STRATEGI ADAPTASI PETANI RAKYAT DALAM MENSIASATI FLUKTUASI HARGA KELAPA SAWIT (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan). D I S U S U N O L E H: EDI IWAN SIREGAR (04 09 05 002)
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama
: Edi Iwan Siregar
Nim
: 040905002
Departemen : Antropologi Judul
: Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Menyiasati Fluaktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi kasus: petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan)
Medan,
Pembimbing Skripsi
Juli 2009
Ketua Departemen
(Drs. Lister Brutu, MA)
(Drs. Zulkifli Lubis, MA)
NIP. 131 676 488
NIP. 131 882 278
Dekan FISIP USU
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131 757 010 Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Menyiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan
ini penulis
ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Yance, MSi selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberi masukan dan nasehat kepada penulis. 4. Bapak Drs. Lister Brutu, MA selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis yang telah banyak meluangkan waktu serta memberikan banyak pengetahuan baru yang sangat berguna bagi penulis. 5. Bapak Drs. Ermansyah, M, Hum selaku Dosen Ketua Penguji penulis yang telah banyak memberi masukan guna menyempurnakan skripsi ini. 6. Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Dosen Penguji yang juga telah memberikan
banyak
masukan
dan
saran
kepada
penulis
guna
penyempurnaan skripsi ini. 7. Kepada seluruh Dosen Antropologi dan Dosen yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan di Departemen Antropologi. 8. Kepada seluruh pegawai Antropologi dan pegawai yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan urusan administrasi selama proses perkuliahan di Departemen Antropologi. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta Ayahanda Mahmuddin Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
9. Siregar dan Ibunda Masruro Dalimunte yang telah mengasuh, mendidik dan mendoakan ananda dengan penuh kasih sayang dan penuh perjuangan agar ananda dapat menjadi orang yang berilmu dan menjadi orang yang sukses. Inilah persembahan sementara yang dapat ananda berikan sebagai tanda bakti ananda. 10. Kakanda tersayang Nurasiah Siregar, Ahmad Rizal Siregar, Sri Rahayani Siregar, Rohaya Masnah Siregar, dan khusus buat Almarhum kakanda Syahrul Azhar Siregar yang selama hidupnya memberikan saya dorongan dan inpirasi tentang arti kehidupan ini yang sesungguhnya di dunia. Terima Kasih atas do’a dan perjuangan kalian selama ini. Ananda sayang kalian semua. 11. Keluarga besar ayah dan ibu, terima kasih atas dukungan dan do’anya. 12. Sahabat-sahabat yang penulis sayangi, Abadi putra (sahabat terbaik ku), Akp. Prilmon Aritonang, Pak Ibnu, Ustaz. Iqbal, Windrahardi, Pak Zul, dan teman-teman wanitaku Pipit, S. Sos, Jeng Mimin, S. Sos, Rika, S. Sos, Rumaini, S.Sos, Juriah (The Spesial One), Adek, Widya, Eka, Azmah, Ika, Vika, Mepa. Terima Kasih atas kebersamaan yang telah kalian berikan selama ini. Tetap semangat ya!!!!!!!!! 13. Khusus buat sahabat-sahabat di “Rumah Keluarga Cerdas” , Mas Jefri (sahabat sejati yang penuh perdebatan tapi seru), Incek Pati, Poslab, Ilham, Adik Edo, Duo Dedi, Eng (Avatar), Bang Iyal, Bang Andy, Azmal, Marko, Khairil, Icing, Awang, Ipur, Rizky, Boby, Franz. Terima kasih untuk semua persahabatan yang telah kalian berikan. Saya tidak akan mendapatkan pengalaman hidup yang begitu indah tanpa khadiran kalian selama ini. Mari sama-sama kita buktikan lima tahun ke depan ini, kita harus menjadi orang yang sukses!!!!!!!! 14. Terima kasih kepada kerabat Antopologi Khususnya Stambuk 2004.
Medan, Juli 2009
(Edi Iwan Siregar)
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
ABSTRAK
Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Menyiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan) Kehidupan ekonomi Petani Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat berada pada posisi yang tidak menentu karena pendapatan mereka harus ditentukan oleh keadaan harga pasar global. Fluktuasi harga buah Kelapa Sawit menyebabkan Petani Kelapa Sawit di Desa Tanjung Medan berada dalam kondisi dilematis untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Terkadang harga kelapa sawit mengalami kenaikan harga dan dalam saat tertentu pula bisa mengalami penurunan. Seperti yang terjadi pada tahun 2008 dimana harga komoditas buah Kelapa Sawit mengalami penurunan secara signifikan yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial-ekonomis para petani Kelapa Sawit Rakyat, khususnya di desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan. Dengan pendapatan yang semakin menurun bagaimana mereka dapat mampu mengimbangi tingginya kebutuhan ekonomi-sosial keluarga yang harus dipenuhi. Situasi ini menyebabkan mereka melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka untuk dapat bertahan hidup dari tekanan ekonomi yang mereka hadapi. Kegiatankegiatan ekonomis yang mereka lakukan ternyata merupakan suatu bentuk strategi bagi mereka untuk dapat beradaptasi di tengah-tengah tekanan ekonomi yang mereka hadapi. Penelitian ini sendiri akan memaparkan bagaimana sebenarnya kehidupan sosial-ekonomi Petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dengan hanya memiliki mata pencaharian pada sektor pertanian Kelapa Sawit dan juga hasil panen yang tidak luput dari intervensi iklim, mampu beradaptasi terhadap tuntutan kebutuhan-kebutuhan sosial-ekonomis keluarganya pasca menurunnya harga komoditas buah Kelapa Sawit. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan sebagai suatu bentuk strategi adaptasi dalam menyiasati tekanan ekonomi global yaitu turunnya harga buah Kelapa Sawit yang berdampak pada kondisi sosial-ekonomis keluarga mereka. Upaya yang mereka lakukan adalah meliputi strategi aktif yaitu pemanfaatan sumber daya tenaga keluarga, strategi pasif yaitu penekanan pola subsistensi dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayuran, beternak ayam dan bebek, serta strategi jaringan dengan memanfaatkan relasi sosial seperti kerabat, tetangga, rentenir, dan bank. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk memperoleh informasi tentang usaha-usaha lain yang dijadikan strategi dalam menyiasati fluktuasi harga Kelapa Sawit. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat dikalangan petani Kelapa Sawit Rakyat, untuk memperoleh informasi tentang persoalan mendasar yang menyebabkan terjadinya kemiskinan Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan dan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kondisi perekonomian petani sebelum melakukan strategi aktif, strategi pasif dan strategi jaringan serta program-program yang diberikan oleh Pemerintah dalam membantu pengembangan desa ini. Peneliti melakukan wawancara serta observasi partisipasi kadangkala yang dilakukan untuk mengamati aktifitas dan cara-cara yang ditempuh keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat dalam menyiasati fluktuasi harga Kelapa Sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa strategi yang dilakukan Petani Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat meliputi pembagian kerja keluarga, mencari kerja sampingan, memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk menanam sayuran pangan, beternak bebek sebagai langkah strategi untuk menekan pengeluaran terhadap pola subsistensi, dan meminjam uang ke bank sebagai strategi jaringan dalam memenuhi kebutuhan mendesak keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan. Adanya strategi tersebut membuat mereka lebih giat lagi dalam bekerja untuk dapat bertahan hidup atau mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik lagi. Akhirnya, dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwasannya strategi yang dilakukan Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan benar-benar membuat mereka dapat bertahan hidup dan sekaligus dapat menyelesaikan masalah ekonomi yang dihadapi dengan memiliki mata pencaharian tambahan, ditambah dengan adanya lahan pendukung dan relasi sosial yang memanfaatkan modal sosial tradisional.
Kata-kata Kunci: Petani Kelapa Sawit Rakyat, Strategi bertahan hidup, Fluktuasi harga Kelapa Sawit, Strategi aktif, Strategi pasif, Strategi jaringan, Adaptasi
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Kata Pengantar ...................................................................................... i Abstraksi ................................................................................................ iii Daftar Isi ............................................................................................... v
BAB I : Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................... 10 1.3 Lokasi Penelitian ................................................................ 11 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... 11 1.5 Tinjauan Pustaka ................................................................ 12 1.6 Metode Penelitian .............................................................. 23 1.6.1 Tipe Penelitian ............................................................. 23 1.6.2 Teknik Pengumpulan Data............................................ 23 1.6.3 Analisa Data ................................................................. 26
BAB II : Gambaran Umum Masyarakat di Desa Tanjung Medan 2.1. Sejarah Singkat Desa Tanjung Medan ............................ 28 2.2. Letak dan Luas Desa Tanjung Medan ............................. 33 2.3. Komposisi Penduduk ...................................................... 34 2.4. Sistem Mata Pencaharian................................................ 39 2.5. Sarana dan Prasarana ...................................................... 42
BAB III : Kehidupan Sosial Ekonomi Petani di Desa Tanjung Medan..... 47 3.1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Desa Tanjung Medan ..... 52 3.2. Hubungan Sosial Masyarakat Desa Tanjung Medan ......... 55 3.3. Pertanian Kelapa Sawit Sebagai Sistem Mata Pencaharian 57 3.3.1 Sistem Pemilikan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit ..... 62 3.3.2 Sistem Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Rakyat ........ 64 3.3.2.1 Peralatan yang digunakan ..................................... 65 Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
3.3.2.2 Perawatan Kelapa Sawit yang dilakukan ............... 66 3.3.2.3 Panen dan Sistem Pemasarannya........................... 77 3.3.2.4 Jam Kerja ............................................................. 80 3.3.2.5 Kebutuhan Keluarga Petani Kelapa Sawit ............. 81 3.3.3 Bentuk Hubungan Sosial yang Terjalin ....................... 87 3.3.3.1 Hubungan Patron-Klien ....................................... 87 3.3.3.2 Hubungan Antara Sesama Petani Kelapa Sawit ..... 89 3.4 Dampak Turunnya Harga Kelapa Sawit ............................ 90 3.5 Pendapatan dan Pengeluaran petani Sebelum dan Sesudah Penurunan Kelapa Sawit ..................................... 94 3.5.1 Pendapatan dan pengeluaran petani Sebelum Turunnya Harga Kelapa Sawit .................................................... 94 3.5.2 Pendapatan dan Pengeluaran petani Setelah Turunnya harga Kelapa Sawit ...................................... 99
BAB IV : Strategi Adaptasi Petani Kelapa Sawit dalam Menyesiasati Fluktuasi Harga` .................................................................... 101 4.1 Strategi Aktif (Optimalisasi Sumber Daya Manusia) ....... 102 4.1.1 Pekerjaan Sampingan .................................................. 102 4.1.1.1 Mengumpul barang-barang bekas ......................... 102 4.1.1.2 Mengumpul berondolan ........................................ 107 4.1.1.3 Menangkap ikan .................................................. 110 4.1.1.4 Mencari kayu bakar .............................................. 112 4.2 Strategi Pasif (Penekanan Pola Subsistensi) ...................... 113 4.2.1 Pemanfaatan pekarangan rumah untuk tanaman sayur. 115 4.2.2 Pemanfaatan pekarangan rumah untuk ternak unggas . 117 4.3 Strategi Jaringan ............................................................... 122 4.3.1 Meminjam uang kepada kerabat atau tetangga ............ 123 4.3.2 Meminjam uang kepada Tauke .................................. 127 4.3.3 Meminjam uang kepada rentenir atau koperasi ............ 128 4.3.4 Meminjam uang kepada bank ...................................... 130 4.4 Penghasilan dari strategi aktif, strategi pasif, dan strategi Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
jaringan; peningkatan atau hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari......................................................................... 131 4.5 Strategi dalam memenuhi Kebutuhan Sosial Budaya.......... 144 4.5.1 Pemanfaatan Budaya Lokal dan Modal Sosial Budaya . 146 4.5.1.1 Sistem Ekonomi Tradisional ..................................... 147 4.5.1.2 Pemanfaatan Modal Sosial Budaya ........................... 148
BAB V : Penutup 5.1 Kesimpulan ....................................................................... 158 5.2 Saran ................................................................................. 163 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini permasalahan globalisasi menjadi wacana dan perhatian khusus dari hampir seluruh lapisan masyarakat, baik di tingkat global, nasional maupun lokal. Kondisi bangsa-bangsa yang ada di seluruh dunia saat ini sedang berada di multi krisis, khususnya bangsa Indonesia yang dihadapkan dengan berbagai permasalahan global, seperti masalah ekonomi, politik, budaya, sosial, agama, pertahanan dan keamanan. Namun dalam hal ini yang patut untuk mendapat sorotan penting adalah masalah ekonomi. Masalah ekonomi merupakan masalah yang sangat sulit bagi setiap manusia, karena masalah ekonomi menyangkut pada hajat hidup orang banyak. Krisis ekonomi global tahun 2008 hingga 2009 saat ini dimulai dari krisis finansial yang terjadi pada negara Amerika yang mempengaruhi negara-negara lain yang banyak menggunakan mata uang tersebut dalam berbagai kegiatannya termasuk kegiatan ekspor-impor internasional. Salah satu dari negara itu adalah negara Indonesia 1. Negara Indonesia adalah negara pertanian yang berarti bahwa 75 persen dari penduduknya tinggal di daerah pedesaan dan mayoritas menggantungkan hidupnya dalam sektor pertanian. Dapat dikatakan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam sistem perekonomian masyarakat Indonesia. Mengingat pentingnya peranan pertanian dalam sistem prekonomian negara, maka 1
Sumber Elektronik, 24 Maret 2009 “Jurus Sby menghadapi krisis global keuangan dunia” http://www.yauhui, net/10 Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
pemerintah berusaha melakukan upaya untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dengan berbagai kebijakan yang berorientasi pada pembangunan pertanian. Penerapan paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian menimbulkan perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pemilikan lahan pertanian, pola hubungan kerja, struktur kesempatan kerja, dan struktur pendapatan petani di pedesaan 2. Terkait
dengan
struktur
pemilikan
lahan,
perubahan
tersebut
mengakibatkan terjadinya: (1) Petani lapisan atas (petani modern atau farmer); merupakan petani yang akses pada sumber daya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan (2) Petani lapisan bawah (petani tradisional); sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital), mereka hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan kerja yang kurang seimbang. Keadaan ini merupakan respon dari berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat petani itu sendiri terhadap perkembangan sarana dan prasarana infrastruktur yang mendukung makin terbukanya akses petani terhadap teknologi pertanian dan kebutuhan pasar modern. Akses petani di pedesaan juga sudah terbuka melalui
2
Sumber elektronik, 10 November 2008 “kearifan lokal menghadapi kemungkinan” http://sawali.info/2008/10/11
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi yang sudah mencapai pelosok pedesaan. Dalam hal ini kegiatan pengelolaan pertanian akan bergantung pada keadaan pasar global. Jika keadaan pasar tidak stabil maka akan terjadi fluktuasi 3 yang berdampak terhadap pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani. Tulisan ini sangat menarik untuk dikaji karena ketergantungan terhadap sistem pasar global yang demikian telah menimbulkan berbagai permasalahan pada masyarakat petani seperti masalah ekonomi, sosial, dan budaya, terlebih lagi bagi mereka masyarakat petani lokal yang masih bersifat tradisional. Saat ini tekanan ekonomi global dirasakan oleh petani perkebunan di Indonesia, terutama karena memang produk perkebunan cenderung berorientasi ekspor dan harganya tergantung pada pasar internasional. Fluktuasi harga yang cenderung menurun pada beberapa jenis komoditi pertanian seperti produk Kelapa Sawit, Karet, Coklat, Rotan dan lainnya merupakan permasalahan ekonomis yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat petani. Di sisi lainnya peranan modernisasi peralatan teknologi produksi pertanian, sistem upah pekerja dan biaya perawatan pertanian yang telah menyatu dalam kehidupan para petani turut menjadi beban ekonomis masyarakat petani lainnya. Perkebunan Kelapa Sawit adalah salah satu kegiatan pertanian yang berorientasi ekspor-impor. Kelapa Sawit merupakan jenis tanaman perkebunan yang sangat dibutuhkan masyarakat sebagai salah satu kebutuhan pokok yang menghasilkan produksi seperti minyak goreng, sabun dan sebagainya. Karena
3
Fluktuasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan harga pasar pada itik penjualan tidak diketahui pada saat keputusan ditetapkan. Keadaan harga dapat naik dan dapat juga menurun. Lht.Sutanto dalam Peasent Ekonomic 2003.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
sifatnya yang penting bagi kebutuhan pokok, maka masyarakat memerlukan produksi Kelapa Sawit dalam jumlah yang besar agar kebutuhan mereka terhadap manfaat Kelapa Sawit dapat tercukupi. Perkebunan Kelapa Sawit dapat memberikan jumlah pendapatan yang mencukupi bahkan lebih tinggi bagi masyarakat petani Kelapa Sawit tergantung luas perkebunan sawitnya. Keadaan ini menyebabkan sebagian masyarakat banyak mengalihkan penggelolaan pertaniannya untuk menanam Kelapa Sawit. Pada saat ini perkebunan Kelapa Sawit yang juga merupakan jenis tanaman ekspor turut merasakan dampak dari krisis global. Dampak langsung terhadap petani sawit atas krisis ekonomi global ini mengakibatkan permintaan minyak sawit dunia menurun, sehingga industri minyak Kelapa Sawit di Indonesia harus dikurangi untuk mengimbangi suplay atas permintaan minyak Kelapa Sawit yang menurun. Penurunan atas permintaan minyak Kelapa Sawit mengakibatkan harga minyak Kelapa Sawit turun karena daya beli dan permintaan cenderung semankin berkurang, artinya perusahaan tidak mau membeli TBS ( Tandan Buah Segar) dari petani Kelapa Sawit. Untuk menjaga suplay, mereka cenderung lebih mengutamakan TBS yang berasal dari kebun inti perusahaan mereka. Hal ini mengakibatkan harga TBS di tingkat petani mengalami penurunan yang sangat signifikan 4. Korban yang paling dirugikan dalam hal ini tentunya adalah petani sawit itu sendiri, padahal sebelumnya mereka bisa sedikit menikmati manisnya harga minyak sawit. Berdasarkan laporan data harga eksport dari kantor pemasaran
4
Sumber Elektronik, 16 Oktober 2008 “dampak dan antisipasi daerah dalam menghadapi krisis ekonomi global” http://www.hariansumutpos.com.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
bersama (joint market office) PT. Perkebunan Nusantara, harga komoditas eksport sawit yang diupdate pada tgl 20 oktober 2008 menunjukkan harga sawit pada titik terendah mencapai Rp.80/kg. Data ini di dapat dari laporan harga sawit yang ada di beberapa daerah di Indonesia seperti; Provinsi Jambi, Kalimatan Timur dan Kalimantan Barat. Dalam kondisi ini mereka tetap harus menanggung biaya beban hidup yang terus meningkat. Sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak ada lagi tanah untuk menghasilkan akibat telah dikonversi menjadi sawit sehingga harus membeli. Akibatnya, di Jambi dilaporkan ada petani Kelapa Sawit yang bunuh diri karena tidak mampu menahan beban hidup, dilaporkan juga di Kabupaten Merangin banyak yang masuk rumah sakit jiwa akibat stres dan kebanyakan berasal dari petani sawit 5. Kasus serupa terjadi juga pada daerah Sumatera Utara, seperti dilaporkan oleh surat kabar Medan Bisnis, kamis 16 Oktober 2008, bahwa harga Kelapa Sawit di provinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang sangat drastis. Seperti di daerah Kisaran, di Kec. Meranti, akibat anjloknya harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit belakangan ini, para petani sawit menjadi frustasi. Bahkan, banyak diantara petani sawit ini yang akhirnya memilih menelantarkan kebunnya. Menurut
Sekretaris
Jenderal
Asosiasi
Petani
Kelapa
Sawit
Indonesia
(APKASINDO), Asmar Arsyad, petani memang paling rentan terimbas penurunan harga sebab petani berada di posisi paling bawah pada mata rantai industri sawit. Kondisi seperti ini jelas sangat merugikan masyarakat petani dan juga para eksportis Indonesia. Sementara sebuah kajian dari Laila Nagib, peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), menyampaikan bahwa kesejahteraan 5
Sumber Elektronik, 18 Desember 2008 “anjloknya harga sawit” http://www.litbang.deptan.go.id.special/komoditas sawit Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
dari petani Kelapa Sawit dipengaruhi oleh luas lahan, hasil produksi dan harga Kelapa Sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki, pengelolaan kebun yang tidak optimal, dan penentuan harga sepihak yang tidak menguntungkan petani, merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kesejahteraan petani. Akibatnya petani tetap hidup miskin, terjerat hutang atau terjebak dalam permainan modal. Sehingga keadaan ini mempengaruhi perekonomian petani Kelapa Sawit 6. Sedangkan untuk daerah Kabupaten Labuhan Batu yang merupakan daerah penghasil Kelapa Sawit terbesar untuk provinsi Sumatera Utara, harga Tandan Buah Segar (TBS) mencapai level Rp.150 per kilo gram (kg). Padahal harga sebelum terkena dampak krisis global berada pada kisaran Rp.2.000 per kg. Sebelumya, para petani sawit sudah mengalami kecemasan karena tingginya biaya perawatan produksi pertanian, seperti sulitnya memperoleh pupuk untuk tanaman Kelapa Sawit dan biaya produksi pasca panen 7. Tekanan ekonomi yang sama juga dirasakan oleh warga desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat salah satu Kecamatan di daerah Labuhan Batu. Saat ini kondisi pasar di desa Tanjung Medan sendiri mengalami perubahan harga TBS pada CPO (Cerude Palm Oil) yang ada di desa Tanjung Medan yaitu berkisar Rp.200 per kg (saat ini sudah sekitar Rp.900 per kg), jauh mengalami penurunan pada masa sebelumya yang harganya sempat mencapai Rp.1.900 per kg. Masyarakat petani di desa Tanjung Medan umumnya memiliki luas perkebunan per kepala rumah tangga (KK) rata-rata satu sampai dua hektar, dan 6
Sumber Elektronik, 18 Oktober 2008 “harga TBS dan CPO semankin menurun” http://www. kabarsawit wordpress.com 7 Sumber Elektronik, 16 Oktober 2008 “ dampak krisis global pada tanaman kelapa sawit” http://www. spi.or.id/sawit Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
lebih dikenal sebagai Petani Rakyat 8.. Produksi Kelapa Sawit yang di hasilkan dari luas kebun sawitnya dapat mencapai satu satu dua ton dengan harga yang tidak stabil atau berfluktuasi. Pada tahun sebelumnya, sekitar periode 2005 sampai 2007 harga Kelapa Sawit berkisar pada harga Rp.1.800, apabila di kalkulasikan dengan hasil panen yang mencapai 2 ton maka rata-rata pendapatan petani bisa mencapai Rp.3.600.000,00/panennya. Sedangkan untuk waktu panen dapat dilakukan dua minggu atau lebih. Dengan penghasilan yang demikian sangat memungkinkan bagi para petani sawit untuk dapat memenuhi berbagai keperluan hidupnya. Akan tetapi, semenjak harga sawit turun pada level Rp.200/kg, masyarakat petani Kelapa Sawit mengalami goncangan ekonomis, karena pendapatan mereka telah berkurang dari Rp.3.600.000,00 per bulannya menjadi Rp.400.000,00 per bulan. Sementara mereka harus menghidupi kebutuhan keluarga maupun biaya lainnya seperti pendidikan bagi anak-anak mereka, tempat tinggal, biaya sosial dan sebagainya (data hasil dari interview pada informan petani Tanjung Medan tanggal 23 september 2008). Sebelum terkena krisis global kehidupan para petani Kelapa Sawit juga telah diintervensi oleh berbagai hal seperti sulitnya mendapatkan pupuk, jika pun ada harganya tergolong mahal, biaya perawatan kebun sawit yang dibutuhkan cukup besar serta serangan hama seperti, babi, tikus, dan sebagainya. Di samping itu, keadaan iklim yang tidak menentu juga sangat mempengaruhi keadaan tanaman Kelapa Sawit misalnya ketidakpastian terhadap proses pematangan buah tandan Kelapa Sawit. Keadaan seperti ini sering membuat para petani melakukan
8
Petani Kelapa Sawit Rakyat adalah petani yang memiliki kebun sendiri dengan luas bervariasi,dan dikelola dengan cara-cara yang masih bersifat lokal meskipun sangat bergantung pada perkembangan teknologi.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
panen lebih awal. Bagaimana mereka bisa bertahan di tengah tekanan ekonomi yang sangat tinggi? Dahulu (sekitar tahun 90-an) meskipun diintervensi oleh keadaan tersebut, kehidupan ekonomi keluarga para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan masih dapat dikatakan serba berkecukupan. Menurut Pak Rosyib, salah satu petani sawit di desa Tanjung Medan yang dimintai keterangannya mengenai tekanan ekonomi global saat ini mengatakan bahwa sebelum terjadi penurunan harga Kelapa Sawit para petani sawit masih mampu membutuhi kehidupan keluarga, bahkan masih bisa membeli kendaraan bermotor, dan memenuhi keperluan pendidikan sekolah anak sampai jenjang Universitas. Hal tersebut disebabkan harga Kelapa Sawit yang cukup tinggi sehingga masih mampu mengimbangi biaya pengeluaran di dalam pengelolaan kebun Kelapa Sawitnya. Namun, ketika harga sawit mengalami penurunan, mereka sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomisnya (hasil wawancara tanggal 23 september 2008). Dalam hal ini mengacu pada kasus di atas, bahwa perkebunan sawit merupakan salah satu sumber pendapatan yang penting oleh masyarakat Tanjung Medan. Perkebunan sawit dijadikan satu kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mata pencaharian sebagai petani sawit lebih banyak tergantung kepada perkembangan teknologi, kecuali pada Petani Rakyat yang tradisional, mereka masih tergantung pada alat-alat produksi yang sangat sederhana seperti berbagai macam alat dalam memetik tandan buah Kelapa Sawit (dodos, dan egrek), parang panjang (babat), cangkul dan gerobak sorong serta pemanfaatan tenaga kerja secara maksimum. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Di samping membutuhkan pengetahuan tentang alat-alat di dalam pengelolaan perkebunan tersebut, para petani juga memiliki pengetahuan mengenai ciri-ciri dan cara hidup dari berbagai macam jenis tanaman Kelapa Sawit, serta mempunyai suatu pengetahuan yang lebih teliti mengenai sifat-sifat tanah dan kondisi tanah, serta pemanfaatan pupuk lokal. Meskipun pada umumnya menggunakan pupuk-pupuk yang non-organik seperti pupuk NPK, UREA, TSP, dan sebagainya yang harganya cukup mahal. Biaya produksi untuk perawatan kebun Kelapa Sawit mereka tersebut masih dapat diimbangi oleh pendapatan yang dihasilkan dari panen kebun sawitnya. Akan tetapi, ketika terjadi fluktuasi harga buah Kelapa Sawit yang menurun semua kebutuhan-kebutuhan menyangkut perawatan kebun dan kebutuhan keluarga sangat sulit untuk direalisasikan. Dalam hal ini peneliti melihat bahwa fluktuasi harga yang telah terjadi terhadap harga buah Kelapa Sawit telah mempengaruhi kehidupan masyarakat petani sawit di desa Tanjung Medan. Hal ini hampir persis seperti apa yang dikatakan oleh Scoot “meskipun penghasilan minimum memiliki dimensi-dimensi fisiologis yang kukuh, akan tetapi juga berimplikasi terhadap kegiatan sosial dan kebudayaan masyarakat. Agar dapat menjadi anggota yang berfungsi penuh dalam masyarakat desa, suatu rumah tangga memerlukan sumber penghasilan pada tingkat tertentu agar dapat memenuhi kewajiban-kewajiban seremonial dan sosialnya di samping menyediakan makanan yang memadai untuk dirinya sendiri dan meneruskan pekerjaannya bercocok tanam. Jatuh ke bawah tingkat itu berarti bukan hanya menghadapi resiko kelaparan, akan tetapi juga kehilangan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kedudukan sama sekali dalam komunitas dan mungkin jatuh ke satu situasi ketergantungan untuk selama-lamanya 9”. Oleh karena itu, tulisan ini akan memberikan suatu gambaran mengenai strategi bertahan hidup masyarakat petani Kelapa Sawit Rakyat dalam mensiasati fluktuasi harga Kelapa Sawit. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah pada masyarakat petani rakyat, karena dengan jumlah lahan yang sedikit mereka harus mampu keluar dari tekanan ekonomi yang mengancam keberlangsungan hidup keluarganya. Tulisan ini juga berusaha mengungkapkan kehidupan ekonomi Petani Rakyat yang sesungguhnya dan upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi atau mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka permasalahan yang diajukan adalah bagaimana strategi bertahan hidup para Petani Rakyat dalam mensiasati tekanan ekonomi sehingga dapat tetap eksis dalam kehidupan keluarganya. Permasalahan ini diuraikan ke dalam (dua) pertanyaan penelitian yaitu: a. Bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat Petani Kelapa Sawit desa Tanjung Medan? b. Apa dan bagaimana Petani Rakyat melakukan berbagai bentuk strategi dalam mensiasati fluktuasi harga Kelapa Sawit ?
