89
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
a. Rerata berat testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin tidak lebih besar dibadingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. b. Rerata kadar MDA jaringan testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih rendah dibandingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. c. Gambaran histologis jaringan testis tikus Wistar yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi kuersetin. . V.2. Saran Diperlukan pengkajiian lebih lanjut mengenai mekanisme terjadinya stres oksidatif dan mekanisme kuersetin menghambat proses stres oksidatif pada jaringan testis. V.3. Ringkasan V.3.1. Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang dapat menimbulkan kematian (Hamden et al., 2009). Pada tahun 2000,
90
terdapat sekitar150 juta orang menderita diabetes di seluruh dunia dengan prediksi jumlah ini akan meningkat pada tahun 2025 (Zimmet et al, 2004). Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik ditandai dengan adanya perubahan homeostasis karbohidrat yaitu hiperglikemia akibat kekurangan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Kelalaian ini berakibat pada terganggunya metabolisme karbohidrat, protein dan lipid. Hiperglikemia kronis dari DM disertai dengan kerusakan, disfungsidan kegagalan pada organ terutama mata, ginjal, dan pembuluh darah(ADA, 2012).DM juga mempengaruhi fungsi dari sistem reproduk spria. Kondisi hiperglikemia berkaitan erat dengan meningkatnya kerusakan jaringan dan gangguan fungsi organ reproduksi (Amaral et al., 2008). Testis merupakan salah satu jaringan yang peka terhadap peningkatan ROS. Akumulasi ROS dalam testis dapat menyebab kerusakan struktur dan fungsi sel-sel fungsional didalamnya (Diemer et al., 2009). Perubahan patologis pada siatem reproduksi pria akibat DM antara lain perubahan pada sel Leydig, tubulus seminiferus, tunika albugeniadan testis (Karaca et al.,2015). Peningkatan insidensi DM mellitus berhubungan dengan peningkatan insiden dari disfungsi ereksi, hipogonadisme dan infertilitas (Irisawa et al., 1966). Komplikasi DM pada organ reproduksi pria telah banyak ditemukan baik pada penderita maupun hewan coba. Komplikasi yang terjadi ini akibat munculnya gangguan aksis hyphotalamo-hypophyseo-gonadal system yang ditandai dengan penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH). Komplikasi ini juga menyebabkan berbagai macam disfungsi seksual berupa disfungsi testikular, penurunan potensi fertilitas dan ejakulasi retrogade (Amaral et al., 2008).
91
Komplikasi ini juga mengakibatkan gangguan spermatogenesis berupa penurunan jumlah dan kualitas sperma. Selain itu terjadi degenerasi dan apoptosis sel-sel germinal (Cai et al., 2000). Pada beberapa penelitian disebutkan kerusakan suatu organ berasosiasi dengan peningkatan rective oxygen species (ROS) dari suatu organ. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan ROS yang akan mengaktifkan jalur polyol, advanced glycation end products (AGEs), Protein Kinase C(PKC) dan jalur heksosamin. Keempat jalur ini akan menyebabkan kerusakan sel (Brownlee, 2005). ROS diproduksi secara terus menerus di dalam mitokondria sel. Peningkatan ROS terjadi akibat ketidakseimbangan antara produksi dan pembersihannya (scavenging) oleh antioksidan endogen yang menyebabkan gangguan fungsi fisologis (Sikka, 1996). Stres oksidatif memainkan peran pada terjadinya komplikasi DM. Pada DM peroksidasi lipid yang diinduksi oleh glikasi protein dan autooksidasi glukosa dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas utama antara lain Superoksida( O2-), hydroksil (OH-) danperoksil (LOO-). Free radikal bebas ini dapat menyebabkan kerusakan DNA, glikasi dan modifikasi reaksi protein, dan modifikasi oksidasi lipid pada penderita diabetes. Kerusakan akibat radikal bebas ini dapat diukur dengan pengukuran level MDA sebagai produk dari peroksidasi lipid. Peningkatan ROS pada penderita DM menyebabkan gangguan testikular (Amaral et al, 2008).
92
Diabetes melitus memerlukan manajemen yang baik, salah satunya dengan melakukan manajemen pada asupan makanan. Prinsip yang dapat dilakukan dalam manajemen asupan makanan yaitu mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam keadaan optimal; mengurangi faktor resiko penyakit kardiovaskular termasuk dislipidemia dan hipertensi; serta asupan nutrisi yang seimbang (IDF, 2005). Selain itu, penelitian klinis telah membuka pengetahuan baru mengenai peran stres oksidatif dalam komplikasi DM. Hal ini mendorong pendekatan inovatif dan berbeda yang memungkinkan penggunaan terapi antioksidan. Antioksidan ini dapat mengurangi stres oksidatif pada penderita DM serta menangkap radikal bebas (Widowati, 2008).
Kuersetin merupakan kelompok senyawa flavonol dari 6 subkelas senyawa flavonoid. Flavonoid adalah kelompok senyawa pada tanaman yang memiliki struktur molekul flavon yang sama. Senyawa flavinoid dapat berupa aglikan, glikosida dan derivat dari metilasi ( Lakhanpalet.al., 2007).
Flavonoid termasuk senyawa fito-
estrogen yang banyak digunakan dalam memperbaiki disfungsi vaskular (Nilsson et al., 2001;Chen et al., 1990).Molekul flavon terdiri atas 3 cincin dengan gugus hidroksil (OH) yang terikat pada salah satu cincin.Substitusi pada molekul ini menghasilkan berbagai subkelas flavonoid dan senyawa yang berbeda.Flavonol banyak ditemukan pada sayur dan buah-buahan (Kelly, 2011).
