44
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NASIONALISASI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING
2.1. Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing 2.1.1. Pengertian Nasionalisasi Nasionalisasi sering disamakan dengan konfikasi dan onteigening dan pencabutan hak. Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian “Konfiskasi”, “Onteigening” dan “Pencabutan Hak”. L. Erades memberikan arti nasionalisasi, yakni suatu peraturan dengan mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te godegen), bahwa hakhak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada negara.1 Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa. “Nasionalisasi merupakan refers to the process of a government taking control of a company or industry, which can occur for a variety of reasons. When nationalization occurs, the former owners of the companies may or may not be compensated for their loss in net worth and potential income. Nationalization is most common in developing countries subject to frequent leadership and regime changes. In these instances, nationalization is often a way for a government to expand its economic resources and power. The opposite of nationalization is privatization, when government-owned companies are spun off into the private business sector.” 2
1.
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia, Penerbitan Universitas, Jakarta, 1960, hal. 6 dikutip dari L. Erades, 1954. Het rechseffecct van nationaliteit maatregellen genomen door vreemde staten, Mededelingen van de Nederlandse Vereniging voor International recht, Nederland, hal 32. 2.
Investopedia, “Nationalization”, URL: http://www.investopedia.com/terms/n/nationalization.asp, diakses pada tanggal 16 Maret 2015.
44
45
Nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak dan Onteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada pencabutan hak dan onteigening pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”. Sementara itu jika tidak disertai dengan ganti rugi maka dia dapat disebut dengan "konfiskasi”. Konfiskasi ini mirip dengan pencabutan hak (semacam onteigening), tetapi dengan corak khusus tanpa ganti rugi. Di Indonesia pada masa kabinet Karya Republik Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958. Dalam istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “Confiscatie”. Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn mengemukakan pendapatnya bahwa, “There is said to be nationalisation principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the social or economie structure of a country”, sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of art”, tetapi digunakan untuk menunjuk pada expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to strengthen, a nationally controlled industry. Nationalization differ in its scope and extent rather than in its judicial nature from other types of expropriation. 3
3.
Gouw Giok Siong, loc.cit, dikutip dari Wortley, 1980, The Foreign Investment in Indonesia, 1st, Gunung Agung, Singapore, hal. 8.
46
Pelaksanaan nasionalisasi oleh suatu negara terhadap hak milik atau bendabenda yang berkaitan dengan suatu perusahaan asing di negara yang hendak melakukan
tindakan
hukum
nasionalisasi
harus
memperhatikan
prinsip
“teritorialiteit”. Artinya Objek yang akan di nasionaliasasi berada di dalam batasbatas teritorial negara yang melakukan nasionalisasi. Prinsip tertitorialiteit pada dasarnya telah dilakukan oleh Indonesia ketika menasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda di Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 86 Tahun 1958, bahwa “perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.” 2.1.2. Tujuan Dan Manfaat Nasionalisasi Apabila dikaji difinisi diatas, ada dua manfaat dari konsep Nasionalisasi: 1. Mendapatkan keuntungan; dan 2. Pengalihan kontrol terhadap jalannya perusahaan.4 Melihat dari pengertian diatas dari tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, kita dapat menarik tujuan dari penyelenggaraan Nasionalisasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing, antara lain:
4.
a.
Meningkatkan ekonomi nasional;
b.
Menyelamatkan Penanam Modal Dalam Negeri;
c.
Menciptakan iklim investasi yang kondusif;
d.
Meningkatkan kepastian hukum terhadap investor asing;
Salim HS I, op.cit, hal. 31.
47
e.
Mendorong pengembangan ekonomi nasional;
f.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Dengan demikian tindakan Nasionalisasi ini bertujuan untuk memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan dan pertahanan negara yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan investor asing.
2.2. Sejarah Nasionalisasi Perusahaan Penanaman Modal Asing Secara historis penanaman modal asing dan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan penanaman modal asing di Indonesia sebenarnya bukan merupakan fenomena yang baru mengingat modal asing sudah hadir di Indonesia sejak zaman kolonial dahulu. Namun tentunya kehadiran penanaman modal asing pada masa setelah kemerdekaan, karena tujuan dari penanaman modal asing di masa kolonial tentu didedikasikan untuk kepentingan pihak penjajah dan bukan untuk kesejahterahan bangsa indonesia. 5 Pada tahun 1949 adanya penandatanganan perjanjian pemulihan kedaulatan Indonesia pada tanggal 2 November 1949 telah membuka jalan bagi bangsa Indoensia untuk menghidupkan kembali investasi asing yang sempat terbengkalai hampir 10 tahun akibat Perang Dunia II dan perjuangan mempertahankan kemerdekaann. Sesuai dengan isi perjanjian tersebut musalnya dibidang investasi yang diwajibkan kepada indonseia antara lain sebagai berikut:
5.