9
Lht.Scoot (1981:14) dalam ekonomi moral petani yang meneliti para petani di asia tenggara.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
1.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa Tanjung Medan, kecamatan Kampung Rakyat, Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah didasarkan pertimbangan sebagai berikut : a. Desa Tanjung Medan merupakan suatu daerah yang penduduknya bermata pencaharian utama sebagai petani Kelapa Sawit. b. Desa Tanjung Medan termasuk salah satu desa penghasil Kelapa Sawit untuk daerah kabupaten Labuhan Batu Selatan. c. Fluktuasi ekonomi sangat mempengaruhi kehidupan sosial, prilaku ekonomi, dan keberlangsungan hidup para petani sawit di desa Tanjung Medan. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian ini dibatasi pada hal yang berkenaan dengan bagaimana kondisi sosial ekonomi para petani sawit tersebut, aktivitas-aktivitas sehari-hari mereka dalam mengelola perkebunan, serta strategistrategi yang mereka lakukan dalam mensiasati fluktuasi harga Kelapa Sawit yang tadak stabil atau bergantung pada keadaan pasar. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai bentuk strategi adaptasi Petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dalam mensiasati fluktuasi harga Kelapa Sawit. Di dalam ini juga tercakup tentang sistem pengetahuan, aktivitas, dan strategi-strategi yang dilakukan para petani Kelpa Sawit Rakyat untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan pokok, sosial, dan kebutuhan lainnya.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Secara akademis, penelitian ini dapat menambah wawasan ke ilmuan khususnya Antropologi, dalam memahami kehidupan petani Kelapa Sawit dan strategi yang dilakukan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para akademis dalam melihat permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat petani. Secara praktis, dapat memberi masukan bagi pihak yang berkepentingan yaitu pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan tentang petani Kelapa Sawit sebagai suatu bentuk pembangunan kehidupan petani. Diharapkan kebijakankebijakan tersebut lebih memperhatikan tingkat kesejahteraan para petani Kelapa Sawit di Indonesia. 1.5. Tinjauan Pustaka Petani adalah istilah bagi orang yang sehari-harinya bekerja mengolah lahan pertanian dengan bercocok tanam. Kegiatan bercocok tanam yang dilakukan adalah menanam berbagai jenis tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dalam mengelolah lahan pertanian mereka menggunakan peralatan-peralatan yang sederhana hingga peralatan yang modern. Menurut Firth, petani adalah kelompok sosial yang berbasis pada pertanian. Mata pencaharian mereka diperoleh dengan cara mengolah tanah dan bercocok tanam. Petani yang demikian pada umumnya telah memiliki komunitas yang tetap dan biasanya hidup dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan masyarakat desa. Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani merupakan masyarakat yang tidak primitif, dan tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa primitive (tribe) dan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
masyarakat industri. Mereka terbentuk sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa dihapus (Wolf, 1985: 46-48). Sementara, Radfield (1982 : 6-25) mengganggap petani itu adalah rakyat pedesaan yang hidup dari pertanian dengan teknologi lama, tetapi merasakan diri sebagai bagian bawah dari suatu kebudayaan yang besar, dengan suatu bagian kebudayaan atas yang dianggap lebih halus dan beradab dalam masyarakat kota. Selanjutnya Scoot dalam buku Heddy (2003 : 74) mengatakan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat petani berada sedikit di atas garis subsistensi. Artinya kebanyakan rumah tangga petani hidup begitu dekat dengan batas-batas subsistensi dan menjadi sasaran-sasaran permainan alam serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka mereka meletakkan landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip Safety Frist (dahulukan selamat). Menurut Scoot keamanan merupakan suatu hal yang penting, sebab petani selalu dekat dengan garis bahaya. Prinsip “dahulukan selamat” mendasari pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam masyarakat petani. Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat petani awal adalah pertanian subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Perkembangan kultur pertanian berikutnya adalah terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang menyerupai desa dalam bentuk dan struktur yang sederhana. Bentuk pertaniannya masih berupa sistem berladang, masyarakatnya tidak bersifat menetap karena berpindah-pindah mengikuti ladang yang baru. Perubahan yang cukup penting adalah berlangsung ketika pergeseran kebutuhan keluarga petani. Satu bentuk interaksi sosial-ekonomi yang lebih berkembang terjalin dengan lahirnya uang. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kelebihan hasil pertanian mulai dijual kepada orang yang membutuhkan. Pertanian pun bergeser dari corak subsisten ke pembentukan petani yang mulai mengenal sistem pasar akan tetapi sebagian masih menjalankan sistem pengelolaan lahan yang bersifat tradisional. Manusia mengawali dan mempertahankan hidupnya dengan cara berburu dan meramu. Sejak lahirnya, kira-kira satu juta tahun yang lalu, manusia memburu binatang sekaligus mengumpulkan tumbuh-tumbuhan atau akar-akaran sebagai kemungkinan untuk melanjutkan hidup mereka. Pergeseren mata pencaharian hidup manusia hingga pada aktivitas bercocok tanam yang terjadi kira-kira sepuluh ribu tahun yang lalu menjadi satu tahap revolusi kebudayaan yang pesat dalam sejarah hidup manusia (Soetomo,1997:21-22) Di samping sebagai seorang pekerja perlu diketahui bahwa petani juga merupakan pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumah tangga; dimana tanahnya merupakan ‘satu unit ekonomi dan rumah tangga’. Mereka juga harus memenuhi berbagai kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, pendidikan, pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan sebagainya. Sementara itu, untuk dapat menjadi anggota yang berfungsi penuh dalam masyarakat desa, suatu rumah tangga memerlukan sumber penghasilan pada tingkat tertentu agar dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban
seremonial
dan
sosialnya
di
samping
menyediakan makanan yang memadai untuk dirinya sendiri dan meneruskan pekerjaannya bercocok tanam. Jatuh ke bawah tingkat itu berarti bukan hanya menghadapi resiko kelaparan, akan tetapi juga kehilangan kedudukan sama sekali dalam komunitas dan mungkin jatuh ke satu situasi ketergantungan untuk selamalamanya (Scoot, 1981:14). Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Secara sederhana Malinowski (dalam Sjairin, 2002:1-2) menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu dapat di bagi pada tiga kategori besar yaitu: a. Kebutuhan alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kestabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainnya). b. Kebutuhan kejiwaaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan, gelisah, dan lain-lain). c. Kebutuhan sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaannya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh dan lain-lain). Untuk
mewujudkan kebutuhan
manusia tersebut,
maka
manusia
membutuhkan kegiatan-kegiatan yang menyangkut atas pemenuhan kebutuhan hidup. Kegiatan ini dinamakan juga sebagai sebuah kegiatan ekonomi. Sehingga dalam hidup manusia tidak pernah terlepas dari apa yang namanya kegiatan ekonomi. Sebagaimana yang didefinisikan oleh ahli antropologi ekonomi yang dikemukakan oleh Karl Polanyi bahwa ekonomi sebagai upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya (Polanyi dalam Sairin, 2002: 16-17). Hubungan manusia dengan lingkungannya selalu dijembatani oleh polapola kehidupan. Manusia di dalam kelompok ataupun masyarakat selalu mempunyai kebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya, mereka tidak hanya mampu beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi juga mampu mengubah Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
alam lingkungan menjadi sesuatu yang berarti dengan kehidupan sehari-hari. Kebudayaan itu sendiri dapat berupa keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjraningrat,1980:193-194). Sementara itu Tylor (dalam Fedyani, 2005:82) mengartikan kebudayaan sebagai penjumlahan total apa yang dicapai oleh individu dari masyarakatnya berupa keyakinan-keyakinan, adat-istiadat, norma-norma artistik sebagai warisan dari masa lampau. Artinya, kebudayaan itu mencakup totalitas dari pengalaman manusia. Namun, landasan operasional yang digunakan dalam mengintrepetasikan penelitian ini adalah mengacu pada defenisi kebudayaan secara dinamis atau sebagai proses yang dikemukakan oleh ahli antropologi seperti Marvin Harris, Julian Steward, dan Vayda. Menurut Marvin Harris yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan merujuk
pada
pengetahuan
yang
diperoleh
dan
digunakan
untuk
menginterpretasikan pengalaman dan pola tingkah laku sosial 10. Sedangkan Steward menjelaskan kajiannya mengenai hubungan timbal balik atau hubungan resiprokal antara kebudayaan dan lingkungan. Steward percaya bahwa beberapa unsur dari kebudayaan lebih berkaitan erat dengan lingkungan dibandingkan dengan unsur kebudayaan yang lain. Analisis ekologi bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan lintas budaya yang sama yang 10
Harris melihat kebudayaan itu sebagai repleksi dari sistem sosial budaya yang dibaginya atas tiga kategori yaitu infrasruktur yang meliputi gagasan, agama, subsistensi,tabu,dll. Struktur yang meliputi kekerabatan, ideologi politik ,agama, nasional, dll. Dan suprastruktur yang meliputi simbol, mite, estetika, standar,dll, dimana infrastruktur yang menjadi basis. lihat Fedyani dalam bukunya Antropologi kontemporer. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
disebut kebudayaan inti (core culture). Kebudayaan inti ini terdiri dari sektor ekonomi masyarakat yang mempengaruhi segala aktivitas masyarakat sebagai hasil dari: 1. Hubungan timbal balik antara lingkungan dan eksploitasi produksi ekonomi 2. Hubungan antara pola prilaku dan eksploitasi teknologi 3. Pola prilaku yang mempengaruhi sektor kebudayaan lain Maksud dari analisis Steward tersebut adalah bahwa ketika lingkungan mengalami perubahan, maka unsur kebudayan yang paling mudah berubah adalah sektor ekonomi dan teknologi karena berkaitan erat dengan lingkungan (Hardesty, 1977). Pandangan ini di pertegas oleh Ralp Linton (dalam Koentjaraningrat, 1990) yang membagi unsur kebudayaan yang mudah berubah dan sukar berubah ke dalam dua istilah yaitu; covert culture (bagian inti kebudayaan atau kebudayaan yang sukar berubah) dan overt culture (bagian kulit kebudayaan atau kebudayaan yang mudah berubah). Adapun yang masuk ke dalam covert culture adalah: sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat. Sedangkan yang termasuk dalam overt culture adalah kebudayaan fisik, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, tata cara, gaya hidup, serta alat-alat atau benda-benda yang berguna. Hal ini di perkuat oleh Vayda yang melihat kebudayaan secara dinamis sesuai dengan konteks dan setting dari pemilik dan pelaku. Lebih lanjut Abdullah (1999) menyatakan bahwa
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
perubahan kebudayaan sangat dipengaruhi oleh masuknya pasar, terintegrasinya pasar dan ekspansi pasar pada hampir semua etnis di dunia 11. Sementara itu, Hardestry melihat bahwa manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya yang bersifat dinamik tersebut, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses penyesuaian yang disebut dengan sistem adaptasi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi juga merupakan suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap. Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapi kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihara kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisi yang ada (Hardestry, 1977: 45-46). Selanjutnya Hardestry menambahkan, ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaitu perilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama anggota kelompok, dan tradisi. Adaptasi dilihat sebagai suatu proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat
11
. Dikutip dari Lister Brutu dalam aspek-aspek kultural masyarakat pakpak. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bagaimana kebudayan pakpak yang bersifat dinamis. Buku tersebut sangat relevan dengan penelitian ini yang memandang kebudayaan tersebut dengan bentuk yang dinamik. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakan kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbuka pada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya (Hardestry 1977: 243). Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian tujuan dan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk individu, masyarakat, dan lingkungan. Ada 2 mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya, dan mode yang diperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturan yang bersifat resiprositas. Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk mengatur dan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya 12. Dalam rangka mewujudkan proses pemanfaatan sumber daya, maka yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk melakukan identifikasi sumber daya, kemudian memanfaatkan dan mengelolanya dengan baik. Dengan demikian, 12
Sumber Elektronik, 8 Mei 2009”Adaptasi dalam Antropologi” http:// prasetijo.wordpress.com/2008/01/28 Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
berdasarkan pandangan tersebut, identifikasi sumber daya merupakan salah satu langkah yang strategis dalam proses pembangunan masyarakat. Oleh sebab itu, identifikasi sumber daya juga dapat berfungsi untuk mengangkat sumber daya yang masih terpendam ke atas permukaan realitas sosial, sehingga dapat segera dimanfaatkan dalam rangka peningkatan taraf hidup (Soetomo, 2006:20). Kemampuan dalam melakukan identifikasi sumber daya yang tersedia adalah salah satu bentuk dari strategi untuk dapat bertahan dari goncangan ekonomi yang terjadi. Tindakan semacam ini merupakan suatu proses untuk bertahan hidup. Strategi bertahan hidup adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan. Maka cara-cara pemenuhan kebutuhan tersebut akan diatur oleh sistem sosial budaya yang ada dan sekaligus sebagai suatu proses strategi adaptasi. Sebagai suatu proses adaptasi sebagai aspek sosial budaya sistem ekonomi dan teknologi juga merupakan aspek yang penting dalam usaha mempertahankan hidup. Pengetahuan, aturan-aturan, rencana, cara-cara memperoleh sumber daya, sarana serta membuat dan menggunakan peralatan dalam usaha mengolah sumber tersebut akan menentukan sikap bertahan hidup manusia 13. Edi Suharno seorang pengamat masalah kemiskinan dari Institut pertanian Bogor (Suharto, 2003 : 1), menyatakan bahwa defenisi dari strategi bertahan hidup (coping strategies) adalah kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, strategi penangan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam
13
lht. Amri Marzali dalam petani peisan cikalong. Dan lht juga Komaruddin dalam strategi pembangunan sumber daya berbasis pendidikan kebudayaan. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
mengelola segenap aset yang dimilikinya. Bisa juga disamakan dengan kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan (Shock and Stress). Berdasarkan konsepsi ini, Moser (dalam Suharno, 2002:13) membuat kerangka analisis yang disebut “ The Aset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai penggelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau pengembagan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti : a. Aset tenaga kerja (labour aset), misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga b. Aset modal manusia (human capital aset), misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang atau bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya c. Aset produktif (productive aset), misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanman untuk keperluan hidupnya d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga (Household relation asets), misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittances) e. Aset modal sosial (sosial capital aset), misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Selanjutnya Edi Suharno (2003) menyatakan strategi bertahan hidup (coping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbgai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu : a. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga
untuk
(misalnya
melakukan
aktivitasnya
sendiri,
memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya b. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya) c. Strategi jaringan, misalanya menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan (misalnya : meminjam uang tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya. Hal tersebut telah terjadi pada masyarakat Petani Rakyat yang terdapat di desa Tanjung Medan, yang melakukan berbagai cara maupun strategi untuk mengatasi fluktuasi harga Kelapa Sawit yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan ekonomis keluarga, sosial dan budaya mereka. Untuk itu, perlulah kiranya untuk mengkaji lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya bentuk strategi yang mereka lakukan dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya, akan diintrepetasikan dalam penelitian ini. Dalam mendeskripsikan permasalahan ini, Studi Antropologi Sosial Budaya, sangat berperan penting dalam mengintrepetasikan penelitian ini, karena Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kedua bidang ilmu pengetahuan ini berusaha melihat permasalahan manusia dalam hubungannya dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Tipe penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif 14 yang bertujuan untuk mencari data-data dan informasi tentang katakata dan tindakan masyarakat yang berkenaan dengan fokus penelitian yaitu tentang strategi adaptasi yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat dalam mensiasati tekanan ekonomi keluarga di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan. 1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Data dapat dibagi atas 2 (dua) kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, studi kepustakaan dll. Data primer di peroleh melalui observasi dan wawancara mendalam. a. Observasi Selama penelitian berlangsung pengumpulan data juga dilakukan dengan teknik pengamatan pada berbagai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat serta berbagai kondisi-kondisi seperti misalnya : a. Kondisi rumah tangga, contohnya peralatan-peralatan rumah tangga yang ada.
14
Konsep pendekatan kualitatif di ambil dari pemikiran Moelong yang mengatakan bahwa metode kualitatif adalah metode yang bertujuan mencari data-data dan informasi tentang kata-kata dan tindakan masyarakat (Moelong, 1991: 112). Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
b. Kondisi perkebunan Kelapa Sawit, misalnya luas perkebunan Kelapa Sawit, peralatan yang digunakan dalam mengelola kebun sawit, kondisi fisik perkebunan sawit, dll. c. Aktifitas yang dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat dalam rutinitas kehidupannya sehari-hari di kebun sawit miliknya misalnya bagaimana kegiatan mengelola kebun sawitnya, bagaimana proses pemasaran Kelapa Sawitnya yang meliputi dari proses pemanenan buah Kelapa Sawit sampai pada transaksi jual-beli antara petani dengan pihak agen/tauke, dan juga bagaimana hubungan sosial mereka dengan masyarakat disekitarnya seperti hubungan kekerabatan dalam hal-hal yang berkaitan dengan acara-acara adat dan seremonial seperti upacara perkawinan, kelahiran, keorganisasian, dan hubungan antara keluarga inti, dan hubungan dengan tetangga mereka, dll. Adakalanya pengamatan dilakukan terlibat secara kadang kala dalam berbagai aktivitas penduduk, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam pengelolaan kebun Kelapa Sawit, misalnya pergi bersama-sama ke lokasi kebun untuk melihat langsung aktivitas penduduk dan terlibat langsung dengan aktivitas mereka. Dengan teknik ini peneliti dapat menjalin hubungan baik secara lebih cepat serta dapat menggambarkan keadaan langsung kehidupan masyarakat lokal yang sebenarnya. Dengan teknik ini peneliti juga dapat mengetahui norma dan nilai-nilai yang sebenarnya. Data yang diperoleh melalui pengamatan juga sekaligus berguna untuk konfirmasi data yang akan diperoleh nantinya melalui wawancara.
Untuk membantu pengamatan
peneliti juga menggunakan kamera untuk merekam keadaan-keadaan tertentu atau Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
untuk mendokumentasikan hal-hal yang tidak terobservasi di lapangan. Di samping itu, hasil photo yang dilakukan dapat dijadikan sebagai penegasan data yang diperoleh di lapangan. Jadi, jenis observasi yang seperti peneliti lakukan nantinya merupakan salah satu jenis dari metode observasi kadang kala 15. b. Wawancara Wawancara mendalam yang dilakukan dipandu pedoman wawancara. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal merupakan informan awal yang dijumpai yang dianggap dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informan pangkal adalah Kepala desa Tanjung Medan dan tokoh masyarakat petani. Informan kunci merupakan informan yang memiliki pengetahuan yang luas tentang masalah yang sedang di teliti yaitu petani Kelapa Sawit Rakyat. Petani Kelapa Sawit Rakyat yang dimaksud adalah petani sawit yang hanya memiliki luas lahan rata-rata 2 ha, dan merupakan sumber mata pencaharian utama mereka, serta merasakan dampak dari penurunan harga buah Kelapa Sawit. Sedangkan yang menjadi informan biasa adalah masyarakat desa Tanjung Medan yang memiliki mata pencaharian lain selain sebagai petani Kelapa Sawit Rakyat yaitu para wiraswasta, pekerja di lembaga pemerintah/PNS dan petani holtikultura. Jumlah informan kunci sebanyak 5 keluarga yaitu keluarga Mahmuddin Siregar, keluarga Muslim, Keluarga Salman, Keluarga Syahbudin Pasaribu dan keluarga Rizal. Keseluruhan informan kunci tersebut diwawancarai secara mendalam dengan menyertakan life history, sedangkan informan biasa
15
Metode observasi kadang kala adalah metode pengamatan dimana peneliti atau pengamat tidak berbartisipasi sepenuhnya dilapangan, hanya pada situasi-situasi tertentu saja (lht.Koentjaraningrat dalam metode penelitian sosial). Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
ditentukan sesuai dengan kebutuhan data yang akan diperoleh. Dalam hal ini informan biasa berjumlah 7 keluarga. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan pangkal untuk memperoleh data mengenai latar belakang sejarah desa, dan data-data penduduk. Wawancara mendalam yang di tujukan kepada petani Kelapa Sawit Rakyat untuk memperoleh informasi tentang : a. Persoalan mendasar tentang kehidupan petani sawit tradisional. b. Besarnya pendapatan dan pengeluaran sebagai Petani Kelapa Sawit Rakyat. c. Kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para petani dalam kehidupan sehari-hari. d. Pengerahan, aktivitas, dan tindakan yang dilakukan para petani sawit sebagai bentuk strategi dalam mensiasati tekanan ekonomi keluarga. e. Strategi yang mereka lakukan untuk meningkatkan atau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan wawancara mendalam yang dilakukan pada informan biasa dilakukan untuk review informasi dari informan kunci juga untuk memperoleh informasi tentang bagaimana tanggapan mereka atas perubahan tersebut. 1.6.3. Analisa Data Analisa data merupakan sebuah pengkajian di dalam data yang mencakup prilaku objek, atau pengetahuan yang teridentifikasi. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisa data yaitu: pemilihan, pemilahan, kategorisasi dan evaluasi data. Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diteliti kembali, hal ini untuk melihat kelengkapan hasil dari wawancara dan observasi apakah sudah sesuai dengan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
interview guide yang disusun sebelumnya serta juga kesesuaian pada jawaban yang satu dengan yang lainnya. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara tersebut akan diolah secara sistematis dan dianalisis pada tiap data-data yang dikumpulkan. Kemudian menguraikan pada bagian-bagian permasalahan dengan membuat sub-sub judul pada bab-bab dalam penulisan penelitian. Pengaturan data-data sedemikian disebut metode klasifikasi yang pernah digunakan oleh Antropolog GP.Murdock dalam mengklasifikasikan daerah kebudayaan pada berbagai suku bangsa di Indian Amerika. Metode klasifikasi ini juga pernah dilakukan oleh Clark Wissler dalam mengklasifikasikan daerah kebudayaan di Amerika Utara yang dibaginya menjadi sembilan bagian. Analisis ini hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari strategi adaptasi petani Kelapa Sawit Rakyat dalam mensiasati tekanan ekonomi keluarga di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan. Analisa data yang dilakuan sesuai dengan kajian Antropologis dengan melihat permasalahan yang ada. Dalam hal ini kajian Antropologi Ekonomi, dan Antropologi Budaya adalah dasar-dasar intrepetasi dalam pengenalan utama permasalahan yang akan dianalisis. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan laporan penelitian selesai.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DI DESA TANJUNG MEDAN 2.1. Sejarah Singkat Desa Tanjung Medan Menurut cerita dari pemuka adat setempat bapak Ramlan Lubis, H. Malik Siregar, dan Mahmuddin Siregar, Desa Tanjung Medan merupakan salah satu desa yang dahulu berbentuk sebuah Kerajaan. Kampung Rakyat adalah Kecamatan dari desa Tanjung Medan yang merupakan induk dari kerajaan desa Tanjung Medan. Kecamatan Kampung Rakyat itu sendiri sebenarnya berasal dari kata Kampung Raja, yang artinya tempat para Raja-raja. Di daerah Kampung Rakyat dulunya banyak berdiri kerajaan-kerajaan dari suku bangsa Melayu, diantaranya adalah Kerajaan Panai di desa Teluk Panji, Kerajaan Tanjung Medan, dan Kerajaan Tanjung Mulia (Kerajaan Barumun). Kerajaan Tanjung Medan sendiri dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sultan Nong Hamzah (1939-1945). Sultan Nong Hamzah adalah putera dari Raja Barumun bernama Sultan Bahluddin yang pada saat itu menguasai Kampung Rakyat, dan daerah kekuasaannya meliputi Sungai Barumun, Sungai Balida, sampai ke daerah pinggiran Sungai Barombang. Masyarakat yang mendiami daerah ini adalah dari suku bangsa Melayu yaitu Melayu Deli, dan Melayu Panai dan masih ada hubungannya dengan suku bangsa Melayu dari Kerajaan Malaysia. Daerah Barumun dahulu memiliki nama “Rotan Nagara” yang artinya hasil hutan yaitu “rotan adalah milik negara atau kerajaan”. Kerajaan-kerajaan yang terdapat di daerah Kampung Rakyat pada saat itu adalah suatu kerajaan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kecil, dimana raja-raja yang berkuasa pada daerah masing-masing harus menyerahkan upetinya kepada negara. Sementara itu, kerajaan yang paling besar untuk daerah Kabupaten Labuhan Batu Selatan adalah Kerajaan Kota Pinang yang daerah kekuasaannya sampai ke daerah Labuhan Batu. Kerajaan Kota Pinang dahulu dipimpin oleh seorang raja bernama Tongku Mustafa (1916-an) yang terkenal kejam dan pembangkang. Pada saat itu Raja Tongku Mustafa tidak ingin membayar upeti kepada negara. Bahkan, ia sangat dibenci oleh rakyatnya karena sangat kejam dalam kepemimpinannya. Pada tahun 1939-1943 negara Jepang memasuki daerah Kampung Rakyat dan melukukan penjajahan terhadap masyarakatnya, termasuk desa Tanjung Medan. Akan tetapi kekuasaan bangsa Jepang di tanah Kampung Rakyat tidak bertahan lama kerena tanpa ada sepengetahuan yang pasti secara tiba-tiba penjajah Jepang menarik pasukannya dari daerah Kampung Rakyat. Setelah kepergian tentara Jepang, pada tahun 1947 bertepatan dengan terjadinya Agresi Militer Kedua, Kolonial Belanda datang dan menjajah daerah Kampung Rakyat. Pada waktu itu Kolonial Belanda masuk melalui desa Perlabian, kemudian menjajah kerajaan desa Tanjung Medan yang pada saat itu dalam kepemimpinan Raja Nong Hamzah. Mereka menembaki warga setempat sehingga membuat rakyat desa Tanjung Medan menjadi ketakutan. Karena merasa ketakutan terhadap penjajah Belanda, maka banyak diantara masyarakat desa Tanjung Medan yang lari ke daerah Barumun untuk mendapatkan perlindungan dari Raja Barumun. Keberhasilan Penjajah Belanda menguasai desa Tanjung Medan ternyata telah membuka kehidupan yang baru bagi masyarakatnya. Dalam sistem Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
perekonomian,
mulai
dikembangkan
jenis
tanaman
produksi
dengan
memanfaatkan aset produksi tenaga masyarakat desa Tanjung Medan. Hal tersebut semakin jelas seelah pihak Belanda berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah Kampung Rakyat. Pihak Kerajaan di seluruh daerah yang ada di Kecamatan Kampung Rakyat telah berhasil dikuasai, dan berada dalam tekanan Penjajah Belanda. Raja-raja di daerah Kampung Rakyat pun dengan seketika berubah menjadi berpihak terhadap kebijakan Kolonial Belanda. Banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi selama kekuasaan Kolonial Belanda. Dalam hal sistem mata pencaharian atau pekerjaan, telah terjadi pengalihan jenis tanaman produksi. Dahulu penduduk Tanjung Medan masih mengandalkan jenis tanaman karet atau rambung. Sejarah penanaman tumbuhan karet ini dulunya berawal dari salah satu utusan dari pihak kerajaan desa Tanjung Medan yang dikirim ke negeri jiran Malaysia sebagai bentuk hubungan baik kedua belah pihak kerajaan. Akan tetapi, setelah utusan kerajaan kembali ke Tanjung Medan, ia memberikan pernyataan kepada Raja Nong Hamzah bahwa ia telah membawa tambang emas yaitu tumbuhan karet atau pohon rambung. Setelah mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai manfaat dari tumbuhan karet itu, maka pihak kerajaan pun menyerukan kepada masyarakatnya untuk menanam pohon karet sebagai tanaman produksi. Pada tahun 1958 penjualan hasil karet di lakukan ke negeri jiran Malaysia yang dilakukan secara seludupan. Sampai akhirnya seiring perkembangan zaman dikenalkan karet planting (karet kawinan) yang kemudian dilanjutkan dengan peremajaan tanaman karet itu sendiri. Akan tetapi, kedatangan bangsa Belanda ke Kampung Rakyat telah mengubah jenis tanaman produksi di desa Tanjung Medan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
yang semulanya adalah jenis tanaman karet. Penjajah Belanda mengenalkan jenis tanaman produksi yang baru yaitu tanaman Kelapa Sawit. Dengan kekuasaannya pihak Belanda memaksa rakyat untuk menanam pohon Kelapa Sawit dalam jumlah besar yang sekarang terkenal dengan sebutan Perkebunan Kelapa Sawit. Sehingga hanya dalam beberapa tahun saja lamanya Penjajah Belanda telah berhasil memperluas perkebunan Kelapa Sawit dan mendirikan sebuah pabrik pengelolan Kelapa Sawit yaitu PT. Perlabian State yang merupakan pabrik Kelapa Sawit pertama di desa Perlabian Kecamatan Kampung Rakyat. Berpuluh-puluh tahun lamanya Penjajah Belanda memeras keringat masyarakat Kampung Rakyat untuk menjadi buruh di pabriknya.
Keinginan
masyarakat Kampung Rakyat pada saat itu khususnya Desa Tanjung Medan untuk mengelola tanaman Kelapa Sawit secara pribadi terkekang oleh politik Belanda. Penjajah Belanda mengatakan bahwa tanaman Kelapa Sawit hanya dapat di kelola oleh perkebunan dengan skala besar sehingga mempengaruhi rakyat untuk tidak menanam tanaman Kelapa Sawit secara perorangan. Di samping itu, mereka juga membuat aturan terhadap masyarakat desa Tanjung Medan bahwa siapa saja dari masyarakat yang ketahuan menanam pohon Kelapa Sawit akan di tembak. Namun,
kekuasaan pihak
Belanda
yang
diperoleh dengan cara
mengeksploitasi dan memonopoli sumber daya alam masyarakat desa Tanjung Medan berakhir juga dengan sendirinya setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya dan berdiri menjadi Negara yang berdaulat. Masyarakat di desa Tanjung Medan sekarang mulai membuka lahan sendiri untuk ditanami Kelapa Sawit, walaupun masih dalam intervensi pihak-pihak perusahaan swasta dan Negara yang berkuasa. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama para perantau dari berbagai etnis suku bangsa mulai berdatangan ke daerah Kampung Rakyat dan yang paling dominan adalah Orang Hulu atau Tapanuli Selatan. Untuk dusun Labuhan yang merupakan salah satu dusun di Desa Tanjung Medan, mula-mula dibuka oleh seorang etnis dari Tapanuli Selatan yang bernama Tukkot Lombang, dan untuk dusun Gunung Maria di buka oleh seseorang yang bernama Jabalanga. Nama kedua tokoh tersebut sudah terkenal di daerahnya masing-masing, karena telah diabadikan sebagai nama tempat pemandian di kedua daerah tersebut, yaitu Pemandian Tukkot Lombang untuk daerah pemandian di dusun Labuhan dan Pamandian Jabalanga untuk daerah pemandian di dusun Gunung Maria. Desa Tanjung Medan sendiri memiliki tujuh dusun yaitu, Kampung Jawa, Labuhan, Gunung Maria, Sukajadi, Padang Bulan, Pekan Tanjung Medan dan Aek Gapuk. Sistem pemerintahannya di pimpin oleh seorang Lurah dan selama periodenya telah empat kali melakukan pergantian lurah yang diantaranya adalah : 1. Ahmad Soleh Harahap (1960-seumur hidup), merupakan lurah yang pertama dan menurut masyarakat setempat sangat baik di masa kepemimpinannya. 2. Dahlan Harahap, merupakan anak dari ahmad soleh harahap yang bertugas melanjutkan kepemimpinan ayahnya. 3. Mudo, merupakan lurah yang ketiga menjabat sebagai kepala lurah. 4. Ir. Ripdan Harahap (2009, sekarang ini).
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
2.1. Letak dan Luas Desa Tanjung Medan Letak Astronomi Desa Tanjung Medan terletak pada koordinat 7º 50´ LU 9º 21´ LU dan 97º 18´ BT-98º 42´ BT. Secara geografis jarak Desa Tanjung Medan ke Ibukota Kecamatan 0,00 Km. Tabel I Luas Wilayah Kecamatan Kampung Rakyat No
Kelurahan/Desa
1 2 3 4 5
Tanah Tanah Bangunan/ Lainnya Jumlah Sawah Kering Perkarangan 0 6.621 18 61 6.700 0 10.170 108 266 10.544 0 1.517 56 987 2.560 0 1.781 42 173 1.996 150 10.034 365 0 10.549
Kamp. Perlabian Perk.Perlabian Pekan Tolan Tolan I/II Air Merah Perk. Batang 6 Saponggol 0 3.762 27 7 Perk. Teluk Panji 0 7.392 308 8 Teluk Panji I 0 789 200 9 Teluk Panji II 0 827 172 10 Teluk Panji III 0 571 202 11 Teluk Panji IV 0 838 216 12 Kamp.Teluk Panji 100 749 57 13 Tanjung Medan 0 7.979 275 14 Tanjung Selamat 0 1.862 630 15 Tanjung Mulia 0 9.022 222 Jumlah 250 63.914 3.198 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan Tahun 2007
16 84 56 22 21 25 0 288 333 1.221 3.553
0.805 7.784 1.045 1.021 794 1.079 1.206 8.542 2.825 10.465 70.915
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Kecamatan Kampung Rakyat menempati area seluas 709, 15 Km yang terdiri dari 15 desa. Dengan batas-batas wilayah yakni : -
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Panai Tengah
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kota Pinang, dan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bilah Hulu Dari 15 desa yang terdapat di Kecamatan Kampung Rakyat, yang memiliki
wilayah terluas adalah Desa Air Merah dengan luas 105,49 Km, dan yang terkecil adalah Desa Teluk Panji III dengan luas 7,94 Km. Sementara itu, Desa Tanjung Medan itu sendiri memiliki luas wilayah 85,42 Km. Dengan demikian, Desa Tanjung Medan merupakan desa ke empat terluas yang terdapat di Kecamatan Kampung Rakyat. 2.3. Komposisi Penduduk -
Menurut Jumlah Rumah Tangga Berdasarkan data komposisi penduduk menurut jumlah rumah tangga
menunjukkan bahwa sebagian besar dari jumlah penduduk Desa Tanjung Medan telah berkeluarga. Hal ini dapat dilihat pada tabel : Tabel 2 Komposisi Penduduk Menurut Jumlah Rumah Tangga
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Desa/Kelurahan Kamp. Perlabian Perk. Perlabian Pekan Tolan Tolan I/II Air Merah Perk.Batang Saponggol Perk. Teluk Panji Teluk Panji I Teluk Panji II Teluk Panji III Teluk Panji IV Kamp. Teluk Panji Tanjung Medan Tanjung Selamat Tanjung Mulia
Jumlah Penduduk 7.777 6.290 4.343 971 2.796
Rumah Tangga 1.33 1.043 943 288 532
RataRata/RT 6 6 5 3 5
908 6.483 2.164 2.061 1.758 2.712 2.907 5.645 2.262 2.906
157 1.173 349 385 386 447 805 2.181 851 517
6 6 6 5 5 6 6 3 3 6
Jumlah 51.983 11.109 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan Tahun 2007
5
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah penduduk di Desa Tanjung Medan yang telah berumah tangga berjumlah 2.181 jiwa, merupakan jumlah terbesar dari keseluruhan desa yang terdapat di Kecamatan Kampung Rakyat. Sedangkan untuk jumlah rumah tangga yang paling sedikit terdapat di kelurahan Perkebunan Batang Saponggol dengan jumlah rumah tangga 908 jiwa. - Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Berdasarkan data komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat perbandingan antara jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada Desa Tanjung Medan. Jumlahnya tidak jauh berbeda dan hanya terpaut 15 orang lebih banyak jumlah perempuan. Hal ini dapat dilihat pada tabel. Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin No
Desa/Kelurahan
1 2 3 4 5
Kamp. Parlabian Perk. Perlabian Pekan Tolan Tolan I/II Air Merah Perk. Batang Saponggol Perk. Teluk Panji Teluk Panji I Teluk Panji II Teluk Panji III Teluk Panji IV Kamp. Teluk Panji Tanjung Medan Tanjung Selamat Tanjung Mulia
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
LakiLaki 3.922 3.215 2.194 490 1.452
Perempuan 3.855 3.075 2.149 481 1.344
449 3.329 1.095 1.044 885 1.357
459 3.154 1.069 1.017 873 1.355
908 6.483 2.164 2.061 1.758 2.712
2.248 2.815 1.168 1.506
2.222 2.830 1.094 1.400
4.470 5.645 2.262 2.906
Jumlah 7.777 6.290 4.343 971 2.796
Jumlah 27.169 26. 377 53. 546 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan Tahun 2007
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Jumlah penduduk Desa Tanjung Medan dengan jenis kelamin laki-laki adalah 2.815 jiwa, sedangkan penduduk yang berjenis kelamin wanita berjumlah 2.830 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah wanita telah mengungguli jumlah laki-laki. -
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Sebagian besar penduduk di Desa Tanjung Medan bekerja sebagai petani,
dan sebagian lagi bekerja di bidang wiraswasta. Pada tabel terlihat sebagai berikut Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan No 1 2 3 4 5
Desa/Kelurahan Petani Industri PNS/ABRI Lainnya Kamp. Perlabian 1. 752 142 49 204 Perk. Perlabian 2. 192 240 35 80 Pekan Tolan 757 107 25 98 Tolan I/II 129 18 9 24 Air Merah 708 80 10 24 Perk. Batang 6 Saponggol 466 33 6 0 Perk. Teluk 7 Panji 942 144 25 44 8 Teluk Panji I 18 40 10 286 9 Teluk Panji II 318 45 11 17 10 Teluk Panji III 464 76 13 17 11 Teluk Panji IV 293 58 9 9 Kamp. Teluk 12 Panji 899 118 10 66 13 Tanjung Medan 1935 156 60 567 14 Tanjung Selamat 575 76 25 29 15 Tanjung Mulia 615 82 12 45 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan Tahun 2007
Jumlah 2.147 2.547 987 180 822 505 1.155 354 391 570 369 1.093 2718 705 754
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jumlah penduduk di Desa Tanjung Medan yang bekerja di sektor pertanian sangat cukup besar yaitu 1935 jiwa, sedangkan pada sektor industri 156 jiwa, PNS/ABRI 60 jiwa, dan wiraswasta berjumlah 567 jiwa. -
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kepercayaan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Mayoritas penduduk Desa Tanjung Medan adalah agama Islam dan sebagian lagi menganut agama Khatolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Untuk jumlahnya dapat dilihat pada tabel :
Tabel 5 Komposisi Penduduk Menurut Kepercayaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Desa/Kelurahan Kamp. Perlabian Perk. Perlabian Pekan Tolan Tolan I/II Air Merah Perk. Batang Saponggol Perk. Teluk Panji Teluk Panji I Teluk Panji II Teluk Panji III Teluk Panji IV Kamp. Teluk Panji Tanjung Medan Tanjung Selamat Tanjung Mulia
Islam 97,50 88,00 96,00 83,80 74,00
Protestan Katholik Hindu Budha 1,00 1,00 0,20 0,30 3,00 8,00 0,20 0,30 1,50 2,50 0 0 4,00 12,00 0,20 0 14,00 12,00 0 0
97,00 89,00 88,00 90,00 87,50 89,50
3,00 6,00 7,50 7,00 9,50 7,00
0 5,00 4,50 3,00 3,00 3,50
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
64,50 88,00 71,00 83,50
32,00 7,00 19,00 13,00
3,50 4,50 10,00 3,50
0 0,40 0 0
0 0,10 0 0
Jumlah Rata-rata 85,84 8,97 5,07 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan Tahun 2007
0,07
0,05
12 13 14 15
Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah penduduk di Desa Tanjung Medan yang beragama Islam di persentasekan 88,00%, yang beragama Kristen Protestan 7%, yang beragama Khatolik 4,50%, yang beragama Hindu 0,40%, sedangkan yang beragama Budha hanya 0,10%. -
Jumlah penduduk Usia 7-12 tahun berdasarkan Status Pendidikan Jumlah penduduk Desa Tanjung Medan menurut status pendidikannya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Tabel 6 Komposisi Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Status Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kelurahan/Desa Sekolah Kamp. Perlabian 166 Perk.Perlabian 624 Pekan Tolan 766 Tolan I/II 435 Air Merah 460 Perk. Batang Saponggol 370 Perk. Teluk Panji 605 Teluk Panji I 214 Teluk Panji II 122 Teluk Panji III 134 Teluk Panji IV 124 Kamp.Teluk Panji 632 Tanjung Medan 860 Tanjung Selamat 695 Tanjung Mulia 308 Jumlah 6.515 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan 2007
Tidak Sekolah 70 62 20 21 65 17 53 12 18 20 30 42 52 75 25 582
Jumlah 236 686 786 456 525 387 685 226 140 154 154 674 912 770 333 7.124
Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah penduduk usia 7-12 tahun di Desa Tanjung Medan yang bersekolah adalah 860 jiwa, dan tidak bersekolah adalah 52 jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk Desa Tanjung Medan yang berusia 7-12 tahun statusnya lebih banyak bersekolah dibandingkan dengan yang tidak bersekolah. -
Jumlah Penduduk Usia 13-19 Tahun Menurut Status Pendidikan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Jumlah penduduk Desa Tanjung Medan berdasarkan golongan umur 13-19 tahun dan juga berdasarkan pada status pendidikannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7 Komposisi Penduduk Usia 13-19 Tahun Menurut Status Pendidikan Tidak Kelurahan/Desa Sekolah Sekolah Kamp. Perlabian 474 21 Perk.Perlabian 12 30 Pekan Tolan 11 5 Tolan I/II 4 0 Air Merah 8 0 Perk. Batang Saponggol 3 0 Perk. Teluk Panji 577 28 Teluk Panji I 20 0 Teluk Panji II 25 0 Teluk Panji III 17 0 Teluk Panji IV 13 2 Kamp.Teluk Panji 15 0 Tanjung Medan 352 40 Tanjung Selamat 15 0 Tanjung Mulia 7 0 Jumlah 1.553 126 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Jumlah 495 42 16 4 8 3 605 20 25 17 15 15 392 15 7 1.679
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Desa Tanjung Medan usia 13-19 tahun yang bersekolah mencapai 352 jiwa, sedangkan yang tidak bersekolah 40 jiwa. Jadi, data tersebut menunjukkan lebih banyak penduduk Desa Tanjung Medan usia 13-19 tahun yang bersekolah daripada yang tidak bersekolah. 2.4. Sistem Mata Pencaharian Masyarakat di Desa Tanjung Medan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Mata pencaharian merupakan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh kebanyakan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada banyak bentuk yang dilakukan oleh orang sebagai mata pencahariannya. Lingkungan dimana tempat mereka tinggal juga memberikan pengaruh yang cukup besar mengenai karakteristik mata pencaharian yang dijalankan, seperti pada daerah pedesaan dimana, umumnya mereka hidup dengan mengandalkan hasil agraris seperti bertani dan juga memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungannya seperti petani yang memanfaatkan lahan/tanah untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem mata pencaharian tradisional merupakan berbagai macam sistem ekonomi yang hanya terbatas pada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Menurut Koentjaraningrat (1972:32) bahwa adanya berbagai sistem mata pencaharian yang dilakukan oleh manusia, antara lain: a. Berburu dan meramu b. Perikanan c. Bercocok tanam di lading d. Bercocok tanam menetap e. Peternakan, dan f. Perdagangan. Sistem mata pencaharian hidup masyarakat di Desa Tanjung Medan umumnya adalah sebagai Petani Kelapa Sawit yang merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada di Desa Tanjung Medan khususnya yang mereka jadikan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kecamatan Kampung Rakyat merupakan suatu daerah yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dalam sektor pertanian. Beberapa kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Kampung Rakyat antara lain adalah bercocok tanam padi, hortikultura, perkebunan dan perternakan. Dalam menanam padi tidak terdapat padi sawah tetapi memiliki padi ladang dengan luas 50 ha dengan produksi sebesar 126 ton dan produktivitasnya sebesar 25,26 Kw/Ha. Untuk jenis tananman sayuran, cabe merupakan jenis sayuran yang memiliki daerah luas panen terbesar yaitu 26 Ha dengan produksi 60 ton dan produktivitas sebesar 25,50 Kw/Ha, sedangkan untuk buah-buahan, Jambu adalah jenis buah yang memiliki daerah luas panen terbesar yaitu 34 Ha, dengan produksi 14 ton dan produktivitas sebesar 42,05 Kw/Ha. Tanaman perkebunan rakyat terbesar yang terdapat di Kecamatan Kampung Rakyat adalah Kelapa Sawit dan Karet. Daerah penghasil Karet dan Kelapa Sawit terbesar adalah desa Tanjung Mulia, dengan produksi sebanyak 124.500 ton/tahun untuk Kelapa Sawit dan 2.887 ton/tahun untuk Karet. Tabel 8 Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Jenisnya (ha) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelurahan/Desa Kamp. Perlabian Perk.Perlabian Pekan Tolan Tolan I/II Air Merah Perk. Batang Saponggol Perk. Teluk Panji Teluk Panji I Teluk Panji II Teluk Panji III
Kelapa Sawit 0 0 506 0 560 0 483 377 423 452
Karet 0 0 189 0 190 0 220 38 71 112
Kopi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kakao 0 0 30 0 20 10 20 10 10
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
11 12 13 14 15
Teluk Panji IV 392 41 Kamp.Teluk Panji 547 100 Tanjung Medan 908 26 Tanjung Selamat 596 187 Tanjung Mulia 5.115 1.313 Jumlah 10.229 2.626 Sumber : Data diolah dari Kec.Tanjung Medan 2007
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 101
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Desa Tanjung Medan memeliki luas lahan perkebunan rakyat jenis tanaman Kelapa Sawit mencapai 908 ha dengan produksi panen mencapai 10.466 ton/tahun. Sedangkan tanaman Karet hanya 26 ha.
