Edisi Juli-September 2015
Peran Kepala Daerah dan Peningkatan IPM
KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
Komitmen dan Konsistensi Membangun Daerah Daya Serap APBD tak Optimal
2
Editorial
Kepala Daerah dan Pembangunan
Daftar Isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ........................ 8 Dari Daerah............................. 12 Opini ........................................ 15 Laporan Kegiatan ................... 19 Seputar Otonomi .................... 21 Agenda KPPOD...................... 24
Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Robert Na Endi Jaweng Pemimpin Redaksi: M. Iqbal Damanik Redaktur Pelaksana: Boedi Rheza Staff Redaksi: Elizabeth Karlinda Tities Eka Agustine M. Yudha Prawira Nur Azizah Febryanti H. Nurcahyadi Suparman Distribusi: Regina Retno Budiastuti Susi Sih Kusumawardany Agus Salim Layout: Winantyo
Alamat Redaksi: Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
S
elain dukungan sumber daya alam, letak strategis, serta aneka faktor anugerah dan struktural lainnya, kemajuan suatu daerah jelas dipengaruhi mutu tata kelola pemerintahan yang ada. Bahkan, mahaguru manajemen, Peter Drucker pada tahun 1994 lalu berujar tandas: sesungguhnya tak ada negara/daerah yang miskin/terbelakang, kecuali yang tak terurus/terkelola! Ya, tak terurus atau salah kelola. Itulah faktor kunci yang hari-hari ini, pada era desentralisasi dan otonomi di negeri ini, hendak kita perbaiki secara mendasar. Dalam bidang ekonomi/investasi, itu berarti perbaikan mendasar perihal mutu kebijakan pemda, kerangka kelembagaan, layanan usaha, dan segala lingkungan tempat berbagai faktor ekonomi berinteraksi. Dalam semua proses kerja tersebut, peran Kepala Daerah menjadi prasyarat perlu, conditio sine qua non. Hitam-putihnya daerah, di tengah masih lemahnya derajat pelembagaan sistem dan tingginya ketergantungan pada kekuatan figur kepemimpinan dalam sektor publik, Kepala Daerah bisa menjadi determinasi kemajuan atau sebaliknya justru menjadi faktor negatif. Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang rutin dilakukan KPPOD menyebut dua kualitas penting dari kepemimpinan dimaksud: integritas dan kapasitas Kepala Daerah. Konfirmasi lebih jauh hasil studi tersebut hendak diurai ulang para penulis dalam sejumlah rubrik utama KPPODBrief edisi ini. Dalam rubrik “Opini” kita bisa membaca program unggulan Walikota Palu H. Rusdi Mastura yang berikhtiar menurunkan tingkat kemiskinan warga kota, bahkan hingga tuntas (“Palu 2015 Zero Poverty”). Demikian pula di Kabupaten Cirebon, sebagaimana dibaca pada rubrik “Artikel”, Bupati Sunjaya Purwadi sejak visi-misi pencalonannya sudah mencanangkan tekad memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) warganya melalui pelaksanaan 18 program unggulan daerah. Sejalan semangat dasar otonomi, kita tentu berharap para Kepala Daerah mengembangkan karakter kepemimpinan yang unggul dan inovatif bagi kemajuan daerah. Pertama, kepemimpinan itu harus bisa menggerakkan, pembangunan yang mengandung unsur movement, bukan mobilisasi dan rezimentasi, sehingga warga terlibat aktif dalam pembangunan daerah. Kedua, kepemimpinan era otonomi, di mana uang dan kuasa kian mengalir deras ke daerah, harus didukung ketahanan diri dan keutamaan moral yang otentik pada figur Kepala Daerah. Ketiga, kepemimpinan yang mampu menghadirkan inovasi dan bukti hasil kerja nyata bagi peningkatan kualitas hidup warga. Setidaknya, ketiga karakter kepemimpinan tersebut yang selama ini sudah ditunjukan sebagian daerah inovatif di negeri ini. Mereka berhasil menunjukan sisi “pembeda” antara kepemimpinan yang berkarakter unggul dengan para Kepala Daerah di banyak tempat lain yang hanya menjalankan kepemimpinan biasa-biasa saja, medioker, bahkan business as usual.
Semoga sejumlah rubrik utama dalam edisi ini bisa menjadi cermin berkaca diri, memberi tambahan informasi dan jadi penyemangat bagi para pemimpin lokal di seantero Nusantara. (EJ)
3
Artikel
Peran Kepala Daerah dan Peningkatan IPM
U
U No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menyatakan penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI. Pesan tersurat dalam UU tersebut adalah suatu mandat eksplisit bagi kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi di daerah berupa tugas bagi kesejahteraan rakyatnya.
Parameter menilai keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan sangat beragam, misalnya dengan mengukur peningkatan pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto), peraihan penghargaan dalam kebersihan, keamanan dan sebagainya. Selain itu, keberhasilan pembangunan suatu daerah diukur dari sejauh mana daerah tersebut bisa mengatasi aneka tantangan dan problem masyarakat yang paling mendasar: kemiskinan, pengangguran, akses pendidikan, ketahanan pangan, serta partisipasi publik dalam pembangunan. Salah satu ukuran yang dipergunakan di sini adalah instrumen dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) berupa ukuran standar pembangunan manusia, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).
Indeks Pembangunan Manusia Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak lama terjadi. Pendapatan per kapita sebagai indikator pembangunan telah digugat oleh kalangan ekonomi maupun non-ekonomi yang melihat ketidakakuratan indikator tersebut, yang kemudian memunculkan beberapa indikator baru. Indikator baru secara umum berfokus pada pembangunan manusia. Dalam proses diskursus kebijakan, banyak ahli memunculkan tawaran model. Morris (1979), misalnya, membangun the Physical Quality of Life Index (PQLI) sebagai usulan
4
Abdullah Syafi’i,S.Si,ME Direktur Eksekutif Cirebon Developing Institute (Lembaga Pengembangan Kebijakan Publik)
Artikel
dalam pengukuran mutu pembangunan manusia. Sementara United Nation Development Program (UNDP) membangun Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dewasa ini banyak digunakan negara-negara di dunia dengan landasan yang dibangun oleh Haq (1996). Konsep IPM pertama kali dipublikasikan UNDP melalui Human Development Report (1996), yang kemudian berlanjut tiap tahun. Dalam laporan ini, pembangunan manusia didefinisikan sebagai “a process of enlarging people’s choices” atau proses yang meningkatkan aspek kehidupan masyarakat. Aspek terpenting kehidupan ini dilihat dari usia yang panjang dan hidup sehat, tingkat pendidikan yang memadai, dan standar hidup yang layak. Secara spesifik UNDP menetapkan empat elemen utama pembangunan manusia: produktivitas (productivity), pemerataan (equity), keberlanjutan (sustainability), dan pemberdayaan (empowerment).
Dalam perkembangannya, Indonesia juga menjadikan IPM sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan. Sejak tahun 1990 hingga 1995 IPM Indonesia umumnya mengalami peningkatan. Penurunan pernah terjadi kurun 1996-1998, namun meningkat kembali sejak 1999 hingga 2005, untuk kemudian pada tahun 2006 terjadi sedikit penurunan dan pada tahun 2007 IPM kembali meningkat. Penurunan juga terjadi pada tahun 2008, kemudian sedikit meningkat pada tahun 2009 dan mengalami penurunan pada tahun 2010 (visualisasinya dapat dilihat pada Grafik 1) Penurunan IPM secara tajam pernah dialami oleh Indonesia pada tahun 1999, akibat krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia, sementara peningkatan cukup tajam terjadi pada kurun waktu 2003 dan 2004. Kenaikan IPM pada tahun 2002 dan 2004 ini, seiring dengan dilaksanakannya era otonomi daerah yang
Grafik 1. Perkembangan IPM Indonesia (1996–2013)
Grafik 2. Perubahan Laju Pertumbuhan IPM Indonesia Tahun 1996 - 2013
5
Artikel
memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya. Berbagai teori tentang kemungkinan dampak desentralisasi atas IPM pernah dibahas oleh Scott (2006) dan Brassard (2008). Sementara Brata (2005) menguji pengaruh pengeluaran pemda, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan (IPP), investasi swasta (IS) dan distribusi pendapatan proksi Indeks Gini (IG) terhadap IPM dalam konteks regional (provinsi) di Indonesia. Variabel pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan manusia. Semakin besar alokasi pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan semakin baik pula pencapaian IPM.
Peran Kepala Daerah Salah satu hasil dari kebijakan otonomi daerah adalah Indonesia mengalami proses transformasi pemilihan Kepala Daerah yang semula dilakukan oleh anggota DPRD, dan sekarang dilakukan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, bahkan mulai Desember 2015 nanti akan dilaksanakan pilkada langsung dan serentak di 269 daerah. Pilkada model baru tersebut pada satu dimensi dapat dibaca sebagai kulminasi dari kekecewaan masyarakat terhadap kecenderungan elit politik di DPRD yang melakukan pembajakan aspirasi rakyat. Fungsi check and balances yang semestinya diperankan oleh lembaga legislatif sering difungsikan hanya sebagai stempel bagi pihak eksekutif. Pengalaman selama era Orde Baru ini memacu aspirasi publik untuk menentukan aspirasinya secara langsung dalam proses pilkada. Sistem pemilihan ini juga merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi, berupa perwujudan hak-hak mendasar masyarakat, tercapainya kesetaraan politik, tumbuhnya moral otonomi, kebebasan menentukan pilihan politik, dan ikhtiar bagi terwujudnya aspirasi kesejahteraan masyarakat. Dampak pelaksanaan Pilkada langsung bagi pembangunan daerah juga, antara lain, memunculkan strategi perencanaan pembangunan daerah yang berbasiskan pada realita dan aspirasi masyarakat. Mekanisme penyusunan strategi pembangunan secara bottom up akan dapat lebih mudah direalisasikan, terlebih lagi apabila ditambahkan komitmen moral maupun politik dari calon kepala daerah. Komitmen moral maupun politik tersebut, akan menjadi barometer program kerja mereka ketika terpilih dan publik dapat melakukan kontrol sosial terhadap janjijanji kampanyenya.
