BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM
IV.1. Evaluasi Pelaksanaan PPh Badan PT LAM Sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT LAM telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Namun dari evaluasi yang dilakukan, ditemukan bahwa perencanaan pajak yang dilakukan PT LAM pada tahun 2005, 2006, 2007 tidak mengalami kenaikan/penambahan. Pada tahun 2005, perencanaan pajak yang dilakukan PT LAM adalah: 1. Berkenaan dengan PPh 21, perencanaan pajak yang telah dilakukan perusahaan adalah dengan: •
Karyawan mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) yang dibayarkan oleh perusahaan setiap tahunnya.
•
Perusahaan mengeluarkan biaya makan dan minum karyawan dan mencatatnya dalam biaya tunjangan makan berupa uang kepada karyawan.
•
Perusahaan mengeluarkan biaya transportasi kepada tiap karyawan dan mencatatnya sebagai tunjangan transportasi berupa uang.
2. Perusahaan melakukan penundaaan pembayaran pajak dengan cara melakukan pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo, akan tetapi tidak melewati batas tanggal jatuh tempo.
42
3. Perusahaan berusaha untuk menghindari pemeriksaan pajak dengan cara tidak terlambat memasukkan SPT dan selalu memasukkan SPT. 4. Perusahaan menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku dengan menyusun Laporan Keuangan sesuai dengan peraturan pajak, menghitung, melapor, membayar sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan. Pada tahun 2006 dan 2007, perusahaan tidak melakukan penambahan perencanaan pajak atas PPh Badan perusahaan. Oleh karena itu menurut penulis, perencanaan pajak yang dilakukan PT LAM masih belum maksimal. Perusahaan masih belum secara maksimal melakukan perencanaan pajak dalam hal laporan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Perbedaan antara perlakuan akuntansi dan pajak dalam pengakuan penghasilan dan biaya akan mengakibatkan perbedaan laba komersial dan fiskal. Dalam laporan keuangan komersial, semua pengeluaran perusahaan dalam operasi dapat dijadikan biaya. Namun, sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, tidak semua biaya komersial dapat dijadikan biaya fiskal. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi atas biaya komersial sebagai usaha perencanaan pajak untuk menentukan apakah biaya komersial tersebut termasuk dalam biaya fiskal atau non fiskal. Dibawah ini akan dijelaskan hasil evaluasi atas biaya-biaya komersial yang telah dilakukan koreksi fiskal positif dalam rekonsiliasi perhitungan laba rugi komersial dan fiskal selama tahun 2005,2006,2007 antara lain adalah sebagai berikut:
43
Dari laporan rekonsiliasi diatas, terdapat beberapa koreksi fiscal positif terhadap biaya-biaya komersial, antara lain sebagai berikut: 1. PPh 21. Semua karyawan PT LAM menerima gaji setiap bulannya, atas penerimaan gaji tersebut akan dikenakan pajak penghasilan pasal 21. Dalam hal ini, PT LAM menanggung biaya angsuran PPh 21 yang seharusnya ditanggung oleh karyawan. Atas pengeluaran ini harus dikoreksi seluruhnya karena merupakan biaya non fiskal dan bukan merupakan pengurang penghasilan bruto perusahaan. -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 182.978.542, 00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 197.785.278,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 218.246.512,00.
2. Biaya perjalanan dinas. Biaya perjalanan dinas merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membiayai biaya perjalanan karyawannya dalam rangka dinas kerja maupun dalam rangka perluasan pemasaran ke kota-kota lain. Mengenai biaya ini, perusahaan menetapkan sistem Reimbursement. Biaya ini sebenarnya boleh dijadikan biaya fiskal hanya saja dikarenakan tidak didukung oleh bukti-bukti yang lengkap, seperti kwitansi pembayaran atas tiket, hotel, makan, dll maka biaya ini harus dikoreksi seluruhnya. -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 210.105.000,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 246.581.000,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 337.756.200,00.
47
3. Biaya pemeliharaan kendaraan bermotor. Atas biaya pemeliharaan kendaraan bermotor, perusahaan mencatat pengeluaran atas perbaikan dan perawatan kendaraan operasional perusahaan yang rusak. Biaya ini perlu dikoreksi sebesar 50% karena mulai 18 April 2002 berdasarkan KEP-220/PJ/2002, biaya-biaya yang berhubungan dengan kendaraan operasional perusahaan dan semua aktiva tetap perusahaan yang dapat dibawa pulang, hanya dapat dibebankan sebesar 50% sebagai pengurang penghasilan bruto. -
Tahun 2005 sebesar Rp 95.452.785,00 dikoreksi menjadi Rp 47.726.392,00.
-
Tahun 2006 sebesar Rp 60.868.760,00 dikoreksi menjadi Rp 30.434.380,00.
