BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1.
Hasil
1.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Limba B Kota Gorontalo Puskesmas Limba B merupakan salah satu unit pelaksanaan teknis pelayanan kesehatan yang ada di kota Gorontalo selain unit kesehatan yang lainnya. Secara organisatoris struktur organisasi Puskesmas Limba B dalam penyelanggaraan kegiatan mengacu pada struktur organisasi Puskesmas, dimana struktur tersebut disesuaikan dengan kegiatan dan beban tugas yang ada (Structure follow function). Puskesmas Limba B terletak di Kecamatan Kota Selatan Kelurahan Limba B. Cakupan wilayah kerja Puskesmas Limba B meliputi 10 kelurahan yang ada di kecamatan Kota Selatan dan Hulontalangi yaitu Kelurahan Limba U1, Kelurahan Limba U2, Kelurahan Limba B, Kelurahan Biawao, Kelurahan Biawu, Kelurahan Donggala, Kelurahan Siendeng, Kelurahan Tenda, Kelurahan Pohe, dan Kelurahan Tanjung Kramat. Total penduduk yang terdapat dalam cakupan wilayah kerja Puskesmas Limba B adalah 38128 orang. Adapun masalah-masalah kesehatan yang ada di Puskemas Limba B masih mencakup 5 jenis penyakit yang menonjol meliputi : 1.
ISPA
2.
TB
3.
Kusta
4.
Malaria
5.
Diare
4.1.1.1 Ketenagaan Pegawai Ketenagaan pegawai yang ada di Puskemas Limba B berjumlah 80 orang yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut: Tabel 1.4 Ketenaga Pegawaian Puskesmas Limba B Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo No
Jenis Tenaga
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Dokter Umum S1 Apoteker S1 SKM D3 Akper D3 Akbid D3 Gizi D3 Sanitarian Analisis Kimia Perawat (SPK) Perawat Gigi D1 Kebidanan D1 Sanitarian Pekarya
3 1 7 17 11 4 2 1 2 2 2 3 3
14.
Tenaga Administrasi
8
15. 16. 17.
Sopir S1 Keperawatan D3 Farmasi
1 1 1
Status Pegawai PNS PNS PNS PNS PNS/Honor PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS PNS/Honor Daerah PNS PNS PNS
Keterangan
1 Orang Honor
Jadi jumlah tenaga pegawai yang ada di Puskesmas Limba B Kota Gorontalo adalah 69 orang yang terdiri dari PNS yang berjumlah 66 orang dan honor berjumlah 3 orang.
4.1.1.2 Wilayah Kerja Luas Wilayah Kerja adalah 17.9 Km2. Cakupan wilayah kerja Puskesmas Limba B meliputi 10 kelurahan yang ada di kecamatan Kota Selatan dan Hulontalangi yaitu Kelurahan Limba U1, Kelurahan Limba U2, Kelurahan Limba B, Kelurahan Biawao, Kelurahan Biawu, Kelurahan Donggala, Kelurahan Siendeng, Kelurahan Tenda, Kelurahan Pohe, dan Kelurahan Tanjung Kramat. Total penduduk yang terdapat dalam cakupan wilayah kerja Puskesmas Limba B adalah 38128 orang. 4.1.1.3 Program Kesehatan Puskesmas 1. Pelayanan kesehatan perorangan berupa pelayanan : a. Unit rawat jalan seperti klinik umum, klinik gizi, klinik KIA-KB, klinik IMS, dan klinik sanitasi. b. Unit kegawat daruratan c. Unit rawat inap 2. Pelayanan kesehatan masyarakat berupa: a. Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (P2 TB, Kusta, ISPA, Rabies, Malaria, Diare, Kegiatan Surveilance, Imunisasi dan Penyehatan Lingkungan). b. Pemberdayaan kesehatan masyarakat (KIA, KB, Gizi, Kesehatan Lingkungan,
Penyuluhan
Kesehatan,
dan
Pemberdayaan
Masyarakat/Puskemas) c. Kesehatan pengembangan (kesehatan usila, kerja, pondok pesantren, haji, mata, telinga, jiwa, dan olahraga).
d. Pelayanan kesehatan medik seperti laboratorium apotek/unit farmasi, gudang obat, emergency team.
