DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro. 2004. Public relations Suatu Pendekatan Praktis. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Ardianto, Elvinaro. Komala, Likiati, dan Karlinah Siti. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar.Bandung : Sambiosa Rekatama Media
Bertrand, L. Alvin. 1974. Social Organization : A General Systems and Role Theory Perspective, Louisiana State University, Baton Rouge. Budyatna, Muhammad. 2011. Teori Komunikasi Antar Pribadi (Edisi Pertama, Cetakan ke-1). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada. Bungin Burhan.2007.Analisis Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Rajawali Pers. Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta : Kencana. Campbel, Tom. 1994. 1994. Tujuh Teori Sosial.Yogyakarta: Kanisius. De Vito. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Terjemahan Agus Maulana. Jakarta :Professional Books. Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. Rineka Cipta. Jakarta
89
Effendi, Uchjana.Onong, 2000.Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung :PT. Remaja Rosdakarya. Effendy, Uchjana, Onong.1989. Kamus Komunikasi. Bandung : Mandar Maju. Featherstone, Mike. 1991. Consumer Culture and Postmodernism. London: Sage Publication Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-Teori Komunikasi: Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional dan Pragmatis. Jakarta: Remadja Rosdakarya. Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. UI Press. Jakarta Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Harmondworth : Penguin. Hendropuspito. 1989. Sosiologi Semantik. Kanisius: Yogyakarta. Mead, George Herbert Mead, 1934/1962, Mind, Self an Society: From The Stand Point of Social Behaviorist, Chicago, University of Chicago Press. Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Kustadi
Suhandang.
2004.
Public
relations
Perusahaan.
Kajian
Program
Implementasi. Nuansa Bandung Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi. Bandung : Widya Padjajaran. Lincoln, Yvonna S and Guba , Egon G.1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Califonia
90
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Publishing Company. McQuail. 1987. Teori Komunikasi Massa ed. 2. Jakarta : Erlangga. Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda : Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung : Mizan. Moleong Lexy J. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. Morrisan. 2009. Manajemen Media Penyiaran; Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Muhadjir, Noeng. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Raka Sarasin. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. & Solatun. 2008. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nova, Firsan. 2011. Crisis Public Relations. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Malang : CESPUR. Pace, R Wayne. Faules, Don F. 2002. Komunikasi Organisasi: Strategi Peningkata Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper – Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS Piwinger, Manfred; Ebert, Helmut2001. “Impression Management: Wie aus Niemand Jemand wird”. In: Bantele, Guenther et al. (Ed). Kommunikations management: Strategien, Wissen, Losungen, Luctherhand, Neuwied 91
Rakhmat, Jallaludin. 2007. Psikologi Komunikasi . Bandung: PT remaja Rosdakarya. Roesma, Joy dan Mulya, Nadya. 2013. The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lawang, Robert M.Z. 2004. Kapita Sosial Dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar. Depok : FISIP UI Press. Ruslan, Rosady. 2003. Metode Penelitian Public relations dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sarwono, Sarlito Wirawan, 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan (cetakan ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Schutz, Alfred dalam John Wild dkk. 1967. The Phenomenology of the Social World. Illinois: Northon University Press. Soleh Soemirat, dan Ardianto. 2002. Dasar – dasar Public Relations, Bandung : PT Remaja Rosda Karya Stanton, Mary. 2004.Juliette Hampton Morgan:From Socialite To Social Activist, Alabama Heritage.Tuscaloosa : Alabama Heritage. Sugiono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Trenholm, Sarah. 1991. Interpersonal Communication. USA: Wadsworth Pub Co. Tubbs, Stewart L., Moss, Sylvia. 2001. Human Communication : Prinsip-prinsip Dasar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Tubbs, Stewart L., Moss, Sylvia. 2005. Human Communication : Konteks-konteks Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
92
Wilcox, Dennis, Phillip H.Ault, Warren K Agee & Glen T Cameron. 2000. Essential of Public Relations, Allyn & Bacon. USA Wiryanto. 2005.Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
93
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara Nama : Joy Roesma Usia
: tahun
1. Menurut Anda pengertian sosialita seperti apa? Kalau dari browsing di Google, definisi socialite adalah seseorang yang menjadi anggota strata social elite. Term ini mulai dikenal sejak 1928. Dan yang masuk kategori ini adalah orang superkaya, aktif di kegiatan sosial dan kerap mengadakan pesta atau diundang dalam event bergengsi. Kalau jaman dulu lebih dilekatkan untuk kaum bangsawan, kini pemakaiannya merambah pada konglomerat dan mereka kelas ekonomi A, dikenal, dikagumi dan menjadi panutan banyak orang, memiliki pergaulan luas, sering diundang ke event bergengsi dan duduk di jajaran VIP atau front row, terdepan dalam berbusana, dan menggunakan status sosialnya yang bergengsi untuk memberi contoh yang baik, seperti mensosialisasikan kepedulian pada charity. Sayangnya masih banyak yang menilai kalau sekadar sering tampil di halaman majalah, rajin datang ke event bergengsi dan memakai barang bermerek ternama (padahal tidak asli), seseorang sudah bisa
disebut
sebagai
sosialita.