David Kairupan, op.cit, hal. 2.
48
a. Menjamin berlangsungnya iklim investasi di indonesia menghendaki sebagaimana sebelum tahun 1942 termasuk pengakuan dan pemulihan hak-hak investor asing. b. Dalam
hal
kepentingan
nasional,
Indonesia
menghendaki
diberlakukannya tindakan nasionalisasi, maka tindakan tersebut harus dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi yang layak. c. Diperbolehkan adanya penanaman modal baru di Indonesia.6 Ketika
kembali
kepada
negara
kesatuan
pada
tahun
1950
dan
memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, mulai dilakukan evaluasi terhadap peranan penanaman modal asing di Indonesia pada waktu-waktu sebelumnya. Terhadap evaluasi tersebut, memunculkan berbagai mosi di DPR yang menghendaki penghapusan kewajiban-kewajiban Indonesia di dibidang penanaman modal asing sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pemulihan kemerdekaan tahun 1949. Meskipun mosi-mosi tersebut dapat diatasi, namun sentimen anti penanaman modal asing tampak makin kental. Disamping itu dorongan untuk menalukan tindakan nasionalisasi juga cukup besar. Pada Kabinet Sukiman tahun 1951, serangkai kebijakan yang anti terhadap modal asing mulai diterapkan, yaitu sebagai berikut: a. Mengimbangi modal asing mulai dengan modal dalam negeri yang diseponsori leh negara dengan mengeluarkan peraturan yang disebut “Rencana Urgensi Industrialisasi”.
6.
Ana Rokhmatussa‟dyah, dan Suratman, op.cit, hal. 40.
49
b. Memperluas hak eksklusif para pribumi dalam melakukan impor atau barang-barang tertentu. c. Memberlakukan hak-hak eksklusif lainnya bagi golongan pribumi secara diskriminatif. Sayang sekali kebijakan di atas tidak dapat mengangkat kaum pribumi secara keseluruhan, tetapi hanya menguntungkan sebagian masyarakat karena adanya praktik korupsi dan nepotisme dikalangan pemerintah. Di samping itu, kebijakan tersebut menemui kegagalan berbagai faktor, seperti banyak bermunculan perusahaan “Bodong”, munculnya golongan menengah baru yang diharapkan tidak tercapai, terjadinya inefisiensi secara administratif, tidak berkembangnya kemampuan bisnis penguasa pribumi, serta gagalnya proses alih teknologi. Sementara itu, sentimen anti modal asing menimbulkan berbagai kerusuhan seperti kerusuhan Surabaya dan Tanjung Morawa tahun 1953. Kerusuhan-kerusuhan tersebut tidak ditangani dengan baik, sehingga sangat merugikan investasi asing, pemerintak pada saar itu ternyata tidak dapat menegakkan hukum dengan baik.7 Ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo berkuasa (1953-1955), dengan indonesianisasi dalam kegiatan bisnis, kegiatan ini berkembang terus, termasuk dengan memberikan beberapa faasilitas-fasilitas khususnya bagi kaum pribumi. Pada Kabinet Burhanuddin Harahap
(1955-1956), pemerintah mulai
melakukan seringkaian tindakan untuk memulihkan kepercayaan asing dalam rangka penanaman modal. Serangkaian kebijakan yang ditempuh untuk mencapai
7.
Ibid, hal. 42.
50
tujuan tersebut dengan menurunkan harga minyak dan barang-barang impor, menyaring importir pribumi. Kabinet Burhanuddin diganti dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang memenangkan pemilu 1955. Pada tahun 1958 dengan mempertimbangkan
pentingnya
investasi
asing
di
Indoensia,
maka
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 78 Tahun 1958). UU ini sejalan dengan sepirit yang menjiwai perjuangan kemerdekaan yang masih membara ketika itu, UU inipun sangat kental dengan semangat kebangsaan.8 Dalam UU No. 78 Tahun 1958 debedakan secara tajam antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional berikut bidang-bidang yang diperbolehkan untuk diusahakan dan adanya penawaran berbagai skema insentif bagi investor asing seperti: a. Pengurangan pajak impor, b. Pengecualian atas materai (stamp duites), c. Pencegahan pajak berganda, d. Jaminan atas pengalihan keuntungan dan modal, e. Diberikannya hak-hak atas tanah kepada investor asing, dan f. Jaminan tidak akan dilakukannya tindakan nasionalisasi selama waktu 20-30 tahun. Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada investor asing hanya mencakup kewajiban untuk mendidik dan memperkerjakan tenaga seta sesedikit
8.
Putu Sudarma Sumadi, 2008, Pengantar Hukum Investasi, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 12.