-
Tahun 2007 sebesar Rp 75.897.560,00 dikoreksi sebesar Rp 37.948.780,00
4. Biaya pengobatan dan kesehatan karyawan. Perusahaan menanggung pengobatan para karyawannya yang sakit, baik yang sakit ringan maupun yang dirawat di rumah sakit. Selain itu, perusahaan menetapkan biaya pengobatan dengan sistem reimbursement. Dilihat dari sudut pandang perpajakan, biaya ini harus dikoreksi seluruhnya karena merupakan pemberian natura/kenikmatan kepada karyawan sesuai dengan pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh. -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 84.568.200,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 80.522.150,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 85.456.800,00.
48
5. Entertainment. Biaya Entertainment merupakan akun untuk mencatat biaya-biaya yang berhubungan dengan pemberian kenikmatan pada pihak ketiga berupa entertainment. Menurut pejabat perusahaan yang berwenang, pengeluaran berupa entertainment
ini
sangat
mendukung
dalam
meningkatkan
pendapatan
perusahaan. Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak dengan Nomor SE27/PJ.22/1986 tanggal 14 Juli 1986 setiap pengeluaran dalam bentuk entertainment dapat dibiayakan sepanjang masih terkait dengan kegiatan operasi perusahaan dan dibuatkan daftar nominatifnya. Daftar nominatif tersebut harus dilaporkan pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh Badan. Bila tidak memungkinkan untuk dibuatkan daftar nominatif, maka perusahaan harus melakukan koreksi fiskal seluruhnya atas Biaya Entertainment. Pada kenyataannya, selama ini perusahaan tidak membuat daftar nominatif atas semua pengeluaran dalam rangka entertainment ini dikarenakan bukti yang kurang lengkap. Seperti tidak tercantumnya nama klien yang bersangkutan, dengan alasan tidak etis. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan perpajakan dengan tidak dibuatnya daftar nominatif atas pengeluaran biaya entertainment, maka PT LAM harus melakukan koreksi fiskal secara keseluruhan atas biaya ini. -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 75.489.050,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 83.278.984,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 85.461.270,00.
6. Bingkisan. Setiap tahun dan pada saat Hari Raya, perusahaan memberikan bingkisan parsel kepada karyawan sebagai ucapan terima kasih atas loyalitas seluruh karyawan 49
kepada perusahaan dan untuk menjaga hubungan baik dengan karyawan. Biaya ini merupakan biaya non fiskal karena pemberian bingkisan parsel ini termasuk dalam pemberian dalam bentuk natura sesuai pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh. -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 78.675.390,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 82.746.840,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 86.726.283,00.
7. Surat kabar dan majalah. Setiap bulannya perusahaan berlangganan surat kabar dan majalah yang dapat dibaca oleh karyawan. Tapi ternyata, sebagian dari surat kabar dan majalah ini bersifat hiburan dan tidak berhubungan dengan usaha perusahaan sehingga tidak tergolong pada pasal 6 ayat (1) UU PPh. Oleh karena ini, biaya ini harus dikoreksi sebagian. -
Tahun 2005 sebesar Rp 1.256.000,00 dikoreksi menjadi Rp 628.000,00.
-
Tahun 2006 sebesar Rp 1.325.000,00 dikoreksi menjadi Rp 662.500,00.
-
Tahun 2007 sebesar Rp 1.412.600,00 dikoreksi menjadi Rp 706.300,00.
8. Seragam karyawan. Untuk seragam karyawan harus dikoreksi sebesar: -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 42.000.000,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 55.623.500,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 58.866.942,00.
50
Biaya seragam tersebut harus dikoreksi karena ditujukan untuk keseragaman dan peningkatan pelayanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK0.4/2000 tahun 11 Maret 2000, atas biaya tersebut maka perusahaan harus melakukan koreksi fiskal positif karena biaya tersebut merupakan deductible expense dimana seragam ditujukan untuk keseragaman dan tidak terkait dengan keselamatan kerja atau seragam khusus. Sedangkan sisanya dapat dibebankan karena biaya tersebut dikeluarkan perusahaan untuk seragam satpam dimana seragam ini dipakai sebagai keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan. 9. Biaya keamanan dan kebersihan. Setiap bulannya, perusahaan membayar iuran biaya keamanan dan kebersihan kepada petugas yang dipekerjakan oleh RT di lingkungan setempat. Sebenarnya biaya ini bisa menjadi biaya fiskal karena biaya tersebut masih berkaitan dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tetapi apabila biaya tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah dan jelas maka biaya ini harus dikoreksi seluruhnya. -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 5.124.000,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 5.462.700,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 6.576.100,00.
10. Biaya penyusutan aktiva. Biaya Penyusutan adalah untuk mencatat biaya penyusutan aktiva tetap perusahaan yang terdiri dari biaya penyusutan perlengkapan dan biaya penyusutan kendaraan. Atas biaya penyusutan kendaran ini perusahaan harus melakukan koreksi fiskal positif sebesar 50% berdasarkan Keputusan Dirjen 51
Pajak Nomor KEP-220/PJ/2002 Tanggal 18 April 2002 karena kendaraan tersebut dibawa pulang oleh karyawan. -
Tahun 2005 sebesar Rp 189.584.650,00 dikoreksi menjadi Rp 94.792.325,00.
