ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Azhar Nur Fajar Alam NIM: 1111048000083
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: Azhar Nur Fajar Alam NIM: 1111048000083
Pembimbing
Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, NIP: 195505051982031012
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02 April 2015
Azhar Nur Fajar Alam
iii
ABSTRAK Azhar Nur Fajar Alam, NIM 1111048000083, “ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 83 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemahaman antara perspektif hukum Indonesia dan perspektif hukum internasional dalam pengertian nasionalisasi modal asing. Serta untuk mengetahui konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan. Latar belakang penelitian ini adalah pertimbangan hukum ekonomi dan sejarah hukum untuk realisasi tindakan nasionalisasi terhadap modal asing demi mewujudkan kesempurnaan kemandirian ekonomi nasional. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode Pengolahan dan Analisa Data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan non-hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan pemahaman dan pengakuan aktualisasi nasionalisasi modal asing dalam dunia hukum internasional dan nasional. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa citacita kemandirian ekonomi nasional dalam pasal 33 UUD 1945 masih jauh dari realita, sehingga kebijakan hukum ekonomi yang diharapkan kendati lebih bersifat liberalis dan lebih memilih berpihak kepada asing sehingga melahirkan ketergantungan modal.
Kata Kunci
: Nasionalisasi, kemandirian ekonomi, hukum investasi asing
Pembimbing : Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Daftar Pustaka : Tahun 1960 s.d Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb... Bismillahirrahmanirrahim... Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat, serta anugerah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)”. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada tauladan Islam Nabi Muhammad SAW, yang telah memimpin ummat Islam keluar dari zaman kegelapan ke zaman yang penuh cahaya Islam. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesebaran, perhatian dan ketelitian memberikan masukan serta
v
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. 4.
Segenap staf perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf perpustakan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5.
Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
6.
Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Drs. H. Uce Supriadi, MH dan Ibunda Hj. Jamilah, S.Pd.I, terimah kasih atas kasih sayang, motivasi, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus tanpa pamrih, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi negeri. Begitu pula untuk Kakak-kakak tercinta, Elzha Nur Fadhilah S.KM, Elvid Nur Fitra Mubarok, S.HI, Rusdiana Nur Ridho, S.H dan adikku Dede Nur Fitriansyah, terimah kasih atas segala kasih sayang, perhatian, dukungan dan inspirasi yang telah kalian berikan.
7.
Sahabat-sahabat tercinta, especially Ida Rofidah yang selalu mendampingiku baik suka maupun duka. Sahabat-sahabatku Kiki, Hisyam, Sandi, Zaimi, Novita, vi
Ummu, Lidia serta juga kawan-kawan seperjungan “Skripwett” ( Ade, Gari, Ridwan, Anto, Nando, Bustomi, Haryo) yang selalu menemani, memberikan support dan inspirasi dalam bangku perkuliahan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 8.
Senior-senior yang saya hormati, bang Indra, bang Irfan, bang Arif, ka Endah, ka Riri, ka Hilda, bang Rizky, Bang Wawan, Bang Eko, Bang Andi yang telah memberikan arahan dan bimbingan ilmu hukum selama menempuh perkuliahan.
9.
Keluarga besar Program Studi Hukum Bisnis dan Ketatanegaraan angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi inspirasi dalam kebersamaan dan kekompakan.
10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Periode 2013-2014 yang telah memberikan pengalaman berorganisasi dan yang telah melatih jiwa kepemimpinan serta solidaritas tinggi. 11. Keluarga besar Angkatan Pemuda Peduli Hukum (AMPUH), Business Club Community (BLC), dan Tim Redaksi Tabloid Justitia atas konsistensi dan kekompakannya yang telah memberikan wadah untuk saling belajar, berbagi dan menggali ilmu dalam mengkaji Hukum secara holistik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Terima kasih. Wassalamu’alaikum warahmatullohi wa barokatuh... Jakarta, 02 April 2015
Azhar Nur Fajar Alam vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI..............................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................
iii
ABSTRAK............................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR.........................................................................................
v
DAFTAR ISI........................................................................................................ viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................
1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.......................................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................
6
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual........................................................
7
E. Tinjauan Kajian Terdahulu....................................................................
10
F. Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan........................................
11
BAB II KEBIJAKAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA A. Pengertian Hukum Investasi Asing.......................................................