1.1.2. Hasil I.
Analisis Univariat a. Distribusi Responden
Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur
Jumlah n
%
19-25 tahun
6
18.2
26-32 tahun
7
21.2
33-39 tahun
6
18.2
40-46 tahun
6
18.2
47-53 tahun
6
18.2
54-60 tahun
2
6.1
Berdasarkan tabel hasil analisis dengan menggunakan Frequency table maka didapatkan data bahwa untuk kelompok umur 19-25 tahun terdapat 6 orang responden dengan persentase 18.2%, untuk kelompok umur 26-32 tahun terdapat 7 orang responden dengan persentase 21.2%, untuk kelompok umur 33-39 tahun terdapat 6 orang responden dengan persentase 18.2%, untuk kelompok umur 40-46 tahun terdapat 6 orang responden dengan persentase 18.2%, untuk kelompok umur 47-53 tahun terdapat 6 orang responden dengan persentase 18.2%, dan untuk kelompok umur 54-60 tahun terdapat 2 orang responden dengan persentase 6.1%.
b.
Distribusi data demografi responden Tabel 2. Distribusi sampel berdasarkan data demografi Pendidikan
Jumlah n
%
SD
16
48.5
SMP
5
15.2
SMA
12
36.4
Berdasarkan analisis univariat maka didapatkan hasil bahwa untuk responden yang tingkat pendidikan akhir adalah SD terdapat 16 orang dengan persentase 48.5%, tingkat pendidikan SMP terdapat 5 orang dengan persentase 15.2%, dan untuk tingkat pendidikan SMA terdapat 12 orang dengan persentase 36.4%.
c.
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan Pengetahuan
Jumlah n
%
Baik
4
12.1
Cukup
14
42.4
Kurang
15
45.5
Berdasarkan analisis univariat maka didapatkan hasil bahwa terdapat 4 orang responden yang memiliki pengetahuan yang baik dengan persentase 12.1%, terdapat 14 orang responden yang memiliki pengetahuan cukup dengan persentase 42.4%, dan terdapat 15 orang responden yang pengetahuannya masih kurang dengan angka persentase 45.5%.
d.
Distribusi responden berdasarkan kepatuhan datang berobat Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan kepatuhan datang berobat Kepatuhan
Jumlah n
%
Patuh
17
51.5
Tidak Patuh
16
48.5
Berdasarkan analisis univariat maka didapatkan hasil bahwa terdapat 17 orang responden yang patuh datang berobat dengan persentase 51.5% sedangkan responden yang tidak patuh datang berobat terdapat 16 orang dengan persentase 48.5%.
II. Analisis Bivariat a.
Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Datang Berobat Responden Tabel 5. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Datang Berobat
Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
Kepatuhan Responden Patuh Tidak Patuh n % n % 2 50 2 50 13 92.9 1 7.1 2 13.3 13 86.7 17 51.5 16 48.5
Total n 4 14 15 33
% 100 100 100 100
X2 Ρ Value 16.051
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan Chi square maka didapatkan hasil bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik serta patuh datang berobat terdapat 2 orang dengan persentase 50% sedangkan yang memiliki pengetahuan baik namun tidak patuh berobat terdapat 2 orang dengan persentase 50% dan untuk responden yang memiliki pengetahuan cukup serta patuh datang berobat terdapat 13 orang dengan persentase 92.9% sedangkan yang memiliki
0,000
pengetahuan cukup namun tidak patuh berobat terdapat 1 orang dengan persentase 7.1%. Untuk responden yang memiliki pengetahuan yang kurang namun patuh datang berobat terdapat 17 orang dengan persentase 51.5% sedangkan responden yang memiliki pengetahuan yang masih kurang dan tidak patuh datang berobat terdapat 13 orang dengan persentase 86.7%. Dalam hasil analisis ini didapatkan ρ value 0.000.
1.2.
Pembahasan I. Analisis Univariat a. Kelompok Umur Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata kelompok umur yang menjadi responden memiliki jumlah yang hampir sama dengan persentase yang hanya sedikit pula perbedaannya, terkecuali pada kelompok umur 54-60 tahun yang hanya terdapat 2 orang responden saja. Hal ini menjadi suatu data bahwa ternyata umur tidak menjadi suatu patokan/acuan dasar untuk pemicu angka kejadian Tuberculosis Paru. Karena pada dasarnya yang menentukan tinggi atau rendahnya angka kejadian suatu penyakit bukan semata-mata karena faktor umur melainkan dapat pula karena faktor yang lain misalnya daya tahan tubuh/system immune, kebiasaan, dan lingkungan. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSU Cibabat Cimahi tahun 2010 menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang dominan berpengaruh terhadap kepatuhan berobat pasien TB Paru. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Avianty (2005) bahwa kepatuhan berobat dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu umur, pendidikan,
penghasilan, pengetahuan, sikap, dan peran. Namun dalam penelitian lain yang dilakukan di Puskesmas Bangetayu tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak terdapat suatu pengaruh yang bermakna antara umur dengan kepatuhan berobat pasien TB Paru.