51
mungkin menggunakan tenaga kerja asing dari segi substansi, isi Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 78 Tahun 1958. Meskipun memiliki perundang-undangan yang memberikan banyak fasilitas terhadap investor asing, namun dalam kenyataannya pemerintah tetap melakukan tindakan nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda yang semula sudah disita. Tindakan nasionalisasi ini ialah upaya memasukan spirit nasionalis dengan dilanjutkan lagi berkenaan melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi, yang jiwanya bertentangan dengan dengan UU Penanaman Modal Tahun 1958.9 Bagi investor asing momen-momen yang terjadi pada tahun 1985 mengandung dua makna yaitu kebangkitan kembali dan awal kebangkrutan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 berarti investasi asing memperoleh kedudukan yang kokoh pada era kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, tetapi dengan adanya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 investor asing tidak dapat berkutik, karena ancaman nasionalisasi merupakan momok yang sangat menakutkan. Kebangkrutan investasi asing pada akhirnya memang menjadi kenyataan setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959.
9.
Ana Rokhmatussa‟dyah, dan Suratman, op.cit, hal. 44.
52
Alasan terpenting yang digunakan untuk membekukan tersebut adalah bahwa penanaman modal asing merupakan penghisapam atas manusia dan menghambat revolusi di Indonesia.10 Catatan sejarah dalam rentan waktu dari tahun 1511 sampai sekarang memperlihatkan bahwa hampir setiap jengkal bumi busantara ini sudah dijamaah oleh investasi, yang bertujuan mengubah kekayaan alam (kekuatan ekonomi potensial) menjadi kekuatan ekonomi riil, pada akhirnya tampak lebih menonjol kiprah penanaman modal asing (real dan direct invesment) sebagai bentuk dan sarana investasi. Berbagai kepustakaan sesuangguhnya telah berupaya mengungkap bahwa indonesia juga memiliki catatan mengenai nasionalisasi perusahaan asing dan sarana investasi lainnya yang dapat memperkaya pandangan dan pengetahuan bahwa wacana mengenai nasionalisasi perusahaan asing yang berada di Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1967, diberlakukanlah undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Pada masa tahun 1967 pemerintah banyak melakukan langkah-langkah insentif di bidang perpajakan, upaya untuk menarik investor terus dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut: a. Memperkenanakan pengelolaan perusahaan oleh personel asing. b. Menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan mata uang yang dikehendaki.
10.
Putu Sudarma Sumadi, op.cit, hal. 12.
53
c. Jaminan untuk tidak nasionalisasi kecuali dalam keadaan khusus dan dengan kompensasi yang layak, efektif dan segera. UU Penamaman Modal Asing Pasal 21 menentukan bahwa “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian”. Namun dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal Asing, pemerintah dapat melakukan tindakan nasionalisasi dengan wajib memberikankompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas-asas hukum internasional yang berlaku. Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diakibatkan oleh perilaku bisnis yang kurang bertanggung jawab yaitu berperilaku buruk dalam menjaga kekuatan perekonomian Indonesia. Krisis tersebut telah mengubah keadaan dari krisis ekonomi menjadi krisis kepercayaan. Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah membuat program pembangunan untuk meningkatkan iklim investasi di indonesia, seperti program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2003-2004 dan dilanjutkan prorgam tersebut sampai 2009. Dalam rangka pemenuhan program pembangunan di bidang investasi tersebut, pada tahun 2007, pemerintah telah mengesahkan dan mengundangkan undang-undang di bidang penanaman modal yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
54
Pengaturan ketentuan nasionalisasi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, ada satu pasal yang mengatur tentang nasionalisasi yaitu Pasal 7 ayat (1). Ketentuan ini berkaitan dengan kewenangan Pemerintah untuk tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Walaupun dalam ketentuan ini Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi dan divestasi modal, namun dalam ketentuan ayat (2) ditegaskan bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan masionalisasi
atau
pengambilalihan
hak
kepemilikan,
pemerintah
akan
memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.11 Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian hukum demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi, dan alasan politis lainnya dapat melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini menjadikan problematika diseputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke negara penerima modal asing.
11.
Salim HS I, 2010, loc.cit, hlm. 110.