93
V.3.2. Tinjauan Pustaka Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik kronik ditandaidenganhiperglikemia menetap akibat gangguan sekresi insulin, sensitivitas insulin atau kelainan pada keduanya(Codario, 2005).
Berdasarkan etiologi DM dibagi
dalam empat kelompok yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM pada kehamilan dan DM tipe lain (genetik, infeksi atau obat). Klasifikasi DM menurut WHO Study Group tahun 1985 (Alberti et al., 1997) adalah : a. Berdasarkan gejala klinis dibagi menjadi: DM tipe I atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), DM tipe II atau non insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM) dengan obesitas dan tanpa obesitas. b. DM dengan malnurisi (Malnutrition Related Diabetic Mellitus (MRDM)) yang disebabkan oleh kurang gizi, kelainan pankreas dan kekurangan protein dalam pankreas. c. DM secara medis dibagi menjadi : DM terkait sindrom tertentu seperti penyakit pankreas atau gangguan hormonal yang disebabkan oleh zat kimia atau kelainan genetik. d. Gangguan toleransi glukosa (GTG) yang ditandai oleh tidak obesitas atau obesitas terkait sindrom genetik atau penyakit keturunan. e. DM gestasional yaitu kelainan hiperglikemi yang terjadi pada saat kehamilan dan sebelum hamil kadar gula darah normal. DM tipe 2 merupakan DM yang paling sering terjadi, populasinya terus bertambah dan dinyatakan sebagai epidemi global (ADA, 2011). DM tipe 2 atau dikenal
94
sebagai non insulin-dependent diabetes mellitus merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan resistensi insulin dan defisisensi insulin relatif akibat disfungsi sel beta pankreas. Insulin memegang peranan penting metabolisme, terutama melalui perannya dalam meregulaasi lebih dari 150 gen yang berperan dalam regulasi metabolisme. Insulin disekresi sebagai respon terhadap peeningkatan glukosa darah.Akan tetapi peran insulin gtidak hanya terkait pada metabolisme karbohidrat.Insulin juga berperan dalam ketekaitan (interrelationship) metabolisme karbohidrat, lipid dan protein.(Nelson dan Cox, 2008). Resistensi insulin pada DM tipe 2 dapat terjadi di tingkat reseptor atau dislah satu jalur sinyal interaksi insulin dengan reseptor. Pada DM tipe 2 jarang terjadi defek kualitatoif ataupun kuantitatif pada reseptor insulin. Polimorfisme pada insulin receptor substrat1 (IRS-1) diperkirakan berhubungan dengan intoleransi glukosa dan meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul reseptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin terutama diduga karena defek sinyal PI-3-Kinase yang menurunkan translokasi GLUT4 pada membran plasma. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan pengeluaran glukosa dari hepar yang dapat meningkatkan resistensi insulin (Thevenod, 2008). Stres oksidatif karena peningkatan ROS di mitokondria merupakan salah salah satu penyebab terjadinya resistensi insulin. Stres oksidatif akan mengganggu jalur sinyal insulin melalui status reduksi oksidasi yang tidak seimbang (Shrada and Sisodia, 2010). Komplikasi diabetes merupakan penyebab kesakitan dan kematian.
Keadaan hiperglikemia kronik menyeababkan komplikasi baik mikro
maupun makrovaskuler. Komplikasi DM pada organ reproduksi pria telah banyak ditemukan baik pada penderita (Sugiri, 2007; Evans et a., 2002) maupun pada hewan
95
coba wright et al., 1982; Navarro et al., 2010). Perubahan patologik jaringan testis dalam keadaan DM ditemukan pada tunika albugenia, tubulus seminiferus dan jaringan ikat intersisial dan sel-sel-leydig. Perubahan patologis ini berupa edema, kongesti, hemoragi, dan nekrosis jaringan testis (Ozdemiret al., 2009).Fungsi reproduksi pada pria dapat dibagi menjadi tiga subdivisi utama : pertama, spermatogenesis, yang berarti hanya pembentukan sperma ; kedua, kinerja kegiatan seksual pria ; dan ketiga, pengaturan fungsi reproduksi pria oleh berbagai hormon. Fungsi reproduksi ini disertai oleh pengaruh hormon kelamin pria terhadap organ kelamin tambahan pria, pada metabolisme sel, pada pertumbuhan, dan pada fungsi tubuh yang lain (Guyton and Hall, 2008). Fungsi testis selain tempat sintesis hormon adalah tempat terjadinya spermatogenesis. Spermatogenesis adalah proses komplek yang diregulasi oleh faktor endokrin dan faktor parakrin testiskular. seminiferus dalam lobulus testis.
