan mas transgenik F1 .....................................................................................................
26
V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 5.1 Simpulan ......................................................................................... 5.2 Saran ...............................................................................................
37 37 37
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
38
LAMPIRAN ...................................................................................................
47
16 20 23
26 31
DAFTAR TABEL Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
Motilitas dan viabilitas sperma, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan telur (HR), serta tingkat kelangsungan hidup(SR) larva hasil perlakuan elektroporasi sperma dengan DNA pmβa-tiGH ....................
26
Rerata jumlah dan persentase ikan membawa gen tiGH pada sirip dan sperma yang dideteksi menggunakan metode PCR.................................
30
Jumlah, dan persentase ikan mas transgenik keturunan pertama (F1) yang membawa gen tiGH dari induk jantan F0 berbeda .........................
31
Bobot tubuh, laju pertumbuhan spesifik (SGR), dan tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan mas transgenik F1 selama 60 hari masa pemeliharaan............................................................................................
33
Tingkat ekspresi mRNA tiGH ikan transgenik F1 yang memiliki bobot dan panjang tubuh lebih besar, relatif sama, dan lebih kecil daripada rerata ikan kontrol/non-transgenik yang diperoleh dari pemijahan ikan transgenik jantan F0 nomer tagging 4612706431 dengan ikan mas betina non-transgenik .............................................................................
36
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Mekanisme kerja hormon peptida (Walsh, 2002) ...................................
9
2.
Unit peralatan dan pelaksanaan elektroporasi pada sperma. Gene Pulser Xcell Unit (A) beserta komponennya : ShockPod (B.1) dan Cuvet (B.2) .............................................................................................
17
Unit peralatan mikroskop Olympus CX 31 (A) dan monitor (B) untuk pengamatan sperma dan embrio ikan mas hasil elektroporasi ................
18
4.
Unit peralatan mesin PCR Rotor Gene 6000 (A) dan komputernya (B)
20
5.
Deteksi DNA pmβa-tiGH pada sperma yang telah dielektroporasi menggunakan program 1 (kolom nomor 1-2), dan program 2 (kolom nomor 3-4), kontrol sperma yang dielektroporasi tanpa penambahan DNA tiGH (K⁻) dan kontrol plasmid DNA (K⁺). Angka di sebelah kiri gambar adalah ukuran fragmen DNA marker (M). Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar adalah posisi target amplifikasi PCR (250 bp) .................................................................................................................
28
Deteksi DNA pmβa-tiGH pada embrio setelah 4 jam fertilisasi dengan sperma yang telah dielektroporasi dengan program 1 (kolom nomor 15), dan program 2 (kolom nomor 6-10), kontrol plasmid DNA (K⁺) dan kontrol embrio hasil elektroporasi sperma tanpa penambahan DNA pmβa-tiGH (K⁻). Tanda panah di sebelah kanan gambar adalah posisi target amplifikasi PCR (250 bp) .............................................................
29
Deteksi DNA pmβa-tiGH pada sperma ikan mas F0 (kolom nomor 18), kontrol positif berupa plasmid tiGH (K+), dan kontrol negatif berupa ikan mas non-transgenik (K-). M= marker DNA VC 100 bp Plus DNA Ladder (Vivantis, USA) ........................................................
30
Ukuran ikan mas transgenik F1 pada umur 4 bulan dalam satu populasi dari induk founder (F0) yang sama ........................................................
32
Ekspresi mRNA tiGH (gambar atas), dan mRNA β-aktin (gambar bawah). Total RNA diekstrak dari sirip ekor ikan mas F1. M: pengukur panjang fragmen DNA 100 panjang basa (pb). Angka 1-11: ikan mas transgenik F1. C : ikan mas non-transgenik. P: kontrol positif berupa plasmid pmBA-tiGH. Angka di sebelah kiri gambar: ukuran fragmen DNA marker. Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar: posisi target amplifikasi PCR 250 pb. ....................................................
35
3.
6.
7.
8. 9.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Abstrak materi presentasi dalam Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 .........................................................................................................
48
2.
Prosedur pelaksanaan elektroporasi .......................................................
49
3.
Sperma ikan mas setelah perlakuan elektroporasi dengan DNA pmβatiGH, diamati di bawah mikroskop pada pembesaran 40x10 (A) dan 100x10 (B). Sperma mati ditunjukkan dengan panah , sedangkan sperma hidup ditunjukkan dengan panah .......................................
51
Perkembangan embrio ikan mas hasil fertilisasi telur dengan sperma yang dielektroporasi ...............................................................................
52
Data hasil elektroporasi pada program 1 dan program 2, efektifitasnya terhadap motilitas dan viabilitas sperma, derajat pembuahan (FR) serta derajat penetasan (HR) telur ikan mas.....................................................
53
Kelangsungan hidup (SR) larva 5 hari dan benih 2 bulan ikan mas hasil fertilisasi telur dengan sperma yang dielektroporasi menggunakan program 1 dan program 2. ...............................................
54
7.
Hasil analisis DNA pada gonad calon induk ikan mas founder F0 ........
55
8.
Data hasil analisis DNA tiGH pada sirip individu F1 berumur 2 bulan dan persentase ikan mas transgenik keturunan pertama (F1) ..................
56
Hasil identifikasi tiGH dan laju transmisi pada keturunan pertama (F1) dari tiap induk founder (F0) ....................................................................
57
10. Data pertumbuhan individu keturunan pertama (F1) dari tiap induk founder (F0) selama 60 hari pemeliharaan ..............................................
58
11. Tingkat kelangsungan individu keturunan pertama (F1) dari tiap induk founder (F0) selama 60 hari pemeliharaan ..............................................
59
4. 5.
6.
9.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ikan, sebagai salah satu sumber protein yang penting bagi mayoritas masyarakat di dunia, sebagian besar masih dihasilkan secara alami. Berdasarkan data FAO (1999), konsumsi ikan dunia meningkat sebesar 31% pada tahun 19901997. Bahkan produksi ikan hasil budidaya saat ini telah mencapai 30% dari total produksi ikan dunia, dan diperkirakan akan mencapai 50% pada tahun 2030 (FAO, 2000). Akan tetapi upaya peningkatan perluasan kegiatan budidaya akan dihadapkan pada benturan kepentingan dan permasalahan lingkungan. Sehingga perbaikan kualitas hasil produksi ikan menjadi satu pemecahan bagi peningkatan nilai produksi ikan budidaya. Perbaikan pertumbuhan ikan budidaya dapat diupayakan dengan menerapkan metode rekayasa genetik, seperti pemijahan selektif (selective breeding) dan transgenesis/introduksi gen. Perkembangan bioteknologi yang pesat pada saat ini memungkinkan untuk mendapatkan produk hasil perikanan yang memiliki karakteristik seperti yang diinginkan. Teknologi transgenesis atau rekombinan DNA merupakan rekayasa genetik yang memungkinkan diperolehnya ikan dengan kualitas lebih baik melalui introduksi gen. Gen yang diintroduksi atau biasa disebut dengan transgen merupakan pengkode protein tertentu yang mengontrol karakter yang diinginkan dan bermanfaat dalam menghasilkan ikan budidaya yang memiliki karakter unggul sesuai dengan gen yang disisipkan. Rekayasa transgenesis memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan pemijahan selektif, di antaranya dapat menghasilkan perbaikan genetik per generasi yang lebih tinggi, dan waktu pencapaian target yang lebih cepat. Keunggulan lainnya adalah karakter yang diinginkan dapat ditransfer dalam satu generasi dan keunggulan karakter tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya (Yaskowiak et al., 2006). Penelitian awal transgenesis ikan saat ini berkembang pada banyak jenis ikan. Pada dua dekade terakhir, paling sedikit 35 jenis ikan diteliti untuk menjadi subyek transgenik terutama melalui perbaikan pertumbuhan melalui transgenesis gen penyandi hormon pertumbuhan (growth hormone/GH). Sebagai contoh aplikasi teknologi transgenesis yang telah berhasil
di antaranya adalah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan dan krustase (Devlin et al., 1995), mengurangi laju konsumsi oksigen pada ikan (Cook et al., 2000), memproduksi protein farmaseutika/nutraseutika yang berguna bagi akuakultur dan kesehatan manusia ( Fletcher & Davies, 1991;Kinoshita & Ozato, 1995; Collas et al., 2000), dan peningkatan daya tahan terhadap bakteri patogen dengan mengintroduksikan peptida cecropin-B pada channel catfish transgenik (Dunham et al., 2004). Transgenesis
dapat
dilakukan
menggunakan
metode
transfeksi,
mikroinjeksi, dan elektroporasi (Hackett, 1993; Chen et al., 1995; Sarmasik et al., 2001), tetapi metode elektroporasi tidak memerlukan keterampilan tinggi dan dapat menghasilkan ikan transgenik lebih banyak dalam waktu relatif singkat dibandingkan dengan mikroinjeksi. Pertumbuhan ikan salmon Atlantik (Du et al., 1992) dan ikan nila (Kobayashi et al., 2007) hasil transgenesis meningkat lebih dari 2 kali lebih tinggi dibandingkan ikan non transgenik, 10 kali lipat pada ikan salmon Pasifik (Devlin et al., 1995), dan 32 kali lipat pada ikan mud loach (Nam et al., 2001). Ikan transgenik dengan pertumbuhan tinggi dan relatif sama antar individu dicapai pada generasi kedua. Gen yang digunakan adalah penyandi hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) dari ikan. Ada beberapa metode teknologi transgenesis untuk mengintroduksikan molekul DNA ke dalam embrio. Pada hewan akuatik, metode mikroinjeksi merupakan metode yang umum digunakan (Chourrout et al., 1986). Akan tetapi dibandingkan dengan mikroinjeksi, elektroporasi merupakan teknik yang lebih mudah dalam pengerjaannya (Inoue et al., 1990). Elektroporasi merupakan metode transfer gen dengan memodifikasi permeabilitas membran sel menggunakan medan listrik. Arus pendek yang terjadi memungkinkan molekul DNA menembus membran sel dan masuk ke dalam sel. Penggunaan metode elektroporasi dalam transfer gen pada bidang perikanan selama ini dilakukan pada embrio (Lu et al.,2002; Powers et al.,1992; Buono & Linser, 1992; Inoue et al., 1990 ; Tsai & Tseng, 1995a) dan pada sperma (Kang et al., 1990). Menurut Tsai et al. (1995b) derajat integrasi DNA eksogenus pada transfer gen dengan teknik elektroporasi bisa mencapai 50%.
Ikan mas merupakan salah satu ikan budidaya yang menjadi prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam program peningkatan produksi tahun 2010-2014 (KKP, 2010). Budidaya ikan mas tumbuh cepat hasil transgenesis diharapkan dapat mendukung program peningkatan produksi ikan budidaya nasional tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Budidaya ikan mas yang memiliki pertumbuhan cepat merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung program peningkatan produksi ikan mas nasional.
Salah satu metode rekayasa genetik yang bisa
diaplikasikan untuk memproduksi ikan mas dengan pertumbuhan relatif cepat adalah transfer gen penyandi hormon pertumbuhan (GH/Growth Hormone). Elektroporasi merupakan salah satu metode introduksi gen yang tidak membutuhkan kecermatan tinggi dan dapat menghasilkan ikan transgenik dalam jumlah banyak dalam waktu relatif singkat. Tahapan dalam produksi ikan transgenik tumbuh cepat yang dapat digunakan oleh pembudidaya adalah introduksi dan analisis ekspresi gen GH, produksi ikan transgenik generasi kedua, dan produksi ikan transgenik homosigot yang berguna dalam produksi ikan mas secara massal oleh pembudidaya.
Oleh karena itu sebagai tahap awal, pada
penelitian ini akan dilakukan introduksi gen GH pada ikan mas menggunakan metode elektroporasi, dan analisis ekspresinya. 1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan ikan mas Cyprinus carpio transgenik tumbuh cepat dengan cara mengintroduksikan gen hormon pertumbuhan menggunakan metode elektroporasi. Selanjutnya menganalisis tingkat ekspresi gen GH pada individu transgenik founder F0 dan keturunan pertamanya (F1). 1.4. Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat berperan dalam peningkatan produktivitas ikan mas. Secara khusus, ikan mas transgenik yang dihasilkan dari penelitian ini sangat berguna dalam produksi ikan mas transgenik homosigot.
Pemijahan antara ikan transgenik homosigot dengan ikan non transgenik akan menghasilkan ikan transgenik secara massal. 1.5 Hipotesis Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis bahwa bila proses transfer gen melalui sel gamet (sperma) yang telah diintroduksi DNA eksogenous melalui metode elektroporasi berhasil, maka akan diperoleh individu dari tiap induk founder (F0) yang mengekspresikan gen penyandi hormon pertumbuhan pada tubuh dan gonadnya. Selanjutnya dari pemijahan individu dari tiap induk founder (F0) positif akan menghasilkan keturunan F1 yang mewarisi ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan di dalam tubuhnya. Individu F1 yang mewarisi ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan akan memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan individu yang tidak mengekspresikan gen penyandi hormon pertumbuhan.
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Mas Cyprinus carpio Ikan mas merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting,
dagingnya banyak disukai orang, mudah dipelihara, dapat memanfaatkan makanan buatan, relatif tahan terhadap penyakit, pertumbuhannya relatif cepat dan mempunyai toleransi yang besar terhadap kisaran suhu dan oksigen telarut, dan mudah dipijahkan (Hardjamulia & Suseno, 1975). Ikan mas mula-mula didatangkan dari China dan Rusia, kemudian didatangkan juga dari Eropa pada tahun 1972 dan 1930, Taiwan pada tahun 1970, serta dari Jepang pada tahun 1980 (Bardach, 1972). Data statistik mengindikasikan bahwa produksi ikan mas hampir mendekati batas puncaknya. Bagaimanapun juga, ikan mas merupakan salah satu komoditas penting (FAO, 2010), sehingga perlu ada inovasi untuk mempercepat laju pertumbuhannya guna mendukung kegiatan pembudidayaan ikan mas secara luas. 2.2.