17
B. Asas-Asas dalam Hukum Investasi Asing.............................................
21
C. Arah Kebijakan Hukum Investasi di Indonesia.....................................
23
D. Tujuan, Manfaat, Serta Dampak Negatif Investasi Asing.....................
26
viii
BAB III NASIONALISASI DAN KOMPENSASI TERHADAP MODAL ASING A. Nasionalisasi dalam Perspektif Hukum Nasional..................................
33
B. Nasionalisasi dalam Perspektif Hukum Internasional........................... 37 C. Pemberian Kompensasi Terhadap Milik Asing Sebagai Konsekuensi Nasionalisasi.......................................................................................... BAB
IV
ANALISA
YURIDIS
KEMANDIRIAN
EKONOMI
43 DAN
PERTIMBANGAN HUKUM NASIONALISASI MODAL ASING A. Nasionalisasi dalam Pandangan Aliran Pragmatif Kontemporer......... B. Makna
Kemandirian
Ekonomi
dari
Perspektif
Hukum
49
Ekonomi
Pembangunan.........................................................................................
56
C. Kemanfaatan Nasionalisasi dan Dampak Negatifnya dalam Segi Hukum Ekonomi Pembangunan.........................................................................
66
D. Pertimbangan dan Hambatan Hukum Aktualisasi Nasionalisasi........... 73 BAB V PENUTUP A. Saran....................................................................................................... 76 B. Kesimpulan............................................................................................. 77 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
ix
79
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penanaman modal pada dasarnya, diperlukan untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil. Apabila modal yang berasal dari dalam negeri belum mencukupi, maka suatu negara akan berusaha untuk menarik modal asing sebagai pelengkap. Kendatipun diniatkan sebagai pelengkap, tetapi modal asing ini seringkali mempunyai peran sangat penting, sehingga dapat mempercepat pembangungan dalam perekonomian suatu negara. Dalam konteks ini, ekonomi global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh modal global, selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktif suatu negara terhadap modal asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal global berperan dalam modernisasi ekonomi negara tersebut, serta memajukan sektor-sektor utama dalam ekonomi, terutama industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain.1 Terdapat dua aliran dalam memandang keberadaan penanaman modal asing. Pertama adalah aliran liberal yang berpendapat bahwa penanaman modal asing bermanfaat bagi kemakmuran ekonomi Negara penerima, dan kedua adalah aliran penganut teori ketergantungan (dependencia/dependency theory) yang berpendapat bahwa penanaman modal asing akan melahirkan dominasi dan ketergantungan pada
1
Didik J. Rachbini, Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Analisis Ekonomi Politik), (Jakarta: PT Indeks, 2008). h. 62-63.
1
2
perusahaan asing sehingga merugikan masyarakat. Sebagai jalan tengah di antara kedua aliran itu, Negara-negara penerima penanaman modal asing berusaha menarik modal asing untuk dimanfaatkan guna mendorong kemajuan ekonomi negara yang bersangkutan seraya meminimkan dampak negatifnya yang merugikan kepentingan ekonomi nasional.2 Filosofi yang melatarbelakangi kebijakan dalam penanaman modal asing adalah bahwa modal asing diperlukan guna melengkapi modal dalam negeri yang tidak mencukupi untuk memutar roda perekonomian suatu negara. Akan tetapi manakala modal asing tersebut kemudian menjadi pendorong utama perekonomian negara, dan bahkan menyebabkan ketergantungan secara ekonomi, sering timbul sikap permusuhan terhadap penanaman modal asing. Sikap tidak bersahabat ini dapat diwujudkan dalam suatu keputusan politik hukum untuk menasionalisasi atau mengambilalih modal asing. Sejarah mencatat, kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional secepatnya pada masa orde lama, sebagian besar ditafsirkan oleh para pemimpin Indonesia sebagai kegagalan mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani para pemimpin Republik di Den Haag pada tahun 1949 memuat jaminan bahwa hak-hak yang diberikan kepada modal asing akan dihormati. Mengacu kepada konferensi tersebut,
perusahaan-
perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama,
2
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, (Jakarta: Penerbit Kuwais, 2012). h. 5.