6
Kematangan demokrasi melalui pilkada langsung pada akhirnya diharapkan akan memacu pada peningkatan peran serta masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Perekrutan pemimpin yang dikenal dan didukung oleh masyarakat akan menumbuhkan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemimpinnya dan pada akhirnya akan menumbuhkan dukungan masyarakat dalam proses pembangunan. Demokrasi yang matang seharusnya juga berimplikasi pada demokrasi ekonomi dengan terciptanya kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dan jaminan hidup yang layak bagi semua warga negara. Pemberian kesempatan yang sama (equal opportunities) pada alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi. Alokasi dan distribusi ekonomi akan menumbuhkan prinsip keadilan ekonomi berdasarkan pada kemampuan individu. Perlindungan pada golongan marjinal secara ekonomi dan penyusunan prioritas pembangunan pada kalangan yang terbelakang secara ekonomi sehingga lebih baik. Kepala daerah yang dipilih secara langsung, semestinya merupakan cerminan dari kehendak rakyat dan memiliki modal politik dan sosial untuk berhasil mewujudkan cita-cita kesejahteraan rakyat. Visi, misi dan program yang ditawarkan calon kepala daerah semasa kampanye merupakan janji yang harus diwujudkan ketika mereka memegang kekuasaan tersebut. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, kepala daerah jelas harus memiliki komitmen untuk menjadikan IPM daerahnya sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan mereka membangun daerah dan menjadi alat pemacu daerah untuk meningkatkan IPM daerahnya sehingga tidak kalah dengan daerah yang lain. DPRD sebagai lembaga kontrol eksekutif, harus juga menjadikan capaian IPM daerah tersebut, untuk menilai capaian kinerja kepala daerah. Kepala daerah juga harus ikut berupaya mendukung tercapainya target IPM Nasional sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2015-2019 ditetapkan target-target indikator peningkatan kualitas manusia. IPM ditargetkan meningkat dari 73,83 pada 2014 menjadi 76,3 pada 2019. Peringkat IPM Indonesia pada 2013 masih 111 dan pada tahun 2014 di peringkat 108. IPM Indonesia masih jauh dibawah Singapura (9), Brunei (30), Malaysia (62) dan Thailand (89), tetapi lebih baik dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya yang menempati peringkat lebih rendah bersama Myanmar (150), Laos (139), Kamboja (136), Vietnam (121) dan Filipina (117).
Artikel
Kasus Kabupaten Cirebon Data menunjukan, Kabupaten Cirebon merupakan satu di antara sejumlah daerah otonom yang memiliki skor IPM pada papan bawah. Berdasarkan data BPS, IPM Kabupaten Cirebon pada 2012 hanya 70,25 poin atau lebih rendah dari rata-rata IPM Jawa Barat yang mencapai 73,58 poin dan jauh dibawah rata-rata IPM nasional yang mencapai 73,81. Dalam upaya mencapai target peningkatan IPM tersebut, maka IPM menjadi salah satu isu daerah yang sangat diperhatikan masyarakat. Pasangan Calon Bupati Sunjaya Purwadi dan Tasyiya Sumadi pada saat pencalonan sudah menyampaikan visi, misi dan program berupa target peningkatan peringkat IPM Kabupaten Cirebon ke jajaran 10 besar, dibandingkan dengan posisi sekarang yang nyaris paling akhir. Setelah Sunjaya Purwadi terpilih menjadi Bupati Cirebon, maka visi dan misi tersebut dituangkan dalam rencana aksi berupa 18 program unggulan daerah, termasuk didalamnya sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, penyediaan air bersih dan energi listrik. Secara spesifik, program unggulan yang berkaitan dengan sektor pendidikan, antara lain, berupa program bebas buta Al quran, bebas drop out sekolah pada jenjang pendidikan dasar/menengah, serta mewujudkan kabupaten berbudaya membaca. Untuk sektor kesehatan, bupati mencanangkan layanan kesehatan gratis terutama bagi keluarga tidak mampu.
Tak hanya itu, Kabupaten Cirebon harus bebas balita gizi buruk dan rawan pangan. Dalam bidang infrastruktur, ditargetkan Cirebon memiliki jalan yang mantap, bebas banjir, asri, sehat dan lestari. Kemudian, seluruh wilayah Kabupaten Cirebon harus terang. Bupati Cirebon secara eksplisit menjadikan pencapaian IPM menjadi salah satu indikator makro keberhasilan pembangunan. IPM yang tinggi identik dengan keberhasilan pembangunan. Sebaliknya, IPM yang rendah identik dengan tidak berhasilnya pembangunan. Untuk menunjang pencapaian 18 program unggulan dan kebijakan umum pembangunan Kabupaten Cirebon kurun 2014-2019 maka dilakukan perubahan kebijakan anggaran yang memadai, tepat guna dan tepat sasaran. Ada sejumlah langkah strategis untuk menggeser secara bertahap paradigma peruntukan alokasi APBD dari belanja tidak langsung ke belanja langsung. Alokasi belanja tidak langsung untuk aparatur, di luar gaji dan tunjangan akan dialokasikan ke belanja langsung sebagai upaya untuk mendorong perbaikan kinerja program dan kegiatan. Bupati melakukan perombakan dengan semangat keberpihakan kepada masyarakat, dengan cara mengalokasikan belanja langsung sama dengan atau lebih besar dengan belanja tak langsung.
Bersambung ke Halaman 23
Grafik 3. IPM Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dan Nasional
7
Review Regulasi
Berkomitmen Menata Toko Swalayan Review Perda Kota Surabaya No.8 Tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan
S
ebagai salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya memiliki beragam potensi yang dapat memberikan nilai tambah dan pengaruh bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Potensi strategis dari Ibu kota Provinsi Jawa Timur ini, berada pada bidang industri dan perdagangan. Hal ini dapat dilihat melalui total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yakni perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor (27,38%), industri pengolahan (19,36%) dan penyediaan akomodasi dan makan minum (14,81%). Berdasarkan data tersebut, kota yang memiliki luas 333,063 km² dengan penduduk berjumlah 2.909.257 jiwa ini jelas menyimpan kekuatan nyata yang perlu mendapat perhatian lebih dari publik.
Melihat beberapa potensi strategis tersebut, Pemerintah Kota Surabaya tentu menyadari betapa pentingnya pengendalian atas perkembangan dunia usaha. Dalam konteks itu, faktor perizinan menjadi bagian penting. Izin diberikan sebagai instrumen pengendalian dan proteksi atas dampak buruk dari perkembangan kegiatan usaha yang tidak tertata. Sebagaimana temuan studi lapangan yang dilakukan oleh KPPOD, banyak kegiatan usaha di Surabaya yang masih belum memiliki izin termasuk usaha toko swalayan. Berbagai regulasi dan langkah kebijakan telah dibuat untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satunya berupa penerbitan Perda No. 8 Tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan di Kota Surabaya. Perda tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemkot Surabaya sebagai upaya pengendalian usaha toko swalayan. Hal ini merupakan upaya Pemkot untuk melindungi pasar rakyat, usaha mikro, kecil dan menengah.
Ringkasan Isi Perda No. 8 Tahun 2014 ditetapkan tanggal 21 Juli 2014. Pada lembar konsideran, Perda ini mengacu kepada sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, Permendag No. 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sebagaimana telah diubah
8
M. Yudha Prawira Peneliti KPPOD
Review Regulasi
dengan Permendag No. 56/MDAG/PER/9/2014. Kesemua peraturan nasional tersebut merupakan beberapa landasan hukum yang berkaitan erat dengan pengaturan mengenai penataan toko swalayan, termasuk penerbitan izinnya. Kemudian berdasarkan Perda tersebut yang dimaksud dengan toko swalayan adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. Sedangkan dari kandungan isinya, terdapat tiga tujuan pokok dari kelahiran Perda ini, yakni: (1) Melindungi keberadaan Pasar Rakyat dan jenis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sejenis; (2) Membangun kerjasama/kemitraan antara Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan dengan UMKM sejenis dalam rangka pemberdayaan Pasar Rakyat dan jenis UMKM sejenis lainnya; serta (3) Mensinergikan usaha ekonomi Pasar Rakyat dengan Toko Swalayan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara perihal perizinannya, Pasal 9 ayat (1) Perda No. 8 Tahun 2014 menegaskan bahwa “Setiap orang atau badan yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang Toko Swalayan wajib memiliki IUTS (Izin Usaha Toko Swalayan) dari Walikota.” Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) huruf a dan b, persyaratan mengenai IUTS yang dimaksud terbagi menjadi dua bidang: toko swalayan yang terintegrasi dengan pasar tradisional dan toko swalayan yang tidak terintegrasi dengan pasar tradisional. Persyaratan untuk toko swalayan yang tidak terintegrasi dengan pasar tradisional adalah: fotocopy izin prinsip dari Walikota; hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat serta rekomendasi dari Tim Hasil analisa sosial ekonomi masyarakat setempat; fotocopy Keterangan Rencana Kota; fotocopy Izin Mendirikan Bangunan; fotocopy Izin Gangguan; dan fotocopy Akte pendirian Perusahaan dan/atau perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang atau didaftarkan ke Instansi yang berwenang apabila pemohon merupakan badan hukum/badan usaha; rencana Kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha kecil; dan Surat Pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang berlaku. Sedangkan untuk persyaratan toko swalayan yang terintegrasi dengan pasar tradisional adalah: hasil analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat serta rekomendasi dari Tim Hasil analisa sosial ekonomi masyarakat setempat; fotocopy izin usaha pusat
perbelanjaan atau bangunan lainnya tempat berdirinya pasar rakyat; fotocopy akte pendirian perusahaan dan/ atau perubahannya yang telah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang atau didaftarkan ke Instansi yang berwenang apabila pemohon merupakan badan hukum/badan usaha; Surat pernyataan kesanggupan melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang berlaku; dan rencana kemitraan dengan UMKM untuk Pusat Perbelanjaan.