55
2.3. Penanaman Modal Asing 2.3.1. Pengertian Penanaman Modal Asing Untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan termitologi penanaman modal (penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing) dalam UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 (UUPM) yang mengganti UU yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diganti dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1968, maka kiranya diuraikan apa yang dimaksud dengan “modal” (capital) dan “penanaman modal” (investment) dalam konteks penanaman modal. pemahaman atas kerangka konsepsional sangat penting untuk mengetahui kerangka yuridis pengaturan penanaman modal di indonesia. “Penanaman Modal” diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPM diartikan sebagai: “segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa penanam modal dalam negeri yaitu: “Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal dalam begeri dengan menggunakan nodal dalam negeri”. Adapun angka 3 disebutkan, bahwa penanaman modal asing yaitu “Kegiatan menanam modal usaha untuk melakukan usaha di wilayah negara
56
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal asing, baik yang menggunakan asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanamn modal dalam negeri”. Berdasarkan uraian diatas maka jelas yang dimaksud dengan penanaman modal khususnya PMA (foreign ivesment) tidak berarti modal tersebut berasal dari luar negara semata, melainkan dapat juga yang sifatnya patungan (joint venture), di mana terdapat penggabungan antara modal yang sumbernya berasal dari luar negeri (foreign capital) dan modal yang sumbernya berasal dari dalam negeri (domestic capital).12 Lebih lanjut Pasal 1 angka 4 UU Penanaman Modal mengatur kerangka konseptual dari “penanam modal” sebagai perseroan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal baik PMDN maupun PMA. Yang menarik dari definisi penanaman modal diatas ternyata UU Penanaman Modal mengartikan penanaman modal tersebut perseorangan atau badan usaha (business entity), dan tidak mencakupbadan yang non-usaha seperti yayasan (foundation). Padahal dalam
kenyataannya
suatu
badan
non-usaha
(non-pprofit
organisation
organisation atau non-commercial entity) dapat saja melakukan penyertaan modal, contohnya yayasan (foundation) dan dana pensiun (pension fund). Terminologi pananaman modal dalam UU Penanaman Modal juga menyebutkan secara tegas bahwa negara sebagai suatu badan hukum juga dapat menjadi investor atau penanam modal sebagaimana dilakukan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan yang tidak berstatus BUMN tetapi sebagian
12.
David Kairupan, 2013, op.cit, hal. 21.
57
sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan uraian diatas maka seharusnya definisi “penanam modal” dalam UUPM juga mencakup badan usaha non-usaha dan negara sebagai suatu badan hukum sehingga seharusnya yang dimaksudkan penanam modal adalah perseorangan atau badan hukum tertentu yang diperbolehkan melakukan penanaman modal berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, baik berupa penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing.13 Kerangka konseptual “penanam modal” dalam UUPM sebagaimana disebutkan di atas sebagaimananya juga tidak konsisten dengan kerangka konsepsional “penanaman modal dalam negeri” (domestic investor) dan “penanaman modal asing (foreign invest) yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6. Penanam modal dalam negeri diartikan sebagai perseorangan warga neara Indonesia, badan usaha indonesia, negara Republik Indonesia atau dareah yang melakukan penanaman modal di wiayah Negara Republik Indonesia, sedangkan “penanam modal asing” diartikan sebagai perseorangan warga negara asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia. Jelas terminologi “penanam modal dalam negeri” dan “penanam modal asing”, sebagaimana disebut di atas tidak hanya mencakup perseorangan dan badan usaha sebagaimana didefinisikan dalam terminologi “penanam modal”, tetapi juga mencakup negara atau daerah sebagaibadan hukum dalam hal ini tentunya diwakilkan oleh pemerintah baik dalam konteksnya Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Daerah atau Pemerintah Asing. Namun demikian kerangka
13.
Ibid, hal. 23.
58
konseptual “penanam modal dalam negeri” dan penanam modal asing” tidak secara tegas mengatur bahwa penanm modal mencakup juga badan usaha nonusaha lainnya seperti yayasan.14 Mempertegas pengertian apa yang dimasudkan dengan penanaman modal, Todung Mulya Lubis mengemukakan pengertian dari penanaman modal bahwa kalau dibaca ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1967 jo. UU Nomor 11 Tahun 1970 tentang PMA, maka pengertian penanman modal khususnya modal asing agaknya berat ke equity, suatu fresh capital yang datang dari luar negeri.15 Pengertian tersebut terlalu sempit sehingga diakuinya pula termasuk juga equiqment, patent, dan teknologi baru. Dalam ketentuan Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi disebutkan bahwa: “Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perukasaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut”.16
Pengertian lain tentang penanaman modal diberikan oleh Organization European Economic Coorporation (OEEC) yaitu “direct investment, is mean acquisition of sufficient interest in an undertaking to ensure its control by the investor”. Kesimpulan yang dapat ditarik dari perumusan tersebut adalah
14.
15.
16.
Ibid, hal.24. T. Mulya Lubis, 1992, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 23. Ibid.
59
penanaman modal diberi keleluasaan pengusahaan dan penyelenggaraan pimpinan dalam perusahaan di mana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penanaman modal mempunyai penguasaan atas modal. Pengertian ini terlalu menitikberatkan pada penguasaan perusahaan dan tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penanaman modal ini dalam bentuk portofolio investment. Lain lagi, pengertian yang diberikan oleh Andean Pact yang menyangkut Direct Foreigen Investment yaitu sebagai berikut: Contribution coming from abroad, owned by individuals or concerns, to the capital of enterprise must be in freely conbertible currencies, industrial plants, machinery or equiqment with the right to re-export their value and to remit profit aboard. Also concidered as direct foreign investments are those investments in local currency originating from re-cources which have the right to be remitted aboard.