-
Tahun 2006 sebesar Rp 164.937.595,00 dikoreksi menjadi Rp 82.468.798,00.
-
Tahun 2007 sebesar Rp 159.789.694,00 dikoreksi menjadi Rp 79.894.847,00.
11. Biaya lain-lain. Biaya lain-lain merupakan akun yang mencatat pengeluaran lain-lain perusahaan seperti ini terdapat biaya sumbangan untuk membantu karyawan yang sedang mengalami musibah dan sumbangan kepada RT setempat untuk memeriahkan acara tujuh belas agustus atau acara-acara lainnya yang diselenggarakan masyarakat setempat. Biaya ini tidak ada hubungannya dengan usaha perusahaan sehingga biaya ini harus dikoreksi seluruhnya. Sumbangan yang dapat dijadikan biaya fiskal antara lain adalah sumbangan yang memenuhi pengecualian dari pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak dalam rangka bantuan kemanusiaan untuk bencana alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 609/PMK.03/2000 tgl 28-12-2004 dan bencana alam gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Provinsi Jawa Tengah serta gempa bumi dan tsunami di Pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa sesuai Peraturan Menteri Keuangan RI No 94/PMK.03/2006 tgl 13-10-2006, serta sumbangan dalam rangka bantuan GNOTA sesuai SE-33/PJ.421/1996 tgl 02-09-1996. 52
-
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 5.234.700,00
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 6.026.550,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 7.576.800,00.
Selain koreksi fiskal positif, dari laporan rekonsiliasi laba rugi diatas juga terdapat koreksi fiskal negatif, yaitu: •
Penghasilan sewa. Pada penghasilan sewa bangunan sebesar: Rp 30.578.100,00 pada tahun 2005, Rp 32.515.800,00 pada tahun 2006 dan Rp 35.128.500,00 pada tahun 2007 berdasarkan PP No.29 tahun 1996, PP no 5 tahun 2002 dan Kep-227/PJ/2002 menyatakan bahwa penghasilan atas sewa ruangan dan atau tanah yang dimiliki oleh Wajib Pajak Badan harus dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Sesuai dengan pasal 4 ayat 2 UU Pajak Penghasilan bahwa penghasilan yang telah dikenakan pajak final tidak perlu dihitung kembali pada akhir tahun pajak untuk menghitung PPh terutang. Dalam hal ini PT LAM menghitung kembali pendapatan atas sewa bangunan yang sudah dipotong PPh final ke dalam SPT Tahunan akibatnya perusahaan dikenakan pajak dua kali. Untuk itu dalam laporan keuangan fiskal, pendapatan yang berasal dari sewa harus dikoreksi negatif.
IV.2. Evaluasi Perencanaan PPh Badan PT LAM Dari evaluasi yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa PT LAM belum melakukan perencanaan pajak secara maksimal dalam hal biaya-biaya komersial yang dikeluarkan perusahaan setiap tahunnya. Hal ini terlihat pada jumlah koreksi fiskal positif yang menunjukkan angka yang signifikan, yaitu pada tahun 2005 sebesar Rp 53
827.321.599,00, pada tahun 2006 sebesar Rp 871.592.680,00 dan pada tahun 2007 sebesar Rp 1.005.216.834,00. Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan perencanaan pajak yang lebih optimal lagi untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayar perusahaan. Perencanaan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah antara lain: 1. Biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan. Karyawan merupakan salah satu aset penting dalam perusahaan. Karena itu, tidak heran bahwa setiap perusahaan mengeluarkan biaya tambahan untuk kesejahteraan karyawannya. Tapi perlu diperhatikan bahwa tidak semua biaya dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Karena itu, sebaiknya perusahaan mengupayakan semaksimal mungkin untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawannya dalam bentuk tunjangan karena biaya ini merupakan biaya fiskal yang sesuai dengan pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. a. Biaya pengobatan dan kesehatan karyawan. Perusahaan menetapkan sistem reimbursement dalam hal biaya pengobatan dan kesehatan karyawan, dimana biaya ini harus dikoreksi fiskal positif karena merupakan pemberian natura/kenikmatan kepada karyawan sesuai pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh dan Suran Edaran Ditjen Pajak No. SE-03/PJ.23/1984, tgl 21-02-1984. Besarnya koreksi yang dilakukan adalah: - Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 84.568.200,00. - Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 80.522.150,00. - Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 85.456.800,00. Dalam hal ini, perencanaan pajak yang dapat dilakukan adalah dengan
54