Analisis isi Produk hukum yang mengatur mengenai toko swalayan di Kota Surabaya ini kemudian akan dianalisis mengenai substansi dan kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Analisis tersebut dilakukan untuk melihat kesesuaian nomenklatur, bentuk inovasi Pemda dan kebermasalahan yang timbul. Sehingga akan terlihat terkait kepastian hukum serta bentuk komitmen Pemda terhadap substansi yang diharapkan. Kesesuaian Nomenklatur Perda No. 8 Tahun 2014 mengenai penataan Toko Swalayan memiliki kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini tercermin dari penyebutan nomenklatur Toko Swalayan dan Pasar Rakyat. Penyebutan nomenklatur tersebut merupakan penyebutan yang tepat, mengingat bahwa peraturan ini tunduk pada tiga peraturan sebagaimana telah disebutkan diatas. Meskipun di beberapa ketentuan dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 dan Permendag No. 70/M-DAG/ PER/12/2013 masih tertera nomenklatur toko modern dan pasar tradisional tetapi pada peraturan baru, yakni UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan sudah dilakukan perubahan nomenklatur yang lama (Toko Modern dan Pasar Tradisional) menjadi Toko Swalayan dan Pasar Rakyat. Selanjutnya, masih terkait nomenklatur, penyebutan Toko Swalayan dan Pasar Rakyat ditegaskan lagi melalui Pasal II angka 1 Permendag No. 56/MDAG/PER/9/2014 bahwa “Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka istilah Pasar Tradisional dibaca menjadi Pasar Rakyat dan istilah Toko Modern dibaca menjadi Toko Swalayan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.” Oleh karena itu dengan penyebutan nomenklatur demikian, maka penyusun Perda telah menyadari dengan benar akan pentingnya kesamaan nomenklatur dengan peraturan lebih tinggi. Walaupun pada dasarnya terdapat kesamaan definisi mengenai Toko Swalayan dengan Toko Modern dan Pasar Tradisional dengan Pasar
9
Review Regulasi
Rakyat dari seluruh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetapi penyebutan nomenklatur yang sama dapat menutup kesalahan penafsiran atas suatu istilah di dalam Perda No. 8 Tahun 2014 ini. Inovasi Pemerintah Di dalam ketentuan Perda No. 8 Tahun 2014 juga tersirat pengaturan soal inovasi. Peraturan tambahan yang menjadi inisiatif Pemerintah Kota mengenai Toko Swalayan terwujud di dalam ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13. Pasal 12 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa “Toko Swalayan wajib memprioritaskan tenaga kerja yang berasal dari wilayah daerah namun tetap berpedoman pada standar serta kualifikasi yang dibutuhkan.” Pengaturan tersebut bukanlah merupakan peraturan turunan melainkan inovasi dari Pemda itu sendiri untuk lebih memprioritaskan tenaga kerja setempat sehingga diharapkan dengan diberikannya izin toko swalayan maka secara tidak langsung dapat menyerap tenaga kerja bagi daerah itu sendiri. Sedangkan pada ketentuan Pasal 13, Pemerintah Kota Surabaya mengatur mengenai batasan jam kerja toko swalayan. Ketentuan ini terbagi menjadi dua yakni Pasal 13 ayat (1) bahwa jam kerja Hypermarket, Departement Store, dan Supermarket adalah: a) Untuk hari Senin sampai dengan Jumat, pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 21.00 WIB; b) Untuk hari Sabtu dan Minggu, pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 23.00 WIB; c) Untuk hari besar keagamaan, hari libur nasional pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB Sementara ketentuan mengenai jam kerja Minimarket diatur dalam Pasal 13 ayat (2), yakni:
10
a) Untuk hari Senin sampai dengan Jum’at, pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 21.00 WIB; b) Untuk hari Sabtu dan Minggu, pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 23.00 WIB; c) Untuk hari besar keagamaan, hari libur nasional, pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 24.00 WIB; d) Untuk Minimarket yang terintegrasi dengan bangunan yang digunakan sebagai fasilitas pelayanan masyarakat dapat beroperasi selama 24 jam. Penentuan batasan jam kerja ini menunjukkan suatu bentuk inovasi Pemda yang melakukan suatu affirmative action terhadap Pasar Rakyat. Pentingnya pembatasan jam kerja Toko Swalayan ini merupakan wujud dari komitmen Pemda dalam memberikan perlindungan terhadap Pasar Rakyat dan usaha mikro, kecil dan menengah. Dengan pembatasan tersebut diharapkan keberadaan Toko Swalayan tidak akan mematikan Pasar Rakyat dan usaha mikro, kecil dan menengah di Kota Surabaya. Bahkan selain itu, berdasarkan hasil studi lapangan KPPOD, fungsi dari ketentuan ini adalah memberikan ketertiban dan keamanan bagi pengusaha Toko Swalayan dan masyarakat. Kebermasalahan Perda Selain poin positif di atas, Perda ini juga mengandung kebermasalahan yang cukup serius untuk diperhatikan lebih lanjut. Pada Perda No. 8 Tahun 2014 tidak menyebutkan mengenai ketidakwajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) setelah memiliki Izin Usaha Toko Swalayan (IUTS). Padahal di dalam peraturan yang lebih tinggi yakni Pasal 29 ayat (1) Permendag No. 70/M-DAG/PER/12/2013 dijelaskan bahwa “Perusahaan pengelola pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern yang telah memperoleh
Review Regulasi
izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 tak diwajibkan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan”. Yang dimaksud izin usaha dalam pasal 24 ini adalah Izin Usaha Pengelolaan Pasar Tradisional (IUPPT), Izin Usaha Pusat Perbelanjaan (IUPP), Izin Usaha Toko Modern (IUTM). Sedangkan nomenklatur toko modern dan pasar tradisional tersebut telah diubah menjadi toko swalayan dan pasar rakyat berdasarkan ketentuan Permendag No. 56/MDAG/PER/9/2014. Hal ini dapat berpotensi kepada ketidakpastian hukum di Kota Surabaya yang dapat saja menerbitkan izin ganda atas kegiatan usaha yang sama. Ketiadaan norma turunan mengenai tidak wajibnya memiliki SIUP dari peraturan menteri tersebut tentu akan dapat berdampak kepada pemohon IUTS. Pemohon yang hanya melihat produk hukum ini saja tentu cenderung mengurus SIUP terlebih dahulu sebagai pintu masuk di dalam dunia usaha. Padahal seharusnya dengan mengurus IUTS sesungguhnya sudah cukup (tanpa adanya SIUP). Permasalahan ini dapat memicu lamanya waktu yang akan terbuang dan besarnya biaya yang dikeluarkan atas kesia-siaan mengurus SIUP itu sendiri. Selain itu, isi Perda No. 8 Tahun 2014 juga mengandung kerancuan pembahasaan saat menentukan jangka waktu. Pada Pasal 20 ayat (2) diterangkan bahwa “Berdasarkan hasil kajian analisa sosial ekonomi masyarakat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap usaha toko swalayan yang tidak memenuhi persyaratan khususnya terkait dengan lokasi yang tidak sesuai dengan tata ruang, ketentuan mengenai lebar jalan atau tidak memenuhi ketentuan jarak antara toko swalayan yang akan didirikan dengan pasar rakyat yang telah ada sebelumnya, maka pelaku usaha toko swalayan diberikan waktu 2,5 (dua koma lima) tahun terhitung sejak diterbitkannya rekomendasi hasil kajian analisa sosial ekonomi masyarakat setempat, untuk menghentikan kegiatan usahanya.” Kemudian pada Pasal 20 ayat (4) “Apabila dalam waktu 2,5 (dua koma lima) tahun sejak diterbitkannya rekomendasi hasil kajian analisa sosial ekonomi masyarakat setempat, pelaku usaha toko swalayan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan Pasal 16 dan/atau Pasal 17 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, maka Kepala Dinas melakukan penutupan kegiatan usaha.” Penyebutan jumlah waktu “2,5 (dua koma lima)” tahun ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda. Hal demikian dapat ditafsirkan menjadi dua tahun lima bulan atau dua tahun enam bulan. Bahkan penyebutan tahun dengan angka demikian merupakan suatu kesalahan fatal
dalam menentukan suatu bahasa perundang-undangan. Dalam pemahaman umum di masyarakat, dalam satu tahun jelas terdapat dua belas bulan. Jika memang yang dimaksud oleh pembuat perda adalah dua tahun enam bulan maka penyebutan “2 tahun 6 bulan (dua tahun enam bulan)” akan lebih tepat. Penyebutan angka harus secara lengkap, sesuai dengan perhitungan bulan di dalam tahun, bukan dengan penulisan angka desimal seperti menyebutkan koma. Kerancuan pembahasan di dalam ketentuan Perda tersebut tentu dapat menimbulkan kerugian terutama bagi pelaku usaha toko swalayan lantaran bisa menimbulkan ketidaksamaan persepsi perihal batas waktu jika terjadi kelalaian atau pelanggaran atas ketentuan tersebut.
