DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………
i
Daftar isi ………………………………………………………………………..
iii Halaman
Bab I
:
PENDAHULUAN. A. Latar Belakang …………………………………………
Bab II
:
B. Maksud dan Tujuan ………………………………….
3
C. Ruang Lingkup Pembahasan ………………………
4
D. Susunan Tim Harmonisasi RUU ITE ……………
5
PROSES HARMONISASI NASKAH RUU ITE A. Kronologi Persiapan dan Pembahasan Naskah RUU ITE……………………………………… B. Hasil Rapat Harmonisasi, Pembulatan dan Pemantapan RUU ITE di Departemen Hukum dan HAM …………………. C. Inventarisasi Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Norma-norma Hukumnya …………………………………………….
Bab III
:
1
6
7
10
KETERKAITAN BEBERAPA PRODUK UNDANG-UNDANG DENGAN RUU ITE A. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen …………….. B. Undang-undang Hukum Pidana ……………….. C. Undang-undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi………………………….. D. Undang-undang tentang Perbankan …………. E. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM …………………………………………. F. Undang-undang No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan ……………….. G. Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang pasar Modal ……………………………….
15 16 18 19 20 20 21
H. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ………………………………………………….…. I. RUU tentang Transfer Dana ………………….… Bab IV :
PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM TRANSAKSI BISNIS PERBANKAN A. Pengaruh Penggunaan Telematika Dalam Operasional Bank Komersial …………. B. Resiko Berkaitan Dengan Internet Banking…………………………………………………. C. Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelaksanaan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral ……………………………..
Bab V
Bab VI
22 25
:
:
36
42
REKOMENDASI UNTUK TERBENTUKNYA UNIFIKASI HUKUM TERHADAP SISTEM ELEKTRONIK A. Kondisi Hiperegulasi dan Unifikasi Hukum …
48
B. Fokus Pengaturan ITE ………………………………
51
C. Rekomendasi ………………………………………….
52
HUBUNGAN HUKUM SECARA ELEKTRONIK A. Keberadaan Ketentuan Hukum Mengenai Perikatan ……………………………………….………. B. Jenis-jenis Hubungan Hukum dalam Electronic Commerce ………………………………. C. Metode Pembayaran dalam Transaksi e-commerce …………………………………….…….. D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen e-commerce ……………………………………………
Bab VII :
32
57 59 60 61
P E N U T U P. A. Kesimpulan …………………………………………….
66
B. Saran …………………………………………………….
67
LAMPIRAN
Kata Pengantar
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G-26.PR.09.03 Tahun 2005 Tanggal 21 Pebruari 2005, sebagian dari isi keputusan
tersebut
adalah
membentuk
Tim
Pelaksana
Perumusan
Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menyusun konsep serta rekomendasi dan sekaligus menyampaikan laporan akhir kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Dalam pembahasan harmonisasi RUU ITE ini mendapatkan sumbangan pemikiran dari Prof. DR. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H. tentang keterkaitan teknologi informasi dengan RUU ITE serta referensi dari DR. Hj. S. Sundari S. Arie, S.H., M.H. tentang perkembangan teknologi informasi dalam transaksi bisnis perbankan yang disampaikan dalam forum seminar BPHN bekerja sama dengan Program Doktor (S-3) Universitas Padjadjaran.
Disamping
itu
Himpunan
Peraturan
Perundang-undangan
Telematika yang disusun Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M. telah pula ikut memperkaya pembahasan tentang keberadaan ketentuan dan hubungan hukum secara elektronik yang sekaligus disajikan juga rekomendasi untuk terbentuknya unifikasi hukum terhadap sistem elektronik.
Pada tanggal 5 September 2005 RUU ITE yang telah melalui proses pembahasan sejak tahun 2001, telah disampaikan Presiden RI kepada DPR-RI. Adalah menjadi harapan kita semua dengan disampaikannya RUU ITE tersebut akan dapat lebih mendorong DPR-RI untuk memprioritaskan pembahasan RUU ITE agar bisa segera disahkan sebagai UU.
Perkenankan pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah berpartisipasi aktif dalam pembahasan dan perumusan harmonisasi dan sinkronisasi hukum tentang informasi dan transaksi
elektronik,
khususnya
pada
Departemen
Komunikasi
dan
Informatika serta Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim dalam pelaksanaan harmonisasi ITE ini.
Demikian laporan ini disampaikan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk kiranya dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pembangunan Hukum Nasional.
Jakarta, 1 Desember 2005 K e t u a,
Drs. S u b r a t a, M.H.
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan penggunaan teknologi informasi dalam pengelolaan sistem informasi, termasuk pengelolaan sistem transaksi elektronik yang semakin meluas, baik dinegara maju maupun negara berkembang. Kemajuan teknologi seiring dengan kebutuhan manusia dari waktu kewaktu. Pemanfaatan
teknologi
informasi
dalam
berbagai
bidang
kehidupan manusia, bukan saja telah mengakibatkan segala urusan menjadi mudah tetapi dapat melahirkan sejumlah permasalahan baru termasuk masalah hukum. Dalam perdagangan secara elektronik (e-commerce) misalnya muncul persoalan hukum berkaitan dengan perlindungan data pribadi para konsumen (the protection of privacy right of consumers). Informasi mengenai transaksi secara elektronik (on-line system) atau e-commerce membutuhkan adanya perlindungan hukum yang memadai terhadap upaya orang atau pihak-pihak yang berusaha mengakses secara illegal. Kemajuan perdagangan dunia yang disebut sebagai era globalisasi dapat terjadi karena ditopang oleh perkembangan teknologi informasi sehingga semakin mempercepat perubahan dan pergeseran pola-pola hubungan bisnis, perdagangan dan pelayanan jasa dibidang
keuangan dengan munculnya berbagai jenis transaksi dan pelayanan jasa keuangan, meninggalkan jenis transaksi yang lama. Transaksi bisnis kebutuhan manusia yang selama ini hanya diperoleh dengan membeli langsung ditempat dimana barang tersebut dijual, maka dengan teknologi informasi perdagangan elektronik (ecommerce) konsep penjualan demikian telah berubah. Penjual dan pembeli saling tidak bertemu dengan yuridiksi negara yang berlainan, namun tidak menjadi penghalang untuk mengadakan transaksi jual-beli sesuai pesanan pembeli melalui internet. Namun demikian pemanfaatan teknologi juga tidak sepenuhnya memberikan nilai yang positif, karena selain bisa memberikan kontribusi positif
bagi
peningkatan
kesejahteraan
peradaban
manusia,
pemanfaatan teknologi informasi juga bisa menjadi sarana efektif dalam melakukan perbuatan melawan hukum. Didasarkan pada pemikiran tersebut, maka kini diupayakan berbagai bentuk pengaturan dalam undang-undang yang bisa mencegah kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat dari suatu perbuatan hukum yang berkaitan dengan penggunaan teknologi maju. Strategi
kebijakan
pembangunan
materi
hukum
yang
menyangkut penyusunan dan pembaharuan peraturan perundangundangan perlu dilakukan dengan memantapkan peran Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal ini diperlukan melalui penetapan prioritas peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan
hukum
untuk
memperkuat
upaya-upaya
dalam
mewujudkan
pemerintahan yang baik (Good Governance). Pembentukan Undang-Undang merupakan unsur penting di samping unsur-unsur lainnya dalam rangka pembangunan hukum nasional. Pembentukan undang-undang merupakan proses yang dinamis yang selalu mengalami perubahan sesuai dinamika masyarakat, “law as
a tool of social engineering”. Terlebih lagi pada era globalisasi dewasa ini telah memacu kemajuan teknologi informasi yang cenderung menjadikan dunia sebagai suatu kesatuan global. Dalam pembentukan undang-undang secara holistik kiranya perlu memperhatikan dimensi sesuai periodisasinya, baik dimensi masa lalu, masa kini dan dimensi waktu masa mendatang dengan bertitik tolak pada kondisi obyektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam
pengharmonisasian
suatu
Undang-Undang
perlu
mempertimbangkan heterogenitas hukum yang berkembang ditengah masyarakat. Dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang terdiri atas 11 Bab dan 49 Pasal sesungguhnya merupakan langkah penting, untuk mengawali lahirnya Undang-undang Siber (Cyberlaw) di Indonesia yang sudah sangat dinantikan.
B.
Maksud dan Tujuan Adapun yang menjadi maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyatukan pengertian tentang sistem Informasi maupun jaringan informasi transaksi elektronik. Selain itu dimaksudkan juga agar dapat
mengkoordinasikan berbagai ketentuan dan peraturan dari berbagai departemen, lembaga dan atau instansi yang menanganinya. Dari produk perundang-undangan yang dilahirkan diharapkan agar dapat mensinkronkan dan mengharmonisasikan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang terkait. Tujuannya adalah agar tidak terdapat perbedaan dan sekaligus dapat menghindarkan kemungkinan saling tumpang
tindih
antar
produk
hukum
yang
cenderung
dapat
menimbulkan ketidak pastian hukum.
C.
Ruang Lingkup Pembahasan Pembahasan kegiatan Harmonisasi Hukum ini meliputi produk perundang-undangan yang terkait dengan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, antara lain mencakup : 1. Proses Harmonisasi dan Pembahasan Naskah RUU ITE; 2. Inventarisasi Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Norma-norma Hukumnya; 3. Keterkaitan Teknologi Informasi dengan RUU ITE; 4. RUU Transfer Dana dalam Korelasi RUU ITE; 5. Tindak Pidana Pencucian Uang; 6. Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi dalam Transaksi Bisnis Perbankan; 7. Keberadaan Ketentuan dan Hubungan Hukum secara Elektronik; 8. Suatu Rekomendasi Untuk Terbentuknya Unifikasi Hukum Terhadap Sistem Elektronik.
D.
Susunan Tim Harmonisasi ITE Susunan Tim Harmonisasi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : G-26.PR.09.03 Tahun 2005 adalah sebagai berikut : Ketua
:
Drs. Subrata, M.H.
Sekretaris
:
Bungasan Hutapea, S.H.
Anggota
:
1. Ir. Cahyana Ahmadjayadi, M.H; 2. Edmon Makarim, S.Kom, S.H., LLM; 3. Agus Santoso, S.H.,LLM; 4. Edi Suprapto, S.H., M.H; 5. Andriani, S.H.
Asisten
:
1. Gardjito, S.Sos; 2. Wawan Setiawan.
Pengetik
:
1. Paina; 2. M. Adiwinata.
BAB II PROSES HARMONISASI NASKAH RUU ITE
A.
Kronologi Persiapan dan Pembahasan Naskah RUU ITE 1. Tahun 2001, Pemerintah (dimulai sebelum Kabinet Gotong Royong) melakukan studi komprehensif dan menyiapkan Naskah RUU Cyberlaw : a. DEPHUB
RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (PTI)
b. DEPPERINDAG
RUU Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik (IETE). 2. Tahun
2002,
kedua
RUU
tersebut
disampaikan
kepada
Presiden/Setneg oleh Menteri Perhubungan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 3. Tahun 2003, sesuai arahan Presiden/Setneg, kedua RUU tersebut diselaraskan menjadi satu RUU. Kementerian Komunikasi dan Informasi ditugaskan sebagai koordinator penyelaras kedua RUU. 4. Koordinasi oleh Kementerian KOMINFO melibatkan berbagai instansi terkait, pakar, perguruan tinggi, asosiasi Telematika, dan pemerhati Telematika, menghasilkan RUU IETE kemudian menjadi RUU ITE. Proses finalisasi naskah RUU ITE juga dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan sosialisasi ke berbagai daerah. 5. Tanggal 9 Pebruari 2004, naskah final RUU ITE telah diparaf oleh Menteri
KOMINFO,
Menteri
PERINDAG,
Menteri
Perhubungan,
Menteri Kehakiman dan HAM, telah disampaikan ke Presiden/Setneg. 6. Tanggal 5 Maret 2004, Setneg mengundang Rapat Kementerian KOMINFO bersama instansi terkait untuk membahas naskah final RUU ITE. Disepakati beberapa pasal memerlukan penyempurnaan. 7. Kementrian KOMINFO menindaklanjuti dengan membentuk Tim Khusus
Antar
Instansi
Pemerintah
dan
dunia
usaha
untuk
menyempurnakan Pasal-pasal RUU ITE (sesuai kesepakatan Rapat di Setneg).
8. Tanggal 8 April 2004, Naskah RUU ITE yang telah disempurnakan oleh Tim Khusus disampaikan kembali ke Presiden/Setneg. 9. Tanggal 2 September 2004, Presiden Menyampaikan RUU ITE kepada DPR-RI untuk dibicarakan dalam Sidang DPR guna mendapatkan persetujuan. 10. Tanggal 31 Januari 2005, DPR-RI mengirim surat kepada Presiden Ri mengembalikan 11 (sebelas) RUU yang berasal dari Pemerintah (termasuk RUU ITE). Pemerintah dapat mengajukan kembali RUU ITE untuk ditindaklanjuti pembahasannya bersama-sama DPR-RI. 11. Terkait dengan surat DPR-RI kepada Presiden tersebut, tanggal 23 Februari 2005, MENSESNEG mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan HAM untuk segera melaksanakan konsolidasi bersamasama Menteri-menteri terkait, dan selanjutnya agar Menteri Hukum dan HAM melakukan pemaparan di hadapan Presiden mengenai rencana tindak lanjut dan proses selanjutnya. 12. Tanggal 21 Februari 2005 dan tanggal 15 Maret 2005, Menteri Hukum dan HAM mengirim surat kepada Menteri KOMINFO, agar pejabat eselon 1 Departemen KOMINFO melakukan pemaparan materi
RUU
ITE
di
Ditjen
Peraturan
Perundang-undangan,
Departemen Hukum dan HAM. 13. Tanggal 11 Mei 2005, SESMEN KOMINFO mengirim surat kepada Dirjen Peraturan Perundang-undangan, DEP Hukum dan HAM. 14. Tanggal 14 Mei 2005, KOMINFO Presentasi di Departemen Kehakiman dan HAM. 15. Tanggal 5 September 2005 Presiden RI menyampaikan RUU ITE kepada DPR-RI.
B.
Hasil Rapat Harmonisasi, Pembulatan dan Pemantapan RUU ITE Tanggal 14 Juni 2005 di Departemen Hukum dan HAM. 1. Dari
hasil
rapat,
beberapa
pasal
RUU
ITE
memerlukan
penyempurnaan dan penambahan antara lain : Pasal 5 ayat (1),
Pasal 25 A, Pasal 36 ayat (3A), (3B), (3C), (4) dan (5), Pasal 37 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 41. Penyempurnaan
dan
penambahan
pasal-pasal
tersebut
telah
dilaksanakan sebagai berikut
Pasal 5 (1) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah baik dalam peradilan perdata, pidana, tata usaha negara dan peradilan lainnya. Pasal 25 A Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornograpidan atau pornoaksi melalui komputer atau sistem elektronik
PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT Pasal 36 (3A) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi. Penjelasan : Data elektronik strategis yang wajib dilindungi antara lain : data perbankan, data perpajakan, data pertanahan dan data kependudukan. (3B) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 A wajib membuat dokumen elektronik dan backup elektroniknya serta menghubungkannya ke Pusat Data tertentu untuk kepentingan pengamanan data tersebut. (3C) Instansi atau institusi lain selain diatur ayat (3A) membuat dokumen elektronik dan backup elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya. (4) Masyarakat
berperan
meningkatkan
pemanfaatan
teknologi
informasi melalui penggunaan dan penyelenggaraan informasi
elektronik serta transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. (5) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
peran
pemerintah
dan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
PERAN MASYARAKAT Pasal 37 (1) Masyarakat
berperan
meningkatkan
pemanfaatan
teknologi
informasi melalui penggunaan dan penyelenggaraan informasi elektronik serta transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan
oleh
lembaga
yang
dibentuk
oleh
masyarakat. (3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi konsultasi dan mediasi. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembentukan
lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 41 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 A dan pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 48 Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.
2. Selanjutnya Materi RUU ITE tersebut dikirim secara resmi ke Menteri Sekretaris Negara melalui Departemen Hukum dan HAM.
C.
Inventarisasi Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Serta Norma-norma Hukumnya Produk perundang-undangan di bidang pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik adalah sebuah Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( RUU ITE ) yang secara historis merupakan penggabungan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) yang disusun oleh Dep. Perhubungan bekerjasama dengan Universitas Padjajaran serta RUU tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE) oleh Dep. Perindustrian dan Perdagangan bekerjasama dengan Universitas Indonesia. Kedua RUU tersebut diselaraskan menjadi RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Presiden menunjuk Kementerian Kominfo sebagai koordinator dalam penyusunan RUU tersebut, yang kemudian membahasnya dalam rapat-rapat dalam Panitia Antardep yang melibatkan berbagai instansi terkait sesuai dengan keahlian dan kompentensi di bidang masingmasing, baik dari sisi teknologi maupun dari sisi legal. Setelah mendapat berbagai masukan, termasuk dari sisi bahasa Indonesia, panitia dapat menyusun Draft Final yang diberi nama Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( RUU ITE ).