Spermatogenesis terjadi pada tubulus
Spermatogenesis dimulai saat pubertas. Proses
spermatogenesis dimulai dari proses proliferasi dan diferensiasi spermatogonia menjadi spermatozoa. Tahapan ini dimulai dari diferensiasi stem cell spermatogonia dan dilanjutkan pada tahap spermatogonia serta meosis spermatosit untuk membentuk round spermatid. Spermatogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu (a) proliferasi mitosis untuk menghasilkan sel dalam jumlah banyak (spermatositogenesis), (b) pembelahan meiosis untuk menghasilkan sel yang bebeda secara genetik (spermatidogenesis), (c) transformasi round spermatid menjadi struktur komplek spermatozoa (spermiogenesis) (Sadler, 2010; 2004; Huleilel and lunenfeld, 2004; Tienhoven, 1983). Pada manusia spermatogenesis membutuhkan waktu sekitar 64-78 hari hanya untuk pematangan testikular dari spermatozoa. Spermatozoa memerlukan waktu sekitar
96
20-30 hari untuk transit di epididimis. Secara keseluruhan spermatozoa memerlukan 80100 hari untuk matang dan saat diejakulasikan mampu dalam proses fertilisasi (Guyton and Hall, 2008). Stres oksidatif pada jaringan testikular akan menyebabkan beragai gangguan seperti hipospermatogenesis akibat meningkatnya apoptosis sel-sel germinal (Turner et al., 2008). Stres oksidatif pada sistem reproduksi berakibat pada jumlah dan kualitas sperma. Tingkat ROS pada cairan semen yang tinggi mempunyai efek toksik terhadap kualitas dan fungsi sperma. Tingginya produksi ROS pada cairan semen berkaitan dengan penurunan motolitas sperma, gangguan reaksi akrosom, dan hilangnya fertilitas dari sperma.
Gangguan-gangguan akibat peningkatan ROS dipengaruhi pada sifat,
jumlah dan lama paparan ROS. Kerusakan akibat tingginya ROS juga disebabkan oleh faktor lingkungan seperti tekanan oksigen, suhu, serta konsentrasi komponen molekul sperti ion, protein dan ROS scavenger (Agarwal and Saleh, 2002).
Konsentrasi
hidrogen peroksida yang rendah tidak mempengaruhi motilitas dari sperma akan tetapi menekan kompetensi sperma selama fusi oosit dan sperma (Aitken et al., 1993). Penurunan motilitas merupakan akibat dari peroksidasi lipid (LPO) membran plasma yang kemudian mempengaruhi axonemal protein phosphorilation dan immobilisasi sperma (De Lamirande and Gagnon, 1999). Dari berbagai penelitian menunjukkan kuersetin mempunya berbagai fungsi antara lain sebagai anti bakteri, antiviral, anti karsinogen, anti inflamasi (Naidu, 2012).Selain itu kuersetin mempunyai efek antioksidan dan antinoceptif (pain-relieving) (Kelly, 2011).Kuersetin merupakan flavonol yang bersifat antioksidan dan antiinflamasi yang mampu menghambat pembentukan ROS pada sistem reproduksi sebagai penyebab kerusakan testikular yang
97
berakibat penurunan kualitas sperma dan kadar tertosteron intratestikular (Taepongsorat et al., 2008). Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan sulfonilurea yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan DM tipe II. Obat golongan ini menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (storedinsulin) dan meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Soegondo, 2005). Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Soegondo, 2005). Glibenklamid mempunyai efek antioksidan. Akan tetapi sebuah penelitian yg membendingkan efek kuersetin dan metformin pada penderita DM tipe 2 menyebutkan bahwa glibenklamid tidak signifikan dalam menurunkan kadar MDA (Abdulkadir and Thanoon, 2012). Selain itu penelitian lain menyebutkan bahwa glibenklamid mempunyai efek toksik pada berbagai organ termasuk organ reproduksi (Adaramoye et al., 2012).
V.3.3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain post test only control group design, membandingkan kelompok tikus DM tipe 2 yang diberi kuersetin, kuersetin-glibenklamid, glibenklamid, tikus DM (kontrol positif), dan tikus sehat (kontrol negatif).
98
Hewan coba sebanyak 45 ekor tikus Wistar jantan
dengan usia 8-10
minggu dan berat 200-250g dimasukkan ke dalam kandang plastik serta dilakukan adaptasi selama 1 minggu di Laboratorium PAU UGM kemudian dibagi dalam 9 kelompok.Pakan yang digunakan selama masa adaptasi adalah AIN93 M modifikasi.Pemberian pakan diberikan secara bertahap dengan pakan standar. Setelah adaptasi hewan dicoba dipuasakan selama 12 jam (overnight). Setelah 12 jam, diukur kadarglukosa darah puasa. Tikus diambil 2 ekor secara acak pada setiap kelompok.Jika tikusnya sehat, untuk kelompok 2-7 diinduksi DM tipe 2. Tikus diinjeksi STZ secara i.p dengan dosis 60 mg/kg BB yang dilarutkan dalam 3 mLbuffer sitrat pH 4,5 dingin. Setelah 15 menit pemberian STZ, tikus diinjeksiNA secara i.p dengan dosis 120 mg/kg BB yang dilarutkan dalam 3 mL larutan NaCl 0,9%. Untuk mengonfirmasi DM, kadar glukosa darah puasa diperiksa pada hari ke-7 setelah penyuntikan STZ-NA.Kadar glukosa darah puasa diukur dengan metode glucose oxidase-peroxidase (GOD-PAP) menggunakan spektrofotometer. Tikus dinyatakan diabetes apabilakadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (Barik et al., 2008). Untuk mengantisipasi terjadi hiperlikemi pada tikus pasca induksi STZNA, disiapkan larutan dekstrosa 5%.Jika glukosa darah sewaktu (GDS) <60 mg/dL),diberikan larutan dekstrosa 5% agar tidak terjadi kematian tikus akibat hiperglikemi.Kuersetin dan glibenklamid diberikan kepada K3, K4, K5, K6, dan K7, K8 dan K9 setiap hari selama 28 hari per-sondase (Czerny et al., 2000). Dosis yang diberikan pada K3 kuersetin 5 mg/kg BB, K4 kuersetin 20 mg/kg BB, K5 kuersetin 80
99
mg/kg BB, K6 pemberian kuersetin 5 mg/kg BB dan glibenklamid 5 mg/kg BB, dan K7 kelompok diberi kuersetin 20mg/kg BB dan glibenklamid 5 mg/kgBB,K9 pemberian glibenklamid 5 mg/kg BB. Kuersetin diberikan dalam 2 ml Na-CMC 0,5% untuk semua perlakuan. Untuk K1 dan K2 diberikan larutan vehicle Na-CMC 0,5% tanpa kuersetin. Glukosa darah puasa diukur pada hari ke-21 pemberian kuersetin untuk mengontrol efek kuersetin. Setelah 35 hari pemberian kuersetin, dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa, dekapitasi dan pengukuran pengambilan organ testis. Preparat histologist dibuat dengan metode parafin serta pewarnaan menggunakan larutan Mayer’s Hemotoxylin Eosin dengan tahapan sebagai berikut. 1.