Catatan Akhir Secara umum Perda No. 8 Tahun 2014 mengenai penataan Toko Swalayan merupakan suatu bentuk keberpihakan Pemda terhadap Pasar Rakyat dan usaha mikro, kecil dan menengah. Hal ini terlihat melalui tujuan dari dibentuknya peraturan ini dan juga inovasi substansi dari Pemda yang menentukan dengan detail batasan waktu kerja Toko Swalayan. Inilah yang menjadi suatu bentuk komitmen atau wujud dari affirmative action. Maka dari itu komitmen Pemda Surabaya patut diapresiasi dengan membentuk peraturan ini. Selain itu, berdasarkan penjelasan ringkasan isi dan juga analisa atas Perda No. 8 Tahun 2014, dapat disimpulkan yakni: pertama, Perda No. 8 Tahun 2014 telah memiliki landasan hukum yang tepat. Hal ini, antara lain, terlihat dari kesesuaian nomenklatur “Toko Swalayan” dan “Pasar Rakyat” dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Kedua, Komitmen Pemda Kota Surabaya terhadap keberpihakan terhadap pasar rakyat, usaha mikro, kecil dan menengah terlihat jelas. Pemda tampak menaruh prioritas membentuk Perda No. 8 Tahun 2014 sebagai bentuk pengendalian atas berkembang pesatnya toko swalayan. Bahkan lebih lanjut Pemda juga mengatur ketentuan perihal kewajiban menggunakan tenaga kerja asli daerah dan penentuan jam kerja bagi toko swalayan sehingga penyerapan tenaga kerja daerah dapat terjamin. Ketiga, terdapat kekurangan yang cukup krusial di dalam Perda No. 8 Tahun 2014, yakni tidak diaturnya ketentuan mengenai tidak wajibnya kepemilikan SIUP bagi pemilik usaha toko swalayan di Surabaya. Selain itu, kesalahan dalam kalimat perundang-undangan terlihat dalam menentukan jangka waktu, yang menyebutkan “2,5 (dua koma lima) tahun.” Hal ini tentu dapat menimbulkan multitafsir atas suatu ketentuan di dalam Perda tersebut.
11
Dari Daerah
DISKONVERGENSI KEBIJAKAN PEMDA Catatan Pinggir Lokalatih DKED Kabupaten Sikka dan FGD Penelitian di Kabupaten Ende, NTT
B
andul pembangunan nasional sedang bergerak ke daerah. Ini tentu tidak terlepas dari tagline “membangun Indonesia dari daerah” yang nyaring didengungkan pemerintah Jokowi-JK saat ini, sekaligus menjadi spirit yang mendasari kerja-kerja pemantauan otonomi dari KPPOD selama ini. Dengungan ini, di satu sisi, terasa hadir tepat waktu ketika kapasitas kelembagaan pemda dan kebijakan yang memberi daya akselerasi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, masih jauh panggang dari api. Di sisi lain, benang kusut kapasitas kelembagaan dan kebijakan daerah ini berpotensi menjadi faktor penghambat realisasi tagline pembangunan Jokowi-JK.
Masalah ini sedikit tergambar dalam Workshop “Penguatan Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED) Kabupaten Sikka” dan Focus Group Discussion (FGD) penelitian tentang sektor unggulan di Kabupaten Ende yang diselenggarakan KPPOD pada akhir September dan awal Oktober 2015 silam. Meski tak bisa begitu saja digeneralisasi, bagi penulis, kegiatan di dua kabupaten yang terletak di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menjadi “contoh kasus” untuk menilai kapasitas kelembagaan dan kebijakan Pemda di era otonomi dan desentralisasi yang sudah berusia 15 tahun ini. H.N. Suparman
Workshop penguatan DKED kabupaten Sikka ini merupakan tahapan lanjut dalam rangkaian penelitian tentang produk unggulan yang dilakukan KPPOD. Dengan menggunakan alat bantu (tool) RIA, KPPOD memilih penguatan DKED sebagai pilihan tindakan untuk memecahkan masalah kakao sebagai produk unggulan di daerah kabupaten Sikka. Sedangkan, FGD penelitian di Kabupaten Ende merupakan tahap awal dalam proses replikasi program produk unggulan lokal yang sudah dilakukan KPPOD di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Majene. Dalam kegiatan ini, penulis menangkap antusiasme dan impian yang mengagumkan dari para peserta yang sebagian besar berasal dari perwakilan pemda (SKPD) untuk berikhtiar mengembangkan produk unggulan demi
12
Peneliti KPPOD
Dari Daerah
FGD penelitian tentang sektor unggulan di Kabupaten Ende, 30 September 2015
peningkatan kesejahteraan masyarakat (petani) di Kabupaten Sikka. Pertanyaan nakalnya, ke mana selama ini? Mengapa baru sadar? Workshop penguatan DKED Kabupaten Sikka sendiri sudah menunjukkan kerapuhan kelembagaan dan kebijakan Pemda selama ini, khususnya terkait sektor prioritas dan produk unggulan daerah. Untuk kasus Kabupaten Ende, meski masih dalam bentuk hasil penelitian sementara, kecenderungan yang sama (antusiasme) juga tampak ke permukaaan. Karena itu, menurut penulis, kedua kegiatan ini menggarisbawahi satu masalah utama yaitu lemahnya kapasitas kelembagaan daerah yang berdampak pada apa yang saya sebut sebagai diskonvergensi kebijakan. Diskonvergensi kebijakan berarti penataan kebijakan yang tidak mengarah pada satu cita-cita yang ingin diraih atau titik pemecahan masalah dalam satu rezim Pemda. Setiap instansi atau SKPD memiliki kebijakan masing-masing, tidak terarah pada satu visi yang sama, bahkan tidak jarang cenderung liar dan saling tumpang tindih.
Diskonvergensi Pemda Mengapa terjadi diskonvergensi kebijakan padahal Pemda memiliki instrumen jelas semisal RPJPD, RPJMD, Renstra, dan Renja SKPD, untuk mengarahkan kiblat pembangunan daerah. Tentu persoalan lain, bahwa kadang-kadang instrumen itu dibuat asal-asalan atau dijiplak dari daerah lain. Tetapi, instrumen-
instrumen itu minimal menggambarkan bahwa setiap daerah memiliki kompas pembangunan. Lalu, apa yang menjadi persoalan sebenarnya? Masalah diskonvergensi kebijakan pemda berakar dan bergantung pada kapasitas dua pranata yang saling terkait di level daerah yaitu birokrasi dan politik. Pertama, birokrasi merupakan organisasi pelaksana kebijakan publik di lingkungan pemerintahan daerah. Birokrasi daerah terbagi dalam dinas-dinas yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Banyak persoalan muncul terkait pembagian tugas ini. Bisa berupa kompetensi kepala SKPD yang tidak memadai, lemahnya koordinasi antara SKPD, mutasi jabatan yang sarat kepentingan politis, dsb. Belum bicara soal integritas dan etos kerja birokrat daerah yang selalu mendapatkan sorotan karena bekerja di bawah standar sebagai pejabat publik. Kondisi-kondisi negatif ini menyebabkan kebijakan Pemda sulit dijalankan dan tidak terarah pada visi-misi yang sudah ditetapkan. Beragam masalah di atas sebenarnya sangat ditentukan oleh kapasitas kepala daerah sebagai seorang “manager” pembangunan kabupaten/kota. Tapi, perlu diingat bahwa kepala daerah merupakan jabatan politik. Dinamika politik daerah kadang-kadang mengganggu dan bahkan, sangat menentukan arah kebijakannya. Kedua, terkait kapasitas pranata politik daerah.
13
Dari Daerah
Lokalatih “Penguatan Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED)” di Kabupaten Sikka, 28-29 September 2015
Politik di sini tidak dipahami secara sempit hanya untuk entitas-entitas yang beraroma politis seperti partai politik atau politisi, tetapi merujuk pada semua lembaga pembentuk politik daerah baik yang berada dalam lingkungan pemerintahan daerah seperti DPRD dan Pemda maupun institusi-institusi yang berada di tengah masyarakat seperti LSM, media massa, kelompok kepentingan, dan akademisi. Dinamika di antara beragam lembaga ini memberi kontribusi besar dalam maju-mundurnya roda pembangunan.
Kedepan
Memang kendali tetap di tangan kepala daerah. Namun, sudah menjadi rahasia umum, tarik menarik kepentingan sebelum pilkada sering berimbas pada perubahan formasi pimpinan SKPD saat pemerintahan daerah baru berjalan. LSM atau birokrat yang tidak mendukung calon kepala daerah terpilih berpotensi besar dianaktirikan. Pimpinan SKPD versi kepala daerah baru lebih sekadar balas jasa atau mengamankan kepentingannya ketimbang tuntutan profesionalisme. Bisa dibayangkan, implementasi kebijakan pun menjadi berantakan.
Pada level nasional, pemerintah pusat harus memberi ruang dan iklim yang kondusif bagi pilkada serentak yang demokratis. Harapannya, pesta demokrasi ini melahirkan kepala-kepala daerah yang mampu membangun kelembagaan daerah yang mumpuni. Begitu juga di level daerah, pranata birokrasi dan politik lokal harus berani mendukung calon kepala daerah yang berkompeten dalam membentuk kapasitas kelembagaan daerah. Kapasitas kelembagaan yang kuat akan menjadi dapur untuk meramu kebijakan daerah sehingga lebih terarah, fokus, dan tepat sasaran.
14
Diskonvergensi kebijakan pemerintah daerah menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di era otonomi dan desentralisasi ini, khususnya pada masa era pemerintahan Jokowi-JK yang sedang gencar membangun Indonesia dari daerah. Hemat saya, pilkada serentak 2015 dan 2017 menjadi moment yang tepat untuk membenahi kapasitas kelembagaan seluruh pemerintahan daerah di Indonesia.
Opini
Komitmen dan Konsistensi Membangun Daerah: Berkaca dari Program Padat Karya “Palu 2015 Zero Poverty”
D
i era desentralisasi dan otonomi daerah ini, sejumlah daerah di negeri ini memunculkan aneka program yang tergolong sebagai inisiatif baru, bahkan dapat dipandang sebagai terobosan inovatif. Dari berbagai pengalaman menunjukan bahwa visi kuat, kepemimpinan dan komitmen Kepala Daerah menjadi prasyarat munculnya lingkungan perubahan di ranah lokal tersebut. Namun, implementasi di lapangan bisa bergerak lambat, bahkan terancam gagal jika dukungan dan kapasitas tata kelola dari birokrasi maupun para pemangku peran lainnya tidak berada dalam taraf memadai. Kota palu, dengan program “Palu 2015 Zero Poverty”, memberikan gambaran situasi nyata bagaimana sebuah terobosan dari seorang kepala Daerah (Walikota) berjalan di tataran implementasi/lapangan.