Arti penanaman modal menurut Andean Pact yang terdapat dalam Pasal 1 The Caetagena Agreement tersebut, pada pokoknya menekankan kepada pengertian modal asing yang dilakukan para penanam modal asing secara perorangan. Ismail Suny, lebih menegaskan lagi bahwa kiranya lebih tepat apabila dibedakan modal asing dalam bentuk penanaman dan modal asing dalam bentuk kredit.17 Perumusan sebagaimana yang di atas tentang apa yang dimaksudkan dengan penanaman modal, khususnya modal asing pada prinsipnya mengandung beberapa unsur pokok yakni:
17.
Ismail Suny dan Rudioro Rochmat, 1967, Tinjauan dan Pembahasan UUMPA dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 36.
60
1) Penanaman modal secara langsung (direct investment) 2) Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia. 3) Resiko yang lansung ditanggung oleh pemilik modal. Dengan demikian, pengertian penanaman modal, khususnya penanaman modal asing sesuai dengan rumusan Pasal 1 tersebut hanyalah bersangkutan paut dengan penanaman modal yang dilaksanakan secara langsung (direct invesment), di mana pemilik modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan tanpa ikut serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan manajemen perusahaan tersebut. Perbedaan penting diketahui agar bisa dibedakan secara tegas, yang termasuk dalam kategori penanam modal, khususnya asing dan yang bukan sebagai penanaman modal asing meskipun di dalamnya terdapat unsur asing.18 Perbedaan antara penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri jelas dikaitkan dengan pihak yang melakukan penenaman modal dan asal dari modal tersebut. Modal tidak selalu berbentuk uang, tetapi dapat juga dalam berbentuk lain yang bikan uang sepanjang mempunyai nilai ekonomis. “Modal Asing” dalam Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal didefinisikan sebagai modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal mengatur bahwa “penanaman modal asing wajib dalam bentuk
18.
Aminuddin Ilmar, 2010, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Cet. IV, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 54.
61
perseroan terbatas (limited liability company) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”. Hal ini mengakibatkan perusahaan yang di dalamnya terdapat unsur modal asing memiliki status sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) untuk membedakannya dengan perusahaan yang berstatus penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau juga perusahaan yang tidak berstatus PMA ataupun PMDN atau yang sering dikenal sebagai swata nasional atau perseroan terbatas biasa (PT Biasa). 19 Apabila ditinjau lebih jauh sebenarnya pemaknaan “modal asing” dalam Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal tidak terlalu tepat, karena terminologi “modal asing” mencakup juga modal yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh asing atau dengan kata lain modal yang dimiliki oleh perusahaan PMA. Modal asing yang telah diinvestasikan secara langsung ke suatu perusahaan PMA memang merupakan penanaman modal asing, dan karenanya perusahaan PMA tersebut menerbitkan saham kepada pemodal asing yang bersangkutan. Uang yang diinvestasikan oleh pemodal asing pada perusahaan PMA tersebut secara hukum dan akutansi merupakan aset atau aktiva dari perusahaan PMA dalam bentuk cash dan tidak dapat dikatakan lagi sebagai aset atau aktiva dari pemodal asing tersebut. Hubungan antara pernyertaan modal atau investasi di perusahaan PMA tersebut, di mana saham itulah yang menjadi aset atau aktiva dari penanaman modal asing tersebut. Apabila uang tersebut kemudian digunakan oleh perusahaan PMA
19.
David Kairupan, op.cit, hal. 25.
62
tersebut sebagai penyertaan modal pada perusahaan lain, maka sebenarnya penyertaan modal di perusahaan lain yang dilakukan oleh perusahaan PMA tidak dapat dikategorikan sebagai penanaman modal asing. Penyertaan modal perusahan PMA tersebut pada perusahaan lain dikategorikan sebagai penanaman modal asing, maka sebaiknya ditentukan nilai persentase penyertaan modal perusahaan PMA tersebut pada perusahaan lain sangat kecil, maka seharusnya perusahaan lain tersebut tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai “modal asing”.20 Kejanggalan dari kerangka konseptual “modal asing” sebagaimana diaur dalam Pasal 1 angka (8) UUPM dapat diuraikan lebih jelas apabia diilustrasikan dengan diagram dan contoh kasus sebagai berikut: Permodalan Dalam Negeri PT B
Pemodal Asing A Limited 75%
25%
PT C (PMA)
90%
10%
PT D (PMA) PT G (PMA) 90%
PT E (PT Biasa)
61.