keglamorannya dan banyak mendapat apresiasi, Akibatnya ada
Karena yang
94
memaksakan diri baik secara ekonomi,
jadi social climber dengan jadi
semacam babunya sosialita sungguhan bahkan sampai menjual diri ( dengan menjadi simpanan), untuk bisa masuk dalam komunitas sosialita. 2. Sudah berapa lama Anda tergabung dalam komunitas sosialita? Saya tidak pernah merasa tergabung dalam komunitas sosialita. Mungkin saya banyak kenal dan berteman dengan yang media sebut sebagai sosialita, karena mereka lahir dari keluarga ternama, anak pejabat, selebriti atau mereka yang memiliki selera fashion tinggi, tapi banyak juga teman saya juga juga teman dari SMP yang tidak termasuk kriteria tersebut. Kebetulan dulu saya kuliah di Boston (1996-2001) dan saat saya kuliah disana, kebetulan yang kuliah disana memang anak-anak dari keluarga konglomerat, tapi jaman kuliah dulu sih kayanya belum ada tuh istilah sosialita2an. Kan baru rame istilah ini sejak muncul let say, majalah gaya hidup sejenis Prestige, Tatler, Bazaar dan kebetulan banyak teman-teman kuliah, saudara atau relasi mereka itu dulu yang dibidik oleh fotografer majalah gaya hidup (ini sekitar 10 tahun lalu). Tapi menurut saya, 3-4 tahun belakangan ini, sebenarnya sudah abu-abu ya, term sosialita itu. Sekarang ini yang jago dandan, barangnya KW, jago mendekati atau bahkan sampai membayar fotografer majalah gaya hidup juga sudah bisa disebut sebagai sosialita, Jadi benar juga pendapat Boedi Basuki, mantan wartawan gaya hidup kalau
term sosialita
gengsinya sudah menurun di Indonesia. 3. Seberapa besar komunitas sosialita Anda?
95
Sekali lagi saya punya komunitas tapi saya tidak menyebutnya sebagai komunitas sosialita. Dan komunitas atau pergaulan saya memang luas, dari teman SMP, SMA, ibu-ibu sekolahan, teman arisan dan teman kuliah kebetulan saya memang menjaga hubungan dengan semuanya. Karena dulu saya kerja di dunia media dan sering hadir di acara fashion, otomatis saya juga banyak kenalan selebriti dan mereka yang sering disebut sosialita. Ada beberapa selebriti dan mereka yang sering disebut sosialita itu adalah teman saya yang sudah kenal dari jaman SMP SMA, tapi ada juga yang baru dekat memang setelah saya ikut arisan. Kenapa? Karena saya memang senang bersosialisasi, Selain itu pergaulan saya adalah inspirasi saya untuk menulis. Pasalnya keahlian saya memang di gaya hidup, dari mengamati perilaku orang mengobservasi tren yang sedang happening dan dari pergaulan dengan segala macam orang. Saya akui saya memang mengkeep pergaulan saya dengan mereka yang high profile dan selebriti (tentunya dengan yang cocok ya), itu juga untuk keuntungan saya sebagai penulis dan sering menjadi host event gaya hidup. Kalau buat event launching kan pastinya saya memerlukan nama - nama yang dikenal untuk saya mudah mendapat sponsor dan acara saya laris didatangi wartawan. Dengan saya menjadi host, saya sering mendapat diskon maupun gratisan baju dan tas dari brand ternama. Tapi tentunya saya juga tidak memaksakan diri, saya bisa dekat dan klik dengan mereka - mereka yang bisa dibilang memiliki minat dan satu frekuensi. Misalnya saya dan Nadia Mulya, dekat karena sama-sama suka menulis dan hangout. Saya dengan Winda Siregar, sudah dekat dari jaman SMP dan bersahabat sampai 96
sekarang. Saya dengan Adinda Bakrie dulu sama-sama kuliah di Boston dan kami sama-sama ibu muda sekarang. Saya akui saya memang senang dengan barang bermerek, fashion dan belanja, tapi kalau saya disuruh hangout dengan wanita yang dari pagi sampai malam hanya ngomong urusan belanja dan hanya tahu Hermes, Chanel dan senang-senang saja tapi buta pengetahuan umum, tidak peka dengan lingkungan sekitar dan intelektualitasnya rendah, oh man I would die of boredom. 