Motilitas dan Viabilitas Sperma Ikan Sperma didefinisikan sebagai larutan spermatozoa yang berada dalam
larutan seminal dan dihasilkan oleh hidrasi testis, yang merupakan salah satu bagian dari alat reproduksi ikan (Harvey & Hoar, 1979). Menurut Tave (1986), spermatogenesis (2n) yang aktif akan membelah secara mitosis dan mengalami replikasi kromosom menjadi formasi empat yang disebut spermatosit primer, spermatosit ini mengalami pembelahan meiosis menjadi spermatosit sekunder, selanjutnya akan terjadi pembelahan mitosis menjadi spermatid (n) dan setelah proses metamorfosa akan menjadi spermatozoa. Spermatozoa yang normal terdiri dari kepala dan ekor. Bagian ekor terbagi atas leher (tengah), bagian utama dan bagian ujung. Bagian kepala spermatozoa berbentuk membulat (sperichal) dan bagian leher mengalami reduksi. Ekor sperma berguna sebagai organ renang (Stoss & Donaldson, 1982). Motilitas sperma yang tinggi sangat berpengaruh terhadap terjadinya fertilisasi. Motilitas sperma dimulai ketika sperma bersentuhan dengan media air. Tabares et al. (2007) menyatakan bahwa spermatozoa pada ikan tidak bergerak ketika berada dalam seminal plasma dan akan aktif ketika dilepas dalam air di
mana keseimbangan ion menjadi faktor utama yang menjadi pemicu aktifnya sperma. Interaksi antara ion lingkungan atau media dengan membran sel akan mengubah keadaan di dalam membran sel dan memberikan sinyal di dalam sel sehingga memicu sperma untuk motil. Ciereszko et al. (2001) menyatakan bahwa sperma akan diam pada kondisi asam dan baru akan motil jika masuk dalam lingkungan dengan pH antara 6,0-9,0. Proses pengaktifan sperma dan hubungannya dengan ion ditunjukkan dengan adanya pengaruh dari kejutan konsentrasi, yaitu perbedaan konsentrasi cairan di dalam spermatozoa dengan lingkungan di luar spermatozoa sehingga menimbulkan pergerakan spermatozoa (osmotic shock), yaitu dengan merubah transmembran potensial dan melalui regulasi (proses pengaturan isoosmosis antara dua media yang berbeda konsentrasi) sehingga terjadi perubahan di dalam dan juga saluran ion untuk Na+, K+ dan Ca+. Keseimbangan ion ini dipercaya menjadi penghubung antara faktor yang lain dengan kondisi di dalam sel, komposisi dalam seminal plasma (Ohta et al., 2001), dan arus ion yang melalui membran yang pada akhirnya diatur oleh saluran. Beberapa jenis dari pembukaan saluran dapat diuraikan sebagai berikut: 1) membuka saluran pori-pori yang disebabkan adanya perbedaan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel, 2) mengaktifkan gerbang saluran secara mekanik dan dibuka saat membran memperluas karena ada pengaruh dari lingkungan (air), 3) saluran yang bergantung pada voltase, akan diaktifkan ketika terjadi perubahan pada potensial membran, 4) saluran ligands bekerja melalui protein tertentu yang berhubungan dengan reseptornya dan yang terakhir 5) saluran interchanger di mana energi dihasilkan oleh jalur lintasan yang menyertakan suatu ion melalui gradien, saluran ini digunakan sebagai lintasan ion lain dalam arah sebaliknya. Jamieson (1990) menyatakan bahwa motilitas spermatozoa ikan dibatasi pada periode detik dan menit karena adanya osmotic injury (rusaknya sifat permeabilitas pada membran sperma). Motilitas spermatozoa digunakan sebagai sarana untuk bergabung dengan sel telur pada saat pembuahan. Fenomena ini dilalui dengan pengaktifan sperma dan reaksi akrosomal. Pengaktifan sperma (sperm activation) adalah perubahan dari sperma yang belum motil menjadi motil yang terjadi pada saat sperma menempel pada sel telur.
Kategori yang dipakai Jamieson (1990) untuk mengklasifikasi motilitas sperma tersebut adalah sebagai berikut: a.
Jika sperma bergerak cepat dan lurus ke depan, maka motilitas spermatozoa ini masuk ke dalam kategori fast proggresive.
b.
Jika sperma geraknya lambat atau sulit maju lurus atau bergerak tidak lurus, maka motilitas spermatozoa ini masuk ke dalam kategori slow proggresive.
c.
Jika sperma tidak bergerak maju, maka motilitas spermatozoa ini masuk ke dalam kategori non proggresive.
d.
Jika sperma tidak bergerak, maka motilitas spermatozoa ini masuk ke dalam kategori immotile. Kemampuan spermatozoa hidup secara normal setelah keluar dari testis
hanya berkisar antara 1-2 menit (Effendie, 1997). Kemampuan hidup (viabilitas) spermatozoa sangat dipengaruhi oleh suhu dan secara umum akan hidup lebih lama dalam suhu rendah (Toelihere, 1981). Perubahan infrastruktur pada membran plasma, hilangnya beberapa matrik mitokondria dan penurunan densitas elektron dari matrik mitokondria menyebabkan hilangnya viabilitas spermatozoa. Ekor sperma merupakan alat gerak yang membutuhkan energi tinggi dari mitokondria. Sumber energi ini berasal dari pemecahan monosakarida terutama fruktosa dalam plasma semen yang berasal dari kelenjar asesoris (Toliehere, 1981). Penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa antara 20-25 menit. Tabares et al. (2007) menambahkan bahwa waktu motilitas terlama dicapai dengan menggunakan pengencer yang mengandung Na+ dan Mg+. Faktor terjadinya peningkatan waktu motilitas dan viabilitas spermatozoa tersebut adalah bahwa fruktosa dapat meningkatkan aktifitas protein yang terdapat pada ekor spermatozoa. Beberapa ahli mengatakan bahwa bagian tengah ekor spermatozoa disusun oleh mikrotubulus yang mengandung substansi fiber yang disusun oleh protein dinein. Menurut Zaneveld (1978), protein dinein ini penting karena mempunyai aktivitas ATPase. ATPase akan lancar dan menyebabkan peningkatan motilitas dan viabilitas spermatozoa. Waktu motilitas
dan viabilitas sperma akan berbanding terbalik, yaitu semakin meningkatnya waktu motilitas sperma maka akan semakin menurun waktu viabilitasnya. 2.3.
Hormon
Pertumbuhan
(Growth
Hormone/GH)
dan
Sistem
Regulasinya Hormon adalah bahan kimia pembawa sinyal yang dibentuk dalam sel-sel khusus pada kelenjar endokrin. Hormon disekresikan ke dalam darah, kemudian disalurkan ke organ-organ yang menjalankan fungsi-fungsi regulasi tertentu secara fisiologik dan biokimia. Sel kelenjar yang khusus mensintesis hormon dari prekusornya dapat menyimpan dan menyekresikannya ke dalam aliran darah sesuai kebutuhan. Hormon dan metaboliknya dikeluarkan melalui sistem ekskresi, kebanyakan melalui ginjal. Sel-sel pada organ target memiliki reseptor yang dapat mengikat hormon, sehingga informasi yang diperoleh dapat diteruskan ke sel-sel dan akhirnya menghasilkan suatu respons (Koolman & Rohm, 2001). Pesan hormon disampaikan pada sel-sel sasaran menurut dua prinsip yang berbeda. Hormon lipofilik masuk ke dalam sel dan bekerja pada inti sel, sedangkan hormon hidrofilik bekerja pada membran sel. Hormon steroid dan tiroksin termasuk dalam hormon lipofilik. Hormon ini menembus membran sel dan berikatan pada satu reseptor spesifik di dalam sel sasaran. Sementara kelompok hormon hidrofilik merupakan hormon yang tersusun dari asam amino, polipeptida dan proteohormon. Hormon-hormon hidrofilik berikatan pada bagian luar sel sasaran pada reseptor yang difiksasi dalam membran sel (Koolman & Rohm, 2001). Growth hormone (GH, hormon pertumbuhan) merupakan salah satu hormon hidrofilik polipeptida, tersusun atas asam amino-asam amino. Hormon ini mengikat permukaan sel reseptor, sehingga tidak masuk ke dalam sel (Gambar 1). Komplek yang dihasilkan akan mengaktifkan enzim yang mengkatalis sintesis cAMP dari ATP. cAMP mengaktifkan enzim lain yang tidak aktif. cAMP merupakan pembawa pesan kedua (second messenger), sedangkan hormon adalah pembawa pesan pertama (Walsh, 2002).
Gambar 1. Mekanisme kerja hormon peptida (Walsh, 2002). GH merupakan hormon polipeptida yang dilepaskan dari adenohipofisa yang menginduksi hati agar mensintesis somatomedin yang berperan langsung dalam pertumbuhan, baik pertumbuhan tulang, otot maupun sel-sel lain. Hormon ini menunda katabolisme asam-asam amino dan memacu inkorporasinya ke dalam protein-protein tubuh. Kerja hormon ini dipermudah oleh pankreas, korteks adrenal dan tiroid yang berkerja bersama-sama dalam memacu metabolisme lemak dan karbohidrat (Calduch-Giner et al., 2000; Walsh 2002). GH bekerja dengan merangsang sintesis protein dan pemecahan lemak (untuk energi). Hormon ini merupakan peptida yang besar, terdiri dari 191 asam amino dan relatif spesies-spesifik. Sekresi hormon pertumbuhan dikendalikan oleh kelenjar hipotalamus. Sekresi GH dirangsang oleh growth hormone releasing hormone (GHRH), ghrelin, protein pakan, kandungan gula darah yang rendah, peningkatan sekresi androgen, dan arginin. Sedangkan yang menghambat antara lain somatostatin, konsentrasi hormon pertumbuhan dan insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang bersirkulasi, kandungan gula darah yang tinggi, glukokortikoid, dan estradiol ataupun estrogen lainnya. Walsh (2002) menyatakan bahwa sekresi GH dari kelenjar pituitari diatur oleh regulator hipotalamik, yaitu growth hormone realeasing factor (GHRF). Pelepasan GH dapat dirangsang oleh kondisi hipoglikemia dan asam amino seperti arginina (Price & Wilson, 1995). Pelepasan hormon ini dihambat oleh faktor hipotalamik kedua yaitu hormon penghambat pelepasan GH (somatostatin). Peter & Marchant (1995) mengemukakan bahwa sekresi GH terjadi oleh pengaruh multi faktor, baik yang bersifat memacu atau menghambat. Sekresi GH dipacu utamanya oleh GHRF, gonadotropin-releasing hormone ciclic-II (cGnRHII) dan dopamin. Sementara hasil pengujian secara in vitro menunjukkan potensi
stimulasi GH oleh kolesistokinin (CCK), neuropeptida Y (NPY) dan hormon pelepas
tirotropin
(tyrotropin
releasing
hormone/TRH).
Somatostatin,
norepineprin dan serotonin menghambat sekresi GH secara langsung. Sedangkan norepineprin dan serotonin dapat mendorong sekresi GH secara tidak langsung melalui aksi stimulasi pada GnRh yang kemudian menstimulasi sekresi GH. Hormon pertumbuhan mempunyai peranan yang penting pada proses transfer asam amino ekstraselular melintasi membran sel, khususnya ke dalam sel-sel otot dan menahan asam amino tersebut tetap di dalam sel. Selain itu hormon ini dapat memacu retensi berbagai mineral dan elemen essensial lain untuk pertumbuhan normal (Walsh, 2002). GH merupakan bagian dari hormon yang disirkulasikan dan menstimulasi pertumbuhan tubuh. Selain itu berperan juga dalam adaptasi di air laut pada kelompok ikan-ikan salmonid (McLean & Donaldson, 1993), menstimulasi steroidogenesis gonad (Rand-Weaver & Kawauchi 1993) dan fungsi imun (Calduch-Giner et al., 2000). Menurut Matty (1985) GH mampu meningkatkan nafsu makan, konversi pakan, sintesis protein, menurunkan ekskresi (loading) nitrogen, merangsang metabolisme dan oksidasi lemak, serta memacu sintesis dan pelepasan insulin. Selain itu, GH juga mempengaruhi reproduksi (Le Gac et al., 1993; Van Der Kraak et al., 1990 dalam Li et al., 2005) dan osmoregulasi (Sakamoto et al., 1993; Tatsuya & Hirano, 1993 dalam Li et al., 2005). Beberapa pengaruh hormon pertumbuhan dalam tubuh antara lain meningkatkan retensi kalsium, meningkatkan massa otot, merangsang lipolisis, meningkatkan sintesis protein, merangsang pertumbuhan dari seluruh organ internal kecuali otak, berperan dalam pemenuhan homeostasi, mengurangi pengambilan glukosa oleh hati, merangsang glukoneogenesis dalam hati, berkontribusi dalam pemeliharaan dan fungsi dari islet pankreatik, dan merangsang sistem imun. Selain pertumbuhan yang lambat, kekurangan hormon pertumbuhan juga dapat menghambat pematangan seksual. Kandungan GH dalam tubuh ikan berkisar antara 0,2-111,2 ng/ml plasma darah (Björnsson et al. 1988; Takahashi et al. 1991; Farbridge et al. 1992; Björnsson et al. 1998; Björnsson et al. 2000; Einarsdottir et al. 2002; Arnesen et al. 2003; Drennon et al. 2003; Nordgarden et al. 2005). Faktor ekstrinsik seperti
fotoperiod dan temperatur dapat mempengaruhi kandungan GH pada pituitari ikan yellow perch (Robert et al., 2004). Pada ikan Eurasians perch (Perca fluviatilis) kandungan GH pituitari mencapai level maksimum di bulan Mei/Juni saat fotoperiod terpanjang (Swift & Pickford, 1965). Sementara Jourdan et al. (2000) menambahkan bahwa fotoperiod (18L : 6 D atau 24L : 0D) mampu meningkatkan pertumbuhan juvenil ikan Eurasians perch. 2.4.