1. Pokok-Pokok RUU ITE Secara umum RUU ITE memuat hal-hal substansial terdiri atas 13 bab dan 49 pasal a. Pokok- Pokok Pengaturan RUU ITE adalah sbb : 1) Perluasan
yurisdiksi
(sebagai
extra-territorial
Maksudnya bahwa jangkauan hukum
yurisdiksi).
tidak semata-mata
berlaku untuk suatu perbuatan melanggar hukum di Indonesia atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga termasuk pelanggaran hukum yang akibatnya dirasakan di Indonesia.
2) RUU ITE yang telah final merupakan RUU hasil harmonisasi dengan Dep. Hukum dan HAM tanggal 14 Juni 2005, terdiri dari 13 bab dan 49 pasal. b. Struktur ITE adalah sbb : 1) Ketentuan umum, yang meliputi pengertian tentang teknologi Informasi, Informasi Elektronik, Sistem Elektronik, Tanda Tangan Elektronik, Sertifikasi Elektronik, Lembaga Sertifikasi, Penyeleng-gara
Sertifikasi,
Transaksi
Elektronik,
Asas
Elektronik, Dokumen Elektronik, Kontrak Elektronik, Nama Domain, Kode Akses dan Penyelenggara Sistem Elektronik. 2) Asas dan tujuan. 3) Informasi elektronik dan dokumen elektronik. 4) Penyelenggara sistem elektronik. 5) Transaksi elektronik. 6) Nama domain, Hak Kekayaan Intelektual dan Perlindungan Hak Pribadi (privasi ). 7) Perbuatan yang dilarang. 8) Penyelesaian sengketa. 9) Peran pemerintah. 10) Peran masyarakat. 11) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. 12) Ketentuan pidana. 13) Ketentuan peralihan. 14) Ketentuan penutup. 2. Cakupan Pengaturan RUU ITE : a. Asas RUU ITE RUU ITE menganut asas kepastian hukum, manfaat, hati-hati, itikad baik dan teknologi netral. b. Kekuatan hukum. Informasi elektronik memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti print out (keluaran) dan memiliki akibat hukum yang sah.
Informasi elektronik hanya menjadi sah apabila menggunakan sistem elektronik berdasarkan peraturan yang berlaku. c. Penyelenggaraan sistem elektronik 1) Informasi dan transaksi elektronik harus dilakukan dengan sistem elektronik yang handal dan aman. 2) Penyelenggara
sistem
bertanggung
jawab
terhadap
penyelenggaraan sistem yang diselenggarakannya. d. Transaksi elektronik 1) Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik maupun privat. 2) Transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. 3) Para pihak dapat melakukan pilihan hukum. 4) Apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum maka hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas hukum perdata Internasional. 5) Penyelesaian
sengketa
dapat
dilakukan
dalam
forum
pengadilan arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif. 6) Para pihak yang melakukan transaksi elektronik menggunakan sistem elektronik yang sudah disepakati. e. Nama domain, hak kekayaan Intelektual dan perlindungan hukum
pribadi ( privasi ) 1) Setiap orang berhak memiliki nama domain dengan prinsip pendaftaran pertama. 2) Pemilik dan penguna nama domain wajib didasarkan pada itikad baik, sehat, dan tidak melanggar hak orang lain. 3) Setiap orang yang dirugikan karena penggunaan nama domain secara tanpa hak dapat mengajukan gugatan pembatalan nama domain dimaksud.
3. Perbuatan yang dilarang (Pasal 27) Setiap orang dilarang menyebarkan Informasi elektronik yang muatan informasinya menurut norma hukumnya dapat dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pornografi dan atau Pornoaksi melalui sistem komputer atau sistem elektronik. Menurut ketentuan RUU ITE, setiap orang dilarang : a. Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah,
merusak
atau
menghilangkan
informasi
dalam
komputer dan atau sistem elektronik. b. Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik mengubah,
dengan
cara
merusak
apapun
atau
tanpa
hak,
menghilangkan
memperoleh,
informasi
milik
Pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau dilindungi. 4. Hubungan norma hukum dasar dan norma hukum PerundangUndangan. Memperhatikan muatan materi yang terdapat dalam RUU ITE, manfaat hal-hal yang terkait dengan Informasi dan Transaksi cukuplah hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, sedangkan yang teknis dan merupakan pelaksanaannya dapat dibuat dalam peraturan Pemerintah. 5. Rancangan Peraturan Pemerintah Ada 6 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yaitu : a. RPP Pembinaan Pemerintah terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik. b. RPP Sertifikasi Elektronik. c. RPP Pengelolaan Nama Domain. d. RPP Transaksi Elektronik bersifat Terbuka. e. RPP Lembaga Sertifikasi Keandalan. f. RPP Tanda Tangan Elektronik.
6. Peraturan pelaksanaan : Peraturan pelaksanaan terletak dibawah Undang-Undang, yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang dan bersumber dari kewenangan delegasi. Kewenangan ini diberikan oleh Undang-Undang kepada suatu lembaga pemerintah. Sebagai contoh: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 memberi kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Dilihat dari norma RUU ITE dan setelah menjadi Undang-Undang nanti maka akan ada pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tidak. Dilihat dari susunan norma hukum, maka RUU ITE adalah UndangUndang Formal dan ada aturan pelaksanaannya. Disamping itu, norma hukum RUU ITE tidak saja bersifat tunggal tetapi telah bersifat norma sekunder yang melekat disamping norma primernya, sehingga mencantumkan norma yang bersifat sanksi, yaitu sanksi pidana maupun perdata. Norma ini merupakan norma hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Dilihat dari karakteristik pengaturan yang terdapat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya, dapat dibagi menjadi : a. 4 (empat) aturan yang terkait dengan elektronik, b. 2 (dua) aturan yang terkait dengan sertifikasi, c. 3 (tiga) aturan yang terkait dengan peran masyarakat, dan d. 1 (satu) aturan yang terkait dengan pemerintah.
Demikianlah hal-hal yang dapat diinventarisasi dalam RUU ITE dan Peraturan Pemerintah, serta norma-norma yang terkandung di dalamnya.
BAB III KETERKAITAN BEBERAPA PRODUK UNDANG-UNDANG DENGAN RUU ITE A.
Keterkaitan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dangan RUU ITE
No.
1.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Kewajiban Konsumen
Prinsip
ini
Pasal 5 huruf b;
mengingat
perlu
ditekankan
banyaknya
konsu-
Kewajiban konsumen adalah : beritikad men yang melakukan tindakan baik
dalam
melakukan
transaksi curang melalui penggunaan kar-
pembelian barang dan/atau jasa;
tu pembayaran milik orang lain
(carding) . Sanksi pelanggaran ketentuan ini perlu diharmonisasikan dengan keten-tuan RUU ITE. 2.
Hak Pelaku Usaha
Perlu harmonisasi dengan RUU
Pasal 6 huruf b;
ITE menyangkut kartu pemba-
Hak pelaku usaha adalah hak untuk yaran
milik
orang
lain
oleh
mendapatkan perlindungan hukum dari konsumen yang beritikad buruk tindakan konsumen yang beritikad tidak yang dapat berakibat kerugian
3.
baik.
bagi pelaku usaha.
Klausula baku;
Ketentuan klausula baku melalui
Pasal 1 angka 10;
media
online
Klausula baku adalah setiap aturan atau konsisten
harus
secara
menerapkan
prinsip
ketentuan dan syarat-syarat yang telah Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 18. dipersiapkan dan ditetapkan terlebih Harmonisasi ITE perlu dilakukan dahulu secara sepihak oleh pelaku yang memungkinkan hak class usaha yang dituangkan dalam suatu action. dokumen
dan/atau
mengikat
dan
konsumen.
perjanjian
wajib
dipatuhi
yang oleh
No.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Pasal 18; (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat
atau
mencantumkan
klausula baku. 4.
Perlu
Pasal 46;
harmonisasi
ketentuan
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku class action dengan RUU ITE. usaha. 5.
Sanksi
Perlu harmonisasi dengan RUU
Pasal 63;
ITE
karena
tindakan
peram-
Terhadap sanksi pidana sebagaimana pasan dan penghentian kegiatan dimaksud dalam Pasal 62, dapat tertentu dijatuhkan
hukuman
dalam
bidang
e-
tambahan, commerce dapat berakibat fatal,
berupa :
misalnya penghentian transaksi
a. perampasan barang tertentu;
elektronik banking yang akan
b. pengumuman keputusan hakim;
mengganggu sistem perbankan
c. pembayaran ganti rugi;
secara keseluruhan.
d. perintah
penghentian
kegiatan
tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan ijin usaha.
B.
Keterkaitan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan RUU ITE
No. 1.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Tentang pencurian
Ketentuan
Pasal 362
harus
tentang
diperluas
pencurian
mencakup
No.
Materi Muatan Barang
siapa
Keterkaitan dengan RUU ITE
mengambil
sesuatu,
yang
sebagian
kepunyaan
barang pula pencurian melalui sarana
seluruhnya
atau elektronik
orang
dengan
mengede-
lain, pankan delik formil. Hal ini perlu
dengan maksud untuk dimiliki secara diharmonisasikan dengan RUU melawan hukum, diancam dengan ITE. pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. 2.
Tentang perbuatan curang
Perlu harmonisasi dengan ke-
Pasal 386
tentuan tentang informasi yang
(4) Barang siapa menjual, menawar- menyesatkan dalam RUU ITE. kan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obatobatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu,
diancam
dengan
pidana
penjara paling lama empat tahun. Pasal 392 Seorang
pengusaha,
seorang
pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau
koperasi,
yang
sengaja
mengumumkan keadaan dan neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. 3.
Ketentuan ini harus diharmoni-
Pasal 383 Diancam
dengan
pidana
penjara sasikan dengan ketentuan RUU
paling lama satu tahun empat bulan, ITE
yang
seorang penjual yang berbuat curang sertifikasi terhadap pembeli :
mark).
mencakup
tentang
keandalan
(trust
No.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Ke -1 : karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli. Ke - 2 : mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.
C.
Keterkaitan Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dengan RUU ITE
No. 1.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) (1) Penyerahan
jasa
Pencatatan harus dapat dilaku-
telekomunikasi kan melalui media
elektronik
wajib mencatat/merekam secara (paper less) dan melalui hasil rinci pemakaian jasa telekomuni- print out yang keduanya diakui kasi yang digunakan oleh penggu- sama seperti ada dalam RUU na telekomunikasi. Apabila
pengguna
ITE. memerlukan
catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya. 2.
Pasal ini dapat juga digunakan
Pasal 22 Setiap
orang
dilarang
melakukan untuk
akses
illegal
terhadap
perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau jaringan sistem telekomunikasi memanipulasi :
meskipun belum memadai.
a. akses ke jaringan telekomunikasi; Untuk dan atau b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
lebih
lanjut
sebaiknya
digunakan dalam RUU ITE.
No.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus. 3.
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal ini harus diharmonisasikan
Pasal 38
dengan ketentuan tentang akses
Setiap
orang
dilarang
melakukan illegal,
hacking
dan
cracking
perbuatan yang dapat menimbulkan dalam RUU ITE. gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan
tele-
komunikasi.
D.
Keterkaitan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Jo. Undangundang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan RUU ITE
No. 1.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Usaha Bank
Perlu regulasi tentang transfer
Pasal 6 huruf e, f, g;
dana, yang sangat erat kaitan-
Usaha Bank umum meliputi :
nya dengan penggunaan sara-na
e. memindahkan
uang
baik
untuk teknologi informasi. Harmo-nisasi
kepentingan sendiri maupun untuk penerapan sanksi dalam RUU kepentingan nasabah;
Transfer Dana dan RUU ITE.
f. menempatkan dana pada, memin- Perlu implementasi regulasi lebih dahkan dana dari, atau meminjam- lanjut tentang internet kan dana kepada bank lain, baik sebagai
salah
satu
dengan menggunakan surat, sarana layanan perbankan. telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan pihak ke tiga.
dengan
atau
antar
banking bentuk
E.
Keterkaitan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dengan RUU ITE
No. 1.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Hak Mengembangkan Diri
Hak memperoleh informasi tidak
Pasal 14
boleh
bertentangan
dengan
Setiap orang berhak untuk berkomuni- ketentuan rahasia dagang dan kasi dan memperoleh informasi yang privacy online termasuk larangdiperlukan pribadi
untuk
dan
mengembangkan an
lingkungan
untuk
mengakses
secara
sosialnya. ilegal. Hal ini perlu diharmoni-
Setiap orang berhak untuk mencari, sasikan dengan RUU ITE dan UU mem-peroleh, memiliki, menyimpan, Rahasia Dagang. mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Pasal 21 Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dank karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya.
F.
Keterkaitan Undang-undang No. 8 Dokumen Perusahaan dengan RUU ITE
No. 1.
Materi Muatan
Tahun
1997
tentang
Keterkaitan dengan RUU ITE
Jenis Dokumen
Jenis-jenis dokumen ini perlu
Pasal 2
diharmonisasikan dengan keten-
Dokumen
perusahaan
dokumen
keuangan
lainnya.
terdiri
dan
dari tuan RUU ITE yang menafsirkan
dokumen dokumen dokumen luas.
elektronik yang
sebagai
memiliki
arti
No. 2.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
Pembuatan Catatan dan Penyim- Ketentuan Pasal 9, 10 dan 11 panan Dokumen Perusahaan
merupakan
kekecualian
dari
Pasal 9, Pasal 10 Ayat (2), Pasal dokumen yang dibuat secara elektronis. Hal ini perlu dihar-
11.
monisasikan dengan ketentuan yang
ada
dalam
RUU
ITE
dengan perkataan lain RUU ITE harus
menyesuaikan
dengan
Pasal-pasal ini. 3.
Pengalihan
Bentuk
Dokumen Pengalihan dari paper based dan
Perusahaan dan Legalisasi
paper less
Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15.
monisasikan dengan RUU ITE
juga harus dihar-
agar dokumen yang dialihkan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen elektronik lainnya.
G.
Keterkaitan Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dengan RUU ITE
No.
Materi Muatan
Keterkaitan dengan RUU ITE
1.
Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal Insider trading 98.
sangat rentan
untuk disebarkan melalui sarana teknologi informasi. Penyebaran informasi yang
menyangkut
tanpa hak informasi
orang dalam di pasar modal harus diharmonisasikan dengan sanksi yang terdapat dalam RUU ITE.
H.
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Dewasa ini ada berbagai jenis kejahatan baik dilakukan oleh perorangan maupun oleh korporasi, yang dapat dilakukan dengan relatif mudah serta menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang cukup besar, seperti : korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, narkotika dan lain sebagainya, dimana kejahatan-kejahatan tersebut merupakan juga sebagai tindak pidana asal atau “predicate crime” bagi tindak pidana Pencucian Uang. Kejahatan/tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintas batas wilayah negara lain, yang dikenal dengan istilah “Kejahatan Transnasional” (transnational crime). Dalam kejahatan transnasional, harta kekayaan hasil tindak pidana oleh para pelaku diusahakan untuk “dicuci”, yang kemudian dikenal dengan istilah Pencucian Uang, yang dalam dunia internasional dikenal dengan istilah “money laundering”, yang merupakan perbuatan/upaya dari pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana dengan cara memasukkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana tersebut ke dalam sistem keuangan (financial sistem), khususnya dalam sistem perbankan (banking sistem), baik di dalam maupun di luar negeri, dengan maksud menghindarkan diri dari tuntutan hukum atas kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta kekayaan hasil kejahatan tersebut dari sitaan aparat penegak hukum. Kejahatan/tindak pidana Pencucian Uang merupakan kejahatan yang sulit untuk dilacak, karena tidak mempunyai batas waktu dan batas wilayah. Transaksi yang dilakukan dalam kegiatan pencucian uang pada umumnya dilaksanakan secara elektronik dengan menggunakan wire transfer. Wire transfer merupakan metode utama dalam kegiatan pencucian uang, karena dapat mengakses ke lembaga/sistem keuangan di negara manapun di dunia ini. Mengantisipasi hal tersebut, dalam
rangka mencegah dan memberantas kejahatan/tindak pidana Pencucian Uang, maka pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-undang
Nomor 15 tahun 2002 membentuk Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK merupakan lembaga independen dalam
melaksanakan tugas dan kewenangan, serta bertanggung jawab kepada Presiden. Salah satu tugas PPATK yang berhubungan langsung dengan penegakan hukum adalah melaporkan hasil analisis transaksi keuangan
yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang kepada Kepolisian dan Kejaksanaan. Pencucian Uang dapat menyebabkan terganggunya stabilitas perbankan di Indonesia. Selain itu, juga berbahaya bagi sistem keuangan internasional. Hal ini cukup beralasan, karena kegiatan Pencucian
Uang
di
dunia
menurut
mantan
Managing
Director
International Monetery Fund (IMF) Michael Camdessus telah mencapai angka 2% - 5% dari pendapatan bruto (PDB) atau sekitar US $ 600 miliar, yang notabene juga merupakan “bisnis” ke tiga terbesar di dunia setelah pasar uang dan minyak dunia. Mengantisipasi hal ini, dunia internasional telah bersepakat untuk mencegah dan memberantas praktek-praktek Pencucian Uang dengan cara mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Aspek pidana internasional dikaitkan dengan Pencucian Uang adalah : Pertama, tindak pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana yang dapat melintas batas wilayah negara. Kedua, hasil kejahatan dapat disimpan di berbagai negara.
