Editorial SUBSIDI BBM UNTUK SIAP A? SIAPA? Istilah subsidi BBM mulai diperkenalkan oleh pemerintah orde baru dengan alasan yang sangat
kompleks, meskipun tampaknya mencoba lebih disederhanakan. Mengapa? Di satu sisi, kegiatan pembangunan nasional memang telah mampu meningkatkan sebagian (besar?) kesejahteraan masyarakat, tetapi juga melahirkan sebagian (kecil?) masyarakat miskin yang terpinggirkan. Sementara di sisi lain, harga minyak bumi dunia terus bergerak naik yang tentunya membutuhkan "penyesuaian" harga jual di dalam negeri. Padahal, sebagai negara yang berdasarkan UUD 1945, komoditas seperti minyak bumi dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsekuensinya, harga BBM di dalam negeri "jangan" dilepas sesuai dengan harga pasar (baca: harga internasional) karena diindikasikan tidak sejalan dengan makna yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945. Beruntung, pada waktu itu negara kita masih surplus minyak bumi dan berstatus sebagai negara pengekspor, sehingga menjual BBM di bawah harga keekonomian tidak menjadi masalah besar buat pemerintah. Kondisi ini membuat seluruh rakyat Indonesia senang karena dapat membeli BBM dengan harga "terjangkau". Kadang terjadi riak manakala pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM karena subsidi BBM dirasakan sudah sangat membebani APBN, tetapi gejolak itu tidak pernah berlangsung lama meski tanpa diembel-embeli pemberian bantuan kepada masyarakat miskin. Roda pemerintah pun tetap berjalan normal. Lagi pula, siapa sih yang berani melawan “penguasa” Orde Baru saat itu? Tumbangnya pemerintah orde baru membawa era baru bagi sistem pemerintahan dengan mengedepankan asas demokratisasi di berbagai bidang kehidupan. Banyak peraturan perundangundangan yang direvisi atau diganti sama sekali menyesuaikan dengan kondisi yang baru, kecuali satu hal: kebijakan subsidi tetap diberlakukan. Tanda-tanda akan munculnya persoalan mulai mencuat ketika negara kita yang semula eksportir minyak menjadi net importer, target lifting tidak pernah tercapai, dan harga minyak dunia terus bergerak naik. Hal ini mengisyaratkan subsidi BBM akan terus membengkak dan semakin membebani APBN jika harga BBM di dalam negeri tidak dinaikkan. Artinya, pemerintah harus mengambil ancang-ancang untuk menaikkan harga BBM di dalam negeri. Persoalan muncul karena pemerintah tidak lagi dapat bertindak sesuai keinginannya seperti di era orde baru, tetapi harus mendapat persetujuan dari DPR. Maka, jadilah BBM menjadi komoditas politik yang menimbulkan "perang" argumentasi antara pihak yang pro dan kontra kenaikan BBM. Pihak yang pro mengatakan bahwa subsidi BBM telah salah sasaran karena ternyata banyak dinikmati oleh masyarakat yang tidak berhak. Di samping itu, subsidi yang semakin membengkak dapat membahayakan APBN dan mengancam keberlanjutan pembangunan. Untuk menghindari dampak negatif, pemerintah - sebagai penggagas kenaikan harga BBM - juga menyiapkan berbagai jurus penanggulangan, termasuk menyediakan bantuan tunai langsung. Lalu, bagaimana dengan pihak yang kontra? Tak mau kalah dengan pihak yang pro, mereka mengemukakan berbagai argumentasi, dengan mengatakan bahwa harga di BBM tidak perlu dinaikkan seandainya pemerintah melakukan efisiensi, kebijakan yang kondusif, dan lain-lain. "Perang" kata dan data pun tak dapat dihindari. Hebatnya, masing-masing merasa paling benar dan sahih, sehingga tidak ada titik temu dan tidak ada