Pada 24 September 2012, Walikota Palu H. Rusdi Mastura di depan para peserta Forum Kawasan Timur Indonesia (Forum KTI VI) yang terdiri dari perutusan Pemda di KTI, lembaga internasional seperti UNESCO dan UNDP, menyatakan pada 2015 Kota Palu tidak ditemukan lagi warga miskin yang belum mempunyai akses pada layanan dasar pendidikan kesehatan, air minum, sanitasi yang beliau sebut “Palu 2015 Zero Poverty”. Sebagai langkah awal dari komitmen ini, pada Jum’at, 19 Oktober 2012, melalui Bappeda Kota Palu, Pemerintah Kota Palu mengorganisir lokakarya sehari tentang Palu 2015 Zero Poverty yang dihadiri oleh para akademisi asal Universitas Tadulako, aktivis LSM, para jurnalis, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kota Palu yang menampilkan tiga panelis yakni Bapak Ivan Hadar, Ph.D, Kepala Bappeda Provinsi Sulteng, dan Walikota Palu H. Rusdi Mastura. Pada akhir lokakarya, dibentuk tim penyusun Peta Jalan Palu 2015 Zero Poverty yang terdiri dari akademisi Universitas Tadulako, aktivis LSM, staf Bappeda Kota Palu yang bekerja selama tiga bulan hingga Januari 2013.
Andi Darmawati T. Dosen dan Peneliti di Universitas Tadulako
Dokumen Peta Jalan Palu 2015 Zero Poverty disusun dengan cara masing-masing Kepala SKPD diminta mempresentasikan kertas kerjanya tentang strategi penanggulangan kemiskinan sesuai dengan tugas pokok masing-masing SKPD secara bergiliran selama 3-5 Desember 2012. Selama tanggal tersebut, Walikota, Wakil Walikota selaku Ketua
15
Opini
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Kota Palu, Sekretaris Kota Palu mengawal proses ini agar Kepala-Kepala SKPD tidak meninggalkan tempat kegiatan seperti yang menjadi fenomena biasa dalam setiap acara Musrenbang. Sementara Tim Penyusun merekam proses yang terjadi sehingga menjadi bahan bagi terwujudnya dokumen Peta Jalan tersebut. Setelah dokumen Peta Jalan Palu 2015 Zero Poverty terwujud, tugas Tim Penyusun berakhir. Dokumen ini perlu diimplemetasikan dengan merujuk pada Basis Data Terpadu Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (BDT-TNP2K). Data mentah ini diolah menjadi data 45 kelurahan sesuai dengan nama dan alamat serta decile 1, 2 dan 3. Tujuan pengolahan data ini untuk mempermudah percepatan penanggulangan kemiskinan. Strategi penanganan Decile 1 dilakukan dengan program jaring pengaman sosial (social safety network) berupa kegiatan padat karya. Kegiatan Pada tahun 2014, sebelum Kegiatan Padat Karya, Gugus Tugas Pemberdayaan Masyarakat yang merupakan think tank Pemerintah Kota Palu dalam penanggulangan kemiskinan yang terdiri dari akademisi Universitas Tadulako, jurnalis, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyusun petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Juklak Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) bagi decile 2. Kedua petunjuk pelaksanaan ini diuji publikkan di masyarakat, DPRD, SKPD untuk memperoleh input bagi perbaikan. Pada tingkat teknis, sebelum rumah tangga miskin yang berjumlah 5.000 kepala keluarga decile diambil 2.165 rumah tangga miskin (RTM) sebagai uji coba Kegiatan Padat Karya, terlebih dahulu para fasilitator PNPM dan Tim Pendamping Masyarakat PDPM (TPM-PDPM) melalui verifikasi dan validasi berbasis masyarakat data RTM BDT TNP2K. Standard Operational Procedure (SOP) saat melakukan verifikasi dan validasi disediakan oleh Gugus Tugas Pemberdayaan termasuk Berita Acara Hasil Verifikasi dan Validasi. Tujuannya agar diperoleh secara tepat penerima manfaat Padat Karya decile dan masyarakat tidak menjadikan Lurah sebagai sasaran kekecewaan karena yang menjustifikasi layak tidaknya RTM masuk kategori penerima manfaat Padat Karya adalah masyarakat sendiri. Setelah diperoleh 2.165 RTM, maka pada 23 April 2014 diluncurkanlah Kegiatan Padat Karya decile 1 di lapangan Vatulemo oleh Pemerintah Kota Palu yang ditandai dengan penyematan ID Card secara simbolis. Ruang lingkup kegiatan mereka adalah kebersihan, penghijauan dan penertiban. RTM ini bekerja selama 3 jam sehari selama 5 hari kerja yang dilakukan secara flesibel
16
karena para RTM juga mempunyai mata pencaharian lain. 2.165 RTM ini diberikan remunerasi sebanyak Rp 500.000,- selama 9 bulan dengan catatan, Rp 50.000,dari Rp 500.000,- ini dipotong sebagai tabungan yang akan dapat diambil pada Desember 2014. Selanjutnya, selain RTM penerima manfaat ada pula Pengawas Padat Karya berjumlah 94 orang. Umumnya mereka ini berasal dari para tenaga honorer di Kelurahan. Mereka direkrut tanpa sengaja karena ketika mereka melakukan unjuk rasa di halaman Walikota minta diperjuangkan nasibnya karena belum lulus, secara tak sengaja terlontak gagasan dari Gugus Tugas Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu untuk merekrut mereka dengan alasan, pertama, honor yang mereka terima di kelurahan sebanyak Rp 25.000 - Rp 50.000,per bulan yang diterima setiap tiga bulan. Sangat tidak manusiawi memang. Kedua, walaupun mereka mempunyai tugas pokok di kelurahan, tentunya mereka bekerja juga di wilayah kelurahan mereka. Pada saat awal mereka hanya menerima Rp 250.000,- per bulan. Tetapi setelah melalui diskusi dan negosiasi antara BPM Kota Palu, Walikota, Wawali, Sekretaris Kota dan Gugus Tugas Pemberdayaan, dengan mempertimbangkan kemampuan APBD maka diperoleh kesepakatan bahwa remunerasi Pengawas Padat Karya sebesar Rp 485.000,-.
Dinamika Implementasi Selama pelaksanaan Padat Karya muncul masalah di lapangan. Masalah administratif berupa adanya RTM yang sama sekali belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ketika hendak menerima remunerasi bulanan di delapan kantor kecamatan, Bank Sulteng mensyaratkan adanya keterangan domisili. Keterangan domisili ini diperoleh di 45 kelurahan denga tarif Rp 20.000,- sehingga selama delapan bulan, ada RTM yang harus mengeluarkan dananya sebesar Rp 180.000,- suatu angka yang sangat besar bagi RTM. Sebagai jalan keluarnya, Walikota Palu mengeluarkan kebijakan agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) mengeluarkan KTP gratis kepada RTM ini. Kegiatan Padat Karya memberikan pelajaran kepada Kota Palu atas munculnya kreativitas Lurah. Buktinya, pada Kelurahan Palupi, di Kecamatan Tatanga dan Kelurahan Pantoloan Boya di Kecamatan Tavaili, Lurah membagi jam kerja selama sejam membersihkan dan menghijauan jalanan, dua jam aktivitas dilakukan di dalam Kebun Padat Karya. Kebun ini telah menghasilkan jagung dan jenis palawija lainnya yang berguna bagi bahan baku kelompok-kelompok masyarakat pada decile 2 PDPM untuk membuat produk-produk agroindustri bagi pasaran Kota Palu.