b. Pendidikan Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah responden yang pendidikan akhirnya SD lebih banyak yaitu berjumlah 16 orang, kemudian untuk SMA berjumlah 12 orang, dan untuk SMP terdapat 5 orang responden. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Meskipun memang dalam hasil penelitian ini tidak sedikit pula jumlah responden yang memiliki pendidikan akhir yaitu SMA. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo bahwa Pendidikan merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Karena pendidikan adalah setiap usaha pengaruh pelindung dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada kedewasaan. GBHN Indonesia telah mengidentifikasi lain bahwa pendidikan diri dalam dan dari luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 2003). Namun pendidikan tidak secara spesifik mempengaruhi kejadian Tuberculosis Paru. Hanya saja pendidikan itu mempengaruhi kepatuhan berobat pasien TB Paru. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Puskesmas Bangetayu tahun 2005 didapatkan data hasil penelitian bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan pasien TB Paru. Hasil penelitian lain yang mendukung
adalah penelitian yang dilakukan di RSU Cibabat Cimahi pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa pendidikan merupakan faktor kedua setelah umur yang memiliki pengaruh besar terhadap kepatuhan berobat pasien TB Paru. Peneliti berasumsi bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi tinggi rendahnya pengetahuan seseorang. Secara rasional, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka semakin besar pula pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, pendidikan hampir sama maknanya dengan pengetahuan. Itu berarti pendidikan mempengaruhi kepatuhan berobat seorang pasien TB Paru.
c. Pengetahuan Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan pasien cukup baik yaitu dengan jumlah responden 18 orang. Meskipun terdapat 15 orang responden yang memiliki pengetahuan yang kurang. Namun saat penelitian dilakukan, didapatkan data bahwa pasien memiliki pengetahuan yang cukup karena mereka telah mendapatkan informasi dari petugas kesehatan di Puskesmas Limba B. Setiap kali mereka datang berobat maka saat itu pula mereka sering bertanya/konsultasi mengenai perkembangan kesehatan dan selain itu pula mereka sering mendapatkan pendidikan kesehatan berupa informasi-informasi penting dari petugas kesehatan seputar kondisi kesehatan mereka. Namun untuk responden yang memiliki pengetahuan yang masih kurang mengakui bahwa mereka jarang mendapatkan informasi mengenai penyakit atau pun perkembangan kondisi kesehatan mereka disebabkan oleh karena kedatangan mereka yang sangat jarang ke Puskesmas. Mereka
biasanya meminta bantuan keluarga atau orang terdekat untuk sekedar mengambil obat di Puskesmas. Mereka jarang datang langsung untuk berobat karena kesibukan mereka dengan urusan rumah tangga dan pekerjaan serta ketidaksiapan mental mereka terhadap tanggapan buruk dari orang-orang di lingkungan sekitar. Notoatmodjo (1997) dalam bukunya menyimpulkan bahwa pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu, dengan kata lain semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang kesehatan maka akan semakin tinggi pula kesadarannya untuk berperan serta dalam kegiatan kesehatan. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Ida Bagus Mantra (1989) yang mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan tahap awal bagi seseorang untuk berbuat sesuatu, sebagaimana dengan unsur-unsur yang dapat dilihat dari dalam diri seseorang untuk dapat berbuat sesuatu seperti: keyakinan/kepercayaan, saran, dorongan/motivasi. Demikian juga dengan pendapat Entjang (1991) yang menyatakan bahwa penyakit Tuberculosis banyak terdapat pada golongan masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah tentang cara-cara hidup yang sehat. Hasil penelitian yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan di RSU Cibabat
Cimahi
pada
tahun
2010
yang
menunjukkan
bahwa
pendidikan/pengetahuan merupakan faktor kedua setelah umur yang memiliki pengaruh besar terhadap kepatuhan berobat pasien TB Paru. Peneliti memiliki asumsi bahwa pengetahuan merupakan suatu hal yang mendasari sikap/perbuatan seseorang. Sehingga ketika seorang pasien TB
Paru mengetahui tentang kondisi kesehatannya saat ini, seluk beluk penyakit yang ia derita, apa saja faktor yang dapat meringankan dan memperberat, serta bagaimana pengobatan/solusi terbaik untuk mencapai penyembuhan dan meningkatkan derajat kesehatan maka tentu saja ia akan bersikap yang sesuai (patuh).