memberikan tunjangan kesehatan kepada karyawan. Tunjangan kesehatan ini akan menambah penghasilan karyawan dan menjadi objek PPh pasal 21 sesuai dengan KEP545/PJ/2000 pasal 5 tgl 29-12-2000 dan bagi perusahaan dapat menjadi biaya fiskal dan dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto menurut pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. b. Bingkisan. Biaya bingkisan yang dikeluarkan oleh perusahaan setiap akhir tahun ini harus dikoreksi karena merupakan natura sesuai pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh. Besarnya adalah: - Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 78.675.390,00. - Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 82.746.840,00. - Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 86.726.283,00. Usaha perencanaan pajak yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan mengganti pemberian bingkisan tersebut dalam bentuk uang ( tunjangan ) kepada karyawan. Bagi karyawan, tunjangan bingkisan ini merupakan penghasilan yang akan dikenakan PPh pasal 21 sesuai KEP-545/PJ/2000 pasal 5 tgl 29-12-2000. sedangkan bagi perusahaan, tunjangan bingkisan ini dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto perusahaan sesuai dengan pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. c. Biaya seragam karyawan. Biaya seragam karyawan ini diberikan oleh perusahaan untuk keseragamaan saja jadi harus dikoreksi dan tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto perusahaan sesuai dengan pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh. Jumlah yang harus dikoreksi adalah sebesar: - Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 42.500.000,00. - Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 56.248.500,00. 55
- Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 59.576.942,00. Agar biaya seragam ini dapat menjadi biaya fiskal dan sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan, maka perusahaan sebaiknya melakukan perencanaan pajak dengan mengganti pemberian biaya seragam menjadi pemberian tunjangan pakaian, karena menurut pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh, tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang merupakan biaya fiskal sehingga tidak akan dikoreksi. Tunjangan ini akan menjadi komponen penambah penghasilan bagi karyawan dan menjadi objek PPh pasal 21 sebagaimana tercantum dalam KEP-545/PJ/2000 pasal 5 tgl 29-12-2000. d. PPh pasal 21. PT LAM menanggung seluruhnya PPh pasal 21 atas gaji karyawannya. PPh pasal 21 ini harus dikoreksi sesuai dengan pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh. Sebenarnya bagi perusahaan, PPh pasal 21 yang ditanggung seluruhnya oleh perusahaan ini akan memberatkan perusahaan karena perusahaan selain membayar PPh pasal 21 tanpa dipotong dari jumlah gaji karyawan, PPh pasal 21 merupakan biaya yang non fiskal sehingga tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang karyawan, PPh pasal 21 yang ditanggung seluruhnya oleh perusahaan akan meringankan beban karyawan karena gaji yang akan dibawa pulang oleh karyawan tidak harus dipotong PPh pasal 21. Karena itu, perencanaan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk Pajak Penghasilan pasal 21 ini adalah dengan cara melakukan gross up. Artinya, perusahaan memberikan tunjangan pajak sebesar jumlah PPh pasal 21 yang terutang dan menjadikannya sebagai penambah penghasilan bruto karyawan yang akan dipotong PPh pasal 21 sesuai KEP-545/PJ/2000 pasal 5 tgl 29-12-2000. Metode ini akan menguntungkan bagi pihak karyawan dan perusahaan karena jumlah pendapatan yang 56
dibawa pulang karyawan besar tanpa dipotong pajak, sedangkan bagi perusahaan pemberian tunjangan pajak tersebut dapat menjadi biaya fiskal sehingga dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sesuai dengan pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. Rumus metode gross up untuk menentukan besarnya tunjangan pajak adalah sebagai berikut: Tabel 4.4 Rumus metode gross up Lapisan
PKP
Rumus
Pertama
0 s/d Rp 25.000.000,-
(PKP x 5 %) / 0.95
Kedua
>Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,-
{(PKP x 10 %)- Rp 1.250.000,- } / 0.95
Ketiga
>Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.000.000,-
{(PKP x 15 %)- Rp 3.750.000,- } / 0.85
Keempat
>Rp 100.000.000,- s/d Rp 200.000.000,-
{(PKP x 25 %)- Rp 13.750.000,- } / 0.75
Kelima
>Rp 200.000.000,-
{(PKP x 35 %)- Rp 33.75.000,- } / 0.65
Contoh untuk transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesejahteraaan karyawan. ”X” adalah karyawan PT LAM yang memperoleh gaji sebesar Rp 3.500.000,00 sebulan. ”X” telah bekerja selama 12 bulan dan berstatus ( TK/0 ). Selama setahun,”X” menerima tunjangan THR sebesar Rp 3.500.000,00, tunjangan makan per bulan sebesar Rp 200.000,00 dan tunjangan transport per bulan sebesar Rp 300.000,00. Setelah perencanaan pajak, perusahaan memberikan tunjangan kesehatan per bulan sebesar Rp 250.000,00, tunjangan bingkisan sebesar Rp 90.000,00, dan tunjangan seragam sebesar Rp 250.000,00. Oleh karena itu, tunjangan pajak yang telah digross Rp 3.093.777,00. Perhitungan metode gross up untuk menentukan tunjangan pajak Rp 3.093.777,00 adalah sebagai berikut:
57
Tabel 4.5 Contoh Perhitungan Penghasilan Kena Pajak. Gaji setahun
Rp 42.000.000,00
THR
Rp 3.500.000,00
Tunjangan makan