Opini
Namun, kita tidak menutup mata adanya kelemahan pelaksanaan kegiatan. Meski sosialisasi program terlaksana dengan baik, pada tingkat SKPD masalah kesamaan persepsi dan koordinasi menjadi titik kritis. Koordinasi hanya menjadi terminologi koordinasi karena ketika implementasi penghijauan, untuk menyediakan bibit trambesi, pagar keliling, pengangkutannya para Kepala SKPD saling berharap satu sama lain, sehingga di Kota Palu, ada istilah muncul Program “Palu 2015 Zero Poverty” hanyalah ‘ramai dalam kesunyian’. Artinya, di benak para Kepala SKPD, program ini hanyalah milik Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu. Padahal, program ini mutlak milik Kota Palu yang harus didukung oleh semua SKPD sesuai tupoksinya masing-masing. Belum adanya perubahan mind set para Kepala SKPD menjadi titik lemah “Palu 2015 Zero Poverty” sehingga mewajibkan Pemerintah Kota Palu meluncurkan Perda Penanggulangan Kemiskinan yang disahkan pada 23 April 2015. Di samping itu, adanya pertanyaan dari Ketua Rukun Warga V Kelurahan Tondo yang mempertanyakan kelanjutan program ini pasca H. Rusdi Mastura mendorong Gugus Tugas, SKPD, BPM mempercepat realisasi naskah akademik dan draft Ranperda Penanggulangan Kemiskinan. Belajar dari pengalaman 2014, pada Januari 2015 Pemerintah Kota Palu melakukan verifikasi dan validasi lagi Basis Data Terpadu TNP2K. Kali ini, Tim yang dikoordinatori oleh Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan beserta Kader PPLKB Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB), aparat kelurahan yang familiar dengan program microsoft excel serta Pengawas Padat Karya. Sebelum tim ini bekerja di 45 kelurahan dengan jangka waktu sebulan, mereka dibekali tehnik-tehnik fasilitasi dan pendataan oleh BPM dan Gugus Tugas Pemberdayaan, serta setiap minggu dilakukan rapat koordinasi untuk memantau pelaksanaan termasuk mengoreksi setiap kekeliruan di lapangan. Hasilnya adalah pertama adalah hasil verifikasi dan validasi teraktual BDT TNP2K yang mengeliminir RTM yang sudah pindah, menjadi PNS, meninggal, pewaris yang wafat, dan lain-lain. Kedua, adanya usulan tambahan RTM sebanyak 2.835 RTM yang termasuk decile 1 dalam kegiatan Padat Karya, termasuk adanya tambahan Pengawas Padat Karya baru sebanyak 49 orang yang berasal dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) maupun tenaga honorer kategori 2 di Kelurahan. Melalui kerjasama dengan Badan Pengelola Jasa Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan, diharapkan Pemerintah Kota Palu dapat mengasuransikan 10.000 RTM yang terdiri dari 5.000 RTM Kepala Keluarga peserta Padat karya, 5.000 istri RTM, serta 143 Pengawas Padat Karya. Tehnis pembayarannya adalah, premi dibayarkan bulan masing-masing sebesar Rp 9.045,- yang dibulatkan menjadi Rp 10.000,- bagi Kepala RTM, Rp 10.000,- bagi istri RTM karena mereka saling bergantian saat kerja selama 3 jam, Rp 30.000,- menjadi asuransi pendidikan anak RTM. Bila mereka tidak mempunyai anak, Rp 30.000,- menjadi hak RTM tersebut. Dana ini berasal dari remunerasi mereka sebesar Rp 600.000,- dengan rincian pemotongan bagi BPJS Ketenagakerjaan dan asuransi pendidikan sebesar Rp 50.000,-, lalu Rp 50.000,- seperti tahun lalu ditabung sebagai tabungan RTM yang dapat diambil pada Desember 2015 dengan harapan menjadi modal usaha RTM ini. Setelah berjalan selama 8 bulan ini, tupoksi RTM dalam kegiatan Padat Karya, mereka bekerja di bidang kebersihan dan penghijauan selama 1 jam, 2 jam mereka bekerja dalam area kebun padat karya. Hasilnya wajah Kota Palu bersih di tengah terik matahari, namun program penghijauan dapat dikatakan belum optimal mendatangkan hasil karena pohon-pohon penghijauan ada yang mati terinjak mobil yang parkir, mati dimakan hewan, dan lain-lain di sisi lain ada juga yang hidup dengan target membuat terowongan pohon di setiap jalan di Kota Palu. Lalu RTM dan Pengawas Padat Karya yang terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan mencapai 3.611 orang yang saat sosialisasi tiada henti agar RTM peserta Padat Karya mendaftar. Sebagai gambaran, saat ini ada 12 orang peserta Padat Karya yang wafat. 11 di antaranya wafat di luar jam kerja. BPJS Ketenagakerjaan memberikan uang duka pada mereka sesuai perjanjian sebesar Rp 21 juta yang dapat menjadi modal kerja bagi ahli waris. Lebih aktual lagi, bulan lalu ibu Diah, satu peserta Padat Karya di Kelurahan Nunu wafat saat bekerja, kemungkinan terkena serangan jantung hingga terjatuh ke dalam drainase, ahli warisnya memperoleh Rp 85,5 juta dari BPJS Ketenagakerjaan. Di tahun 2015 ini, karena kejujuran dan ketulusan RTM decile 1 peserta Padat Karya seperti yang terjadi di Kelurahan Mpanau, Kecamatan Tavaili, sebanyak 42 RTM secara sukarela minta dikeluarkan dari decile 1 karena masih ada yang lebih berhak dari mereka yang belum termasuk dalam decile 1. Di Kelurahan Silae Kecamatan Ulujadi, ada RTM yang minta dikeluarkan dari peserta Padat Karya karena mereka telah mempunyai lahan usaha kios kelontongan setelah menjual tanah warisannya dan setelah berbagi di antara
17
Opini
mereka sekeluarga. Target utama Pemerintah Kota Palu adalah berkurangnya peserta Padat Karya dari 5.000 RTM ini dalam arti mereka telah terangkat dari garis kemiskinan Kota Palu atau pindah ke decile 2 yang ditangani melalui Kegiatan Usaha Produktif dalam Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM)
Catatan Akhir Saat ini, Bappeda Kota Palu sedang meneliti peruntukan remunerasi RTM peserta Padat Karya. Apabila pendapatan yang mereka peroleh dari kegiatan Padat Karya diperuntukkan bagi hal-hal yang konsumtif, berarti harus dilakukan perbaikan khususnya dalam tahap sosialisasi awal pada RTM. Di samping itu, walaupun Pemerintah Kota Palu telah berkomitmen alokasi APBD bagi penanggulangan kemiskinan telah mencapai sekitar Rp 50 milyar, namun hal ini harus diikuti oleh perubahan mind set SKPD yang selama ini sudah menyatakan bahwa mereka telah sama-sama bekerja bagi penanggulangan kemiskinan, tetapi belum bekerja bersama-sama
18
secara terpadu dalam menanggulangi kemiskinan di Kota Palu. Tantangan lain adalah, program ini tidak boleh menciptakan ‘koloni kemiskinan’ di kelurahan yang membuat RTM hanya menengadahkan tangan ke atas mengharapkan bantuan pemerintah terus. Tantangan lain adalah program ini harus diikuti secara bersama-sama dengan program percepatan penanggulangan kemiskinan decile 3 melalui Kredit Usaha Daerah (KURDA) yang walaupun Gugus Tugas Pemberdayaan dan Bidang Perekonomian Sekretariat Kota Palu sudah menyelesaikan Panduan Umumnya sejak April 2014, namun program ini belum berjalan karena belum selesainya database Lembaga Keuangan Mikro di Kota Palu. Bila Kegiatan Padat Karya yang fokus pada decile 1 RTM, PDPM fokus pada decile 2 RTM, serta KURDA yang fokus pada decile 3 RTM berjalan beriringan, maka impian Walikota Kota Palu tidak ada lagi RTM yang menerima zakat, yang tidak punya akses pada layanan, kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan akses permodalan dapat terwujud, insya allah.
Laporan Kegiatan
Diskusi Media/Publik “Optimalisasi APBD bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah”
B
udaya diskusi merupakan hasil pembiasaan kerja kreatif yang dibangun dalam rangka bertukar gagasan dan membangun opini publik yang cerdas-kritis. Apalagi, jika topik yang dibincangkan itu terkait isu-isu publik yang krusial, maka suatu diskusi publik/media niscaya penting dilakukan.
KPPOD--sebagai lembaga pemantau yang menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi perbaikan kebijakan dan implementasi desentralisasi/otonomi--sudah lama membangun tradisi tersebut lewat rangkaian kegiatan diskusi media/publik yang digelar secara teratur. Tujuan spesifik dari forum yang dibuka luas ini, antara lain, dalam rangka menyebarluaskan hasil penelitian KPPOD. Meneruskan tradisi tersebut, KPPOD menyelenggarakan Diskusi Media/Publik terkait topik aktual seputar optimalisasi APBD bagi pertumbuhan ekonomi daerah pada 18 Agustus 2015, di ruang rapat ATC-Apindo, Gedung Permata Kuningan, Jakarta Selatan. Diskusi ini difokuskan pada isu-isu yang berkaitan dengan hasil penelitian KPPOD pada segala hal terkait kebijakan Fiskal di Daerah. Adapun pembicara yang hadir adalah Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri RI Drs. Horas Maurits Panjaitan, MEc.Dev, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI Prof. DR. Suahasil Nazara, Ketua Umum DPN Apindo Hariyadi B. Sukamdani, dan perwakilan Tim Peneliti KPPOD Elizabeth Karlinda dan Tities Eka Agustine. Hadir juga Kepala LPEM FE UI yang juga sebagai Wakil Ketua KPPOD DR. I Kadek Artha Sutrisna yang memberikan sejumlah kesimpulan sekaligus menutup forum setengah hari tersebut.
Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD
Membuka diskusi, Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng yang berperan sebagai moderator, menyoroti daya serap anggaran yang rendah di banyak daerah. Padahal, menurutnya, desentralisasi fiskal mengalami kemajuan cukup pesat yang ditandai dengan peningkatan anggaran yang mengalir ke berbagai daerah. “Kita melihat kemajuan pada sisi desentralisasi fiskal, yakni soal uang mengalir dari Jakarta ke daerah dan desa. Namun, manajemen fiskal berupa kapasitas tata kelola dan politik anggaran di daerah ternyata tidak bergerak dalam tingkat kemajuan yang seimbang”, demikian penegasan Direktur KPPOD.
19
Laporan Kegiatan
Tata Kelola Anggaran Selanjutnya tim KPPOD mamaparkan hasil penelitian yang merupakan kombinasi penelitian sekunder dan penggalian data/informasi primer di daerah. Hasil penelitian, antara lain, menunjukkan: pertama, IPM menjadi faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kedua, aglomerasi terbukti berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketiga, pengaruh belanja operasional terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar dari belanja modal, walaupun bersifat jangka pendek. Sedangkan yang terakhir adalah tata kelola keuangan mempengaruhi output dan outcome penganggaran bagi pertumbuhan ekonomi. “Kapasitas tata kelola yang mumpuni diyakini bisa meningkatkan perbaikan kualitas sistem perencanaan dan penganggaran sehingga lebih optimal memberikan kontribusi bagi realisasi anggaran dan pertumbuhan ekonomi”, demikian penegasan peneliti KPPOD Tities Eka Agustine. Sejalan hasil studi KPPOD, Horas Maurits Panjaitan menyetujui arti penting menata kembali sistem pemerintahan daerah agar mampu (1) melakukan percepatan penyerapan anggaran daerah, (2) memanfaatkan dana-dana transfer yang masih mengendap pada bank untuk mendanai program dan kegiatan pemerintah daerah, (3) menata sistem, regulasi, konsistensi perencanaan dan penganggaran, (4) meningkatkan akuntabilitas pengelolaan aset daerah serta transparansi pengadaan barang/jasa. Selanjutnya Suahasil Nazara menegaskan urgensi untuk menata lagi desentralisasi fiskal lewat review belanja oleh publik. Kementrian Keuangan berkomitmen untuk mendorong desentralisasi ekonomi melalui desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal.