Dengan
demikian,
sebagian
besar
masyarakat
Tanjung
Medan
menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan Kelapa Sawit. Binatang ternak yang paling banyak di Kecamatan Kampung Rakyat adalah Kambing sebanyak 308 ekor, selain Kambing di Kecamatan Kampung Rakyat juga terdapat Domba sebanyak 69 ekor, Sapi sebanyak 107 ekor, dan Kerbau sebanyak 23 ekor. Untuk Unggas, Ayam berjumlah 54.842 ekor, Itik sebanyak 19.781 ekor. Selain itu, di Kecamatan Kampung Rakyat juga memiliki Ikan Air Tawar dengan produksi sebesar 36,96 ton. 2.5. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sarana fisik merupakan sarana umum yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk melakukan aktifitas sehari-hari, khususnya yang berhubungan dengan kepentingan umum. Di Desa Tanjung Medan terdapat sarana-sarana fisik yaitu antara lain: a. Sarana kesehatan b. Sarana pendidikan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
c. Sarana ibadah d. Sarana transportasi e. Sarana hiburan, dan f. Sarana perdagangan - Sarana Kesehatan Di Kecamatan Kampung Rakyat, tersedia berbagai sarana kesehatan antara lain : 49 Posyandu, 2 Puskesmas, dan 10 Pustu dan 2 BPU/BKIA, sementara tenaga medis yang tersedia sebanyak 85 orang yang terdiri dari 5 Dokter, 31 Bidan, 16 Perawat, dan 31 Dukun Bayi. Khusus untuk sarana kesehatan di Desa Tanjung Medan terdapat beberapa sarana kesehatan, yaitu 1 buah Puskesmas, 1 buah Pustu, 2 buah BPU/BKIA, dan 4 buah Posyandu. Adapun jumlah tenaga medis yang bertugas di Desa Tanjung Medan yaitu 2 orang Dokter, 4 orang Bidan, 8 orang Perawat, dan 1 orang Dukun Bayi. Sarana kesehatan tersebut yang selalu dimanfaatkan oleh masyarakat Tanjung Medan untuk mengobati segala macam penyakit mereka. Sarana kesehatan tersebut juga selalu dikunjungi oleh masyarakat Tanjung Medan jika mereka mengalami keluhan-keluhan penyakit seperti demam, batuk, flu, serta melahirkan. Jika sarana kesehatan tersebut tidak mampu menangani penyakit mereka yang tergolong cukup parah maka akan disarankan untuk dibawa ke rumah sakit yang letaknya di Pusat Kota Kabupaten Labuhan Batu Selatan yaitu Kota Kota Pinang dengan jarak tempuh ± 11 km dengan perjalanan 1 jam. -
Sarana Pendidikan Sarana pendidikan merupakan sarana yang paling penting untuk
menunjang kemakmuran dan kecerdasan bangsa. Sarana pendidikan di desa Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Tanjung Medan di dukung oleh tersedianya sekolah, tenaga guru, dan murid dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan tingkat menengah. Jumlah seluruh sekolah yang ada di kelurahan/Desa Tanjung Medan adalah Sekolah Dasar Negeri (SDN) berjumlah 3, dengan jumlah tenaga pengajar atau guru 28 orang dan jumlah muridnya 808 orang, Sekolah Dasar Swasta 3 buah dengan jumlah tenaga pengajar 25 orang, dan jumlah muridnya 320 orang. Sementara itu, untuk sarana Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hanya ada 1 buah yang berstatus negeri (SLTP N), dengan jumlah tenaga pengajar 35 orang, dan jumlah muridnya 323 orang. Sedangkan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri ada 1 buah, dengan tenaga pengajar 27 orang dan jumlah muridnya 320 dari berbagai kelurahan. Di samping itu ada pula 1 buah Yayasan Pondok Pesanteren Islam Sanawiyah dan Aliyah sederajat dengan tingkat SLTP dan juga SLTA. -
Sarana Ibadah Sarana ibadah adalah tempat untuk melakukan peribadatan dimana
manusia bisa lebih konsentrasi lagi dalam melakukan komunikasi dengan Tuhannya. Jumlah sarana ibadah bagi umat beragama di Kecamatan Kampung Rakyat cukup memadai dengan jumlah Masjid 54 buah, Musholla11 buah, dan Gereja 12 buah. Di Desa Tanjung Medan sendiri jumlah sarana ibadah yaitu Masjid terdapat 5 buah, Musholla 2 buah, dan Gereja 2 buah. Dengan sarana ibadah tersebut masyarakat Desa Tanjung Medan menjalankan kegiatan rohani masing-masing
dengan
rukun
sesuai
dengan
agama
dan
kepercayaan
masyarakatnya. -
Sarana Transportasi
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Jumlah kendaraan bermotor terbanyak terdapat di desa perkebunan Teluk Panji yaitu sebanyak 600 unit, sedangkan yang paling sedikit terdapat di desa Tanjung Mulia sebanyak 44 unit. Panjang jalan di Kecamatan Kampung Rakyat sepanjang 326 Km yang terdiri dari 51 Km jalan beraspal, 16 Km jalan diperkeras, 128 Km jalan tanah dan 131 jalan setapak. Sementara itu untuk jalur pos atau wesel, telah terjadi penerimaan surat melalui Kantor Pos dan giro di Kecamatan Kampung Rakyat sebanyak 796 buah yang terdiri dari 4 surat tercatat dan 792 surat kilat. Sedangkan jumlah surat yang dikirim sebanyak 629 surat. Sarana transportasi yang terdapat di Desa Tanjung Medan meliputi alat angkutan penumpang (angkot) berjumlah 15 unit, angkutan barang/truk 24 unit, mobil pribadi 10 unit, dan sepeda motor 437 unit. Perjalanan menuju Desa Tanjung Medan ± 25 menit dengan jarak tempuh 8 km dari simpang Pekan Tolan. Dari simpang Pekan Tolan menuju Desa Tanjung Medan menggunakan ojek dengan tarif Rp.15.000;00/orang. Sementara itu, sarana transportasi yang digunakan oleh masyarakat di Desa Tanjung Medan adalah berupa sepeda motor karena sebahagian masyarakat di desa ini memiliki kendaraan sendiri untuk melakukan aktivitas mereka masing-masing. -
Sarana Hiburan dan Komunikasi Sarana hiburan yang terdapat di Desa Tanjung Medan berupa TV, Radio
dan Handphone sebagai alat komunikasi yang hampir semua penduduk desa memiliki sarana tersebut. Selain itu, jika ada pesta perkawinan menggunakan sarana hiburan seperti musik tradisional yaitu Jarkep atau Kuda Kepang dari etnis Jawa, dan adapula Keyboard. Jika ada kemalangan mereka hanya melakukan semacam perkumpulan seperti kenduri bagi yang beragama Islam. Sarana hiburan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
tersebut sudah berlangsung lama tanpa ada membeda-bedakan suku diantara mereka. Sarana hiburan lain yang mereka miliki adalah tempat rekreasi berupa tempat pemandian buatan yang di kelola oleh masyarakat setempat, lokasi tersebut dijadikan sebagai tempat wisata bagi mereka yang sedang berlibur, hasilnya lokasi tersebut selalu ramai dikunjungi tidak hanya dari desa Tanjung Medan saja tetapi juga dari luar tempat tinggal mereka. -
Sarana Perdagangan Sarana perdagangan yang mereka miliki hanya berupa kedai/toko
kelontong yang bentuknya juga sangat sederhana dan itu merupakan milik pribadi. Kedai/toko kecil adalah tempat menjual perlengkapan kebutuhan mereka seperti makanan, minuman, rokok, sandal, obat-obatan dan juga sayur-sayuran seadanya. Di samping kedai/toko, masyarakat Desa Tanjung Medan juga memiliki sarana perdagangan yang sangat sederhana dan bernuansakan tradisional. Sarana perdagangan tersebut mereka buat karena jarak pasar dengan tempat tinggal mereka sangat jauh. Pasar tradisional tersebut disebut dengan Pekan yang juga menjual segala jenis kebutuhan mereka seperti sayuran, perlengkapan rumah tangga dan sebagainya. Aktivitas perdagangan yang dilakukan di pasar tradisional (pekan) biasanya dilakukan seminggu sekali. Pada hari minggu suasana pasar akan kelihatan ramai dikunjungi masyarakat. Kegiatan jual beli barang-barang keperluan keluarga akan menghiasi pasar tradisional.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
BAB III KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI KELAPA SAWIT DI DESA TANJUNG MEDAN Masyarakat di Desa Tanjung Medan, khususnya para petani Kelapa Sawit Rakyat, memiliki permasalahan ekonomi yang benar-benar dilematis. Meskipun demikian, jika hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, mereka masih dapat mencukupinya. Permasalahan kehidupan yang dihadapi para petani dimulai dari rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki, data statistik Kantor Kec. Kampung Rakyat tahun 2007 menyebutkan bahwa penduduk desa Tanjung Medan berjumlah 5.645 jiwa dengan status penduduk yang mengecap pendidikan berjumlah 1.843 jiwa (lihat pada tabel 9 halaman 50), sedangkan selebihnya ada yang masih buta huruf, lanjut usia, dan anak-anak kelompok umur dibawah usia lima tahun. Khusus untuk anak-anak kelompok usia dibawah 5 tahun berjumlah 2.036 jiwa. Dari data statistik Kantor Kec. Kampung Rakyat juga ditemukan bahwa rata-rata kepala desa yang menjabat di desa Tanjung Medan masih tamatan SLTP, hal ini menunjukkan bahwa dalam jajaran administrasi birokrasi di desa Tanjung Medan juga masih berpendidikan rendah. Kemudian, keterbatasan dalam mengakses sumber daya alam, misalnya sedikitnya lahan perkebunan, terbatasnya modal, serta peralatan dalam bertani yang masih sangat tradisional/sederhana. Keterbatasan-keterbatasan terhadap akses sumber daya Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
produksi tesebut merupakan permasalahan dasar dalam kehidupan perekonomian mereka. Sementara itu, karena keterbatasan ekonomi yang mereka miliki membuat anak-anak mereka tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi, sehingga anak-anak mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Sebagai akibatnya, kehidupan perekonomian mereka selalu berada dalam posisi termarjinalisasikan dan berdampak pada sulitnya bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat dikenal dengan istilah bangsa yang majemuk. Demikianlah istilah yang masih selalu terdengar dan masih biasa diucapkan oleh masyarakat Indonesia sendiri, masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, ras dan berbagai budaya. Keanekaragaman suku bangsa di Indonesia sendiri seperti dua sisi mata uang yang berlainan. Terkadang menjadi sebuah polemik yang menimbulkan sebuah konflik, ataupun sesuatu hal yang menjadi sumber kreatifitas serta tradisi yang harus selalu di jalankan dan di lestarikan guna tetap terjaganya originalitas (keaslian) budaya Indonesia sendiri, yang pada dasarnya sebagai aktor utama oleh para penganut kebudayaan. Desa Tanjung Medan merupakan salah satu kelurahan dari 15 desa yang ada di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Desa ini merupakan desa yang memiliki mayoritas suku bangsa Mandailing yang berasal dari Tapanuli Selatan. Menurut data statistik dari Kantor Kecamatan Kampung Rakyat menyebutkan bahwa 60 % penduduk desa Tanjung Medan memiliki suku bangsa Mandailing dan beragama Islam. Meskipun tidak tergolong sebagai suku bangsa yang mula-mula mendiami daerah ini, tetapi mereka telah berhasil menjadi Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
etnis mayoritas di desa Tanjung Medan. Mereka mulai menempati desa Tanjung Medan setelah Kolonial Belanda menguasai seluruh kecamatan Kampung Rakyat. Nenek moyang suku bangsa Mandailing/Orang Hulu sendiri melakukan proses migrasi dari Tapanuli Selatan sebagai daerah asal menuju Pulau Sumatera dan tepatnya di Desa Tanjung Medan. Proses migrasi yang dilakukan oleh suku bangsa Mandailing yang ada di Tapanuli Selatan menuju desa Tanjung Medan ternyata membawa sebuah bentuk kebudayaan asal (in hand) suku bangsa Mandailing yakni aktifitas sebagai petani. Aktifitas tersebut sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka pada masa Penjajahan Jepang. Meskipun mereka adalah etnis perantau atau pendatang di desa Tanjung Medan, tetapi kebudayaan asal mereka telah berhasil mendominasi kehidupan sosial masyarakat di daerah Tanjung Medan. Kehidupan sosial masyarakat yang penuh dengan suasana religi yang sangat kental, tersirat pada berdiri kokohnya beberapa tempat peribadatan seperti Masjid/Musholla dan bangunan Gereja yang selalu ramai di kunjungi masingmasing pemeluk agama penduduk desa Tanjung Medan. Di samping itu, tempat peribadatan tersebut juga dijadikan tempat untuk memperingati hari-hari besar yang telah menjadi tradisi. Suasana kekeluargaan dan etnis yang kental tampak dari keseluruhan penduduk desa Tanjung Medan yang mana satu sama lain masih saling mengenal, bertutur sapa dengan baik serta masih terpeliharanya kebudayaan antar suku. Misalnya suku bangsa Mandailing yang mayoritas mendiami daerah ini dengan logat Mandailing yang masih tetap terjaga, etnis Melayu Panai dengan logat melayunya, dan etnis-etnis lainnya.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kehidupan sosial di desa Tanjung Medan cukup mengesankan, karena pada dasarnya kondisi geografis yang cukup jauh dari Ibukota Propinsi yaitu Medan. Namun, dari sektor pendidikan daerah ini cukup banyak tertinggal baik dari segi infrastruktur maupun secara struktural. Hal ini tampak pada tingkat pendidikan mayoritas penduduknya yang masih rendah. Menurut data Statistik dari Kantor Kec. Kampung Rakyat menunjukkan bahwa rat-rata penduduk Tanjung Medan masih memiliki tingkat pendidikan hanya sampai jenjang SLTA saja, bahkan banyak pula dari penduduk desa Tanjung Medan yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan/buta huruf (lihat data tabel 9 halaman 50). Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk desa Tanjung Medan yang jumlahnya mencapai 5.645 jiwa (BPS Kantor Kec. Kampung Rakyat 2007) secara keseluruhan, yang mengecap pendidikan formal hanya berjumlah 1.843 jiwa, dengan
persentase penduduk yang mengenyam pendidikan pada tingkat
perguruan tinggi hanya dengan jumlah terbatas, yakni berjumlah 72 jiwa, sedangkan selebihnya yaitu 3.802 jiwa ada yang masih buta huruf, lanjut usia, anak-anak dewasa yang bekerja membantu penghasilan orang tua dan anak-anak kelompok umur dibawah usia lima tahun. Data mengenai penduduk berdasarkan tingkat pendidikan pada masyarakat desa Tanjung Medan dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini : Tabel 9 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Desa
SD
SLTP
SLTA
PTN
Lain-lain
Jumlah
Kamp. Perlabian Perk.Perlabian Pekan Tolan Tolan I/II Air Merah Perk. Batang
974 976 345 459 416 260
490 66 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
6.313 5.248 3.998 512 2.380 648
7.777 6.290 4.343 971 2.796 908
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Saponggol Perk. Teluk Panji Teluk Panji I Teluk Panji II Teluk Panji III Teluk Panji IV Kamp.Teluk Panji Tanjung Medan Tanjung Selamat Tanjung Mulia Jumlah
1.486 414 319
517 0 0
0 0 0
0 0 0
4.480 1.750 1.742
6.483 2.164 2.061
276
0
0
0
1.482
1.758
413
0
0
0
2.299
2.712
231
0
0
0
4.239
4470
1128
323
320
54
3.820
5.645
236
0
0
0
2.026
2.262
461 8.367
0 1.396
0 320
0 54
2.445 43.382
2.906 53.546
Sumber : Data diolah dari Kec. Tanjung Medan 2007 Sedangkan mengenai infrastruktur yang terdapat di desa Tanjung Medan dapat dilihat pada tabel 10 di bawah ini : Tabel 10 Jumlah Bangunan Sekolah di Desa Tanjung Medan No 1 2 3 4 5 6 7
Dusun Tanjung Medan Padang Bulan Sukajadi Kampung Jawa Aek Gapuk Labuhan Gunung Maria Jumlah
SD 2 0 1 0 0 0 0 3
SLTP 0 0 1 0 0 0 0 1
SLTA 0 0 1 0 0 0 0 1
Jumlah 2 0 3 0 0 0 0 5
Sumber : Data diolah dari Kelurahan Tanjung Medan tahun 2007 Dari tabel 10 di atas dapat dilihat minimalitas infrastruktur pendidikan tampak langsung pada segi kualitas dan kuantitas yaitu bangunan-bangunan sekolah yang sangat sederhana dan kurang memadai dengan jumlah bangunan sekolah yang sangat sedikit. Hal ini cukup memiliki efek langsung yang negatif terhadap pola pikir masyarakat di desa Tanjung Medan yang pada umumnya bersifat tertutup (eksklusif). Lebih jelas terlihat pada aktifitas ekonomi yang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
dilakoni penduduk di desa ini yang lebih banyak terlibat dalam sektor informal apabila dibandingkan dengan sektor formal. Data dari tabel 10 di atas juga menunjukkan bahwa jumlah bangunan sekolah terbanyak terdapat di dusun Sukajadi dengan total jumlah bangunan sebanyak 3 (tiga) unit yakni 1 (satu) unit bangunan SD, 1 (satu) unit bangunan SLTP/SMP, dan 1 (satu) unit bangunan SLTA/SMA. Sementara itu, jumlah bangunan sekolah yang terdapat di Desa Tanjung Medan hanya berjumlah 2 (dua) unit bangunan SD. Namun, dua tahun belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat pesat bahwa generasi muda di desa Tanjung Medan mulai banyak yang bersekolah ke kota, walaupun harus menempuh jarak yang cukup jauh dari desa mereka, hal itu disebabkan oleh gencarnya transformasi pendidikan yang telah diselenggarakan oleh Pemerintah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat di desa Tanjung Medan untuk menyadari bahwa pendidikan juga merupakan hal yang penting dalam menambah ilmu pengetahuan dan mengangkat status sosial mereka. Berdasarkan data dari observasi yang peneliti lakukan pada periode 2008/2010 di desa Tanjung Medan, atau dua tahun terakhir belakangan ini, telah terjadi peningkatan minat dari orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai pada jenjang universitas baik di perguruan tinggi lokal maupun di luar kota seperti di beberapa Universitas yang ada di kota Medan yaitu USU, UMSU, IAIN, UISU, DARMA AGUNG, UNIMED, AKADEMI KEPERAWATAN, POLMED, dan lainnya. 3.1 Sistem Kekerabatan Masyarakat Desa Tanjung Medan. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sistem kekerabatan adalah bentuk awal dari organisasi manusia sebelum berkembang menjadi organisasi sosial, politik dan internasional. Kekerabatan didasarkan ikatan perkawinan, dari perkawinan akan lahir anak, cucu, lalu berkembang menjadi organisasi manusia dan didasarkan kepada pertalian darah. Sistem kekerabatan dan pertalian darah ini akan berkembang menjadi suku (clan) dan suku bangsa yang kemudian membentuk organisasi didasarkan kepada persamaan kebudayaan (Paz, 1997:7). Sistem kekerabatan pada masyarakat Desa Tanjung Medan bersifat patrilineal yang mengambil garis keturunan dari ayah. Sistem kekerabatan tersebut masih berlaku bagi mereka sampai sekarang ini. Sistem kekerabatan ini sudah berlangsung sejak lama, yang menyebabkan masyarakat di Desa Tanjung Medan menjadi keluarga yang luas yang tidak hanya terdiri dari satu suku bangsa saja. Dalam sistem perkawinan, mereka juga tidak mewajibkan keturunanketurunannya harus menikah dengan satu suku bangsa saja yang mayoritas dari mereka ber suku bangsa Mandailing tetapi mereka memberikan kebebasan kepada anak-anaknya yang telah dewasa untuk memilih dan menentukan pasangannya sendiri. Bagi mereka semua suku itu sama, asalkan mereka itu seiman dan saling suka. Sementara itu, kebanyakan dari masyarakat yang tinggal di Desa Tanjung Medan umumnya adalah beragama Islam. Sistem kekerabatan yang terjalin pada masyarakat Desa Tanjung Medan adalah berdasarkan sistem kekeluargaan. Oleh karena itu, setiap mengambil keputusan baik dalam hal apapun keluarga mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam hal perkawinan anak-anak mereka. Perkawinan bagi masyarakat desa Tanjung Medan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
dalam proses pelaksanaannya harus sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat mereka. Kebanyakan dari masyarakat desa Tanjung Medan menikah dengan perempuan atau laki-laki di luar wilayahnya, misalnya kaum laki-laki dari etnis Mandailing di Desa Tanjung Medan yang kebanyakan mendapatkan jodohnya di luar dari sukunya, yakni bersuku bangsa Jawa. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di Desa Tanjung Medan masih mempunyai hubungan persaudaraan satu sama lainnya meskipun terdiri dari beberapa etnis suku bangsa yang berbeda. Dalam sistem perekonomiannya, mereka tidak pernah menyangkut pautkan hubungan kekerabatan dengan sistem mata pencaharian. Misalnya saja, dalam pemilikan kebun ataupun lahan pertanian, setiap orang dalam keluarganya harus berusaha sendiri untuk memiliki lahan/ kebun yang nantinya akan mereka kelola sendiri agar tidak lagi tergantung dengan anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, pemilikan lahan/ kebun di Desa Tanjung Medan merupakan kepemilikan yang bersifat kekeluargaan dan berorientasi pada hubungan kekerabatan. Sementara itu, mata pencaharian utama penduduk desa Tanjung Medan adalah bertani. Para petani di desa Tanjung Medan juga masih memiliki hubungan persaudaraan yang erat, tetapi dalam hal ekonomi mereka tidak pernah memandang hubungan tersebut. Misalnya dalam hal kepemilikan lahan dan peralatan pertanian, jika ada petani yang tidak memiliki lahan mereka harus bekerja sebagai pekerja upahan. Petani yang tidak memiliki lahan dapat bekerja pada petani yang memiliki lahan yang luas sebagai tukang dodos atau perawat kebun. Untuk petani sawit yang bekerja sebagai pendodos akan mendapatkan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
bagian Rp.200; dari harga buah Kelapa Sawit per kilonya, dan selebihnya untuk pemilik lahan. Demi untuk kelangsungan hidup keluarga petani sawit tersebut, biasanya mereka harus menyanggupi sistem pembagian upah seperti itu, meskipun hubungan antara petani sawit kepada tauke terkadang masih ada hubungan saudara dari hasil perkawinan. Walaupun demikian, mereka tidak pernah mengeluh dan tidak pernah merasa dirugikan oleh para tauke yang juga dianggap sebagai pemilik modal, karena bagi mereka pekerjaan adalah pekerjaan, yang tidak boleh dikaitkan dengan sistem kekerabatan. Hal inilah yang membuat sistem kekerabatan yang terjalin selama ini tidak pernah terjadi konflik, jika pun terjadi konflik selalu dapat menyelesaikannya dengan jalan kekeluargaan atau musyawarah. 3.2 Hubungan Sosial Masyarakat Desa Tanjung Medan Manusia sebagai makhluk sosial harus dapat mempergunakan pikiran, perasaan dan kehendak agar dapat menyesuaikan diri serta berhadapan dengan lingkungan hidupnya. Untuk itu ia harus berhubungan dengan individu lain, baik di dalam keluarga maupun dengan kelompoknya. Hubungan yang terjadi antara individu dengan individu atau antara individu dengan kelompok yang menyangkut hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi dan juga mempunyai kesadaran untuk menimbulkan sikap tolong menolong sesama manusia. Dengan demikian hubungan sosial merupakan hubungan antara dua individu atau lebih yang melibatkan sikap, nilai maupun harapan di dalam mencapai kebutuhan sehari-hari. Hubungan sosial pada masyarakat desa Tanjung Medan terjadi berdasarkan sistem kekerabatan dan sistem kekeluargaan. Sistem kekerabatan yang terjalin selama ini membuat hubungan sosial mereka bertambah erat dan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
sangat mengutamakan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, seperti: nilai gotong royong dan rasa tolong menolong yang sangat tinggi meskipun, tidak semua masyarakat di desa Tanjung Medan bersuku bangsa Mandailing. Sebagai petani sawit, di antara mereka tidak pernah terjadi konflik dan sangat senang menjalani hidupnya yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi, hubungan sosial yang terjalin di antara mereka tidak didasarkan pada hubungan kerja sama dalam meningkatkan dan mengembangkan desa. Hal tersebut juga tunjukkan oleh kepala desa yang tidak memberikan kontribusi dalam membantu pengembangan desa dan juga tidak pernah tahu bagaimana kondisi dari masyarakatnya. Kurangnya partisipasi kepala desa terhadap lingkungan desa ini menuntut masyarakat yang tinggal di Desa Tanjung Medan untuk saling membantu guna mengembangkan dan merawat desa agar dapat bertahan hidup di masa yang akan datang. Adanya interaksi sosial yang terjalin pada masyarakat Desa Tanjung Medan membuat hubungan mereka menjadi sangat erat, meskipun kehidupan yang dijalani penuh dengan kesulitan khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Seperti yang diketahui kehidupan petani sangat diidentikkan dengan kemiskinan. Namun, walaupun demikian mereka tidak pernah berputus asa untuk terus dapat bertahan hidup, dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Desa Tanjung Medan, mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan adanya usaha mereka untuk terus dapat bertahan hidup membuat hubungan sosial yang terjalin semakin kuat. Mereka sadar hubungan yang terjalin selama ini memberikan manfaat yang cukup besar bagi kelangsungan hidup keluarga para petani Kelapa Sawit Rakyat. Manfaat tersebut dapat berupa Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
hubungan yang bersifat timbal-balik, yang kesemuanya itu hanya mereka dapatkan melalui hubungan sosial. Oleh karena itu, dalam menjalin suatu hubungan bermasyarakat di Desa Tanjung Medan, tidak pernah memandang status maupun derajatnya. Hubungan sosial yang terjalin pada masyarakat Desa Tanjung Medan juga termasuk pada hubungan antara keluarga yaitu hubungan antara suami dengan isteri, hubungan antara orang tua dengan anak dan hubungan antara anak dengan anak. Hubungan sosial yang terjalin antara suami dan isteri termasuk dalam hubungan yang bersifat ekonomis, mulai dari adanya sistem pembagian kerja dan mengurus anak khususnya dalam pendidikan. Adanya hubungan antara suami dan isteri dalam pembagian kerja melibatkan hubungan kerja sama sehingga membuat adanya hubungan yang harmonis dan saling pengertian antara mereka. Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak juga menimbulkan hubungan saling keterbukaan di antara mereka khususnya dalam pendidikan, dimana keluarga petani tidak memaksakan anaknya untuk memiliki pendidikan yang tinggi, karena kelak anak-anak dari para petani Kelapa Sawit Rakyat akan meneruskan pekerjaan orang tuanya yaitu sebagai petani. Sementara hubungan antara anak itu sendiri juga saling ada pengertian, dan tidak pernah mengeluhkan kondisi perekonomiannya yang selalu berada pada garis kemiskinan. Oleh karena itu, sang anak tetap berusaha agar kehidupan keluarganya dapat lebih baik dengan jalan mencari kehidupan yang lebih layak lagi dengan mengadu nasib ke kota. 3.3 Pertanian Kelapa Sawit Sebagai Mata Pencaharian Hidup. Kelapa Sawit merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara Negara Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
tersebut. Kelapa Sawit pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda. Bibit Kelapa Sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor Tenggara. Sebagian keturunan Kelapa Sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut telah diintroduksi ke Deli Serdang (Sumatera Utara) sehingga dinamakan varietas Deli Dura. Kelapa sawit juga merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang hingga saat ini diakui paling produktif dan ekonomis dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, misalnya kedelai, kacang tanah, kelapa, bunga matahari, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan minyak nabati lain, minyak Kelapa Sawit memiliki keistimewaan tersendiri, yakni rendahnya kandungan kolesterol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, vanaspati, lemak, dan lain-lain), tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan nonpangan (gliserin, sabun, deterjen, BBM, dan lain-lain) (Hadi, 2004:1-5). Hal terebut menyebabkan penjajah Belanda pada saat itu menerapkan sistem perkebunan Kelapa Sawit di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera. Diantara beberapa daerah yang paling besar produksi perkebuanan Kelapa Sawitnya adalah daerah Sumatera Utara, meliputi beberapa Kabupaten yaitu Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang dan lainnya. Pada saat ini, daerah Kabupaten Labuhan Batu telah menjadi daerah penghasil produksi buah Kelapa Sawit terbesar di Provinsi Sumatera Utara. Sementara itu, lokasi penelitian akan diadakan di salah satu desa dari Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu (Sekarang Labuhan Batu Selatan) yaitu desa Tanjung Medan. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Bercocok tanam mengelola lahan/tanah atau yang biasa disebut dengan bertani merupakan mata pencaharian utama yang dilakoni oleh penduduk desa Tanjung Medan. Kegiatan bertani dilakoni dengan peralatan-peralatan yang masih sangat tradisional dan dengan luas lahan perorangan yang tidak begitu luas yang rata-rata hanya mencapai 1-2 Ha. Dengan luas tanah yang sedemikian para petani dapat menanam pohon Kelapa Sawit 135-270 pokok, dengan jarak tanam 4x6 m. Untuk luas 1 ha biasanya mereka dapat memanen buah Kelapa Sawit berkisar 1 ½ ton sekali panen (untuk kebun sawit dengan perawatan yang baik), dalam durasi waktu panen 2 kali sebulan. Terkadang adapula di antara petani yang melakukan 3 kali proses pemanenan buah Kelapa Sawit dalam sebulan. Hal tersebut dilakukan karena keperluan konsumsi rumah tangga yang mendesak. Akan tetapi, tidak semua kebun Kelapa Sawit dapat menghasilkan jumlah produksi sawit per hektarnya 1 ½ ton, semuanya tergantung pada tingkat perawatan dan pengelolaan dari kebun Kelapa Sawit itu sendiri. Sementara itu, hasil yang didapatkan dari perkebunan Kelapa Sawit akan dijual dengan harga yang berbeda yang sewaktuwaktu bisa saja berubah sesuai dengan keadaan pasar. Harga buah Kelapa Sawit pada tahun 2007 mencapai Rp.1.700 per kg. Apabila dikalkulasikan dengan luas tanah 1 Ha dan produksi panennya sekitar 1 ton, maka para petani akan menerima pendapatan sebesar Rp.1.700.000,00 per sekali panen. Namun, kebanyakan para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan melakukan proses panen produksi sebanyak 3 kali dalam sebulan. Meskipun mereka memiliki luas tanah mencapai 1-2 Ha, tetapi produksi panennya tidak akan mencapai 1 ½ ton per hektarnya. Hal ini di akibatkan oleh sistem pemanenan yang tidak sesuai dengan masa panennya. Mereka melakukan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
pemanenan buah Kelapa Sawit tidak sesuai dengan jadwal panen seharusnya. Sistem panen yang demikian dapat menyebabkan kekerdilan pada pohon Kelapa Sawit, yang membuat pohon atau batang menjadi kecil dan runcing sehingga mengakibatkan terhambatnya pembuahan pada buah Kelapa Sawit (dikenal dengan istilah trek buah). Apabila telah terjadi trek buah maka produksi panen akan menyusut. Penyusutan dapat mencapai jumlah yang sangat besar, misalnya dalam 1 ha yang semulanya dapat menghasilkan 1 ½ ton, kemungkinan dapat menyusut hingga 400-600 per kg. Seperti yang diungkapkan oleh informan Muslim Siregar (30 tahun) : “Kalo udah trek buah, makin sedikitlah buah yang masak. Biasanya pendapatan kami sekali panen terkadang dapatnya 3 ton, tapi karna trek buah 700 kg lah yang ditimbang”. (wawancara dengan informan, Muslim Mei 2009).