Rp 2.400.000,00
Tunjangan transport
Rp 3.600.000,00
Tunjangan kesehatan
Rp 3.000.000,00
Tunjangan bingkisan
Rp 90.000,00
Tunjangan seragam
Rp 250.000,00
Total penghasilan bruto setahun
Rp 54.840.000,00
Biaya jabatan 5 % Max Rp 1.296.000,00
( Rp 1.296.000,00)
Total penghasilan netto setahun
Rp 53.544.000,00
PTKP (WP)
(Rp 13.200.000,00)
Penghasilan Kena Pajak
Rp 40.344.000,00
Tabel 4.6 Contoh Perhitungan Gross Up: Penghasilan Kena Pajak Rp 40.344.000,00 masuk ke dalam lapisan kedua. Rumus
Perhitungan
Jumlah
{(PKP x 10% ) –
{(Rp 40.344.000,00 x 10% ) - Rp 3.093.777,00
Rp 1.250.000,00} / 0,90
Rp 1.250.000,00} / 0,90
Maka evaluasi perhitungan PPh pasal 21 sebelum dan sesudah perencanaan pajak untuk Bapak ”X” adalah sebagai berikut:
58
Tabel 4.7 Evalusi Perhitungan PPh pasal 21
Gaji setahun THR
Sebelum
Sesudah
Perencanaan Pajak
Perencanaan Pajak
(Rp)
(Rp)
Rp 42.000.000,00
Rp 42.000.000,00
Rp 3.500.000,00
Rp 3.500.000,00
Tunjangan makan
Rp 2.400.000,00
Tunjangan transport
Rp 3.600.000,00
Tunjangan kesehatan
Rp 3.000.000,00
Tunjangan bingkisan
Rp 90.000,00
Tunjangan seragam
Rp 250.000,00
Tunjangan pajak Total penghasilan bruto
Rp 3.093.777,00 Rp 45.500.000,00
Rp 57.933.777,00
( Rp 1.296.000,00 )
( Rp 1.296.000,00 )
Total penghasilan netto
Rp 44.204.000,00
Rp 56.637.777,00
PTKP
Rp 13.200.000,00
Rp 13.200.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 31.004.000,00
Rp 43.437.777,00
5 % x Rp 25.000.000,00
Rp 1.250.000,00
Rp 1.250.000,00
10 % x Rp 6.004.000,00
Rp 600.400,00
Biaya jabatan 5 %, max Rp 1.296.000,00
PPh pasal 21
59
10 % x Rp 18.437.777,00
Rp 1.843.777,00 Rp 1.850.400,00
Rp 3.093.777,00
Perkiraan penghematan PPh Badan, dari: Tunjangan makan ( Rp 2.400.000,00 x 30 % )
Rp 720.000,00
Tunjangan transport ( Rp 3.600.000,00 x 30 % )
Rp 1.080.000,00
Tunjangan kesehatan ( Rp 3000.000,00 x 30 % )
Rp 900.000,00
Tunjangan bingkisan ( Rp 90.000,00 x 30 % )
Rp 27.000,00
Tunjangan seragam ( Rp 250.000,00 x 30 % )
Rp 75.000,00
Tunjangan pajak ( Rp 3.093.777,00 x 30 % ) Selisih kurang PPh Badan
Rp 928.133,10 Rp 3.730.133,10
Selisih lebih PPh pasal 21 (Rp 3.093.777,00 - Rp 1.850.400,00 ) Penghematan pajak
( Rp 1.243.377,00 ) Rp 2.486.726,10
60
2. Biaya yang berkaitan dengan witholding tax. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, perusahaan menggunakan beberapa jasa dari pihak lain antara lain jasa pemeliharaan kendaraan, gedung dan inventaris. Oleh karena itu, perusahaan berkewajiban melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas pembayaran kepada pihak yang telah memberikan jasanya kepada perusahaan. Selama ini, atas jasa pemeliharaan inventaris dan kendaraan bermotor perusahaan telah melakukan pemotongan PPh pasal 23 dan telah menyetornya sebelum tanggal jatuh tempo yaitu tanggal 10 bulan berikutnya dan telah menyampaikan SPT masa PPh pasal 23 tersebut sebelum tanggal jatuh tempo yaitu tanggal 15 akhir masa pajak. Karena itu, perusahaan berhak untuk mengkreditkan PPh pasal 23 yang telah dipotong terhadap PPh Badannya yang terutang pada tahun pajak yang bersangkutan dan meminta kepada pihak pemotong dokumen bukti pemotongan PPh pasal 23 tersebut sesuai ketentuan agar dapat dikreditkan, karena hal ini merupakan bukti bahwa perusahaan telah melakukan pemotongan penyetoran dan penyampaian SPT massa PPh pasal 23 tersebut. Namun atas biaya pemeliharaan gedung, PT LAM tidak melakukan pemotongan PPh pasal 23. •
Biaya atas pemeliharaan gedung. Gedung merupakan salah satu aset perusahaan. Oleh karena itu,perusahaan
sering melakukan perawatan dan pemeliharaan untuk menjaga agar gedung dapat tetap digunakan sebaik mungkin. Atas biaya pemeliharaan gedung ini perusahaan tidak melakukan pemotongan PPh pasal 23 dikarenakan pihak yang memberikan jasa tidak bersedia memotong pajak, sehingga perusahaan yang harus menanggung pembayaran PPh pasal 23 atas jasa pemeliharaan gedung tersebut. PT LAM telah menyetor PPh pasal 23 yang ditanggungnya dan telah menyampaikan SPT massa PPh Pasal 23 tepat pada waktunya. 61
Perencanaan pajak yang dapat dilakukan adalah perusahaan sebaiknya membuat kontrak atas transaksi dengan pihak terkait dan mengupayakan untuk melakukan transaksi dengan perusahaan yang sudah memiliki NPWP/PKP, sehingga sudah mengerti hak dan kewajiban perpajakan. Apabila perusahaan tidak bersedia untuk memotong PPh Pasal 23 maka yang dapat dilakukan PT LAM adalah melakukan metode gross up atas nilai transaksi supaya nilai tersebut sudah termasuk pajak karena jika perusahaan membayar PPh pasal 23, PPh yang dibayar oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Tarif efektif PPh pasal 23 atas jasa pemeliharaan gedung adalah sesuai KEP -170/PJ/2002 tgl 28-03-2002 dengan tarif pemotongan 15% x 40 % dari penghasilan bruto. Evaluasi perhitungan dengan menggunakan metode gross up untuk transaksi yang berkaitan dengan withholding tax ( PPh Pasal 23 ).