20
Komitmen ini ditunjukkan dengan alokasi dana transfer ke daerah lebih besar dari belanja Kementrian/ Lembaga (Pusat). Bertolak dari semua pemaparan pembicara di atas, Hariadi Sukamdani menegaskan perlunya peran Pemerintah Pusat dalam melakukan monitoring ke daerah dari perencanaan hingga eksekusi anggaran. Menurut pengusaha nasional ini, masalah utama di daerah adalah perihal lemahnya kompetensi pemda sehingga dibutuhkan dukungan sumber daya dan aneka peningkatan kapasitas seperti training, termasuk kepada aparatur pemerintahan desa.
Momentum Pembuktian Diskusi yang diikuti oleh 54 peserta dari berbagai kalangan (Kementrian/Lembaga, NGO, akademisi dan media massa) ini berlangsung dinamis. Antusiasme tampak kuat dari para peserta diskusi yang memberikan tanggapan dan kritik atas pemaparan pembicara. Peserta melihat hasil temuan KPPOD sebagai hal yang penting diperhatikan. Misalnya, terkait temuan bahwa IPM sebagai faktor paling mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini semakin menguatkan bahwa human investment merupakan investasi jangka panjang. Sebagai penutup rangkaian kegiatan diskusi setengah hari ini, I Kadek Artha Sutrisna menyimpulkan bahwa diskusi ini berhasil mengangkat isu-isu penting dan relevan bagi perekonomian Indonesia yang sedang bergerak melambat saat ini. Untuk pertama kali dana transfer ke daerah lebih besar dibandingkan belanja Pusat, dan hal ini harus menjadi momentum pembuktian bahwa pembangunan akan benar-benar bisa digerakan dari daerah.
Seputar Otonomi
Otonomi Daerah Kurun Juli-September 2015 Fokus Tinjauan “Daya Serap APBD Tak Optimal”
R
entang bulan Juli hingga September 2015 ditandai munculnya sejumlah dinamika dan isuisu otonomi berkelas berat. Meski bukan lagi isu baru, perihal daya serap APBD maupun tersumbatnya aliran Dana Desa ke ranah Desa, jelas senantiasa menjadi isu krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah/desa. Selain itu, pilkada yang sempat terancam batal/tunda di sejumlah daerah yang hanya memiliki pasangan calon (paslon) tunggal juga menjadi salah satu “penanda” peristiwa otonomi sepanjang juli-september 2015.
Dalam tinjauan triwulan ini, saya akan memfokuskan bahasan kepada salah satu isu krusial: daya serap APBD yang tak optimal. Dalam konteks otonomi daerah, problem anggaran ini langsung terkait dengan potensi berhasil atau gagalnya pelaksanaan berbagai urusan yang kini berada di daerah. Dalam konteks menguatnya politik anggaran Presiden Jokowi yang berintikan desentralisasi fiskal kuat ke daerah/desa, kapasitas manajemen ini amat krusial: uang yang mengalir kian deras dan berjumlah banyak itu bisa-bisa menjadi sumber bahaya berlipat berupa inefisiensi dan korupsi masif. Rakyat tak mendapatkan manfaat bersih lewat layanan publik berkualitas, sementara investasi sulit bergerak lantaran instrumen fiskal pemda tak banyak ”menstimulasi” mesin pertumbuhan swasta.
Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
Fakta dan Masalah Tipologi mismanajemen fiskal di era desentralisasi masih ditandai problem tata kelola APBD terkait kapasitas dan kualitas belanja bagi pembiayaan layanan publik maupun sebagai stimulans ekonomi yang belum terpenuhi oleh banyak daerah. Pertama, kecukupan sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pembangunan. Kedua, proporsi alokasi yang memberat kepada alokasi belanja pegawai dari pada belanja publik (pos belanja modal dan barang/jasa). Ketiga, mutu administrasi pelaporan di mana masih sebagian besar daerah belum memperoleh opini bagus berdasarkan standar penilaian BPK. Masalah yang amat krusial lainnya, di mana kurun Juli-September 2015 menjadi salah satu kurun waktu yang mencemaskan, adalah daya serap Anggaran yang tidak optimal, termasuk simpanan sebagian SILPA di perbankan (BPD) maupun dalam
21
Seputar Otonomi
hingga semester pertama yang kerap amat minim, masalah manajemen waktu anggaran terlihat kasatmata sehingga ikhtiar bagi pembenahannya bisa mendatangkan quick win awal. Kalender tahun fiskal APBN ataupun APBD adalah Januari-Desember, sementara sistem anggaran tahun jamak (multi-years) hanya berlaku pada megaproyek. Maka, entah uang habis atau tersisa berlimpah, buku kas ditutup 15 Desember. Ke depan, hitungan argo nol APBD mesti diubah: dimulai setelah triwulan pertama, misalnya April, dan berakhir Maret tahun berikutnya. Selama ini, triwulan awal itu sebenarnya menjadi ”masa tunggu” daerah bagi datangnya dana transfer pusat, tapi jarum tahun fiskal sudah dihitung sejak 1 Januari sehingga pada akhir tahun banyak proyek digenjot, uang dihamburkan atau tak terserap.
bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Latar sebab, antara lain, belum berhasilnya reformasi birokrasi yang ditujukan bagi efisiensi anggaran, diskoneksi antara perencanaan dengan penganggaran, dan proses pengesahan APBD yang terlambat, rendahnya komitmen dan kapasitas Pemda dalam mendorong satu simpul prioritas dan standar layanan yang harus dipenuhi pendanaannya (SPM). Namun yang sering diumbar ke publik adalah alasan ketakutan pemda akan potensi kriminalisasi angggaran. Tentu saja, daya serap APBD tak sesederhana membangun pranata unit layanan pengadaan (ULP) dan layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) mengoperasikan sistem e-procurement yang memang terbilang baru dalam sektor publik kita. Tidak pula semata soal jaminan perlindungan hukum bagi panitia/ pimpro (penerbitan SE Setkab tentang Antikriminalisasi APBD), yang jika tak hati-hati bisa tergelincir sebagai proteksi bagi korupsi politik dan aksi berburu rente elite lokal. Kita memerlukan manajemen politik dan kepemimpinan presiden hingga gubernur/bupati/wali kota untuk menghela reformasi menyeluruh tata kelola anggaran dan segenap dimensi relasionalnya. Penataan ke Depan Pertama, jika melihat siklus realisasi pada triwulan
22
Kedua, proses normal di fase perencanaan (RKPD) biasanya mulai terganggu saat memasuki fase penganggaran (RAPBD). Banyak daerah menuntaskan pembahasan APBD melampaui waktu tenggat, antara lain, lantaran substansi perencanaan tak gampang diterjemahkan dalam kerangka anggaran. Titik ini sungguh menyerupai battlefield: prioritas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) versus Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) serta lebih buruk lagi sebagai pintu masuk kepentingan kepala daerah ataupun determinasi DPRD yang memaksakan kehendaknya atas nama aspirasi daerah pemilihan (dapil). Kalau ranah perencanaan memunculkan dominasi proses teknokratik (pemda) atas proses partisipatif (publik/musrenbang), kontestasi dalam penganggaran acap dimenangi aksi berburu rente oleh kepala daerah/ DPRD. Usaha mendasar guna memutus rantai permainan ini adalah mewajibkan DPRD terlibat penuh dalam perencanaan, sementara di tahap penganggaran tak lagi terlibat pada pembahasan satuan tiga (proyek, alokasi, dan lokasi) serta memberi persetujuan akhir di paripurna. Ketiga, kelanjutan dari butir di atas adalah berupa politik pembiaran birokrasi. Pencermatan di lapangan menunjukkan ada banyak bukti birokrasi memboikot implementasi anggaran. Mereka menyadari bahwa ranah perencanaan dan penganggaran adalah arena kontestasi politik, sementara realisasi adalah ranah mereka sebagai administrator program. Ketakutan menjadi pemimpin proyek (pimpro) adalah wujud nyata
Seputar Otonomi
penolakan menjadi tumbal sekaligus ketidakrelaan para birokrat senior untuk mengimplementasikan anggaran yang mereka tahu betul bahwa semua itu hanya untuk melayani aksi perburuan rente para politisi. Dalam konteks itu, langkah perbaikan jelas tak cukup memindahkan kriminalisasi (pidana) ke ranah administrasi. Sebagian kasus memang berkategori administrasi dan kebijakan, tetapi tak boleh korupsi ikut diselamatkan. Dalam modus operandi yang canggih, korupsi sangat gampang direkayasa agar memperoleh proteksi hukum. Para pimpinan birokrasi mengetahui modus tersebut dan mereka yang berintegritas kuat akan tetap memboikot di tahap implementasi anggaran. Di sini, instrumen pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan keuangan justru harus bekerja efektif, bukan malah mengalihkan secara serampangan korupsi ke dalam perkara kebijakan/administrasi. Keempat, tak jarang suatu proyek yang telah dianggarkan, bahkan memasuki kontrak kerja dengan pihak ketiga, gagal dieksekusi karena hambatan yang datang dari dimensi persoalan lain. Studi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2015) menemukan masalah akses dan proses pembebasan lahan jadi biang utama gagalnya pekerjaan
suatu proyek dan serapan anggaran. Ini jelas bukan lagi domain rezim fiskal, bahkan bukan semata urusan satu level pemerintahan. Pada kasus lain, perizinan usaha bagi rekanan swasta berlarutlarut diproses oleh instansi lain di pemda yang sama. Operasionalisasi kerja yang tertunda atau digarap tergesa dan asal-asalan menjadi konsekuensi praktis berikutnya. Kebutuhan bergerak sinergis multipihak dan antarpemerintahan jelas urgent. Proses tender proyek besar mesti mensyaratkan koordinasi, bahkan kepanitiaan bersama lintas bidang. Hingga revisi keempat (2015) Perpres Pengadaan Barang dan Jasa, business process tender hanya dilihat secara sektoral. Reformasi tuntas yang menempatkan pengadaan (e-procurement) dalam kesatuan integral dengan perencanaan (e-planning), penganggaran (e-budgeting), perizinan (e-licensing), dan pembayaran (e-purchasing), bahkan redesain keterhubungan sistemik multilayer governance mesti jadi model baru. Ini memang bukan perkara gampang dalam postur birokrasi kita yang kadung fragmentatif. Namun, hanya dengan upaya menyeluruh semacam itu, kita memastikan setiap elemen bergerak sinergis.