Ketiga, dunia internasional sudah sepakat untuk memberantas masalah tindak pidana Pencucian Uang. Secara nasional Indonesia telah mengkriminalisasikan perbuatan Pencucian Uang sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian pada tanggal 16 September 2003 telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. Indonesia pernah dianggap tidak kooperatif dalam penanganan tindak pidana Pencucian Uang. Indonesia dipandang sebagai tempat dan
tujuan yang relatif aman serta menarik bagi kegiatan Pencucian Uang. Hal ini disebabkan karena kondisi penegakan hukum untuk memberantas kejahatan/tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia dianggap masih lemah, sehingga Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara dan wilayah yang tidak bekerja sama atau Non Cooperative and Territories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization For Economic Cooperation ans
Development (OECD) dari Finacial Action Task Force (FATF). Kemudian pada bulan Februari 2002, daftar NCCTs tersebut dikaji ulang pada sidang pleno FATF, tetapi Indonesia masih tetap masuk dalam daftar NCCTs yang baru, mengingat kurangnya upaya yang dilakukan Indonesia dalam memerangi kejahatan Pencucian Uang. Kita masih bersyukur, meskipun Indonesia masih masuk dalam daftar NCCTs, namun tidak diikuti “counter measures”.
Apabila sampai diterapkan
counter measures kepada Indonesia oleh negara-negara lain, maka Indonesia akan sangat dirugikan. Di bidang perbankan, penerapan counter measures tersebut akan menyebabkan batalnya kontrak perbankan suatu negara, oleh mitra usahanya di negara lain. Pemberitahuan
resmi
FATF
pada
medio
Pebruari
2005
menyebutkan Indonesia keluar dari daftar negara yang tidak kooperatif karena dinilai telah memiliki perangkat pencegahan pencucian uang, seperti berdirinya lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Nomor 25 Tahun 2003). Penegakan hukum merupakan bagian penting dari supremasi hukum, karena tanpa adanya penegakan hukum maka penegakan supremasi
hukum
tidak
akan
dapat
terwujud.
Terselenggaranya
penegakan hukum dengan baik (termasuk dalam hal ini penegakan hukum
guna
memberantas
kejahatan
Pencucian
Uang),
akan
memberikan pengaruh positif kepada masyarakat untuk mematuhi aturan-aturan/norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum menduduki posisi utama dan dijunjung tinggi dalam peneyelenggaraan negara, penyelenggaraan pemerintah, maupun dalam
kehidupan bermasyarakat. Kondisi yang demikian dengan sendirinya akan mencerminkan tegaknya supremasi hukum. Penyelenggaraan negara, penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tingggi hukum, dapat mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tertib dan patuh terhadap hukum. Kondisi yang demikian dapat terlihat dengan meningkatkan keamanan
dan
ketertiban
ditengah-tengah
masyarakat, yang pada gilirannya akan banyak memberikan konstribusi terhadap terpeliharanya stabilitas nasional. Dengan demikian, penegakan supremasi hukum melalui penegakan hukum untuk memberantas kejahatan/tindak
pidana
Pencucian
Uang
merupakan
salah
satu
prasyarat terpeliharanya stabilitas nasional. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka diperlukan adanya kemauan dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk meningkatkan penegakan
hukum
untuk
memberantas
kejahatan/tindak
pidana
Pencucian Uang guna meningaktkan supremasi hukum dalam rangka memelihara stabilitas nasional. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sangat berekepentingan terhadap lahirnya UU ITE karena berkaitan erat dengan upaya menghilangkan kejahatan dalam transaksi
bisnis
yang
menggunakan
teknologi
informasi
atau
e-commerce.
I.
Perbandingan RUU Transfer Dana dalam korelasi RUU ITE Kegiatan Transfer Dana di Indonesia baik yang bersfat domestik maupun lintas batas negara saat ini telah menunjukkan peningkatan yang signifikan baik dari sisi jumlah transaksi maupun dari jumlah nilai nominal transaksi Transfer Dana yang dilakukan dari tahun ke tahun. Untuk mewujudkan sistem pembayaran yang lebih efisien, cepat, handal dan
aman
sehingga
dapat
mendukung
kelancaran
kegiatan
perekonomian nasional, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menciptakan pengaturan yang komprehensif yang dapat menjamin
kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak yang terkait dalam kegiatan sistem pembayaran. Di sisi lain, perkembangan perekonomian internasional telah tumbuh dan makin terintegrasi dengan pasar keuangan global yang makin memudahkan pergerakan arus lintas modal dan Dana. Pergerakan Dana secara lintas batas (cross border) telah menjadi kebutuhan para pelaku ekonomi dunia dan harus dimanfaatkan
dengan
baik
kesempatannya
untuk
menggairahkan
perekonomian nasional. Terkait dengan hal tersebut dan mengingat bahwa sampai dengan saat ini belum ada pengaturan setingkat undang-undang yang mengatur transfer dana, Bank Indonesia selaku otoritas di bidang sistem pembayaran sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004, bekerjasama dengan Departemen Hukum dan HAM telah menyusun RUU tentang Transfer Dana. Transfer dana dalam arti luas merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan untuk memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima sebagaimana disebutkan dalam Perintah Transfer Dana. Sementara itu pengertian Dana telah berkembang dan mencakup pengertian uang tunai yang diserahkan oleh Pengirim kepada Bank Penerima meliputi uang yang tersimpan dalam rekening Pengirim pada Bank Penerima; uang yang tersimpan dalam rekening Bank Penerima pada Bank Penerima sebelumnya; atau uang yang tersimpan dalam rekening Penerima pada Bank Penerima Akhir. Dalam pengertian Dana tersebut juga termasuk fasilitas cerukan atau fasilitas kredit dari Bank yang diberikan pada rekening Pengirim. Dalam kegiatan di bidang perbankan, transaksi yang dilakukan memiliki kecenderungan sebagian besar sudah tidak menggunakan media kertas lagi namun sudah menjadi elektronik atau paperless. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan transfer dana telah banyak dilakukan dengan menggunakan media elektronik (electronic based) dan
sebagian kecil lainnya masih menggunakan media yang berbasis kertas
(paper based). Perbedaan proses transfer dana melalui media elektronik dan berbasis kertas sangat terkait dengan perlakuan hukum terhadap informasi elektronik dan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai akibat hukum yang sah. Dalam pengaturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, khususnya mengenai alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP, alat bukti elektronik masih belum terakomodir. Meskipun dalam UU Dokumen Perusahaan data keuangan yang dibuat dalam bentuk paperless dapat dipergunakan sebagai alat bukti, namun dalam KUHAP masih belum mengatur. Terkait dengan hal tersebut, mengingat bahwa sebagian besar transaksi transfer dana dilakukan berdasarkan media elektronik yang paperless, maka pengaturan mengenai alat bukti elektronik ini menjadi sangat penting untuk diatur dan berlaku sebagai alat bukti yang sah dalam proses peradilan. Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, keberadaan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik yang antara lain mengatur mengenai kejahatan-kejahatan
yang
terkait
dengan
kejahatan
elektronik
(cybercrime) dan alat bukti elektronik menjadi sangat penting. Kejahatan yang ditimbulkan oleh kejahatan elektronik perlu diantisipasi. Istilah hacker, cracker, dan cybercrime telah sering terdengar dan menjadi bagian dari khazanah hukum pidana. Tindak pidana kejahatan tersebut sudah bersifat lintas negara yang tidak hanya melibatkan orang dari luar saja tetapi juga warga negara Indonesia. Hal ini sangat terkait dengan semakin meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi termasuk pengelolaan sistem informasi dan sistem transaksi elektronik yang semakin meluas dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, termasuk Indonesia. Kemajuan dan perkembangan di bidang media elektronik di satu sisi memberikan manfaat bagi masyarakat, karena adanya kemudahankemudahan bagi masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas, namun demikian di sisi lain, hal ini juga dapat menimbulkan adanya
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, dengan munculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk cybercrime. Disamping itu, mengingat teknologi informasi yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya beroperasi secara maya (virtual), maka kejahatan melalui media elektronik tersebut perlu diatur oleh hukum yang berlaku saat ini. Kondisi ini meyakinkan masyarakat mengenai perlunya undang-undang yang mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang menggunakan teknologi informasi. Perlindungan terbaik bagi pelaku transaksi elektronik adalah dengan memberikan landasan hukum bagi beroperasinya transaksi elektronik. Namun, untuk memberikan landasan yuridis tersebut tidaklah mudah. Hal ini terbukti dengan masih belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut di Indonesia. Pemerintah memang telah menyusun RUU tentang ITE yang akan berfungsi sebagai bagian dari cyberlaw yang dalam waktu dekat ini RUU dimaksud diharapkan akan dibahas oleh DPR-RI. Sebagai RUU yang akan menjadi ketentuan “payung” bagi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan media elektronik termasuk mengenai kegiatan transfer dana secara elektronik sebagaimana diatur dalam RUU Transfer Dana dan pengaturan tindak pidana dan sanksinya, maka keberadaan RUU ITE sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan UU ITE tersebut akan sangat mendukung bagi perkembangan ekonomi yang berbasis pada elektronik dan teknologi informasi. Sejalan dengan RUU ITE, RUU Transfer Dana juga mengatur bahwa informasi elektronik dan atau hasil cetaknya dalam pelaksanaan transfer dana merupakan alat bukti dan memiliki akibat hukum yang sah. Dalam hal ini informasi elektronik diartikan sebagai catatan elektronik, dokumen
elektronik,
kontrak
elektronik,
surat
elektronik
dan
tandatangan elektronik. Disamping itu, tandatangan elektronik dan atau hasil cetaknya dalam pelaksanaan transfer dana oleh RUU Transfer Dana diakui sebagai tanda tangan yang sah.
Dengan demikian, terkait dengan RUU ITE tersebut, diharapkan RUU ITE dapat menjadi cyberlaw Indonesia yang bersifat komprehensif dan efektif dalam rangka memberikan kepastian hukum atas berbagai kegiatan ekonomi terkait dengan informasi dan transaksi elektronik dan sekaligus menanggulangi cybercrimes di Indonesia. Dalam dunia perbankan, pengiriman uang atau transfer dana melalui wire transfer telah lazim dilakukan di Indonesia. Pada saat ini
credit card
dan debit card
telah menjadi alat untuk melakukan
pembayaran dalam kegiatan bisnis masyarakat perkotaan, anatara lain untuk membayar belanja di mall, supermarket, restoran dan agen-agen penjualan yang menyediakan fasilitas tersebut. Perkembangan yang cepat dalam bidang teknologi informasi dan globalisasi ekonomi memudahkan transfer dana (wire transfer) dilakukan secara cepat dan mudah dengan melewati batas-batas yuridiksi suatu negara. Tentu saja kemudahan tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh para pencuci uang (money loundering) untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana, termasuk sinyalemen kuat bagi pendanaan kegiatan kelompok teroris di berbagai wilayah negara.
BAB IV PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM TRANSAKSI BISNIS PERBANKAN Dalam 20 tahun terakhir di abad XXI, perbankan terutama operasional perbankan, penawaran produk dan data nasabah mengalami perkembangan secara pesat, seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah strategi bisnis dunia usaha termasuk perbankan dengan menempatkan teknologi informasi sebagai unsur utama dalam proses produksi atau pemberian jasa. Selain itu perkembangan teknologi informasi juga mendorong inovasi di bidang jasa pelayanan termasuk jasa pelayanan perbankan. Electronic transaction dalam bentuk internet banking merupakan salah satu bentuk baru pengembangan
delivery channel pelayanan bank dan telah mengubah strategi bisnis perbankan yang semula lebih mengandalkan pada teknologi manusia menjadi teknologi informasi. Pelayanan bank dalam bentuk internet banking sepertinya telah menjadi keharusan. Kebutuhan dunia usaha dan nasabah bank semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi maupun informasi. Untuk itu internet
banking dapat menjembatani kebutuhan dunia usaha maupun nasabah dalam hal mempercepat pelayanan jasa bank. Demikian pula halnya dengan pasar uang, pasar modal serta aliran dana secara global bank dalam bentuk pemberian kredit maupun penempatan modal mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian perbankan terutama bank internasional memerankan peranan yang penting dalam perkembangan ekonomi global. Krisis ekonomi yang terjadi di berbagai belahan dunia antara lain pada beberapa negara di Amerika Latin dan sebagian Eropa Timur dan Tengah, Afrika dan Asia pada tahun 1980-an menyebabkan dalam 25 tahun terakhir sistem perbankan mengalami kerugian lebih dari 200 miliar US dollar dan menyebabkan 127 bank mengalami krisis secara sistemik di 94 negara. Lebih dari itu pada tahun 1997-1998 krisis keuangan di Asia dengan berbagai akibatnya mengingatkan kita tentang pengaruh yang signifikan terhadap
operasional perbankan dan manajemennya dalam menentukan kehidupan manusia sehari-hari. Melalui evolusi terjadi perubahan fungsi bank dari sekedar menjadi perantara dalam penghimpunan dan penyaluran dana secara domestik menjadi lembaga keuangan yang memfasilitasi berbagai kebutuhan ekspansi dunia usaha di seluruh dunia. Ciri khas dari bank internasional adalah selalu mengalami perubahan karena berbagai variabel terutama globalisasi pasar keuangan dan diterapkannya inovasi teknologi dalam kegiatan usahanya. Sekalipun demikian penggunaan teknologi dan pengaruh informasi dan mass media terhadap operasional perbankan tidak saja terjadi pada bank internasional namun juga bank domestik. Riset INBRA (Investment and Banking
Research) mentat bahwa setidaknya ada 10 bank nasional yang punya nasabah dalam skala jutaan. Di antaranya Bank Rakyat Indonesia dengan 35 juta nasabah, 27 juta di antaranya adalah nasabah mikro, Bank BNI 8,2 juta nasabah, bank Mandiri 6,9 juta nasabah, BCA 6,8 juta nasabah, BTN dan Lippo Bank masing-masing punya 3,5 juta nasabah, BII 2 juta nasabah, Bank Danamon 1,6 juta nasabah dan Bank Niaga 1,25 juta nasabah. Untuk mengelola nasabah dengan jumlah sebesar itu mau tidak mau perbankan dalam menjalankan kegiatan usahanya maupun dalam mengelola nasabahnya (antara lain melalui Customer Information File/CIF) harus didukung oleh sistem teknologi yang cukup canggih. Terlebih lagi Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 dan Nomor 3/23/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 dan 13 Desember 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Nasabah (Know Your Customer Principles) mewajibkan bank memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank. Sistem informasi ini harus memungkinkan bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. Berkenaan dengan penggunaan teknologi sistem informasi oleh perbankan, BI sebagai otoritas perbankan, otoritas moneter dan otoritas sistem
pembayaran dalam melaksanakan fungsinya antara lain dalam pengawasan perbankan, penempatan cadangan devisa dalam pasar uang internasional maupun dalam pelaksanaan kliring biasa dan real time gross settlement harus mempergunakan teknologi informasi yang diharapkan dapat mendukung efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas tersebut. PRODUK & TEKNOLOGI
JASA
YANG
MEMANFAATKAN
PERKEMBANGAN
a. Internet Banking b. Automatic Teller Machine (ATM) c. Pulsa Online Auto Reload d. Mobile Recharge e. Payment Point f. Cash Deposit Machine g. SMS Banking h. Transfer Uang dan Kliring dengan Teknologi BI-RTGS i. Transfer Valas dengan SWIFT j. Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Uang Negara dengan Sistem EDLi Dalam kaitan ini tulisan ini berupaya untuk menguraikan secara singkat mengenai hal tersebut di atas dikaitkan dengan permasalahan hukum yang timbul dalam penggunaan teknologi informasi dalam operasional perbankan.
A.
Pengaruh Penggunaan Telematika Dalam Operasional Bank Komersial Pada abad pertengahan peranan perbankan hanya dikenal sebagai perantara di antara surplus spending unit (nasabah penyimpan dana) dengan defisit spending unit (nasabah penerima dana) yang dikenal sebagai Italian Merchant Bank in the Late Middle Ages. Dalam perkembangan lebih lanjut dengan adanya globalisasi, inovasi dan perubahan teknologi menyebabkan terjadinya evolusi dalam peranan bank sebagai perantara dari perantara tradisional antara peminjam dan penyimpan dana kepada fungsi perantara yang lebih
kompleks yaitu sebagai risk managers yang melakukan interaksi secara langsung antara sumber dana dengan mereka yang membutuhkan dana di seantero dunia. Dalam fungsi yang terakhir karena nasabah debitur dan nasabah kreditur mempunyai kebutuhan likuiditas yang berbeda (ada yang mau menempatkan dana dan ada pula yang mau meminjam dana) dan nasabah kreditur (lender) tidak mempunyai informasi untuk memililh nasabah debitur (borrower) yang tepat, maka bank sebagai perantara melakukan
pencarian
informasi
(search),
(verifications),
verifikasi
pengawasan (monitoring) dan melaksanakan (enforcement) kontrak di antara ke dua pihak tersebut, baik secara domestik maupun internasional. Bank
tradisional
(traditional
banking)dikenal
hanya
sebagai
lembaga/badan usaha yang menerima simpanan dan memberikan pinjaman dengan jaminan hak tanggungan/hipotik (mortgages) dan pendapatannya terutama dari bunga yang diterima dari pemberian kredit. Selanjutnya karena Bank tradisional belum menggunakan teknologi yang canggih maka dalam pelayanan uang tunai (penyetoran, pengambilan, transfer, mencairkan cek, dan lain-lain) ditandai dengan artian yang panjang untuk menunggu pelayanan dari kasir bank (teller). Sementara itu bank internasional (international banking) berfungsi sebagai universal banking yaitu di samping melaksanakan fungsi tradisional menerima dan menyalurkan dana, juga menyediakan jasa lain antara lain: 1. mengelola dan bertindak sebagai agen dalam kredit sindikasi, mendesain kebutuhan keungan perdagangan internasonal dan proyekproyek. 2. melakukan transaksi valuta asing, emas dan logam mulia dan mentransfer uang internasional. 3. menyediakan documentary letters of credit, stand by letters of credit,
multiple credit lines, bank acceptances. 4. melakukan transaksi currency dan financial future and option, tingkat bunga dan asset swaps.