Transgenesis Melalui Metode Elektroporasi Teknologi transgenesis atau teknologi transfer gen ini merupakan suatu
proses mengintroduksi DNA eksogen atau DNA asing ke embrio dengan tujuan untuk memanipulasi struktur genetiknya (Glick & Pasternak, 2003). Penelitian awal pada transgenesis ikan pada saat ini berkembang pada banyak jenis ikan. Pada dua dekade terakhir, paling sedikit 35 jenis ikan diteliti untuk menjadi subyek transgenik terutama melalui perbaikan pertumbuhan melalui transgenesis gen GH. Dalam usaha budidaya perikanan teknologi transgenik ini berguna untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan dan krustase (Devlin et al., 1995), meningkatkan daya tahan terhadap penyakit (Dunham, 2004), mengurangi laju konsumsi oksigen pada ikan (Cook et al., 2000), serta untuk memproduksi protein farmaseutika/nutraseutika yang berguna bagi akuakultur dan kesehatan manusia (Kinoshita & Ozato, 1995; Fletcher & Davies, 1991; Collas et al., 2000). Sebagai contoh aplikasi teknologi transgenesis yang telah berhasil diantaranya adalah peningkatan daya tahan terhadap bakteri patogen dengan mengintroduksikan peptida cecropin-B pada channel catfish transgenik (Dunham, 2004); peningkatan laju pertumbuhan pada ikan salmon Pasifik (Devlin et al., 1995), ikan mud loach (Nam et al., 2001), dan ikan nila (Kobayashi et al., 2007). Secara umum, proses produksi organisme transgenik terdiri dari beberapa tahapan, sebagai berikut: (1) identifikasi gen yang diinginkan (gen target), (2) isolasi gen target, (3) amplifikasi gen target untuk memproduksi beberapa copy, (4) penggabungan gen target dengan promoter yang tepat dan sekuens poliadenilasi serta insersi ke dalam plasmid, (5) multiplikasi plasmid dalam bakteri dan purifikasi konstruksi gen untuk injeksi, (6) transfer konstruksi gen ke dalam jaringan resipien, (7) screening keberhasilan integrasi gen eksogen ke
dalam genom resipien, (8) analisis tingkat ekspresi transgen, dan (9) analisis pewarisan transgen pada generasi selanjutnya (Beardmore & Porter, 2003). Beberapa metode transfer gen untuk memproduksi ikan transgenik di antaranya adalah melalui mikroinjeksi DNA ke dalam nukleus telur yang telah dibuahi (Ozato et al., 1986), elektroporasi pada telur dan sperma (Inoue et al., 1990; Lu et al., 2002), lipofeksi gonad (Lu et al., 2002), retrovival vector (Lin et al., 1994) dan particle gun bombardment (Yazawa et al., 2005).
Di antara
metode-metode transfer gen tersebut, mikroinjeksi merupakan teknik yang paling banyak dipakai untuk memproduksi ikan transgenik. Namun demikian, teknik mikroinjeksi membutuhkan keterampilan yang tinggi dan tingkat keberhasilannya ditentukan oleh karakteristik telur; antara lain besar kecilnya ukuran telur, korion yang keras, mudah pecah, buram dan sebagainya (Lanes et al., 2009). Bagaimanapun juga, memproduksi hewan transgenik melalui mikroinjeksi tergolong relatif mahal dengan tingkat keberhasilan 1-4% (Anzar & Buhr, 2006). Elektroporasi memfasilitasi terbentuknya pori-pori temporal yang bersifat permeabel guna membantu transgen/DNA rekombinan masuk ke dalam sel melalui permukaan membran sel (Chen, 1995; Sarmasik, 2003). Sedangkan, transfeksi adalah metode transfer gen dengan reagen tertentu yang membungkus DNA sehingga dengan reagen tersebut memungkinkan DNA dapat masuk ke sel inang melalui dinding sel. Reagen yang digunakan dalam proses tranfeksi adalah dari bahan lipid. Metode transfer gen lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan teknik elektroporasi (Dunham, 2004). Elektroporasi merupakan salah satu teknik aplikasi kejutan listrik pada suspensi sel yang mengakibatkan terjadinya polarisasi membran sel dan mengembangkan tegangan pada seluruh membran sel. Pada saat perbedaan potensial antara bagian dalam dan luar membran sel melewati titik kritis, komponen membran sel akan melakukan reorganisasi ke dalam pori dalam area terlokalisasi, sehingga membran sel menjadi permeabel terhadap masuknya makromolekul di sekitarnya (Knight, 1981). Perubahan permeabilitas tersebut bersifat sementara dan dengan syarat kejutan listrik tidak melebihi batas kritis bagi sel (Tsong, 1983). Dewi (2010) menyebutkan bahwa efisiensi transfer gen
menggunakan elektroporasi dipengaruhi oleh kombinasi tingkat kuat medan listrik, jumlah kejutan listrik serta konsentrasi DNA yang akan diinsersikan. Proses elektroporasi dapat dilakukan pada sperma (Kang et al., 1990). Hal ini dikarenakan sperma dapat berperan sebagai pembawa DNA eksogen, serta memiliki kemampuan alami untuk mentransfer DNA eksogen ke dalam oosit dan memproduksi benih transgenik (Anzar & Buhr, 2006). Pembuktian pertama kali telah dilakukan oleh Brackett et al. (1971) bahwa sperma kelinci mampu mengikat DNA eksogen yang terdapat dalam larutan, dan DNA eksogen yang terikat ini mampu terlokalisasi di bagian kepala sperma. Selanjutnya Arezzo (1989) dan Lavitrano et al. (1989) membuktikan bahwa sel spermatozoa bulu babi dan tikus dapat digunakan sebagai vektor untuk transfer gen. Spermmediated gene transfer (SMGT) juga mampu memproduksi babi transgenik yang mengandung human decay accelerating factor (hDAF) dengan tingkat transkripsi 64% pada jaringan yang diuji. Metode ini lebih sederhana dibandingkan mikroinjeksi pada zigot dan membuka peluang untuk melakukan transgenesis pada skala massal (Anzar & Buhr, 2006). Menurut Sin et al. (2000), sperm-mediated gene transfer (SMGT) merupakan suatu metode yang ideal untuk transfer gen secara massal pada organisme yang fertilisasinya bersifat eksternal, seperti pada ikan salmon. SMGT dapat berguna untuk transgenesis pada spesies yang memiliki fekunditas tinggi, ukuran telur yang sangat kecil serta dapat mudah diakses pada spermatozoanya (Lanes et al., 2009). Beberapa keuntungan dari aplikasi elektroporasi pada sperma ikan, yaitu: (1) teknik elektroporasi merupakan teknik transfer gen secara massal, (2) Mampu mengatasi beberapa kekurangan sistem transfer gen konvensional yang disebabkan oleh karakter telur, seperti; warna yang buram, menempel, melayang, pronuklei yang tidak nampak, dan korion yang keras, (3) DNA asing harus ditransfer ke dalam nukleus, jika telur hasil fertilisasi dielektroporasi dengan DNA asing, maka fragmen DNA memiliki kesempatan yang lebih besar untuk ditransfer ke dalam beberapa tempat selain blastodisk karena volumenya sangat kecil dalam telur hasil fertilisasi, (4) sperma ikan mudah ditangani, karena penambahan air secara sederhana mampu mengaktifkan sperma, (5) sperma dari
hewan akuatik dapat diawetkan (cryopreservation), sehingga sperma dapat selalu tersedia untuk digunakan (Tsai, 2000). Menurut Symonds et al. (1994) bahwa jumlah DNA yang akan ditransfer ke dalam sperma tergantung pada tegangan listrik (kV/cm atau V/cm), jumlah kejutan yang dikenakan dan konsentrasi DNA. Sedangkan efisiensi transfer DNA ke embrio atau sperma yang dielektroporasi sangat dipengaruhi oleh tegangan dan lama kejutan. Sin (2000) menyebutkan bahwa sperma dalam kondisi motil akan lebih mampu mengikat DNA asing yang akan ditransfer hingga mencapai 30% dari keseluruhan sperma. Dinyatakan lebih lanjut bahwa beberapa molekul DNA terletak atau mengikat pada bagian luar spermatozoa ikan salmon (Symonds et al., 1994), abalon Haliotis iris (Sin et al., 1995) dan ikan zebra (Patil & Khoo, 1996). Motilitas dari sperma ikan yang merupakan ukuran dari kelangsungan hidup sperma akan menurun dengan semakin meningkatnya tegangan dan lama kejutan. Namun demikian, kelangsungan hidup dari embrio yang dibuahi dengan sperma yang dielektroporasi dibandingkan dengan sperma tanpa perlakuan tidak nampak perbedaan karena diperkirakan 30 juta sel sperma digunakan untuk membuahi 500 butir telur (Sin, 2000). Menurut Lavitrano et al. (2006), setidaknya ada dua parameter penting yang harus optimal dalam teknik SMGT agar lebih efisien, yaitu kualitas semen dan proses masuknya sperma. Proses masuknya sperma ini sangat tergantung pada viabilitas dan motilitas sperma. Sedangkan kualitas sperma dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: musim, frekuensi pengambilan sperma, dan usia donor. Keberhasilan fertilitas sperma sangat dipengaruhi oleh motilitas sperma tersebut. Ada korelasi positif kemampuan DNA asing masuk dan berintegrasi dengan inti sperma dengan kualitas semen utamanya dan tingkat motilitas sperma. Untuk itu diperlukan progresivitas motilitas sperma paling tidak 80% dan tidak boleh lebih kecil dari 65%. 2.5.
Ekspresi Gen Peningkatan laju pertumbuhan ikan merupakan salah satu motivasi awal
pada rekayasa genetika ikan, yang didasarkan pada penelitian bahwa ukuran tikus secara
signifikan
dapat
ditingkatkan
setelah
diintroduksi
gen
hormon
pertumbuhan tikus tanah (sekuen heterolog) yang disambungkan dengan promoter metallothionein (MT) tikus ke dalam genom tikus (Palmitter et al., 1982). Tingkat ekspresi transgen pada organisme transgenik yang stabil dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain, promoter yang mengendalikan transgen, jumlah copy transgen dalam genom inang, serta hasil interaksi antara transgen dengan sekuen yang mengapit transgen (Rahman et al., 2000). Rahman et al. (2000) juga menyebutkan bahwa introduksi gen LacZ dengan promoter βactin ikan mas pada ikan nila menunjukkan pola mozaik dari ekspresi LacZ pada jaringan somatik berbeda antar garis keturunan, tetapi konsisten dalam satu garis keturunan. Hasil penelitian Devlin et al. (1994) menunjukkan bahwa transfer gen dengan menggunakan konstruksi gen ”all-salmonid” yang mengandung gen GH-I dari salmon sockeye (Oncorhynchus nerka) yang disambungkan dengan promoter salmon sockeye metallothionein-B (MT-B) pada salmon coho (O. kisutch), yaitu spesies yang kekerabatan dekat, menunjukkan peningkatan pertumbuhan yang drastis. Hackett (1993) menyebutkan bahwa ikan mas, salmon, Northern pike, loach, trout dan lele dapat ditransformasikan dengan berbagai hormon pertumbuhan di bawah kontrol promoter yang berbeda untuk memproduksi ikan dengan peningkatan pertumbuhan lebih dari 100% dibandingkan kontrol. Bobot rataan ikan patin siam transgenik F0 yang diintroduksi GH ikan patin melalui metode elektroporasi pada sperma sebagai vektor, dengan konsentrasi DNA 50 µg/ml dan 90 µg/ml mengalami peningkatan sebesar 2,6% dan 19,0% dibandingkan non-transgenik, tetapi pada konsentrasi 10 µg/ml lebih rendah, yaitu -8,5% (Dewi, 2010). Ekspresi transgen pada organisme transgenik dapat dideteksi dengan menggunakan teknik RT-PCR, menggunakan primer spesifik (sesuai dengan gen yang transfer) untuk kemudian dibandingkan dengan ekspresi gen β-actin (Kobayashi et al., 2007). Dewi (2010) menyebutkan bahwa pengamatan ekspresi transgen dapat dilakukan dengan mengamati secara fenotipe individu transgenik tersebut.
III. BAHAN DAN METODE
3.1.
Perangsangan ovulasi dan spermiasi Perangsangan ovulasi dilakukan dengan menggunakan Ovaprim dengan
dosis 0,2 ml/kg bobot tubuh induk ikan mas jantan dan 0,5ml/kg bobot tubuh induk mas betina. Perangsangan ovulasi dilakukan guna memastikan ikan ovulasi pada waktu yang diinginkan. Ikan mas yang digunakan adalah strain majalaya, sebanyak satu ekor betina dan satu ekor jantan. Ketika ikan mas memijah, induk jantan dan betina diangkat kemudian dilakukan pengurutan (stripping) sperma dan telurnya. 3.2.
Elektroporasi sperma dan analisis efektivitas transfer gen GH eksogen pada ikan F0 Proses transfer gen dilakukan dengan menggunakan metode elektroporasi
pada sperma. Elektroporasi dilakukan dengan menggunakan alat Gene Pulser II (Gambar 3; Biorad, USA). Proses elektroporasi dilakukan dengan tipe kejutan square wave dan dua program guna mengetahui efektivitasnya pada ikan mas. Program pertama mengacu pada program elektroporasi yang berhasil dilakukan pada ikan kerapu tikus, yaitu: kuat tegangan listrik 50 Volt/cm, lama kejutan 0,5 ms, jumlah kejutan 5 kali, jeda waktu antar kejutan 0,1 s serta konsentrasi DNA pmβa-tiGH 25ng/μL (Subyakto, 2010). Sementara itu, program kedua mengacu pada program elektroporasi yang dilakukan pada ikan mas, yaitu: kuat tegangan listrik 40 Volt/cm, lama kejutan 0,5 ms, jumlah kejutan 4 kali, jeda waktu antar kejutan 0,1 s serta konsentrasi DNA pmβa-tiGH 300 ng/μL (Faqih, 2011). Pelaksanaan metode elektroporasi dilakukan dengan mengencerkan sperma ikan mas terlebih dahulu sebanyak 10 kali sebelum dilakukan proses elektroporasi. Sebanyak 25 µL sperma ditambahkan DNA masing-masing 25 ng/μL dan 300 ng/μL, dan larutan fisiologis NaCl hingga volume mencapai 590 µL. Selanjutnya larutan sperma tersebut dielektroporasi pada cuvet yang berukuran 0,2 pada parameter yang telah ditentukan. Selanjutnya, larutan sperma digunakan 100 µL untuk dianalisis PCR, 5 µL untuk pengamatan motilitas di bawah mikroskop dan 485 µL untuk fertilisasi telur.
Peralatan dan prosedur pelaksanaan elektroporasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2 dan Lampiran 2.