Pekerjaan sebagai petani tidak hanya dilakukan oleh kepala keluarga ataupun yang disebut sebagai suami (ayah), tetapi anak-anak mereka juga ikut berperan dan membantu orang tuanya dalam bercocok tanam meskipun pengetahuan yang mereka miliki masih sangat terbatas. Sementara itu, isteri mereka kebanyakan menghabiskan waktunya untuk mengurusin pekerjaan rumah tangga. Bertani juga merupakan salah satu mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah daratan yang hidupnya hanya tergantung kepada alam. Hal tersebut juga terjadi dikarena sulitnya bagi mereka mengentaskan kemiskinan yang dihadapi ditambah lagi dengan ketidakpedulian pemerintah daerah dengan kehidupan masyarakatnya. Kegiatan pertanian tersebut
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
berlangsung sebagai kegiatan rutinitas masyarakat petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat desa Tanjung Medan sendiri sudah berpuluh-puluh tahun hidup dari hasil pertanian. Di mulai dari Penjajahan Jepang sampai sekarang ini, sektor pertanian merupakan kontribusi utama dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Adapun jenis pertanian yang mendominasi sistem mata pencaharian mereka adalah sektor perkebunan dengan jenis tanaman Kelapa Sawit. Menurut data statistik dari kelurahan Tanjung Medan disebutkan bahwa luas tanaman perkebunan rakyat di desa Tanjung Medan pada tahun 2007 paling didominasi oleh perkebunan Kelapa Sawit dengan luas 908 ha dengan produksi panen mencapai 10.466 ton/tahun. Jumlah produksi urutan kedua terbesar setelah desa Tanjung Mulia yang menempati urutan pertama dengan luas 5.115 ha dan produksi panennya mencapai 62.250 ton/tahun dari 15 desa yang ada di Kecamatan Kampung Rakyat. Pekerjaan bertani Kelapa Sawit ini dilakukan oleh masyarakat desa Tanjung Medan dan hidupnya hanya tergantung kepada hasil kebunnya, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, peralatan yang mereka gunakan seperti dodos, egrek, gancu, tojok, parang panjang, babat, sepeda dorong, pupuk serta sistem pengetahuan yang mereka miliki tentang bagaimana cara mereka merawat kebunnya. Sistem pengelolaan yang mereka lakukan dengan peralatan tersebut di atas merupakan sistem pengelolaan yang masih bersifat sederhana/tradisional.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Menurut Ellis (1988) dalam bukunya Peasant Economics, Farm Households And Agrarian Development 16 mengemukakan bahwa ekonomi subsisten meliputi tiga unit : 1. Aktivitas ekonomi adalah sebagai pekebun (farmer) 2. Tanah sebagai basis ekonomi 3. Pekerja berasal dari keluarga yang tidak dibayar
Meskipun dalam kenyataannya sistem perkebunan tergantung pada ekonomi pasar, akan tetapi ketiga karakteristik masyarakat subsisten di atas masih tampak dalam kehidupan masyarakat desa Tanjung Medan khususnya bagi mereka yang bekerja sebagai petani Kelapa Sawit Rakyat. 3.3.1 Sistem Pemilikan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia mulai berkembang pesat pada tahun 1969. Pada saat itu luas areal perkebunan Kelapa Sawit adalah 119. 500 hektar dengan total prosuksi minyak sawit mentah (CPO dan KPO) 189. 000 ton per tahun. Pada tahun 1988 luas areal perkebunan Kelapa Sawit bertambah menjadi 862. 859 hektar dengan produksi CPO sebanyak 1. 713. 000 ton, dan pada tahun 1995 luasnya mencapai 2.025 juta hektar, terdiri dari 659 ribu hektar perkebunan rakyat (33 %), 404 ribu hektar perkebunan negara/PTPN (20%), dan 962 ribu hektar perkebunan besar swasta nasional (47%), dengan total produksi minyak Kelapa Sawit 4.480.000 ton. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring semakin banyaknya investor yang menanamkan modal secara besar16
Lht. M. Rawa El Amady dalam pemikiran ekonomis agraris: suatu pengantar (sumber elektronik, 21 Maret 2008 “pemikiran-ekonomi-agraris-suatu studi” http://www.smile-rawa.blosspot.com) Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
besaran pada perkebunan Kelapa Sawit di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan, Jambi, Bengkulu dan kawasan tengah maupun timur Indonesia. Desa Tanjung Medan merupakan salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara yang juga memiliki sistem kepemilikan lahan persis sedemikian. Kepemilikan lahan di bagi atas beberapa
pemilik
yaitu
lahan
Perkebunan
Rakyat,
Perkebunan
Milik
Negara/PTPN, dan Perkebunan Besar Swasta Nasional/PBSN. Perkebunan Kelapa Sawit di daerah Kampung Rakyat di kuasai oleh pihak perkebunan besar swasta/perorangan dengan jumlah 13 perusahaan. Adapun perusahaan-perusahaan perkebunan Kelapa Sawit tersebut antara lain : Perusahaan Unggul Mas Wisesa, Mujur Lestari, Herfinta, Abdi Budi Mulya, Supra Matra Abadi, Gunung Selamat Lestari, Nubika Jaya, Indo Sepadan Jaya, Anak Tasik, dan Milano, PT. Tolan Tiga dan PT. Perkebunan Perlabian. Sementara selebihnya lahan dimiliki oleh petani Kelapa Sawit Rakyat yang luas lahannya mencapai 10. 229 hektar. Pada saat ini banyak diantara warga masyarakat yang memiliki modal besar menginvestasikan uangnya ke lahan perkebunan. Uang hasil pendapatan dari produksi sawitnya dibelikan kembali untuk areal perkebunan. Sehingga di dalam kepemilikan lahan orang yang memiliki modal besar akan tetap menjadi penguasa dan pemilik lahan yang lebih luas. Terkait dengan struktur pemilikan lahan tersebut maka yang tampak adalah perbedaan dan penggolangan diantara para petani Kelapa Sawit itu sendiri. Perbedaan ini bersifat stratifikasi dan memunculkan kelas-kelas/lapisan-lapisan sosial yang menunjukkan keberadaan daripada status sosial seseorang di dalam kehidupan masyarakatnya.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Di desa Tanjung medan ada terdapat dua golongan petani Kelapa Sawit sebagai akibat dari struktur kepemilikan lahan tersebut yaitu : (1) Petani lapisan atas (petani modern atau farmer); merupakan petani Kelapa Sawit yang memiliki akses pada sumber daya alam, kapital, dan mampu merespon teknologi serta pasar dengan baik, dan juga memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan (2) Petani lapisan bawah (petani rakyat); sebagai golongan mayoritas di pedesaan dan merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital), mereka hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja dan luas tanah/kebun hanya rata-rata 2 ha. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani Kelapa Sawit tersebut terlibat dalam hubungan kerja yang kurang seimbang. Sehingga dalam sistem kepemilikan lahan yang seperti ini akan memunculkan “hukum rimba” siapa yang kuat dialah yang menang. 3.3.2 Sistem Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan Sistem pengelolaan tanaman merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah atau memanipulasi lingkungan hidup tanaman menjadi suatu keadaan yang dapat memacu pertumbuhan dan produksi agar lebih optimal dan berkesinambungan, termasuk teknik-teknik dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap tanaman itu sendiri. Masyarakat petani di desa Tanjung Medan memiliki sistem pengelolaan terhadap lingkungan sumber daya alam yang mereka miliki. Mereka mengelola ataupun memanfaatkan sumber daya yang tersedia menjadi suatu kegiatan yang dapat memberikan penghidupan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan. Dalam hal ini, bercocok tanam merupakan kegiatan yang telah menjadi sistem mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Mereka bekerja keras mengelola tanah dengan sistem pengetahuan yang telah ada yang mereka dapatkan dengan proses belajar. Para petani di desa Tanjung Medan pada umunya mengelola tanah untuk bercocok tanam dengan jenis tanaman yaitu Kelapa Sawit. Menanam Kelapa Sawit diyakini akan memberikan penghasilan yang cukup bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomis keluarga. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan dalam mengelola perkebunan Kelapa Sawitnya yaitu, penyedian lahan, pembibitan, penanaman bibit Kelapa Sawit, perawatan tanaman, panen, serta peralatan-peralatan yang digunakan. 3.3.2.1 Peralatan yang digunakan oleh Petani Kelapa Sawit Rakyat Alat pertanian utama yang digunakan oleh petani Kelapa Sawit di Desa Tanjung Medan untuk mengelola perkebunan Kelapa Sawitnya masih sangat tradisional yakni dengan menggunakan peralatan seperi ; parang panjang untuk menebas kayu atau membersihkan lahan, alat dodos untuk memetik buah dari pokoknya yang masih rendah yaitu kira-kira masih setinggi 2-3 meter. Setelah pohon Kelapa Sawit mencapai ketinggian lebih dari 3 meter, maka alat yang digunakan adalah egrek yaitu sejenis parang yang bentuknya mirip celurit atau sabit. Adapun peralatan lainnya adalah gerobak sorong, yang digunakan untuk mengangkut tandan buah Kelapa Sawit yang sudah dipetik dari pohonnya. gerobak sorong ini sangat membantu bagi para petani Kelapa Sawit, disamping untuk menghemat tenaga mereka, alat ini juga dapat memudahkan petani sawit untuk mengangkut tandan buah Kelapa Sawit sampai ke pinggir pasar. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sedangkan untuk menggunakan sepeda bermotor sangat sulit untuk dilakukan karena kondisi jalan yang lembab dan berlubang. Meskipun, alat tangkap yang digunakan masih sangat sederhana (tradisional), namun hasil panen yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Gambar.1. Peralatan bertani Kelapa Sawit Di samping peralatan yang telah disebutkan di atas, ada beberapa hal lagi yang penting untuk dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit yaitu penggunaan pupuk sebagai alat untuk merangsang pertumbuhan Kelapa Sawit dan untuk merangsang pembuahan. Di dalam perkebunan Kelapa Sawit ada beberapa jenis pupuk yang sering digunakan diantaranya adalah pupuk NPK, UREA, TSP, MOP dan lain sebagainya. Pupuk UREA digunakan petani Kelapa Sawit untuk merangsang pertumbuhan akar dan daun pada tanaman Kelapa Sawit. Sedangkan MOP mereka gunakan untuk merangsang pertumbuhan batang dan juga daun tanaman Kelapa Sawit. Sementara itu, untuk merangsang pembuahan agar cepat masak para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan menggunakan pupuk TSP. Nama lain untuk pupuk TSP ini biasanya mereka sebut dengan pupuk buah. 3.3.2.2 Sistem Perawatan Tanaman Kelapa Sawit.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Tanaman Kelapa Sawit yang tumbuh di areal perkebunan secara umum dikategorikan dalam dua kelompok umur, yaitu kategori tanaman belum menghasilkan (TBM) dan kategori tanaman menghasilkan (TM). TBM adalah kelompok umur di mana tanaman baru ditanam hingga dipanen untuk pertama kali. Sedangkan TM meliputi kelompok umur di mana tanaman mulai dipanen untuk pertama kali hingga secara ekonomis tidak mampu berproduksi lagi. Jadi, perawatan TBM pada Kelapa Sawit dimulai sejak bibit mulai ditanam hingga tanaman berumur kurang lebih 36 bulan. Namun, untuk sampai pada tahap TBM dan TM, para petani terdahulu melakukan pembibitan dan sistem perawatannya. Pembibitan pada perkebunan Kelapa Sawit merupakan kegiatan menanam kecambah (dari biji) pada suatu media tanam (tanah dalam polybag), sehingga bibit tersebut siap untuk ditanam secara permanen di areal perkebunan (setelah bibit berumur 12 bulan). Pembibitan pada perkebunan Kelapa Sawit yang biasa dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dapat dibagi menjadi dua tahap (double stage). Tahap pertama diawali dengan menanam kecambah Kelapa Sawit ke dalam tanah pada kantong plastik (polybag) kecil hingga berumur 3 (tiga) bulan. Sedangkan tahap kedua diawali dengan menanam bibit yang sudah berumur 3 (tiga) bulan (pindahan dari tahap awal) ke dalam polybag yang lebih besar hingga bibit bisa ditanam di areal perkebunan, atau kirakira 9 (sembilan) bulan kemudian.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Gambar.2 Pembibitan pada usia 3 minggu
Gambar.3 Pembibitan pada usia 4 bulan Dalam pemilihan bibit, biasanya masyarakat petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan menggunakan dua teknik, yang pertama membeli bibit yang masih kecambah dalam bentuk bungkusan dari toko-toko perkebunan, dan yang kedua membuat kecambah sendiri dengan melakukan pembusukan terlebih dahulu pada buah Kelapa Sawit. Adapun tata cara dalam membuat kecambah sendiri
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
yang biasa dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan 17 adalah dengan berbagai tahap sebagai berikut : a. Penyeleksian
buah
Kelapa
Sawit
dari
pohonnya
dengan
pertimbangan usia tanam Kelapa Sawit yaitu kira-kira 13-20 tahun ke atas, memperhitungkan berat buah Kelapa Sawit seperti ukuran buah lebih besar, ukuran biji kecil tetapi mimiliki daging yang lebih tebal. b. Buah Kelapa Sawit yang telah terseleksi selanjutnya direndam kedalam air hingga menutupi seluruh permukaan Kelapa Sawit, dan biarkan sampai brondolan (biji sawit) terlepas dari tandannya serta mengelupas kulitnya. c. Biji yang telah terkupas dari kulitnya kemudian di tanam dipermukaan tanah dengan melapisi permukaan bawah dan atas tanah dengan pasir. d. Setelah itu, menunggu proses pertumbuhan tunas tanaman Kelapa Sawit dan terakhir adalah proses pemindahan kecambah ke polybag. Disamping itu, adapula diantara petani Kelapa Sawit yang menanam bibit Kelapa Sawit ke dalam polybag setelah usia tanaman tersebut mengeluarkan daun dua. Biasanya hal ini dilakukan karena ingin instant saja dan tidak cukup modal untuk membeli bibit kecambah. Dalam hal pembibitan, yang terpenting untuk dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit secara rutinitas adalah proses perawatan.
17
Hasil dari temuan dan keterangan para informan masyarakat Petani Kelapa Sawit desa Tanjung Medan tanggal 26 Mei 2009. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Karena perawatan akan menentukan kualitas dan kuantitas dari buah Kelapa Sawit. a. Perawatan Petani terhadap Pembibitan Kelapa Sawit Pada prinsipnya, perawatan tahap pertama bertujuan untuk menjaga bibit agar selalu dalam kondisi yang memungkinkan dan tumbuh dengan cepat. Dengan demikian, dalam waktu paling lama tiga (3) bulan bibit sudah dapat dipindahkan ke tahap kedua. Perawatan yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penyiraman Penyiraman merupakan tindakan pertama yang dilakukan terhadap kecambah yang baru ditanam. Jumlah air yang diperlukan untuk penyiraman adalah 1/4-1/2 liter per hari, dilakukan rutin setiap hari. 2. Seleksi Pertama Setelah bibit berumur dua bulan atau setelah menginjak minggu kelima, bibit yang tumbuh dan yang mati sudah dapat dibedakan. Demikian juga, bibit yang tumbuh normal dan yang tidak normal. Pada fase ini, biasanya mereka menyeleksi bibit yang bertujuan untuk mendapatkan bibit yang baik, dan apabila ditemukan bibit yang mati dan bibit yang tumbuh tidak normal maka akan segera dibuang. 3. Pemupukan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Tujuan dari pemupukan adalah untuk mempertahankan kesuburan tanah yaitu dengan memberikan pupuk ke dalam tanah sebagai pengganti unsur hara yang telah diambil oleh tanaman. Kegiatan pemupukan di perkebunan Kelapa Sawit memegang peranan penting karena pemupukan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap produksi tanaman Kelapa Sawit itu sendiri. Pemupukan untuk tanaman Kelapa Sawit dilaksanakan sesuai dengan tahapan perkembangan tanaman yaitu pembibitan, tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan. Berikut ini adalah tata cara pemakaian pupuk yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan :
Tabel 11 Pemberian Pupuk pada TanamanKelapa Sawit Berdasarkan Umur Tanaman (Per Minggu) Pemberian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
Umur (Minggu) 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Pupuk Urea N-P-K-Mg N-P-K-Mg N-P-K-Mg N-P-K-Mg N-P-K-Mg N-P-K-Mg N-P-K-Mg N-P-K-Mg
Dosis (gram) 200/50 liter air 200/50 liter air 225/50 liter air 225/50 liter air 250/50 liter air 250/50 liter air 300/50 liter air 300/50 liter air 300/50 liter air 200 Urea 2.050 N-P-K-Mg
Sumber : Data diolah dari keterangan petani Kelapa Sawit Rakyat Keterangan: a. N-P-K-Mg = 15 – 15 – 6 – 4 dan Urea dilarutkan dalam air. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
b. Dosis tersebut untuk 1.000 bibit (polybag) atau setengah dari kapasitas bedengan c. Pupuk diberikan dengan cara disiramkan menggunakan alat siram (gembor). d. Pada minggu kelima diberikan pupuk daun (Byfolan atau sejenisnya) sesuai dosis yang tertera pada kemasan. Tabel 12 Pemberian Pupuk pada TanamanKelapa Sawit Berdasarkan Umur Tanaman (Per Bulan) Pemberian Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9
Umur (bulan) 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Perbandingan Komposisi N-P-K-Mg 15-15-6-4 15-15-6-4 15-15-6-4 12-12-17-2 12-12-17-2 12-12-17-2 12-12-17-2 12-12-17-2 12-12-17-2
Takaran (gram/bibit) 20 20 20 30 30 30 30 30 40
Sumber: Data diolah dari petani Kelapa Sawit Rakyat desa Tanjung Medan Catatan: a.
Pupuk diberikan dengan cara ditaburkan di sekeliling batang di dalam polybag.
b.
Apabila terdapat gejala defisiensi boron, tanaman dapat diberi larutan borate. Borate seberat 40 gr yang dilarutkan dalam 200 liter air dapat diaplikasikan pada 500 bibit.
Kebanyakan pada tanaman Kelapa Sawit usia 2-3 tahun semenjak usia tanam telah memasuki masa berbuah. Pada masa berbuah ini jenis pupuk yang digunakan oleh para petani sawit di desa Tanjung Medan adalah jenis pupuk NPK, UREA, dan MOP. Pupuk MOP digunakan pada saat tanaman Kelapa Sawit telah Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
menghasilkan buah pasir yaitu buah Kelapa Sawit yang masih kecil kira-kira beratnya berukuran 1-5 kg. Akan tetapi, jika tanaman telah menghasilkan buah yang cukup besar yaitu kira-kira 5 kg ke atas, maka biasanya jenis pupuk yang mereka gunakan adalah jenis pupuk NPK yang berfungsi untuk merangsang pembuahan. Selain itu, digunakan juga jenis pupuk TSP yang fungsinya untuk mempercepat proses pematangan buah Kelapa Sawit. Banyaknya dosis pemupukan pada usia tanaman ini biasanya ½ - 2 kg untuk setiap pohonnya. Pemupukan dilakukan tiga bulan sekali untuk usia tanaman yang telah menghasilkan. Sementara itu, harga pupuk dalam per karung pada tahun 2008 untuk jenis NPK Cap Ayam mencapai Rp.390.000,-, adapula jenis pupuk NPK dengan merek yang berbeda harganya Rp.380.000,-. Sementara itu, untuk jenis pupuk TSP harganya kira-kira sekitar Rp.285. 000,-. Sistem pemupukan yang mereka lakukan seperti di atas biasanya mengacu pada aturan pakai atau dosis yang tertera pada kemasan pupuk tersebut, meskipun terkadang sering juga mereka memiliki alternatif sendiri dalam memberikan dosis pupuknya. Keadaan seperti ini biasanya dilakukan karena keterbatasan pupuk yang mereka miliki. Karena untuk mendapatkan pupuk mereka memerlukan biaya yang cukup ekstra mahal. 4. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pengendalian hama dan penyakit tanaman hanya dilakukan jika terdapat gejala serangan. Caranya dengan menyemprotkan racun serangga (pestisida) misalnya, Tendion atau Parathion dengan dosis 2-6 cc per liter air untuk 1.000 tanaman. 5. Penyiangan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dalam penanaman pohon Kelapa Sawit proses penyiangan tergantung pada kondisi lahan. Apabila areal perkebunan terdapat jenis rumput yang tebal, misalnya gulma maka petani akan melakukan proses penyiangan dan pemeliharaan tanaman yang cukup menghabiskan banyak tenaga. Pada masyarakat petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan proses penyiangan dikenal dengan sebutan membabat yang artinya membersihkan lokasi areal perkebunan. Hal yang terpenting dalam penyiangan ini adalah penyiangan pada sekitar piringan pohon Kelapa Sawit agar selalu bersih dari rumput-rumput yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman Kelapa Sawit. Proses penyiangan yang biasanya dilakukan oleh para petani rakyat di desa Tanjung Medan menggunakan peralatan sederhana seperti sabit, babat, dan parang. Apabila tanaman buah Kelapa Sawit tersebut telah mencapai usia yang cukup dewasa atau sudah ditanam di areal perkebunan maka hanya beberapa fase perawatan saja yang perlu mereka lakukan yaitu pemupukan dan penyiangan. b. Perawatan
Petani
Terhadap
Tanaman
Kelapa
Sawit
Belum
Menghasilkan (TBM) 1. Pengendalian Tumbuhan Liar atau Gulma Perawatan yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan terhadap tanaman sawit yang belum menghasilkan adalah pengendalian gulma atau tumbuhan-tumbuhan sejenis hama yang menggangu tanaman Kelapa Sawit. Pengendalian terhadap berbagai tanaman liar tersebut biasanya dilakukan oleh para petani dengan dua cara yaitu : a) Pengendalian Secara Fisik Pengendalian tumbuhan liar atau gulma secara fisik dapat dilakukan dengan menebas menggunakan parang, arit, babat, atau alat sejenis. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Tinggi gulma atau tanaman liar yang boleh tertinggal tidak lebih dari 20 cm dan jika bisa berjenis rumput. Gulma ataupun tanaman liar pada areal perkebunan yang masih baru atau areal yang terbuka pada umumnya tumbuh sangat cepat, terutama pada musim hujan, sehingga rotasi pengendaliannya harus diatur menyesuaikan dengan iklim, umur tanaman, dan percepatan tumbuhnya. Pada areal yang masih terbuka TBM 1 hingga TM 2, frekuensi atau rotasi penebasan gulma harus lebih sering mereka lakukan dibandingkan pada areal TM 3 ke atas, karena pada TM 3 (tanaman berumur di atas 36 bulan ke atas) daun Kelapa Sawit telah menghalangi sinar matahari pada permukaan tanah sehingga gulma di bawahnya otomatis tidak dapat tumbuh. b) Pengendalian Secara Kimiawi Pengendalian tumbuhan liar dan sejenisnya di gawangan juga dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, berupa herbisida, misalnya Gramoson, Paracol, Roud-up, dan lain-lain. Jenis bahan kimia yang trakhir ini merupakan jenis racun pembasmi hama paling populer digunakan oleh para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan. Aplikasinya dilakukan dengan cara menyemprotkan herbisida yang telah dicampur air dalam perbandingan tertentu sesuai anjuran atau kebutuhan. Diantara kedua teknik pengendalian tehadap tumbuhan liar tersebut, yang paling banyak digunakan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan adalah teknik yang pertama karena lebih sedikit modal yang harus di keluarkan oleh para petani. Dalam hal ini maksimalisasi tenaga kerja keluarga sangat berperan besar terhadap sistem pengendalian tumbuhan liar atau gulma. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
2. Pengendalian Tanaman Liar atau Gulma di Piringan (Memiringi) Adalah penyiangan gulma di sekeliling bagian tanaman membentuk radius kurang lebih satu setengah meter dalam bentuk lingkaran. Tujuannya adalah membuat tanaman tampak bersih dan tidak terganggu oleh berbagai tumbuhan, memudahkan pemberian pupuk, memudahkan pengamatan atau kontrol dari jalur kontrol, dan juga untuk memudahkan pemungutan buah dan brondol pada tanaman Kelapa Sawit produktif. 3. Pembuatan Jalur Kontrol (Gawangan) Jalur kontrol merupakan jalan yang dibuat di antara barisan tanaman dan berseling satu jalur di antara empat barisan. Pembuatan jalur kontrol ini oleh para petani Kelapa Sawit rakyat desa Tanjung Medan cukup dilakukan dengan menyiangi gulma hingga benar-benar bersih. Lebar jalur panen biasanya satu (1) meter dan panjangnya sama dengan panjang barisan tanaman yang ada pada masing-masing petak areal. Fungsi jalur kontrol tersebut adalah untuk mengawasi petak areal secara keseluruhan, meliputi keadaan tanah, pertumbuhan tanaman liar, dan kegiatan pekerjaan. 3. Pemupukan Pupuk yang diberikan pada TBM dimaksudkan untuk memacu dan menyempurnakan pertumbuhan vegetatif (daun, batang, dan akar) sehingga pada umur 6 bulan buah sudah dapat dipanen. Pupuk yang diberikan biasanya jenis UREA, TSP, atau SP-36 dengan dosis tertentu sesuai usia tanaman. Selain jenis pupuk tersebut, para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan juga menggunakan pupuk MOP, TSP/SP-36, Borate, dan Kieserite. 4. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dalam penangan hama dan penyakit tanaman, petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan menggunakan cara-cara mekanis yaitu misalnya terhadap serangan hama ulat api, kebanyakan dari petani memungut ulat satu persatu dari daun tanaman Kelapa Sawit. Akan tetapi, jika tinggi pohon tanaman sudah tidak bisa terjangkau maka penanggulangan akan dilakukan secara kimiawi yaitu dengan menyemprotkan insektisida, misalnya Savin, atau Decis dan Sherpa. Namun, kecil kemungkinan bagi para petani rakyat untuk melakukan penyemprotan insektisida karena membutuhkan biaya yang cukup mahal. c. Perawatan Petani Terhadap Tanaman Sawit Menghasilkan (TM) Perawatan petani terhadap tanaman Kelapa Sawit yang telah menghasilkan (TM) hampir persis sama dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya terhadap perawatan tanaman Kelapa Sawit belum panen (TBM). Hanya saja perlu ditambahkan dengan pembuatan Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) dengan ukuran yang sederhana yaitu 5x5 m. Fungsi TPH adalah sebagai tempat mengumpulkan Tandan Buah Segar (TBS) dari tiap jalur kontrol. Sehingga mempermudah para petani untuk mengangkut buah Kelapa Sawit yang telah di petik dari pohonnya.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Gambar.4 Perkebunan Kelapa Sawit yang telah menghasilkan Pada gambar di atas dapat dilihat jenis tanaman Kelapa Sawit yang menghasilkan dan tampak sangat bersih dari gulma. Sehingga para petani dapat lebih mudah dalam melakukan proses pemanenan. 3.3.2.3 Panen dan Sistem Pemasaran Kelapa Sawit Dalam budi daya pertanian, panen merupakan kegiatan puncak yang ditunggu-tunggu karena dari panen itulah petani memperoleh keuntungan. Pada perkebunan Kelapa Sawit milik rakyat, panen merupakan tahap akhir dari penggelolaan perkebunan, karena TBS langsung dijual ke pabrik atau ke kebun inti di sekitarnya. Proses panen yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat meliputi 3 (tiga) kegiatan utama yang saling terkait, yaitu ; pertama, memetik atau memotong tandan buah yang telah masak ; kedua, mengumpulkan brondolan di sekitar batang dan membawanya bersama TBS yang telah dipanen ke TPH ; ketiga, melakukan proses transaksi penjualan dengan pihak agen atau tauke. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sedangkan alat yang akan digunakan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat dalam kegiatan panen adalah sebagai berikut : a. Dodos, yaitu alat pemotong tandan yang digunakan untuk memanen buah Kelapa Sawit pada kelompok umur TM 1-TM 5. b. Egrek atau arit bertangkai panjang, digunakan untuk memotong tandan buah Kelapa Sawit pada kelompok umur TM 6 ke atas. c. Gancu, merupakan perlengkapan panen yang bentuknya menyerupai kail bertangkai, digunakan untuk mengangkat dan mengumpulkan TBS. d. Keranjang dan alat pikul, digunakan sebagai wadah untuk memikul atau membawa TBS keluar dari petak areal. e. Gerobak dorong, digunakan sebagai pengganti keranjang atau alat pikul dalam membawa TBS. Gerobak dorong ini memiliki roda tiga dan digunakan pada areal perkebunan datar. f. Batu asah, yaitu berguna untuk mengasah dodos atau egrek agar tampak lebih tajam.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Gambar.5 Petani Kelapa Sawit melakukan pemanenan Sementara itu, setelah proses pemanenan selesai maka biasanya para petani Kelapa Sawit pergi kembali pulang ke rumah masing-masing. Para petani akan memberikan informasi kepada agen atau Tauke bahwa mereka telah melakukan panen sawit di kebunnya. Dari informasi itu akan ditentukan jam berapa pihak tauke akan pergi ke lahan kebunnya untuk menimbang hasil panen sawit mereka.