yang mau mengalah. Demonstrasi anti kenaikan harga BBM, yang tabu dilakukan di zaman orde baru, marak di mana-mana dan seringkali cenderung anarkis. Dalam suasana seperti ini, rakyat kecil mulai bingung, pasrah, dan makin terpuruk di tengah berbagai harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik memanfaatkan berlarut-larutnya ketidakpastian naik-tidaknya harga BBM. Dalam jangka pendek, mencari jalan tengah yang dapat memuaskan semua pihak - istilah kerennya win-win solution - memang merupakan solusi terbaik. Tetapi seperti apa win-win solution tersebut masih perlu diformulasikan agar keberlangsungan pembangunan tetap terjaga, namun daya beli rakyat kecil juga harus menjadi pertimbangan utama. Dalam jangka panjang, sudah seharusnya negeri ini mulai menggalakkan pemanfaatan energi non-minyak bumi yang potensinya banyak bertebaran di berbagai pelosok Nusantara. Nah, dalam konteks inilah para peneliti di Badan Litbang ESDM harus menjadi garda terdepan dalam melakukan litbang yang lebih intens agar potensi energi non-minyak bumi tersebut dapat menjadi tulang punggung energi masa depan kita. Siapkah? Tentunya harus dan pasti siap. (DP). M&E Vol. 10, No. 1, Maret 2012
3
Topik Utama SUBSIDI BBM vs MENSEJAHTERAKAN RAKYAT Maizar Rahman Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi "LEMIGAS"
[email protected]
SARI Status Indonesia dewasa ini yang sudah pengimpor minyak dan selalu meningkatnya harga minyak mentah dunia memaksa Pemerintah untuk menyesuaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) demi mencegah pembengkakan subsidi yang menggerogoti APBN. Disamping mendistorsi mekanisme pasar, sistem subsidi harga ternyata tidak tepat sasaran karena lebih dinikmati pemilik mobil pribadi. Dalam pada itu, pengurangan subsidi BBM ternyata sudah merupakan kecenderungan global, bahkan juga di negara-negara penghasil minyak karena sudah difahami bahwa selain tidak tepat sasaran, subsidi juga mendorong pemborosan energi dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Indonesia masih berada sebagai negara pemberi subsidi besar dan harga BBM yang paling murah diantara negara-negara berkembang pengimpor minyak. Karena itu sudah saatnya subsidi harga harus dihilangkan dan diganti dengan subsidi langsung yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ekonomi lemah serta untuk mengembangkan energi terbarukan. Kata kunci : APBN, subsidi BBM, kesejahteraan rakyat, tepat sasaran
1. PENDAHULUAN Indonesia dari dulu dikenal sebagai negara minyak dan gas. Dalam perjalanan perekonomian negara ini, penerimaan negara pada awalnya didominasi ekspor minyak dan gas serta penjualan BBM di dalam negeri. Dapat dikatakan bahwa di jaman Orde Baru minyak dan gas telah menyumbang besar kepada pembangunan negara. Kebutuhan minyak di dalam negeri seluruhnya dari produksi dalam negeri dan sisanya diekspor. Harga BBM dalam negeripun tidak jauh dari harga pasar karena kurs dollar yang masih rendah terhadap rupiah, karenanya subsidi yang diberikan pemerintah hampir tidak terasa dan anggaran pemerintahpun dapat difokuskan untuk
4
pembangunan. Situasi tersebut menyebabkan rakyat berpikir bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak dan gas, hal mana dewasa ini tidak lagi benar bila dibandingkan negara-negara penghasil minyak dan gas lainnya. Iran misalnya, produksi minyak per kapita negara ini 15 kali Indonesia dan cadangan minyaknya yang 137 milyar barel sama dengan 100 kali cadangan minyak Indonesia per kapita. Situasi Indonesia berubah total akibat krisis ekonomi Asia pada tahun 1998 yang memporak porandakan perekonomian Indonesia dan memicu kejatuhan rezim orde baru dan terjadinya reformasi politik yang mendasar. Kurs dollar naik sampai menyentuh 600 persen, pemerintah mengalami defisit hebat dalam