1 2
(A) (B) Gambar 2. Unit peralatan untuk pelaksanaan elektroporasi pada sperma. Gene Pulser Xcell Unit (A) beserta komponennya: ShockPod (B.1) dan Cuvet (B.2). Pembuahan telur dilakukan dengan cara mencampur sperma dan telur ikan mas dalam media air, agar sperma menjadi motil. Campuran tersebut selanjutnya diinkubasi dalam akuarium berukuran 60 cm x 50 cm x 40 cm yang telah berisi air, dan masing-masing dilengkapi dengan aerasi. Pemanas air (water heater) digunakan pada tiap akuarium untuk mempertahankan suhu pada 27-28˚C. Pengamatan dilakukan terhadap motilitas dan viabilitas sperma setelah perlakuan elektroporasi, keberadaan DNA pmβa-tiGH pada sperma, perkembangan embrio hasil pembuahan, dan jumlah penetasan larva setelah 24 jam masa inkubasi. Derajat motilitas dan viabilitas sperma hasil elektroporasi diukur dengan melihat pergerakan spermatozoa di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10, dan 100x10 dari tiga bidang pandang (Gambar 3). Satu tetes sperma diteteskan dengan menggunakan mikropipet di atas gelas obyek, kemudian ditutup dengan cover glass. Pada tepi cover glass diteteskan akuades, lalu dilihat pergerakan spermatozoa setelah terkena akuades. Penilaian motilitas didasarkan pada jumlah sperma yang bergerak maju (progresif) terhadap jumlah keseluruhan sperma. Derajat kelangsungan hidup sperma hasil elektroporasi diamati melalui pewarnaan Erithrosin B 2%. Satu tetes sperma diteteskan dengan menggunakan mikropipet di atas gelas obyek dan ditambahkan Erithrosin B 2%, kemudian dicampur secara merata. Penilaian viabilitas sperma didasarkan pada perbedaan kriteria sperma yang hidup dan yang mati. Sperma yang hidup ditandai dengan kepala sperma yang berwarna transparan dan bergerak aktif, sedangkan sperma yang mati
ditandai dengan kepala sperma yang berwarna buram, tidak bergerak dan mengembang.
A B
Gambar 3. Unit peralatan mikroskop Olympus CX31 (A) pada pengamatan sperma dan embrio ikan mas hasil elektroporasi dan divisualisasikan pada monitor (B). Analisis keberadaan DNA pmβa-tiGH pada sperma dimulai dengan mengisolasi
DNA
genom.
Sampel
sperma
pasca
elektroporasi
dibilas
menggunakan phosphate buffer saline (PBS) untuk membersihkan sisa plasmid pada media elektroporasi. Selanjutnya sperma disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang. Proses pembilasan ini dilakukan sebanyak dua kali. Pelet sperma yang terbentuk kemudian diresuspensi dengan menambahkan ke dalam tabung mikro 200 μl cell lysis solution (Puregene, Minneapolis, USA), 2 μl proteinase K (20 mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 55˚C selama semalam (over night). RNase sebanyak 2 μL (4 mg/mL) ditambahkan ke dalam larutan dan diaduk secara hati-hati dengan membolak-balik tabung mikro. Larutan kemudian diinkubasi pada suhu 37˚C selama 60 menit, dan disimpan pada suhu -20˚C selama 5 menit. Sebanyak 100 μL protein precipitation solution (Puregene, Minneapolis, USA) ditambahkan ke dalam larutan, selanjutnya dihomogenasi menggunakan vorteks dan disimpan kembali pada suhu -20˚C selama 15 menit. Kemudian, disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro berisi 300 μL isopropanol 100%, lalu tabung mikro dibolakbalik sebanyak 50x dengan hati-hati dan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang dan ditambahkan 300 μL etanol 70% dingin. Kemudian disentrifugasi kembali pada kecepatan 12000 rpm
selama 10 menit. Selanjutnya supernatan dibuang dan pelet DNA yang terbentuk dikering-udarakan. Steril destillated water (SDW) ditambahkan sebanyak 30 μL ke dalam tabung mikro digunakan untuk melarutkan DNA. Larutan DNA selanjutnya dapat disimpan dalam freezer suhu -20˚C hingga digunakan dalam proses selanjutnya. Keberadaan DNA pmβa-tiGH pada sperma diamati dengan metode polymerase chain reaction (PCR) semi-kuantitatif menggunakan primer tiGH forward
(5-AGACAGC
CAGCGTTTGTTCT-3)
dan
tiGH
reverse
(5-
CCAGGACTCAACCAGTCCAT-3). Analisis PCR dilakukan dengan volume reaksi sebanyak 10 μL yang terdiri atas 1 μL 10 x dream taq buffer, 0,2 μM dNTP mix, 0,25U dream Taq DNA polymerase (Fermentas International Inc, Burlington, Kanada), 1 μL DNA sebagai cetakan, dan 1 mM untuk setiap primer. Proses denaturasi awal dilakukan pada suhu 95°C selama 5 menit, diikuti dengan 35 siklus denaturasi pada suhu 95°C selama 30 detik, annealing pada suhu 62°C selama 30 detik, ekstensi pada suhu 72°C selama 1 menit dan ekstensi akhir 72°C selama 5 menit. Sebanyak 1 μL produk amplifikasi PCR digunakan dalam elektroforesis dengan menggunakan 1% gel agarosa. Visualisasi pita DNA menggunakan Gel Red (Biotum, Inc,USA) dengan bantuan cahaya ultraviolet. Produk amplifikasi berada pada kurang lebih 250 base pairs (bp) (Kobayashi et al,. 2007). Efektivitas transfer gen eksogenus diamati melalui persentase individu transgen yang membawa DNA tiGH setelah benih berukuran 3-5 cm atau umur 2 bulan. Analisis keberhasilan transfer gen GH eksogen pada benih ikan mas transgenik F0 dilakukan dengan menggunakan metode PCR. Sampel sirip pada ikan mas hasil elektroporasi saat mencapai ukuran 3-5 cm. Diharapkan bahwa ukuran sirip pada ikan berukuran 3-5 cm telah mencukupi untuk proses pemotongan sehingga dapat mengurangi risiko kematian pada ikan yang dianalisis. Selanjutnya dilakukan proses PCR untuk mendeteksi keberadaan gen GH. Gen GH dideteksi dengan menggunakan primer tiGH forward (5AGACAGCCAGCGTTTGTTCT-3) dan tiGH reverse (5-CCAGGACTCAACCAGTCCAT-3) dengan gen target sepanjang kurang lebih 250 bp (Kobayashi et al,. 2007). Pereaksi PCR dalam 10 μl terdiri dari 1 μL 10 x dream Taq bufer, 0,2
μM dNTP mix, 0,25 U dream Taq DNA polymerase (Fermentas International Inc, Burlington, Kanada), 1 μL DNA template, dan 1 mM masing-masing primer forward dan reverse. Proses PCR dilakukan menggunakan alat Rotor Gene 6000 (Gambar 5; Corbeth Research Inc, Sydney, Australia), dengan program amplifikasi: 95°C selama 5 menit, diikuti dengan 35 siklus yang terdiri dari 95°C selama 30 detik, 62°C selama 30 detik, 72°C selama 1 menit dan 72°C selama 5 menit. Pengecekan hasil amplifikasi dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1%. Selanjutnya benih calon F0 ikan mas dipelihara selama 8 bulan atau hingga matang gonad. Pemeliharaan dilakukan di kolam beton dengan menggunakan hapa berukuran 2x2x1 cm. Pemberian pakan dilakukan setiap hari sebanyak 30% kemudian menurun hingga 5% bobot biomas/hari, dengan frekuensi pemberian sebanyak tiga kali setiap hari. Persentase pemberian pakan selama pemeliharaan berkurang searah dengan pertambahan bobot ikan. Analisis untuk menentukan ikan founder (F0) yang membawa transgen di gamet dilakukan dengan menggunakan metode PCR yang sama pada sampel sperma individu jantan. Sementara analisis untuk induk betina tetap dilakukan pada sampel sirip. Hal ini dikarenakan sel telur pada induk betina baru diperoleh setelah umur ikan 1,5-2 tahun.
B
A
Gambar 4. Unit peralatan mesin PCR Rotor Gene 6000 (A) beserta komputernya (B). 3.3.
Produksi dan analisis ekspresi transgen ikan mas transgenik F1 Produksi ikan mas transgenik F1 dilakukan dengan memijahkan 5 ekor
individu ikan mas jantan transgenik F0 berbeda yang membawa transgen di sperma dengan 1 ekor ikan mas betina normal (non-transgenik). Pemijahan ikan dilakukan dengan metode semi buatan. Perangsangan ovulasi dilakukan dengan menggunakan Ovaprim dengan dosis 0,2 mL/kg bobot tubuh induk ikan mas
jantan dan 0,5 mL/kg bobot tubuh induk mas betina. Ketika ikan mas memijah, induk jantan dan betina diangkat kemudian dilakukan pengurutan (stripping) sperma dan telurnya. Pembuahan telur dilakukan dengan cara mencampur sperma dan telur ikan mas dalam media air. Embrio diinkubasi dalam akuarium berukuran 60 cm x 50 cm x 40 cm yang telah berisi air, dan masing-masing dilengkapi dengan aerasi. Pemanas air (water heater) digunakan pada tiap akuarium untuk mempertahankan suhu pada 27-28˚C. Larva yang dihasilkan selanjutnya dipelihara dalam akuarium yang sama dengan kepadatan 1.000 ekor tiap akuarium. Pakan larva yang diberikan berupa naupli Artemia sp. yang diberikan sebanyak 10% bobot biomasa (bobot basah) per hari. Pemberian pakan dilakukan empat kali dalam sehari selama dua minggu pemeliharaan. Selama pemeliharaan, penggantian air dilakukan setiap hari sebanyak 30% dari total volume air. Pemeliharaan benih selanjutnya dilakukan dalam wadah hapa berukuran 2 m x 2 m x 2 m dengan mata jaring yang sesuai mengikuti ukuran benih (Gambar 6). Seluruh hapa diletakkan dalam satu kolam yang sama agar tercapai kondisi lingkungan yang homogen. Penggantian hapa dilakukan setiap 2 bulan. Pengukuran bobot awal biomas dilakukan sebelum benih dimasukkan ke dalam hapa. Pakan yang diberikan berupa pelet halus dengan kadar protein 28% sebanyak 30% bobot biomas per hari. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali dalam sehari. Analisis keberhasilan transfer gen GH eksogenus pada benih ikan mas transgenik F1 dilakukan dengan menggunakan metode PCR. Sampel sirip pada ikan mas hasil elektroporasi saat mencapai ukuran 3-5 cm.
Primer yang
digunakan adalah tiGH forward (5-AGACAGCCAGCGTTTGTTCT-3) dan tiGH reverse (5-CCAGGACTCAACCAGTCCAT-3) dengan gen target sepanjang kurang lebih 250 bp (Kobayashi et al., 2007). Pereaksi PCR dalam 10 μL terdiri dari 1 μL 10x dream Taq bufer, 0,2 μM dNTP mix, 0,25U dream Taq DNA polymerase (Fermentas International Inc, Burlington, Kanada), 1 μL DNA sebagai cetakan, dan 1 mM untuk setiap primer. Proses PCR dilakukan dengan program amplifikasi: 95°C selama 5 menit, diikuti dengan 35 siklus yang terdiri dari 95°C selama 30 detik, 62°C selama 30
detik, 72°C selama 1 menit dan 72°C selama 5 menit. Pengecekan hasil amplifikasi dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1%. Analisis ekspresi transgen diamati melalui ekspresi fenotipe dan genotipe individu F1 transgenik yang dihasilkan. Pengamatan ekspresi secara fenotipe dilakukan dengan mengukur bobot benih individu F1 berumur 2 bulan dan 4 bulan. Pengukuran bobot dilakukan pada masing-masing individu F1 hasil dari tiap induk. Selanjutnya dibuat grafik distribusi bobot individu F1 yang positif menyandi hormon pertumbuhan (transgenik) dan yang tidak menyandi hormon pertumbuhan (non-transgenik) dari hasil pemijahan tiap induk jantan F0. Penghitungan juga dilakukan terhadap kelangsungan hidup (survival rate/SR) individu F1. Pengamatan ekspresi genotipe dilakukan dengan analisis terhadap sirip individu F1transgenik, yang dihasilkan dari 5 jantan F0 founder. Sebagian sirip individu F1 positif tersebut dipotong untuk selanjutnya dilakukan ekstraksi total RNA. Proses ekstraksi RNA dilakukan dengan menggunakan RNeasy Mini kit (Qiagen, Australia). Selanjutnya dilakukan proses reverse transcription PCR (RTPCR) menggunakan One Step RT-PCR kit (Qiagen, Australia) dengan program: 50°C selama 30 menit, diikuti tahap aktivasi awal PCR pada suhu 95°C selama 15 menit, dilanjutkan dengan proses amplifikasi sebanyak 35 siklus yang terdiri dari: 95°C selama 20 detik, 62°C selama 15 detik, 72°C selama 15 detik. Kemudian diakhiri dengan tahap ekstensi akhir pada suhu 72°C selama 10 menit. Proses RTPCR tersebut menggunakan primer tiGH forward (5-AGACAGCCAGCGTTTGTTCT-3) dan tiGH reverse (5-CCAGGACTCAACCAGTCCAT-3) dengan gen target sepanjang kurang lebih 250 bp (Kobayashi et al., 2007). Sebagai kontrol internal dilakukan pengamatan ekspresi gen β-aktin. Deteksi ekspresi gen β-aktin dilakukan melalui proses RT-PCR menggunakan RT-PCR kit (Qiagen, Australia), primer β-aktin forward (5-ATG GTT GGT ATG GGA CAG AAG GAC-3) dan β-aktin reverse (5-CTG TGT CAT CTT TTC CTG TTG GC3) (Kobayashi et al., 2007) dengan program: 50°C selama 30 menit, 95°C selama 15 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus yang terdiri dari: 95°C selama 20 detik, 59°C selama 20 detik, 72°C selama 30 detik, dan ekstensi akhir pada suhu 72°C selama 10 menit. Pengecekan hasil amplifikasi ekspresi gen GH dan β-actin
dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1%. Intensitas cahaya dari ketebalan setiap pita DNA dikuantifikasi menggunakan program Quantity One (Biorad Inc., California, USA). Asumsi untuk metode ini adalah jumlah copy gen berbanding lurus dengan intensitas cahaya dari pita DNA yang diukur. 3.4.
Parameter dan analisis data
Motilitas Sperma Motilitas sperma dilihat di bawah mikroskop dan diperkirakan persentase gerakan yang aktif dengan jumlah sperma total (Effendie, 1997). SM MR =
Keterangan : MR SM TS
TS
X
100%
= Persentase sperma yang motil = Jumlah sperma yang motil = Jumlah sperma total
Kelangsungan hidup sperma Kelangsungan hidup sperma diamati di bawah mikroskop dan diperkirakan persentase sperma yang hidup dengan jumlah sperma total (Effendie, 1997). SL SR =
Keterangan : SR SL TS
TS
X
100%
= Persentase sperma yang hidup = Jumlah sperma yang hidup = Jumlah sperma total
Derajat pembuahan Derajat pembuahan (fertility rate/FR) telur adalah nilai yang menunjukkan persentase embrio yang terbuahi sperma, hidup dan mengalami perkembangan hingga fase bintik mata. Perhitungan derajat kelangsungan hidup embrio ini dilakukan sebelum telur menetas (Effendie, 1997).