5. penjaminan penerbitan surat berharga (securities underwriting), pembiayaan proyek (project finance), jasa asuransi. 6. memberikan advis dalam pelaksanaan merger, akuisisi dan privatisasi dari perusahaan nasabahnya. Dua faktor tambahan yang melengkapi definisi bank internasional adalah dampak dari perubahan teknologi dan globalisasi. Dalam 20 puluh tahun terakhir pada abad ke-21 ini bank mengalami perubahan terutama yang terkait dengan bagaimana operasional perbankan dijalankan, bagaimana produknya ditawarkan dan bagaimana mengelola data base dari nasabah karena ada persaingan yang cukup ketat dari sesama perbankan atau lembaga keuangan bukan bank lainnya dalam pasar uang internasional. Di samping itu nasabah bank internasional tidak lagi menunggu lamanya pelayanan kasir bank dalam antrian yang panjang tetapi melakukan transaksi perbankannya melalui fasilitas telepon, internet, atau komputer baik dari rumah maupun di mana saja mereka berbeda. Terobosan komunikasi dalam operasional bank internasional tersebut di atas membantu dibangunnya jaringan bisnis dunia oleh aliran dana selama 24 jam yang menghapuskan batasan waktu transaksi keuangan dan diperolehnya informasi yang tidak terputus. Perpaduan antara teknologi dan aliran modal dalam bank internasional melalui media CHIPS (the Clearing House Interbank Payment System) dan SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications) secara elektronis telah memproses miliaran dollar melalui sistem pembayaran internasional untuk bank internasional. Perkembangan teknologi juga secara otomatis menyelesaikan pembayaran cek, mentransfer dana dalam jumlah besar dan melakukan transaksi valuta asing. Bank internasional dalam kegiatan usahanya sehari-hari juga menggunakan mesin faximile,
internet, dan e-mail. Globalisasi dan perubahan teknologi juga membuka pintu untuk tantangan baru bank internasional. Dalam globalisasi pasar keuangan, negara dan perusahaan dalam mencari dana menjadi sangat tergantung pasa pasar modal internasional, antara lain melalui penerbitan surat
berharga
internasional
dan
menempatkannya
dalam
pasar
modal
internasional. Sisi positif dari globalisasi adalah tersedianya kumpulan modal untuk pembangunan yang diharapkan dapat membantu perbaikan standar kehidupan, meningkatkan infrastruktur dan produktivitas. Namun sisi negatifnya adalah terjadinya credit crunch (antara lain ditandai dengan meningkatnya Non Performing Loan) yang dikombinasikan dengan pasar kredit lokal yang tidak berkembang dapat menghancurkan tujuan pembangunan nasional sehingga bank mengalami kegagalan, perusahaanperusahaan bangkrut serta meningkatkan pengangguran. Krisis hutang negara Amerika Latin dan contagion crisiis negara Asia (termasuk Indonesia) pada taun 1997-1998 memberikan contoh sisi negatif dari globalisasi tersebut. Masalah lain yang timbul dari globalisasi adalah penyebaran kejahatan keuangan, terutama pencucian uang. Dengan lebih cepatnya kemampuan untuk mengirimkan dan menerima uang, akan lebih sulit bagi otoritas perbankan dan penegak hukum untuk menangani praktek aliran dana uang haram. Setiap hari, organisasi kejahatan internasional akan mengupayakan untuk mencuci uang hatamnya yang didapatnya melalui beberapa off shore financial center, sementara itu mereka mencari harta baru untuk memudahkan pencucian uang kotornya menjadi uang bersih guna diinventasikan dalam aset dan uang yang sah. Oleh karena itu bankir diharuskan mengenali nasabahnya dan di beberapa negara jika hal tersebut tidak dilakukan akan mendapat hukuman yang berat. Semua ini akan
mempengaruhi
biaya
operasional
bank
internasional
dan
meningkatkan risiko yang terkait dengan transaksi lintas batas (cross
borde transaction). Kemajuan teknologi dalam transaksi barang dan jasa melalui media elektronik atau yang lebih dikenal dengan e-commerce juga mempengaruhi industri perbankan dengan menyediakan fasilitas electronic
banking (e-banking). Dewasa ini perangkat yang digunakan secara luas untuk menyalurkan produk dan jasa electronic banking bagi nasabah
antara lain mencakup point of sale terminals, automatic teller machines, telephone banking, smart cards, dan personal computers maupun internet banking. Di satu sisi fenomena internet banking memberikan dampak positif terutama dari segi efisien, jangkauan geografis, memperluas jaringan pelayanan. Sekalipun demikian di lain pihak produk pelayanan berteknologi ini berpotensi menimbulkan permasalahan operasional bagi bank, antara lain verifikasi atas keakuratan dan keabsahan informasi nasabah ke bank, pemantauan nasabah, proteksi terhadap teknologi informasi, sistem dan prosedur, dan internal control. Namun demikian, kecanggihan apapun teknologi informasi dan komputer,
dapat
dimanfaatkan
oleh
para
pihak
yang
tiak
bertanggungjawab untuk mencari keuntungan pribadi (hacker/cracker). Sama halnya dengan internet banking, terdapat risiko finansial bagi bank maupun nasabah karena hacker/cracker mampu menembus firewall dan internet banking suatu bank. Munculnya kasus doman/website palsu atau mirip dengan milik BCA yang terjadi pada medio Juni 2001 merupakan bukti bahwa sistem pengamanan internet banking perlu mendapat perhatian semua pihak. Internet
Banking
menciptakan
tantangan
baru
dalam
pengendalian risiko bagi bank. Dari sudut pandang pengawas, risiko adalah kemungkinan suatu kejadian, yang diharapkan atau tidak, akan berdampak pada menurunnya pendapatan maupun modal bank yang pada derajat tertentu, risiko ini dapat mempengaruhi kelangsungan usaha bank.
B.
RESIKO YANG ADALAH :
BERKAITAN
DENGAN
1. Operational Risk & Technology Risk 2. Reputational Risk 3. Transaction Risk 4. Legal Risk
INTERNET
BANKING
Basle
Committee
on
Banking
Supervisor
mengembangkan
pendekatan pengawasan yang meliputi seluruh risiko yang terjadi di bank, yang dapat menimbulkan kerugian bank bank. Berkaitan dengan internet banking, rasio yang paling mendapat perhatian adalah operational risk, technology risk, reputational risk, transaction risk and legal risk. Operational risk dapat dipicu oleh beberapa hal antara lain kurang memadainya sistem pengamanan (security system). Disain atau implementasi sistem yang kurang tepat, dan penyalahgunaan sistem oleh nasabah. Pertama security system, yang tidak memadai dapat membuka peluang terjadinya akses ilegal ke dalam database bank yang dilakukan oleh para hackers melalui jaringan internet maupun oleh pegawai bank yang berniat melakukan fraud. Kedua, rancangan implementasi sistem yang kurang tepat dengan kebutuhan perusahaan dapat mengganggu kelancaran aplikasi sistem tersebut. Di samping itu kebijakan manajemen untuk melakukkan outsorcing pengembangan sistem tidak menjamin diperolehnya suatu sistem yang memenuhi standar perusahaan dan senantiasa dapat mengikuti pesatnya perkembangan teknologi. Ketiga, sistem yang disalahgunakan oleh nasabah, baik sengaja maupun tidak sengaja, dapat terjadi karena kurangnya pemahaman nasabah terhadap sistem pengamanan ataupun karena lemahnya tingkat pengamanan sistem tersebut. Reputation
risk,
berkenaan
dengan
risiko
munculnya
reaksi/opini publik yang negatif terhadap bank dalam membangun sistem pengamanan yang baik sehingga menyebabkan kerugian bagi bank itu sendiri. Ketidaksigapan bank mengatasi problema teknologi yang dihadapi nasabah juga dapat menjadi faktor yang dapat menurunkan kepercayaan nasabah terhadap bank. Risiko ini tidak hanya relevan bagi bank secara individu, namun juga bagi sistem perbankan secara keseluruhan. Apabila masyarakat meragunakan kehandalan sistem yang digunakan oleh suatu bank, maka tidak dapat dihindari bahwa masyarakat juga akan mempertanyakan sistem yang diterapkan oleh bank-bank lainnya.
Risiko yang tidak kalah penting lainnya adalah legal risk, yaitu risiko
pelanggaran/ketidakpatuhan
terhadap
peraturan
perundang-
undangan dan praktek-praktek yang lazim dilaukkan oleh bank maupun nasabah ataupun tidak ada kejelasan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Sebagai contoh belum adanya perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi internet banking, serta ketidakpastian atas validitas perjanjian yang dibuat melalui media elektronik. Kondisi demikian membuka peluang terjadi contract dispute yang dapat berakhir menjadi proses litigasi. Transaksi yang dilakukan melalui internet berpotensi menimbulkan masalah di bidang hukum perdata atau piana karena belum diatur secara eksplisit dis amping itu cross border issues dalam transaksi internet banking sedikit banyak juga berkaitan dengan aspek hukum yang masih perlu diperjelas. Transaction risk, adalah risiko yang terjadi akibat kecurangan, kesalahan
dan
ketidakmampuan
menyalurkan
produk
dan
jasa,
memelihara posisi yang kompetitif, dan mengelola informasi. Dalam melakukan transaksi internet banking perlu diperhatikan masalah kerahasiaan data nasabah (privacy policy). Hak ini telah diakui dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, di samping menyediakan layanan jasa internet banking, bank juga menyediakan layanan automatic teller machine (ATM), pembelian pulsa on line auto reload, mobile recharge, layanan pembayaran tagihan (payment point) dan cash deposit machine yaitu mesin ATM yang memiliki fungsi sebagai penerima setoran tunai yang akan menkredit (menambah) jumlah setoran ke dalam rekening penerima secara otomatis (on line), Short Message Service Banking (SMS Banking) nasabah dapat melaukkan transaksi dengan telepon seluler di mana saja dan kapan saja, transfer uang dan kliring dengan teknologi BIRTGS, inkaso, transfer valuta asing yaitu sarana pegniriman uang dalam valuta USD yang didukung dengan teknologi SWIFT (society for worldwide
international financial telecommunication) di mana para pelaku dapat bertransaksi secara same day value transaction yang bebas biaya renumerasi
dan
incoming
transfer,
serta
mendukung
penerimaan
pembayaran dan penyetoran penerimaan negara dalam rangka impor dan bea cukai melalui sistem EDI (Electronic Data Interchange). Sementara itu hingga saat ini belum terdapat pengaturan khusus untuk kegiatan internet banking seperti halnya di Singapura, Malaysia dan Australia. Satu-satunya ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi di dunia perbankan adalah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 271/164/KEP/DIR tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi (TSI) oleh Bank yang mewajibkan bank: 1. menerapkan pengendalian manajemen yang meliputi perencanaan, penetapan kebijaksanaan, standar dan prosedur, serta organisasi dan personlia. 2. melaksanakan
fungsi
audit
intern
TSI
dengan
memperhatikan
ketentuan yang berlaku. Selanjutnya dalam menggunakan sistem dan aplikasi TSI, manajemen bank wajib: 1. memiliki sistem kontrol terhadap sistem dan aplikasi tersebut mencakup
pengadaan,
pengembangan,
pengoperasian
dan
pemeliharaannya. 2. menerapkan prinsip-prinsip sistem pengawasan dan pengamanan terhadap penggunaan sistem dan aplikasi yang mengandung risiko tinggi khususnya yang menyangkut teknologi database, komputer mikro dan komunikasi data. 3. memiliki disaster & recovery plan yang sudah teruji dan memadai. Dari sisi pengaturan menurut Bank Indonesia beberapa aspek hukum yang penting dalam pengaturan internet banking yaitu keabsahan transaksi dan kekuatan pembuktian, sanksi pelanggaran, security/privacy breaches dan cross border issues.
Penggunaan scriptless securities dan paperless form atau apapun sebagai hasil rekaman elektronik dalam sistem pembayaran seiring dengan perkembangan teknologi menimbulkan permasalahan khususnya terkait dengan ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang menetapkan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Mengenai
keabsahan
transaksi
dan
kekuatan
pembuktian,
transaksi elektronik tidak memerlukan hard copy atau warkat kertas, namun demikian setiap transaksi yang melibatkan eksekusi diberikan tanda bukti berupa nomor atau kode yang dapat disimpan (di-save) di komputer atau dicetak. Apabila terjadi sengketa apakah bukti/kode nomor transaksi dapat dipergunakan sebagai alat bukti kuat menurut hukum Indonesia, mengingat Indonesia belum mempunyai ketentuan khusus yang mengatur kegiatan dan transaksi elektronik elektronik melalui internet. Sekalipun demikian sesuai Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian di antara bank dan nsabah mengikat kedua belah pihak dan berlaku seperti undang-undang bagi kedua belah pihak (pacta sun servanda). Berdasarkan model law untuk e-commerce UNCITRAL (United
Nation Commission on International Trade) Pasal 5 dan 6, transaksi elektronik diakui sederajat dengan "tulisan", sehingga tidak bisa ditolak sebagai bukti pengadilan. Selanjutnya penggunaan tandatangan elektronik sebagai suatu sistem pengamanan yang menggunakan Public Key Cryptography. Sistem dalam transaksi elektronik ini sangat penting karena berfungsi untuk memastikan kevalidan nasabah serta keutuhan dokumen selama proses transaksi. Menurut Uniform Rules on Electronic Signature Draft: "Electronic
signature means data ini electronic form in, affected to or logicallu associated with, a data message, and (that may be) used to (identify the signature holder) in relation to the data message an indicate the signature holder's approved of the information contained in the data message". Dengan
demikian
kemungkinan
pengakuan
tandatangan
elektronik dalam hukum Indonesia tergantung pada dimungkinkannya
penerapan mekanisme untuk mengidentifikasi pihak yang melakukan penandatanganan dan mengindikasikan kesediaan dari pihak yang melakukan
tandatangan
untuk
sepakat
dengan
apa
yang
ditandatanganinya sehingga tandatangan elektronik dapat diterima sebagai tandatangan yang valid. Mengenai pengertian dokumen, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara lebih luas mendefinisikan dokumen sebagai "data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1. tulisan, suara atau gambar 2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya 3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami
oleh
orang
yang
mampu
membaca
atau
memahaminya. Dengan demikian penggunaan scriptless securities dan paperless form atau apapun bentuknya sebagai hasil rekaman elektronik sebagai alat bukti sudah diakomodasi oleh pengetian dokumen sebagaimana diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun megnenai sanksi terhadap pelanggaran yang dilaukkan dalam elektronik banking khususnya internet banking harus diatur secara tegas, apakah hal tersebut dilakukan oleh hacker, pegawai bank atau pihak ketiga. Penggunaan komputer sebagai sarana dalam melakukan fraud dapat dilaukkan sebagai computer crime yaitu setiap tindakan melawan hukum dengan mempergunakan komputer, baik melalui sistemnya mauun aplikasinya yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum. Contoh kasus dalam hal ini adalah kasus Sdr. Rudy Demsi Bank BNI New York, BRI Katamso Yogyakarta dan BDN Bintaro Jaya. Sedangkan Internet Crime adalah penggunaan internet untuk merusak atau menghapus data e-programs, menggunakan internet untuk tujuan
penipuan,
menggunakan
internet
untuk
melanggar
atau
mendapatkan akses yang seharusnya tidak dimilikinya, penggunaan internet untuk mengcopy data tanpa izin, penggunaan virus melalui internet. Semua kasus tersebut telah terjadi di Indonesia, namun sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya khususnya yang mempidana kejahatan-kejahatan tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan dan perbuatan tersebut tidak dilakukan lagi. Masalah security/privacy breaches terkait dengan keselamatan dan keamanan data transaksi dari segala gangguan sadapan maupun pencurian dari pihak manapun, sehingga bank harus memberikan perlindungan. Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang Computer Crime and Abuse yang mempunyai tujuan untuk melindungi confidentiality of the data, integrity of the data dan availability of the data. Sementara itu masalah cross border issue terutama adalah ketentuan mengenai pilihan hukum yang akan digunakan dalam rangka penyelesaian transfer dana. Dalam hal ini perlu pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan transfer dana yang bersifat cross border.
C.
Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelaksanaan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral Bank Indonesia bertugas: • menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter • mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran • mengatur dan mengawasi bank. Dengan kata lain Bank Indonesia adalah otoritas moneter, otoritas sistem pembayaran dan otoritas perbankan, dengan tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7 dan Pasal 8). 1. Penggunaan teknologi informasi dalam penempatan cadangan devisa Salah satu tugas Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah mengelola cadangan devisa dengan cara melakukan berbagai jenis
transaksi devisa yaitu menjual, membeli dan menempatkan cadangan devisa (Pasal 13 ayat (1) dan (2)). Penempatan cadangan devisa di pasar keuangan dunia antara lain melalui transaksi intraday trading dan active portofolio management penanaman pada deposito berjangka dan penempatan pada suratsurat berharga. Untuk itu antara lain perlu dirumuskan kebijakan strategi penerapan kebijakan investasi dengan memperhatikan risrikorisikonya, mengembangkan pola dan teknik metode penghitungan portofolio benchmarking dengan beberapa pendekatan, menganalisa berbagai jenis fungsi risik management antara lain market risk, credit risk, liquidity risk dan sebagainya atas portofolio cadangan devisa, melakukan peneltiian mengenai perkembangan produk baru dan kemungkinan penerapannya sebagai sarana hedging pengelolaan cadangan devisa. Dalam rangka melakukan tugas tersebut di atas dealer Bank Indonesia akan memanfaatkan teknologi informasi. Indikator-indikator ekonomi di beberapa negara Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Australia, Jepang dan Inggris. Di samping itu melalui teknologi informasi (antara lain Reuters) dilakukan analisa terhadap berbagai perkembangan, misalnya: a. Suku bunga deposito USD yang tidak mengalami pergerakan antara lain karena sentimen negatif terhadap rencana George Bush untuk meningkatkan anggaran baru guna paket ekonomi di Irak dan Afghanistan
akan
membebani
defisit
anggaran
belanja
AS
memburuknya kondisi ketenagakerjaan AS dan lain-lain. b. Suku bunga deposito Euro bergerak stagnan karena adanya kebijakan
European
Central
Bank
(ECB)
yang
tetap
mempertahankan suku bunga refinancing rate, menguatnya nilai index DAX pada level tertinggi mendorong dilakukannya shifting (perpindahan) ke pasar saham untuk memanfaatkan peluang merealisasikan keuntungan (profit taking).
c. Adanya penegasan Gubernur Bank of Japan, bahwa akan mempertahankan kebijakan suku bunga randah yang sejauh ini direspon cukup positif oleh pelaku pasar Jepang. 2. Pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem pembayaran Sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU No. 23
Tahun 1992 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia bertugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sasaran dari pelaksanaan tugas tersebut adalah terciptanya sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan andal. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia berwenang mengatur sistem kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing. Penyelenggaraan kliring dapat dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia (Pasal 16 dan Pasal 17). Yang dimaksudkan dengan kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antarbank baik atas nama bank maupun nasabah yang hasil penghitungannya diselesaikan pada waktu tertentu (PBI No.1/3/PBI/1993). Tujuan pelaksanaan kliring adalah meningkatkan efisiensi transaksi non-tunai (giral) di masyarakat sehingga dapat meningkatkan kelancaran transaksi perekonomian dan meningkatkan penggunaan uang giral akan meningkatkan simpanan dana masyarakat di bank sehingga dapat dipergunakan oleh bank untuk membiayai sektor produktif di masyarakat. Jika tidak ada kliring maka akan terjadi kondisi in-efisiensi sebab setoran cek/bilyet giro dari nasabahnya harus ditagihkan langsung kepada penerbit cek/bilyet giro, perintah transfer harus diteruskan langsung ke bank-bank tertuju dan bank harus memiliki rekening korespondensi antar bank. Selanjutnya telah dikembangkan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) yaitu sistem transfer dana elektronik antarbank dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan per transaksi secara individu.
Kliring: •
Proses settlement untuk seluruh transfer dana dilakukan secara net, secara berkala atau pada akhir hari
•
Kebutuhan likuiditas terakumulasi secara berkala atau pada akhir hari
•
Kekurangan likuiditas dapat ditunda sampai akhir hari
•
Kemungkinan terjadi kegagalan settlement, karena netto kewajiban saldo rekening giro bank.
RTGS (Real Time Gross Settlement): •
Proses settlement dilaukkan per transaksi secara real-time
•
Informasi posisi likuiditas real-time
•
Kebutuhan likuiditas tersebar sepanjang sistem berjalan
•
Mengurangi risiko kegagalan settlement
•
Mengedukasi Treasury Bank untuk lebih profesional dan disiplin dalam pengelolaan likuiditas.
Dengan demikian baik dalam pelaksanaan kliring (biasa) maupun RTGS
yang
menggunakan
teknologi
informasi
di
samping
memudahkan penyelesaian pembayaran para pihak juga membuat sistem pembayaran menjadi lebih efisien, bisa dibayangkan jika penyelesaian pembayaran yang dilaukkan di antara 141 bank atas nama sejumlah nasabah mereka tanpa sistem teknologi kliring atau RTGS, padahal jumlah kliring biasa per hari sudah mencapai Rp 5 triliun per hari, sedangkan RTGS nasional sudah mencapai Rp 100 triliun per hari. Mengingat kegiatan transfer dana merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sedang kompleks dan melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaannya undangan
yang
maka secara
diperlukan rinci
suatu
mengatur
peraturan segala
perundang-
aspek
dalam
pelaksanaan transfer dana. Hal ini diperlukan antara lain guna memberikan pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban
masing-masing pihak, serta pengaturan mengenai aspek hukum dalam pelaksanaan transfer dana. 3. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pengawasan Perbankan Sesuai dengan Pasal 24 UU No.23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia
berwenang
menetapkan
peraturan
di
bidang
perbankan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan tertentu dari bank, melakukan pengawasan bank baik langsung maupun tidak langsung serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sejalan dengan semakin bertambah luas dan kompleksnya tugas-tugas pengawasan dan pemeriksaan bank maka diperlukan suatu sistem informasi manajemen khususnya mengenai kondisi keuangan dan manajemen bank, baik secara individu maupun keseluruhan. Sistem informasi manahemen di sektor perbankan selain dimaksudkan untuk mengotomasikan kegiatan pengawasan dan pemeriksaan bank yang meliputi pengumpulan, perhitungan dan penyajian data informasi juga menciptakan pusat informasi terpadu sehingga setiap saat tersedia
informasi
untuk
mendukung
tugas-tugas
pengawasan,
pemeriksaan, penelitian, pengaturan serta pengembangan perbankan. Dengan tersedianya informasi mengenai kondisi bank secara lengkap, akurat
serta
tepat
waktu
diharapkandapat
mendukung
proses
pengambilan keputusan oleh BI maupun kemungkinan digunakan oleh pihak lain sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam rangka menyajikan informasi yang standar baik dalam hal prosedur, input, proses dan output yang dihasilkan, diperlukan sistem yang dapat mengakomodasi kebutuhan pengawasan dan pemeriksaan bank berupa sistem informasi manajemen sektoral perbankan Bank Indonesia (SIM-SPBI) yang terdiri dari sistem informasi manajemen pengawasan bank (SIMWAS) dan sistem informasi manajemen pemeriksaan bank (SIMERIK).
Tujuan penerapan SIM-SPBI adalah: a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem pengawasan dan pemeriksaan bank b. Menciptakan keseragaman (standarisasi) dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pemeriksaan bank c. Mengoptimalkan
pengawasan
dan
pemeriksaan
bank
dalam
menganalisa kondisi bank sehingga dapat meningkatkan mutu pengawasan dan pemeriksaan bank d. Memudahkan audit trail oleh pihak yang berkepentingan e. Meningkatkan keamanan dan integritas data serta informasi.
Dengan diberlakukannya SIM-SPBI secara tidak langsung diharapkan dapat meningkatkan integritas dan kompetensi pengawas dan pemeriksa bank serta menignkatkan efektivitas pengawasan bank yang pada akhirnya dapat mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Dengan adanya perubahan sistem pelaporan yang disampaikan bankbank kepada Bank Indonesia antara lain laporan bulanan Bank Umum (LBU) dan laporan berkala Bank Umum (LBBU) maka SIM-SPBI yang selama
ini
telah
digunakan
oleh
sektor
perbankan
khussnya
pengawasan mengalami perubahan serta penyesuaian baik dari sisi input, proses maupun output. Di samping SIM-SPBI, Bank Indonesia juga mengelola sistem informasi debitur (SID) yaitu sistem yang menyediakan sistem mengenai debitur dan/atau debitur kelompok debitur yang diolah berdasarkan laporan penyediaan dana yang diterima Bank Indonesia dari Kantor Bank Pelapor dan Kantor Perwakilan Bank Asing. Tujuan SID agar bank memperoleh informasi yang lengkap mengenai debitur yang dapat digunakan sebagai sarana memperlancar penyediaan dana dan menghindari penyediaan dana rangkap. Dengan demikian diperlukan sistem teknologi informasi untuk efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas sebagai otoritas perbankan.
BAB V SUATU REKOMENDASI UNTUK TERBENTUKNYA UNIFIKASI HUKUM TERHADAP SISTEM ELEKTRONIK (Catatan Kritis untuk RUU-ITE). A.
Kondisi Hiperegulasi dan Unifikasi Hukum Indonesia sebagai suatu negara berkembang yang bersifat terbuka dan berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera, mau tidak mau baik secara historis maupun secara sosiologis sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang berkembang tidak hanya regional melainkan juga secara global. Pada esensinya, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah mengalami konvergensi hukum secara filosofis baik hukum adat (customary practices), hukum islam, hukum eropa kontinental dan juga hukum anglosaxon ataupun common law. Sementara itu, beranjak pada keunikan sistem hukum nasional Indonesia yang berdasarkan TAP MPR No.III/MPR/2000 bersumber pada hukum tertulis dan tidak tertulis serta secara struktural dan substansial mempunyai hierarkis yang unik dari Pancasila sebagai norma dasarnya (grund-norm) kemudian Konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi sampai dengan Peraturan Daerah, telah dijumpai tumpang tindih substansi perundang-undangannya. Pasca Era Reformasi, memang telah membebaskan bangsa ini dari keterkungkungan berpikir dalam hukum, namun pada sisi yang lain tengah membuahkan kenyataan bahwa produk hukum menjadi produk politik multi partai. Perubahan konstitusi dan pembuatan produk perundangundangan yang baru berbuah kepada kelahiran produk hukum positif yang kaya akan wacana baru dan istilah-istilah hukum yang baru namun sayangnya cenderung inkonsistensi dengan kaedah yang telah berlaku sebelumnya. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kondisi ”hiperegulasi” yang boleh saja diartikan sebagai suatu kondisi yang berkelebihan akan adanya aturan-aturan diluar yang dibutuhkan atau
boleh juga diartikan sebagai kondisi ”hype” akibat ketidakpastian yang terjadi akibat benturan-benturan antara ketentuan hukum yang berlaku. Proses perancangan hukum (legal drafting) yang lebih banyak didominasi oleh segelintir elite tentunya akan selalu menimbulkan PR besar untuk sosialisasi sekiranya tidak dibangun dengan komunikasi yang baik untuk mendapat partisipasi publik dalam proses pembuatan hukum
tersebut.
Semangat
untuk
mengidentifikasi
sejauhmana
ketentuan yang telah ada telah cukup mengatur sepertinya kurang menjadi perhatian dari para perancang. Yang justru seringkali menjadi perhatian mereka adalah asumsi personal yang menyatakan bahwa ketentuan hukum yang ada masih belum cukup mengatur. Akibatnya lahirlah ketentuan-ketentuan hukum baru yang sangat asing dan belum masuk dalam paradigma para penegak hukum konvensional dan konservatif pemikirannya. Bahkan lebih buruk dari itu, ketentuan yang lama ternyata masih belum secara utuh dipahami telah diperkaya dengan ”kebingungan” pemahaman yang baru. Dominasi segelintir tokoh pembaharuan hukum yang lebih senang merancang seakan-akan memaksa cairnya kebekuan pemikiran para penegak hukum yang kaku, namun sayangnya tanpa pernah mau menjadi penegak hukumnya sendiri. Wajah carut marut proses pembentukan dan penegakan hukum telah membawa masalah besar untuk proses unifikasi hukum bagi bangsa ini dalam satu wadah negara kesatuan RI. Keberlakuan satu hukum nasional untuk seluruh bangsa seakan-akan menjadi mimpi di siang hari jika dipandang secara sosiologis dan filosofis dari segenap masyarakat hukum dalam bangsa ini. Meskipun secara yuridis dalam konteks negara kesatuan, keberlakuan satu hukum yang berlaku untuk semua warganegara (unifikasi hukum) adalah suatu hal yang mutlak, namun pada sisi lain menghimpun satu ketentuan hukum dalam suatu sistematika yang konsisten sebagaimana layaknya suatu kodifikasi hukum juga merupakan suatu hal yang mutlak. Uniknya, Indonesia yang mengakui sumber hukum yang tertulis dan tidak tertulis sepatutnya tidak berparadigma
sangat positivist melainkan harus mengakomodir substansi keadilan secara kontekstual. Secara positif, meskipun setiap Undang-undang yang ada adalah berlaku setara, namun sesuai prinsipnya maka yang bernuansa lebih khusus akan mengesampingkan yang umum (lex
specialis derogate lex generalis). Selain itu, secara hierarkis ketentuan yang berada di bawah UU tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU itu sendiri (lex superior derogate lex posteriori). Oleh karena itu kelahiran suatu UU harus dapat dipastikan bahwa ia tidak bertentangan secara horizontal dan vertical dengan sistem perundang-undangan yang berlaku. Seiring dengan perkembangan konvergensi teknologi telematika (telekomunikasi, media dan informatika), tampaknya hukum dipaksa untuk berkembang secara linear dengan dalih pemahaman yang holistik dan mendalam tentang Internet yang terpisah dari pemikiran hukum konvensional. Tampaknya hukum telematika seringkali disalahartikan sebagai lahirnya satu hukum untuk suatu kelahiran dunia halusinasi komunikasi virtual yang populer dengan istilah ”cyberspace” ketimbang esensi hukum yang mendasarinya yakni hukum terhadap sistem informasi dan sistem komunikasi itu sendiri. Walhasil, meskipun dalam penjelasan umumnya wacana hukum terhadap informasi dan komunikasi digital sudah dikenal dalam UU HAM, UU Pers, UU Penyiaran, UU Telekomunikasi dan UU Kearsipan serta UU Dokumentasi Perusahaan, namun hal tersebut masih dirasa belum cukup mengatur. Dalam prakteknya, harapan tersebut mengakibatkan Rancangan Undangundang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE) dipaksakan harus dapat mengakomodir semua ”kelowongan” tersebut dan otomatis menjadikan RUU ITE tampil lebih rumit untuk dikomunikasikan kepada publiknya. Namun hal tersebut bukanlah suatu halangan jika dalam proses pembuatannya terus dibangun suatu komunikasi yang baik dengan meminta umpan balik dari segenap pemangku kepentingan yang ada (stake-holders),
B.
Fokus Pengaturan ITE Sebagaimana diketahui bahwa fokus pertama dari keberadaan RUU-ITE adalah memberikan kepastian hukum terhadap keberadaan suatu data atau informasi yang dihasilkan oleh sistem elektronik berikut akuntabilitas sistem elektronik itu sendiri dilengkapi dengan beberapa ketentuan hukum yang mengatur penyelenggaraanya dan akibat pemanfaatannya tersebut baik untuk kepentingan hukum individual, komunal maupun nasional bahkan internasional. Sementara itu, implikasi keberadaan suatu informasi elektronik tentunya akan bersinggungan dengan sistem hukum yang berlaku. Tidak hanya akibat substansi yang ada di dalamnya melainkan juga terhadap semua aspek hukum yang terkait dengan eksistensi sistem elektronik itu sendiri. Keseluruh aspek hukum yang terkait tersebut mau tidak mau adalah merupakan batasan terhadap sejauhmana penerapan prinsip upaya
terbaik
(“best
practices”)
tersebut
dilakukan
oleh
si
penyelenggara. Semuanya akan ber-ekses kepada suatu mekanisme pertanggungjawaban hukum kepada setiap pihak yang terkait dengan eksistensinya dan tentunya ke-efektifannya akan berpulang kembali kepada sejauhmana ketentuan hukum itu mengatur secara jelas. Secara garis besar kepentingan hukum terhadap sistem elektronik itu mencakup sebagai berikut; 1. Kepentingan Hukum untuk memperoleh Kekuatan Pembuktian terhadap informasi elektronik (validity of electronic evidence) 2. Kepentingan Hukum untuk memperoleh Penyelenggaraan sistem elektronik yang baik (akuntabilitas) dengan cara penerapan prinsip upaya yang terbaik (best practices) dalam penerapan teknologi. 3. Kepentingan
Hukum
untuk
memperoleh
Perlindungan
Hukum
terhadap penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut sehingga mewajibkan setiap pengguna yang memperoleh manfaat untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
C.
Rekomendasi Pada prakteknya, dalam setiap penerapan hukum maka “jelas” atau “tidak jelas”nya suatu ketentuan hukum akan berpulang kembali kepada kepentingan dan persepsi para pihak yang bersengketa. Namun nyatanya seringkali “sesuatu yang tidak jelas” lahir akibat kurang tepatnya pemahaman tekstual UU itu dan kurang tepatnya penerapan dalam kontekstual pada permasalahan hukum tersebut.