4. Apa saja kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Anda? Baik yang rutin atau tidak? Sekarang ini saya tergabung dalam Yayasan Rumah Pandai Terang Indonesia yang diprakarsai perancang Kanaya Tabitha, Nadia Mulya dan Aline Adita. Di Yayasan ini secara rutin, kami mengumpulkan dana lewat malam dana untuk membangun shelter di daerah-daerah terkena bencana dan kemudian memberdayakan saudarasaudara kurang beruntung lewat program seperti peternakan lele dan belut, pengolahan sampah dan sebagainya. Sehingga mereka tidak hanya terbantu oleh dana, tapi lebih mereka bisa memperoleh penghasilan tetap dikemudian hari dengan keahlian baru yang mereka miliki. Saya sendiri sejauh ini hanya bisa aktif sebagai anggota dan hanya membantu dengan mempromosikan acara malam dana ke relasi saya dan menyumbang secukupnya. Nadia yang sangat aktif, bahkan bisa dibilang hampir setiap hari, dia bekerja, menulis proposal dan mempromosikan rumah pandai, Saya sendiri terbilang masih sangat fokus ke keluarga. Menulis,
97
sesekali menjadi host dan pembicara acara gaya hidup, bersosialisasi dan pastinya prioritas terbesar saya saat ini adalah mengurus keluarga. 5. Apakah komunitas sosialita Anda memiliki struktur organisasi? Jika ya bagaimana alur organisasi komunitas Anda? Jikatidak, mengapa? Saya sekali lagi tidak pernah tergabung dalam komunitas yang semuanya bisa dibilang sosialita. Sahabat saya dari SMP ada satu atau dua yang kerap disebut sosialita, begitu juga dengan teman arisan saya, dari ber 24, ada lah 10 hingga 12 nama yang memang high profile. Setau saya, saat ini yang seperti itu hanya Haute Couture, sebuah agency yang banyak menampung mereka yang high profile dan dibisniskan. Coba baca buku Kocok saya deh, di bab Sosialita oh Sosialita disana ada keterangan tentang mereka. Saya pun tidak join disana hihi. 6. Menurut Anda komunikasi yang terjalin dalam komunitas sosialita yang Anda geluti sudah berjalan dengan baik? Jika ya bagaimana, jelaskan! Jika tidak alasannya? (jelaskan secara detail, dari segi waktu berkomunikasi, apakah dengan beberapa orang saja atau seluruh anggota secara merata, apakah efektif komunikasi yang terbentuk?) Mungkin yang kamu maksud komunitas arisan kali ya. Saya pernah ikut arisan yang anggotanya hampir 50 orang. Pertama kali masuk saya bisa dibilang hanya kenal dengan 4-5 anggota. Saat arisan pun karena banyak kegiatan habis untuk foto-foto dan yang datang dan pulang benar-benar random, karena waktu arisan misalnya 4 jam. Ada yang datang jam 3-5, ada yang datang jam 5-7. Benar sih pas lagi foto-foto kelihatannya akrab banget, tapi padahal tahunya cuma sekadar babe 98
dan cyin, Namanya juga nggak hafal. Habis ngafalin orang sekali banyak banget juga susah dan juga susah juga ngobrolnya kalau dijejer 50 orang. Rasanya sampai arisan selesai 1 putaran (11 bulan kalau tidak salah) sepertinya saya hanya hafal nama dan tahu backgroundnya secara betulan mungkin total hanya 30 orang-an. Akhirnya juga lebih sering ngobrol dengan yang sepaham. Misalnya yang kurang klik sama saya , karena saya agak pusing melihat yang dandan terlalu over saat arisan atau kalau saat foto, posenya bagi saya terlalu hardcore, otomatis ngobrol sama mereka juga lebih basa-basi. Bukannya saya anti foto-foto, saya suka banget foto-foto apalagi kalau sudah rame-rame, jadi lupa waktu, tapi ada saatnya juga gerah ya kalau akhirnya karena foto-foto melulu, jadi nggak ada ngobrolnya sama sekali atau yang terlalu monopoli fotografer dengan pose agak seram, juga hihi entah kenapa saya jadi ilfil dan malas akrab ya. Akhirnya saya kapok sih ikut arisan yang banyak sekali isinya, sekarang ini saya kalau ikut arisan, cari yang anggota maksimal 24. Itupun yang saya mau jadi anggota apabila setengah anggotanya saya merasa klik. Soalnya ngapain ikut arisan kalau akhirnya tiap mau arisan jadi beban, karena parno saat arisan nggak tahu mau ngobrol apa atau malah jadi ilfil karena pesertanya lebay - lebay banget. Kalau isinya 24 dan biasanya yang datang paling 15 orangan, suasana jadi lebih intimate, lebih gampang komunikasinya juga. 7. Apakah Anda pernah merasa komunikasi yang terjalin dalam komunitas sosialita Anda tidak sejalan dengan yang Anda piker seharusnya?