62
Tabel 4.8 Evaluasi Metode Gross Up Transaksi Witholding Tax Tahun 2005 TAHUN 2005
Jasa pemeliharaan gedung
Sebelum
Setelah
Perencanaan Pajak
Perencanaan Pajak
(Rp)
( Rp)
Rp 30.605.894,00
Gross Up Jasa pemeliharaan gedung ( 6% ) 100/94 x Rp 30.605.894,00
Rp 32.559.462,00
PPh pasal 23 yang harus disetor Jasa pemeliharaan gedung ( 6 % )
Rp 1.836.354,00
Rp 1.953.568,00
Selisih kurang PPh Badan 30% x ( Rp32.559.462,00 - Rp30.605.894,00 )
Rp 586.070,00
Selisih lebih PPh pasal 23 ( Rp 1.953.568,00 - Rp 1.836.354,00 ) Penghematan beban pajak
( Rp 117.214,00 ) Rp 468.856,00
63
Tabel 4.9 Evaluasi Metode Gross Up Transaksi Witholding Tax Tahun 2006 TAHUN 2006
Jasa pemeliharaan gedung
Sebelum
Setelah
Perencanaan Pajak
Perencanaan Pajak
(Rp)
( Rp)
Rp 27.726.892,00
Gross Up Jasa pemeliharaan gedung ( 6% ) 100/94 x Rp 27.726.892,00
Rp 29.496.694,00
PPh pasal 23 yang harus disetor Jasa pemeliharaan gedung ( 6 % )
Rp 1.663.614,00
Rp 1.769.802,00
Selisih kurang PPh Badan 30% x ( Rp 29.496.694,00 – Rp 27.726.892,00 )
Rp 530.941,00
Selisih lebih PPh pasal 23 ( Rp 1.769.802,00 - Rp 1.663.614,00 ) Penghematan beban pajak
( Rp 106.188,00 ) Rp 424.753,00
64
Tabel 4.10 Evaluasi Metode Gross Up Transaksi Witholding Tax Tahun 2007 TAHUN 2007
Jasa pemeliharaan gedung
Sebelum
Setelah
Perencanaan Pajak
Perencanaan Pajak
(Rp)
( Rp)
Rp 52.739.150,00
Gross Up Jasa pemeliharaan gedung ( 6% ) 100/94 x Rp 27.726.892,00
Rp 56.105.479,00
PPh pasal 23 yang harus disetor Jasa pemeliharaan gedung ( 6 % )
Rp 3.164.349,00
Rp 3.366.329,00
Selisih kurang PPh Badan 30% x ( Rp 29.496.694,00 – Rp 27.726.892,00 )
Rp 1.009.899,00
Selisih lebih PPh pasal 23 ( Rp 1.769.802,00 - Rp 1.663.614,00 ) Penghematan beban pajak
( Rp 201.980,00 ) Rp 807.919, 00
3. Biaya perjalanan dinas. Biaya atas perjalanan dinas yang dikeluarkan perusahaan ini harus dikoreksi sebesar: - Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 210.105.000,00. - Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 246.581.000,00.