Walhasil,
sebagai rekomendasi awal maka perlu penyatuan persepsi antara perancang UU dengan penegak hukum, dengan cara melakukan suatu simulasi tentang studi-studi kasus yang terjadi baik lokal maupun luarnegeri dan menguji dan melihat bagaimana hakim akan menerapkan suatu pasal dalam RUU-ITE ini pada kasus-kasus tersebut. Menurut saya perlu diupayakan adanya satu ketentuan hukum tentang bagaimana algoritma hakim dalam berinterpretasi pasal-pasal. Hal ini dapat dilakukan oleh ketua MA dan/atau membuat RUU tersendiri. Selanjutnya, mengingat bahwa proses perancangan RUU-ITE telah mempertimbangkan beberapa naskah akademis yang terkait sebelumnya (RUU-IETE, RUU-PTI dan RUU-TIPITI), maka rekomendasi ini hanya akan memberikan tambahan pemikiran komplenter bagi RUU ini, antara lain sebagai berikut; • Perlu dikomunikasikan secara jelas bahwa fokus utama RUU-ITE adalah membuat informasi elektronik menjadi setara dengan informasi konvensional di atas kertas, khususnya agar suatu informasi elektronik bernilai secara hukum di hadapan pengadilan, sehingga setiap Hakim tidak boleh menampik suatu bukti semata-mata hanya karena dalam bentuknya yang elektronik dan berkewajiban memeriksa vadilitasnya dihadapan pengadilan. Meskipun setiap orang bisa saja menampik keterkaitannya dengan suatu informasi elektronik tertentu, namun akibat proses validitasnya harus dikemukakan dihadapan pengadilan, maka akan terbukti apakah penampikan tersebut adalah suatu ”kebenaran” ataukah suatu ”kebohongan” dihadapan hukum. RUU ini
melengkapi keberlakuan Hukum Acara Pidana dan Perdata dengan cara memberikan panduan bagi hakim bagaimana memeriksa validitas suatu informasi elektronik. • Perlu dikomunikasikan secara jelas bahwa RUU dibutuhkan demi terselenggaranya suatu sistem elektronik yang akuntabel dan dapat dimintakan pertanggung jawabannya kepada setiap subyek hukum yang terkait. Terciptanya suatu penyelengaraan sistem elektronik yang akuntabel dan bertanggung jawab menjadikan suatu sistem elektronik layak digunakan sebagai suatu media untuk melakukan komunikasi guna melakukan hubungan hukum (transaksi). Namun, agar lebih efektif perlu kiranya diselaraskan istilah-istilah hukum yang digunakan dalam RUU ini dengan istilah hukum yang digunakan pada UU yang lain (contoh; adalah Pelaku Usaha, Pengguna, Konsumen, Konsultan,
Kontraktor, Operator,
Program Komputer,
dan lain
sebagainya). • Sehubungan dengan itu diperlukan perbaikan pada UU Jasa Konstruksi untuk mengenal suatu sistem elektronik sebagai suatu konstruksi elektrikal. Akibatnya, perusahaan yang bergerak dalam bidang TI dapat dikenal dan termasuk dalam kategorisasi pelaku usaha yang ada selama ini serta harus mengikuti kaedah-kaedah hukum yang berlaku dalam jasa konstruksi pada saat mereka merancang dan membangun suatu sistem informasi elektronik kepada penyelenggara atau pengguna. • Perlu dikomunikasikan secara jelas bahwa berkenaan dengan Internet maka RUU-ITE akan membuat hukum nasional dapat diberlakukan secara kontekstual tergantung kepada susbtansi informasi elektronik itu sendiri. Yurisdikasi hukum nasional menjadi lebih jelas dan hukum nasional yang berlaku menjadi dapat diberlakukan secara efektif. Dengan sendirinya kepentingan hukum nasional untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional dan kepentingan kemaslahatan hidup bangsa Indonesia menjadi lebih terjaga.
• Perlu dikomunikasikan secara jelas bahwa RUU-ITE bersifat teknologi netral dengan kata lain tidak menunjuk kepada jenis teknologi security tertentu melainkan mengembalikannya kepada kesepakatan para pihak dan menciptakan suatu standar penyelenggaraan yang dapat berlaku secara komunal, nasional, regional, ataupun global. Perlu kiranya ditambahkan pada azasnya bahwa suatu sistem elektronik harus diselenggarakan dengan upaya sebaik mungkin (best practices) yang patokannya kembali kepada kaedah-kaedah hukum yang berlaku (baik berdasarkan hukum positif maupun berdasarkan praktek yang berkembang) yang terkait dengan keberadaan suatu sistem informasi. • Sebaiknya keberlakuan ITE tidak harus dipersempit dengan adanya suatu pengecualian. Bukan tidak mungkin perkembangan teknologi dan kepentingan hukum yang ada menjadi terhambat karena pengecualian tersebut. (Contoh; pasca bencana tsunami di aceh, maka akibat hilang atau rusaknya sertifikat atas tanah yang dimiliki penduduk mengakibatkan informasi elektronik tentang buku tanah yang disimpan oleh BPHN pusat, sekiranya ada, harus dapat diakui sebagai bukti hak. Akibat suatu kondisi darurat maka kepentingan hukum menghendaki bahwa suatu informasi elektronik harus bernilai otentik, kecuali dapat dibuktikan lain). • Berkenaan dengan Nama Domain sebaiknya diletakan dalam konteks yang semestinya bahwa akibat suatu pendaftaran bukanlah identik dengan suatu kepemilikan. Sehingga subtansi pengaturannya akan menjadi lebih konsisten dengan paradigma umumnya dimana terhadap setiap pendaftaran akan berpulang kembali kepada iktikad baik para pihak, dan/atau dengan kata lain maksud dan akibat pendaftaran tersebut dijamin oleh yang bersangkutan tidak akan bertentangan dengan hukum. Pada asasnya, proses pendaftaran tidaklah berarti pemberian hak kepemilikan melainkan hanyalah pengelolaan amanat (trust) secara komunal. Sebaiknya juga perlu dijelaskan dan dipertegas kepada publik, bahwa pengadilan nasional berhak untuk menyidangkan kasus sengketa tersebut sesuai konteks
hukum
yang
berlaku
dan
setiap
pencatat
(registrar)
harus
melaksanakan keputusan tersebut (executorial). • Sesuai dengan konteks hukum pidana, perlu juga diperjelas bahwa informasi elektronik dan sistem elektronik dianggap dan dilindungi sebagaimana layaknya suatu ”barang” yang tidak hanya akan berkaitan hak individual seseorang (barang pribadi) melainkan juga hak umum (barang umum). Pada dasarnya, hukum pidana umum selayaknya dapat diberlakukan kepada setiap orang dilarang yang dengan sengaja melakukan suatu tindakan tanpa hak atau melawan hukum terhadap setiap informasi elektronik dan/atau sistem informasi elektronik. Menurut saya sebaiknya paradigma pidana dalam RUU-ITE tidak harus didominasi oleh paradigma ”misuse of computer” melainkan sebaiknya adalah paradigma pidana terhadap semua tindak pidana yang terkait dengan informasi dan komunikasi itu sendiri tanpa harus terkunci pada keberadaan medium elektronik itu sendiri. • Berkaitan dengan paradigma pornografi akan sulit memberlakukan ancaman pidana dalam RUU-ITE, karena batasan pornografi umum akan merujuk kepada hukum positif suatu negara, dimana di Indonesia mungkin termasuk pidana tetapi di negera lain belum tentu pidana. Padahal ancaman pidana tersebut ditujukan kepada setiap orang yang terkait dengan komunikasi global. Sebaiknya hal tersebut akan lebih konkrit jika RUU mewajibkan setiap orang untuk menjaga kepentingan perlindungan anak (minority protection) dimana mereka dijauhkan dari informasi tentang sex dan kekerasan (sex and violance) dimana faktanya norma ini berlaku global dan termasuk dalam kewajiban azasi manusia. Hal ini tentunya mengakibatkan setiap situs yang tidak memberikan filter untuk itu akan dapat dituntut. • Perlu juga ditambahkan ketentuan bahwa demi kepentingan hukum, penyelenggaraan suatu sistem elektronik dapat saja dihentikan (suspend ataupun shut-down). Selain itu demi efektitas jera, maka perlu juga dimungkinkan suatu jenis hukuman yang membuat si terpidana tidak boleh menggunakan komputer dalam waktu tertentu.
BAB VI HUBUNGAN HUKUM SECARA ELEKTRONIK
Hukum Indonesia mengatur perjanjian secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Buku III bab ke dua tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Sedangkan untuk perjanjian yang lebih khusus diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII. Yang perlu dicatat disini adalah keberadaan buku III adalah bersifat terbuka, yang artinya dimungkinkan adanya jenis-jenis perikatan selain yang diatur dalam buku III ini, untuk jenis perikatan yang diatur dalam buku III disebut Perikatan Nominat, sedangkan yang tidak diatur dalam buku III disebut Perikatan Innominat. Pengertian perjanjian dapat diketahui dari pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian yang dimaksud oleh pasal 1313 tersebut adalah perjanjian obligatoir atau perjanjian timbale balik dimana satu pihak harus melakukan kewajiban dan pihak lain memperoleh hak. Selain itu, pada prakteknya masyarakat akan menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah harus tertulis (writing) dan bertanda tangan (signed) di atas materai (duty stamp) ataupun kertas segel serta harus asli (original). Perjanjian akan
menimbulkan suatu
perikatan yang dalam
kehidupan sehari-hari sering diwujudkan dengan janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Hubungan hukum dalam perjanjian bukanlah hubungan hukum yang lahir dengan sendirinya tetapi hubungan itu tercipta karena adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan untuk menimbulkan hubungan hukum tersebut. Berbicara mengenai “transaksi” umumnya orang akan mengatakan bahwa hal tersebut adalah perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakata untuk itu. Dalam lingkup hukum, sebenarnya istilah transaksi adalah keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang terjadi
antara para pihak. Jadi jika berbicara mengenai transaksi sebenarnya adalah berbicara mengenai aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak (lihat pasal 1338 juncto 1320 KUHPerdt), sehingga sepatutnya bukan berbicara mengenai perbuatan hukumnya secara formil, kecuali untuk melakukan hubungan hukum yang menyangkut benda yang tidak bergerak. A.
Keberadaan Ketentuan Hukum Mengenai Perikatan Sepanjang mengenai benda tidak bergerak maka hukum akan mengatur mengenai perbuatan hukumnya itu sendiri yakni harus dilakukan secara “terang” dan “tunai”. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya tetap valid karena ia akan mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi itu sendiri, baik dengan media kertas (paper based) maupun dengan media sistem elektronik (electronic based). Namun, dalam prakteknya seringkali disalahpahami oleh masyarakat bahwa yang namanya “transaksi” dagang harus dilakukan secara “hitam di atas
putih” atau dikatakan di atas kertas dan harus “bertandatangan” serta “bermaterai”. Padahal hal tersebut sebenarnya adalah dimaksudkan agar ia lebih mempunyai nilai kekuatan pembuktian, jadi fokusnya bukanlah formil kesepakatannya, melainkan materiil hubungan hukum itu sendiri. Dalam komunikasi
lingkup maka
ilmu
komunikasi
keberadaan
ataupun
transaksi
teknologi
dipahami
sebagai
sistem suatu
perikatan ataupun hubungan hukum antar pihak yang dilakukan dengan cara saling bertukar informasi untuk melakukan perdagangan. Oleh karena itu, kebanyakan para ahli teknik akan memahaminya sesuai dengan kaedah-kaedah dasar dalam aspek keamanan berkomunikasi, yakni antara lain harus bersifat confidential, integrity, authority,
authenticity dan non-repudiation. Jadi sepanjang tidak dapat dijamin bahwa hubungan komunikasi tersebut adalah aman, maka sepatutnya ia tidak dihargai sebagai suatu perikatan yang sah, karena punya potensi dan indikasi turut campurnya pihak ketiga yang mungkin beritikad tidak baik.
Jadi
yang
menjadi
penekanannya
adalah
informasi
yang
disampaikan antar para pihak yang dijadikan dasar untuk terjadinya transaksi baru dapat dikatakan mengikat apabila ia dijamin validitasnya melalui saluran ataupun sistem komunikasi yang aman, padahal katakata “aman” itu sendiri sangat relatif sifatnya karena dalam suatu sistem elektronik tidak pernah ada kata “aman” dalam arti yang sesungguhnya. Sementara itu, dalam lingkup ilmu komputer ataupun teknologi sistem informasi juga dipahami bahwa suatu informasi sepatutnya baru dinyatakan valid apabila ia dapat dijamin bahwa komponen-komponen dalam sistem informasi tersebut berjalan baik, yakni mencakup keberadaan sistem hardware, software, brainware, procedures dan data
atau informasi itu sendiri sebagai input dan output dari sistem tersebut. Hal ini sangat perlu untuk disadari mengingat bahwa sistem informasi sebenarnya adalah keterpaduan system manusia dan komputernya, bukan hanya system komputernya saja. Oleh karena itu, jika kita melihat kepada kebberadaan system informasi maka ia harus dapat dijamin sebagai suatu system yang “black box”
di mana bekerja denga asas
“Garbage In Garbage Out”. Dalam pekembangannya dewasa ini, perlu diketahui bahwa transaksi secara elektronik yang sekarang ini ramai dibicarakan sebagai “online contract” sebenarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang
dilakukan
secara
elektronik
dengan
memadukan
jaringan
(networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jasa jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadan jaringan komputer global Internet (network of network). Oleh karena itu, syarat sahnya perjanjian juga akan tergantung kepada esensi dari sistem elektronik itu sendiri. Sehingga, ia hanya dapat dikatakan sah bila dapat dijamin bahwa semua komponen dalam sistem elektronik itu dapat dipercaya dan/atau berjalan sebagaimana mestinya. Ringkasnya,
dalam
lingkup
keperdataan
khususnya
aspek
perikatan maka akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme
dalam melakukan hubungan hukum secara elektronik itu sendiri, yang akan mencakup jual beli, lisensi, asuransi, lelang dan perikatan-perikatan lainnya yang berkembang sesuai dengan perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Selain itu, dalam lingkup publik maka hubungan hukum tersebut juga akan mencakup semua aktivitas hubungan antara warga negara dengan sistem pemerintahannya (e-
government), maupun aktivitas hubungan hukum lain antar sesame anggota
masyarakat
diluar
maksud
perdagangan
(e-society,
e-
democracy dan sebagainya). B.
Jenis-jenis Hubungan Hukum dalam Electronic Commerce Jenis e-commerce yang secara umum dan yang paling banyak dikenal adalah jenis business to business dan business to customer. Tetapi selain kedua jenis e-commerce tersebut, juga terdapat beberapa jenis lainnya, yaitu customer to customer, customer to government dan
customer to business. Selanjutnya jenis-jenis e-commerce tersebut akan diuraikan di bawah ini :
1. Business to Business Transaksi business to business atau yang sering disebut sebagai b to
b adalah transaksi antar perusahaan (baik pembeli maupun penjual adalah
perusahaan).
Biasanya
diantara
mereka
telah
saling
mengetahui satu sama lain dan sudah menjalin hubungan yang cukup lama. Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan pertukaran informasi itu didasarkan pada kebutuhan dan kepercayaan. Perkembangan b to b lebih pesat jika dibandingkan dengan perkembangan jenis e-commerce yang lainnya.
2. Business to Customer Business to Customer
atau yang dikenal dengan b to c adalah
transaksi antara perusahaan dengan konsumen/individu. Contohnya adalah amazon.com sebuah situs e-commerce yang besar dan terkenal. Pada jenis ini, transaksi disebarkan secara umum, dan
konsumen yang berinisiatif melakukan transaksi. Produsen harus siap menerima respon dari konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan adalah sistem web karena sistem ini yang sudah umum dipakai dikalangan masyarakat.
3. Customer to Customer Customer to Customer ini adalah transaksi di mana individu saling menjual barang pada satu sama lain. Contohnya adalah e-bay. 4. Customer to Business
Cotumer to Business yaitu transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan, contohnya adalah priceline.com.
5. Customer to Government Customer to Government
adalah transaksi dimana individu dapat
melakukan transaksi dengan pihak pemerintah, seperti membayar pajak.
C.
Metode Pembayaran dalam Transaksi e-Commerce. Bentuk pembayaran yang digunakan di internet umumnya bertumpu pada sistem keuangan nasional, tapi ada juga beberapa yang mengacu kepada keuangan lokal. Klasifikasi mekanisme pembayaran dapat dibagi menjadi lima mekanisme utama, yaitu : 1. Transaksi model ATM. Transaksi ini hanya melibatkan institusi financial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing. 2. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, transaksi dilakukan langsung antara dua pihak tanpa perantara menggunakan uang nasionalnya. 3. Pembayaran dengan perantara pihak ketiga, umumnya proses pembayaran yang menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Ada beberapa metode pembayaran yang dapat digunakan, yaitu : a. Sistem pembayaran kartu kredit on-line. b. Sistem pembayaran cek on-line.