FE FR =
Keterangan : FR FE TE
TE
X
100%
= Persentase telur berhasil terbuahi = Jumlah telur berhasil terbuahi = Jumlah total telur diamati
Derajat penetasan Derajat penetasan (hacthing rate/HR) telur adalah nilai yang menunjukkan persentase telur yang berhasil menetas yang diperhitungkan terhadap jumlah total telur yang diamati (Effendie, 1997). HE HR =
TE
X
100%
= Persentase telur berhasil menetas = Jumlah telur berhasil menetas = Jumlah total telur diamati
Keterangan : HR HE TE Kelangsungan hidup ikan Kelangsungan hidup
(survival
rate/SR) ikan adalah nilai
yang
menunjukkan persentase ikan pengamatan yang hidup pada akhir waktu pengamatan tertentu yang diperhitungkan terhadap jumlah total ikan pada awal pengamatan (Effendie, 1997). SF SR = Keterangan : SR SF TF
TF
X
100%
= Persentase ikan hidup = Jumlah ikan hidup pada akhir penelitian = Jumlah total ikan diamati pada awal penelitian
Persentase ikan transgenik founder Persentase individu ikan yang terdeteksi membawa gen eksogen pada jaringan gonad ikan F0 (founder), diperhitungkan terhadap jumlah total individu yang dianalisis (Kobayashi et al., 2007)
∑ sampel positif Persentase ikan founder =
X
100%
∑ sampel dianalisis Laju transmisi transgen Persentase individu ikan transgenik F1 yang terdeteksi membawa gen eksogen yang diperhitungkan terhadap jumlah total individu yang dianalisis (Kobayashi et al,. 2007). ∑ sampel positif Laju transmisi =
∑ sampel dianalisis
X
100%
Laju pertumbuhan spesifik t
α= Keterangan : α Wt W0 t Data
Wt
- 1
W0 = = = =
dianalisis
X
100%
Laju pertumbuhan spesifik Bobot rataan individu pada akhir pengamatan Bobot rataan individu pada awal pengamatan Lama waktu pengamatan menggunakan
statistika
non
parametrik
dengan
membandingkan nilai rataan pada setiap parameter (Least Significant Different Test) (Kato et al., 2007). Data diolah dengan bantuan program Microsoft Excel 2007.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Elektroporasi sperma dan analisis efektivitas transfer gen GH eksogen pada ikan mas founder (F0) Pengaruh elektroporasi pada motilitas dan viabilitas sperma, derajat
pembuahan dan derajat penetasan telur, serta tingkat kelangsungan hidup 5 hari pertama dapat dilihat pada Tabel 1. Tingkat viabilitas sperma yang mengalami perlakuan elektroporasi dan penambahan DNA pmβa-tiGH relatif tinggi pada program 1 (97,00±1,73%) dan program 2 (97,67±1,53%). Namun tidak terdapat perbedaan nyata antara nilai viabilitas sperma pada program 1 dan program 2 ataupun pada kontrol (97,00±1,41%). Tabel 1. Motilitas dan viabilitas sperma, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan telur (HR), serta tingkat kelangsungan hidup 5 hari (SR) larva hasil perlakuan elektroporasi sperma dengan DNA pmβa-tiGH.
Program 1
Motilitas Sperma (%) 91,67±2,89ª
Viabilitas Sperma (%) 97,00±1,73ª
90,30±1,25ª
86,07±1,87ª 68,87±3,42ª
Program 2
93,33±2,89ª
97.67±1,53ª
88,77±2,60ª
84,57±1,03ª 67,37±1,92ª
Kontrol
90,00±0,01ª
97,00±1,41ª
93,55±0,21ª
87,50±1,27ª 67,05±1,77ª
Program Elektroporasi
FR (%)
HR (%)
SR (%)
* Kontrol adalah sperma yang dielektroporasi tanpa DNA.
Motilitas
sperma
yang
mengalami
perlakuan
elektroporasi
dan
penambahan DNA pmβa-tiGH relatif tinggi pada program 1 (91,67±2,89%) maupun program 2 (93,33±2,89%). Namun tidak terdapat perbedaan nyata antara nilai motilitas sperma pada program 1 dan program 2 ataupun pada kontrol (90,00±0,00%). Dengan demikian metode elektroporasi dengan kedua program yang dilakukan tidak mempengaruhi viabilitas dan motilitas sperma ikan mas. Viabilitas sperma tetap tinggi karena metode pemberian kejutan yang digunakan yaitu metode square wave, sehingga kemungkinan kerusakan pada sel sperma ikan mas lebih kecil. Hal ini didukung oleh pernyataan Chen et al. (2009) bahwa metode square wave dapat menghantarkan tegangan tinggi dalam
gelombang yang pendek sehingga menimbulkan sedikit panas. Selanjutnya transfer DNA dapat terjadi tanpa membunuh sel atau embrio. Motilitas sperma pasca elektroporasi bergantung pada voltase, panjang kejutan, jumlah kejutan dan kekuatan ionik buffer (Symonds et al., 1994). Pada ikan mas, motilitas dan viabilitas sperma pasca elektroporasi relatif tinggi baik pada program 1, program 2, dan kontrol. Selanjutnya, sperma yang dielektroporasi tetap memiliki kemampuan untuk membuahi sel telur. Derajat pembuahan telur oleh sperma yang telah dielektroporasi relatif tinggi baik pada program 1 (90,30±1,25%) maupun program 2 (88,77±2,60%). Namun tidak terdapat perbedaan nyata antara derajat pembuahan telur ikan mas pada program 1 dan program 2 ataupun pada kontrol (93,55±0,21%). Dengan demikian metode elektroporasi dengan kedua program yang dilakukan tidak mempengaruhi derajat pembuahan telur ikan mas. Kondisi sperma ikan akan mempengaruhi keberhasilan pembuahan sel telur. Sperma yang baik akan membuahi sel telur dengan baik. Terjadinya perubahan pergerakan (motilitas) dan viabilitas sperma akan mempengaruhi kerja sperma. Menurut Hafez (1987), semen yang memenuhi syarat untuk proses pembuahan mengandung sperma yang hidup dan bergerak aktif ke depan (progresif). Persentase sperma yang motil tidak harus lebih dari 70%, di mana dalam penggunaan sehari-hari tidak kurang dari 50%, meskipun beberapa peneliti menganjurkan 60% atau lebih Derajat penetasan telur ikan mas yang difertilisasi dengan sperma hasil elektroporasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata antara program 1 (86,07±1,87%)
dan
program
2
(84,57±1,03%)
ataupun
pada
kontrol
(87,50±1,27%). Hal ini menunjukkan bahwa metode elektroporasi yang dilakukan dengan kedua program tersebut tidak mempengaruhi penetasan telur ikan mas. Hal yang senada dilaporkan oleh Tsai et al. (2000) bahwa daya tetas telur antara yang dibuahi dengan sperma terelektroporasi dan sperma kontrol relatif sama. Tsai et al. (2000) juga menyebutkan bahwa selisih di antaranya hanya 4% lebih besar pada sperma kontrol. Hal yang relatif sama dengan penetasan telur juga diperoleh pada kelangsungan hidup larva. Tidak terdapat perbedaan nyata antara nilai
kelangsungan hidup larva ikan mas pada umur 5 hari pada program 1 (68,87±3,42%)
dan
program
2
(67,37±1,92%)
ataupun
pada
kontrol
(67,05±1,77%). Dengan demikian metode elektroporasi yang dilakukan dengan kedua program tersebut tidak mempengaruhi kelangsungan hidup larva yang dihasilkan. Aplikasi sperm mediated gene transfer (SMGT) menunjukkan tingkat keberhasilan yang bervariasi pada beberapa spesies hewan. Secara umum nampaknya sebagian besar hasil yang signifikan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi diperoleh dari invertebrata laut, amfibi dan ikan. Hal ini dimungkinkan karena beberapa alasan bahwa sel sperma dari hewan-hewan dengan karakter fertilisasi eksternal diduga memiliki karakter intrinsik yang membuat sel sperma menjadi substrat yang lebih baik sebagai perantara transfer DNA dibandingkan spermatozoa mamalia (Spadafora, 1998).
Elektroporasi
merupakan
proses
memodifikasi permeabilitas membran sel melalui kuat medan listrik. Aplikasi kejutan listrik pada suspensi sel menginduksi polarisasi komponen membran sel dan mengembangkan potensi tegangan di seluruh membran. Pada saat perbedaan potensial antara bagian dalam dan luar membran sel melewati titik kritis, komponen membran direorganisasi ke dalam pori pada area yang terlokalisasi, dan sel menjadi permeable terhadap masuknya makromolekul (Knight, 1981; Knight & Scrutton, 1986). Besarnya perubahan ukuran pori dipengaruhi oleh kuat medan listrik, lamanya kejutan dan kekuatan ionik media. Perubahan permeabilitas ini bersifat sementara, dengan syarat kejutan listrik tidak melebihi batas kritis bagi sel (Tsong, 1983).
Gambar 5. Deteksi DNA pmβa-tiGH pada sperma yang dielektroporasi menggunakan program 1 (kolom nomor 1-2), dan program 2 (kolom nomor 3-4), kontrol sperma yang dielektroporasi tanpa penambahan DNA tiGH (K⁻) dan kontrol plasmid DNA (K⁺). Angka di sebelah kiri gambar adalah ukuran fragmen DNA marker (M). Tanda kepala panah di kanan gambar adalah posisi target amplifikasi PCR (250 bp).
Analisis keberadaan DNA pmβa-tiGH pada sperma yang dielektroporasi menggunakan
PCR
semi-kuantitatif
menunjukkan
bahwa
sperma
hasil
elektroporasi membawa DNA pmβa-tiGH baik pada program 1 ataupun program 2. Sementara pita DNA pmβa-tiGH yang sama tidak terlihat pada perlakuan kontrol (Gambar 5).
Hal ini menunjukkan bahwa gen pmβa-tiGH berhasil
ditransfer ke sperma ikan mas melalui metode elektroporasi dengan program 1 ataupun program 2. Selanjutnya, hasil analisis keberadaan DNA pmβa-tiGH pada embrio ikan mas setelah 4 jam fertilisasi menggunakan PCR semi-kuantitatif, juga menunjukkan bahwa DNA pmβa-tiGH ditemukan pada embrio hasil fertilisasi telur oleh sperma yang dielektroporasi dengan penambahan tiGH, baik pada program 1 ataupun program 2. Sementara pita DNA pmβa-tiGH yang sama tidak terlihat pada perlakuan kontrol (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa gen pmβa-tiGH yang ditransfer melalui metode elektroporasi dengan program 1 dan program 2 mampu terintegrasi ke dalam kepala sperma yang dielektroporasi.
Gambar 6. Deteksi DNA pmβa-tiGH pada embrio setelah 4 jam fertilisasi menggunakan sperma yang telah dielektroporasi dengan program 1 (kolom nomor 1-5), dan program 2 (kolom nomor 6-10), kontrol plasmid DNA (K⁺) dan kontrol embrio hasil elektroporasi sperma tanpa penambahan DNA pmβa-tiGH (K⁻). Tanda panah di sebelah kanan gambar adalah posisi target amplifikasi PCR (250 bp). Fase perkembangan embrio hasil pembuahan menggunakan sperma yang telah dielektroporasi diamati hingga larva menetas pada hari ke-2. Pengamatan ini untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan perkembangan embrio yang terjadi pada embrio hasil perlakuan elektroporasi dibandingkan kontrol. Perkembangan embrio tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Perkembangan embrio dan larva
dari telur yang dibuahi oleh sperma hasil elektroporasi adalah normal seperti halnya non-transgenik. Analisis keberhasilan transfer gen GH eksogen pada benih ikan mas transgenik F0 diamati melalui persentase individu transgen yang membawa DNA pmβa-tiGH setelah benih berukuran 3-5 cm atau umur 2 bulan. Selanjutnya benih founder F0 ikan mas dipelihara selama 8 bulan atau hingga matang gonad. Analisis untuk menentukan induk founder (F0) dilakukan dengan menggunakan metode PCR yang sama pada sampel sperma individu jantan. Hasil analisis DNA pada sirip benih F0 dan sperma individu jantan ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Tabel 2. Rerata jumlah dan persentase ikan membawa gen tiGH pada sirip dan sperma yang dideteksi menggunakan metode PCR. Program elektroporasi 1 2
Ikan membawa tiGH di sirip N (ekor) 210,7±8,3 189,3±4,0
Ikan membawa tiGH di sperma
tiGH⁺ % (ekor) 107,7±9,6ª 51,1±3,1ª 58,0±2,0
b
30,7±1,7
b
tiGH⁺ (ekor) 35,7±3,1ª
N (ekor) 72±4,9ª 128±11,4
b
41,7±1,7
b
% 49,1±7,5ª 32,1±5,7b
* Nilai merupakan rerata dari 3 ulangan. n = jumlah individu dianalisis; tiGH⁺ = individu positif tiGH⁺; % = rerata persentase ikanyang membawa gen tiGH.
Gambar 7. Deteksi DNA pmβa-tiGH pada sperma ikan mas founder F0 (kolom nomor 1-8), kontrol positif berupa plasmid tiGH (K+), dan kontrol negatif berupa ikan mas non-transgenik (K-). M= marker DNA VC 100 bp Plus DNA Ladder (Vivantis, USA). Jumlah dan persentase ikan founder (F0) yang membawa gen tiGH di sirip berbeda nyata lebih tinggi pada program 1 (107,7±9,6 ekor ; 51,1±3,1%) dibandingkan program 2 (58,0±2,0 ekor ; 30,7±1,7 %) (Tabel 2). Demikian juga hasil analisis gen pmβa-tiGH pada gonad, meskipun rerata jumlah individu founder F0 pada program 1 (35,7±3,1ekor) lebih rendah dibanding program 2 (41,7±1,7 ekor) akan tetapi persentase ikan mas jantan founder (F0) menunjukkan
nilai yang berbeda nyata lebih tinggi pada program 1 (49,1±7,5%) dibandingkan program 2 (32,1±5,7 %). Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi ikan mas founder (F0) secara nyata lebih baik dihasilkan melalui metode elektroporasi dengan program 1 dibandingkan program 2. 4.2
Produksi dan analisis ekspresi transgen pada ikan mas transgenik F1 Produksi ikan mas transgenik F1 dilakukan dengan memijahkan 5 ekor
individu ikan mas jantan transgenik F0 berbeda yang membawa transgen di sperma dengan 1 ekor ikan mas betina normal (non-transgenik). Seperti ditampilkan pada Tabel 3, ikan transgenik F1 berhasil diproduksi dari kelima induk founder (F0) dengan persentase berkisar 47,19-66,67% dari total populasi ikan yang dihasilkan masing-masing founder. Tabel 3. Jumlah, dan persentase ikan mas transgenik keturunan pertama (F1) yang membawa gen tiGH dari induk jantan F0 berbeda.