Fiksasi Fiksasi dilakukan dengan merendam preparat ke dalam larutan Neutral buffered formalin (NBF) minimal selama 48 jam.
2. Washing (pencucian) Dari larutan formalin dicuci dengan larutan alkohol 70% I (30 menit) dan larutan alkohol 70% II (30 menit) untuk menghilangkan larutan fiksatif.
3.
Dehidrasi Dehidrasi dilakukan menggunakan alkohol secara bertingkat, berfungsi untuk menarik air yang masih terdapat di dalam jaringan.Proses ini dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke dalam alkohol 80%, 90% dan 100% I dan II masingmasing selama 30 menit.
100
4.
Clearing (penjernihan) Penjernihan berfungsi untuk menarik alkohol (dealkoholisasi) sehingga preparat tampak transparan. Penjernihan dilakukan secara bertahap dengan urutan alkohol : xylol = 3 : 1 selama 30 menit, alkohol : xylol = 1 : 1 selama 30 menit. Alkohol : xylol = 1 : 3 selama 30 menit, xylol murni 1 selama 30 menit dan xylol murni II selama 30 menit.
5.
Infliltrasi parafin Infiltrasi parafin dilakukan dengan urutan xylol : parafin = 3 : 1 selama 30 menit, xylol : parafin = 1 : 1 selama 30 menit, xylol : parafin = 1 : 3 selama 30 menit, parafin murni I selama 30 menit dan parafin II selama 30 menit. Titik cair parafin yang digunakan adalah 56-58 0C dan proses ini dilakukan di dalam inkubator pada suhu 58-60 0C.
6.
Embedding Pewarnaan jaringan pada parafin yaitu dengan menyiapkan cetakan dari kotak kotak karton, kemudian cetakan karton diisi dengan parafin cair.Parafin cair yang ada dalam cetakan diletakkan sesaat di atas balok es sehingga bagian bawah dari parafin tersebut agak memadat.Preparat dimasukkan ke dalam parafin cair pada cetakan karton dan diatur letaknya sesuai dengan tujuan pengirisan, kemudian pada permukaan parafin diletakkan kayu pemegang (holder) yang sudah diberi kode sesuai dengan nomor kode sampel/spesimen.Parafin lalu diletakkan kembali di atas balok es sehingga parafin membeku secara sempurna.
7.
Sectioning (pengirisan)
101
Bidang permukaan balok parafin yang mengandung preparat dapat dikurangi panjang dan lebarnya sebelum dilakukan pengirisan, sehingga organ berada 3-5 mm dari tepi. Holder (pemegang) dipasang pada rotary microtome dan diiris dengan ketebalan 6 um. 8.
Afixing (penempelan irisan jaringan pada gelas benda) Pita irisan ditempelkan, pita irisan dicelupkan dalam air hangat supaya dalam penempelan irisan rapi dan tidak berkerut.Penempelan diatur sedemikian rupa sehingga pada setiap object glass tertempel beberapa irisan. Sampel kemudian dikeringkan di dalam temperatur ruang (± 25 oC) selama 24 jam agar preparat dapat melekat lebih baik. Irisan yang telah menempel pada object glass disimpan dalam kotak penyimpanan bila pewarnaan tidak dilakukan secara langsung.
9.
Staining (pewarnaan irisan jaringan) Lakukan deparafinasi (penghilangan parafin yang terdapat dalam jaringan) sebelum pewarnaan, dengan cara preparat yang telah dilekatkan pada gelas benda dicelupkan dalam xylol murni 2 x 5 menit. Lalu lakukan rehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat yang terdiri atas alkohol absolut (100%) 2x, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70% masing-masing 30 celupan dan akuades 30 celupan hingga tampak jernih. Sampel yang sudah dideparafinasi dan direhidrasi, direndam dalam larutan Mayer’s Hematoxylin selama 10 menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 1 menit. Selanjutnya jaringan dicelupkan dalam air Scott selama 8-10 celupan, diikuti pencucian dalam air mengaalir selama 1 menit. Sampel kemudian dicelupkan ke dalam larutan Eosin selama 2 menit dan
102
dicuci beberapa saat dalam air mengalir dan selanjutnya didehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%, 90%, 100% 2x masing-masing 30 celupan. Sampel dijernihkan dalam larutan xylol murni 2 x 2 menit dan ditutup dengan gelas penutup menggunakan perekat entelan new.
10.
Labelling Sedian histologis yang telah diwarnai dan ditututp dengan entelan new kemudian diberi label sesuai dengan nomor kode sampel.
11.