99
Ini sekali lagi urusan arisan ya. Saya pernah ikut arisan yang sebenarnya saya ikut lebih karena alasan orang ini banyak membantu menjadi narasumber buku Kocok. Terus dia ajak arisan, yang sepertinya menarik dan mulia, yakni diadakan di panti asuhan bersama anak-anak panti dan kemudian dilanjutkan di restoran dekat situ. Uang arisan saat itu Rp. 2,500,000. 2 juta untuk arisan, dan 500,000 untuk menyumbang untuk anak panti dan baju seragam. Tapi ya itu, setiap orang kan punya pemikiran individual ya,. Kebetulan kalau untuk saya, kalau lagi dengan anak-anak panti asuhan, saya inginnya kita tampil lebih low profile, enggak kebanyakan foto-foto dan lebih meluangkan waktu untuk berbagi perhatian dengan mereka Jadi saya cuma nyaman datang dua atau tiga kali aja, sisanya Cuma transfer uang arisan soalnya, agak kurang nyaman ya saya saat ke panti, temanteman arisan dandannya spektakuler banget, bulumata pada super ngejerit terus sibuk foto-foto sendiri sementara anak pantinya clueless. Bahkan pernah juga si anak panti malah hiburannya melihat peserta arisan pada fashion show. Saya merasa enggak masuk saja pemikiran seperti ini, tapi karena saya melihat mayoritas peserta memang senang dengan gaya arisan seperti itu, ya sudah lah. Terus yang saya juga kurang suka di arisan ini, si ibu bandar suka menawarkan kita untuk menyumbang apabila di hari-hari besar. Saya sendiri sih agak merasa kurang nyaman karena di bb grup ia selalu menulis nama yang menyumbang dengan jumlah uang yang disumbang. Sepertinya ajang menyumbang jadi ajang untuk nggak mau kalah dan pamer , walaupun it’s for a good cause. Sama ibu bandarnya juga menurut saya suka agak seenaknya tiap bulan menyuruh tambah 100
saweran untuk membeli atau jahit kostum. Ini arisan kok lumayan ngerepotin yah,, Tapi sekali lagi ini mungkin hanya saya yang salah kecebur di arisan yang saya kurang klik yang dress code dan foto-foto menjadi bagian mahapenting disini. Soalnya everybody is different, bisa saja buat saya yang hampir tiap bulan harus jahit kostum itu gengges di peserta lain itu hal seru 8.
Apakah Anda pernah mendengar bahwa kaum sosialita di Jakarta sudah mengalami pergeseran dari makna sosialita itu sendiri? Jika ya, menurut Anda seberapa besar factor komunikasi memiliki andil? Yang saya lihat dan rasakan sih sebenarnya banyak yang sebenarnya belum cocok jadi sosialita, akhirnya mendapat term atau merasa dirinya sosialita. Sebenarnya ini juga bisa karena gempuran media gaya hidup yang gak mungkin dong kalau tiap minggu yang difoto yang mukanya itu-itu saja, pasti kan perlu muka baru juga. Terus akhirnya , yang sebenarnya belum cocok jadi sosialita ditulis dengan term sosialita. Nah karena si A yang enggak sosialita-sosialita amat bisa tembus, tentu membuat B, C dan D merasa kalau A bisa kenapa saya enggak. Akhirnya B, C dan D membeli barang KW, jago dandan, lihai networking dengan orang majalah, menjadi entourage sosialita sejati atau sampai terlibat dalam hutang bahkan menjadi simpanan, untuk bisa mendapat term sebagai sosialita, Pasalnya menjadi sosialita untuk sebagian wanita memang membanggakan, pasalnya dia merasa diakui dan mendapat apresiasi dari lingkungan. Nggak sedikit lho, yang kelihatannya hidupnya glamor, dengan tas Birkin warna warni, tapi rumahnya 101
sori di gang atau di apartemen yang super biasa. Padahal kalau dilihat dari penampilannya minimal rumahnya sepertinya di Pondok Indah atau apartemen eksklusif. Sekarang ini banyak orang yang terlalu mengagung-agungkan gaya hidup seperti liburan naik kelas bisnis, tas dan sepatu kelas dari brand kelas atas yang satu tasnya bisa Rp 100 juta, tapi enggak punya tabungan sama sekali. Kan kalau sosialita yang sesungguhnya, harusnya money is not an issue at all, dan enggak memaksakan diri. Mereka memang memiliki kemampuan untuk itu. 9.