No .
Nomor penanda induk jantan F0
1.
4612 706 431
2.
460F 205 92A
3.
460D 6C6 F34
4.
4612 237 605
5.
460F 066 B1F
F1 membaw a gen tiGH ekor (%) 48 (52,17%) 40 (66,67%) 42 (47,19%) 28 (56,00%) 7 (50,00%)
F1 menurut kelompok ukuran tubuh ekor (%) 10,1- >12,0 cm
8,1-10,0 cm
6,1-8,0 cm
4,1-6,0 cm
11 (22,9%) 9 (22,5%) 13 (30,9%) 9 (32,1%) 3 (42,9%)
13 (27,1%) 11 (27,5%) 15 (35,7%) 4 (14,3%) 3 (42,9%)
14 (29,2%) 8 (20,0%) 5 (11,9%) 4 (14,3%) 1 (14,2%)
10 (20,8%) 12 (30,0%) 9 (21,4%) 11 (39,3%) 0
Keterangan: angka di dalam kurung merupakan nilai persentase. Ukuran ikan diamati pada umur 4 bulan.
Terdapat variasi ukuran panjang tubuh ikan mas transgenik F1 yang diperoleh dari tiap founder. Besarnya variasi ukuran tubuh tersebut adalah jauh lebih besar, sama dengan dan lebih kecil dibandingkan ikan mas non transgeniknya (panjang tubuh 6,1->8,0 cm). Bervariasinya ukuran ikan mas transgenik F1 hasil pemijahan kelima founder tersebut adalah memiliki kisaran panjang tubuh 10,1 - >12,0 cm (22,5%-42,9%), 8,1 - >10,0 cm (14,3%-42,9%),
6,1 - >8,0 cm (11,9%-29,2%), dan 4,1->6,0 cm (0,0%-39,3%) (Tabel 3, Gambar 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa gen tiGH dapat diwariskan, dan peningkatan ukuran tubuh tersebut diduga sebagai akibat dari ekspresi gen tiGH. Individu ikan mas transgenik F1 memiliki bobot tubuh yang bervariasi dalam satu populasi yang berasal dari setiap tetua F0. Beberapa individu F1 berukuran jauh lebih besar, sebagian lebih besar, sebagian lainnya relatif sama dan sebagian kecil lainnya lebih kecil dibandingkan kontrol non-transgeniknya. Hal yang sama juga juga terjadi pada penelitian Zhu et al. (1985) bahwa ikan mas transgenik yang ditransfer gen MThGH menunjukkan beberapa individu yang mengalami peningkatan laju pertumbuhan yang signifikan, beberapa individu berukuran lebih kecil dibandingkan kontrol dan bahkan beberapa individu menunjukkan fenomena abnormal. Bervariasinya ukuran ikan mas transgenik F1 dapat disebabkan beberapa hal, antara lain situs integrasi gen tiGH eksogen dan jumlah kopi DNA yang masuk ke dalam individu transgenik bervariasi.
Gambar 8.
Ukuran ikan mas transgenik F1 pada umur 4 bulan dalam satu populasi dari induk founder (F0) yang sama
Pada ikan mas transgenik F1, gen tiGH tidak hanya terekspresi di pituitari (gen endogen) tetapi juga terekspresi di organ lainnya, antara lain di sirip (gen eksogen). Gen GH endogen diregulasi oleh kontrol endokrin, sedangkan gen tiGH eksogen diregulasi di luar kontrol endokrin yakni oleh promoter dalam kontruksi gen. Ekspresi gen tiGH eksogen dikontrol oleh promoter β-aktin yang dapat aktif
di semua jaringan, setiap saat dan tidak memerlukan adanya induksi dari luar. Beberapa faktor inilah yang diduga menyebabkan beberapa individu transgenik berukuran lebih besar dibandingkan yang non-transgenik. Rerata bobot tubuh ikan transgenik F1 dan ikan non-transgeniknya dari tiap founder (F0) pada awal pemeliharaan (umur 2 bulan) relatif sama. Namun respon fenotipe dari ekspresi transgen bervariasi setelah 60 hari pemeliharaan (Tabel 4). Peningkatan pertumbuhan tubuh ikan transgenik F1 tercepat dicapai pada hasil founder (F0) ke 4 dimana rerata bobot ikan mas transgenik F1 meningkat menjadi 1,87 kali dibandingkan rerata dari bobot non-transgenik. Sedangkan peningkatan tumbuh F1 terendah dicapai pada hasil founder (F0) ke 2 dimana rerata bobot ikan mas transgenik F1 meningkat menjadi 1,40 kali dibandingkan rerata dari bobot non-transgenik. Tabel 4. Bobot tubuh, laju pertumbuhan spesifik (SGR), dan tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan mas transgenik F1 selama 60 hari masa pemeliharaan. No. F0
F1
Rerata bobot (g) awal 5,25±2,4
1
2
3
4
5
akhir 50,12±1,9
Transgenik Non5,01±2,7 33,21±1,7 transgenik Transgenik 2,86±3,1 25,58±2,1 Non2,74±2,9 18,92±2,6 transgenik Transgenik 2,95±2,7 30,38±3,1 Non2,98±2,1 21,26±2,9 transgenik Transgenik 4,73±1,8 45,94±1,4 Non2,62±2,2 24,67±1,6 transgenik Transgenik 18,00±1,9 160,84±1,3 Non10,07±1,7 87,33±1,5 transgenik
Pening katan SGR tumbuh (%) (kali) 3,80 1,59
1,40
1,50
1,87
1,85
Jumlah individu (ekor) Awal Akhir 44 44
SR (%) 100,0
3,20
44
44
100,0
3,72
20
18
90,0
3,27
20
17
85,0
3,96
42
38
90,5
3,33
42
36
85,7
3,86
22
22
100,0
3,81
22
16
72,7
3,72
7
7
100,0
3,67
7
7
100,0
Keterangan: bobot awal dan akhir masing-masing diukur pada umur 2 dan 4 bulan. Peningkatan tumbuh adalah rasio antara selisih bobot individu terhadap selisih bobot individu non transgenik.
Peningkatan pertumbuhan ikan transgenik dibandingkan kontrolnya ini terjadi juga pada Hackett (1993) yang menyebutkan bahwa ikan mas, salmon, Northern pike, loach, trout dan lele dapat ditransformasikan dengan berbagai hormon pertumbuhan di bawah kontrol promoter yang berbeda untuk
memproduksi ikan dengan peningkatan pertumbuhan lebih dari 100% dibandingkan kontrol. Hal yang sama juga terjadi pada bobot rataan ikan patin siam transgenik F0 yang diintroduksi GH ikan patin melalui metode elektroporasi pada sperma sebagai vektor, dengan konsentrasi DNA 50 µg/ml dan 90 µg/ml mengalami peningkatan sebesar 2,6% dan 19,0% dibandingkan non-transgenik, tetapi pada konsentrasi 10 µg/ml lebih rendah, yaitu -8,5% (Dewi, 2010). Pertumbuhan ikan salmon Atlantik (Du et al., 1992) dan ikan nila (Kobayashi et al., 2007) hasil transgenesis meningkat lebih dari 2 kali lebih tinggi dibandingkan ikan non transgenik, 10 kali lipat pada ikan salmon Pasifik (Devlin et al., 1995), dan 32 kali lipat pada ikan mud loach (Nam et al., 2001). Sementara laju pertumbuhan relatif (SGR) pada hasil tiap founder (F0) menunjukkan bahwa SGR ikan mas transgenik F1 relatif lebih tinggi dibanding SGR non transgeniknya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (SR) pada hasil tiap founder (F0) menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan transgenik relatif sama dibandingkan kelangsungan hidup ikan non-transgeniknya. Analisis ekspresi gen tiGH pada ikan mas dilakukan terhadap individu F1 yang positif membawa gen tiGH pada sirip ekornya. Dari sebelas ekor individu F1 yang diamati, semuanya menunjukkan bahwa gen tiGH terekspresi pada ikan mas F1 (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa promoter β-aktin ikan mas mampu mengendalikan ekspresi gen tiGH eksogen pada ikan mas F1. Gen tiGH yang ditransfer selain mampu terinsersi di dalam tubuh ikan mas juga mampu terekspresi dengan baik. Menurut Sarmasik (2003), jika konstruksi transgen membawa promoter fungsional, sejumlah individu transgenik dapat diharapkan untuk mengekspresikan transgen.
Gambar 9.
Ekspresi mRNA tiGH (gambar atas), dan mRNA β-aktin (gambar bawah). Total RNA diekstrak dari sirip ekor ikan mas F1. M: pengukur panjang fragmen DNA 100 panjang basa (pb). Angka 111: ikan mas transgenik F1. C: ikan mas non-transgenik. P: kontrol positif berupa plasmid pmBA-tiGH. Angka di sebelah kiri gambar: ukuran fragmen DNA marker. Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar: posisi target amplifikasi PCR 250 pb.
Gen β-aktin pada ikan merupakan gen housekeeping (dapat aktif kapan saja bila diperlukan) dan daerah regulatornya digunakan secara luas dalam penelitian ikan transgenik. Sekuen elemen regulator dari gen β-aktin ikan mas dilaporkan efisien sebagai regulator ubiquitous (dapat aktif pada semua jaringan otot) (Hao et al., 2006). Ekspresi transgen pada organisme transgenik dapat dideteksi dengan menggunakan teknik RT-PCR, menggunakan primer spesifik (sesuai dengan gen yang transfer) untuk kemudian dibandingkan dengan ekspresi gen β-actin (Kobayashi et al., 2007). Tingkat ekspresi mRNA tiGH dianalisis menggunakan metode semi-kuantitatif PCR. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin besar ukuran ikan mas transgenik F1 menghasilkan nilai ekspresi tiGH dibandingkan βaktin yang lebih besar pula. Demikian juga sebaliknya pada ikan mas transgenik F1 yang berukuran kecil memiliki nilai tiGH dibandingkan β-aktin yang lebih kecil (Tabel 5). Sedangkan ikan non-transgenik tidak menunjukkan adanya ekspresi mRNA tiGH. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran ikan transgenik F1 yang signifikan dibandingkan dengan kontrol adalah karena ekspresi tiGH yang tinggi.
Tabel 5. Tingkat ekspresi mRNA tiGH ikan transgenik F1 yang memiliki bobot dan panjang tubuh lebih besar, relatif sama, dan lebih kecil daripada rerata ikan kontrol/non-transgenik yang diperoleh dari pemijahan ikan transgenik jantan F0 nomer tagging 4612706431 dengan ikan mas betina non-transgenik yang sama. No sampel individu F1 1 2 3 4 5 6 7 8 Kontrol (non-transgenik)
Bobot tubuh (g) 73,2 57,8 35,0 34,9 20,8 15,4 10,0 7,8 15,8
Panjang tubuh (cm) Baku Total 10,5 13,0 8,5 12,5 8,0 9,5 7,0 8,2 5,9 7,2 5,2 6,5 4,8 6,0 4,1 5,5 6,2 7,5
Ekspresi mRNA tiGH/β-aktin 0,88 0,83 0,60 0,65 0,32 0,43 0,41 0,30 0,00
Keberhasilan transfer gen tiGH eksogen pada ikan mas transgenik hingga keturunan pertama ini merupakan suatu langkah awal dalam upaya mempercepat peningkatan produksi ikan mas nasional. Ikan mas transgenik F1 yang berukuran jauh lebih besar selanjutnya dipelihara hingga mencapai matang gonad. Selanjutnya induk ikan mas transgenik F1 tersebut akan digunakan untuk memproduksi ikan mas transgenik F2 homozigot yang akan menjadi induk untuk memproduksi ikan mas transgenik heterozigot secara massal.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan
1. Ikan mas transgenik cepat tumbuh berhasil diperoleh menggunakan metode elektroporasi melalui sperma sebagai media transfer gen. 2. Gen tiGH dapat diwariskan ke generasi pertama (F1) dengan peningkatan bobot berkisar 1,40 – 1,87 kali dibandingkan ikan kontrol non transgeniknya 3. Perbedaan tingkat ekspresi gen tiGH menyebabkan perbedaan ukuran ikan mas transgenik generasi pertama (F1)
5.2
Saran Disarankan agar pada tahapan penelitian selanjutnya untuk memproduksi
ikan mas transgenik F2 homosigot, dapat menggunakan ikan transgenik F1 dengan kategori memiliki peningkatan ukuran jauh lebih besar dibandingkan kontrol. Ikan transgenik homosigot berguna untuk produksi ikan transgenik secara massal.