Pengamatan Sediaan histologis tersebut kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya
dengan perbesaran 100x dan 400x. Hasil pengamatan difoto menggunakan kamera yang dihubungkan dengan mikroskop.Berat jaringan testis yang telah dipisahkan dari jaringan sekitarnya. Berat testis kanan dan kiri ditimbang dengan menggunakan timbangan digital dan dinyatakan dalam gram. Diameter tubulus seminiferus dan tebal lapisan tubulus seminiferus diukur dengan mengambil gambar tubulus seminiferus dari preparat sediaan jaringan testis menggunakan optilab. Hasil foto tubulus seminiferus diukur dengan Obtilab Image Raster dan akan muncul tampilan skala.
Pangkal ruler signer diposisikan pada
103
membran basalis salah satu tepi tubulus seminiferus dan diarahkan ke sisi tubulus seminiferus sisi seberang. Apabila tubulus seminiferus tidak berbentuk bulat utuh maka untuk mendapatkan nilai diameter tubulus seminiferus panjang kedua sisi diamater terpanjang dan diameter terpendek dibagi dua. Tebal lapisan tubulus seminiferus diukur dengan mengarahkan ruler dari membran basal ke arah lumen. Untuk menghitung sel-sel spermatogenik, preparat jatingan testis tikus Wistar diletakkan pada meja objek mikroskop dan diamati dengan lensa ojektif perbesaran 400X. Kemudian sel-sel spermatogenik dihitung menggunakan counter. penghitungan jumlah spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid yang terdapat pada tubulus seminiferus pada 5 lapang pandang. Spermatogonium terdapat ditepi membrana basalis dengan inti oval dan kromatin berbentuk granula kecil. Spermatosit primer lebih mudah dan jelas diamati karena sel lebih besar, sitoplasma dan inti besar. Spermatid berupa sel yang berbentuk panjang menuju kearah lumen dari tubulus seminiferus Pemeriksaan kadar MDA testis dilakukan dengan metode TBARS. Sebanyak 1 gram jaringanh testis dihancurkan kemudian di campur dengan 9,0 mL KCl 1,15% dalam teflon Potter-Elvehjem homogenizer.
Homogenat testis sebanyak 0,2 mL
ditambahkan 0,2 mL sodium dodecyl sulfat 8,1 % dan larutan asam asetat 20 % sebanyak 1,5 ml kemudian ditambahkan NaOH sanpai pH 3,5 dan 0,8 % larutan thiobarbituric acid sebanyak 1,5 mL. Campuran tersebut diecerkan dengan air hingga volumenya 4,0 ml dan dipanaskan pada suhu 95 oC selama 60 menit. Kemudian didinginkan dan ditambahkan 1 mL air dan 5,0 campuran butanol dan piridin. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Lapisan organik diambil dan absorbannya dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang
104
532nm. Sebagai standar dipakai 1,1,3,3-tetramethoypropan. Nilai TBARS dinyatakan dalam nmol/mL. Pemeriksaan kadar MDA testis dilakukan dengan metode TBARS. Sebanyak 1 gram jaringanh testis dihancurkan kemudian di campur dengan 9,0 mL KCl 1,15% dalam teflon Potter-Elvehjem homogenizer.
Homogenat testis sebanyak 0,2 mL
ditambahkan 0,2 mL sodium dodecyl sulfat 8,1 % dan larutan asam asetat 20 % sebanyak 1,5 ml kemudian ditambahkan NaOH sanpai pH 3,5 dan 0,8 % larutan thiobarbituric acid sebanyak 1,5 mL. Campuran tersebut diecerkan dengan air hingga volumenya 4,0 ml dan dipanaskan pada suhu 95 oC selama 60 menit. Kemudian didinginkan dan ditambahkan 1 mL air dan 5,0 campuran butanol dan piridin. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 10 menit.Lapisan organik diambil dan absorbannya dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 532nm. Sebagai standar dipakai 1,1,3,3-tetramethoypropan. Nilai TBARS dinyatakan dalam nmol/mL. Data dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan program analisis statistik. Data diuji normalitasnya kemudian apabila data terdistribusi normal maka dilakukan menggunakan uji statistik ANOVA.Jika analisis ANOVA menunjukkan hasil yang signifikan atau perbedaan yang bermakna antara kelompok secara statsitik yaitu dengan nilai p < 0,05 maka dilanjutkan dengan post hoc tests Highest Significant Difference (HSD) untuk mengetahui tingkat perbedaan antara kelompok. Jika data tidak terdistribusi normal diuji dengan Kruskal Wallis
105
V.3.4. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kuersetin terhadap sistem reproduksi tikus model DM tipe II. Penelitian ini dilakukan pada 45 tikus Wistar jantan yang dibagi kedalam 9 kelompok yaitu normal (K1), DM tipe 2 (K2), perlakuan kuersetin mg/kgBB (K3), kuersetin 20mg/kgBB (K4), kuersetin 80mg/kgBB (K5), kombinasi kuersertin 5mg/kgBB dengan glibenklamid (K6), kombinasi kuersertin 20mg/kgBB dengan glibenklamid (K7), kombinasi kuersertin 80mg/kgBB dengan glibenklamid (K8), dan glibenklamid 5mg/kgBB (K9). Berdasarkan hasil uji Post Hoc Highest Significance Difference (HSD) perbedaan bermakna berat testis ditemukan antara kelompok glibenklamide 5 mg/kgBB dengan kelompok normal, DM, perlakuan kuersetin 5mg/kgBB, dan kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (p<0,05). Sedangkan perbedaan berat testis antar kelompok yang lain tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Hal ini berarti bahwa pemberian glibenklamid 5mg/kgBB memberikan efek samping terhadap berat testis dibandingkan kondisi normal. Kelompok DM mempunya rerata berat testis paling tinggi. Berdasarkan penelitian ini didapatkan berat rerata tertinggi testis terdapat pada kelompok DM. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dengan hasil penelitian sebelumnya. DM menyebabkan terjadinya kerusakan testikuler dan epididimis, penurunan berat testis, penurunan diameter tubulus seminiferus, peningkatan jumlah tubulus seminiferus yang kosong dan peningkatan densitas vaskuler (cai et al., 2000; Arikawe et al., 2012). Penelitian Navaro et al. (2010) mengenai efek diabetes pada kesuburan tikus Sprague dawley menunjukkan