Ibid, hal 26.
Jual Beli 10% Saham di PT G
10% 10%
PT F (PMA)
63
Diagram di atas digambarkan contoh di mana PT A Limited sebuah perushaan asing yang didirikan di Singapura bersama partner lokalnya PT B, sebuah perusahaan Indonesia secara patungan mendirikan sebuah perusahaan di Indonesia dengan nama PT C. PT A Limited memegang kepemilikan saham di PT C sebesar 75%, sedangkan PT B memiliki saham 25% di PT C. Dengan demikian dalam struktur permodalan PT C terdapat modal asing yang berasal dari A Limited dan sebagai konsekuensinya PT C berstatus perusahaan PMA. Jika PT C selanjutnya bersama dengan salah satu pemegang sahamnya, yaitu PT B, mendirikan PT D denga struktur permodalan yaitu PT C memiliki saham sebesar 10%, sedangkan PT B sebesar 90%, maka berdasarkan UUPM status PT D menjadi PMA, walaupun jumlah kepemilikan modal PT C selaku perusahaan PMA hanya 10% dibandingkan dengan PT B selaku partner dalam kepemilikan saham di PT D. Apabila dalam perkembangannya PT D berpatungan dengan PT E, sebuah perusahaan yang berstatus PT non PMA dengan cara membeli saham PT G yang sebelumnya dimiliki oleh PT F, maka berdasarkan pemahaman Pasal 1 angka (8) UUPM juncto Pasal 23 Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Nomor 2009, status PT G harus berubah menjadi Perusahaan PMA. Perubahan status PT G menjadi perusahaan PMA tetap harus dilakukan walaupun penyertaan modal PT D selaku perusahaan PMA hanya 10% dibandingkan penyertaan modal PT E selaku pemegang saham lainnya di PT G.21 Berdasarkan contoh kasus di atas, jelas menjadi semakin absurd pengertian “modal”asing apabila dikaitkan deengan “status perusahaan PMA”, karena starus
21.
Ibid, hal. 28.
64
perusahaan PMA dapat terjadi walaupun sebenarnya penyertaan modal dari pihak asing secara langsung di perusahaan tersebut sudah tidak ada. pemeberian status perusahaan PMA pada sebuah perusahaan terkesan lebih menekankan formalitas ketimbang substansi dari eksistensi dan besarnya modal pihak asing di dalam perusahaan tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan misleading dalam pendataan jumlah modal asing apabila dikaitkan dengan jumlah Perusahaan PMA di Indonesia. Pemberian status terkesan lebih menegagkan formalitas ketimbang substasi dari eksistensi dan besarnya modal pihak asing dalam perusahaan tersebut. Dianalisis lebih lanjut pengertian “penanaman modal asing” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UUPM, sebenarnya tidak memberikan penjelasan bahwa apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing adalah kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh badan usaha Indonesia yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh pihak asing, melainkan oleh penanaman modal asing sepenuhnya atau yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri. Dengan kata lain, penanaman modal asing sebenarnya adalah penanaman modal yang dilakukan oleh pihak asing (pemodal asing) atau pihak asing yang berpatungan dengan pihak lokal (penanam modal asing), di mana penanaman modal asing itu bersifat langsung dan tidak mencakup penanaman modal asing yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan usaha Indonesia.22
22.
Ibid, hal. 29.
65
2.3.2. Tujuan Dan Manfaat Penanaman Modal Asing Keberadaan investasi yang ditananamlam oleh investor, terutama modal asing, ternyata memberikan dampak positif di dalam pembangunan nasional. Adi Harsono mengemukakan manfaat dari adanya investasi asing atau perusahaan asing, yaitu sebagai berikut: 1. Masalah gaji, perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji rata-rata nasional. 2. Perusahaan
asing
menciptakan
lapangan
pekerjaan
lebih
cepat
dibandingkan perusahaan domestik sejenis. 3. Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang pendidikan, pelatihan dan di bidang penelitian (R&D) di negara di mana mereka menanamkan modalnya. 4. Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik.23 Jhon W. Head juga mengemukakan delapan manfaat investasi, khususnya PMA. Kedelapan keuntungan PMA itu adalah sebagai berikut: 1. Menciptakan lowongan kerja bagi penduduk nega tuan rumah sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka dan standar hidup mereka;
23.
H. Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta2010, (selanjutnya disingkat Salim HS III),hal 112, dikutip dari Jhon W. Head, 2002, Developing Countries and the Frame work for Negotiations on Foreign Direct Investment in The World Trade Organitation, U.J.Intll.L, hal. 89.