Menurut Anda pola komunikasi seperti apa yang harus dibentuk oleh komunitas sosialita menanggapi serta memperbaiki citra sosialita yang terkesan terlalu berlebihan dan mulai mengalami penyimpangan? Terus terang saya bingung mau jawab apa. Menurut saya sih sebenarnya kalau yang sosialita lama, mereka juga nggak butuh lagi eksposure. Mereka malah picky banget untuk mau diprofilkan di majalah. Hanya di media tertentu saja mereka mau tampil, itupun mungkin karena biasanya si pemilik kenalannya si sosialita. Lagi pula kalau mau nyalahin komunitas sosialitanya terus, juga nggak adil. Yang buat image sosialita itu lebay sebenarnya juga lebih ke medianya. Media kan yang selalu nanya, pakai baju rancangan siapa, tas keluaran rumah mode mana, terus nanti ngeshoot koleksi baju, sepatu, tas bermerek hingga rumah si sosialita. Yang saya lihat sekarang ini lebih ingin tampil itu justru mereka-mereka yang OKB, atau sebenarnya enggak segitu sosialitanya juga. Biasanya yang lebih over acting juga yang nanggung-nanggung. Dandan lebih jedar, terus dari atas sampai bawah kalau bisa brand yang lagi happening dan 102
ketahuan mahalnya dan super bling - bling. Kalau yang sosialita lama atau nggak nanggung-nanggung lebih kalem, berkelas, dan sudah nggak butuh pengakuan lagi dari lingkungannya, jadi biasanya walaupun dari atas ke bawah mungkin barang yang dipakai 1 milyar tapi barang yang dikenakan tidak pasaran dan tidak berkesan show off. Biasanya yang sosialita sungguhan kalau berlibur pun sudah tidak memajang foto dia naik pesawat pribadi atau naik suite, soalnya they have nothing to prove, Kalaupun tidak seperti mereka yang OKB atau sosialita nanggung, kalau bisa naik kelas bisnis, ngepathnya mungkin 10 kali. Saya juga suka geli ada nih beberapa orang yang saya kenal, menyebut dirinya sebagai sosialita, padahal itu kan suatu sebutan yang diperoleh dari orang lain atau media. Ada yang menulis di kartu namanya, profesinya sosialita. Sosialita kan bukan profesi. Yang juga saya lihat biasanya nih geng yang sosialita sungguhan juga gaulnya kebanyakan juga dengan yang sungguhan dan tidak dengan yang overacting dan cenderung norak. Biasanya yang norak atau overacting kalaupun lolos gaul sebentar lama-lama juga seperti hukum rimba, hilang nggak jelas rimbanya. Yang overacting dan lebay, gaulnya juga kebanyakan sama yang lebay. Yang kelas juga sepertinya pusing ya kalau gaul sama yang sepertinya sangat buas kalau di depan kamera dan berbusana super bling. Kalaupun masih gaul, juga biasanya hanya dengan 1 atau 2 , kalau dia disuruh arisan sama yang nggak sepaham semua sama dia, pasti si kelas juga merasa tidak nyambung.
103
Sebenarnya saya nggak begitu ngerti apa hubungannya dengan pola komunikasi. Citra sosialita yang berlebihan dan mengalami penyimpangan pun punya hanya dilakukan oleh komunitas let say A, B dan C, sementara D, E dan F biasa-biasa saja. Yang saya lihat yang berlebihan dan mengalami penyimpangan biasanya memang yang jenis orang kaya baru atau memang tidak punya talenta, prestasi atau achievement khusus dalam CV nya jadinya seperti MPO (Minta Perhatian Orang) kalau sedang dibidik kamera. Cara mereka untuk populer ya seperti itu, terus kalau tidak bling penampilan (dari atas ke bawah branded ,make up jedar dan bulu mata menukik), kalau biasa-biasa saja (mungkin wajah pun so-so), ya nggak bakal dilirik juga untuk diwawancara oleh media gaya hidup. Tapi ada juga sebenarnya sosialita yang sudah elegan, tapi yang nakal medianya. Misalnya kalau diwawancara A-Z, tapi yang dimasukkan ke majalah atau televisi sudah editan, jadi yang sepertinya mereka ini show off sekali dengan barang-barang yang mereka punya, padahal sebenarnya keseluruhan wawancara tidak seperti itu. Sekali lagi ini adalah hal yang sulit untuk digeneralisasi, karena casenya bisa saja berbeda. Lagi pula kalau urusan show off, sekarang ini tidak hanya sosialita saja, semua orang pun seperti ingin menunjukkan eksistensinya lewat sosial media seperti path dan instagram. Para fashion blogger dan selebriti internasional saja sering menunjukkan koleksi barang fashionnya ( bisa juga karena diendorse), di media sosialnya. Nah kalau kebetulan dia sosialita yang banyak uangnya dan menunjukkan cara dia bereksperimen fashion, tapi kebetulan kalau dia yang 104