106
penurunan berat testis dan berat epididimis, peningkatan secara signifikan teratozoospermia, penurunan testosteron serum dan penuruna tubulus seminiferus (Navaro et al., 2010). Pengukuran berat testis sebenarnya tidak dapat menjadi acuan terjadinnya kerusakan. Yang perlu diukur dari berat testis adalah berat testis sebelum dan sesudah terjadinya DM. Kadar MDA diukur dalam satuan nmol/mL. Hasil rerata rerata kadar MDA tertinggi pada kelompok diabetes yaitu (8,05±0,38 nmol/mL), diikuti kelompok kombinasi
kuersetin
(5,30±0,22nmol/mL),
5mg/kgBB
kuersetin
dengan
20mg/kgBB
glibenklamid
(4,74±0,66nmol/mL),
5mg/kgBB kombinasi
kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5 mg/kgBB (4,48±0,28nmol/mL), kuersetin 80mg/kgBB (4,03±0,12nmol/mL), kombinasi kuersetin 80mg/kgBB dengan glibenklamid 5 mg/kgBB (3,43±1,21nmol/mL), kuersetin 5mg/kgBB (3,08±0,17nmol/mL),
dan
glibenklamid
5mg/kgBB
(2,79±0,38nmol/mL).
Reratakadar MDA terendah pada kelompok normal (2,05±0,41 yaitu nmol/mL). Berdasarkan hasil uji Post Hoc Highest Significance Difference (HSD) tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MDA antar kelompok normal dengan kuersetin 5mg/kgBB dan glibenklamid 5mg/kgBB (p>0,05) yang berarti bahwa pemberian kuersetin 5mg/kgBB dan glibenklamid 5mg/kgBB memberikan efek terbaik dalam penurunan kadar MDA. Hal ini sesuai dengan penelitian chugh et al. (2001) yang menyatakan bahwa glibenklamid dengan dosis 5 mg/kgBB selama 4 minggu dapat menurunkan kadar MDA. Mekanisme glibenklamid dalam menurunkan peroksidasi lipid adalah dengan kemampuannya menurunkan hiperglikemi (Chugh et al., 2001).
107
Kuersetin dapat menurunkan peroksidasi lipid karena kemampuannya menangkap radikal bebas secara langsung maupun kemampuannya dalam membantu peningkatan aktivitas enzim-enzin antioksidan (Kelly, 2011). Kelompok DM berbeda bermakna dengan semua kelompok perlakuan yang lain (p<0,05) yang berarti pemberian kuersetin, glibenklamid, maupun kombinasi memberikan efek yang lebih baik dibandingkan pada kelompok diabetes yang tidak diberikan perlakuan. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa kombinasi kuersetin dan glibenklamid tidak lebih baik dalam menurunkan kadar MDA testis jika dibandingkan dengan perlakuan kuersetin atau glibenklamid saja. Antioksidan kimiawi seperti kuersetin seperti pedang mata dua. Pertama saat bahan tereduksi menjadi radikal, maka derivat radikalnya juga terbentuk. Akibatnya radikal tidak stabil yang terbentuk dapat menyebabkan reaksi berantai. Kedua, bahan yang tereduksi dapat mereduksi oksigen menjadi superoksida atau peroksida yang merupakan peroksida hidroksil dalam reaksi autoksidasi (Kurnia et al., 2011). Dari hasil pengukuran kadar MDA dapat diketahui bahwa kuersetin maupun glibenklamid mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar MDA. Glibenklamid sebagai obat yang sering digunakan oleh penderita diabetes
mempunyai efek
antioksidan (Abduldulkadir, 2012). Proses spermatogenesis dan produksi testosteron terjadi di testis. Kapsula testis teridiri dari tiga lapisan yaitu tunika vaginalis, tunika albuginea, dan tunika vaskulosa (terdiri dari kapsul testikular).Perluasan tunika albuginea berupa septumseptum fibrosa membentuk sekitar 250 lobulus piramidalis yang masing-masing
108
membentuk tubulus seminiferus.
Tubulus seminiferus beranastomose dengan
tubulus seminiferus didekatnya. Tubulus seminiferus pada orang dewasa normal tersusun dari sel-sel Sertoli dan sel epitel, memiliki diameter 150-250 µm, rata-rata 165-180 µm, tebal sel germinal 80 µm dan tebal lamina propia 8µm. Epitel germinal pada tubulus seminiferus terdiri dari sel-sel yang dalam perkembangannya berdeferensiasi meliputi spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, dan spermatid (Holstein et al., 2003). Pada penelitian ini diketahui bahwa rerata diameter tubulus seminiferus tertinggi pada kelompok DM (314,31±42,48 µm), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB yaitu
(310,42±34,35µm), kuersetin 20mg/kgBB (261,09±27,81µm),
kuersetin 80mg/kgBB (244,96±26,53µm), kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (234,84±28,06µm), normal (225,50±14,62µm), kombinasi kuersetin kombinasi
80mg/kgBB kuersetin
dengan
glibenklamid
20mg/kgBB
5mg/kgBB
dengan
(221,53±24,72µm),
glibenklamid
5mg/kgBB
(179,77±20,08µm). Sedangkan kelompok glibenklamid memiliki rerata diameter tubulus seminiferus terendah (153,38±26,78µm). Rerata tebal epitel tubulus seminiferus tertinggi pada kelompok normal (88,98±16,83µm), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB yaitu (74,44±18,41µm), kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibendklamid 5mg/kgBB (68,34±14,57), kuersetin 5mg/kgBB (68,32±9,01µm), DM(62,38±10,45µm),
kuersetin
80mg/kgBB
(48,44±14,69),
glibenklamid
5mg/kgBB (37,72±9,96), kombinasi kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB
(24,66±10,88µm).