Gambar.6 Hasil Kelapa Sawit yang telah di timbang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Namun, ada juga diantara para petani yang mengangkut sendiri hasil panennya dan segera mengantarkannya langsung ke rumah agen atau tauke. Hal ini disebabkan lahan perkebunan Kelapa Sawit milik mereka tidak dapat dimasuki oleh jenis kendaraan beroda empat atau truk milik tauke. 3.3.2.4. Jam Kerja. Para petani di Desa Tanjung Medan biasanya pergi ke sawah atau ladang dari pukul 08.00 WIB. Menjelang saat zhuhur sekitar pukul 12.00 WIB biasanya mereka pergunakan untuk beristirahat, adapun sebahagian dari mereka yang pulang ke rumah untuk kembali berkumpul bersama keluarga dan makan bersama. Setelah beristirahat, sekitar pukul 14.00 WIB, mereka kembali ke kebun untuk melihat tanaman sawitnya yang telah ditanam pada saat pagi tadi. Namun, mereka tidak pernah berlama-lama, karena mereka harus kembali lagi ke rumah untuk berkumpul dan melakukan aktivitas lainnya bersama-sama. Terkadang, jam kerja para petani sawit di Desa Tanjung Medan juga tidak menentu, ada sebahagian diantara mereka yang bekerja mulai pukul 10.00 WIB atau bahkan ada yang mulai bekerja di kebunnya pada sore hari yakni pada pukul 15.00 WIB. Hal ini dilakukan karena dalam perawatan kebun Kelapa Sawit tidak memerlukan rutinitas kerja yang seperti biasanya yang dilakukan oleh petanipetani lainnya. Biasanya, hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan petani Kelapa Sawit mencakup: 1. Pemotongan rumput 2. Pembersihan piringan Kelapa Sawit, dan 3. Pemupukan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sistem perawatan yang demikian, berdasarkan keterangan dari beberapa informan tidak membutuhkan pengawasan ataupun jam kerja yang bersifat rutinitas. 3.3.2.5. Kebutuhan Keluarga Petani Kelapa Sawit. Kebutuhan ekonomi masyarakat di Desa Tanjung Medan mengarah pada kebutuhan yang bersifat primer (makan, minum, pakaian serta perumahan) dan juga kebutuhan yang bersifat sekunder (alat-alat dan perabot). Selain kebutuhan ekonomi tersebut masyarakat di Desa Tanjung Medan juga memiliki kebutuhan lain yang lebih penting yaitu kebutuhan petani Kelapa Sawit dalam membeli pupuk, membeli pembasmi hama (racun jenis rond-uf) dan membeli peralatan kerja, seperti parang panjang atau babat, dodos, egrek dan gerobak dorong, serta pengetahuan mereka tentang berkebun. Ada beberapa jenis pupuk yang biasa mereka gunakan yaitu pupuk N-P-K, TSP, UREA dan MOP. Dari keterangan petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan, harga pupuk N-P-K cap ayam pada tahun 2007 berkisar Rp.235.000/karung, dan pada tahun 2008 naik menjadi Rp.380.000/karung. Adapula jenis N-P-K lain yang harganya hampir tidak jauh berbeda, hanya lebih murah sedikit yaitu Rp.380.000/karung. Sedangkan untuk jenis pupuk TSP pada tahun 2007 berada pada level Rp.195.000/karung, dan pada tahun 2008 naik menjadi Rp.285.000/karung. Sedangkan kebutuhan tanaman Kelapa Sawit terhadap pupuk cukup banyak. Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa ratarata para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan memberikan pupuk terhadap tanaman Kelapa Sawitnya yang telah berumur 1 tahun ke atas adalah 2
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kg/batang dengan selang waktu pemberian pupuk kembali adalah 3 bulan kemudian. Dalam satu hektar rata-rata terdapat 125 pohon Kelapa Sawit dan menurut keterangan mereka, banyaknya pupuk yang terhabiskan mencapai 1 karung lebih. Sementara itu, rata-rata lahan yang dimiliki oleh petani Kelapa Sawit Rakyat desa Tanjung Medan adalah 2 ha, jika dikalkulasikan terdapat kira-kira 250 batang Kelapa Sawit dan akan menghabiskan 2 atau 3 karung dalam durasi waktu per 3 bulan. Apabila dikalikan dengan jumlah harga pupuk Kelapa Sawit yang mencapai Rp.235.000 (tahun 2007) dan Rp.285.000 (tahun 2008) maka diperoleh biaya yang harus dikeluarkan petani Kelapa Sawit per tiga bulannya sebesar Rp.235.000 (harga pupuk N-P-K tahun 2007) x 3 (banyaknya pupuk dalam hitungan karung) = Rp.705.000/3 bulan (tahun 2007) dan Rp855.000/3 bulan (tahun 2008). Akan tetapi, harga pupuk tersebut juga tidak menentu terkadang harga dapat turun dan bisa pula naik. Selain itu, biaya produksi lain yang harus dikeluarkan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat desa Tanjung Medan adalah biaya perawatan yaitu membeli bahanbahan pembasmi gulma atau hama. Ada beberapa jenis racun yang mereka gunakan dalam perawatan kebun sawitnya salah satunya dan yang paling sering mereka gunakan adalah jenis racun Raud-up, harganya berkisar Rp.25.000 sampai Rp.100.000 per botolnya, semuanya tergantung jenis racun dan besar ukuran botolnya. Di samping itu, diperlukan pula biaya untuk peralatan-peralatan seperti Parang Panjang (babat), harganya dapat mencapai Rp.35.000–Rp.50.000 per unitnya, egrek, harganya kira-kira Rp.50.000-Rp.100.000, harga egrek biasanya tergantung pada jenis dan kualitasnya yaitu egrek buatan lokal atau Indonesia dan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
adapula buatan luar seperti buatan Malaysia, dan umumnya egrek buatan luar (Malaysia) lebih mahal dan bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Alat Parang, harganya kira-kira Rp.20.000-Rp.100.000/ unitnya, dan biasanya parang dengan jenis tempahan harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan jenis parang yang telah siap jadi. Alat dodos juga demikian, harganya sangat bervariasi tergantung jenis dodos dan kualitasnya. Alat dodos juga terbagi atas dua yaitu dodos kecil, untuk usia panen masih muda (buah pasir), sedangkan dodos besar adalah untuk usia panen yang sudah mulai tinggi. Dan masih ada lagi peralatan yang lain seperti kapak, gerobak sorong dan lain-lain yang harganya juga tidak jauh berbeda. Kebutuhan dalam keluarga juga harus diperhitungkan mulai dari biaya pendidikan anak, listrik, peralatan mandi (sabun, sikat gigi, dan odol), serta kebutuhan dalam membeli peralatan rumah tangga. Kebutuhan esensial lainnya antara lain seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, perawatan pribadi dan rekreasi merupakan kebutuhan yang juga mesti dipenuhi. Besarnya proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk memenuhi masingmasing kebutuhan pokok tersebut tergantung pada tingkat pendapatan suatu masyarakat. Pada masyarakat yang sudah maju, menurut Singarimbun (dalam Mulyanto, 1982:82), “jumlahnya kurang dari 50 persen”. Untuk memenuhi semua kebutuhan-kebutuhan itu pada saat harga Kelapa Sawit juga sedang mengalami penurunan harga, isteri para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan pun ikut turut bekerja dalam membantu meringankan ekonomi keluarga, karena mereka sadar dengan hanya menjadi
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
seorang buruh dari petani sawit tidak akan mampu untuk mengatasi kebutuhankebutuhan sosial ekonomis keluarga. Oleh karena itu, petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan berusaha untuk menyeimbangkan pendapatan yang dihasilkan dengan pengeluaran yang dibutuhkan untuk keperluan mereka sehari-hari. Jika mereka tidak pandai dalam mengatur keuangan, maka kebutuhan ekonomi mereka tidak akan terpenuhi dan akan tetap berada pada garis kemiskinan. Hal tersebut lah yang membuat petani Kelapa Sawit tidak pernah berputus asa dalam menjalani profesi mereka sebagai petani Kelapa Sawit, karena walaupun dikatakan miskin tetapi mereka masih tetap mampu untuk bertahan hidup. Seperti diketahui strategi pembangunan di negara sedang berkembang masih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi atau growth oriented strategy. Strategi tersebut memusatkan pada investasi modal luar negeri yang cukup besar di dalam satu atau beberapa sektor seperti industri dan pertambangan, sedangkan pemerintah mengarahkan modalnya pada sektor pedesaan (Evers dalam Mulyanto, 1982:1) Bantuan luar negeri memang berhasil meningkatkan ekonomi negara sedang berkembang tetapi jurang kemiskinan diantara golongan penduduk tetap melebar. Beratus juta penduduk hidup dalam tepi batas kehidupan yang layak tanpa jaminan untuk memenuhi kebutuhan utamanya seperti pangan, sandang kesehatan dan juga pendidikan bagi anaknya. Ada yang membedakan antara kebutuhan primer dengan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang paling utama untuk dapat mempertahankan hidup seperti makan, minum, pakaian dan perumahan, Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan primer, seperti alat-alat dan perabot. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka perlu di kembangkan suatu strategi pembangunan yang lebih efektif dalam menangani kemiskinan dan suatu strategi yang lebih di arahkan pada tujuan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Model kebutuhan dasar sebagai suatu strategi harus mampu memenuhi 5 (lima) sasaran utama, yaitu: 1. Dipenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, peralatan sederhana dan berbagai kebutuhan yang secara luas di pandang oleh masyarakat yang bersangkutan. 2. Dibukanya kesempatan luas untuk memperoleh berbagai pelayanan umum, seperti pendidikan, kesehatan, air minum, dan pemukiman yang sehat. 3. Dijaminnya hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang produktif, termasuk menciptakan sendiri, yang memungkinkan adanya balas jasa yang seimbang untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. 4. Terbinanya prasarana yang memungkinkan produksi barang dan jasa dengan kemampuan untuk menyisihkan tabungan bagi pembiayaan usaha selanjutnya, terutama dalam sektor subsistensi. 5. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan pelaksanaan proyekproyek pembangunan. Munculnya basic human needs dengan 5 (lima) sasaran tersebut disebabkan karena growth-oriented approach yang telah dianggap memberi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi dibeberapa negara belum dapat memberi pembagian hasil yang merata diantara golongan penduduk yang ada diberbagai Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
daerah. Hal ini juga tidak terlepas dari berbagai kebudayaan yang memiliki perbedaan masing-masing dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Kebudayaan sebagai sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebudayaan yang merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat dan merujuk pada pengetahuan yang diperoleh dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan pola tingkah laku sosial yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia 18. Secara sederhana Malinowski (dalam Syairin, 2002:2) menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu dapat di bagi pada tiga kategori besar yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan biologis, sosial dan psikologis. Untuk memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman yang merupakan salah satu dari kebutuhan biologis, manusia terikat dengan gagasan makanan yang dapat di konsumsi dan makanan mana pula yang di haramkan untuk di makan. Dari ilustrasi sederhana dapat dilihat bagaimana kebutuhan hidup manusia itu menyatu dengan nilai-nilai masyarakat pendukung kebudayaan itu. Selain pengaruh lingkungan hidup baik yang berwujud lingkungan alam, sosial dan lingkungan buatan, menyatu kuat dalam keputusan-keputusan yang diambil manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Dari perspektif yang lebih luas, dalam kebutuhan hidupnya manusia itu dapat pula dilihat dari dimensi yang
18
Kebudayaan sebagai suatu proses atau bersifat dinamis yang dikemukakan oleh beberapa ahli antropologi seperti Harris, Vayda dan Julian Steward, lht. Fedyani dalam bukunya antropologi kontemporer. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
menyangkut kebutuhan manusia sebagai individual, sosial dan moral, dan ketiga dimensi itu selalu kait mengait dalam memenuhi kebutuhan hidupnya itu. 3.3.3. Bentuk Hubungan Sosial yang Terjalin atas Mata Pencaharian sebagai Petani Kelapa Sawit Rakyat. Memiliki mata pencaharian sebagai petani Kelapa Sawit tidak terlepas dari hubungan-hubungan yang terjalin antara sesama petani, petani dengan tauke/agen dan sekaligus juga hubungan antara petani dengan pemilik modal. Hubungan tersebut dapat di temui pada saat mereka sedang melakukan aktivitasnya dikebun, atau pu n pada saat para petani sedang menjual hasil panennya kepada tauke. Samahalnya dengan masyarakat di Desa Tanjung Medan yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani Kelapa Sawit, karena wilayah tempat tinggal mereka yang potensinya adalah hutan, maka dimanfaatkan dalam sektor perkebunan atau bercocok tanam sebagai sistem mata pencaharian hidup, dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat di Desa Tanjung Medan memiliki hubungan yang sangat erat dengan petani yang lain, dengan tauke dan juga dengan pemilik modal, karena tanpa petani, tauke maupun pemilik modal merka tidak dapat melakukan aktifitas untuk mengembangkan usaha perkebunan yang selama ini dijadikan sebagai sumber penghidupan keluarganya. Adapun hubungan tersebut juga terjalin berdasarkan mata pencahariannya masing-masing. 3.3.3.1. Hubungan Patron-Klien antara Petani Kelapa Sawit dengan Tauke (Pemilik Modal) Pola pekerjaan petani Kelapa Sawit merupakan jenis pekerjaan yang keras dengan tingkat penghasilan yang tidak menentu jumlahnya tergantung hasil panen dan perawatan perkebunan. Hal itu sangat mengkhawatirkan melihat banyaknya
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh petani sawit, di tambah lagi dengan situasi penurunan harga Kelapa Sawit. Ketergantungan petani Kelapa Sawit terhadap tauke atau pemilik modal kemudian terwujud dalam hubungan patron-klien atau hubungan bapak dan anak, antara tauke dan petani Kelapa Sawit Rakyat. Secara tidak langsung dalam hubungan patron-klien ini telah terjadi eksploitasi terhadap petani Kelapa Sawit, dimana pendapatan patron yang cukup tinggi sedangkan pendapatan klien rendah. Artinya, harga tandan buah Kelapa Sawit yang dibeli oleh tauke dari para petani Kelapa Sawit cukup rendah sedangkan untuk harga penjualannya ke pasar atau pabrik cukup tinggi. Namun, meskipun demikian harus disadari bahwa hubungan patron klien cukup membantu petani Kelapa Sawit Rakyat dalam upaya adaptasinya di tengah situasi pasca penurunan harga Kelapa Sawit. Ketika harga Kelapa Sawit menurun sangat sedikit para tauke yang mau membeli buah Kelapa Sawit dari petani rakyat. Situasi seperti ini membuat para petani harus pasrah merelakan buah Kelapa Sawitnya tidak di panen. Sebab, dengan harga yang cukup rendah atau sekitar Rp.150,- mana mungkin pihak tauke ingin melakukan aktivitas pasarnya yaitu membeli buah Kelapa Sawit. Karena hanya akan berdampak pada kerugian, jika pun memiliki untung, jumlahnya hanya sedikit, hal ini jauh dari yang diharapkan. Sementara itu mereka mesti membayar gaji para pekerjanya, dan biaya-biaya lainnya seperti kebutuhan terhadap minyak solar untuk kendaraan truk, dan sebagainya. Akan tetapi, karena kedua belah pihak yaitu petani dengan tauke tersebut telah terjalin hubungan yang erat, maka pihak tauke harus rela membantu para petani dengan pinjaman uang atau utangan. Dalam hal ini para petani akan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
merasa terikat menjadi langganan tetap atas taukenya meskipun harga Kelapa Sawit yang tawarkan oleh pihak tauke tersebut jauh lebih rendah daripada tauketauke Kelapa Sawit lainnya. Para petani sawit akan merasa berhutang budi terhadap pihak tauke karena telah memberikannya pinjaman uang pada saat ia benar-benar membutuhkannya. 3.3.3.2 . Hubungan Petani Kelapa Sawit dengan Sesama Petani Setiap individu yang berada dalam suatu lingkungan kelompok atau masyarakat pasti memerlukan individu lainnya untuk dapat bertahan hidup. Karena individu tersebut merupakan makhluk sosial yang saling tergantung satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi antara sesama petani juga terjalin sangat baik. Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan memegang prinsip saling menghargai, saling menghormati, menjunjung rasa solidaritas diantara sesama petani. Mereka tidak pernah membedakan-bedakan status baik mereka petani lapisan atas ataupun petani lapisan bawah. Karena mereka sepakat untuk menganggap bahwa petani yang bekerja di kebun itu adalah seperti keluarga sendiri, satu nasib dan sepenanggungan. Hubungan yang harmonis tersebut bukan hanya terjalin dalam lingkungan tempat mereka bekerja, akan tetapi di luar lingkungan kerja juga harus dijaga, apalagi sebagian dari mereka juga ada yang tinggal berdekatan. Oleh sebab itu, di dalam lingkungan sosial mereka telah terbentuk sebuah hubungan kekerabatan yang bersifat kekeluargaan. Di mana petani yang satu dengan petani yang lain bisa saling bertukar pikiran mengenai pekerjaan mereka, ataupun masalah hidup mereka. Dengan begini keakraban diantara sesama petani Kelapa Sawit bisa terjalin dengan dekat. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Begitu juga dengan pergaulan mereka dengan para tetangga di lingkungan sekitar tempat mereka tinggal juga terjalin dengan baik dan normal tanpa ada masalah. Menurut para informan, bahwa tetangga di sekitar tempat tinggal mereka sangat ramah, kekeluargaan, saling menghargai dan saling menghormati. Sebagian besar para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan berusaha untuk selalu mengikuti segala bentuk kegiatan yang ada di daerah tempat tinggal mereka. Seperti kegiatan pengajian, perwiritan, arisan, pernikahan, orang kemalangan dan gotong royong. Hal tersebut terungkap dari pernyataan dengan para informan sebagai berikut : “Hubungan saya dengan tetangga di sekitar rumah saya juga berjalan baik dan lancar, bahkan saya masih menyempatkan diri untuk datang ke pengajian yang diadakan di Masjid misalnya. Sebisa mungkinlah saya harus menyempatkan diri untuk membantu atau ikut dalam kegiatan tersebut”. (Wawancara dengan informan Rizal, 2009). 3.4. Dampak Turunnya Harga Kelapa Sawit terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Kelapa Sawit Rakyat Petani Kelapa Sawit merupakan kelompok masyarakat yang hidupnya rawan terhadap kemiskinan. Hal ini disebabkan sistem mata pencaharian yang hanya bertumpu pada hasil perkebunan Kelapa Sawitnya, selain pekerjaan itu mereka tidak lagi memiliki keahlian lainnya. Mereka tidak memiliki kepastian di dalam memperoleh pendapatan dari produksi perkebunannya. Karena sistem pengelolaan yang pada umumnya mereka lakukan juga masih bersifat sederhana dan hanya memanfaatkan potensi alam dan tenaga produktif yang telah tersedia. Sementara itu, dalam kenyataannya untuk memperoleh hasil yang baik dalam pengelolaan perkebunan Kelapa Sawit membutuhkan alat-alat teknologi yang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
canggih atau modern, disertai dengan modal yang cukup kuat untuk menanggulangi atau mengimbangi biaya-biaya perawatan yang akan di keluarkan dalam pengelolaan perkebunan Kelapa Sawit milik mereka. Akibat dari keterbatasan yang dimilkinya para petani Kelapa Sawit Rakyat hanya mengelola perkebunannya dengan cara-cara yang sederhana saja dan tidak ingin mengambil resiko yang lebih jauh lagi. Dilema para petani Kelapa Sawit juga tampak ketika mereka harus dihadapkan dengan kebutuhan ekonomi yang mendesak, seperti tuntutan akan biaya pendidikan anak, baiya kesehatan, dan biaya sosial lainnya yang memaksa mereka untuk melakukan panen produksi lebih awal. Situasi seperti ini sangat berpengaruh terhadap kondisi Kelapa Sawit mereka, sehingga sering terjadi dalam perkebunan Kelapa Sawit Rakyat apa yang disebut dengan trek buah atau semakin sedikitnya tandan buah Kelapa Sawit pada pohonnya. Pemanenan dini ataupun pemetikan buah Kelapa Sawit yang belum mencapai usia matangnya juga dapat menyebabkan
kondisi
pohon
menjadi
mengecil
dan
runcing
sehingga
menghambat pembuahan. Jika hal itu tidak mereka lakukan maka kebutuhankebutuhan yang mendesak tersebut tidak akan mampu mereka penuhi. Kondisi kehidupan ekonomi keluarga petani Kelapa Sawit yang sedemikian rupa sudah mengakar dan dapat dilihat sebelum situasi terjadinya penurunan harga buah Kelapa Sawit. Penurunan harga buah Kelapa Sawit justru semakin memperparah kondisi kehidupan ekonomi keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat. Turunnya harga komoditas buah Kelapa Sawit secara bersamaan diikuti pula dengan naiknya harga barang-barang konsumsi bahan pokok. Pendapatan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
para petani yang hanya bergantung pada hasil kebun Kelapa Sawit harus mampu menutupi pengeluaran atau biaya-biaya pemenuhan kebutuhan pokok yang harganya serba mahal. Selain dampak tersebut, penurunan harga Kelapa Sawit juga sangat mengganggu bagi para petani, khususnya petani Kelapa Sawit yang telah terlanjur membeli peralatan atau perlengkapan kebutuhan sekundernya seperti kendaraan sepeda motor, perabotan, kulkas, dan sebagainya secara kredit, mereka akan sangat terbebani dalam membayar biaya ansuran barang-barang itu per bulannya. Pendapatan dari hasil panen Kelapa Sawit yang semulanya dapat diperkirakan menutupi cicilan kredit barang-barang tersebut per bulannya, ternyata tidak dapat lagi mencukupi. Akhirnya, para petani Kelapa Sawit harus merelakan jika barangbarang milikya itu ditarik kembali oleh pihak-pihak pengkreditan barang. Dalam situasi seperti ini banyak dari kalangan petani Kelapa Sawit yang shock dan ada pula yang sampai dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi atau strees. Tidak hanya berdampak terhadap situasi ekonomi, tanpa disadari penurunan harga Kelapa Sawit juga mempengaruhi kehidupan sosial petani Kelapa Sawit Rakyat. Di mana hubungan sosial antara sesama petani Kelapa Sawit mengalami perubahan dari hubungan yang berdasarkan prinsip moral berubah menjadi berorientasi terhadap usaha mencari keuntungan. Hubungan patron-klien secara tidak langsung menjadi usaha mencari keuntungan bagi tauke/pembeli buah Kelapa Sawit, dan sebagai usaha bertahan hidup dalam hal ekonomi bagi petani Kelapa Sawit. Para tauke berkesempatan untuk memberikan hutang kepada para petani. Hutang diberikan kepada masyarakat petani bertujuan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan primer dan kebutuhan sosial. Hutang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
terjadi karena hubungan para petani dengan tauke yang begitu erat, sementara yang menjadi penyebab timbulnya hutang adalah desakan ekonomi keluarga yang menghimpit para petani Kelapa Sawit sedangkan pendapatan produksi kebun sawit mereka tidak mencukupi lagi untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarga. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang setiap hari yang bertujuan untuk meningkatkan ketergantungan para petani Kelapa Sawit. Kelas tauke ini sangat berpengaruh terhadap persepsi petani terhadap perubahan. Semakin tergantung petani pada tauke semakin sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman bagi kestabilan ekonomi, politik, dan struktur sosial mereka. Selain hubungan patron-klien, hubungan kekerabatan pun menunjukkan kerenggangan. Di dalam kehidupan bermasyarakat manusia satu sama lainnya saling memerlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di samping memenuhi kebutuhan pokok ataupun konsumsi rumah tangga, manusia juga membutuhkan konsumsi sosial. Menurut Ellis (1988) dan Evers (1991) konsumsi secara umum dibagi menjadi dua 19 yaitu : 1. Konsumsi rumah tangga yaitu sejumlah penghasilan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, misalnya sandang, pangan, pakaian, dan sebagainya. 2. Konsumsi sosial yaitu sejumlah penghasilan yang dikeluarkan untuk keperluan sosial seperti, sumbangan pesta perkawinan, sumbangan Masjid, dan pesta-pesta seremonial lainnya.
19
Sumber Elektronik, sabtu 20 oktober 2007 “pemikiran ekonomi agraris suau pengantar” http://smile-rawa-blosspot.com. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kebutuhan itu tidak dapat dikesampingkan ataupun terlupakan, karena kebutuhan sosial tersebut sangat mempengaruhi seseorang dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka kedudukan orang tersebut dalam kehidupan bermasyarakat akan dipandang sangat kecil. Namun, meskipun demikian banyak diantara para keluarga petani yang harus mengorbankan hubungan kekerabatannya menjadi terkikis, karena harus memperioritaskan kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Seperti penuturan ibu Yani (41 tahun) : “Kalau saya selama turunyna harga Kelapa Sawit ini jarang sekali datang ke acara-acara pesta pernikahan yang diadakan oleh tetangga. Bagaimana mau datang, saya harus mengumpulkan uang Rp.20.000,sebagai kadonya, uang darimana ? lebih baik di rumah saja kalau tidak ada kegiatan mengumpulkan biji Kelapa Sawit untuk dijual, atau mencari kayu bakar, masih banyak kok hal lain yang mau dikerjakan..yah,,meskipun malu sama tetangga yang lain.
3.5. Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat Sebelum dan Setelah Terjadinya Fluktuasi Harga 3.5.1. Pendapatan
dan
Pengeluaran
Petani
Sebelum
Terjadinya
Penurunan Harga Kelapa Sawit (Tahun 2006/2007) Keadaan ekonomi suatu rumah tangga lebih nyata ditunjukkan oleh tingkat penghasilan atau pengeluaran rumah tangga atau keluarga. Pola distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk desa Tanjung Medan, persentase rumah tangga untuk perkebunan Kelapa Sawit merupakan jumlah yang tertinggi ditinjau dari sumber penghasilannya. Akan tetapi, tingkat pendapatan yang diperoleh dari Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
penghasilan perkebunan Kelapa Sawit sangat berbeda, tergantung pada luas dan banyaknya jumlah produksi Kelapa Sawit yang dihasilkan. Dalam hal ini petani Kelapa Sawit Rakyat menjadi pendistribusi pendapatan yang paling kecil sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan sistem pengelolaan yang masih kurang efektif. Pendapatan masyarakat yang semakin besar mencerminkan tingkat kesejahteraan rumah tangga yang semakin terjamin. Menurut Suparlan (dalam Mulyanto, 1982:20) yang menyatakan bahwa golongan berpenghasilan rendah baik pendatang maupun bukan pendatang mempunyai cara hidup atau kebudayaan yang tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan mereka yang berpenghasilan tinggi, yang dimaksud kebudayaan disini adalah kebudayaan kemiskinan yang terwujud dalam lingkungan kemiskinan yang mereka hadapi. Dengan kebudayaan kemiskinan ini mereka dapat terus mempertahankan kehidupannya. Jadi, kelompok yang berpenghasilan rendah ini adalah sekelompok orang yang berdiam di suatu tempat, atau daerah yang mendapatkan penghasilan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kebutuhan minimal mereka yang seharusnya terpenuhi. Apa yang disebut penghasilan disini adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun berupa barang, baik dari pihak lain maupun dari hasil sendiri, dengan jalan dinilai dengan sejumlah uang atau harga yang berlaku pada saat itu. Pendapatan dari sektor Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan tergantung pada luas lahan dan sistem penggelolaan kebun, banyaknya hasil produksi panen, serta keefektipan atas perawatan-perawatan yang dilakukan terhadap kebun sawit. Pendapatan sebagai petani Kelapa Sawit Rakyat untuk Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
setiap kali panennya tidak menentu, terkadang tinggi dan terkadang rendah. Selain daripada keterbatasan lahan dan sistem penggelolaan yang dilakukan, faktor harga merupakan indikasi utama didalam menentukan tingkat pendapatan petani Kelapa Sawit Rakyat. Keadaan harga juga bersifat tidak menentu atau berfluktuasi, terkadang harga tinggi dan terkadang dapat pula mencapai level yang terendah, seperti yang telah terjadi pada tahun 2008 yang menunjukkan penurunan harga buah Kelapa Sawit menjadi Rp.200 per kilo sedangkan sebelumnya pada tahun 2007 harga Kelapa Sawit masih berada pada level Rp.1.800 per kilo. Berbeda dengan pengeluaran para petani untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga juga sangat tergantung pada seberapa besar pendapatan kebun sawitnya. Seperti yang dikatakan oleh Mulyanto (1982:96) ketidak seimbangan antara pendapatan total dengan pengeluaran dapat ditinjau dari dua segi: pertama, jika pendapatan total lebih besar dari pengeluarannya, hal ini disebabkan karena pengeluaran non konsumsi dan pembayaran tidak dibahas secara mendalam, sedangkan apabila pendapatan lebih kecil dari pengeluaran lebih disebabkan karena terjadi perkiraan biaya pengeluaran yang terlalu tinggi atau perkiraan pendapatan yang terlalu rendah. Pendapatan yang dihasilkan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan dari hasil kebunnya dalam setiap panennya biasanya 2 (dua) kali panen dalam seminggu sebesar Rp.2.000.000;, jika dihitung dua kali panen (selama 1 bulan) menjadi sebesar Rp.4.000.000 per bulan (harga Kelapa Sawit tahun 2006 Rp.1.500 per kg) jika memiliki luas kebun sawit 2 Ha. Pendapatan tersebutlah yang harus dimanfaatkan oleh para isteri petani dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Lain halnya dengan salah seorang informan yang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
bernama Bapak Husni (50 ) tahun yang selama 26 tahun lamanya hidup dari hasil perkebunan sawit, ia hanya memperoleh pendapatan dari hasil sawitnya sekitar Rp.250.000 setiap kali panennya. Hal ini disebabkan oleh luas kebunnya yang hanya beberapa rante saja, dan juga sistem perawatan yang kurang memadai mencakup pemupukan, jenis bibit Kelapa Sawit yang kurang bagus, dan sistem pemanenan yang tidak sesuai jadwal. Berbeda dengan Bapak Haris (36 tahun) yang pada setiap kali panennya ia selalu memperoleh pendapatan yang cukup stabil dari hasil kebun sawitnya. Setiap kali panen Pak Haris bisa memperoleh Rp.1.000.000-Rp.1.400.000 kerena luas tanah yang dimilikinya sekitar 2 hektar dan cara perawatan yang dilakukannya juga sangat baik. Tabel 13 Pendapatan Petani Sawit Sebelum terjadi Penurunan Harga Kelapa Sawit (Tahun 2006/2007) Luas Pendapatan Lahan Produksi (Rp) sekali Total Pendapatan Nama (Ha) Panen (Ton) panen Dalam Sebulan Haris 2 2 ton Rp.3.600.000 RP.7.200.000 Yanto 2 700kg Rp.1.260.000 Rp.2.560.000 Rosyib 2 1 1/2 ton Rp.2.700.000 Rp.5.400.000 Janggak 1 500kg Rp.900.000 Rp.1.800.000 Mukdin 2 2 ton Rp.3.600.000 Rp.7.200.000 Sumber: Data diolah dari keluarga Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan Pendapatan yang diperoleh oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat sesuai pada tabel di atas masih dapat berubah-ubah, tergantung pada besarnya tingkat produksi panen dari perkebunan sawit dan harga pasar. Hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat produksi panen adalah keadaan kebun yang dalam kondisi trek buah, perawatan yang kurang memadai, dan tingkat kebutuhan petani. Sedangkan untuk harga sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar global. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Berbicara mengenai pendapatan pasti juga akan berbicara mengenai pengeluaran dalam pemenuhan kebutuhan keluarga petani sawit di Desa Tanjung Medan. Untuk pengeluaran rumah tangga petani sawit dalam penelitian ini mencakup pada pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok yang meliputi : a. Makanan b. Pakaian c. Perumahan d. Listrik e. Kesehatan f. Pendidikan anak, dan g. Alat transportasi Dalam keadaan normal, umumnya pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga adalah seimbang. Ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran dapat ditinjau dari 2 (dua) segi yaitu: 1. Pendapatan lebih besar dari pengeluaran. 2. Pendapatan lebih kecil dari pengeluaran. Pengeluaran petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 14 Pengeluaran Keluarga Petani Sawit Rakyat (2006-2007) No 1 2 3 4
Biaya Pengeluaran Keluarga Bapak Haris Keluarga Bapak Rosyib Keluarga BapakYanto Keluarga Bapak Jangga
Per hari Rp.100.000;
Per minggu Rp.700.000;
Per bulan Rp.3.000.000;
Rp.80.000;
Rp.560.000;
Rp.2.400.000;
Rp.50.000;
Rp.350.000;
Rp.1.500.000;
Rp.40.000;
Rp.280.000;
Rp.1.200.000;
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Keluarga Bapak Rp.130.000; Rp.910.000; Rp.3.800.000; Mukdin Sumber: Diolah dari data Petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan 5
Dari total pengeluaran, jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan, masih seimbang dan mencukupi dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka khususnya dalam biaya pendidikan anak yang bersekolah pada Sekolah Menengah Atas (SMA) yang kebanyakan hanya 1 (satu) atau 2 (dua ) orang saja. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat dan rendahnya kesadaran orang tua terhadap nilai-nilai pendidikan. 3.5.2 Pendapatan
dan
Pengeluaran
Petani
Setelah
Terjadinya
Penurunan Harga Kelapa Sawit (Tahun 2008/2009) Ketika terjadi penurunan harga buah Kelapa Sawit pada tahun 2008, pendapatan para petani sawit khususnya di desa Tanjung Medan semakin berkurang. Pendapatan yang awalnya dianggap dapat mengimbangi pengeluaran rumah tangga, justru berbalik tidak dapat lagi mencukupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Harga buah Kelapa Sawit yang hanya berkisar Rp.250 per kilo telah menjadi beban hidup keluarga petani sawit rakyat. Seperti yang telah di tunjukkan pada tabel di bawah ini : Tabel 15 Pendapatan Petani Sawit Setelah Terjadi Penurunan Harga Kelapa Sawit (Tahun 2008/2009)
Nama Haris Yanto Rosyib Janggak
Luas Lahan (Ha) 2 2 2 1
Produksi Panen (Ton) 2 ton 700kg 1 1/2 ton 500kg
Pendapatan (Rp) sekali panen Rp.500.000 RP.175.000 Rp.375.000 Rp.125.000
Total Pendapatan Dalam Sebulan RP.1.000.000 Rp.350.000 Rp.750.000 Rp.250.000
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Mukdin 2 2 ton Rp.500.000 Rp.1.000.000 Sumber : Data diolah dari keterangan keluarga di desa Tanjung Medan Tabel 15 di atas, menunjukkan bahwa distribusi pendapatan petani dari hasil perkebunan Kelapa Sawitnya mengalami penurunan yang cukup signifikan. Apabila tingkat pengeluaran masyarakat petani seperti tabel 14, maka penghasilan yang diterima oleh petani Kelapa Sawit setelah terjadinya penurunan harga tidak lagi mencukupi untuk mengimbangi biaya pengeluaran keluarga mereka.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
BAB IV Strategi Adaptasi Petani Kelapa Sawit Rakyat dalam Menyiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit Adaptasi pada hakikatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat dasar terhadap keberlangsungan hidup. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat dasar alamiah-biologi, syarat dasar kewajiban, dan syarat dasar sosial. Dalam hal memenuhi syarat dasar tersebut komunitas petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan memiliki starategi adaptasi yang umumnya hampir sama dengan komunitas masyarakat lainnya. Namun, setelah diteliti komunitas petani Kelapa Sawit Rakyat memiliki keunikan tersendiri dalam upaya adaptasinya ketika menghadapi tekanan ekonomi di tengah situasi pasca penurunan harga tandan buah Kelapa Sawit. Dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungannya, komunitas Petani Kelapa Sawit Rakyat melakukan pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup
mereka, di mana
mereka
memanfaatkan aset-aset yang dimiliki seperti aset tenaga kerja keluarga, aset produksi, aset beharga seperti tanah, sawah, rumah, dan perkebunan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat, strategi penanganan masalah ini pada dasarnya dilakukan dengan kemampuan untuk mengelola aset yang dimilikinya yaitu memanfaatkan aset tenaga kerja keluarga, memanfaatkan aset modal manusia, memanfaatkan tanaman liar, ternak, dan relasi rumah tangga atau sistem kekerabatan. Prilaku yang demikian itu sesuai dengan konsep starategi itu sendiri yaitu merupakan upaya ataupun usaha yang dilakukan oleh sekelompok Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
masyarakat yang tinggal di suatu wilayah dalam mempertahankan kehidupan mereka dengan memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang ada di lingkungannya. Strategi itu juga merupakan suatu bentuk upaya lain yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam mengembangkan usaha yang telah menjadi sumber penghasilan mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. 4.1 Strategi Aktif atau optimalisasi Sumber Daya Manusia (SDM) Strategi aktif adalah suatu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat antara lain : melakukan aktivitas sendiri atau melakukan pembagian kerja keluarga, mencari kerja sampingan, dan memanfaatkan potensi hutan untuk menambah pendapatan. 4.1.1Pekerjaan Sampingan 4.1.1.1 Mengumpulkan barang-barang bekas Pada penelitian ini menunjukkan tentang situasi harga Kelapa Sawit yang mengalami penurunan, sehingga memaksa keluarga petani Kelapa Sawit khususnya di desa Tanjung Medan untuk berpikir tentang strategi apa yang harus mereka lakukan supaya bisa bertahan hidup, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya dengan pendapatan yang tidak menentu. Salah satu bentuk strategi dari para petani Kelapa Sawit sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah melakukan pembagian kerja di mana isteri dan anak-anak harus terlibat langsung dalam upaya menambah penghasilan suami. Dalam hal ini dapat dilihat multiple rule ibu/isteri dari keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dari data yang diperoleh melalui kantor kepala Desa Tanjung Medan, kualitas pendidikan ibu-ibu rumah tangga di desa Tanjung Medan berada di bawah rata-rata. Hal ini dapat kita lihat dalam tabel yang tertera dalam gambaran umum. Secara khusus untuk daerah Tanjung Medan, kondisi pendidikan ibu rumah tangga sangat memperihatinkan, secara umum tingkat pendidikannya hanya tamatan SMP bahkan tidak jarang pula ditemui ibu-ibu rumah tangga yang tidak menamatkan sekolahnya dari bangku SD. Akan tetapi, kualitas pendidikan yang berada di bawah rata-rata itupun tidak mengurangi semangat atau niat isteri-isteri petani Kelapa Sawit Rakyat dalam mengambil langkah untuk melakukan aktivitas-aktivitas di luar kegiatan domestiknya guna menambah pendapatan suami sebagai petani Kelapa Sawit. Keterlibatan isteri petani Kelapa Sawit untuk menambah penghasilan keluarga di akibatkan oleh menurunnya harga buah Kelapa Sawit yang mereka peroleh. Fluktuasi harga Kelapa Sawit yang cenderung menurun disebabkan oleh keadaan pasar yang tidak stabil, di mana permintaan pasar dunia terhadap minyak goreng sebagai produksi dari minyak Kelapa Sawit semakin menurun. Kondisi ini yang dialami oleh petani sawit rakyat yang sepenuhnya menggantungkan diri pada hasil perkebunan Kelapa Sawit walaupun mereka tetap memilih untuk menekuni pekerjaan sebagai petani Kelapa Sawit. Pilihan lain yang mereka ambil adalah ikut sertanya isteri untuk menambah pendapatan keluarga dengan menghasilkan uang. Aktivitas yang dilakukan oleh isteri petani Kelapa Sawit setiap harinya tidak lepas dari seputar wilayah domestik. Aktivitas rumah tangga dimulai dari pagi hari seperti memasak serapan untuk seluruh anggota keluarga. Kondisi penurunan harga Kelapa Sawit juga menuntut peran aktif dari Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
isteri petani agar lebih bijak dalam mengatur bagaimana pendapatan keluarga dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga. Ketika isteri mengerjakan peran domestiknya, ia harus mengatur kualitas dan kuantitas konsumsi yang akan di konsumsi oleh seluruh anggota keluarga. Apa yang akan dikonsumsi, berapa jumlah kadarnya, apakah masih bisa disimpan untuk kebutuhan besok. Disini isteri dituntut berpikir lebih jeli guna kecukupan pendapatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang semuanya serba mahal. Tidak hanya pekerjaan yang disebutkan di atas, isteri petani Kelapa Sawit juga harus bekerja mengurus anak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, mengumpulkan kayu bakar dari hutan untuk keperluan memasak di rumah, mengurus ternak sebagai tambahan konsumsi bahkan penghasilan, dan serentetan aktivitas lainnya seperti usaha jualan. Jadi, sistem pembagian kerja juga merupakan solusi bagi para petani Kelapa Sawit untuk tetap berada dalam adaptasi. Peran isteri sebagai ibu rumah tangga mengerjakan sektor domestik, mengatur seluruh pendapatan rumah tangga, kemudian disusun sedemikian rupa supaya tetap berada dalam titik keseimbangan sehingga kebutuhan-kebutuhan keluarga tetap terpenuhi. Selain peran domestik tersebut, isteri juga berperan dalam usaha menambah penghasilan suami seperti mengumpul biji buah Kelapa Sawit (brondolan), berjualan, memelihara hewan ternak untuk dikonsumsi bahkan dijual, mengumpulkan sampah plastik/botot. Dalam hal ini dapat dilihat multiple role isteri dalam strategi adaptasi di tengah situasi pasca penurunan harga Kelapa Sawit. Misalnya mengumpulkan barang-barang bekas atau botot. Barang-barang bekas yang biasanya mereka kumpulkan adalah jenis plastik seperti plastik aqua, Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
perlengkapan dapur yang terbuat dari plastik, dan lainnya, dan ada pula jenis besi, kaleng, alumenium, serta botol dengan harga yang bervariasi. Untuk harga barang bekas jenis plastik harganya Rp.1.000 per kilo, harga besi Rp.500 per kilo, harga alumenium Rp.2.500 per kilo, harga kaleng Rp.500 per kilo, sedangkan harga botol hanya Rp.100 per botolnya. Terkadang dari pekerjaan ini mereka dapat menghasilkan uang yang cukup lumayan untuk mencukupi kebutuhan makan kuluarga. Misalnya, dalam seminggu mereka dapat mengumpulkan 4 karung barang bekas jenis plastik, 2 karung besi, 2 karung kaleng, 1 karung alumenium, dan 1 karung botol. Untuk barang bekas plastik rata-rata tiap karungnya memiliki berat 4kg, untuk jenis besi tiap karungnya rata-rata dapat mencapai 10-13kg, sedangkan kaleng dan alumenium rata-rata beratnya 2kg. Sementara itu, untuk barang bekas jenis botol rata-rata tiap karung dapat mencapai 50-100 botol. Apabila dikalkulasikan dengan nilai yang sedemikian maka akan dapat ditunjukkan gambaran kemungkinan penghasilan yang mereka peroleh yaitu untuk barang bekas jenis plastik yang terkumpulkan adalah 4 karung, beratnya rata-rata 4kg per karung, jika dijumlahkan dalam bentuk berat (kg) hasilnya 16 kg dengan harga Rp.1.000 per kg, maka uang yang dihasilkan berkisar Rp.16.000. Untuk jenis besi dan kaleng dapat menghasilkan uang kira-kira Rp.10.000 (untuk besi), dan Rp.2.000 untuk jenis kaleng. Sementara itu, untuk jenis barang bekas aluminium dapat diperoleh pendapatan sekitar Rp.10.000 sedangkan pendapatan yang diperoleh dari jenis botol adalah Rp.5.000-Rp.10.000. Pendapatan ini juga tidak menentu tergantung berapa banyaknya barang-barang bekas yang mampu dikumpulkan. Jumlah perhitungan pendapatan di atas merupakan hasil wawancara Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
dengan informan ibu Nurasiah (41 tahun) yang memperoleh penghasilan demikian dari barang bekas/botot per minggunya. Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan informan mengenai upayaupaya yang dilakukan keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat melalui pemanfaatan anggota keluarga mereka sendiri : “Keluarga kami kalau cuma mengandalkan gaji suami saya saja tentu gak akan bisa. Makanya saya sekarang berusaha untuk membantu ayah dengan mengumpulkan barang-barang bekas. apalagi saya sendiri tidak mempunyai keahlian apa-apa, makanya saya pekerjaan kasar inilah yang bisa saya lakukan. Memang, susah kali lah keluarga kami akibat harga sawit turun, kalo untuk makan masih bisa lagi kami atasi dari hasil mengumpulkan botot saja terkadang saya bisa menerima uang Rp.50.000 per minggunya meskipun walaupun hasilnya tidak seberapa, tetapi bisa juga untuk membeli susu dan belanja dapur, yang menjadi masalah itu buat kami adalah biaya-biaya sekolah anak saya lo dek, banyak kali kebutuhannya ”. (Wawancara dengan informan Siah, isteri dari Salman, 2009).