3
sehingga perkembangan ekonomi pasca penyerahan kedaulatan tidak mengalami perubahan dari periode kolonial Hindia-Belanda. Hal itu dikarenakan, perusahaanperusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor perekonomian utama yang meliputi kegiatan ekspor dan impor. Ketimpangan ekonomi ini menyebabkan rasa frustasi bagi sebagian besar pemimpin Indonesia. Upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional akan selalu terhalang selama modal asing, dalam hal ini Belanda, masih beroperasi di Indonesia.3 Berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1985 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Wilayah Republik Indonesia (Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda), membuktikan keinginan Indonesia untuk lepas dari kekuatan ekonomi kolonial, sehingga melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, tindakan nasionalisasi ini mengakibatkan Indonesia dituntut dalam litigasi internasional di Republik Federasi Jerman dalam perkara yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut kasus Tembakau Bremen (Bremen Tobacco Case). Dalam perkara ini, Indonesia tetap berargumen bahwa nasionalisasi merupakan tindakan sah Negara yang berdaulat dalam rangka perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi kolonial ke struktur
3
Budiman Ginting, “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia: Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi Di Indonesia.” JURNAL EQUALITY, Vol. 12 No. 2 (Agustus 2007), h. 104.
4
ekonomi nasional.4 Hal-hal di atas dapat kiranya menjadi pelajaran bagi pemerintah saat ini untuk berani mengambil tindakan nasionalisasi demi percepatan kemandirian ekonomi nasional namun juga harus bijak dalam menghadapi setiap resiko hukum dan ekonomi yang terjadi. Nasionalisasi modal asing dalam perkembangannya, diatur tersendiri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA), tepatnya pada Pasal 21 dan Pasal 22 yang mana pengaturannya lebih generalis dan tidak terpaku pada tindakan dekoloniasisasi semata terhadap perusahaan milik asing Belanda seperti yang diatur sebelumya dalam Undang-Undang No 68 Tahun 1958. Sedangkan di era kekinian, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menentukan bahwa nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang dan disertai dengan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Apabila tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, maka akan dilakukan penyelesaian melalui arbitrase. Sayangnya, tidak dicantumkan alasan hukum apa saja yang menjadi pijakan bagi Indonesia untuk dapat menasionalisasi aset asing, serta bentuk pasalnya yang bersifat konstitusional bersyarat dan merupakan bentuk larangan untuk bertindak, sehingga hal-hal ini semakin memperjelas kecenderungan dan keberpihakan Indonesia terhadap modal asing.
4
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, h. 10.
5
Dalam perkembangan politik hukum ekonomi di Indonesia timbul berbagai pendapat mengenai kemandirian suatu bangsa dalam membangun perekonomian yang efesien guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pandangan ekstrim pun berkembang di mana wujud ekonomi nasional yang semakin hari cenderung liberal dan berpihak kepada asing, harus direalisasikan dengan kemandirian dalam mengelolah sumber daya alam dan permodalan. Dengan salah satu cara melahirkan kebijakan hukum menasionalisasi seluruh atau sebagian (secara bertahap atau sekaligus) aset asing untuk dikuasai dan dikelola semaksimalkan mungkin untuk hajat hidup bangsa sendiri. Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalami terkait dengan asas kemanfaatan dan keadilan dalam menasionalisais modal asing yang selalu diusung oleh founding father dalam perspektif hukum ekonomi pembangungan dan juga apa yang dicantumkan dalam pasal 33 UUD terkait asas kemandirian dan penguasaan sumber daya alam yang vital bagi kemakmuran rakyat. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan investasi atau penanaman modal, dan juga melihat luasnya definisi modal asing dalam disiplin Hukum Perdagangan dan Hukum Penanaman Modal, maka di sini penelitian akan difokuskan pada tindakan nasionalisasi investasi asing yang berkaitan dengan investasi langsung (direct
6
Investment) dan tinjauan yuridis ambiguitas pemahaman realisasi asas kemandirian dan kemanfaatan dari sudut hukum ekonomi pembangunan. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut: a. Bagaimana keterkaitan pemahaman antara perspektif hukum Indonesia dan perspektif hukum internasional dalam pelaksanaan nasionalisasi modal asing? b. Bagaimana konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan? c. Apa saja dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum ekonomi dalam aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaturan konsep nasionalisasi modal asing dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: a. Untuk mengetahui keterkaitan pemahaman antara Perspektif Hukum Indonesia dan Perspektif Hukum Internasional dalam pengertian nasionalisasi modal asing.