66
2. Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah, sehingga mereka dapat berbagai dari pendapatan perusahaanperusahaan baru; 3. Meningkatkan
ekspor
dari
negara
tuan
rumah,
mendatangkan
penghasilan tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan untuk kepentingan kependudukannya; 4. Menghasilkan pengaihan pelatihan teknis dan pengetahuan, yang mana dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain; 5. Memperluas
potensi
swasembada
negara
tuan
rumah
dengan
memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor; 6. Menghasilkan pendapatan pajak yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk dari negara tuan rumah. 7. Membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam da sumber daya manusia menjadi lebih baik pemanfaatannya daripada semula.24 Berdasarkan teori pertumbuhan modal yang dikemukakan oleh Adam Smith, yang berpendapat bahwa perkembangan ekonomi memerlukan PMA. Pembagian kerja hanya bisa dilakukan setelah adanya akumulasi modal (capital accumulation). Namun pengemban selanjutnya dari teori pertumbuhan modal ini adalah David Ricardo dan Oentoeng Soeropati. Ia mengemukakan sebagai berikut:
24.
Ibid, hal. 113.
67
“Pemerintah tidak boleh mencampuri kegiatan perdagangan dan investasi dan harus selalu mengupayakan pasar yang bebas. Mekasnisme pasarlah yang seharusnya menentukan bagaimana kinerja investasi asing dan kebebasan aliran akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Kebebasan persaingan seluas-luasnya antara pelaku bisnis domestik dan asing agar pasar bebas benar-benar efisien. Investasi dianggap sebagai suatu kegiatan pembentukan modal (capital formation). Artinya bahwa fungsi laba dalam perekonomian di mana pemerintah tidak menjadi investor atau partisipasipan penting. Investasi asing dapat dianggap sebagai pembentukan modal oleh perusahaan ke suatu negara asing”.25
Apablia kita analisis pandangan ini, keberadaan dari investasi asing di dalam suatu negara akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan negara penerima investasi. Hal yang sangat penting bagi investor adalah kepastian hukum di negara ia melakukan usahanya di negara yang bersangkutan. Keberadaan investasi asing, di tingkat regional atau lokal, akan menggerakan aktivitas ekonomi yang cukup tinggi. Dunia usaha akan berkembang dengan dengan baik begitu juga masyarakat lokal menjadi meningkat.26 Tujuan yang di dapatkan oleh PMA di kemukakan oleh William A. Fannel dan Joseph W. Tyler, serta Eric. M Brut, yaitu: 1. Memberikan modal kerja; 2. Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan koneksi pasar; 3. Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru;
25.
Oentoeng Soeropati, 1999, Hukum Investasi Asing, Fakultas Hukum Universitas Kreisten Satya Wacana, Salatiga, hal. 25. 26.
Ibid, hal. 123.
68
4. Menbantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negara penerima.27 Dampak positif PMA, keberadaan modal asing juga menimbulkan dampak negatif bagi negara penerima, yaitu sebagai berikut: 1. Penanaman modal asing berdampak negatif bagi perekonomian negara penerima. 2. Penanaman modal asing melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara-negara berkembang. 3. PMA oleh Multinational Enterprise atau MNEdapat mengontrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sehingga akibatnya, mereka dapat mempengaruhi ekonomi bahkan kebijakan politis negara penerima. 4. MNE banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan-keuntungan dari kegiatan-kegiatan bisnisnya ke negara tempat perusahaan induknya berada. Praktik ini setidaknya telah mengurangi cadangan persediaan mata uang asing (foreign exchange reserves) dari negara penerima. 5. Adanya tuduhan terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya terutama negara-negara yang sedang berkembang. Pasalnya MNE telah menggunakan zat-zat
27.
Huala Adolf, 2004, Perjanjian Penanganan Modal Dalam Hukum Perdagangan Internasional, Cetakan, I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 6, dikutip dari William A. Fenel and Joseph W. Tyeler, 1995, Trade and International Investment from the GAAT to the Multilateral Agreement on Investment, tanpa penerbit, tanpa tempat terbit, hal. 2003.
69
yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang tidak atau kurang memperhatikan lingkungan. 6. MNE telah dikritik telah merusak aspek-aspek positif penanaman modal itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktik MNE yang acap kali menerepkan kegiatan usaha yang bersifat restriktif (restrctive bussiner practices). Walaupun PMA berdampak negatif terhadap negara rumah tangga, setiap negara tetap berkeinginan supaya negara pemilik modal dapat melakukan penanaman modal di negata yang bersangkutan. Ini disebabkan keberadaan penanaman modal, khususnya PMA terlihat lebih dominan dampak positif daripada negatif.28
2.4. Perbedaan antara Nasionalisasi dan Divestasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian hukum demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi, dan alasan politis lainnya dapat melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini menjadikan problematika diseputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap
28.
Salim, HS III, op.cit, hal. 114.