menggunakan dari atas ke bawah, memang koleksinya seharga 2 milyar, karena semuanya brand eksklusif, gimana? Menurut saya sih, selama tidak berlebihan dan gengges, seperti ngetag semua tetangga Path atau ya urusan dia. Yang nyebelin itu yang gengges dan seperti tidak punya manner, misalnya karena arisan dan kemudian asyik foto-foto, terus restoran seperti jadi milik mereka. Terus blitz dari fotografer yang sudah sangat berlebihan dan menganggu tamu lain. 10. Apa saja nilai – nilai positif yang Anda dapatkan dari komunitas sosialita yang Anda geluti? Adakah nilai - nilai negatif yang mempengaruhi hidup Anda? Sekali lagi saya nggak ngerti karena saya tidak menganggap komunitas saya adalah komunitas sosialita. Saya memiliki banyak komunitas karena kebetulan saya tergolong ekstrovert dan inspirasi dan ide datang untuk menulis juga bisa didapatkan karena bergaul dengan berbagai macam komunitas, Kalau cuma 2-3 komunitas saja bisa basi dong tulisannya dan menurut saya nilai positif yang saya dapatkan dengan bergaul dengan banyak komunitas adalah menjadi pribadi lebih open minded. Kalau untuk komunitas yang lebih wah, nilai positif ya, saya terinspirasi dan bisa membuat buku Kocok. Kalau tidak bergaul dengan komunitas high class, buku itu tidak bakal ada lah.Saya juga belajar untuk tidak jadi orang judgemental juga salah satu nilai positif bergabung dengan komunitas high class. Tadinya saya menganggap beberapa dari mereka hanya ngerti urusan fashion, cenderung shallow dan hanya tahu hura-hura tapi kenyataannya tidak. Itu karena sebelumnya hanya menilai mereka dari kulit luar, ternyata ada yang 105
berwawasan luas, membumi dan jiwa sosialnya tinggi. Nggak salah mereka kan kebetulan mereka memiliki uang banyak dan bisa belanja barang-barang branded yang eksklusif (I bet you would do the same if you are in their shoes). Nilai negatif, sebenarnya lebih godaan saja ya harus tahan iman dan mampu mengendalikan diri Sebaiknya sih jangan bergaul terlalu intens sama mereka yang gaya hidupnya jauuuuuh di atas. Karena bisa saja kalau nggak tahan iman, akhirnya jadi tidak mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Tapi alhamdulillah sih, sampai sekarang saya lebih sering bergaul dengan mereka yang kemampuan finansial mirip-mirip, jadi tidak peerpressure juga. 11. Apakah Anda mengetahui perihal social climber? Menurut Anda bagaimana pola komunikasi yang terbentuk antar kaum sosialita sebenarnya dengan para social climber? Bagaimana seharusnya pola komunikasi tersebut terjalin sehingga dapat mencegah bahkan mengurangi jumlah social climber? Social climber sih pastinya akan selalu ada. Gak ada urusannya dengan komunikasi, itu sudah hukum alam. Para tukang panjat pergaulan ini biasanya usahanya keras banget atau memaksakan diri untuk bisa dianggap atau masuk ke kelas sosial lebih tinggi. Social climber itu butuh banget pengakuan dari lingkungan, sementara kalau sosialita sejati sih sudah nggak butuh yang seperti itu. Makanya social climberbiasanya jadi suka lebay dan over acting. Tingkah laku para social climber itu seperti hal 373 dan 376 buku Kocok , seperti misalnya nggak kenal banget sama sosialita A atau pejabat B, tapi sok akrab terus nanti minta foto sama mereka. Isi media sosialnya biasanya foto sama 106
orang-orang terkenal ini, atau hobi name dropping, akrab sama konglomerat B, anak pejabat C, itu menjadi kebanggaan dan membuat mereka merasa dianggap. Ada juga yang akhirnya menjadi entourage sosialita sejati, kemana-mana ikut, bisa karena nebeng hidup karena pengeluaran untuk gaya hidup lebih besar dari pemasukan atau sekadar kebanggaan. Kan social climber juga beda-beda motif dan ambisinya. Saya rasa sosialita dan social climber akan selalu ada sampai dunia kiamat, dan hidup berdampingan, kadang bahkan saling membutuhkan. Banyak sosialita butuh entourage yang menemani dia, adore her dan bisa dikaryakan, dan para social climber adalah the right victim for it. Sosialita adalah addiction dan mimpi besar untuk para social climber, karena pijar dan daya tarik para sosialita ini terlalu memabukkan. Jadi mereka dengan senang hati melakukan nya. Biasanya kan social climber itu hanya ditertawakan oleh lingkungan, tapi kebanyakan juga harmless, hanya norak dan lebay saja gayanya.
107
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara Nama : Mrs. J Usia
: 29 tahun
1. Menurut Anda pengertian sosialita seperti apa? Sosialita merupakan sekelompok org yg mempunyai standar hidup, kesamaan pemikiran, sudah memiliki golongan tersendiri tanpa digolongkan oleh pihak manapun 2. Sudah berapa lama Anda tergabung dalam komunitas sosialita? Kelompok social yang saya geluti terbentuk karena kesamaan kami mengoleksi barang - barang yang terbuat dari batik tulis asli asal Yogyakarta, Solo, Surakarta, Madura dll, mungkin kami sudah beraktivitas sekitar 5 tahun 3. Seberapa besar komunitas sosialita Anda? Kami terdiri dari 20an anggota yang berdomisili di Jakarta, dengan kisaran umur 28-39 tahun kurang lebih. 4. Apa saja kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Anda? Baik yang rutin atau tidak?