Sedangkankelompok
kombinasi
kuersetin
80
109
mg/kgBB glibenklamid 5mg/kgBB memiliki rerata tebal epitel tubulus seminiferus terendah (12,26±12,98µm). Penurunan diameter tubulus seminiferus dan penurunan tebal lapisan epitel tubulus seminiferus dapat diasumsikan sebagai akibat dari terganggunya proses spermatogenesis. Sel-sel spermatogenik yang menyusun sebagian besar tubulus seiniferus mengalami penurunan jumlahnya akibat nekrosis ataupun degenerasi selsel pada tubulus seminiferus. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa jumlah spermatogonium tertinggi pada kelompok normal (25,60±3,78), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB yaitu (23,00±3,24), glibenklamid (17,00±2,34), kuersetin 20mg/kgBB (12,20±3,56), DM (11,60±3,36), kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibendklamid 5mg/kgBB (9,00±2,00), kuersetin 80 mg/kgBB (8,80±2,28), kombinasi kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (6,00±4,15). Sedangkankelompok kombinasi kuersetin 80 mg/kgBB glibenklamid 5mg/kgBB memiliki jumlah spermatogonium terendah (4,60±4,15).Rerata spermatosit primer tertinggi terdapat pada kelompok tikus Wistar normal (K1) yaitu 34,60±3,71, diikuti kelompok pemberian kuersetin 5mg/kgBB (31,20±7,66), kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (19,00±8,60), kuersetin 20mg/kgBB (18,20±5,07), kelompok DM (15,40±6,07). Sedangkan kelompok kuersetin 80mg/kgBB, kombinasi kuersetin 80mg/kgBb dengan glibenklamid 5mg/kgBB, dan kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5 mg/kgBB tidak memiliki spermatosit primer. Berdasarkan hasil uji Post Hoc Highest Significance Difference (HSD) tidak terdapat perbedaan bermakna spermatosit antar kelompok normal dengan kuersetin
110
5mg/kgBB (p>0,05) dan berbeda bermakna dengan kelompok lainnya (p<0,05). Sedangkan kelompok diabetes tidak berbeda bermakna dengan kuersetin 20mg/kgBB,
kombinasi
kuersetin
5mg/kgBB
dengan
glibenklamid ,
dan
glibenklamid dan berbeda bermakna dengan perlakuan yang lain (p<0,05). Pemberian kuersetin 5mg/kgBB memberikan efek terbaik terhadap spermatosit primer yaitu tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan kelompok normal. Pada Penelitian ini juga diketahui bahwa rerata jumlah spermatid tertinggi pada kelompok normal (61,80±3,70), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB (56,20±5,26), kuersetin 20mg/kgBB (11,00±5,09), DM(6,80±2,77), dan glibenklamid (1,20±1,30) sedangkan
kelompok kuersetin 80mg/kgBB dan kombinasi kuersetin dengan
glibenklamid 5mg/kgBB tidak memiliki spermatid. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pemberian kuersetin 5 mg/kgBB mempunyai efek lebih baik terhadap struktur histologis tubulus seminiferus pada jaringan testis tikus Wistar. Hal ini dapat diketahui dengan diameter, tebal tubulus seminiferus dan sel spermatogenik didalam tubulus seminiferus. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kuersetin 5 mg/kgBB mempunyai pengaruh paling baik terhadap perlindungan kerusakan jaringan testis. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pemberian kuersetin dengan dosis lebih tinggi menyebabkan kerusakan jaringan testis yang lebih buruk. Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah besar sel-sel epitel germinal yang disebut spermatogonia, terletak dalam 2-3 lapisan sepanjang batas luar epitel tubulus. Spermatogonia terus menerus berproliferasi untuk memperbanyak diri dan berdeferensiasia melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk menghasilkan
111
spermatozoa. Gambaran histologi testis tikus normal (K1) dapat dilihat adanya asosiasi
sel-sel
spermatogenik
tersusun
berlapis
sesuai
dengan
tingkat
perkembangannya menuju kearah lumen yaitu spermatogonia, spermatosit, spermatid,
lumen tampak penuh. Ini menunjukkan lumen terisi dengan sel-sel
spermatozoa baik yang msih menempel pada sel-sel sertoli maupun yang telah mengalami spermiogenesis. Dari gambaran ini dapat diketahui bahwa proses spermatogenesis terjadi dengan baik. Gambaran histologi pada testis tikus Wistar model DM tipe 2 dapat diketahui bahwa masih terlihat adanya sel-sel spermatogenik akan tetapi lumen tubulus tampak longgar. Hal ini menunjukkan terganggunya proses spermatogenesis. Pemberian kuersetin dengan dosis 5 mg/kgBB dapat diketahui bahwa terjadi perbaikan struktur tubulus seminiferus dan masih dapat dilihat sususan sel-sel spermatogenik. Akan tetapi peningkatan dosis pemberian kuersetin dan perlakuan kombinasi kuersetin dan glibenklamid tidak memeperbaiki struktur histologi jaringan testis. Hal ini dapat dilihat dari gambaran histologi tubulus seminiferus pada perlakuan pemberian kuersetin 20mg/kgBB, pemberian kuersetin 80mg/kgBB dan kombinasi kuersetin dan glibenklamid yaitu tubulus seminiferus tampak sangat longgar (kosong). Pada kelompok perlakuan pemberian glibenklamid 5 mg/kgBB dapat diketahui bahwa susunan sel-sel tidak teratur dan banyak terdapat fasa darah dan menyempitnya bagian intersisisal dari testis. Hal ini disebabkan efek toksik dari glibenklamid yang dapat menyebabkan injury pada jaringan testis. Kerusakan jaringan testis akibat glibenklamid terutama dimediasi oleh peningkatan peroksidasi lipid dan penurunan status antioksidan (Adaramoye et al., 2012).