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama pembayaran luar negeri. Akibatnya harga BBM yang dijual dalam rupiah juga terjun bila dihitung dengan nilai dollarnya. Pemerintah terpaksa menyesuaikan harga BBM agar tidak menggerus penerimaan negara yang diperlukan untuk belanja pembangunan dan kesejahteraan rakyat lainnya. 2. HARGA MINYAK MENTAH DUNIA Pasca tahun 2000 harga minyak yang semula berkisar di US$ 25 per barel mulai merangkak naik dan menjadi dua kalinya pada tahun 2005. Ini dikarenakan ketatnya pasokan minyak sebab terbatasnya kapasitas produksi dunia dan membesarnya permintaan, yang dipicu oleh melajunya ekonomi Asia dan Amerika. Harga terus memanjat naik pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2008 krisis finansial global melejitkan harga minyak menembus US $ 147 per barel. Walau di awal 2009 terjun kembali ke sekitar US $ 50, harga kemudian naik lagi karena ketatnya pasokan. Harga fundamen-
tal terendah minyak mentah nampaknya akan berada pada US$ 80 per barel, yaitu sebesar biaya produksi minyak mentah sintetik dan biofuel dan kedua jenis produk tersebut sudah masuk dalam sistem pasokan dan permintaan minyak dunia. Sementara itu faktor geopolitik tiada hentinya muncul dan ini menyebabkan harga minyak selalu berada sekitar US$ 20-30 di atas harga fundamentalnya (Gambar 1). Harga minyak pada tahun-tahun ke depan akan terus naik karena semua faktor yang berpengaruh, baik fundamental maupun nonfundamental cenderung mengungkit harga. Pada tahun 2020 harga dapat mencapai US$ 150 per barel. Kenaikan harga minyak mentah yang tiada henti tersebut menyebabkan Pemerintah terpaksa menyesuaikan lagi harga BBM di dalam negeri. Sejak tahun 1998 harga sudah naik sebanyak tujuh kali. Situasi negara makin sulit karena sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi 'net importer' minyak. Saat ini minyak milik
Gambar 1. Geopolitik, krisis ekonomi, dan harga dunia
Subsidi BBM vs Mensejahterakan Rakyat ; Maizar Rahman
5
Topik Utama pemerintah, dari produksi kotor sebesar 950 ribu barel dikurangi ongkos produksi dan bagian kontraktor asing tinggal 600 ribu barel per tahun. Di lain pihak, konsumsi Indonesia sudah mencapai 1100 ribu barel sehingga harus mengimpor sebesar 500 ribu barel per tahun dengan harga internasional.
jumlah dan cara yang bervariasi satu sama lainnya. Negara-negara berkembang pengekspor murni minyak memberikan harga BBM jauh di bawah harga pasar internasional. Apalagi kalau rasio antara produksi dan jumlah penduduk mereka besar, membagikan BBM murah dianggap sebagai suatu cara membagi nikmat kekayaan alam kepada penduduknya.
2. SUBSIDI BBM
Negara-negara berkembang pengimpor minyak tidak dapat meniru negara-negara pengekspor minyak. Beberapa negara tetangga kita di ASEAN saja sudah memberlakukan harga BBM sesuai atau mendekati harga internasional. Rakyat mereka mengerti dan BBM sudah seperti komoditi lainnya, yang harganya sudah mengikuti naik turunnya harga pasar, tidak ada lagi gejolak sosial dan politik. Daya saing ekonomi mereka ternyata dapat bertahan berkat upaya efisiensi.