DAFTAR PUSTAKA Anzar M & Buhr MM. 2006. Spontaneous uptake of exogenous DNA by bull spermatozoa. Theriogenology 65: 683-690. Arezzo F. 1989. Sea urchin sperm as vector for foreign genetic information. Cell Biol Int Rep 13: 391-404. Arnesen AM, Toften H, Agustsson T, Stefansson SO, Handeland SO, and Björnsson BT. 2003. Osmoregulation, feed intake, growth and growth hormone levels in 0+ Atlantic salmon (Salmo salar L.) transferred to seawater at different stages of smolt development. Aquaculture 222: 167187. Bardach JE, Ryther JH, and McLarney WO. 1972. Aquaculture: the farming and husbandry of freshwater and marine organisms. Wiley-Interscience, New York. 868 p. Beardmore JA & Porter JS. 2003. Genetically modified organism and aquaculture. FAO Fisheries Circular. No. 989. Rome. 35p. Björnsson BT, Ogasawara T, Hirano T, Bolton JP, and Bern HA. 1988. Elevated growth hormone levels in stunted Atlantic salmon, Salmo salar. Aquaculture 73: 275-281. Björnsson BT, Stefansson GV, Berge ÅI, Hansen T, and Stefansson SO. 1998. Circulating growth hormone levels in Atlantic salmon smolts following seawater transfer: effects of photoperiod regime, salinity, duration of exposure and season. Aquaculture 168: 121-137. Björnsson BT, Hemre GI, Bjørnevik M, and Hansen T. 2000. Photo period regulation of plasma growth hormone levels during induced smoltification of under yearling Atlantic salmon. Gen Comp Endocrinol 119: 17–25. Brackett BG, Baranaska W, Sawiicki W, and Koprosky. 1971. Uptake of heterologous genome by mammalian spermatozoa and its transfer to ova through fertilization. Proc Natl Acad Sci 68: 353-357. Buono RJ & Linser PJ. 1992. Transient expression of RSVCAT in transgenic zebrafish made by electroporation. Mar Mol Biol Biotechnol 1: 271-275. Calduch-Giner JA, Duval H, Chesnel F, Boeuf G, Perez-Sanchez J and Bouhard D. 2000. Fish growth hormone receptor: Molecular characterization of two membrane-anchored forms. J Endocrine Society 142: 3269-3273. Chen TT, Lu JK, and Kight K. 1995. Transgenic fish. In Meyers, RA (ed.). Molecular Biology and Biotechnology. VCH Publishers, Inc. 910-914.
Chen TT, Chen MJ, Chiou TT, and Lu JK. 2009. Transfer of foreign DNA into aquatic animals by electroporation. In Nakamura H (ed.). Electroporation and sonoporation in developmental biology. Springer. 229-237. Chourrout D, Guyomard R, and Houdebine LM. 1986. High efficiency gene transfer in rainbow trout (Salmo gairdneri Rich) by microinjection into egg cytoplasm. Aquaculture 51: 143-150. Ciereszko I, Johansson H, Hurry V, and Kleczkowski LA. 2001. Phosphate status affects the gene expression, protein content and enzymatic activity of UDPglucose Pyrophosphorylase in wild type and pho mutants of Arabidopsis. Planta 212: 598-605 Collas P, Husebeye H and Alestrom P. 2000. Transferring foreign genes into Zebrafish eggs by microinjection. Transgenic Animal: Generation and Use. p119-122. Cook JT, McNiven MA and Sutterlin AM. 2000. Metabolic rate of pre-smolt growth-enhanced transgenic Atlantic salmon Salmo salar. Aquaculture 188:33-45. Devlin RH, Yesaki TY, Donaldson EM, Du SJ and Hew CL. 1994. Production of germline transgenic Pacific salmonids with dramatically increased growth performance. Canadian Journal of Fisheries Aquatic Sciences, 52 : 1376 – 1384. Devlin RH, Yesaki TY, Donaldson EM, and Hew CL. 1995. Transmission and phenotypic effects of an antifreeze/GH gene construct in coho salmon (Oncorhynchus kisutch). Aquaculture 137: 161-169. Dewi SPS, Rr. 2010. Studi over ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan melalui elektroporasi sperma untuk membuat ikan patin siam transgenik cepat tumbuh. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 74 hal. Drennon K, Moriyama K, Kawauchi H, Small B, Silverstein J, Parhar I, and Shepherd B. 2003. Development of an enzyme-linked immuno sorbent assay for the measurement of plasma growth hormone (GH) levels in channel catfish (Ictalurus punctatus): assessment of environmental salinity and GH secretogogues on plasma GH levels. Gen Comp Endocrinol 133: 314-322. Dunham RA. 2004. Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic Approaches. CABI Publishing, Wallingford, hlm 66. Du SJ, Gong Z, Fletcher GL, Shears MA, King MJ, Idler DR, and Hew CL. 1992. Growth enhancement in transgenic Atlantic salmon by the use of an” all fish” chimeric growth hormone gene construct. Biol Tech 10 : 176-180
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.155 hal. Einarsdottir IE, Sakata S, and Björnsson BT. 2002. Atlantic halibut growth hormone: structure and plasma levels of sexually mature males and females during photoperiod-regulated annual cycles. Gen Comp Endocrinol 127: 94104. Faqih AR. 2011. Studi Rekayasa Genetik Melalui Elektroporasi DNA pada Sperma dalam Pembuatan Ikan Transgenik Air Tawar. [Desertasi]. Program Studi Ilmu-Ilmu Pertanian. Minat Bioteknologi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya, Malang. Farbridge KJ, Flett PA, and Leatherland JF. 1992. Temporal effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow trout Onchorhynchus mykiss. Aquaculture 104: 157-174. Fletcher GL & Davies PL. 1991. Transgenic fish for aquaculture. Genetic Engineering 13:331-371. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1999. The state of world fisheries and aquaculture 1998. Rome, Italy. 8 p. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. The state of world fisheries and aquaculture 2000. Rome, Italy. 10 p. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Cultured Aquatic SpeciesCommon carp. Food and Agriculture Organization, Roma. Glick BR & Pasternak JJ. 2003. Molecular Biotechnology : Principles and Applications of Recombinant DNA. Third ed. ASM Press. Washington DC. Hackett PB. 1993. The Molecular Biology of Transgenic Fish. In: Hocachka and Mommesen (Eds.). Biochemistry and Molecular Biology of Fishes 2 : 218221. Hafez ESE. 1987. Reproduction in farm animals, 5th ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Hao F, Jia C, Jian L, Shao-Jun L, Yun L. 2006. Cloning of black carp β-actin and primarily detecting the function of its promoter region. Acta Genet Sinica 33(2): 133-140 Hardjamulia A & Suseno A. 1975. Budidaya Ikan Introduksi. SUPM.
Harvey BJ & Hoar BJ. 1979. The teory and practice of induce breeding in fish IDRC-TS 21e. International Development Research Centre. Ottawa, Canada. 48 p. Inoue K, Yamashita S, Hata J, Kabeno S, Asada S, Nagahisa E, Fujita T. 1990. Electroporation as a new technoloque for producing transgenic fish. Cell Differ Dev 29: 123-128. Jamieson BGM. 1990. Fish evolution and systemic : Evidence from spermatozoa (with a survey of Lophophorate, Echinoderm and Prrotochordate sperm) and an account of gamete cryopreservation. Cambridge University Press. New York. Jourdan S, Fontaine P, Boujard T, Vandeloise E, Gardeur JN, Anthouard M, Kestemont P. 2000. Influence of day length on growth, heterogenity, gonad development, sexual steroid, and thyroid levels, and N and P budgets in Perca fluviatilis. Aquaculture 186: 253-265 [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik Menakar 353. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta. Kinoshita M & Ozato K. 1995. Cytoplasmic microinjection of DNA into fertilized Medaka Oryzias latipeseggs. The Fish Biology Journal MEDAKA 7:59-64. Knight DE. 1981. Rending cells permeable to exposure to electric fields. Tech Cell Physiol 113: 1-10. Knight DE & Scrutton MC. 1986. Gaining access to the cytosol: the technique and some application of electropermeabilization. Biochem J 234: 497-506. Kato K, Takagi M, Tamaru Y, Akiyama S, Konishi T, Murata O, and Kumai H. 2007. Construction of an expression vector containing a β-actin promoter region for gene transfer by microinjection in Red Sea Bream Pagrus major. Fisheries Science 73: 440-445. Kobayashi SI, Alimuddin, Morita T, Miwa M, Lu J, Endo M, Takeuchi T and Yoshizaki G. 2007. Transgenic nile tilapia Oreochromis niloticus overexpressing growth hormone show reduced ammonia excretion. Aquaculture 270: 427-435. Koolman J & Rohm KH. 2001. Atlas berwarna dan teks biokimia. Wanandi, penerjemah. Jakarta: Hipokrates. Terjemahan dari: Color Atlas of Biochemistry. Lanes CFC, Sampaio LA, and Marins LF. 2009. Evaluation of Dnase activity in seminal plasma and uptake of exogenous DNA by spermatozoa of Brazilian flounder (Paralichthys orbignyanus). Theriogenology 71: 525-533.
Lavitrano M, Camaioni A, Faizo V, Dolci S, Farace MG, and Spadafora C. 1989. Sperm cells as vectors of foreign DNA: genetic transformation of mice. Cell 57: 717-723. Lavitrano M, Marcho B, Maria GC, Roberto G, Stefano M, Alessia. 2006. Sperm mediated gene transfer, Reproduction, fertility and development. CSIRO Publising 18: 19-23 Le Gac F, Blaise O, Fostier A, Le Bail P, Loir M, Mourot B and Weil C. 1993. Growth hormone (GH) and reproduction: a review. Fish Physiol Biochem 11: 219-232. Lin S, Gaiano N, Culp P, Burns JC, Friedman T, and Yee JK. 1994. Integration and germ-line transmission of pseudo typed retroviral vector in zebra fish. Science 265: 666-669. Lu JK, Fu BH, Wu JL, Chen TT. 200 2. Production of transgenic silver sea bream (Sparus sarba) by different gene transfer methods. Mar Biotechnology 4: 328-337. MacLean N & Donaldson EM. 1993. The role of somatotropin in growth in poikilotherms. In Martin P, Scanes CG, Pang PKT (eds). The endocrinology of growth, development and metabolism in vertebrates. Academic Press. Matty AJ. 1985. Fish endocrinology. Croom Helm London and Sydney Timber Press. Portland, Oregon. 267 p. Nam YK, Noh JK, Cho YS, Cho HJ, Cho KN, Kim CG and Kim DS. 2001. Dramatically accelerated growth and extraordinary gigantism of transgenic mud loach Misgurnus mizolepis. Transgenic Research 10:353-362. Nordgarden U, Hansen T, Hemre GI, Sundby A, Björnsson BT. 2005. Endocrine growth regulation of adult Atlantic salmon in seawater: the effects of light regime on plasma growth hormone, insulin-like growth factor-I, and insulin levels. Aquaculture 250: 862-871. Ohta Y, Kidd MT, and T Ishibashi. 2001. Embryo growth and amino acid concentration profiles of broiler breeder eggs, embryos, and chicks after in ovo administration of amino acids. Poultry Science 80: 1430-1436 Ozato K, Kondoh H, Inohara H, Iwamatsu T, Wakamatsu Y, and Okada TS. 1986. Production of transgenic fish: introduction and expression of chicken δcrystallin gene in medaka embryos. Cell Differ 19: 237-244. Palmitter RD, Brinster RL, Hammer RE, Trumbauer ME, and Rosenfeld MG. 1982. Dramatic growth of mice that developed from eggs microinjected with metallothionein-growth hormone fusion genes. Nature 30: 611-615.
Peter RE & Marchant TA. 1995. The Endocrinology of growth in carp and related spesies. Aquaculture 129: 299-321. Powers DA, Herefort L, Cole T, Chen TT, Lin CM, Knight K, Creech K, and Dunham R. 1992. Electroporation method for transferring genes into the gametes of zebrafish (Brachydanio rerio), channel catfish (Ictalurus punctatus) and common carp (Cyprinus carpio). Mol Mar Biol Biotechnol 1:301-308. Price SA & Wilson LM. 1995. Patofisiologi, Konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 4 buku II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 65hal. Rahman MA, Hwang G, Razak SA, Sohm F, and MacLean N. 2000. Copy number dependent transgene expression in hemizygous and homozygous transgenic tilapia (Oreochromis niloticus). Transgenic Research 9: 417-427. Rand-Weaver M & Kawauchi H. 1993. Growth hormone, prolactin and somatolactin: a structural overview. In Hochachka PW, Mommsen TM (eds). Biochemistry and Molecular Biology of Fishes 2: 39-56. Robert S, Barry T, Malison J, and Goetz F. 2004. Production of recombinantly Derived growth hormone antibody and the characterization of growth hormone levels in yellow perch. Aquaculture 232: 591-602. Sakamoto T & Hirano T. 1993. Expression of insulin-like growth factor I gene in osmoregulatory organs during seawater adaptation of the salmonid fish: possible mode of osmoregulatory action of growth hormone. Proc Natl Acad Sci USA 90: 1912–1916. Sarmasik A, Jang IK, Chung CZ, Lu JK, and Chen TT. 2001. Transgenic livebearing fish and crustacean produced by transforming immature gonads with replication-defective pantropic retrovial victor. Mar Biotechnol 3: 470-477. Sarmasik A. 2003. Application of gene transfer technology for genetic improvement of fish. Turk J Zool 27: 1-6. Sin FYT, Mukherjee UK, McKenzie JC and Sin IL. 1995. Abalone sperm-DNA interaction. In: Proceedings of International Symposium on Biotechnology Applications in Aquaculture. National Taiwan University. 95-99. Sin FYT, Walker SP, Symonds JE, Mukherjee UK, Khoo JGI, and Sin IL. 2000. Electroporation of salmon sperm for gene transfer: efficiency, reliability, and fate of transgene. Mol Repro and Dev 56: 285-288. Spadafora C. 1998. Sperm cells and foreign DNA: a controversial relation. Bioessays 20: 955-964.
Stoss J & Donaldson EM. 1982. Preservation of Fish Gametes. In : CJJ Richter and HJ Th. Goos, (Comp.), “Proceedings of the International Symposium on Reproductive Physiology of Fish, Wageningen, the Netherlands, 2-6 August, 1982” Pudoc, Wageningen, 114-122p Subyakto S. 2010. Efektivitas dan Efisiensi Transfeksi, Mikroinjeksi dan Elektroporasi untuk Transfer Gen Hormon Pertumbuhan pada Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis). [Disertasi]. Program Studi Ilmu-Ilmu Pertanian. Minat Lingkungan Pesisir Dan Kelautan. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya, Malang. 110hal Swift DR & Pickford GE. 1965. Seasonal variations in the hormone content of the pituitary gland of the perch (Perca fluviatilis L.). Gen Comp Endocrinol 5: 354-365. Symonds JE, Walker SP, Sin FYT. 1994. Development of mass gene transfer method in chinook salmon: optimization of gene transfer by electroporated sperm. Mol Mar Biotechnol 3: 104-111. Tabarés G, Jung K, Reiche J, Stephan C, Lein M, Peracaula R, de Lorens R, and Hoesel W. 2007. Free PSA forms in prostatic tissue and sera of prostate cancer patients: Analysis by 2-DE and western blotting of immunopurified samples. Clin Biochem 40:343-350 Takahashi A, Ogasawara T, Kawauchi H, Hirano T. 1991. Effects of stress and fasting on plasma growth hormone levels in the immature rainbow trout. Nippon Suisan Gakkaishi 57: 231-235. Tatsuya S & Hirano T. 1993. Expression of insulin-like growth factor I gene in osmoregulatory organs during seawater adaptation of the salmonid fish: possible mode of osmoregulatory action of growth hormone. Proc Natl Sci USA 90: 1912-1916. Tave D. 1986. Genetic for Fish Hatchery Managers. Second Edition. An AVI Book. Published by Van Nostrand Reinhold, New York. 415 pp. Toelihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. CV Angkasa. Bandung. 109 hal. Tsai HJ, Tseng FS, and Liao IC. 1995a. Electroporation of sperm to introduce foreign DNA into the genome of loach (Misgurnus anguilicaudatus). Can J Fish Aquat Sci 52: 776-787. Tsai HJ, Lin KL, Kuo JC, Chen SW. 1995b. Highly efficient expression of fish growth hormone by Escherichia coli cells. Appl Environ Microbiol 61:4116-4119.