d. Kepatuhan Datang Berobat Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya terdapat perbedaan kecil antara jumlah responden yang patuh dan tidak patuh. Berdasarkan teori yang ada bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan seseorang dalam berobat adalah pemahaman tentang instruksi, kualitas interaksi dengan petugas kesehatan, dukungan sosial, motivasi, dan pengetahuan (Niven, 2000). Tidak sedikit dari pasien yang menjadi responden adalah mereka yang memiliki kualitas interaksi yang kurang dengan petugas kesehatan. Selain itu banyak juga responden yang memiliki pengetahuan yang masih kurang sehingga pemahaman tentang instruksi atau hal-hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat penyembuhan pasien pun masih sangat kurang. Setelah dikaji lebih mendalam, responden yang tidak patuh adalah mereka yang kurang mengetahui tentang efek samping obat. Mereka merasa jenuh ketika harus menghabiskan obat dalam jangka waktu yang lama, terlebih dengan efek samping obat yang bagi mereka cukup menyiksa diri. Mereka tidak tahu kapan seharusnya mereka mengkonsumsi obat agar tidak merasakan efek samping obat. Ada juga responden yang tidak patuh dalam berobat karena merasa dirinya telah sembuh.
Kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Jika individu tidak mematuhi apa yang telah menjadi ketetapan maka dapat dikatakan tidak patuh. Kepatuhan datang berobat dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu umur, pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap, dan peran (Avianty, 2005). Peneliti berasumsi bahwa kepatuhan merupakan suatu refleksi atau aplikasi/penerapan yang nyata dari suatu pemahaman/pengetahuan. Sehingga ketika seorang pasien TB Paru patuh dalam berobat dan rajin mengontrol kesehatan maka itu menandakan bahwa pasien tersebut memiliki kesadaran dan pemahaman/pengetahuan tentang kondisi kesehatannya dan pengobatan terbaik untuk mencapai kesembuhan. Sebaliknya jika seorang pasien TB Paru tidak patuh dalam berobat dan rajin mengontrol kesehatan maka itu salah satu indikator
bahwa
pasien
tersebut
kurang
memiliki
kesadaran
dan
pemahaman/pengetahuan tentang kondisi kesehatannya dan pengobatan terbaik untuk mencapai kesembuhan.
II. Analisis Bivariat Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Datang Berobat Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji Chi square didapatkan hasil bahwa P value adalah 0.000 yang menandakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan datang berobat pasien Tuberculosis Paru. Pasien yang memiliki pengetahuan yang baik dan cukup
memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang memiliki pengetahuan yang kurang. Berdasarkan teori yang ada bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan seorang pasien untuk datang berobat adalah pemahaman tentang instruksi, kualitas interaksi, dukungan sosial, dan pengetahuan (Niven, 2000). Sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah informasi. Seorang pasien yang patuh berobat maka akan memiliki kualitas interaksi yang baik dengan petugas kesehatan. Dengan interaksi yang baik tersebut maka akan terjalin pula komunikasi yang baik dan lancar antara pasien dengan petugas kesehatan. Jika telah tercipta komunikasi yang baik maka itu berarti informasi yang diperlukan oleh pasien akan tersampaikan dengan baik pula.
Informasi inilah yang akan
meningkatkan pengetahuan seseorang. Dengan pengetahuan yang baik/cukup maka akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan pola hidup seseorang. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Cibabat Cimahi tahun 2010 menunjukkan
bahwa
terdapat
suatu
korelasi/hubungan
erat
antara
pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien Tuberculosis Paru dengan hasil analisis menggunakan uji Chi square yaitu 0.00001. Hal ini membuktikan bahwa jelas terdapat hubungan yang erat antara pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien Tuberculosis Paru karena pada dasarnya pemahaman itu mempengaruhi sikap seseorang.