108
Kegiatan yang paling sering kami adakan yang juga merupakan kegiatan rutin adalah arisan, syukuran bersama anak yatim, kadang kami mensosialisasikan kebudayaan batik tulis asli dikalangan pejabat dan masyarakat 5. Apakah komunitas sosialita Anda memiliki struktur organisasi? Jika ya bagaimana alur organisasi komunitas Anda? Jika tidak, mengapa? Dalam kelompok kami tidak ada struktur organisasi, namun ada beberapa orang yang memang bertugas mengkoordinasi pertemuan - pertemuan kami, ada juga beberapa yang bertugas mencari info perkembangan batik tulis Indonesia 6. Menurut Anda komunikasi yang terjalin dalam komunitas sosialita yang Anda geluti sudah berjalan dengan baik? Jika ya bagaimana, jelaskan! Jika tidak alasannya? (jelaskan secara detail, dari segi waktu berkomunikasi, apakah dengan beberapa orang saja atau seluruh anggota secara merata, apakah efektif komunikasi yang terbentuk?) Komunikasi yang kami jalin cukup intensif, kami tergabung dalam group BBM untuk komunikasi yang paling sering, info-info yg akan kami bahas biasanya kami rundingkan di group 7. Apakah Anda pernah merasa komunikasi yang terjalin dalam komunitas sosialita Anda tidak sejalan dengan yang Anda pikir seharusnya? Ya terkadang, ada beberapa di antara kami yang kurang sepaham, karna walaupun hobi yg kami geluti sama, dengan standar yang tidak biasa, namun beberapa orang dari kelompok kami adalah pendatang baru yg tidak benar - benar berasal dari golongan ningrat, sehingga perbedaan kadang ada, salah satu konkritnya 109
adalah penilaian akan standar dan detail seni pada batik tulis yang berbeda menimbulkan persepsi yg beda, sehingga sering terjadi perbedaan pendapat, beberapa orang ada yang tidak bisa menerima pendapat berbeda, hal ini yang membuat komunikasi kurang berjalan baik 8. Apakah Anda pernah mendengar bahwa kaum sosialita di Jakarta sudah mengalami pergeseran dari makna sosialita itu sendiri? Jika ya, menurut Anda seberapa besar factor komunikasi memiliki andil? Menurut saya pribadi sebagai kaum sosialita kami tidak perlu menunjukan kepada publik bahwa kami harus bersifat sosial yang tinggi, kalau memang begitu mengapa tidak masuk saja kedalam organisasi sosial kemasyarakatan, penilaian akan kaum sosialita yang salah lalu kemudian menggolongkannya kedalam pergeseran makna yang menurut saya terjadi 9. Menurut Anda pola komunikasi seperti apa yang harus dibentuk oleh komunitas sosialita menanggapi serta memperbaiki citra sosialita yang terkesan terlalu berlebihan dan mulai mengalami penyimpangan? Menurut saya tidak ada penyimpangan yang terjadi, tetapi munculnya pemikiran bahwa kaum sosialita seharusnya memiliki empati kepada kaum lemah ini yang menjadi masalah, bukannya seharusnya empati dimiliki oleh setiap orang, tidak perlu menjadi sosialita untuk bisa membantu orang lain, jika hobi yg memang kami miliki dari awal yg terkesan mewah dipersalahkan itu terkesan tidak adil menurut saya, memang ada beberapa dari kami terlalu berlebihan, tetapi media seharusnya menjembatani dengan baik permasalahan ini. 110
10. Apa saja nilai – nilai positif yang Anda dapatkan dari komunitas sosialita yang Anda geluti? Adakah nilai – nilai negatif yang mempengaruhi hidup Anda? Menurut saya tidak ada penyimpangan yang terjadi, tetapi munculnya pemikiran bahwa kaum sosialita seharusnya memiliki empati kepada kaum lemah ini yang menjadi masalah, bukannya seharusnya empati dimiliki oleh setiap orang, tidak perlu menjadi sosialita untuk bisa membantu orang lain, jika hobi yang memang kami miliki dari awal yang terkesan mewah dipersalahkan itu terkesan tidak adil menurut saya, memang ada beberapa dari kami terlalu berlebihan, tetapi media seharusnya menjembatani dengan baik permasalahan ini. Saya rasa tidak ada pengaruh negatif dari kelompok seperti kami, bahkan banyak sekali manfaat yang saya dapatkan, saya jadi belajar berbisnis, ya walaupun saya tidak benarbenar fokus untuk mencari uang, jiwa seni saya berkembang, saya merasakan kesenangan yang luar biasa ketika harus berkreasi dengan beragam jenis batik yang kami rencanakan untuk didesign menjadi kebaya, tas, sepatu dengan standar yang tidak biasa, bahkan kami pernah mengadakan lelang hasil mahakarya batik kaum ningrat Surakarta Hadiningrat dengan nilai yg fantastis, kemudian hasilnya sebagian kami gunakan untuk menyumbang korban banjir di Kalimantan 11. Apakah Anda mengetahui perihal social climber? Menurut Anda bagaimana pola komunikasi yang terbentuk antar kaum sosialita sebenarnya dengan para social climber? Bagaimana seharusnya pola komunikasi tersebut terjalin sehingga dapat mencegah bahkan mengurangi jumlah social climber?
111
Diantara kami saya rasa ada beberapa yang dapat dikatakan demikian, namun dari kami sendiri memang menerima, jika mereka masih bisa menyesuaikan diri dan tidak terlalu menyusahkan saya rasa tidak masalah, namun jika banyak diantara mereka yang mulai mengganggu dan menghambat bagi kaum sosialita lainnya, saran saya adakah tetap pada standart kalian masing - masing, pada akhirnya waktu akan menjawab bahwa para social climbers sejati tidak layak menjadi bagian dr kaum sosialita, namun jika mereka bisa mengikuti alur, saya rasa akan layak mereka di copot predikatnya sebagai social climbers.