Tsai HJ. 2000. Electroporated sperm mediation of gene tranfer system for finfish and shellfish. Mol Repro Dev 56: 281-284. Tsong TY. 1983. Voltage modulation of membrane permeability and energy utilization in cells. Biosci Rep 3: 487-505. Van der Kraak G, Rosenblumm PM, and Peter RE. 1990. Growth hormonedependent potentiation of gonadotropin stimulated steroid production by ovarian follicles of the goldfish. Gen Comp Endocrinol 79: 233-239. Walsh G. 2002. Proteins: Biochemistry and biotechnology. John Wiley & Sons, LTD. Wu G, Sun Y, and Zhu Z. 2003. Growth hormone gene transfer in common carp. Aguat Living Resour 16: 416-420. Yaskowiak ES, Shears MA, Agarwal-Mawal A, Fletcher GL. 2006. Characterization and multi-generational stability of the growth hormone transgene (EO-1α) responsible for enhanced growth rates in Atlantic salmon. Transgenic Research 15: 465-480 Yazawa R, Hirono I, Yamamoto E, and Aoki T. 2005. Gene transfer for Japanese flounder fertilized eggs by particle gun bombardment. Fisheries Sci 71: 869874. Zaneveld LJD. 1978. The Biology of Human Spermatozoa, In Wynn E.D. Obsterric and Gynecology Annual. Appleton Century Croft. Chicago. p1540. Zhu Z, Li G, He L, Chen S. 1985. Novel gene transfer into fertilized eggs of goldfish Carassius auratus L.1758. J Appl Ichthyol 1: 31-34
Lampiran 1.
Abstrak makalah presentasi oral dalam Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, tanggal 19-21 Juli 2011 di Bali.
PERTUMBUHAN IKAN MAS TRANSGENIK KETURUNAN PERTAMA Nurly Faridah1,2, Alimuddin3, Dian Hardiantho2, Arief Eko Prasetiyo, Dwi Hani Yanti2, Irvan Faizal4, dan Komar Sumantadinata3 1. 2. 3. 4.
Mahasiswa Program Magister, Program Studi Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB Bogor. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi. Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB Bogor. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Serpong, Tangerang.
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk memproduksi ikan mas transgenik keturunan pertama (F1) dan menganalisis ekspresi gen hormon pertumbuhan ikan nila (nHP) yang ditransfer. Gen nHP yang ekspresinya dikendalikan oleh promoter -aktin ikan medaka (mBA) ditransfer ke sperma ikan mas menggunakan metode elektroporasi. Sperma tersebut selanjutnya digunakan untuk membuahi telur ikan mas untuk menghasilkan ikan transgenik founder (F0). Dengan menggunakan metode PCR dengan primer spesifik untuk gen nHP, diperoleh 22 ekor ikan mas jantan transgenik F0 dan 85 ekor ikan mas betina yang membawa gen nHP di siripnya. Selanjutnya, ikan mas jantan transgenik F0 dikawinkan dengan ikan non-transgenik untuk memproduksi F1. Dari hasil identifikasi menggunakan metode PCR dan pengukuran bobot tubuh ikan, diperoleh 5 ekor dari 84 ekor ikan transgenik F1 yang memiliki bobot sekitar 100 - 177% lebih tinggi daripada ikan non-transgenik. Analisis RT-PCR menunjukkan bahwa ikan transgenik F1 tersebut memiliki ekspresi gen nHP yang tinggi pada sirip ekornya, sementara pada ikan non-transgenik tidak ada ekspresi. Dengan demikian, peningkatan pertumbuhan bobot ikan mas transgenik tersebut terkait dengan ekspresi gen nHP, dan budidaya ikan mas transgenik nHP ini sangat berpotensi untuk mendukung pencapaian target produksi ikan mas nasional 2014.
Kata kunci: hormon pertumbuhan, transgenik, ekspresi, ikan mas
Lampiran 2.
Prosedur pelaksanaan elektroporasi.
A B C E
D
F GambarGene Pulser Xcell Unitdengan komponen PC Module (A), Pulse button (B),LCD Monitor (C), ShockPod (D), Key Pad (E), dan kabel power (F) 1.
Menghubungkan Gene Pulser Xcell Unit dengan CE Module, PC Module, dan ShockPod. Sebelum menyambungkan bagian-bagian tersebut, pastikan Gene PulserXcell Unit dalam kondisi OFF.
2.
Menghubungkan kabel power dengan sumber listrik AC, kemudian menyalakan unit
3.
Memasukkan sampel yang akan dianalisis ke dalam cuvvet dan memasukkan ke dalam ShockPod, kemudian menutup dan mengunci dengan sempurna karena pulse tidak akan terkirim jika penutup ShockPod dalam kondisi terbuka.
4.
Pada menu HOME (tekan tombol HOME untuk masuk ke menu HOME)
5.
Menekan ENTER untuk memilih eksponensial decay
6.
Menekan nomor 2, kemudian ENTER untuk memilih eksponensial decay tetapi spesifikasikan konstanta waktunya terlebih dahulu
7.
Menekan nomor 3, kemudian ENTER untuk memilih square wave.
8.
Gunakan tombol panah naik dan turun untuk bergeser dan memilih nilai parameter pada layar. Saat parameter terpilih, gunakan keypad untuk memasukkan nilai yang diinginkan, tekan ENTER untuk setuju.
Exponential Decay Protocol Detail Screen
PROTOCOL DETAIL: Voltage (V) XXXX Capacitance (uF) Resistance (ohm) Cuvvette (mm)
9.
EXPONENTIAL
XXXX XXXX X
Ketikan nilai parameter yang diinginkan selesai dimasukkan semua, tombol PULSE pada Gene PulserXcell menjadi aktif.
10. Menekan tombol PULSE untuk mengelektroporasi sampel. 11. Setelah penghantaran pulse, layar LCD menampilkan hasil pada tampilan Protocol Result. 12. Menekan tombol BACK untuk kembali ke tampilan Protocol Detail dan beralih ke pulse yang lain. 13. Hasil 100 pulse terakhir termasuk parameter pulse tersimpan dalam memori Gene Pulser Xcell dan dapat diakses dari program Data Management 14. Untuk menyimpan protokol yang telah dibuat, saat tampilan Protocol Detail terbuka, tekan SAVE. Selanjutnya ikuti petunjuk yang muncul di layar untuk menentukan lokasi penyimpanannya. 15. Mematikan unit dengan menekan tombol POWER setelah selesai digunakan, cabut kabel dari sumber listrik (AC).
Lampiran 3. Sperma ikan mas setelah perlakuan elektroporasi dengan DNA pmβa-tiGH, diamati di bawah mikroskop pada pembesaran 40x10 (A) dan 100x10 (B). Sperma mati ditunjukkan dengan panah , sedangkan sperma hidup ditunjukkan dengan panah .
Pembesaran 40 x 10
Pembesaran 100 x 10
Lampiran 4.
Perkembangan embrio ikan mas hasil fertilisasi telur dengan sperma yang sudah dielektroporasi
(A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
(G)
Keterangan:
(H)
A = embrio, B = embrio, fase 2 sel C = embrio, fase 4 sel D = embrio, fase gastrula, 2 jam setelahpembuahan E & F = emrio, fase organogenesis G & H = fase larva
Program 2
Program 1
Lampiran 5. Data hasil elektroporasi pada program 1 dan program 2, serta efektivitasnya terhadap motilitas dan viabilitas sperma, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR) telur ikan mas.
Ulangan
[DNA] ng/μl
Vol. DNA
Vol. Sperma
Lar Fis
Volt setting
Volt actual
Droop (%)
Motilitas Sperma
Viabilitas Sperma
DNA pada Sperma*
∑ Telur (butir)
FR (%)
∑ Telur Terbuahi (butir)
HR (%)
∑ Telur Menetas (butir)
1
25
10
50
530
50 V
49
2
95
99
ada
1000
91,7
917
88,2
809
2
25
10
50
530
50 V
49
2
90
96
ada
1000
89,3
893
85,3
762
3
25
50
530
50 V
48
4
90
96
ada
1000
89,9
899
84,7
826
Kontrol
0
10 TE (10)
50
530
50 V
49
2
90
96
-
1000
93,4
934
88,4
761
Ulangan
[DNA] ng/μl
Vol. DNA
Vol. Sperma
Lar Fis
Volt setting
Volt actual
Droop (%)
Motilitas Sperma
Viabilitas Sperma
DNA pada Sperma*
∑ Telur (butir)
FR (%)
∑ Telur Terbuahi (butir)
HR (%)
∑ Telur Menetas (butir)
1
50
10
50
530
40 V
38
5
95
98
ada
1000
91,4
914
85,7
783
2
50
10
50
530
40 V
36
10
90
96
ada
1000
86,2
862
83,7
721
3
50
50
530
40 V
38
5
95
99
ada
1000
88,7
887
84,3
748
Kontrol
0
10 TE (10)
50
530
40 V
36
10
90
98
-
1000
93,7
937
86,6
811
Program 2
Program 1
Lampiran 6. Kelangsungan hidup (SR) larva (5 hari) dan benih (2 bulan) ikan mas dari telur yang dibuahi dengan sperma yang dielektroporasi menggunakan program 1 dan program 2
Ulangan
SR 5 hari (%)
∑ larva 5 hr (ekor)
SR 2 bulan (%)
∑ benih 2 bln (ekor)
1 2 3 Kontrol
67,2 66,6 72,8 68,3
544 507 601 520
38,3 40,2 36,6 38,6
208 204 220 201
Ulangan
SR 5 hari (%)
∑ larva 5 hr (ekor)
SR 2 bulan (%)
∑ benih 2 bln (ekor)
1 2 3 Kontrol
67,7 65,3 69,1 65,8
530 471 517 534
35,8 39,3 37,3 39,5
190 185 193 211
Program 2
Program 1
Lampiran 7.
Data hasil analisis DNA tiGH pada sirip individu F1 berumur 2 bulan dan persentase ikan transgenik F1.
Ulangan 1 2 3 Rataan Ulangan 1 2 3 Rataan
∑ sampel dianalisis (ekor) 208 204 220 210,67 ∑ sampel dianalisis (ekor) 190 185 193 189,33
Hasil analisis (ekor) ∑ sampel ∑ sampel positif negatif 99 109 106 98 118 102 107,67 103,00 Hasil analisis (ekor) ∑ sampel ∑ sampel positif negatif 58 132 60 125 56 137 58,00 131,33
Persentase ikan transgenik F1 (%) 47,60 51,96 53,64 51,06 Persentase ikan transgenik F1 (%) 30,53 32,43 29,02 30,66
Lampiran 8.
Program 1
Ulangan 1 2 3 Rerata Total
Program 2
Ulangan 1 2 3 Rerata Total
Hasil analisis DNA pada gonad calon induk F0 ∑ benih calon F0 (ekor) 99 106 118 108 323 ∑ benih calon F0 (ekor) 190 185 193 189 568
SR 8 bulan (%)
∑ F0 dianalisis (ekor)
70,50 64,90 66,20 67,20 -
70 69 78 72 217
SR 8 bulan (%)
∑ F0 dianalisis (ekor)
69,3 62,7 71,3 67,77 -
132 116 138 128 385
Hasil analisis (ekor) ∑ sampel positif
∑ sampel negatif
36 63 28 78 43 75 35,67 72,00 107 216 Hasil analisa (ekor) ∑ ∑ sampel sampel positif negatif 44 88 30 86 51 87 41,67 86,76 125 260
germline transmitte r (%) 51,58 40,70 55,05 49,11 49,38 germline transmitte r (%) 33,42 25,86 37,06 32,11 32,44
Lampiran 9. Hasil identifikasi tiGH dan laju transmisi pada keturunan pertama (F1) dari tiap induk (F0).
Induk Jantan
Nomor Tagging
Kondisi gonad
Jumlah F1 dianalisis (ekor)
1 2 3 4 5 6
4612 706 431 460F 205 92A 460D 6C6 F34 4612 237 605 460F 066 B1F Kontrol
Matang gonad Matang gonad Matang gonad Matang gonad Matang gonad Matang gonad
92 60 89 28 14 138
jumlah F1 positif sirip (ekor) 48 40 42 22 7 0
Laju transmisi pada F1 (%) 52,174 66,667 47,191 78,571 50,000 0
Lampiran 10. Data pertumbuhan individu keturunan pertama (F1) selama 60 hari pemeliharaan induk 1 2 3 4 5
tiGH Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik
Bobot rataan individu hari ke- (g) 0 20 40 60 5,25 12,33 26,93 50,12 5,01 9,68 19,33 33,21 2,86 7,38 14,34 25,58 2,74 5,92 11,17 18,92 2,95 7,62 15,56 30,38 2,98 5,64 11,72 21,26 4,73 12,33 26,71 45,94 2,62 5,60 12,67 24,67 18,00 47,33 92,46 160,84 10,07 22,33 46,50 87,33
α 3,80% 3,20% 3,72% 3,27% 3,96% 3,33% 3,86% 3,81% 3,72% 3,67%
Lampiran 11. Tingkat kelangsungan hidup individu keturunan pertama (F1) dari tiap induk founder (F0) selama 60 hari pemeliharaan induk 1 2 3 4 5
tiGH Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik Transgenik Non-transgenik
Kelangsungan hidup pada hari ke- (%) 0 20 40 60 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 96,7 89,7 100,0 93,1 89,7 82,8 100,0 100,0 100,0 90,0 100,0 100,0 96,7 86,7 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 90,9 90,9 72,7 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
581