Gambar.6 Seorang Ibu Rumah Tangga sedang mengumpulkan butut
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh beberapa informan berikut, mereka mendayagunakan anggota keluarga mereka untuk membantu perekonomian keluarga. Berikut ini penuturan dari beberapa informan : “Pada saat sekarang ini isteri dan anak saya cukup membantu, isteri saya yang sehari-harinya bekerja sebagai penjahit cukup lumayan membantu perekonomian kami. Terkadang isteri saya menyempatkan diri untuk mengumpulkan barang-barang bekas, sedangkan anak saya ikut membantu isteri saya. Setidaknya hasil yang diperoleh dari kerja sampingan ini bisa membantu uang jajan anak saya dan uang sekolahnya. (Wawancara dengan informan Nasution, 2009). Di satu sisi, strategi perlibatan anak dalam peran ekonomi akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibatnya, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan seperti yang diutarakan oleh informan Mustafa (42 tahun) sebagai berikut : “Perekonomian keluarga saya dapat sedikit terbantu karena isteri dan anak laki-laki saya yang baru tamat SMA ikut bekerja. Isteri saya bekerja sebagai tukang cuci dan menyambil mengumpulkan barangbarang bekas, sedangkan anak saya bekerja sebagai supir truk angkutan Kelapa Sawit milik tauke saya. Dengan cara ini anak lakilaki saya juga dapat membantu untuk uang jajan adik-adiknya”. (Wawancara dengan informan Mustafa, 2009). 4.1.1.2 Mengumpulkan Berondolan Kelapa Sawit Pekerjaan lain yang juga dapat mereka lakukan sebagai penghasilan tambahan keluarga adalah mengumpulkan biji sawit (brondolan), mereka dapat Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
melakukan kegiatan ekonomis tersebut di kebun miliknya atau di kebun milik petani lain. Biasanya kegiatan mengumpulkan brondolan dilakukan oleh anakanak mereka ketika telah selesai melakukan panen dan telah bertransaksi jual beli dengan tauke. Sehingga brondolan yang merupakan sisa-sisa dari proses panen tadi dapat dikumpulkan oleh anak-anak. Di samping itu, para anak-anak juga dapat memperoleh brondolan dari tandan buah Kelapa Sawit milik para tauke yang tidak laku dijual di pabrik. Brondolan Kelapa Sawit sebelumnya harus dipisahkan dulu dari tandannya agar dapat dijual kembali ke pabrik dengan cara memukul tandan buah Kelapa Sawit tadi dengan menggunakan alat seperti besi, kayu, gancu, parang dan sebagainya sehingga biji buah Kelapa Sawit dapat keluar. Terkadang dari pekerjaan anak-anak mereka dapat mengumpulkan 2 karung brondolan tiap harinya yang beratnya dapat mencapai 20-30kg. Dengan harga Rp.300 per kilonya, mereka bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp.6.000Rp.9.000 per hari. Hasil penjualan dari brondolan Kelapa Sawit digunakan untuk membantu membeli keperluan dapur dan jajan anak-anak mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Faisal (34 tahun) sebagai berikut : “Untuk membantu perekonomian keluarga saya, anka-anak saya juga ikut bekerja mengumpulkan brondolan. Anak-anak saya itu biasanya pergi ke kebun kami untuk mencari brondolan, kadang-kadang ke kebun milik tetangga. Yah,,kalau truk milik tauke saya sudah pulang dari pabrik biasanya ada beberapa tandan buah Kelapa Sawit yang ikut dibawa pulang karena ngak laku di jual, biasanya anak-anak saya sama teman-temennya itu yang ngumpulin brondolannya. Sebenarnya saya kasihan lihat anak saya, tapi mau apa lagi harga sawit sudah tidak bisa diandalkan, yah,, setidaknya dengan begini perekonomian keluarga kami dapat terbantu sedikit lah walaupun terkadang setiap bulannya pasti selalu kehabisan uang”. (Wawancara dengan informan Faisal, 2009).
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Gambar. 7 Beberapa Anak sedang Mengumpulkan Brondolan
Gambar. 8 Seoarang anak sedang memukul buah Kelapa Sawit Pada gambar 7 dan 8 tampak kegiatan anak-anak petani Kelapa Sawit Rakyat sedang bekerja mengumpulkan berondolan (istilah lain mengketek). Mereka bekerja untuk mengurangi beban keluarga dalam hal memenuhi kebutuhan jajan mereka sehari-hari yang seharusnya diberikan oleh orang tuanya. Di samping itu pendapatan yang mereka peroleh dari hasil mengumpul berondolan juga mereka serahkan kepada orang tua mereka untuk meringankan beban ekonomis orang tua.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Gambar. 9 Hasil brondolan yang telah dikumpulkan
4.1.1.3 Menangkap Ikan ke Sungai Semakin meningkatnya kebutuhan keluarga, semakin memaksa para petani sawit untuk terus dapat bertahan dan bekerja lebih keras lagi agar semua kebutuhan yang menyangkut masalah ekonomi dapat terpenuhi. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk melakukan atau mencari mata pencaharian tambahan lain guna meningkatkan penghasilan ataupun pendapatan keluarga sehingga dapat sesuai
dengan
biaya
pengeluaran
kebutuhan
sehari-hari
dan
dapat
menyeimbangkannya. Strategi aktif yang dilakukan oleh petani Kelapa sawit di desa Tanjung Medan ini merupakan suatu strategi bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan desa seperti menangkap ikan di sungai, mencari hasil huran, kerja harian dan sebagainya. Untuk menyiasati perubahan ekonomi yaitu ketika terjadinya penurunan harga buah Kelapa Sawit, mereka mengaku memiliki cara atau strategi tertentu. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan mengatakan bahwa cara atau strategi tersebut mutlak diperlukan agar tetap bertahan hidup. Sebagian informan berupaya mencari pekerjaan sampingan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Seperti yang diungkapkan oleh informan (Janggak, 30 tahun) berikut ini : “Sekarang susah, harga buah Kelapa Sawit indak ada lagi. Batimbang lah kami waktu turun harga itu kan, cuma Rp.300, lah harga sawit itu sekilo. Sedangkan hasil sawit yang ku dodos cuma 700 kg, manalah cukup itu untuk makan dan biaya sekolah anakku. Sementara itu harga pupuk lagi yang mahalan, pupuk NPK saja harganya sudah Rp. 280.000-an gitulah, makanya kadang-kadang untuk menutupi semuanya terpaksalah aku mencari ikan ke sungai, dari menangkap ikan terkadang bisa ku peroleh pendapatan Rp 100.000-Rp.200.000 per hari, cukuplah buat makan binik dan anak-anakku”. (Wawancara dengan informan Janggak, 2009). Dari hasil wawancara dengan informan Janggak di peroleh keterangan bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukannya adalah menangkap ikan disungai, adapun jenis ikan sungai yang sering ia dapatkan adalah jenis ikan Lele, Gabus, Sepat Siam, Baung, dan ikan Bulan-Bulan.
Gambar. 10 Jenis Ikan Lele hasil tangkapan petani Harga ikan tersebut bervariasi tergantung pada jenis ikannya. Misalnya ikan Gabus dapat harganya Rp.12.000/kg, ikan lele Rp.20.000/kg, ikan Bulanbulan Rp.8.000/kg, dan jenis ikan yang paling mahal harganya adalah ikan baung Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
yaitu Rp.32.000/kg. Dari menangkap ikan ini biasanya dia bisa memperoleh penghasilan sebesar Rp.100.000-Rp.200.000 per harinya. Pekerjaan sampingan menangkap ikan bukan hanya dilakukan oleh dirinya sendiri, akan tetapi banyak diantara kawan-kawannya sesama petani Kelapa Sawit yang juga ikut menangkap ikan. Hasil dari tangkapan ikan dapat dijual ke pasar, sedangkan uangnya dipergunakan untuk keperluan konsumsi keluarga. 4.1.1.4 Mencari Kayu Bakar Di samping menangkap ikan, pekerjaan sampingan yang juga biasa dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan adalah mencari kayu bakar. Mencari kayu bakar dilakukan pada pagi hari mulai jam 8 (delapan) sampai jam 5 sore. Ada beberapa jenis kayu bakar yang akan di pasarkan yaitu jenis kayu karet, kayu aloban, dan jenis kayu hutan lainnya. Dalam sepekan biasanya mereka mampu mengumpulkan kayu bakar dengan jumlah 3-4 meter. Sementara itu, harga kayu bakar tiap meternya kira-kira Rp.40.000/meter. Biasanya mereka menjual kayu bakar pada warga sekampung ketika hendak melakukan acara pesta, seperti pesta pernikahan, sunatan, kelahiran, dan sebagainya. Selain itu, kayu bakar juga dapat dijual kepada para pemilik warung seperti pemilik rumah makan, bakso, atau dapat juga dikonsumsi sendiri. Dari kayu bakar ini biasanya mereka mampu memperoleh keuntungan sekitar Rp.80.000-Rp.120.000 per pekannya. Sementara itu, informan yang lain mengatakan hal yang sama juga tentang starategi mereka dalam menyiasati penurunan harga Kelapa Sawit ini. Seperti yang diungkapkan oleh infoman Syahbudin Pasaribu sebagai berikut : “Begini lah dek,, sekarang sudah susah mencari uang.Kelapa Sawit pun enggaknya ada harganya, terkadang mocok-mocok (artinya kerja Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
sampingan)nya awak mencari kayu bakar buat di jual, terkadang juga mencari kerja upahan menggali sumur, dan sering pulanya awak mencari daun-daunan di hutan untuk di jual, lumayanlah dapat awaknya terkadang Rp.50.000-Rp.100.000. Kalo untuk masalah makan keluarga kami, sengajanya ditanam kami tananm sayur-sayuran di pekarangan belakang supaya enggak beli sayur lagi”. (Wawancara dengan informan Syahbudin Pasaribu, 2009). 4.1.2. Strategi Pasif atau Penekanan Terhadap Pola Subsistensi Keluarga Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya). Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mereka sering menekan biaya pengeluaran dan menghindari resiko. Strategi yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit ketika terjadi penurunan harga Kelapa Sawit adalah dengan menekan atau mengoptimalisasi kebutuhankebutuhan terhadap barang-barang sekunder dan tertier. Para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan lebih memilih untuk memperioritaskan memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu daripada memenuhi kebutuhan lainnya. Kebutuhan pokok berada pada urutan pertama dalam strategi bertahan hidup mereka. Dalam situasi penurunan harga buah sawit, para petani khususnya isteriisteri mereka melakukan pengaturan keuangan keluarga untuk menentukan pilihan-pilihan jenis pengeluaran-pengeluaran apa yang harus dipenuhi untuk saat itu. Penekanan pada pola konsumsi barang-barang sekunder dan tersier misalnya keperluan perabotan rumah tangga seperti lemari, kursi, pakaian, kulkas dan sebagainya harus ditiadakan terlebih dahulu. Penekanan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut dilakukan agar kebutuhan pokok mereka dapat terpenuhi. Dalam hal ini para petani Kelapa Sawit Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
di desa Tanjung Medan lebih mementingkan keselamatan dan tidak berani mengambil resiko. Bagi para petani, usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier pada saat terjadi krisis finansial merupakan langkah yang berbahaya dan penuh dengan resiko yang tentunya juga dapat mengancam ekonomi keluarga. Maka dari itu mereka harus dapat menekan keinginan-keinginan tersebut jika tidak ingin kebutuhan pokok mereka berada pada jalur rawan atau bahaya. Penekanan terhadap pengeluaran-pengeluaran keluarga juga menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dan sikap hemat dalam hal mengatur keuangan. Keluarga mereka harus mampu hidup dengan sistem yang demikian jika ingin tetap dapat bertahan hidup. Kehidupan ekonomi masyarakat petani Kelapa Sawit di desa Tanjung ini persis seperti apa yang dikemukan oleh Scoot yang mengatakan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat petani berada sedikit di atas garis subsistensi. Artinya kebanyakan rumah tangga petani hidup begitu dekat dengan batas-batas subsistensi dan menjadi sasaran-sasaran permainan alam serta tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka mereka meletakkan landasan etika subsistensi atas dasar pertimbangan prinsip Safety Frist (dahulukan selamat). Menurut Scoot keamanan merupakan suatu hal yang penting, sebab petani selalu dekat dengan garis bahaya. Prinsip “dahulukan selamat” mendasari pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam masyarakat petani. Jadi, dalam sistem perekonomian masyarakat petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan, jaminan terhadap kebutuhan konsumsi merupakan suatu kegiatan ekonomi yang harus dikedepankan. Mereka lebih memilih untuk menekan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya demi memenuhi kebutuhan konsumsi Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh informan Joni (36 tahun) sebagai berikut: “Kalau keluarga saya tidak sampai mengurangi jatah makan, tetapi mungkin kalau uang kami benar-benar tidak cukup, terpaksa kami harus makan seadanya misalnya dengan telur caplok saja dari hasil ternak, untuk sayurnya dapat di peroleh dari kebun di belakang rumah. Biasanya kalau ada diantara kami yang sakit cuma minum obat yang dibeli diwarung aja lah, tapi kalau sakitnya parah biasanya saya minta rujukan rumah sakit dengan memanfaatkan jaringan ASKES (asuransi kesehatan) bagi masyarakat miskin”. (Wawancara dengan informan Kasan Hasibuan, 2009). “Memang kami selalu berusaha agar hidup kami selalu hemat. Apalagi kalau anak saya sering sakit-sakitan seperti ini, biasanya kami cuma memberi obat yang dibeli diwarung aja, tetapi apabila sakit saya dan keluarga parah, saya menggunakan pasilitas dari kesehatan pemerintah yaitu pengobatan gratis bagi orang miskin”. (Wawancara dengan informan Yanto). Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, sering kali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah memiliki kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah. 4.2.1 Pemanfaatan Perkarangan Rumah Untuk Menanam Jenis Sayuran Pangan Strategi yang dilakukan oleh para petani dalam menyiasati minimnya penghasilan keluarga setelah terjadi penurunan harga Kelapa Sawit adalah memanfaatkan pekarangan belakang rumah sebagai kebun kecil untuk ditanami dengan berbagai jenis tanaman sayuran seperti, cabe, ubi, kunyit, jahe, pepaya, pisang, dan jenis tumbuhan lain yang umumnya digunakan untuk konsumsi keluarga. Di daerah Tanjung Medan ini dikenal juga beberapa jenis tanaman hutan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
yang telah dipelihara di kebunnya seperti, daun siminyak, rampe-rampe, labu, jelok roba, rebung, terkadang daun kelapa yang masih muda (umbut) juga di jadikan sebagai sayuran konsumsi.
Gambar. 11 Jenis tanaman sayuran yang terdapat di pekarangan rumah
Gambar. 12 Tumbuhan cabe di pekaragan rumah petani kelapa sawit
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dalam kehidupannya sehari-hari para ibu-ibu rumah tanggalah yang aktif menanam berbagai jenis sayuran ini, sedangkan para suaminya hanya bertugas membersihkan areal pekarangan dari semak belukar seperti rerumputan, akar-akar serabut, dan jenis tumbuhan liar lainnya dengan menggunakan peralatan berupa cangkul, parang, dan sebagainya. Dari hasil budi daya sayuran tersebut mereka dapat menekan biaya yang diperlukan untuk keperluan konsumsi. Hanya beberapa jenis kebutuhan pokok saja yang tidak dapat mereka produksi dan kebutuhan tersebut harus mereka beli di warung. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan adalah misalnya, seperti beras, minyak, bawang, dan kelapa, selebihnya dapat mereka peroleh di kebun kecil milik mereka. Hasil dari subsistensi ini sebagian besar untuk dikonsumsi, tetapi terkadang mereka juga dapat menjualnya ke pasar. Seperti yang telah diungkapkan oleh informan lina (26 tahun) sebagai berikut ini : “Alhamdulillah keluarga kami untuk makan tidak dikurangin porsi maupun lauknya, tetapi untuk pengeluaran lainnya tentu saja harus dihemat dan dikurangi. Kalo hanya untuk sekedar makan kami masih punya banyak jenis sayuran yang bisa di masak, sumua itu dapat diperoleh dari kebun. Tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya untuk membeli cabe, jahe, dan kunyit, cukup petik di kebun saja. Harga cabe sekilo saja sampek nya Rp.12.000 per kilo, jadi setidaktidaknya udah terbantulah keluarga kami ”. (Wawancara dengan Rina isteri dari Fahri, 2009). “Keluarga saya biasanya akan mengurangi dari segi pembelian barang-barang yang tidak perlu seperti baju dan kosmetik. Selagi masih belum dibutuhkan kali yah sebaiknya gak usah dibeli. Yang penting keluarga kami tidak susah-susah untuk memikirkan makan. Sayur tinggal memetik di kebun, daging juga masih ada ternak peliharaaan.”. (Wawancara dengan informan Pipit, isteri dari Rikardo, 2009). 4.2.2 Pemanfaatan Pekarangan Rumah Sebagai Peternakan Unggas
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Di samping menanam sayuran pekarangan rumah juga dimanfaatkan untuk memelihara ayam dan bebek. Peternakan kecil ini ternyata memberikan kontribusi yang cukup lumayan bagi para petani Kelapa Sawit Rakyat untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Selain itu, hasil peternakan ini juga dapat di alokasikan sebagai nilai ekonomis dalam menambah pendapatan keluarga. Adapun jenis ternak yang dipelihara oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat tersebut yaitu ternak jenis unggas berupa ayam, bebek dan bebek. Perawatan yang mereka lakukan sangat sederhana sekali yaitu hanya menyediakan kandang sebagai tempat tinggal ternak sedangkan untuk makanannya hanya terkadang saja diberikan, biasanya makanan yang diberikan adalah jagung bulat.
Gambar 13. Ternak ayam milik salah satu warga petani Kelapa Sawit Pemberian makanan untuk ternak sangat jarang dilakukan karena masyarakat petani memanfaatkan alam sekitar. Tumbuh-tumbuhan dan hewanhewan liar yang telah tersedia di alam merupakan sumber makanan bagi ternak mereka. Jadi, mereka tidak perlu lagi memberikan makanan terhadap ternaknya Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
karena alam telah menyediakannya. Kegiatan yang harus mereka lakukan dalam beternak ayam cukup mudah yaitu hanya menyediakan tempat bertelur ayam dan bebek, kemudian membukakan pintu kandang pada pagi hari dan menutupnya kembali pada sore hari. Sementara itu, apabila terjadi serangan penyakit terhadap ternak unggas mereka, biasanya sebagai langkah antisipasi yang mereka mereka lakukan adalah memindahkan ternak ke tempat kerabatnya yang lingkungannya bebas dari penyakit unggas. Jika keadaan telah membaik maka mereka akan segera kembali mengambil ternak-ternaknya. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh para petani dalam melakukan peternakan unggas. Peternakan unggas akan memberikan manfaat meliputi daging dan telurnya. Daging dan telur unggas dapat dijadikan sebagai bahan konsumsi rumah tangga. Di samping itu, daging dan telur unggas juga dapat memberikan asupan lemak dan protein yang dapat dijadikan sebagai obat. Di desa Tanjung Medan sendiri telur unggas sangat banyak dibutuhkan oleh masyarakatnya sebagai keperluan obat, misalnya telur ayam kampung digunakan sebagai obat batuk, muntah darah, penambah tenaga dan sebagainya. Sedangkan telur bebek digunakan sebagai obat sakit pinggang. Telur ayam dan telur bebek sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa Tanjung Medan mengingat kondisi fisik mereka yang mudah kelelahan akibat aktivitas kerja di kebun. Namun, pada kenyataannya di desa Tanjung Medan manfaat daging dan telur ternak bukan hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi saja ataupun untuk obat, akan tetapi mereka juga dapat menjual hasil ternak mereka ke pasar. Dari penjualan ternak mereka dapat memperoleh pendapatan yang cukup besar. Harga per kilo ayam saja dapat mencapai Rp.30.000-Rp.35.000 per kg, sedangkan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
harga bebek yang biasanya ditentukan dalam ukuran ekor bukan kg(kilo gram), dengan harga bebek per ekornya dapat mencapai Rp.20.000-Rp.25.000 per ekor. Sementara itu, berat seekor ayam bisa mencapai 2-4 kg (ayam jantan), dan 1- 2 kg (ayam betina). Di samping daging unggas, manfaat lain dari hasil ternak ini yang biasa di pasarkan adalah telurnya. Harga telur unggas ini berbeda-beda, kalau telur ayam harganya Rp.2.000 per butir sedangkan harga telur bebek hanya Rp.1.000 per butir. Dari hasil penjualan hewan ternak terkadang mereka dapat menyisihkan untuk keperluan pendidikan anaknya, dan juga untuk keperluan kesehatan apabila ada diantara anggota keluarga yang menderita sakit. Seperti yang diungkapkan oleh informan Bapak Sahlan Hasibuan (36 tahun) sebagai berikut : “Halaman rumah saya cukup luas sehingga saya memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayuran dan buah-buahan seperti cabe, tomat, pepaya, pisang, rambutan. Selain sayuran dan buah-buahan, pekarangan rumah juga saya manfaatkan untuk beternak ayam. Hasil dari sayuran dan buah-buahan ini ada yang kami konsumsi ada juga yang kami jual. Dari ternak ayam dagingnya kami konsumsi sendiri dan adapula yang dijual, dari penjualan daging ayam ini dapat kamilah Rp.500.000 setiap kali penjualan. Begitu juga dengan telurnya kadang kami jual ke pasar 10- 20 butir, dapat lah kami Rp.15.000- Rp.30.000 gitu”. Pemanfaatan pekarangan rumah sebagai tempat peternakan unggas ternyata mampu membantu menekan biaya-biaya untuk memenuhi kebutuhan pokok para petani Kelapa Sawit Rakyat. Bahkan, dari hasil peternakan tersebut mereka dapat menambah pendapatan keluarga sehingga dapat membantu meringankan beban ekonomi pasca terjadinya penurunan harga buah Kelapa Sawit yang awalnya merupakan sumber penghasilan utama para petani Kelapa Sawit Rakyat.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit di di desa Tanjung Medan persis halnya seperti yang dikemukakan oleh Moses (dalam Suharno, 2002) yang membuat kerangka analisis yang disebutnya “The Aset Vulnerability Framework. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan salah satu aset produktif (produktif aset) misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, memanfaatkan pekarangan rumah sebagai tanaman untuk keperluan hidupnya. Seperti apa yang telah dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan yang menetapkan pola subsistensinya dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayuran misalnya cabe, tomat, ubi, dan tanaman lain yang perawatannya tidak rumit. Selain menanam sayuran mereka juga memanfaatkan pekarangan rumah untuk memelihara ayam dan bebek. Situasi yang demikian persis seperti yang dijelaskan oleh Ever tentang produksi pedesaan yang dibaginya kedalam dua variabel yaitu variabel rumah tangga yang meliputi tenaga kerja, jenis lahan, dan jenis pekerjaan dan reproduksi. Ia melihat bahwa tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja reproduksi dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan. Reproduksi meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja dari suami atau lelaki yang bekerja di luar rumah tangga. Isteri selain berfungsi reproduksi juga melakukan produksi pekarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan anak. Sedangkan variabel luar rumah tangga adalah produksi yang diperoleh dari komunitas, bantuan keluarga dan termasuk
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
bantuan dari anak yang sudah dewasa (Ever 1988 dalam M. Rawa El Amady, http://smilerawa.blosspot.com/2007/10/pemikiranekonomiagrarissuatustudi.html). Sejalan dengan pandangan di atas Scoot mengatakan bahwa apabila petani sudah sampai batas etika subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi. Pada ekonomi subsisten petani tidak mempunyai standar kebutuhan dasar. Standar petani adalah konsumsi, makin tinggi produksi maka standar konsumsi dalam rumah tangga juga makin tinggi. Apabila panen tahun ini bisa mencukupi sampai panen tahun berikutnya, hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk membelanjakan keperluan sekunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-mayur, buah-buahan, daging mrupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi, garam, korek, dan pakaian dan keperluan sekunder lainnya dibeli dari hasil kerja mingguan dan bulanan (Scoot dalam M. Rawa El Amady,http://smilerawa.blosspot.com/2007/10/pemikiranekonomiagrarissuatustu di.html). Selama ini strategi adaptasi yang dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat telah mampu mengatasi permasalahan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok walaupun dengan seadanya. Para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan mampu survive (bertahan hidup) dengan keadaan mereka yang penuh dengan tuntutan dan masalah-masalah kebutuhan hidupnya. Para petani melakukan strategi bertahan yang paling besar yaitu dengan mengoptimalkan anggota keluarga mereka untuk ikut bekerja membantu perekonomian, mengurangi pengeluaran untuk barang-barang yang tidak penting, dan penekanan terhadap pola konsumsi berupa makanan yang tidak terlalu mewah dan masih dapat ditunda pembeliannya. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
4.3 Strategi Jaringan Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan dalam mengatasi masalah keuangan keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara formal maupun informal dengan lingkungan sosial dan lingkungan kelembagaannya.
Pemanfaatan
jaringan
ini
terlihat
jelas ketika terjadi
permasalahan ekonomi seperti menurun pendapatan dari hasil kebun Kelapa Sawit. Mereka memanfaatkan relasi untuk memecahkan solusi masalah keuangan keluarga, misalnya meminjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, pemanfaatan anti kemiskinan, bahkan ada yang minjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan sering meminta bantuan kepada relasi sosialnya terutama kepada sesama petani sawit atau tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa diantara mereka memilki solidaritas yang kuat dan saling percaya. Tampaknya tetangga merupakan tumpuan untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat pertama yang akan dituju apabila mereka mengalami masalah. Selain itu, mereka dapat juga melakukan pinjaman kepada rentenir/koperasi, dan bank, meskipun persentasenya cukup kecil. 4.3.1 Meminjam uang kepada Tetangga/Kerabat Dalam
kehidupan
bermasyarakat
seorang
individu
tidak
dapat
menjalankan aktivitas sosialnya secara diri sendiri. Sebab, banyak persoalanpersoalan yang harus dihadapi dalam lingkungan sosialnya. Persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupannya itu meliputi kegiatan biologis, ekonomis, sosial Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
dan budaya. Dalam lingkup kebudayaan itu manusia dituntut untuk membentuk suatu komunitas yang saling berinteraksi, berkomunikasi, hidup bersama sehingga membentuk satu-kesatuan sosial. Di pedesaan suatu komunitas yang terbentuk dari berbagai individu telah melakukan suatu kontrak sosial untuk dapat hidup bersama. Kehidupan individuindividu di pedesaan terjalin atas prinsip kekeluargaan, saling tolong menolong, kerjasama, gotong-royong, dan saling menghormati. Pedesaan merupakan tempat tinggalnya para individu-individu yang pada umumnya memiliki sistem mata pencaharian bertani. Pekerjaan sebagai bertani merupakan kegiatan rutinitas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sama halnya dengan desa Tanjung Medan, kehidupan masyarakatnya sangat kental dengan sistem kekerabatan. Karena mereka merasa menyadari bahwa orang-orang yang berada dalam lingkungan sosialnya memiliki identitas yang sama, rasa senasib dan sepenanggungan. Kehidupan sosial masyarakat di desa Tanjung Medan termanifestasikan dalam bentuk organisasi kekerabatan, organisasi religius, organisasi sosial dan sebagainya yang diikat dalam wadah kebersamaan, gotong royong dan saling tolong menolong. Menurunnya harga Kelapa Sawit telah mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat di desa Tanjung Medan, para warga terutama para petani Kelapa Sawit Rakyat yang paling merasakan goncangan keuangan atau prekonomiannya terlebih dahulu meminta pertolongan kepada tetangga terdekatnya. Ketika penghasilan dari kebun Kelapa Sawitnya sudah tidak dapat mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka langkah yang harus dilakukan adalah meminjam uang kepada tetangga atau sesama petani guna meringankan beban Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
keuangan keluarga. Biasanya pinjaman terhadap tetangga dimanifestasikan dalam bentuk uang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Pinjaman akan diberikan oleh tetangga tergantung apabila kondisi keuangan mereka juga dalam keadaan baik. Petani yang telah terdesak membutuhkan uang akan mengunjungi rumah tetangganya dengan suasana penuh harapan dan menceritakan semua keluh kesahnya. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk bercerita tentang permasalahan ekonomi yang mereka hadapi, keterbukaan merupakan cermin dari rasa kekeluargan bagi mereka. Dalam hal meminjam uang kepada kerabat atau tetangga pada umumnya meeka menggunakan modal sosial dengan saling percaya (trust) antara sesama kerabat atau tetanga. Kepercayaan atau trust adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Trust adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berprilaku normal, jujur dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu (Fukuyama, 2002: 36). Apabila
anggota
kelompok
mengharapkan
anggota-anggotanya
berperilaku jujur dan terpercaya, mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan seperti pelumas yang membuat jalanya suatu organisasi menjadi lebih efesien dan efektif. Dalam konteks ini, modal sosial bukan hukum atau aturan formal, tetapi norma informal yang mempromosikan perilaku tugas dan tanggung jawab, saling mengendalikan, dan kesediaan untuk saling tolong menolong. Robert D. Putman (1993), mendefenisikan trust atau rasa percaya adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
yang disadari oleh perasaan yakin antara satu dengan yang lain untuk melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Hasbullah, 2006: 11). Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas dasar saling mempercayai yang tinggi akan menimbulkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk terutama dalam konteks membangun bersama. Francois (2003) memandang trust sebagai komponen ekonomi yang relevan melekat pada kultur yang ada pada masyarakat yang akan membentuk kekayaan modal sosial. Jika orang-orang yang bekerja sama saling mempercayai dan bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka petani dapat meminimalisasikan persoalan biaya (Hasbullah, 2006: 12). Melihat realitas hubungan yang terjalin di dalam kehidupan masyarakat di desa Tanjung Medan, sangatlah relevan seperti apa yang diungkapkan oleh Sayogio dan Pudjiwati (1996) bahwa, tolong menolong dilakukan antar petani yang bertetangga atau satu kelompok usaha atau kerabat dekat dengan memegang rasa percaya satu sama lainnya (www.pemikiran ekonomi agraris-suatu studi pengantar.com/2007/10/). Kehidupan bertetangga yang dilandasi dengan prinsip tolong menolong dan kekeluargaan merupakan strategi jaringan yang dilakukan oleh para petani ketika keluarga mereka terjebak oleh krisis ekonomis. Sampai saat ini, upaya bertahan hidup tersebut masih dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan sebagai salah satu bentuk strategi adaptasi masyarakat meeka ketika mengalami tekanan ekonomis. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
4.3.2. Meminjam Uang kepada Tauke Di samping meminjam uang kepada para kerabat atau tetangga, petani Kelapa Sawit Rakyat juga memiliki alaternatif lain dalam mencari tempat menghutang uang. Mengutang uang tersebut mereka lakukan kepada tauke Kelapa Sawit tempat mereka menjual hasil perkebunan Kelapa Sawitnya. Biasanya mereka melakukan peminjaman uang kepada tauke dalam jumlah yang lumayan besar, dan sebagai imbalan atas kebaikan para tauke yang telah meminjamkan uang kepada mereka, petani akan menjual hasil kebunnya kepada tauke tersebut meskipun harganya lebih rendah. Situasi yang demikian bisa berlangsung lama dan dapat pula menjadi berkesinambungan. Hal ini tentu menguntungkan bagi pihak tauke karena dapat mengikat langganannya, dan di sisi lain kurang menguntungkan bagi petani, namun bagi mereka hal tersebut setidak-tidaknya telah dapat menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian di desa Tanjung Medan, mengutang memang merupakan jaminan pendapatan untuk kelangsungan konsumsi rumah tangga mereka, apabila sudah tidak ada lagi pendapatan yang diperoleh. Sedangkan tauke merupakan sumber over consumption, ketika produksi menurun sementara produksi meningkat, petani sering mengabaikan hokum household utility maximization, dengan menambah hutang sesuai dengan kebutuhan konsumsi. Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke untuk membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku mak tingkat ketergantungan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
petani tersebut akan semakin besar pada tauke, bahkan taeke bisa jadi tuan bagi keluarga tersebut. Kondisi over counsumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi penurunan harga komodits, atau terjadi peristiwa alam atau kepala rumah tangga sakit keras. Kedua, hari-hari besar agama seperti hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Muharram atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi untuk merayakan hari besar tersebut selama tiga hari. Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan lainnya (www.pemikiran ekonomi agraris-suatu studi pengantar.com/2007/10/). 4.3.3 Meminjam Uang kepada Rentenir/Koperasi Meminjam uang untuk keperluan yang mendesak merupakan strategi yang mesti dilakukan oleh setiap orang. Keadaan ini bisa terjadi kepada siapapun, termasuk pada petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan. Akibat dampak penurunan harga buah Kelapa Sawit yang turun secara signifikan pada tahun 2008, banyak diantara petani yang mengalami kesulitan finansial. Kesulitan finansial yang dihadapi ternyata telah mengancam masyarakat petani dalam memenuhi berbagai kebutuhan-kebutuhan dasar dan sosialnya. Sebagai bentuk upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut maka muncul inisiatif mereka untuk mencari pinjaman uang. Meminjam uang dilakukan terutama apabila kesulitan ekonomis sudah semakin mendesak, oleh karena itu jaringan relasi yaitu tetangga atau kerabat dekat merupakan alternaif yang dapat dimanfaatkan. Selain meminjam dari para tetangga atau kerabatnya, para petani juga sering terjebak dengan para rentenir atau koperasi. Sistem pinjaman yang menekankan pada
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
sistem bunga ini merupakan salah satu pilihan yang terkadang dapat dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang begitu mendesak. Rentenir atau koperasi adalah suatu bentuk pinjaman yang diberikan oleh para pemilik modal dengan menekankan pembungaan uang. Petani yang melakukan pinjaman terhadap rentenir tidak akan membayar jumlah uang pinjaman dalam jumlah yang sama dan pada hari yang sama pula ketika mereka meminjam uang. Akan tetapi, sistem pembayaran akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan biasanya pengembalian pinjaman dilakukan dalam bentuk ansuran atau cicilan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. Misalnya, petani ingin meminjam uang sebesar Rp.3.000.000, maka prosedur yang ditawarkan adalah pembayaran ansuran per hari, pembayaran ansuran per minggu, dan pembayaran ansuran per bulan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Mukdin (66 tahun) sebagai berikut : “Saya meminjam uang ke koperasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak seperti biaya pendidikan sekolah anak saya, biaya kesehatan, itu harus cepat terpenuhi. Kalo uang sudah tidak punya maka saya coba minjam ke tetangga dan kerabat, kalo enggak dapat pinjaman dari mereka terpaksalah saya minjam ke koperasi. Biasanya saya minjam Rp.2.000.000, ansuran yang ditawarkan ada per hari, biasanya besar ansuran yang harus saya bayar adalah Rp.60.000 per hari selama 40 hari. Jika ansuran per minggu, maka tinggal dikalikan saja banyaknya hari dalam seminggu (biasanya 6 hari) dengan jumlah ansuran yang pertama tadi yaitu Rp.60.000 menjadi Rp.360.000 per minggu. Jumlah uang yang kita terima dari koperasi itu tidak sampai Rp.2.000.000, karena harus dipotong lagi dengan biaya administrasi sebesar Rp.100.000 dan tabungan kita Rp.100.000. Tabungan ini dapat kita ambil setelah lunas ansuran uang yang kita pinjam. Jadi, jumlah uang yang bersih kita terima hanya sebesar Rp.1.800.000 saja. Begitulah nak sistem pembayarannya, mau gak mau harus dilakukan. Keuntungannya kadang bisa cepat diputarkan uangnya”. (Wawancara dengan informan Mukdin, 2009).