70
perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke negara penerima modal asing.29 Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa. Dalam rangka tinjauan tersebut maka nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak danOnteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada “onteigening” pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”. Di Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Dalam istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “confiscatie”.30 Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn mengemukakan pendapatnya bahwa “There is said to be nationalisation principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the social or economie structure of a country”. Sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of art”, tetapi digunakan untuk menunjuk pada expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to
29.
30.
Gouw Giok Siong, op.cit, hal. 6. Ibid, hal. 8.
71
strengthen, a nationally controlled industry. Nationalization different in its scope and extent rather than in its judicial nature from other types of expropriation.31 Divestasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang penjualan saham yang dimiliki oleh perusahaan atau cara mendapatkan uang dari investasi yang dimiliki oleh seseorang. Sementara itu pengertian divestasi sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 anggka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi pemerintah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi Terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah “ penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain ”. Jeff Madura memberikan pengertian divestasi, yaitu sebagai berikut: “pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki ileh perusahaan, ini adalah kebalikan dari investasi pada aset yang baru”.32 Sedangkan Setyo Wibowo mendefinisikan divestasi: “Sebagai suatu transaksi penjualan aset kepemilikan/saham suatu entilitas ekonomi yang dikuasai pemerintahan oleh intitusi yang ditunjuk seperti BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) atau PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).33
31.
Ibid.
32.
Wikipedia, TT, „Divestasi‟, http://dd.wikipedia.org/wiki/Divestasi, diakses tanggal 19 Desember 2014. 33.
Setyo Wibowo, 2006, “Divestasi dan Privatisasi Aset Negara ke Investor Asing – Antara Nasionalisme Ekonomi dan Keniscayaan Globalisasi”, http://setyowibowo.wordpress.com/2006/07/05/7/, diakses tanggal 19 Desember 2014.
72
Abdul Moin juga memberikan pengertian divestasi, yaitu “menjual sebagian unit bisnis atau anak perusahaan kepada pihak lain untuk mendapatkan dana segar dalam rangka menyehatkan perusahaan secara keseluruhan”.34 Apabila berbagai definisi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah dan pandangan para ahli tersebut dianalisis, ternyata divestasi dikonstruksikan sebagai jual beli. Dikonstruksikan sebagai kegiatan jual beli dikarenakan jual beli merupakan suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikat dirinya untuk menyerahkansuatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Pemerintah bertindak sebagai penjual, sedangkan pihak lainnya, berupa Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU), Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan/atau badan hukum asing bertindak sebagai pembeli. Objek divestasi adalah surat berharga dan aset. Surat berharga adalah:“saham dan/atau surat utang”. Sementara itu, yang diartikan dengan saham adalah:“surat bukti pemilikan modal perseroan terbatas yang memberikan hak atas deviden dan lainnya”.35 Nasionalisasi dan divestasi selalu menjadi polemik terutama bila dikaitkan dengan keterlibatan investor asing. Pihak yang tidak setuju dengan penjualan kepada pihak asing pada umumnya mendasarkan pendapatnya pada konsep nasionalisme ekonomi, sedangkan pihak yang sebaliknya mendasarkan pada konsep pasar bebas dan globalisasi. Walaupun mungkin merupakan implifikasi,
34.
Abdul Moin, 2007, Merger, Akuisisi, & Divestasi, Edisi Kedua, Ekosina Kampus Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, hal. 332. 35.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Pustaka, Jakarta, hal. 766.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
73
tindakan nasionalisme ekonomi akan dipandang sebagai antitesis dari pasar bebas (liberalisme) dan globalisasi. Tindakan Nasionalisasi akan menolak modal asing karena dipandang sebagai alat bagi agen liberalisme dan globalisasi (negara-negara maju dan lembaga-lembaga
internasional
pemilik
modal)
dalam
mempertahankan
hegemoninya atas negara-negara berkembang dan terbelakang. Oleh nasionalisme ekonomi, modal asing justru dipandang hanya menimbulkan ketergantungan negara penerimanya terhadap negara donor. Setelah terjadi ketergantungan, negara donor bisa memaksakan berbagai ketentuan yang hanya menguntungkan pihaknya, seperti keharusan membuka pasar atau mengadopsi sistem ekonomi dan politik tertentu. Secara singkat, modal asing dipandang akan membahayakan kepentingan nasional. Namun demikian, mau tidak mau atau suka tidak suka, globalisasi telah, sedang, dan masih akan terus berlangsung dan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi untuk negara yang posisi tawarnya sangat lemah seperti Indonesia yang terdesak dengan masalah fiskal yang defisit, investasi dalam negeri yang sangat rendah, pengangguran yang membengkak, sistem moneter yang rentan goncangan, dan segudang masalah lainnya.36
36.
Setyo Wibowo, loc.cit.