Bilamana disimak sejarah harga BBM maka selalu diikuti oleh gejolak sosial dan politik. Namun pada komoditi lain, yang pergerakan harganya juga hampir seirama seperti BBM, gejolak yang mengikuti tidaklah sehebat BBM. Bila dibandingkan harga-harga komoditi di dunia pada awal tahun 2000 dan harga tahun 2012 ini, harga emas naik 6 kali, harga minyak mentah naik 5 kali dan harga beras naik 3 kali. Pada komoditi yang sudah mengikuti harga pasar, baik di negara berkembang seperti Indonesia maupun negara maju, perubahan harga tidaklah memicu gejolak sosial politik karena masyarakat mengerti bahwa perkembangan harga disebabkan terutama oleh hukum pasar dan pemerintah tidaklah mengatur harga. Demikian juga untuk harga BBM di berbagai negara termasuk di negara-negara di sekitar Indonesia Sistem subsidi melalui pengaturan harga komoditi merupakan distorsi dari mekanisme pasar. Karena adanya perbedaan harga antara harga subsidi dan harga pasar, dampak negatif yang ditimbulkan antara lain adalah terpicunya tindakan ilegal seperti penumpukan, penyelundupan, pengoplosan, yang kesemuanya itu merepotkan dan menghabiskan energi petugas berwajib dalam pengawasannya. Sistem subsidi melalui harga juga menimbulkan sifat boros energi masyarakat sehingga menurunkan efisiensi negara di bidang energi. Karena itu sudah selayaknya sistem subsidi diganti sehingga lebih dirasakan manfaatnya dalam perekonomian negara. Subsidi BBM merupakan masalah global. Puluhan negara memberikan subsidi dalam
6
Di negara-negara maju, penentuan harga sudah jauh lebih rasional lagi. BBM dipajaki tinggi sekali sehingga harganya bisa dua kali harga pasar internasional. Ini sangat mendorong efisiensi atau anti pemborosan sehingga kebutuhan BBM negara-negara tersebut cenderung menurun dan di lain pihak, energi terbarukan makin berkembang. Di tataran global sudah muncul kesepahaman bahwa subsidi energi fosil harus dieliminasi secara bertahap dan tahun 2020 diancar-ancar sebagai target hilangnya subsidi. Alasannya adalah makin langkanya sumber-sumber minyak dunia, perlunya ditingkatkan efisisensi demi menghemat sumber daya minyak yang masih ada, dan diharuskannya pengurangan energi fosil demi menurunkan CO 2 di atmosfir karena pemanasan global mulai membahayakan. 3. PENIKMAT SUBSIDI Kajian tim bersama Bank Dunia, OPEC, OECD dan IEA menunjukkan bahwa setiap tahun negara-negara berkembang mengeluarkan lebih dari 400 milyar dollar untuk subsidi energi fosil,dan ternyata hanya 8% yang dinikmati rakyat
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama miskin. Bila ini dialihkan, pencegahan pemborosan dapat menghemat lebih dari 600 juta ton setara minyak sampai tahun 2020. Disarankan agar subsidi dialihkan untuk kesejahteraan langsung rakyat miskin serta untuk pengembangan energi terbarukan. Hal yang mengejutkan adalah Iran, sebagai pengekspor OPEC kedua terbesar, dan juga sebagai negara pemberi subsidi BBM terbesar di dunia, ternyata dengan drastis telah mereformasi sistim subsidinya mulai di akhir 2010. Harga bensin dinaikkan sebesar 400 persen (dari 10 sen dollar menjadi 40 sen per liter) dan harga solar 1000 persen (dari 1.5 sen dollar menjadi 15 sen per liter). Sebagai kompensasi, untuk penduduk miskin dibantu sebesar US$ 40 per orang per bulan. Untuk kendaraan umum dan niaga diberikan kuota BBM murah. Inflasi Iran di tahun berikutnya naik tapi ternyata tidak sebesar yang diperkirakan. Pengamat luar negeri dan Bank Dunia menilai perubahan tersebut berdampak positif kepada perekonomian Iran.
Kalau hampir semua negara dalam kelompok pengimpor minyak sudah menerapkan atau mendekatkan harga BBM pada harga pasar, Indonesia ternyata masih pada harga paling murah, malah sama dengan negara-negara pengekspor minyak yang memiliki produksi dan cadangan minyak per kapita berpuluh kali dari Indonesia (Gambar 2). Kajian konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penikmat BBM adalah pemilik kendaraan pribadi yang berpenghasilan lebih besar. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing serta kedutaankedutaan besar asing di Indonesia yang semuanya berjumlah lebih dari 2700 perusahaan. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa mereka dapat menikmati subsidi BBM lebih dari setengah trilliun rupiah per tahun. Di lain pihak 75% rumah tangga, yang umumnya berpenghasilan rendah hanya menikmati 15% subsidi (Gambar 3).