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sistem pinjam yang demikian biasa mereka lakukan meskipun terkadang kelihatan sangat penuh resiko, tetapi cara ini terbukti mampu meringankan permasalahan ekonomis keluarga petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan. 4.3.4 Meminjam uang kepada Bank Di samping meminjam uang kepada para tetangga dan rentenir, para petani Kelapa Sawit juga memiliki alternatif untuk meminjam uang ke Bank. Meminjam uang ke Bank membutuhkan prosedur yang cukup beresiko dan cukup sulit. Karena para petani harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak Bank terhadap para nasabahnya yang ingin meminjam uang. Persyaratan yang utama adalah jaminan atau boroh meliputi surat-surat ataupun dokumen-dokumen beharaga, misalnya ; surat tanah, surat rumah, surat izin usaha, kartu kredit, dan lain sebagainya. Proses meminjam uang ke Bank mengikuti prosedur yang formal dan melibatkan hukum. Apabila para petani tidak mampu membayar ataupun melunasi hutang-hutangnya di Bank, maka mereka harus merelakan aset-aset beharga miliknya beralih status menjadi milik pihak Bank. Biasanya jumlah uang yang akan dipinjam ke bank sebesar Rp.5.000.000-Rp.10.000.000. Pinjaman itu sudah dianggap sangat besar dan biasanya mereka tidak berani jika meminjam lebih tinggi dari angka tersebut. Uang pinjaman dari bank akan mereka pergunakan untuk keperluan pokok dan kebutuhan pendidikan anak. Jika uang masih berlebih biasanya digunakan untuk mendirikan warung kecil-kecilan seperti warung gorengan, bakso, dan sejenisnya. Perputaran uang hasil dari warung itu disimpan untuk membayar bulanan pinjaman ke bank. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
4.4 Penghasilan dari Strategi Aktif, Starategi Pasif, Strategi Jaringan: Peningkatan atau hanya mencukupi kebutuhan ekonomi Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan memiliki strategi tersendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga. Strategi yang dilakukan oleh para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan meliputi strategi aktif; yaitu kerja sampingan seperti; menangkap ikan di sungai, mengumpulkan kayu bakar, pengumpul brondolan, pengumpul botot, strategi pasif; yaitu pemanfaatan pekarangan rumah sebagai tempat menanam berbagai jenis sayuran holtikutura, beternak unggas, dan strategi jaringan yang meliputi pinjaman uang terhadap tetangga, rentenir dan bank. Dari tabel 14 juga dapat dilihat bahwa biaya pengeluaran keluarga petani sawit cukup besar dan semuanya itu mengakibatkan para isteri petani juga ikut membantu didalam memenuhi kebutuhan keluarga. Upaya yang dilakukan Petani Kelapa Sawit untuk mencukupi kebutuhan keluarganya salah satunya adalah dengan mencari pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan ini merupakan suatu strategi aktif yang mereka lakukan untuk menambah penghasilan. Dari penghasilan tersebut keluarga petani sawit rakyat dapat mencukupi kebutuhannya. Seperti yang dilampirkan pada tabel 16 di bawah ini : Tabel 16 Pendapatan Petani dari Pekerjaan Sampingan Pekerjaan Sampingan Isteri dan Suami/Pendapatan Per Bulan Nama /Keluarga Ibu Yani /Pak Budin
Mengumpulkan Brondolan Rp.360.000
Mengumpulkan Botot
Menangkap Ikan
Total pendapatan Mencari Kayu Bakar
Keluarga/ Rp
Rp.480.000 Rp.840.000
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Ibu Masnah /Pak Janggak Ibu Dewi /Pak Tambren Ibu Mawar /Pak Rifin Ibu Salmah /Pak Yanto Ibu Rika /Pak Ruslan Ibu Siyah /Pak Salman Ibu Mida /Pak Rizal Ibu Mas /Pak Mukdin Ibu Lina /Pak Sahlan
Rp.360.000
Rp.3.000.000
Rp.3.360.000
Rp.180.000
Rp.4.500.000
Rp.4.680.000
Rp.540.000
Rp.640.000 Rp.1.180.000
Rp.360.000
Rp.1.500.000 Rp.96.000
Rp.1.860.000 Rp.480.000 Rp.576.000
Rp.60.000
Rp.2.100.000
Rp.120.000
Rp.2.160.000 Rp.640.000 Rp.760.000
Rp.176.000
Rp.1.200.000
Rp.1.376.000
Rp.176.000
Rp.3.000.000
Rp.3.176.000
Sumber : Diolah dari keterangan Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan Dari tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata penghasilan dari pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan yang dihitung dalam jangka waktu per bulan maksimal memperoleh penghasilan
sebesar
Rp.4.6800.000;
dan
minimal
sebesar
Rp.576.000;.
Perhitungan dilakukan dengan menggabungkan pendapatan yang diterima oleh keluarga petani Kelapa Sawit meliputi pendapatan per bulan isteri dari mengumpulkan berondolan dan mengumpulkan botot, serta pendapatan dari pekerjaan suami (petani sawit) sebagai penangkap ikan dan pengumpul kayu bakar. Hasilnya adalah keseluruhan total kapital dari pendapatan keluarga petani sawit per bulannya. Dari hasil strategi aktif tersebut Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan ternyata mampu menutupi biaya-biaya kebutuhan lainnya seperti, biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan keluarga. Akan tetapi, penghasilan
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
tambahan ini juga tidak menentu, terkadang dapat menurun dan dapat pula memperoleh hasil dua kali lipat dari biasanya. Dilihat dari pendapatan atau penghasilan sebelum dan sesudah memiliki mata pencaharian tambahan (lihat tabel 14 dan 15 pada bab III), penghasilan yang diperoleh oleh masyarakat di desa Tanjung Medan mengalami perubahan yang benar-benar mengejutkan diri mereka. Penghasilan tersebut benar-benar telah meningkatkan perekonomian keluarga dan menjadikan kehidupan masyarakat di desa ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari penghasilan sampingan itu, mereka mampu untuk membuka tabungan sendiri dan mampu membeli segala keperluan kelurga dan kebutuhan sehari-hari, mulai dari kebutuhan konsumsi seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, sampai pada kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Penghasilan tambahan yang merek peroleh ini merupakan suatu kerja keras
yang dilakukan dengan membuat suatu sistem pembagian kerja antara
suami, isteri dan anak-anak dari keluarga petani Kelapa Sawit. Dan hal ini merupakan strategi dalam meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Oleh karena itu, mereka merasa cukup puas dengan pilihan mata pencaharian tambahan yang dilakoni sekarang ini, karena tidak lagi tergantung kapada perkebunan sawit yang selama ini menjadi mata pencaharian utama bagi para petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan, walaupun menjadi pekerja sampingan merupakan suatu pekerjaan yang sangat melelahkan serta membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan target, tetapi demi kelangsungan hidup keluarga, mereka tidak pernah berputus asa dalam menjalankan aktifitas baru itu, yang terpenting bagi mereka adalah Hasil yang
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
didapatkan cukup memuaskan dan dapat menjamin kehidupan mereka untuk dapat menakahi kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Sistem strategi aktif yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan ternyata mampu membuat mereka untuk tetap dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga sistem adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Seperti yang telah dilakukan oleh Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan, ketika pendapatan dari hasil perkebunan sawit sudah tidak dapat menjamin kebutuhan hidupnya lagi, maka mereka memutuskan untuk melakukan pekerjaan sampingan dengan memanfaatkan sumber daya alam, dan sistem pengetahuan yang mereka miliki agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Starategi aktif yang mereka lakukan merupakan suatu tindakan adaptasi yang bekerja melalui pilihan-pilihan dari kesadaran mereka untuk mencapai tujuannya. Vayda dan McCay 1975 (dalam Fedyani, 2005: 130-131) mengatakan bahwa manusia berkecenderungan untuk berprilaku kultural ketika bereaksi terhadap suatu bencana, termasuk ancaman fisik maupun sosial terhadap kesehatan dan tetap hidupnya suaatu organisma, termasuk manusia. Bencana menuntut respon adaptif, yang membutuhkan sumber daya yang digunakan untuk menanggulangi masalah-masalah mendesak, selain menyediakan sumber daya untuk masa depan. Bencana itu sendiri dapat menyangkut kehidupan ekonomis seperti kelaparan, kemiskinan, dan tekanan ekonomi. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sementara itu, permasalahan ekonomis yang dihadapi oleh petani di desa Tanjung Medan bukan hanya menuntut mereka untuk hanya memanfaatkan aset tenaga kerja yang mereka miliki. Akan tetapi, mereka juga dituntut untuk dapat merespon aset-aset yang dimiliki agar dapat bertahan dari tekanan ekonomi yang melingkupinya. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Tanjung Medan di mana mereka memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanami jenis tanaman sayur. Kegiatan ekonomis ini dilakukan sebagai upaya untuk menghemat pengeluaran keluarga dan juga bertujuan untuk menambah penghasilan. Kegiatan bercocok tanam jenis tanaman sayur atau holtikultura yang telah dilakukan oleh petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan merupakan kegiatan ekonomis untuk mengurangi angaran konsumsi keluarga. Jenis sayuran yang ditanam adalah sayuran yang biasanya untuk di konsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Beberapa jenis sayuran holtikultura tersebut adalah cabe, terong, jahe, kunyit, rimbang, labu, ubi rambat, pepaya, dan beberapa diantaranya jenis tanaman hutan yang biasanya di konsumsi. Dengan adanya jenis sayuran ini para petani Kelapa Sawit Rakyat tidak lagi mesti membelinya ke pasar. Mereka dapat memperolehnya di kebun kecil dekat pekarangan rumah mereka. Hasil dari strategi pasif tersebut cukup untuk menekan pengeluaran pokok atau konsumsi keluarga. Meskipun tidak terlalu besar, akan tetapi sangat mempengaruhi bagi kehidupan mereka. Artinya, kebutuhan konsumsi yang merupakan kebutuhan pokok atau utama dapat lebih terjamin dengan keberadaan jenis sayur-sayuran di pekarangan rumah.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Selain itu, pekarangan rumah juga digunakan untuk beternak unggas. Manfaat yang diperoleh keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dari ternak unggas ini adalah daging dan telurnya yang dapat di konsumsi keluarga. Jenis unggas yang umumnya mereka pelihara adalah ayam dan bebek. Kegiatan beternak ayam dan bebek tersebut mereka lakukan hanya sambil lalu saja untuk mengisi waktu luang mereka di sore hari. Akan tetapi, kegiatan beternak ayam dan bebek bukan hanya di khususkan untuk keperluan konsumsi saja. Karena hewan unggas sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, maka kegiatan beternak ayam dan bebek dikomersialisasikan para petani untuk di jual ke pasar. Hasil yang diperoleh dari penjualan hewan ternak tersebut cukup memberikan tambahan pendapatan yang lumayan. Harga seekor ayam dapat mencapai Rp.35.000/kg dan telurnya dihargai Rp.2.500/butir, sedangkan untuk jenis ternak bebek harganya Rp.30.000/ekor dan harga telurnya Rp.1.500/butir. Mereka menjual hasil ternak ke pasar secara eceran dan terkadang dapat juga dijual secara glosiran. Pendapatan yang mereka terima dari hasil hewan ternak unggas ini sangat menguntungkan. Seperti yang terlihat pada tabel 17 di bawah ini : Tabel 17 Pendapatan dari Peternakan Ayam Nama
Harga
Harga
Banyaknya Ayam dan
Total
Keluarga
Ayam
Telur
Telur yang dijual
Harga
(kg)
(butir)
Ayam
Telur
Sahlan
Rp.35.000
Rp.2.500
10 kg 10x35.000 =Rp350.000
20 butir 20x2.500 =Rp50.000
Rp.400.000
Mukdin
Rp.35.000
Rp.2.500
5 kg 5x35.000 =Rp175.000
10 butir 10x2.500 =Rp25.000
Rp.200.000
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Yanto
Rp.35.000
Rp.2.500
8 kg 8x35.000 =Rp280.000
15 butir 15x2.500 =Rp37.500
Nasution
Rp.35.000
Rp.2.500
15 kg 15x35.000 =Rp525.000
50 butir Rp.650.000 50x2.500 =Rp125.000
Faisal
Rp.35.000
Rp.2.500
4 kg 4x35.000 =Rp140.000
7 butir 7x2.500 =Rp17.500
Ruslan
Rp.35.000
Rp.2.500
20 kg 20x35.000 =Rp700.000
60 butir Rp.850.000 60x2.500 =Rp150.000
Siah
Rp.35.000
Rp.2.500
12 kg 12x35.000 =Rp420.000
10 butir 10x2.500 =Rp25.000
Rp.445.000
Dame
Rp.35.000
Rp.2.500
10 kg 10x35.000 =Rp350.000
10 butir 10x2.500 =Rp25.000
Rp.375.000
Ucok
Rp.35.000
Rp.2.500
7 kg 7x35.000 =Rp245.000
5 butir 5x2.500 =Rp12.500
Rp.257.500
Purba
Rp.35.000
Rp.2.500
10 kg 20 butir 10x35.000 20x2.500 =Rp350.000 =Rp50.000
Rp.317.500
Rp.157.500
Rp.400.000
Sumber : Data diolah dari keterangan Petani Kelapa Sawit desa Tanjung Medan Dari tabel 17 dapat dilihat distribusi pendapatan petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dari beternak ayam. Pendapatan maksimum dari peternakan ayam mencapai Rp.850.000/bulan, dan pendapatan terendahnya mencapai Rp.157.500/bulan. Sedangkan pendapatan maksimum yang diperoleh dari beternak bebek adalah Rp.960.000/bulan (lihat tabel 18 di bawah), sementara pendapatan terendahnya adalah Rp.120.000/bulan. Tabel 18 Pendapatan dari Peternakan Bebek Nama
Harga
Harga
Banyaknya Ayam dan
Total
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Keluarga
Bebek
Telur
Telur yang dijual
Harga
(ekor)
(butir)
Ayam
Telur
Sahlan
Rp.30.000
Rp.1.500
30 ekor 30x30.000 =Rp900.000
40 butir 40x1.500 =Rp60.000
Rp.960.000
Mukdin
Rp.30.000
Rp.1.500
15 ekor 15x30.000 =Rp450.000
25 butir 25x1.500 =Rp37.500
Rp.487.500
Yanto
Rp.30.000
Rp.1.500
30 ekor 30x30.000 =Rp900.000
30 butir 30x1.500 =Rp45.000
Rp.945.000
Nasution
Rp.30.000
Rp.1.500
10 ekor 10x30.000 =Rp300.000
15 butir 15x1.500 =Rp22.500
Rp.322.500
Faisal
Rp.30.000
Rp.1.500
5 ekor 5x30.000 =Rp150.000
5 butir 5x1.500 =Rp7.500
Rp.157.500
Ruslan
Rp.30.000
Rp.1.500
20 ekor 20x30.000 =Rp600.000
20 butir 20x1.500 =Rp30.000
Rp.630.000
Siah
Rp.30.000
Rp.1.500
5 ekor 5x30.000 =Rp150.000
5 butir 5x1.500 =Rp7.500
Rp.157.500
Dame
Rp.30.000
Rp.1.500
10 ekor 7x30.000 =Rp300.000
-
Rp.300.000
Ucok
Rp.30.000
Rp.1.500
7 ekor 7x30.000 =Rp210.000
-
Rp.210.000
Purba
Rp.30.000
Rp.1.500
4 ekor 4x30.000 =Rp120.000
-
Rp.120.000
Sumber : Data diolah dari keterangan Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan Dari tabel 17 dan 18 dapat dilihat rata-rata penghasilan yang diperoleh oleh keluarga petani Kelapa Sawit dari hasil ternak unggasnya maksimal Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Rp.1.480.000; yang biasanya diperoleh oleh keluarga pak Ruslan. Peternakan unggas yang biasanya dipelihara oleh keluarga Pak Ruslan adalah jenis ayam siam yang memiliki berat dapat mencapai lebih dari 4 kg untuk ukuran ayam dewasa. Sedangkan ternak bebeknya hanya dari jenis biasa yaitu jenis entok atau itik manila. Sementara itu, rata-rata penghasilan minimum yang akan diperoleh adalah sebesar Rp.314.500; yang diperoleh oleh keluarga Bapak Faisal, dalam sekali penjualan biasanya ia hanya dapat memasarkan 4 (empat) kg ayam, 7 butir telur ayam, 5 ekor bebek dan 5 butir telurnya. Rata-rata penghasilan tersebut juga dapat menggambarkan kehidupan perekonomian masyarakat di desa Tanjung Medan, terutama para petani Kelapa Sawit Rakyat. Strategi ini lah yang mereka lakukan sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bahkan menambah penghasilan keluarga ketika terjadi goncangan ekonomi. Hal ini persis seperti yang dikemukakan oleh Suharno seorang pengamat masalah kemiskinan dari Institut pertanian Bogor, bahwa defenisi dari strategi bertahan hidup (coping strategies) adalah kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, strategi penangan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya. Bisa juga disamakan dengan kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan Shock and Stress (Suharto, 2003 : 1). Strategi pasif yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan merupakan suatu model penekanan terhadap pola subsistensi dengan cara mengedepankan kebutuhan konsumsi daripada kebutuhan-kebutuhan sosial Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
ekonomis. Penekanan biaya konsumsi tersebut mereka lakukan dengan cara memanfaatkan aset produktif yaitu rumah, pekarangan, ternak, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar kebutuhan pokok lebih aman dan terjamin. Di samping itu, untuk menghemat biaya konsumsi keluarga maka makanan yang di konsumsi sehari-hari dapat diperoleh dari hasil kebun sendiri. Moser (dalam Suharno, 2002) membuat kerangka analisis yang disebut “The Aset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan salah satunya aset produktif (Produktive Aset) misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya. Petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan juga melakukan strategi yang sama yaitu menetapkan pola subsistensinya dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayuran misalnya tomat, cabe, terong, dan tanaman lain yang perawatannya tidak rumit. Selain menanam sayuran pekarangan rumah dimanfaatkan juga untuk memelihara ayam dan bebek. Dari tabel 17 dan 18 juga dapat dilihat bahwa sebagian besar keluarga Petani Kelapa Sawit Rakyat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam sayuran dan beternak (pola subsistensi). Hasil dari pola subsistensi di konsumsi untuk kebutuhan keluarga. Selain menanam sayuran, pekarangan rumah juga dimanfaatkan untuk memelihara ayam dan bebek. Hasil dari subsistensi ini ada yang dikonsumsi dan ada pula yang dijual. Seperti yang terdapat pada tabel 17 dan 18, peternakan ayam dan bebek telah memberikan pendapatan yang sangat mencukupi bagi keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Dampak
penurunan
harga
Kelapa
Sawit
terhadap
perekonomian
masyarakat Petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan memang sangat mempengaruhi kondisi ekonomi keluarga mereka, dan apabila krisis tersebut terus berlanjut maka dapat mengancam keberlangsungan hidup mereka. Dalam hal ini, di samping melakukan strategi aktif dan strategi pasif, masyarakat petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan juga memanfaatkan hubungan kekerabatan sebagai jaringan untuk meminjam uang ketika kebutuhan-kebutuhan ekonomi telah mendesak sedangkan keuangan tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Kekerabatan merupakan hubungan yang terjalin pada individu-individu dalam suatu komunitas dan terikat oleh adanya rasa kebersamaan, persaudaraan, dan pertalian darah. Dengan kekerabatan setiap individu dapat hidup berdampingan satu sama lainnya dalam wujud tolong menolong, saling bantumembantu untuk kepentingan masing-masing. Sistem kekerabatan yang terjalin dalam kehidupan masyarakat petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan dilandasi dengan modal sosial yaitu trust (kepercayaan), reciprocity (resiprositas), dan lainnya yang membuat solidaritas dari masyarakatnya semakin kuat. Rasa saling mempercayai dan adanya hubungan timbal balik yang dikembangkan oleh masyarakat di desa Tanjung Medan memberikan manfaat tersendiri bagi kehidupan sosial ekonomis mereka, misalnya memberikan pinjaman uang kepada sesama yang lagi membutuhkan, gotong royong dalam melakukan suatu pekerjaan, saling tolong menolong, bantu membantu, dan sebagainya. Meminjam uang merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh masyarakat petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan ketika terjadi Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
desakan ekonomi seperti, berkurangnya pendapatan masyarakat petani akibat turunnya harga sawit sehingga tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk dapat memenuhi tuntutan itu mereka melakukan suatu usaha yaitu meminajam uang. Meminjam uang terhadap tetangga tidak dilandasi dengan sistem bunga uang, akan tetapi hanya dengan modal kepercayaan dan azas resiprositas. Sesama kerabat atau tetangga telah terbina rasa saling mempercayai satu sama lainnya, dan hubungan yang bersifat timbal balik lebih berorientasi pada moral dan perasaan. Tidak ada sanksi ataupun jaminan yang bersifat formal dalam kegiatan ekonomis tersebut. Starategi jaringan yang memanfaatkan relasi kerabat atau tetangga untuk meminjam uang merupakan suatu strategi adaptasi ketika mereka dihadapkan dengan suatu lingkungan ekonomis yang mengancam kehidupan keluarga. Seperti apa yang dikemukan oleh Harris bahwa manusia melakukan hubungan-hubungan sosialnya yang mencakup hubungan produksi, konsumsi, dan ekonomi domestik yang kongkrit, dan saling erat berkait, dimana satu struktur berpengaruh terhadap struktur yang lain melalui proses adaptasi, penyesuaian (Harris, 1979: 65 dalam Sairin, 180:181). Berbeda halnya ketika petani meminjam uang kepada rentenir/koperasi, memang modal kepercayaan (trust) dan resiprositas masih berlaku dalam hal ini. Akan tetapi rasa percaya yang terbentuk tidaklah seperti rasa percaya yang terjalin dalam kehidupan kekerabatan. Rasa percaya terhadap sesama kerabat lebih berorientasi pada kekeluargaan dan perasaan persaudaraan, sedangkan trust yang terbentuk dalam hubungan kepada rentenir atau koperasi lebih berdasarkan azas keuntungan. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Meskipun demikian pilihan strategi jaringan terhadap rentenir masih umum dilakukan oleh para petani di desa Tanjung Medan karena tuntutan ekonomi keluarga tadi. Apabila mereka tidak melakukan hal itu maka akan mengancam keberlangsungan hidupnya. Hasil dari strategi jaringan mampu menekan masalah ekonomi yang dihadapi, dan dapat membuat mereka sampai saat ini masih bisa eksis walaupun dengan kehidupan yang seadanya. Sama halnya dengan menjalin relasi pada koperasi, meminjam uang juga mereka lakukan kepada bank agar tekanan ekonomi keluarga yang mereka hadapi dapat tercukupi. Meskipun dalam prosedurnya meminjam uang ke bank membutuhkan jaminan lebih bersifat formal seperti surat-surat beharga yaitu surat tanah, kebun, rumah dan sebagainya, tetapi pilihan meminjam ke bank masih mereka lakukan. Selain membutuhkan jaminan, perusahaan bank juga menetapkan sistem bunga uang yang dapat memberatkan masyarakat pada umumnya, dengan ketentuan yang berbeda-beda sesuai banyaknya pinjaman dan manajemen dari pihak bank itu sendiri. Memanfaatkan bank untuk keperluan meminjam uang merupakan strategi yang mereka anggap pilihan terakhir. Seperti yang diungkapkan oleh informan Rizal (36 tahun) sebagai berikut: “Kalau keadaan ekonomi sudah sulit kali terpaksalah meminjam uang ke bank. Biasanya jaminan yang kami berikan adalah surat kebun dan besarnya jumlah uang yang saya pinjam paling-paling Rp.5.000.000, sudah cukup untuk menarik nafas untuk memenuhi keperluan keluarga kami. Kalo bulananya kami usahakan dari pekerjaan sampingan. Mudah-mudahan sampai sekarang kami belum pernah jatuh tempo”. (Wawancara dengan informan Rizal 2009). Starategi-strategi yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan merupakan bentuk upaya yang mereka pilih agar dapat bertahan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
hidup. Strategi aktif; yaitu mencari kerja sampingan seperti mengumpulkan brondolan, mengumpulkan botot, menangkap ikan, mencari kayu bakar, memanfaatkan tanaman liar, dan strategi pasif; seperti menekan pola subsistensi dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam jenis sayuran holtikultura, berternak bebek, serta memanfaatkan jaringan kekerabatan/tetangga, meminjam uang pada rentenir/koperasi, dan meminjam uang ke bank. Seluruh kegiatan ekonomis tersebut dilakukan sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungannya yang meliputi lingkungan sosial, ekonomis, dan budayanya. Hasil dari strategi yang mereka lakukan selama terjadinya penurunan harga buah Kelapa Sawit ternyata dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Terutama strategi aktif dan strategi pasif yang sangat membantu mereka ketika menghadapi tekanan ekonomis keluarga. 4.5 Strategi Dalam Memenuhi Kebutuhan Kebutuhan Sosial Budaya Strategi keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat dalam mengahadapi permasalahan keluarga, merupakan salah satu indikator variabel potensi mereka. Dalam konteks ini beban keluarga tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang statis, tetapi mempunyai dinamika sesuai dengan tantangan dan perubahan sosial. Artinya, sebagai manusia yang hidup dalam bermasyarakat para petani tidak hanya memikirkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutahan biologisnya saja seperti makan, minum, bereproduksi, dan memiliki pakaian. Akan tetapi, di samping sebagai mahluk biologis mereka juga berinteraksi dengan sesamanya yang diikat dengan aturan-aturan yang hidup dalam lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pengakuan terhadap keberadaannya ditengah-tengah komunitasnya yang tidak terlepas dari kehidupan sosial budaya. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kehidupan bersama dalam lingkungan komunitasnya memperlihatkan prilaku-prilaku yang mereka lakukan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhankebutuhan sosial-budayanya. Kebutuhan-kebutuhan sosial budaya tersebut meliputi kehidupan seremonial seperti upacara-upacara adat perkawinan, sunatan, melahirkan dll. Di samping hal tersebut, adapula yang bersifat lebih sakral (religius) yaitu seperti upacara-upacara keagamaan, misalnya wirid, perayaan hari-hari besar keagamaan dan upacara adat. Kegiatan keorganisasian tersebut merupakan bentuk interaksi mereka dalam lembaga sosial budayanya yang tujuannya adalah mengekalkan sistem kekerabatan yang telah terjalin diantara mereka. Kebutuhan-kebutuhan yang demikian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka dan harus terpenuhi agar kehidupan mereka sebagai mahluk sosial dapat berjalan dengan harmonis. Begitu juga dalam kehidupan masyarakat petani Kelapa sawit di desa Tanjung Medan, dalam kehidupan sosial budayanya mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan seremonial dan adat-istiadatnya seperti menghadiri upacara perkawinan kerabatnya, upacara kelahiran, upacara sunatan, upacara syukuran, perwiritan, pengajian, organisasi pedesaan, dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tentunya mereka harus mengeluarkan biaya, sedangkan prestise atau penghargaan merupakan standar pengukuran terhadap kedudukan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan data keterangan dari penduduk desa Tanjung Medan, bahwa kegiatan untuk menghadiri dan memberikan hadiah dalam suatu upacara atau pesta merupakan keharusan yang mesti mereka penuhi. Karena hal tersebut sudah menjadi suatu budaya yang hidup dalam jati diri individu-individunya yang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
apabila di langgar maka akan memberikan sanksi tersendiri bagi individu yang bersangkutan yaitu berupa hukuman batin, keterasingan dalam kelompoknya, perasaan dikucilkan, dan sebagainya. Dalam mengadakan suatu acara pesta atau upacara adat seperti pernikahan, syukuran, dan perayaan hari-hari besar, dibutuhkan banyak sekali biaya pengeluaran, misalnya biaya untuk menyediakan makanan dan minuman bagi para undangan, biaya perlengkapan pesta misalnya pakaian adat, sewa keybord (jika pakai), dan lain-lain. Kebutuhan tersebut harus dipenuhi meskipun pendapatan mereka terkadang berada pada tingkat yang rendah. Begitu juga dengan perayaan hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri, hari Raya Idul Adha, Ramadhan, Natal dan Tahun Baru, pada hari tersebut biasanya masyarakat akan memaksimalkan konsumsi atau pengeluaran untuk memeriahkannya, mulai dari membeli berbagai jenis pakaian, makanan, dan kegiatan-kegiatan bepergian (liburan). Namun, dalam keadaan yang tertekan oleh himpitan ekonomi bagaimana masyarakat petani Kelapa Sawit mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial budaya tersebut. Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, ada beberapa strategi yang mereka lakukan agar tetap dapat menjalankan rutinitas mereka sebagai mahkluk sosial, yang meliputi pemanfaatan budaya lokal, dan modal sosial budaya. 4.5.1 Pemanfaatan Budaya Lokal dan Modal Sosial Budaya lokal dalam sistem ekonomi tradisional sangat efesien untuk membantu perekonomian rakyat yang berada dalam situasi ekonomi yang memprihatinkan. Kebijakan ekonomi yang lebih cenderung pada orientasi pertumbuhan akhirnya mengantarkan situasi pada krisis ekonomi. Penurunan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
harga buah Kelapa Sawit membawa masyarakat petani Kelapa Sawit, khususnya petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan pada situasi yang sangat memprihatinkan. Karena dampaknya dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya terhadap kehidupan rakyat kecil. Ekonomi kerakyatan yang bercirikan pada kebersamaan, kemandirian/ keswadayaan, produktifitas dan kearifan dalam mengelola sumber daya alam serta mengandung nilai-nilai keadilan dan kejujuran merupakan modal sosial ekonomi rakyat kecil untuk tetap bertahan hidup. Modal sosial dan budaya lokal merupakan kekuatan mereka untuk mengembangkan keswadayaan mereka. Dalam hal ini ditinjau bagaimana modal sosial dan budaya lokal menjadi kekuatan komunitas petani Kelapa Sawit Rakyat untuk tetap bertahan. 4.5.1.1 Sistem Ekonomi Tradisional Dari data yang diperoleh di lapangan, dapat dilihat sebagai contoh sistem ekonomi kerakyatan yang terdapat dalam komunitas petani Kelapa Sawit Rakyat desa Tanjung Medan yang menjadi benteng untuk menghadapi kondisi pasca penurunan harga buah Kelapa Sawit. Sistem ekonomi tradisional yang dilakukan adalah dimana petani Kelapa Sawit Rakyat menggunakan teknik yang tradisional dalam usahanya melakukan kegiatan produktif di kebunnya seperti penggunaan pupuk kompos/ organik, penggunaan tenaga produktif yang berasal dari keluarga sendiri yaitu anak, istri dan saudara yang lain. Meskipun sistem ekonomi petani Kelapa Sawit Rakyat ini tidak membawa pengaruh pada pertumbuhan ekonomi keluarga yang lebih maju, setidaknya sistem ekonomi ini menjadi salah satu solusi untuk tetap bertahan hidup dalam Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
komunitas lingkungannya. Biaya-biaya produksi yang telah diminimalisir tersebut sangat membantu bagi kelompok petani Kelapa Sawit Rakyat. Mereka tidak memikirkan banyaknya biaya untuk membeli atau memberikan upah kerja kepada orang lain, dan mengeluarkan banyak uang untuk membeli pupuk. Selain itu, mereka juga tidak memikirkan banyaknya biaya untuk perawatan kebun sawitnya dari hama dan gulma, cukup menggunakan peralatan yang seadanya dan mengerahkan tenaga kerja keluarga untuk mebersihkan kebunnya dari gangguan hama tersebut. Tak hanya biaya-biaya produksi yang tidak begitu mahal yang menjadi keuntungan lain bagi petani Kelapa Sawit Rakyat dalam menggunakan sistem ekonomi yang tradisional ini, akan tetapi mereka juga tidak perlu memikirkan pembagian upah hasil pendapatan dari hasil kebunnya karena tenaga produktif yang digunakan berasal dari rumah tangga. Semuanya berbeda dengan sistem yang digunakan oleh kelompok petani Kelapa Sawit yang menggunakan tenaga kerja upahan, buruh yang menggunakan teknik modern dalam kegaiatan produktif di areal perkebunan sawit miliknya. Jadi sistem ekonomi tradisional yang dilakukan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan merupakan salah satu solusi dalam menghadapi situasi ekonomi yang memprihatinkan pasca turunnya harga buah Kelapa Sawit. 4.5.1.2 Pemanfaatan Modal Sosial Budaya a. Hubungan Patron Klien Pola pekerjaan petani Kelapa Sawit Rakyat merupakan pekerjaan keras dan tingkat penghasilan yang tidak menentu jumlahnya. Hal itu sangat
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