Sistem pembayaran dengan kartu kredit inilah yang sering menjadikan transaksi elektronik menjadi masalah. Pembajakan kartu kredit serta penipuan kartu kredit kerap terjadi dalam transaksi
e-commerce. Sejumlah konsumen yang berbelanja lewat internet pernah mengalami
pencurian
nomor
kartu
kredit.
Pencuri
dapat
saja
mendapatkan nomor kartu kredit dengan cara menyusup ke sebuah
server atau juga ke sebuah PC. Karena itulah bagi konsumen yang akan melakukan transaksi sebaiknya berhati-hati dan memastikan bahwa data-data yang mereka kirim terenkripsi dengan baik. Sebab, bisa saja pihak yang tidak berwenang menyadap nomor kartu kredit. Dan ada juga trik penipuan yang disebut trik penipuan klasik, yang melakukan penipuan dengan cara meminta nomor kartu kredit meskipun tidak melakukan transaksi dengan alasan sebagai jaminan. 1. Micropayment adalah pembayaran untuk uang recehan yang kecilkecil. Mekanisme Micropayment ini penting dikembangkan karena sangat diperlukan untuk pembayaran uang receh yang kecil tanpa
overhead yang tinggi. 2. Anonymous digital cash,
uang elektronik yang dienkripsi. “Digital
cash, dimana digital cash memiliki karakteristik utama, yaitu transnationality of digital cash, dimana digital cash memiliki kemampuan mengalir secara bebas melewati batas hukum negara lain”. Umumnya Digital Cash dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori utama, yaitu (i) tipe yang berbasis kartu kredit, (ii) tipe cek, dan (iii) tipe cash.
D.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen e-Commerce Konsumen dalam transaksi e-commerce memiliki resiko yang lebih besar dari pada penjual atau merchantnya. Atau dengan kata lain hakhak konsumen dalam e-commerce sangat rentan. Selain itu ada hal lain yang dapat semakin merugikan pembeli/konsumen, yaitu data dapat dicuri oleh pihak ketiga pada saat terjadi komunikasi antara pembeli dan
penjual, pencuri bisa mendapatkan nomor kartu kredit dengan cara menyusup ke sebuah server atau juga ke sebuah Personal Computer, dan pembeli dapat saja ditipu oleh penjual yang palsu atau fiktif. Karena itulah selain jaminan yang diberikan oleh penjual atau
merchant sendiri, diperlukan juga jaminan yang berasal dari pemerintah. Jaminan dari pemerintah ini diharapkan berupa undang-undang yanag dapat memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi konsumen. Pada
tanggal
20
April
2000,
Indonesia
telah
mulai
memberlakukan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini mengatur mengenai hak-hak konsumen dan perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi produsen. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah undang-undang perlindungan konsumen tersebut dapat diterapkan pada transaksi e-commerce. Jika dikaitkan antara hak-hak konsumen yang terdapat dalam undang-undang perlindungan konsumen dengan hak-hak konsumen pada transaksi e-commerce, maka hak-hak konsumen sangat riskan sekali untuk dilanggar. Berdasarkan kesimpulan dari diskusi ilmiah “Pengembangan
Cyberlaw di Indonesia; Kesiapan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Mengantisipasi Kegiatan e-commerce di kampus Universitas Padjadjaran”,
tanggal
3
Juni
2000
disimpulkan
bahwa hak-hak
konsumen dalam e-commerce yang tergolong riskan adalah sebagai berikut : 1. Tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi barang dana jasa. Hal ini dikarenakan para konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh barang yang akan dipesan lewat internet, sebagaimana yang biasa terjadi dalam transaksi tatap muka di pasar. 2. Tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh informasi yang dibutuhkannya dalam bertransaksi, sebab informasi yang tersedia dibuat secara sepihak oleh penjual atau produsen, tanpa ada kemungkinan konsumen melakukan verifikasi.
3. Tidak terlindunginya hak-hak konsumen untuk mengeluh atau mengadu atau memperoleh kompensasi. Hal ini karena transaksi lewat internet, dilakukan tanpa tatap muka, maka ini membuka peluang
tidak
teridentifikasinya
si
produsen
atau
si
penjual
barang/jasa tersebut. Bisa saja produsen hanya mencantumkan alamat yang tidak jelas atau hanya seskedar alamat di surat elektronik atau electronic mail yang tidak terjangkau dunia nyata. Akibatnya, bila terjadi keluhan maka konsumen akan kesulitan menyampaikan keluhannya. Selain itu dapat juga keluhan konsumen tidak ditanggapi, sebab sulitnya menuntut produsen di dunia virtual. 4. Dalam transaksi pembayaran lewat e-commerce, biasanya konsumen harus terlebih dahulu membayar penuh (menggunakan kartu kredit), barulah pesanannya diproses oleh produsen atau penjual. Hal ini jelas beresiko tinggi bagi konsumen, sebab membuka peluang terlambatnya barang yang dipesan, atau isi dan mutunya tidak sesuai dengan pesanan atau sama sekali tidak sampai ke tangan konsumen (kemungkinan terjadinya wanprestasi). 5. Transaksi e-commerce dapat dilakukan antar negara. Bila terjadi sengketa maka akan sulit ditentukan hukum negara mana yang akan dipakai. Dalam
Undang-Undang
Perlindungan
terdapat kelemahan yang tidak
Konsumen
Indonesia,
dapat menjangkau e-commerce.
Kelemahan ini adalah mengenai terbatasnya pengertian pelaku usaha. Pasal
1
butir
3
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
menyatakan Pelaku Usaha adalah : Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha dapat berbentuk pelaku usaha di bidang penyediaan dana (investor), di bidang pembuatan barang/jasa (produser) maupun di
bidang
pengedaran/penjualan
barang/jasa
(distributor).
Sehingga
dengan demikian yang menjadi lingkup atau ruang berlakunya UndangUndang Perlindungan Konsumen ini hanyalah pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Untuk pelaku usaha yang berada di luar wilayah Indonesia maka tergantung dari perjanjian antara para pihak. Amazon.com misalnya menambahkan suatu klausula yang berbunyi “bahwa segala transaksi yang terjadi dengan Amazon.com berlaku “the laws of State of Washington”. Dengan demikian konsumen yang berasal dari negara manapun yang melakukan transaksi dengan Amazon. Com tunduk pada hukum negara bagian Washington. Oleh karena itu jika gugatan ditujukan pada penjual atau
merchant yang ada di luar negeri, maka gugatan diajukan ke negara yang bersangkutan, dengan menggunakan instrument hukum perdata internasional, seperti perjanjian atau yurisprudensi. Jika telah ditentukan di dalam klausula perjanjian e-commerce mengenai pilihan hukum, seperti yang dilakukan Amazon.com, maka hukum pilihan itulah yang akan menyelesaikan. Tetapi jika ternyata tidak dicantumkan mengenai hal ini maka hukum yang berlaku dapat ditentukan berdasarkan teori-teori yang ada, yaitu : 1. Teori Kotak Pos (Mail Box Theory) Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya.
Teori
ini
mempunyai
kelemahan,
sebab
ada
kemungkinan ada pihak lawan tidak menerima pesannya atau terlambat menerima pesanan tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi dari pihak penjual. 2. Acceptance Theory (Teori Penerimaan) Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum dimana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Dalam
transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku menurut teori ini adalah hukum si penjual. 3. Proper Law of The Contract Menurut teori ini hukum yang berlaku adalah hukum yang mempunyai titik-titik pertalian yang paling banyak. Atau hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya bahasa yang dipergunakan bahasa Jepang, mata uang yang dipakai dalam transaksi Yen, arbitrase yang dipergunakan arbitrase Jepang, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Jepang. 4. The Most Characteristic Connection Dilihat dari teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum pihak yang mana yang melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak. Dengan demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana yang berlaku jika terjadi sengketa dikemudian hari. Jika sengketa terjadi antara warga negara atau penduduk Indonesia dengan situs belanja online yang berada di Indonesia maka tidak
akan
ada
masalah,
karena
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen berlaku dan mengikat mereka. Bahkan dalam ketentuan umum Lipposhop ditegaskan bahwa “layanan yang dibuat oleh Lipposhop dengan berpegang teguh pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen …”, ini berarti ketentuan hukum perlindungan konsu-men berlaku penuh dalam transaksi yang dilakukan konsumen dengan Lipposhop. Meskipun
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
belum
menjangkau e-commerce secara keseluruhan tetapi untuk perusahaan yang jelas alamat dan keberadaannya, jika perusahaan tersebut melakukan wanprestasi maka ia dapat tetap dituntut menurut hukum. Tetapi akan lebih baik lagi jika ketentuan hukum khusus atau peraturan pelaksana mengenai perlindungan konsumen dalam bidang telematika segera dirumuskan untuk dapat lebih menjamin hak-hak konsumen.
BAB VII PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari seluruh rangkaian pembahasan Tim Pelaksana Perumusan Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Menyadari bahwa Indonesia belum memiliki hukum siber (cyber law), maka kehadiran Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sifatnya sangat mendesak, untuk lebih dapat menjamin adanya kepastian hukum dalam menghadapi kegiatan transaksi bisnis, seperti halnya e-commerce yang berdampak positif maupun negatif terhadap perkembangan perekonomian nasional kita.
2. Perumusan harmonisasi dan sinkronisasi hukum tentang ITE, perlu secara terus menerus dan berkelanjutan dilakukan mengingat perkembangan sosial kemasyarakatan dan kemajuan teknologi sangat pesat diberbagai bidang. Hal ini sejalan dengan prinsip “law as a tool of social engineering”.
3. Mengingat informasi dan transaksi elektronik bersifat global, maka para penegak hukum wajib memahami dan memiliki pengetahuan yang memadai berkaitan dengan teknologi informasi, baik dalam ruang lingkup nasional, regional maupun internasional.
4. Indonesia
belum
mampu
mendayagunakan
potensi
teknologi
informasi secara baik dan karenanya Indonesia terancam “digital divide”,
yakni
terjadinya
kesenjangan
sarana
dan
prasarana
telematika antara kota dan desa yang mempunyai konsekuensi akibat hukum tersendiri.
5. Harmonisasi dan sinkronisasi hukum RUU ITE berkaitan erat dengan produk ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-undang tentang Pidana Pencucian Uang, Undang-undang tentang
Perlindungan
Konsumen,
Perbankan,
Telekomunikasi,
Transfer Dana dan sebagainya.
6. Fokus pertama dari keberadaan RUU ITE adalah memberikan kepastian hukum terhadap keberadaan suatu data atau informasi yang dihasilkan oleh sistem elektronik, berikut akuntabilitas sistem elektronik itu sendiri dilengkapi dengan beberapa ketentuan hukum yang mengatur penyelenggaraannya dan akibat pemanfaatannya baik untuk kepentingan hukum individual, komunal, nasional maupun internasional.
B. S a r a n
Dengan telah disampaikannya RUU ITE oleh Presiden RI pada tanggal 5 September 2005 kepada DPR-RI diharapkan akan lebih dapat mendorong DPR-RI untuk memprioritaskan pembahasan RUU ITE tersebut dapat segera disahkan menjadi Undang-undang.
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..…..…TAHUN ….…… TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa pembangunan nasional adalah suatu
proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; b.
bahwa
globalisasi
informasi
telah
menempatkan
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sebagai jawaban atas perkembangan yang terjadi baik di tingkat regional maupun internasional; c.
bahwa perkembangan teknologi informasi yang demikian
pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentukbentuk perbuatan hukum baru; d. bahwa kegiatan pemanfaatan teknologi informasi perlu terus dikembangkan tanpa mengesampingkan persatuan dan kesatuan nasional dan penegakan hukum secara adil, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dapat dihindari melalui penerapan keseragaman asas dan peraturan perundangundangan; e. bahwa
pemanfaatan
teknologi
informasi
khususnya
pengelolaan informasi dan transaksi elektronik mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perdagangan dan perekonomian globalisasi konkret
nasional
sehingga
untuk
dalam
perlu
rangka
dilakukan
mengarahkan
menghadapi
langkah-langkah
pemanfaatan
teknologi
informasi agar benar-benar mendukung pertumbuhan perekonomian nasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat; f. bahwa pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi informasi khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik beserta infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga kegiatan pemanfaatan teknologi informasi dapat dilakukan secara aman dengan menekan akibat-akibat negatifnya serendah mungkin; g. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG
TENTANG
TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
INFORMASI
DAN
1.
Teknologi
informasi
adalah
suatu
teknik
untuk
mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi. 2.
Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
3.
Informasi elektronik adalah
satu atau sekumpulan data elektronik
termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan,suara atau gambar,peta,
rancangan, foto atau sejenisnya,huruf,tanda,angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya yang telah diolah sehingga mempunyai arti. 4.
Sistem elektronik adalah sistem untuk mengumpulkan, mempersiapkan, menyimpan,
memproses,
mengumumkan,
menganalisis,
dan
menyebarkan informasi elektronik. 5.
Tanda tangan elektronik adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan untuk menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital), biometrik, kriptografi simetrik.
6.
Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
7.
Penandatangan adalah subyek hukum yang terasosiasikan dengan tanda tangan elektronik.
8.
Lembaga sertifikasi keandalan (trustmark) adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan audit dan mengeluarkan sertifikat keandalan atas pelaku usaha dan produk berkaitan dengan kegiatan perdagangan elektronik.
9.
Penyelenggara sertifikasi elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
10. Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. 11. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik
tertentu
secara
otomatis
yang
diselenggarakan
oleh
seseorang. 12. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. 13. Badan usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. 14. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik,
optikal,
atau
dilihat,ditampilkan dan/atau didengar
sejenisnya.,
yang
dapat
melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,suara atau gambar,peta, rancangan, foto atau sejenisnya,huruf,tanda,angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya 15. Penerima adalah subyek hukum yang menerima suatu informasi elektronik dari pengirim. 16. Pengirim adalah subyek hukum yang mengirimkan informasi elektronik 17. Jaringan sistem elektronik adalah terhubungnya dua atau lebih sistem elektronik baik yang bersifat tertutup maupun yang bersifat terbuka. 18. Kontrak elektronik adalah perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. 19. Nama domain adalah alamat internet dari seseorang, perkumpulan, organisasi,
atau
badan
usaha,
yang
dapat
dilakukan
untuk
berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik, menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. 20. Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya
21. Penyelenggaraan
sistem
elektronik
adalah
pemanfaatan
sistem
elektronik oleh Pemerintah dan atau swasta. 22. Orang adalah orang perorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum. 23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden. Pasal 2 Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia. BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3 Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, hati-hati, itikad baik, dan netral teknologi.
Pasal 4 Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk : a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional; c. efektifitas dan efisiensi pelayanan publik dengan memanfaatkan secara optimal teknologi informasi untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum; d. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya di bidang teknologi informasi
secara
bertanggung
jawab
perkembangan teknologi informasi dunia;
dalam
rangka
menghadapi
BAB III INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK
Pasal 5 (1) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. (2) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi
dan atau
dokumen
elektronik
dinyatakan sah
apabila
menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku. (4) Ketentuan mengenai informasi dan atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk : a. pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawinan dan putusnya perkawinan; b. surat-surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; c. perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak; d. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan e. dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang.
Pasal 6 Dalam hal terdapat ketentuan hukum lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, maka informasi elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan, diakses, dan ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Pasal 7
Setiap orang yang menyatakan suatu hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan atas keberadaan suatu informasi elektronik harus memastikan bahwa informasi elektronik yang ada padanya berasal dari sistem elektronik terpercaya.
Pasal 8 (1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu informasi elektronik ditentukan pada saat informasi elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan penerima dan telah memasuki sistem elektronik yang berada di luar kendali pengirim. (2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu informasi elektronik ditentukan pada saat informasi elektronik memasuki sistem elektronik di bawah kendali penerima yang berhak. (3) Dalam hal penerima telah menunjuk suatu sistem elektronik tertentu untuk menerima informasi elektronik, penerimaan terjadi pada saat informasi elektronik memasuki sistem elektronik yang ditunjuk. (4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman ataupun penerimaan informasi elektronik, maka: a. waktu pengiriman adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada diluar kendali pengirim. b. waktu penerimaan adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada dibawah kendali penerima. Pasal 9 Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui media elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat-syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. Pasal 10 (1) Pemerintah atau masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan yang fungsinya memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk yang ditawarkannya secara elektronik. (2) Ketentuan mengenai pembentukan lembaga sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11 (1) Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Data pembuatan tanda tangan terkait hanya kepada penanda tangan saja; b. Data
pembuatan
penandatanganan
tanda
tangan
elektronik
elektronik
hanya
pada
berada
saat
proses
dalam
kuasa
penandatangan; c. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; d. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 12 (1) Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan
pengamanan
atas
tanda
tangan
elektronik
yang
digunakannya; (2) Pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi : a. sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak; b. penandatangan harus waspada terhadap penggunaan tidak sah dari data pembuatan tanda tangan oleh orang lain; c. penandatangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik ataupun caracara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh penandatangan dianggap mempercayai
tanda tangan elektronik atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik jika: 1. Penandatangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan telah dibobol; atau 2. Keadaan yang diketahui oleh penandatangan dapat menimbulkan resiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan tanda tangan; d. dalam hal sebuah sertifikat digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, memastikan kebenaran dan keutuhan dari semua informasi yang disediakan penandatangan yang terkait dengan sertifikat. (3) Setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Pasal 13 (1) Setiap orang berhak menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik untuk tanda tangan elektronik yang dibuat dalam bentuk tanda tangan digital. (2) Penyelenggara sertifikasi elektronik harus memastikan keterkaitan suatu tanda
tangan
digital
dengan
pemilik
tanda
tangan
digital
yang
bersangkutan. (3) Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dan beroperasi di Indonesia.