112
Efek dari penelitian Diabetes dan STZ pada fertilitas pria antara lain menyebutkan bahwa terjadi perubahan pada jaringan testikuler berupa perubahan struktur dan diamter tubulus seminiferus, dan peningkatan jumlah tubulus seminiferus yang kosong pada jaringan testis (Navaro et al., 2010). Senyawa toksik dan stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis. Perubahan-perubahan mikroskopik pada testis akibat stres oksidatif dan senyawa toksik antara lain edema. kongesti, hemoragi, dan nekrosis. Penelitian Shahat et al., (2009) menyebutkan bahwa kerusakan jaringan testis akibat stres oksidatif yaitu nekrosis dan sloughing dari lapisan epitel tubulus seminiferus, dilatasi tubulus seminiferus, atropi, fibrosis jaringan intersisial dan infiltrassi sel mononuklear inflamatori (Shahat et al., 2009). Penelitian Adaramoye et al (2012) yang membandingkan efek toksik pada metformin dan glibenklamid pada berbagai organ pada tikus Wistar menyebutkan bahwa terjadi nekrosis pada sel-sel tubulus seminiferus pada kelompok pemberian glibenklamid 5mg/kgBB. Glibenklamid menyebabkan disfungsi testikuler yang terutama diakibatkan peningkatan peroksidasi lipid dan penurunan antioksidan status pada testis (Adaramoye et al., 2012). Senyawa toksik dapat merusak jaringan testis dengan cara menembus sawar darah testis dan menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik secara langsung melalui jalur hormonal juga akibat dari kerusakan dan kematian sel pada jaringan testis akibat senyawa toksik yang bersifat pro-oksidan. Pro-oksidan yang masuk kedalam jaringan menyebabkan ketidak seimbangan pro-oksidan dan antioksidan sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif akibat paparan senyawa toksik akan menyebabkan apoptosis padasel spermatogenik di tubulus seminiferus dan
113
meningkatkan rasio BAX. Protein BAX ini akan menekan BCL-2 pada membran mitokondria sehingga terjadi perubahan permeabilitas dari membar mitokondria. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pelepasan Cytokrom-C ke sitosol
dan
kemudian Cytokrom-C di sitosol ini akan mengaktivasi Apaf-1 yang selanjutnya kan mengaktivasi cascade caspase yang kemudian mengakibatkan deoxyribonuclease (DNAse) aktif dan DNAse yang aktif akan menembus membran inti dan merusak DNA sehingga DNA sel rusak atau terjadi fragmentasi. Akibat dari DNA fragmentasi ini sel-sel akan mengalami kematian sel. Kematian sel-sel menyebabkan atresia dan berkurangnya sel-sel germinal ( Yildiz et al., 1998). DM yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa menyebabkan terjadinya autooksidasi dan memberikan efek lanjut terbentuknya radikal bebas karena produksi ROS yang berlebihan pada mitokondria dan penurunan antioksidan (Giacco and Brownlee, 2010). Kadar ROS yang berlebihan ini menyebabkan keruskan protein, lipid dan DNA. Penimbunan ROS pada testis akan merusak struktur dan fungsi sel yang ada dalam testis (Evans et al., 2002). Peningkatan ROS akibat hiperglikemia dapat terjadi melalui beberapa jalur yaitu peningkatan produksi advance glycation end product (AGE) dan aktivasi reseptor AGE (RAGE), aktivasi jalur poliol sorbitol, aktivasi jalur protein kinase c dan aktivasi jalur heksosamin (Cade, 2008). Semua jalur ini pada akhirnya akan memicu stres oksidatif (Ahmed, 2005). Malidis et al., (2009) melaporkan adanya peningkatan akumulasi AGE dan RAGE pada testis, epididimis dan sperma pada penderita DM. Ikatan AGE-RAGE dapat mempercepat terbentuknya ROS yang kemudian akan mengkatifkan faktor transkripsi nuclear factor (NF-kB). Ekspresi NF-kB merupakan suatu sinyal
114
apoptosis dalam sel yang berperan penting dalam menimbulkan kerusakan jaringan dan organ. Sel-sel fungsional dalam testis merupakan sel-sel yang sangat peka terhadap perubahan yang diakibatkan proses stres oksidatif (Diemer et al., 2003). Kerusakan ini ditandai dengan berkurangnya sel-sel fungsional dalam testis (Ballester et al., 2004). V.3.5. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan:1) Rerata berat testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin tidak lebih besar dibadingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. 2) Rerata kadar MDA jaringan testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih rendah dibandingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. 3) Gambaran histologis jaringan testis tikus Wistar yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi kuersetin.