mengkhawatirkan bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga ditambah lagi situasi pasca penurunan harga buah Kelapa Sawit. Ketergantungan petani Kelapa Sawit Rakyat pada tauke sawit kemudian terwujud dalam hubungan patron-klien. Secara tidak langsung dalam hubungan patron-klien ini telah terjadi eksploitasi terhadap petani Kelapa Sawit Rakyat, dimana pendapatan patron yang cukup tinggi sedangkan buruh rendah. Akan tetapi, harus disadari pula bahwa hubungan patron-klien cukup membantu petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dalam upaya adaptasinya di tengah situasi penurunan harga buah Kelapa Sawit. Ketika harga buah Kelapa Sawit turun para tauke selalu siap memberi pinjaman terhadap petani Kelapa Sawit yang berlanganan menjual hasil kebun sawitnya kepada tauke. Selain itu, para tauke juga akan memberikan pinjaman ataupun pemberian secara cuma-cuma kepada petani Kelapa Sawit yang yang telah setia menjual hasil kebun sawitnya kepada mereka. Misalnya, apabila petani Kelapa Sawit yang telah lama menjadi langganannya tersebut sedang mengadakan pesta, pihak tauke terkadang memberikan suatu bantuan seperti beberapa karung beras, hewan ternak seperti lembu, kambing dan bahkan sarana hiburan seperti keyboard. Dengan demikian biaya-biaya untuk kebutuhan-kebutuhan acara seremonial yang akan dikeluarkan oleh petani Kelapa Sawit Rakyat menjadi berkurang dan tentunya sangat membantu bagi mereka. Sedangkan balasan terhadap kebaikan yang telah diberikan oleh tauke kepada petani Kelapa Sawit adalah dalam bentuk berlangganan tetap kepadanya. Dalam hal ini pihak tauke tidak akan memberikan suatu paksaan kepada petani untuk menjual hasil panen sawitnya kepada tauke karena alasan bantuan tadi, akan tetapi, lepas dari pengaruh itu petani Kelapa Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sawit akan menyadari secara tersendiri bahwa apa yang telah diberikan pihak tauke kepada keluarga mereka merupakan suatu jasa yang mesti dibalas yaitu dengan menjual hasil panen sawit tentunya. Hubungan patron-klien sedemikian merupakan suatu hubungan yang terbentuk oleh potensi-potensi sosial budaya yaitu modal sosial. James Coleman mengartikan modal sosial (social capital) sebagai struktur hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Sementara itu Elionor Ostrom mengatakan bahwa eksistensi modal sosial terlihat dari kemampuan suatu komunitas merajut pranata yang menjadi acuan dalam bertindak. Sedangkan menurut Lubis (1999) Paranata (Institution) adalah seperangkat aturan yang berlaku dan digunakan serta dijadikan sebagai acuan untuk bertindak (lihat Brutu, 2002: 11). Robert D. Putnam (1993:163 dalam Brutu, 2002:11) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Lebih lanjut dikatakan Putnam bahwa kerja sama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturanaturan, pertukaran timbal-balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga. Sementara itu, dari beberapa sarjana yang mendefenisikan modal sosial, Lubis (2006) menyimpulkan bahwa elemen-elemen pokok modal sosial mencakup 3 elemen yaitu : (1) Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran,sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati), (2) Jaringan Sosial/Social Network (partisipasi,
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
resiprositas, solidaritas, kerjasama), (3) Pranata/Institution. Aspek-aspek modal sosial tersebut saling berhubungan satu sama lainnya. b. Perwiritan Ibu Ibu (Munawarrah) Ketika mengadakan penelitian di lapangan yaitu di desa Tanjung Medan, acapkali ditemukan ibu-ibu berkumpul/bertandang kerumah tetangga sebelahnya. Dapat dilihat suatu bentuk solodaritas dimana mereka saling membagikan apa yang menjadi keluhan mereka masing-masing. Tidak jarang yang menjadi topik pembicaraan mereka adalah keluhan tentang keuangan rumah tangga, penghasilan yang minim yang diperoleh suami, dan permasalahan ekonomi lainnya. Perbincangan yang dilakukan para istri bukan sekedar sesuatu yang tidak berarti melainkan menghasilkan suatu pemikiran yang tentunya dapat membantu mereka dalam usaha menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, khususnya masalah ekonomi. Masyarakat desa ini berhasil membangun lembaga keuangan non formal seperti perwiritan. Walaupun mereka tidak menabung di bank, sistem perwiritan merupakan suatu cara bagi mereka untuk membantu setiap anggota yang mengalami musibah, ataupun membantu mereka yang lagi mengadakan suatu acara pesta tertentu. Ketika mereka membutuhkan, khususnya pada pasca penurunan harga buah Kelapa Sawit, seluruh anggota yang berada dalam organisasi perwiritan tersebut akan menyumbangkan tenaga dan sejumlah uang dari hasil simpanan mereka yang diadakan setiap minggunya. Besarnya jumlah uang yang mereka simpan tiap minggunya adalah Rp.10.000- Rp.20.000 per orang (hasil penelitian dari organisasi Perwiritan Munawarrah di desa tanjung Medan). Kegiatan tersebut dilakukan oleh ibu-ibu yang pada umumnya merupakan istri petani Kelapa Sawit Rakyat. Sistem ini cukup membantu dalam usahanya untuk Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
memenuhi kebutuhan sosial budaya mereka. Seperti ibu Mawar (48) salah seorang anggota yang ikut mengadakan Perwiritan Munawarrah menyatakan pendapatnya sebagai berikut: “Kami ibu-ibu disini buat kegiatan perkumpulan atau Perwiritan Munawarrah, dalam perkumpulan itu kami memiliki simpanan untuk keperluan setiap anggota yang terkena musibah atau sedang mengadakan pesta, jumlahnya Rp.10.000,- per minggu, Itu cukup lumayan untuk meringankan setiap anggota, tapi tujuan utamanya adalah untuk kebersaman, apalagi kalau ada kebutuhan-kebutuhan yang genting dan mendesak seperti tertimpa musibah, pesta perkawinan… tidak segan-segan ada anggota yang meminta tolong kepada ketua perwiritan untuk memberikan pinjaman”. (Wawancara dengan ibu Ana, 21 Mei 2009) Kegiatan tersebut sudah lama dilakukan sebelum terjadinya penurunan harga buah Kelapa Sawit. Manfaatnya sangat dirasakan oleh keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat khususnya pada situasi ekonomi pasca turunnya harga buah Kelapa Sawit. akan tetapi, Harus disadari pula bahwa tidak setiap keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat yang ikut dalam perwiritan, walaupun manfaatnya sangat besar untuk adaptasi sosial budayanya. Tidak jarang alasan yang sama yang dinyatakan oleh istri-istri dari keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat adalah tidak menentunya pendapatan rumah tangga sehingga tidak ada jaminan bagi mereka dapat mengumpulkan uang sekali dalam seminggu dalam jumlah yang sudah disepakati. Organisasi perwiritan yang telah dibangun oleh istri-istri para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan merupakan suatu bentuk pemanfaatan modal sosial yang hidup dalam komunitas mereka. Salah satu kunci membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
sosial. Organisasi Perwiritan Munawarrah menyebabkan para istri petani Kelapa Sawit Rakyat desa Tanjung Medan untuk selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lainnya melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Kemampuan anggotaanggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial atau kelompok. Modal sosial yang yang mereka bentuk ke dalam suatu organisasi sosial seperti Perwiritan Munawarrah tersebut merupakan repleksi atas kesamaan ketuhanan (religious belief) yang cenderung memiliki keterikatan yang tinggi dan juga merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman sosial secara turun-temurun (Hasbullah, 2006 : 108). c. Perkumpulan Marga Siregar (Regar) Sebuah kelompok terbangun karena adanya ikatan-ikatan sosial diantara anggotanya. Kelompok dapat terbentuk atas dasar kesamaan budaya, agama, profesi, dan berdasarkan tempat tinggal seperti kelompok petani, kelompok pengajian (majlis taqlim), perkumpulan nelayan, dan salah satunya adalah perkumpulan Marga Siregar. Kelompok Marga Regar ini merupakan ikatan sosial diantara warga desa Tanjung Medan yang terdiri dari individu-individu yang memiliki kesamaan suku Batak Mandailing dan agama Islam yang berinteraksi dalam hubungan sosial yang didasarkan pada suatu tujuan bersama. Semua anggota dalam kelompok Marga Regar satu sama lainnya saling berhubungan dan di setiap hubungan sosial yang mereka lakukan memiliki kualitasnya masing-masing. Kualitas ikatan sosial yang dimaksud adalah kualitas Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
ikatan sosial yang telah terbangun diantara masing-masing anggota yang saling berinteraksi pada waktu yang relatif lama dan secara mendalam. Kualitas ikatan sosial mereka dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dan telah disepakati dalam perkumpulan marga Regar tersebut misalnya pertemuan setiap bulannya atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya sesaat. Modal dasar dari adanya ikatan sosial yang kuat merupakan adanya kerjasama diantara anggota kelompok yang telah terbangun berladaskan kepercayaan diantara para anggotanya. “ …kalau untuk berkunjung sepertinya sudah berkurang karena kesibukan masing-masing, tapi diluar perkumpulan marga regar itu, kami masih sering keemu di acara-acara perkawinan atau kalau ada yang meninggal dari perkumpulan yang satu marga, atau yang masih berhubungan keluarga dengan anggota perkumpulan marga regar yang lain…’’ biasanya kami memberikan uang seadanya dan terkadang adapula dari anggota yang memberikan uang dalam jumlah besar, karena itulah dek,,, sudah merasa sebagai satu keluarganya kami dalam ikatan marga ini (wawancara dengan ibu Salmah ). Hubungan diantara anggota perkumpulan Marga Regar juga dipererat oleh adanya interaksi dimana anggota berkunjung ke rumah anggota yang lainnya. Meskipun intensitas saling mengunjungi diantara anggota Perkumpulan Marga Siregar semakin relatif kecil namun masih ada dijumpai. Hal ini dikarenakan tingkat kesibukan masing-masing anggota yang cukup tinggi. Faktor lain yang membuat ikatan sosial yang erat dikarenakan interaksi/hubungan diantara anggota perkumpulan Marga Siregar terjalin tidak hanya sekedar pertemuan tiap bulannya atupun kunjungan yang dilakukan ke rumah anggota lainnya. Namun, tidak jarang mereka juga saling bertemu dan berhubungan di luar kegiatan perkumpulan Marga Regar, seperti pertemuan-pertemuan marga, acara-acara adat misalnya perkawinan, kematian, dan acara adat lainnya. Keeratan anggota perkumpulan Marga Siregar tidak hanya dikarenakan mereka adalah anggota perkumpulan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Marga Siregar tapi dipererat dengan hubungan kekerabatan yang terjalin di luar perkumpulan tersebut. Hal ini dikarenakan beberapa anggota memiliki hubungan kekerabatan baik melalui garis keturunan juga secara ikatan marga. Interaksi
yang
semakin
mempererat
hubungan
diantara
anggota
perkumpulan Marga Siregar terlihat dari partisipasi anggota khususnya pada setiap peristiwa-peristiwa yang dialami anggota. Biasanya perkumpulan Marga Siregar dianggap pihak terdekat setelah keluarga-keluarga dekat. Saat salah satu anggota mengalami peristiwa kematian maka anggota perkumpulan marga siregar akan langsung turun tangan membantu anggota yang kemalangan. Dengan koordinasi pengurus pihak perkumpulan Marga Siregar akan turut serta dalam menyiapkan rumah duka, membantu dalam pengadaan makanan dan peminjaman peralatan bila diperlukan selama acara adat berlangsung. Hal ini juga berlaku pada saat anggota perkumpulan Marga Siregar mengadakan hajatan pernikahan karena pihak perkumpulan marga siregar merupakan salah satu elemen yang ada dalam acara tersebut atau yang biasa disebut dongan sahuta. Hal ini tidak terlepas dari rasa percaya setiap anggota bahwa akan ada hubungan timbal-balik (resiprositas) dimana apabila suatu ketika mereka yang mengalami peristiwa tersebut maka anggota lain akan bersikap sama yaitu akan memberikan bantuan yang sama. Selain kepada anggota yang terdaftar, perkumpulan Marga Siregar juga menjalankan misi tolong-menolongnya kepada kerabat dari anggota perkumpulan Marga Siregar yang bukan merupakan anggota perkumpulan Marga Siregar namun tinggal bersama mereka. Seperti bila ada tamu yang meninggal di kediaman anggota ataupun mertua/menantu dari anggota yang meninggal, pihak perkumpulan Marga Siregar akan turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut dan Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
akan memberikan bantuan sesuai yang disepakati dalam perkumpulan mereka. Begitu juga bila anggota perkumpulan Marga Siregar menaggungjawabi pesta pernikahan yang bukan anaknya, Perkumpulan Marga Siregar tetap berperan dengan memberikan ulos. Sehingga akan menciptakan jaringan yang lebih luas lagi dan manfaat keberadaan perkumpualan Marga Siregar bagi orang-orang diluar perkumpulan ini sendiri. Kemampuan
semua
anggota
perkumpulan
Marga
Siregar
untuk
bekerjasama demi mencapai tujuan bersama di dalam organisasi disebut modal sosial. Kemampuan bekerjasama muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian paling kecil dalam masyarakat. Modal sosial bila dilembagakan (menjadi kebiasaan) dalam kelompok yang paling kecil ataupun dalam kelompok masyarakat yang besar akan memberikan manfaat bagi masyarakatnya. Kerjasama yang dilandasi kepercayaan akan terjadi apabila dilandasi oleh kejujuran, keadilan, keterbukaan, saling menghargai, saling menolong diantara anggota kelompok (warga masyarakat). Artinya kepercayaan merupakan modal yang sangat penting untuk membangun jaringan kemitraan (kerjasama). Bentuk organisasi yang demikian secara tidak sadar maupun disadari oleh para petani Kelapa Sawit ternyata dapat memberikan kemudahan dan bantuan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial budayanya didalam kehidupannya. Apalagi dalam masa tekanan ekonomi yaitu pasca turunnya harga komoditi buah Kelapa Sawit, jaringan-jaringan sosial yang berlandaskan modal sosial tersebut sangat berperan penting.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Tabel. 19 Dana Bantuan Perkumpulan Marga Siregar di desa Tanjung Medan N0 1
Uraian
Jumlah (Rp)
Dana Sosial Perkumpulan Marga Siregar atas 2.530.000 meninggalnya orang tua Sharon Siregar dusun Tanjung Medan
2
Kunjungan ke rumah sakit terhadap anggota 1.255.000 Halim Siregar warga dusun Gunung Maria
3
Dana bantuan Kepada Saudara Irfan Siregar dalam 854.000 rangka sunatan anaknya di dusun Labuhan
4
Dana bantuan untuk Pak Pendi dalam rangka 5.530.000 musibah kebakaran
Data : diperoleh dari Ketua Perkumpulan Marga Siregar Desa Tanjung Medan Berbagai strategi adaptasi di atas menunjukkan bahwa petani Kelapa Sawit Rakyat mampu bertahan hidup. Walaupun kehidupan mereka tidak lebih maju dari yang sebelumnya. Sistem ekonomi dalam budaya local sebagai komunitas petani Kelapa Sawit Rakyat cukup membantu mereka dalam beradaptasi. Modal sosial seperti patron-klien dalam sebuah jaringan sosial, lembaga pedesaan yang non formal yaitu Perwiritan Munawarrah, perkumpulan Marga Siregar, hubungan patron klien, semuanya itu cukup untuk menjadi strategi adaptasi keluarga petani Kelapa Sawit Rakyat. Tidak sepenuhnya budaya local menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, justru sebaliknya sebagai pola adaptasi yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Petani di artikan sebagai orang yang secara aktif melakukan kegiatan pekerjaan mengolah tanah untuk bercocok tanam. Kegiatan bercocok tanam yang dilakukan adalah menanam berbagai jenis sayuran pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dalam mengelolah lahan pertanian mereka menggunakan peralatan-peralatan yang sederhana hingga peralatan yang modern. Peralatan yang digunakan biasanya seperti parang, cangkul, arit, batu asah, dan sebagainya. Orang-orang yang demikian pada umumnya telah memiliki komunitas yang tetap dan biasanya hidup dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan masyarakat desa. Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani merupakan pelaku ekonomi yang juga harus memenuhi berbagai kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, pendidikan, pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan sebagainya. Jadi, orang-orang yang hanya menjadikan kegiatan bercocok tanam sebagai sumber mata pencaharian hidup dapat disebut sebagai petani. Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Secara umum masyarakat petani di bagi ke dalam dua lapisan atau golongan yaitu lapisan atas (petani modern atau farmer); merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan Petani lapisan bawah (petani tradisional); sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin (dari segi lahan dan kapital), mereka hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan kerja yang kurang seimbang. Perubahan yang cukup penting berlangsung ketika terjadi pergeseran pola subsistensi keluarga petani. Satu bentuk interaksi sosial-ekonomi yang lebih berkembang terjalin dengan lahirnya uang. Kelebihan hasil pertanian mulai dijual kepada orang yang membutuhkan. Pertanian pun bergeser yang awalnya hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja berubah menjadi petani yang mulai mengenal sistem pasar Dalam hal ini kegiatan pengelolaan pertanian mulai dikendalikan oleh sistem pasar dan pada akhirnya kegiatan pertanian menjadi bergantung pada keadaan pasar global. Jika keadaan pasar tidak stabil maka yang akan terjadi adalah fluktuasi yang berdampak terhadap pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani. Berbagai permasalahan pun muncul dalam kehidupan para petani sebagai akibat dari sistem pasar global tersebut seperti masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Tekanan ekonomi global dirasakan oleh petani khususnya jenis perkebunan, karena produk perkebunan memang cenderung berorientasi ekspor dan harganya tergantung pada pasar internasional. Fluktuasi harga yang Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
cenderung menurun pada beberapa jenis komoditi pertanian seperti produk kelapa sawit, karet, coklat, rotan dan lainnya merupakan permasalahan ekonomis yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat petani. Di sisi lainnya peranan modernisasi peralatan teknologi produksi pertanian, sistem upah pekerja dan perawatan pertanian yang telah menyatu dalam kehidupan para petani turut menjadi beban ekonomis masyarakat petani lainnya. Masyarakat petani yang mengandalkan sektor perkebunan Kelapa Sawit sebagai
sistem
mata
pencaharian
utama
hidupnya
dihadapkan
dengan
permasalahan ekonomis yaitu menurunnya harga komoditas pada sektor perkebunan Kelapa Sawit. Penurunan harga buah Kelapa Sawit yang terjadi sangat signifikan sehingga menyebabkan pendapatan para petani semakin berkurang. Peristiwa ini dirasakan oleh petani Kelapa Sawit di seluruh Indonesia, khususnya di desa Tanjung Medan Kec.Kampung Rakyat Kab.Labuhan Batu yang merupakan salah satu desa di provinsi Sumatera Utara. Harga TBS pada CPO (Cerude Palm Oil) yang ada di desa tersebut yaitu berkisar Rp.200 per kg (saat ini sudah sekitar Rp.900 per kg), jauh mengalami penurunan pada masa sebelumya yang harganya sempat mencapai Rp.1900 per kg. Masyarakat petani desa Tanjung Medan umumnya memiliki luas perkebunan per kepala rumah tangga (KK) rata-rata satu sampai dua hektardan lebih dikenal sebagai Petani Rakyat. Produksi Kelapa Sawit yang di hasilkan dari luas kebun sawit tersebut dapat mencapai satu satu dua ton dengan harga yang tidak stabil atau berfluktuasi. Pada tahun sebelumya, sekitar periode 2005 sampai 2007 harga sawit berkisar pada harga Rp.1800, apabila di kalkulasikan dengan hasil panen yang mencapai 2 ton maka rata-rata pendapatan petani bias mencapai Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Rp.3.600.000,00. Sedangkan untuk waktu panen dapat dilakukan dua minggu atau lebih. Dengan penghasilan yang demikian sangat memungkinkan bagi para petani sawit untuk dapat memenuhi berbagai keperluan hidupnya. Akan tetapi, semenjak harga sawit turun pada level 200/kg, masyarakat petani Kelapa Sawit mengalami goncangan, karena pendapatan mereka akan berkurang dari Rp.3.600.000,00 per bulannya menjadi Rp.400.000,00 per bulan. Padahal mereka harus menghidupi keluarga maupun biaya lainnya seperti pendidikan bagi anak-anak mereka, tempat tinggal, biaya sosial dan sebagainya. Meskipun petani telah memiliki penghasilan dari hasil kebunnya tersebut, namun dengan harga yang rendah seperti itu wajar jika mereka mengaku bahwa penghasilan sekarang ini yang mereka dapatkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Para petani Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan dapat sedikit terbantu dikarenakan istri ataupun anak-anak mereka juga ikut bekerja. Mereka melakukan berbagai cara atau strategi agar dapat memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya. Petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi melakukan berbagai cara dalam bertahan hidup. cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Strategi aktif Yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk melakukan aktivitas sendiri, mencari kerja sampingan, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya. Sebagian dari petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan mengoptimalkan potensi keluarganya dengan cara isteri dan anak-anak mereka ikut bekerja Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
untuk dapat membantu kehidupan sehari-hari mereka. Adapun pekerjaan yang mereka lakukan adalah mencari kerjaan sampingan seperti mengumpulkan
berondolan,
mengumpulkan
barang-barang
bekas,
menangkap ikan, mencari kayu bakar dan kerja sampingan lainnya yang dapat menutupi bahkan menambah penghasilan keluarga mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup meeka. Selain itu beberapa diantara petani Kelapa Sawit juga berusaha menyisihkan sedikit penghasilan mereka untuk ditabung demi masa depan. b. Strategi pasif atau penekanan/optimalisasi pengeluaran Yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Beberapa diantara mereka mengakui bahwa akibat dari penghasilannya yang tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, mereka sedikit memperketat pengeluaran untuk kebutuhan
makanan
sehari-hari.
Mereka
mengaku
memanfaatkan
pekarangan rumah untuk ditanami jenis sayuran holtikultura seperti tanaman cabe, ubi kayu, terong, labu, jahe, dan sebagainya serta beternak unggas jenis ayam dan bebek agar jaminan konsumsi lebih terjamin dan aman. Di samping untuk kebutuhan konsumsi ternyata peternakan unggas juga memberikan kontribusi yang cukup menguntungkan bagi kehidupan mereka. Para petani Kelapa Sawit Rakyat di desa Tanjung Medan juga mengontrol penghasilan dengan menghemat atau mengurangi pengeluaran dengan tidak membeli kebutuhan yang tidak terlalu penting. c. Strategi jaringan pengaman Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun
formal
dengan
lingkungan
sosialnya
dan
lingkungan
kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga yang dilandasi dengan modal kepercayaan (trust) dan resiprositas, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Petani Kelapa Sawit Rakyat berusaha menciptakan hubungan yang harmonis dahulu antar sesama tetangga di sekitar tempat tinggal mereka agar kalau seandainya mereka merasa membutuhkan bantuan maka para tetangga maupun sesam petani saling membantu. 5.2. Saran Untuk dapat terus mempertahankan sumber pilihan dari mata pencaharian tambahan yang sekarang dimiliki oleh petani Kelapa Sawit Rakyat dalam hal hal bertani adalah: 1. Pemerintah harus lebih memperhatikan segala kebutuhan yang menjadi faktor pendukung keberhasilan masyarakat dalam meningkatkan perekonomian mereka dengan mempertahankan mata pencaharian tambahan tersebut serta harus memberikan pembinaan dan pembelajaran bagi masyarakat petani kelapa sawit yang mayoritas memiliki pendidikan yang rendah bahkan ada yang tidak bersekolah, agar apa yang menjadi pilihan dari mata pencaharian tambahan tersebut dapat terus bertahan guna untuk kesejahteraan dan kemajuan Desa Tanjung Medan.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
2. Masyarakat di Desa Tanjung Medan harus tetap mempertahankan hubungan kekeluargaan yang didasarkan pada hubungan gotong royong dan tolong menolong, saling percaya (trust) dan hubungan timbak balik yang bersifat kekeluargaan (resiprositas) agar jika terjadi tekanan ekonomi dapat memanfaatkan jaringan sebagai alternatif untuk meringankan masalah keuangan kelaurga mereka. 3. Untuk terus dapat bertahan, petani Kelapa Sawit Rakyat memiliki beberapa aspek yang harus ditingkatkan yaitu: a. Aspek permodalan, yang menjadi kendala utama bagi petani Kelapa Sawit. Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang paling berpihak pada sektor kerakyatan ini, yakni dalam hal kemudahan pemberian kredit lunak bagi para petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan sehingga dapat mempermudah mereka untuk mendapatkan pupuk, bibit berkualitas dan dainnya. b. Aspek
Kekerabatan,
yaitu
meningkatkan hubungan persaudaraan,
kehidupan bertetangga, dan bermasyarakat yang berasaskan gotong royong, saling peduli dan saling membantu. c. Aspek pemasaran yang dipergunakan oleh para pengrajin masih bersifat konvensional serta saluran pemasaran yang berbelit-belit. Hendaknya pola pemasaran Kelapa Sawit tidak terlalu melibatkan banyak aktor pemasaran didalamnya, agar petani mendapatkan hasil/pendapatan yang sesuai dengan hasil Kelapa Sawit yang mereka peroleh. Dalam hal ini pembentukan koperasi pedesaan yang bergerak dalam sektor pertanian
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kelapa Sawit sangat membantu masyarakat petani untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Brutu, Lister 2002
Aspek Aspek Kultural Etnis Pakpak, Medan: Monora
Hasbullah, Jousairi 2006
Social
Capital
“Menuju
Keunggulan
Budaya
Manusia Indonesia”, Jakarta : MR-United Press
Heddy shri Ahimsa-Putra,dkk
2003
Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik, Yogyakarta: Kapel Press
Irma. S. Ade 2007
Keesing. M. Roger 1981
Strategi Adaptasi Pengrajin Anyaman Konvensional, Skripsi S-I Antropologi Fisip USU
Antropologi Budaya Suatu perspektif Kontemporer, Jakarta: Edisi ke dua. Erlangga
Koentjaraningrat
1980
Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Lubis, Zulkifli B. 2006
“Potensi Sosial Budaya dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Sumatera Utara”. Bahan Pengantar diskusi Percepatan Pembangunan melalui Partisipasi Masyarakat dalam Multikultural di Sumatera Utara. Medan, 31 juli.
Marzali, Amri 2003 2005
Strategi Peisan Cikalong Dalam Menghadapi Kemiskinan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Jakarta : Prenada Media
Moelong, J. Lexi 2006
Mulyanto 1985
Paz, Octavio 1997
Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. CV. Rajawali; Jakarta
Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural: LKIS; Jakarta
Poerwanto 2005
Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Redfield, Robert 1982
Masyarakat Petani & Kebudayaan, Jakarta: CV. Rajawali
Saifuddin, A. Fedyani 2005
Antropologi Kontemporer, Jakarta: Kencana
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Sairin, Sjafri 2002
Pengantar Antropologi Pustaka Pelajar
Ekonomi,
Yogyakarta:
Sastradipoera, Komaruddin 2006
Strategi Pembangunan Sumber Daya Berbasis Pendidikan Kebudayaan, Bandung: Penerbit KappaSigma
Scoot, James 1981
Moral Ekonomi Petani, Jakarta: LP3ES
Suharno, Edi 2003
Artikel Coping Strategies dan Keberfungsian Sosial, Aloysius Gunata Brata, Internet, pikiranrakyat.com.
2006
Pengembangan Masyarakat dalam Pekerjaan Sosial, Inernet, Soeharno pdf.
Praktek
Sutanto, Adi 2003
Soetomo 2006
Peasent Ekonomic, Malang: Bayu Media
Strategi-Strategi Pembangunan Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Masyarakat,
Wolf, Eric 1985
Petani Suatu Rajawali
Tinjauan
Antropologi,
Jakarta:
Sumber Elektronik: (http://smile-rawa.blosspot.com/2007/10/pemikiran-ekonomi-agraris-suatu studi.html) ( Tanggal 21 Maret 2008) (http//www.pikiranrakyat.com/cetak/0702/05/01.htm) (Tgl 4 Agustus 2008) Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
(http//www.kabarsawit.wordpress.com/page/3/ - 49ktanggal 16 Oktober 2008) (http//www.kabarsawit.wordpress.com/page/3/ - 48ktanggal 12 desember 2008) (http//www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4sawit (tanggal 18 desember 2008) (http://prasetijo.8Mei2009”AdaptasidalamAntropologi”wordpress.com/2008/01/8 (diakses tanggal 26 oktober 2008) (http//www.spi.or,id/sawit kamis 16 oktober 2008) (http://www.yauhui.net/10 Jurus Sby Menghadapi Krisis Global Keuangan Dunia (tanggal 24 maret 2009) (http://sawali.info/2008/10/11/Kearifan Lokal Menghadapi Kemungkinan (tanggal 10 November 2008) (http://KebudayaansebagaiSistemSimbolveggy.wetpaint.com/page/Simbol+&+Int erpretasi di akses tangal 8 mei 2009) (http://edipri.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/8700/Part+one.ppt di akses 8 Mei 2009) (http://prasetijo.wordpress.com/2008/01/28/adaptasi-dalam-anthropologi di akses 8 Mei 2009) (http://xeanexiero.blogspot.com/2006/11/musik-tradisional-dan-moderntinjauan_15.html - 76k di akses 8 Mei 2009) (http://kompas.com/cetak/0512/24/fokus/2307499.htm
Hardesty,
Donald
L.1977.Ecological Antropology.New York University of Nevada)
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Pedoman Wawancara ( Interview Guide) Pedoman wawancara ditujukan kepada informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa untuk mendapatkan informasi mengenai penelitian yang akan dilakukan dilapangan. Untuk mempermudah dan mengarahkan peneliti dalam mendapatkan data yang sistematis maka akan digunakan pedoman wawancara sesuai fokus penelitian. a. Informan Pangkal Yang menjadi informan pangkal adalah Kepala Desa di Desa Tanjung Medan, untuk memperoleh informasi tentang sejarah desa dan data-data sekunder tentang desa Tanjung Medan seperti komposisi penduduk, sarana dan prasarana, sistem mata pencaharian penduduk, dll. Pedoman wawancaranya : Bagaimana sejarah terbentuknya Desa Tanjung Medan ini?
b. Informan Kunci Yang menjadi informan kunci adalah petani Kelapa Sawit Rakyat yang merasakan dampak dari penurunan harga Kelapa Sawit di desa Tanjung Medan, untuk memperoleh informasi tentang kehidupan masyarakat petani Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Kelapa Sawit Rakyat sebelum dan sesudah terjadinya fluktuasi harga kelapa sawit, bagimana strategi adaptasi yang dapat mereka lakukan agar dapat tetap menjalankan kehidupan ekonomi sosial budayanya, dan untuk memperoleh informasi tentang kehidupan masyarakat petani Kelapa Sawit Rakyat sebelum dan sesudah melakukan strategi adaptasi tersebut. Pedoman wawancaranya: 1. Apa jenis pekerjaan yang anda lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga anda? 2. Apakah anda seorang petani Kelapa Sawit Rakyat? 3. Mengapa memilih pekerjaan sebagai petani Kelapa Sawit? 4. Apa yang anda ketahui mengenai pekerjaan yang sekarang anda tekuni itu? 5. Berapa pendapatan yang diperoleh dalam per hari, per minggu, per bulan yang anda terima dari pekerjaan tersebut? 6. Bagaimana menurut anda terhadap pendapatan yang anda terima dari pekerjaan tersebut? 7. Apa saja kebutuhan yang diperlukan untuk kehidupan keluarga anda sehari-hari? 8. Berapa besarnya biaya yang dapat anda keluarkan dalam per hari, per minggu atau per bulannya? 9. Apakah pendapatan yang anda terima dari hasil pekerjaan itu dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga anda? 10. Apa kesulitan-kesulitan yang anda hadapi dalam pekerjaan anda?
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
11. Bagaimana kehidupan ekonomi sosial budaya mereka ketika terjadi tekanan ekonomi, (maksudnya turunnya harga buah Kelapa Sawit)? 12. Apa saja bagaimana cara yang mereka lakukan untuk mencukupi kebutuhannya ketika harga Kelapa Sawit turun? 13. Mengapa anda
memilih
melakukan cara-cara tersebut
dalam
mempertahankan keberlangsungan hidup anda? 14. Bagaimana anda membagi waktu terhadap usaha-usaha yang anda lakukan itu? 15. Bagaimana kondisi ekonomi mereka setelah melakukan strategi tersebut? 16. Apakah hasil dari strategi tersebut dapat meningkatkan atau hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari? c. Informan Biasa yang menjadi informan biasa adalah masyarakat desa Tanjung Medan yang mata pencahariannya bukan sebagai petani Kelapa Sawit seperti wirausaha, PNS, dll. Tujuannya untuk memperoleh informasi tentang tanggapan mereka terhadap cara-cara apa yang dilakukan oleh Petani Kelapa Sawit Rakyat dalam menyiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit. Pedoman wawancaranya: 1. Apa jenis pekerjaan yang anda lakukan? 2. Mengapa anda memilih pekerjaan itu? 3. Bagaimana menurut anda terhadap pendapatan yang anda terima dari pekerjaan tersebut? 4. Mengapa anda tidak melakukan pekerjaan yang sama dengan mereka? Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
5. Apakah anda mengetahui tentang pekerjaan sebagai petani Kelapa Sawit? 6. Bagaimana sebenarnya pekerjaan sebagai petani kelapa sawit? 7. Apa yang anda ketahui tentang mereka ketika terjadi tekanan ekonomi (harga sawit turun)? 8. Apa pandangan anda mengenai cara-cara mereka dalam menyiasati tekanan ekonomi (turunnya harga kelapa sawit) yang mereka hadapi? 9. Apakah dampak dari penurunan harga kelapa sawit tersebut mempengaruhi pendapatan saudara?
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.
Edi Iwan Siregar : Strategi Adaptasi Petani Rakyat Dalam Mensiasati Fluktuasi Harga Kelapa Sawit (Studi Kasus: Petani Kelapa Sawit Rakyat di Desa Tanjung Medan Kec. Kampung Rakyat Kab. Labuhan Batu Selatan), 2009.