Sambungan dari Halaman 7 (Peran Kepala Daerah dan Peningkatan IPM) Bupati Cirebon juga secara nyata sudah menerapkan indikator kinerja. Antara lain, IPM ditargetkan naik dari 73,85 sampai 74,41 poin, indeks pendidikan sebesar 85,89-86,67 poin, indeks kesehatan sebesar 68,93-69,18 poin, indeks ekonomi/daya beli sebesar 66,73-67,37 poin, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,55 poin, laju inflasi sebesar 3,5-4,5 poin. Untuk menilai keberhasilan pencapaian target IPM tersebut, hingga saat ini belum tersedia data mengingat usia pemerintahan ini yang baru menjabat sejak April 2014. Namun demikian, telah ditunjukan perihal arti pentingnya peran kepala daerah dalam upaya meningkatkan IPM dengan cara menjadikan IPM sebagai salah satu bagian dari visi dan misi dalam mengelola daerah yang dimulai sejak tahap pencalonan hingga mereka menjabat. Pada saat ini, komitmen pemda untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah semakin meningkat dengan di UU No.6 tahun 2014 tentang Desa yang mendorong pemerintahan desa semakin berperan dalam pembangunan di daerahnya. Peran Kepala Daerah untuk membangun sinergi antar desa sangat penting sehingga target pembangunan dapat efektif tercapai.
Catatan Akhir Sebagai salah satu indikator pencapaian pembangunan yang penting, IPM jelas patut menjadi program utama kepala daerah dan menjadi indikator kinerja yang konkrit dan mudah dinilai oleh masyarakat. 1. Komitmen untuk mencapai target IPM tersebut semestinya dimulai sejak mereka mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan secara eksplisit harus diwujudkan dalam dokumen visi dan misi calon kepala daerah tersebut. 2. Kepala daerah yang terpilih dan menjabat harus benar-benar mewujudkan target IPM secara optimal dengan melakukan serangkaian strategi pencapaian IPM dan melakukan relokasi pendanaan APBD secara baik dan efektif. 3. Kepala daerah sebagai pemangku kekuasaan eksekutif di daerah memegang peran kunci dalam melakukan koordinasi dan membangun sinergi dengan DPRD untuk menjadikan IPM sebagai target capaian daerah dan melakukan strategi pendanaan pembangunan yang baik sehingga tujuan tercapai optimal.
23
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Diskusi Media/Publik “Optimalisasi APBD bagi Pertumbuhan Ekonomi” Pada tanggal 18 Agustus 2015 KPPOD menyelenggarakan kegiatan diskusi media/ publik. Acara ini diselenggarakan di ruang rapat ATC-Apindo, Jakarta. Tujuan dari acara ini adalah dalam rangka menyebarluaskan hasil penelitian KPPOD. Topik yang diangkat pada diskusi adalah optimalisasi APBD bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah. kegiatan diskusi kali ini difokuskan pada isu-isu yang berkaitan dengan hasil penelitian KPPOD pada segala hal terkait kebijakan Fiskal di Daerah. Pembicara dalam diskusi kali ini, antara lain Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri RI Drs. Horas Maurits Panjaitan, MEc.Dev, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI Prof. DR. Suahasil Nazara, Ketua Umum DPN Apindo Hariyadi B. Sukamdani, dan perwakilan Tim Peneliti KPPOD Elizabeth Karlinda dan Tities Eka Agustine, serta Kepala LPEM FE UI yang berkapasitas sebagai Wakil Ketua KPPOD DR. I Kadek Artha Sutrisna.
2. Studi “Streamlining Business Licensing/Permit at Local Level” di 4 Daerah KPPOD bekerjasama dengan FCO-British Embassy melakukan studi lapangan di Kab. Jeneponto, Kota Makassar, Kota Medan dan Kota Surabaya yang diselenggarakan pada tanggal 23 Agustus sampai 9 September 2015 perihal “Streamlining Business Licensing/Permit at Local Level”. Kegiatan ini berupa in depth interview kepada stakeholders yakni SKPD, pengusaha, dan akademisi. Studi ini melihat bagaimana permasalahan dan penyelenggaraan perizinan di daerah. Beberapa daerah dalam studi ini sudah melakukan penyederhanaan jenis izin seperti Kab. Barru, Kab. Jeneponto dan Kota Kediri.
24
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
Agenda KPPOD
3. Lokalatih “Deregulasi Perizinan di Daerah” Dalam rangka menindaklanjuti preliminary findings penelitian yang sedang berjalan, Senin 21 September 2015, KPPOD bekerjasama dengan FCO-British Embassy mengadakan lokalatih “Deregulasi Perizinan di Daerah” di Hotel Manhattan, Jakarta. Pembicara yang hadir diantaranya Mrs. Sarah Smith dan Mr. Adrian Hall (Better Regulation Delivery Office (BRDO)-UK), Ibu Diani Sadiawati (BAPPENAS) dan Bapak Yuliot (BKPM). Melalui workshop ini tim KPPOD diwakili oleh Iqbal Damanik menyampaikan hasil preliminary findings pelaksanaan deregulasi perizinan di daerah. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi dari pembicara dan diskusi mengenai upaya deregulasi di Indonesia yang merupakan salah satu prioritas pemerintah membuat paket kebijakan ekonomi. Bahkan lebih lanjut, BRDO juga menyampaikan pengalamannya mengenai praktik deregulasi yang selama ini telah dijalankan di United Kingdom. Melalui workshop ini diharapkan masyarakat dan beberapa stakeholders dapat memahami mengenai pentingnya upaya deregulasi sebagai langkah untuk perbaikan regulasi di Indonesia
Seminar ini dipandu Bapak Robert Endi Jaweng (Direktur Eksekutif KPPOD) dengan pembicara Bapak Sofyan Wanandi (Ketua Tim Ahli Wapres RI), Bapak Edy Putra (Deputi Kemenko Perekonomian), Bapak Agung Pambudhi (Ketua KPPOD), Mrs. Sarah Smith (Tim BRDO Expert-UK). Kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman mengenai pelaksanaan deregulasi oleh pemerintah dalam kerangka pelaksanaan paket kebijakan ekonomi, serta juga pelaksanaan deregulasi di daerah sebagaimana hasil preliminary findings tim KPPOD. Selain itu, seminar ini dilaksanakan juga sebagai sarana diskusi bersama antara pembicara dan peserta yang diantaranya banyak pengusaha yang beraktivitas di Indonesia. Setelah seminar, Tim KPPOD dan BRDO melakukan pertemuan di kantor KPPOD. Pertemuan dilakukan untuk diskusi bersama mengenai praktik deregulasi yang dilakukan selama ini oleh BRDO dan KPPOD. Pertemuan ini berlangsung cukup interaktif dengan saling berbagi pengalaman mengenai proses deregulasi dan penelitian terkait deregulasi
4. Seminar “Deregulasi Perizinan Usaha dalam Kerangka Implementasi Paket Kebijakan Ekonomi” Pada tanggal 22 September 2015 yang lalu, KPPOD menyelenggarakan seminar bersama FCOBritish dengan tema “Deregulasi Perizinan Usaha dalam Kerangka Implementasi Paket Kebijakan Ekonomi”. Acara ini diadakan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Hadir sebagai pembuka seminar yaitu Mr. Martin Donnelly (Permanent Secretary for Department of Business, Innovation and Skills-UK) dan Bapak Franky Sibarani (Kepala BKPM).
5. Studi Pengembangan Sektor Unggulan Sebagai Basis Ekonomi Lokal Dalam kerangka penelitian “Mainstreaming Pro-poor Economic Growth: Studi & Advokasi Pengembangan Sektor Unggulan Sebagai Basis Ekonomi Lokal” KPPOD. Studi ini dilakukan di tiga lokasi yaitu Kab. Sikka dan Kab. Ende di Nusa Tenggara Timur
25
Agenda KPPOD
(NTT), serta Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Kegiatan ini dilatari oleh pembangunan ekonomi lokal berbasis sektor atau komoditi unggulan. Program ini terdiri dari beberapa kegiatan inti seperti Penelitian untuk mengetahui kebutuhan untuk pengembangan produk unggulan, diseminasi untuk mengkomunikasikan hasil dan mempertemukan para stakeholders terkait, asistensi teknis untuk memperkuat kapasitas pemerintah di daerah dan kegiatan advokasi untuk menyampaikan hasil-hasil kepada para pembuat keputusan seperti SKPD terkait maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat di masing-masing daerah. Sebagai tahap awal dilakukan studi untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan pengembangan produk unggulan. Studi lapangan dilakukan
sebagai salah satu sarana pengumpulan data dan dilakukan pada akhir Juni-Juli 2015. Selanjutnya masih pada kerangka tahapan studi, dilakukan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion, FGD) untuk mengkonfirmasi kembali hasil studi yang dilakukan pada tanggal 30 September 2015 di Kabupaten Ende dan 1 Oktober 2015 di Kabupaten Donggala. Khusus untuk Kabupaten Sikka, sebagai lanjutan program sebelumnya, dilakukan lokalatih penguatan Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED) bertempat di Hotel Wailiti, Maumere. Agenda utama adalah penyusunan draft Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) yang menjadi acuan kerja bagi DKED selama beberapa tahun ke depan. Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh perwakilan stakeholders yang terlibat dalam DKED.
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
26
27
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp: (+62 21) 8378 0642/53, Fax: (+62 21) 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org