Pasal 14 (1) Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 wajib menyediakan informasi yang sepatutnya kepada para pengguna jasanya yang meliputi : a. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penandatangan; b. Hal-hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data pembuatan tanda tangan elektronik; c. Hal-hal yang dapat menunjukkan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV PENYELENGGARAAN SISTEM ELEKTRONIK
Pasal 15 (1) Informasi dan transaksi elektronik diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya. (2) Penyelenggara
sistem
elektronik
bertanggung
jawab
terhadap
penyelenggaraan sistem elektronik yang diselenggarakannya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan adanya pihak tertentu yang melakukan tindakan sehingga sistem elektronik sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Pasal 16 (1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggara sistem elektronik harus mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: a. dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung; b. dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem elektronik sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
BAB V TRANSAKSI ELEKTRONIK Pasal 17 (1) Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik maupun privat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik yang bersifat khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18 (1) Transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. (2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. (3) Apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasional. (4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik.
(5) Apabila para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasional.
Pasal 19 Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.
Pasal 20 (1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima
dan
disetujui penerima. (2) Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Pasal 21 (1) Pengirim maupun penerima dapat melakukan sendiri transaksi elektronik, atau melalui pihak yang dikuasakan olehnya atau melalui Agen Elektronik. (2) Kecuali diperjanjikan lain, pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut: a. apabila dilakukan sendiri, menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; b. apabila dilakukan melalui pemberian kuasa, menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; c. apabila dilakukan melalui Agen Elektronik, menjadi tanggung jawab Penyelenggara Agen Elektronik. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c tidak berlaku jika dapat dibuktikan terdapat pihak tertentu yang melakukan tindakan secara ilegal yang mengakibatkan Agen Elektronik dimaksud tidak beroperasi sebagaimana mestinya. Pasal 22 (1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu wajib menyediakan fitur pada Agen
Elektronik
yang
dioperasikannya
yang
memungkinkan
penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara agen elektronik tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI (PRIVASI) Pasal 23 (1) Setiap orang berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama. (2) Pemilikan dan penggunaan nama domain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain. (3) Setiap orang yang dirugikan karena penggunaan nama domain secara tanpa hak oleh orang lain berhak mengajukan gugatan pembatalan nama domain dimaksud. (4) Pengelola nama domain dapat dibentuk baik oleh masyarakat maupun Pemerintah. (5) Pengelola nama domain yang berada diluar wilayah Indonesia dan nama domain yang diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelola nama domain sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 Informasi elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, desain situs internet dan karya-karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual, berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 26 Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik. Pasal 27 Setiap orang dilarang: (1)
Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik.
(2)
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi milik pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau dilindungi.
(3)
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi pertahanan nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap Negara dan atau hubungan dengan subyek Hukum Internasional.
Pasal 28
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang secara tanpa hak yang menyebabkan transmisi dari program, informasi, kode atau perintah, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi Negara menjadi rusak. Pasal 29
Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, baik dari dalam maupun luar negeri untuk memperoleh informasi dari komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara. Pasal 30
Setiap orang dilarang: (1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik pemerintah yang dilindungi secara tanpa hak; (2) menggunakan
dan
atau
mengakses
tanpa
hak
atau
melampaui
wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak. (3) menggunakan
dan
atau
mengakses
tanpa
hak
atau
melampaui
wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh masyarakat, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak. (4) mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan oleh pemerintah.
Pasal 31 Setiap orang dilarang: (1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh informasi keuangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan atau lembaga keuangan, penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan nasabahnya. (2) Menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan
Pasal 32
Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan yang dilindungi secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, untuk
disalah
daripadanya.
gunakan,
dan
atau
untuk
mendapatkan
keuntungan
Pasal 33 Setiap orang dilarang: (1) menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan yang akibatnya dapat mempengaruhi sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan, serta perniagaan di dalam dan luar negeri. (2) Menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan atau dilindungi oleh pemerintah.
Pasal 34 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan dalam rangka hubungan internasional dengan maksud merusak komputer atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. BAB VIII PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 35 Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat. Pasal 36 (1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. (2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX PERAN PEMERINTAH
Pasal 37 (1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai peraturan perundangan yang berlaku. (3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi. (4) Instansi atau Institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membuat
dokumen
menghubungkannya
elektronik ke
Pusat
dan
backup
elektroniknya
Data
tertentu
untuk
serta
kepentingan
pengamanan data tersebut. (5) Instansi atau institusi lain selain diatur pasal (3) membuat dokumen elektronik
dan
backup
elektroniknya
sesuai
dengan
keperluan
perlindungan data yang dimilikinya (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran pemerintah dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan (4)
sebagaimana
diatur dengan Peraturan
Presiden
PERAN MASYARAKAT Pasal 38. (1) Masyarakat berperan meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi melalui penggunaan dan penyelenggaraan informasi elektronik serta transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. (3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. .
BAB X PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 39 Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam undang-undang ini. Pasal 40 (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang informasi dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik. (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang teknologi informasi; b. memanggil orang untuk didengar dan atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi; c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi; d. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi; e. melakukan pemeriksaan alat dan atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi; g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan yang berlaku; h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi; i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi; (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan penyidikan yang sedang dilaporkannya dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 41 Alat bukti pemeriksaan dalam undang-undang ini meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan yang berlaku; b. alat bukti lain berupa Dokumen Elektronik dan Informasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (3) dan ayat (14) dan pasal 5 ayat (1) sampai dengan (3) BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 42
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,-. (satu milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.,- (satu milyar rupiah). Pasal 43 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000.,- (seratus juta rupiah).
Pasal 44 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena tindak pidana.
Pasal 45 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), atau Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah). Pasal 46
Setiap orang yang melanggar Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Pasal 47
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, atau Pasal 33 ayat (1), pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah).
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 48 Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan dan kelembagaan-kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 (1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal :…………………………
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal ……………………………………….
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN….. NOMOR .…… PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…. TAHUN …. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah baik prilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknolgi informasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Teknologi informasi saat ini
menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah hukum siber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Persoalan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan transaksi
secara elektronik, pembuktian, dan hal-hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sarana elektronik. Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat, bahkan sangat dahsyat. Teknologi infomasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global. Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena saat ini transaksi e-commerce telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi. Kegiatan siber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen-dokumen yang dibuat di atas kertas. Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan hukum, pendekatan teknologi, dan pendekatan sosial budaya-etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan hukum sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu kepastian hukum persoalan pemanfatan teknologi informasi tidak dapat secara optimal dilakukan.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Undang-undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan atau dilakukan oleh warga negara Indonesia tetapi berlaku juga untuk perbuatan hokum yang dilakukan di luar wilayah Indonesia baik oleh WNI maupun oleh WNA yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat transaksi elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal sehingga pendekatan hukumnya tidak lagi menggunakan pendekatan konvensional tetapi menggunakan prinsip-prinsip lex informatica. Pasal 3 Asas kepastian hukum berarti memberikan suatu landasan hukum sehingga pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannnya mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan; Asas manfaat berarti bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Asas hati-hati berarti para pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi dirinya maupun pihak lain dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Asas itikad baik berarti para pihak yang bertransaksi tidak bertujuan untuk secara sengaja mengakibatkan kerugian kepada pihak lainnya tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut; Asas netral teknologi berarti pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan teknologi di masa mendatang. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 6 Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakekatnya informasi dan atau dokumen dapat dituangkan dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab sistem elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat lagi dibedakan dengan salinannya. Pengertian telah terpenuhi dalam pasal ini pada dasarnya tidak secara serta merta terjadi, melainkan tetap memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang terkait dengan informasi tertulis tersebut, antara lain: (a) pesan yang dimaksud dalam informasi elektronik tersebut tidak berubah isinya dalam proses penyimpanan, pengiriman, penerimaan, dan tampilannya; (b) informasi elekronik tersebut dapat ditelusuri keberadaannya; (c) informasi elektronik tersebut memiliki makna tertentu atau menjelaskan isi atau substansi yang dimaksud oleh penggunannya. Pasal 7 Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu informasi dan atau dokumen elektronik dapat dipergunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak.
Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 9 Yang dimaksud produk meliputi barang dan jasa. Pasal 10 Ayat (1) Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak melakukan usahanya setelah melalui penilaian dan audit dari suatu badan yang berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi Keandalan ditunjukan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada home page pelaku usaha tersebut. Lembaga Sertifikasi Keandalan dapat dibentuk baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang memiliki komitmen terhadap perlindungan konsumen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa tanda tangan elektronik meskipun hanya merupakan suatu kode akan tetapi memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum. Persyaratan sebagaimana dalam pasal ini adalah persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap tanda tangan elektronik. Dengan demikian, pasal ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan tanda tangan elektronik. Ayat (2) Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain mengatur tentang teknik, metode, sarana atau proses pembuatan tanda tangan elektronik.
Pasal 12
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah informasi
yang
minimal
harus
dipenuhi
oleh
setiap
penyelenggara tanda tangan elektronik. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Andal artinya sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Aman artinya sistem elektronik tersebut terlindungi baik secara fisik mapun non fisik. Beroperasi sebagaimana mestinya artinya sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan sesuai spesifikasinya. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bertanggung-jawab artinya ada subyek
hukum
yang
bertanggung-jawab
terhadap
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Undang-undang ini memberikan peluang yang sebesar-besarnya terhadap pemanfaatan teknologi informasi di kalangan pemerintah (e-government), baik di kalangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemanfaatan teknologi informasi harus dilakukan secara bertanggung jawab dan bijaksana. Agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat maka pemanfaatan teknologi informasi harus memperhatikan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan efektif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut. Pilihan hukum dalam transaksi elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip-prinsip Hukum Perdata Internasional (HPI).
Ayat (3) Dalam hal tidak ada pilihan hukum, maka penetapan hukum yang berlaku dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip atau asas-asas Hukum Perdata Internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut. Ayat (4) Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum itu dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau forum penyelesaian sengketa alternatif. Ayat (5) Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum maka akan berlaku kewenangan forum berdasarkan prinsip-prinsip atau asasasas Hukum Perdata Internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas the basis of presence (tempat tinggal tergugat) dan principle of effectiveness (efektivitas yang menekankan pada tempat dimana harta-harta tergugat berada) Pasal 19 Yang dimaksud dengan disepakati dalam pasal ini juga mencakup kesepakatan mengenai prosedur-prosedur yang terdapat dalam sistem elektronik yang bersangkutan. Pasal 20 Ayat (1) Transaksi elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa antara lain pengecekan data, identitas, Nomor Identifikasi Pribadi (Personal Identification Number/PIN) atau Kode Akses (password). Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dikuasakan dalam ketentuan ini sebaiknya dinyatakan dalam satu surat kuasa. Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Yang
dimaksud
dengan
fitur
adalah
fasilitas
yang
memberikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk
melakukan
perubahan
atas
informasi
yang
disampaikannya, misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, konfirmasi ulang, dan lain-lain. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Nama domain merupakan alamat atau jati diri seseorang, perkumpulan, organisasi, atau badan usaha, yang perolehannya didasarkan kepada pendaftar pertama (first come first serve). Prinsip pendaftar pertama (first come first serve) berbeda antara ketentuan dalam nama domain dengan bidang Hak Kekayaan Intelektual, karena tidak diperlukan adanya pemeriksaan substantif seperti dalam pendaftaran merek dan paten. Ayat (2) Yang dimaksud dengan melanggar hak orang lain misalnya melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, nama orang terkenal, dan sejenisnya yang pada intinya merugikan orang lain. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
Pasal 24 Program komputer sebagai bagian penting dari sistem teknologi informasi mendapat pengaturan dalam undang-undang ini. Program komputer yang dilindungi tersebut tidak hanya mencakup program-program komputer yang telah dipublikasikan tetapi juga mencakup program-program yang masih berbentuk rumusan awal ataupun berupa kode-kode tertentu yang bersifat rahasia seperti halnya personal identification number (PIN). Undangundang ini juga melindungi kompilasi data atau materi lain yang dapat dibaca yang karena seleksi dan penyusunan isinya merupakan karya intelektual. Pasal 25 Dalam pemanfaatan teknologi informasi, Hak Pribadi (privacy right) merupakan perlindungan terhadap data seseorang yang mengandung pengertian sebagai berikut : a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan. b. Hak Pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa ada tindakan memata-matai. c. Hak Pribadi merupakan Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Secara teknis hal-hal tersebut dapat dilakukan antara lain dengan : a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan atau sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut kepada siapapun yang tidak berhak untuk menerimanya; atau
b. dengan sengaja menghalangi agar informasi-informasi dimaksud tidak dapat diterima atau gagal diterima oleh yang berwenang menerimanya dilingkungan pemerintah Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Kategori komputer yang dilindungi, yaitu : a. Eksklusif khusus : untuk lembaga finansial Pemerintah, atau walaupun tidak secara eksklusif digunakan seperti hal tersebut namun berhubungan dengan kegiatan tersebut, atau apabila terjadi penyalahgunaan dari suatu komputer
yang dapat
berakibat terhadap kegiatan lembaga finansial pemerintah. b. Secara luas : digunakan oleh Negara atau untuk berkomunikasi dan berniaga dengan pihak lainnya di luar negeri.
Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 31 Ayat (1) Catatan keuangan (financial records) adalah segala informasi atau catatan dan hal-hal yang berasal dari suatu lembaga
keuangan atau yang berhubungan dengan pelanggan dari lembaga tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32
Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Sekelompok orang dapat melakukan gugatan secara perwakilan atas nama masyarakat lainnya yang dirugikan tanpa harus terlebih dahulu memperoleh surat kuasa sebagaimana lazimnya kuasa hukum. Gugatan secara perwakilan dimungkinkan apabila telah dipenuhinya hal-hal sebagai berikut : 1. Masyarakat yang dirugikan sangat besar jumlahnya, sehingga apabila gugatan tersebut diajukan secara perorangan menjadi tidak efektif. 2. Sekelompok masyarakat yang mewakili harus mempunyai kepentingan yang sama dan
tuntutan yang sama dengan masyarakat yang
diwakilinya, serta sama-sama merupakan korban atas suatu perbuatan dari orang atau lembaga yang sama. Ganti kerugian yang dimohonkan dalam gugatan perwakilan dapat diajukan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita, biaya pemulihan atas ketertiban umum, dan norma-norma kesusilaan yang telah terganggu, serta biaya perbaikan atas kerusakan-kerusakan yang diderita sebagai akibat langsung dari perbuatan tergugat.
Gugatan yang diajukan bukan merupakan tuntutan membayar ganti rugi, tetapi hanya sebatas : a. Permohonan kepada pengadilan untuk memerintahkan seseorang melakukan tindakan hukum tertentu berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi, dengan tetap tidak mengabaikan aspek kepentingan layanan publik yang harus tetap dilakukan dari pihak tergugat. b. Menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum akibat tindakannya yang merugikan masyarakat. c. Memerintahkan seseorang untuk memperbaiki hal-hal yang terkait dengan prikehidupan pokok masyarakat yang dilanggarnya. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Lembaga peran serta masyarakat dimaksud antara lain termasuk asosiasi yang bergerak di bidang teknologi informasi, asosiasi profesi teknologi informasi, asosiasi produsen peralatan teknologi informasi, asosiasi pengguna jaringan dan jasa teknologi informasi, Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok akademisi di bidang teknologi informasi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Prosedur penunjukan dan pengusulan Pejabat Pegawai Negeri
Sipil
kepada
Menteri
Kehakiman
dan
HAM
dilaksanakan sebagai berikut : a. Pada tingkat Pusat dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi b. Pada tingkat Provinsi dilakukan oleh Gubernur melalui Menteri Komunikasi dan Informasi c. Pada tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Kepala Daerah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi. Pengangkatan PPNS
sebagaimana
dimaksud
di atas
dilakukan oleh Menteri setelah mendengarkan pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kapolri. Ayat (2) Pelaksanaan wewenang PPNS tersebut harus dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum
Acara Pidana dengan
koordinasi Penyidik Pejabat Kepolisian Negara RI.
Dalam keadaan tertentu dimana PPNS memandang perlu untuk
dilakukan
upaya
paksa
yang
bukan
menjadi
kewenangannya, segera meminta bantuan kepada Penyidik Polri untuk melakukan upaya paksa yang diperlukan tersebut. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud “ahli” adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang teknologi informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan
secara
akademis
mengenai pengetahuannya tersebut Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan penyidikan dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi tetap berada dalam koordinasi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Koordinasi yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi pemberian petunjuk dan bantuan yang berkaitan dengan teknik dan taktik penyidikan, tindakan
hukum dalam rangka penyidikan, termasuk penyerahan Berkas Perkara, tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum dilakukan melalui Penyidik Kepoisian Negara Republik Indonesia. Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas
Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR..............….……………