65
- Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 337.756.200,00. Hal ini dikarenakan dalam penentuan besarnya biaya ini tidak disertai dengan bukti-bukti yang cukup yang dapat membuktikan penggunaan biaya ini benar-benar digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan. Karena itu, perencanaan pajak yang dapat dilakukan adalah menyertakan bukti-bukti yang lengkap atas segala pengeluaran selama perjalanan dinas untuk membuktikan bahwa biaya ini dikeluarkan dalam rangka untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan. 4. Entertainment. Perusahaan melakukan koreksi fiskal positif atas biaya entertainment sebesar: -Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 75.489.050,00. - Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 83.278.984,00. - Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 85.461.270,00. Alasan dilakukan koreksi fiskal adalah karena perusahaan tidak membuat daftar nominatif sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa biaya tersebut benar-benar telah dikeluarkan dan ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memeliharan penghasilan. Agar biaya entertainment dapat menjadi biaya fiskal maka sebaiknya perusahaan melakukan perencanaan pajak dengan membuat daftar nominatif sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-27/PJ.22/1986 tgl 14-06-1986, isi dari daftar nominatif terdiri dari nomor urut, tanggal, nama tempat, alamat, jenis ”entertainment” dan jumlah ( Rp ) ”entertainment” yang diberikan serta relasi usaha yang diberikan ” entertainment” yang berisi nama, posisi, nama perusahaan dan jenis usaha.
66
5. Biaya surat kabar dan majalah. Biaya surat kabar dan majalah dikoreksi karena ternyata sebagian dari surat kabar maupun majalah yang dibeli perusahaan bersifat hiburan dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha. Biaya ini dikoreksi sebagian yaitu sebagai berikut: - Tahun 2005 sebesar Rp 1.256.000,00 dikoreksi menjadi Rp 628.000,00. - Tahun 2006 sebesar Rp 1.325.000,00 dikoreksi menjadi Rp 662.500,00. - Tahun 2007 sebesar Rp 1.412.600,00 dikoreksi menjadi Rp 706.300,00 Agar tidak dikoreksi, usaha yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan membeli surat kabar dan majalah yang ada kaitannya dengan bisnis perusahaan. Selain itu, sebaiknya perusahaan selalu meminta bukti atas pembeliaan surat kabar dan majalah yang didalamnya menjelaskan nama dan jenis surat kabar dan majalah yang dibeli, tujuannya agar dapat dibuktikan bahwa biaya tersebut benar-benar dikeluarkan untuk melakukan pembelian surat kabar dan majalah yang ada hubungannya dengan usaha perusahaan. 6. Biaya keamanan dan kebersihan. Biaya keamanan dan kebersihan ini dikoreksi karena tidak disertai dengan bukti yang jelas dan sah sehingga biaya ini tidak termasuk dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh. Jumlah yang dikoreksi adalah: -
Tahun 2005 dikoreksi sebesar Rp 5.124.000,00.
-
Tahun 2006 dikoreksi sebesar Rp 5.462.700,00.
-
Tahun 2007 dikoreksi sebesar Rp 6.576.100,00.
Untuk menghindari dikoreksi, maka perusahaan sebaiknya melengkapi biaya tersebut dengan bukti-bukti pendukung seperti kwitansi pembayaran dan surat dari RT.
67
Bukti ini dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa biaya ini benar-benar dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan.
IV.3. Rekonsiliasi Fiskal Sebelum dan Sesudah Perencanaan Pajak. Rekonsiliasi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan antara penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal, karena laporan komersial mengacu pada PSAK dimana semua biaya komesial dapat mengurangi penghasilan bruto perusahaan sedangkan laporan fiskal mengacu pada peraturan perpajakan dimana tidak semua biaya komersial dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Atas biaya yang tidak dapat dikurangkan ini harus dilakukan koreksi fiskal. Koreksi fiskal pada dasarnya dibagi 2, yaitu koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Koreksi fiskal positif atas biaya komersial akan menyebabkan besarnya laba kena pajak yang pada akhirnya PPh Badan bertambah besar sedangkan koreksi fiskal negatif atas biaya komersial akan menyebabkan berkurangnya laba kena pajak dan PPh Badan. Perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan yang maksimal adalah dengan meminimalkan koreksi fiskal positif atas biaya-biaya komersial dan memaksimalkan koreksi fiskal negatif. Dalam rekonsiliasi fiskal sebelum dan sesudah perencanaan pajak akan terlihat perbedaan antara laba komersial dengan laba fiskal.
68
69
70
71
72
73
74
Dari rekonsiliasi perhitungan laba rugi komersial dan fiskal diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan dilakukannya perencanaan pajak atas biaya-biaya komersial maka perusahaan memperoleh penghematan PPh Badan sebesar 31.13% pada tahun 2005, 31.83% pada tahun 2006 dan 31.84% pada tahun 2007 sehingga penghasilan kena pajak menurun yaitu : •
Tahun
2005
menurun
dari
Rp
2.248.880.022,00
menjadi
Rp
dari
Rp
2.430.268.999,00
menjadi
Rp
dari
Rp
2.834.272.103,00
menjadi
Rp
1.566.858.272,00. •
Tahun
2006
menurun
1.675.211.245,00. •
Tahun
2007
menurun
1.950.399.367,00. Berikut adalah penjelasan atas beberapa usulan perencanaan pajak yang telah dilakukan: 1. biaya perjalanan dinas. Penentuan besarnya biaya ini tidak disertai dengan bukti-bukti yang cukup yang dapat membuktikan penggunaan biaya ini benar-benar digunakan untuk kegiatan usaha perusahaan. Karena itu, perencanaan pajak yang dapat dilakukan adalah menyertakan bukti-bukti yang lengkap atas segala pengeluaran selama perjalanan dinas. Besarnya biaya perjalanan dinas ini adalah: •
tahun 2005 sebesar Rp 210.105.000,00
•
tahun 2006 sebesar Rp 246.581.000,00
•
tahun 2007 sebesar Rp 337.756.200,00
75
2. biaya pemeliharaan gedung. Perusahaan menggunakan jasa pemeliharaan gedung. Atas biaya ini perusahaan harus memotongnya sesuai dengan PPh pasal 23, namun pihak pemberi jasa tidak bersedia memotong pajak. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan perencanaan pajak yaitu dengan menggunakan metode gross up, dimana biaya ini dapat menambah biaya jasa pemeliharaan gedung menjadi: •
tahun 2005 dari Rp 30.605.894,00 digross up sebesar Rp 1.953.568,00 menjadi Rp 32.559.462,00.