112
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara Nama : Ms. X Usia
: 27 tahun
1. Menurut Anda pengertian sosialita seperti apa? Orang - orang yang memiliki derajat tinggi atau terpandang, dan mereka senang berkumpul
dengan
beberapa
kelompok
masyarakat
dengan
status
terpandangdandengan strata yang sama seperti mereka, baik dalam sebuah pesta, klub (diskotik), arisan, dsb. 2. Sudah berapa lama Anda tergabung dalam komunitas sosialita? Saya tidak tahu persis kapan pertama kalinya saya tergabung dalam grup sosialita. Mm.. Maybe, semenjak +/- 3 tahun yang lalu 3. Seberapa besar komunitas sosialita Anda? Besar atau tidaknya itu saya tidak bias menilainya. Nanti kalau saya bilang besar. Dibilang ria dsbnya. Saya tidak mau dikatakan sombong. 4. Apa saja kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Anda? Baik yang rutin atau tidak? Saya mau katakana disini kalau tidak sepenuhnya acara – acara yang kami adakan bersifat senang - senang semata. Tidak jarang kami pun mengadakan acara charity,
113
donasi, dsbnya. Kami peduli dengan kondisi masyarakat yang kurang mampu. Hanya saja kami tidak suka menonjolkan sisi humanity kami tsb. 5. Apakah komunitas sosialita Anda memiliki struktur organisasi? Jika ya bagaimana alur organisasi komunitas Anda? Jika tidak, mengapa? Kebetulan di komunitas sosialita yang saya ikuti ini didalamnya tidak ada struktur – strukturan tuh (sambil tertawa, red). 6. Menurut Anda komunikasi yang terjalin dalam komunitas sosialita yang Anda geluti sudah berjalan dengan baik? Jika ya bagaimana, jelaskan! Jika tidak alasannya? (jelaskan secara detail, dari segi waktu berkomunikasi, apakah dengan beberapa orang saja atau seluruh anggota secara merata, apakah efektif komunikasi yang terbentuk?) Sangat baik bahkan jauh diluar dugaan saya semula. Tidak tampak sama sekali adanya perbedaan antara yang senior maupun yang junior. Kami cepat berbaur satu dengan yang lain dan terbuka untuk setiap new comers yang ada. Mungkin bisa
dibilang
saya
beruntung
dengan
kondisi
manusianya
yang
open
communication and open minded didalamnya 7. Apakah Anda pernah merasa komunikasi yang terjalin dalam komunitas sosialita Anda tidak sejalan dengan yang Anda pikir seharusnya? Ya otomatis dengan kondisi yang seperti tadi telah saya jelaskan, Alhamdulilah, kalau sampai dengan hari ini, tidak pernah ada GAP diantara kami, khususnya saya dengan komunitas saya.
114
8. Apakah Anda pernah mendengar bahwa kaum sosialita di Jakarta sudah mengalami pergeseran dari makna sosialita itu sendiri? Jika ya, menurut Anda seberapa besar faktor komunikasi memiliki andil? Menurut saya, itu kembali lagi ke individu yang menjalaninya. Dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap kami kaum sosialita. Karena setiap kelompok pasti memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga kita tidak bias menilai dari hanya pendapat satu orang saja, dalam hal ini, saya kalau dalam kelompok saya, pergeseran itu tidak ada.Biasa saja. 9. Menurut Anda pola komunikasi seperti apa yang harus dibentuk oleh komunitas sosialita menanggapi serta memperbaiki citra sosialita yang terkesan terlalu berlebihan dan mulai mengalami penyimpangan? Kembali lagi saya sampaikan, kalau pendapat saya belum tentu dapat mewakili pendapat kelompok yang lain, karena pastinya setiap kelompok memiliki kebijakan yang berbeda. Do as best as you can and you will get it. Saya rasa masing - masing kita tahu, apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan citra tersebut, walaupun mungkin dengan tidak melakukan apapun. Pertanyaannya hanya tinggal, beranikah kita melakukannya? Dan apakah dengan begitu masyarakat akan menjadi terbuka pikirannya? 10. Apa saja nilai – nilai positif yang Anda dapatkan dari komunitas sosialita yang Anda geluti? Adakah nilai - nilai negatif yang mempengaruhi hidup Anda?
115
Jika kami mengadakan penggalangan dana, kami beramal beramai - ramai, tidak ada sosok yang menonjol. Nilai kemanusiaan, kejujuran, dan penghargaan atas diri sendiri. Kepercayaan diri, kekuatan karaktet, dan kontribusi terhadap masyarakat. 11. Apakah Anda mengetahui perihal social climber? Menurut Anda bagaimana pola komunikasi yang terbentuk antar kaum sosialita sebenarnya dengan para social climber? Bagaimana seharusnya pola komunikasi tersebut terjalin sehingga dapat mencegah bahkan mengurangi jumlah social climber? Adalah mereka yang lebih mengedepankan lifestyle untuk dapat berpindah ke status social yang lebih tinggi. Mereka tidak peduli dengan yang namanya proses untuk bisa naik kestatus social yang lebih tinggi. Mereka cenderung ikut - ikutan, hutang sana - sini, dsbnya, demi untuk populer, dll. Percaya diri harusnya berbanding lurus dengan prestasi, kemampuan, dan kerja keras bukan dengan kekayaan
116