Gambar 2. Harga bensin di beberapa negara berkembang
Subsidi BBM vs Mensejahterakan Rakyat ; Maizar Rahman
7
Topik Utama
Gambar 3. Sistem subsidi sekarang tidak tepat sasaran 4. MENSEJAHTERAKAN RAKYAT Kenaikan harga BBM bukanlah menghilangkan subsidi bagi masyarakat kurang mampu tapi malah meningkatkannya. Kenaikan harga BBM hanya menghapuskan subsidi bagi masyarakat mampu. Subsidi untuk masyarakat mampu tersebut terus dipindahkan ke masyarakat tidak mampu melalui berbagai skema bantuan kesejahteraan seperti bantuan langsung tunai, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Artinya, sistem subsidi yang tadinya melalui harga BBM diubah sehingga dana subsidi lebih tepat sasaran. Bantuan langsung membuat rakyat miskin lebih mampu membeli kebutuhan rumah tangga yang lebih berkualitas dengan jumlah yang lebih memadai. Perputaran uang di kalangan rakyat kecil akan meningkat dan ini dengan sendirinya akan menggairahkan sektor riil dan tentu berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Agar tidak terjadi kenaikan besar tarif angkutan, kepada kendaraan transportasi umum diberikan subsidi. Demikian juga kepada para nelayan, dapat diberikan kuota tertentu BBM bersubsidi.
8
Bantuan langsung membuat rakyat miskin lebih mampu membeli kebutuhan rumah tangga yang lebih berkualitas dengan jumlah yang lebih memadai. Perputaran uang di kalangan rakyat kecil akan meningkat dan ini dengan sendirinya akan menggairahkan sektor riil dan tentu berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Agar tidak terjadi kenaikan besar tarif angkutan, kepada kendaraan transportasi umum. 5. PENUTUP Apabila harga BBM dinaikkan maka ketahanan energi negara ini juga akan lebih mudah ditingkatkan karena harga energi lainnya, terutama energi terbarukan akan menjadi kompetitif. Saat ini bahan bakar nabati terhambat perkembangannya karena biaya produksinya di atas harga BBM bersubsidi. Padahal Indonesia sangat mungkin mandiri energi dengan bahan bakar nabati dikembangkan. Bahan bakar nabati dari bahan non makanan seperti biomassa dan ganggang laut berpotensi besar karena di samping beriklim tropis, Indonesia memiliki ± 80 ribu km garis pantai yang sebagiannya dapat untuk algae atau ganggang mikro, yang budi-
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama dayanya tidak akan banyak memakai air tawar maupun lahan pertanian di darat. Dengan penyesuaian harga BBM sesuai gejolah harga minyak dunia, APBN kita dapat diamankan, defisit yang akan membebani generasi mendatang dapat dihindari. Karena itu, sudah perlu bagi Indonesia untuk menerima kecenderungan global agar harga BBM lebih rasional seperti harga-harga komoditi lainnya.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012 Bank Indonesia, 2012 US Energy Information Administration, 2012 Joint Report by IEA, OPEC, OECD and World Bank on fossil-fuel and other energy subsidies: An update of the G20 Pittsburg and Toronto Commitments" Prepared for the G-20 summit (Cannes, 3-4 November 2011). http://en.wikipedia.org/wiki/Iranian_targeted_ subsidy_plan, 9 March 2012.
Maizar Rahman, Perilaku Harga Minyak Dunia, Pengaruh Faktor Fundamental dan Non Fundamental, Lembaran Publikasi Lemigas, Volume 42, No 3, Desember 2008.
Subsidi BBM vs Mensejahterakan Rakyat ; Maizar Rahman
9