•
tahun 2006 dari Rp 27.726.892,00 digross up sebesar Rp 1.769.802,00 menjadi Rp 29.496.694,00.
•
tahun 2007 dari Rp 52.739.150,00 digross up sebesar Rp 3.366.329,00 menjadi Rp 56.105.479,00.
3. entertainment. Perencanaan pajak yang dapat dilakukan dalam biaya entertainment adalah dengan membuat daftar nominatif atas transaksi yang terjadi berkaitan dengan biaya entertainment. Besarnya biaya tersebut: •
tahun 2005 sebesar Rp 75.489.050,00.
•
tahun 2006 sebesar Rp 83.278.984,00.
•
tahun 2007 sebesar Rp 85.461.270,00.
4. biaya surat kabar dan majalah. Biaya ini dikoreksi karena sebagian pembelian surat kabar dan majalah bersifat liburan. Perencanaan pajaknya adalah dengan melakukan pembelian hanya untuk
76
surat kabar dan majalah yang ada kaitannya dengan bisnis perusahaan serta melengkapi bukti-bukti pembelian. Besarnya biaya surat kabar dan majalah: •
tahun 2005 sebesar Rp 628.000,00.
•
tahun 2006 sebesar Rp 662.500,00.
•
tahun 2007 sebesar Rp 706.300,00.
5. biaya keamanan dan kebersihan. Karena tidak didukung oleh bukti-bukti lengkap seperti kwitansi pembayaran dari RT, maka biaya keamanan dan kebersihan ini harus dikoreksi. Supaya tidak dikoreksi, maka perusahaan sebaiknya melengkapi biaya tersebut dengan bukti pendukung. Besarnya biaya keamanan dan kebersihan: •
tahun 2005 sebesar Rp 5.124.000,00.
•
Tahun 2006 sebesar Rp 5.462.700,00.
•
Tahun 2007 sebesar Rp 6.576.100,00.
6. biaya pengobatan dan kesehatan. Biaya pengobatan bagi karyawan merupakan natura sehingga tidak dapat digunakan sebagai deductible expense. Perencanaan pajak yang dapat digunakan adalah dengan mengganti biaya tersebut menjadi tunjangan kesehatan. Besarnya biaya tersebut: •
tahun 2005 sebesar Rp 84.568.200,00.
•
tahun 2006 sebesar Rp 80.522.150,00.
•
tahun 2007 sebesar Rp 85.456.800,00.
77
7. biaya bingkisan pemberian bingkisan bukan merupakan biaya fiskal maka sebaiknya perusahaan memberikan tunjangan bingkisan untuk mengganti pemberian bingkisan, karena pemberian dalam bentuk tunjangan dapat dijadikan biaya fiskal dan objek PPh pasal 21. Besarnya tunjangan bingkisan: •
tahun 2005 sebesar Rp 78.675.390,00.
•
tahun 2006 sebesar Rp 82.746.840,00.
•
tahun 2007 sebesar Rp 86.726.283,00.
8. biaya seragam. Tunjangan seragam merupakan perencanaan pajak yang dapat dilakukan untuk biaya seragam yang dikeluarkan oleh perusahaan karena pemberian dalam bentuk tunjangan dapat menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan. Besarnya tunjangan seragam: •
tahun 2005 sebesar Rp 42.500.000,00.
•
tahun 2006 sebesar Rp 56.248.500,00.
•
tahun 2007 sebesar Rp 59.576.942,00
9. PPh 21 karyawan. Perusahaan menanggung PPh pasal 21 karyawannya. Oleh karena itu harus dikoreksi positif. Agar biaya ini dapat digunakan sebagai deductible expense maka perusahaan dapat melakukan perencanaan pajak dengan cara mengganti angsuran tersebut menjadi tunjangan pajak bagi para karyawannya. Dengan adanya tunjangan ini maka penghasilan karyawan akan semakin besar, dan
78
perusahaan dapat menggunakan biaya ini sebagai pengurang penghasilan. Besarnya tunjangan pajak adalah: •
Tahun 2005 sebesar Rp 182.978.542,00.
•
Tahun 2006 sebesar Rp 197.785.278,00.
•
Tahun 2007 sebesar Rp 218.246.512,00.
79