7
b. Untuk mengetahui konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan. d. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum ekonomi dalam aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing? 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis Secara teoretis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dibidang hukum penanaman modal asing khususnya berkaitan dengan konsep tindakan nasionalisasi modal asing dan pemahaman asas kemandirian dari perspektif hukum ekonomi pembangunan. b. Manfaat Praktis Secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya tindakan nasionalisasi modal asing dalam hukum penanaman modal di Indonesia. D. Kerangka Teoretis dan Konseptual Penelitian penulisan ini berangkat dari konsep teoretis mengenai ukuran Negara sejahtera (welfare state) yang selama ini sering kita dengar, apalagi dalam konteks Negara yang sedang berkembang. Setiap Negara di dunia ini berusaha untuk berlomba-lomba menkonsepkan bagaimana seyogyanya sebuah Negara yang sejahtera secara idealnya. Kendatipun banyak Negara yang berbeda pemahaman mengenai konsep ini. Ada Negara yang berangkat dari pemikiran bercorak liberalis
8
individualistik, ada juga yang berangkat dari pemikirian sosialis komunalistik, serta ada juga yang berusaha berangkat dari pemikiran east far ideology, semua itu berhak untuk mendapatkan peran di semesta ini dalam usaha menciptakan suatu Negara yang sejahtera. Indonesia sebagai Negara yang berdikari, seharusnya dapat menentukan sendiri arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan kesejahteraan yang ideal. Founding Father kita telah menkonsepkan bagaimana sejatinya suatu Negara dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya yang benar-benar hanya untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dalam hal ini alinea kedua pembukaan UUD 1945 dengan jelas telah menentukan arah tujuan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan di antara kewajiban pemerintah, sebagaimana termaktub dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal perekonomian nasional, pasal 33 ayat (2) sebagai pedoman hukum ekonomi pembangunan, menggariskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sementara itu, menurut pasal 33 ayat (4) perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efesiensi,
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan kesatuan ekonomi nasional.
9
Memperhatikan hal-hal di atas, secara konseptual, tindakan nasionalisasi merupakan
pengambilalihan
aset
dan
modal
asing
yang
dituntut
untuk
mengembalikan segala aset Negara yang merupakan hajat orang banyak yang selama ini dikuasai oleh investor asing, namun disisi lain kita juga dituntut untuk mematuhi prinsip hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan keadilan, karena dalam konstitusi kita dengan jelas tertera bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sangat sulit memang bagi Negara Indonesia yang saat ini masih memiliki ketergantungan oleh barang-barang impor, dan segala bentuk investasi yang dikuasi asing, untuk berani meminimalisir masuknya modal asing ke negara kita. Dalam UUPM telah tertera asas kemandirian dimana dijelaskan bahwa asas penanaman modal yang dilakukan tetap mengedepankan potensi bangsa dan Negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. Asas kemandirian tersebut harus kita selaraskan dengan prinsip berdikari dibidang ekonomi yang mempunyai makna tidak menggantungkan diri kepada Negara asing dalam melipatgandakan produksi nasional demi mempertinggi tingkat hidup Rakyat Indonesia. Dengan demikian seharusnya konsep ketergantungan terhadap penanaman modal asing ini mesti kita kikis sedikit demi sedikit dengan menasionalisasikan modal asing dengan tetap mengedepankan asas kepastian hukum dan keadilan serta memberikan kompensasi yang layak dan pantas.
10
E. Tinjauan Kajian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: Buku dengan Judul “Hukum Nasionalisasi Modal Asing,” yang disusun oleh Rustanto, S.H. LL.M. yang telah diterbitkan oleh Penerbit Kuwais Jakarta 2012. Buku ini membahas mengenai konsep definisi tindakan nasionalisasi modal asing dan konsep ranah teoritis kepastian hukum serta konsep keadilan yang berusaha dirumuskan dalam nasionalisasi khususnya ketika dalam konteks tarik-menarik kepentingan antara negara-negara maju pengekspor modal dengan negara-negara berkembang penerima modal. Skripsi yang disusun oleh Retno Astriningtyas Soejoedono, SH dari Fakultas Hukum Indonesia, tahun 2002, dengan judul “Nasionalisasi Hak Milik Asing: Analisa Terhadap Tanggung Jawab Negara Untuk Memberikan Ganti Rugi.” Penelitian ini difokuskan terhadap pemahaman negara-negara berkembang dan maju dalam kewajiban pemberian ganti rugi atau kompensasi terhadap nasionalisasi hak milik asing, serta pemahamannya dalam dunia hukum internasioanal. Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang akan diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai tinjauan yuridis ambiguitas pemahaman realisasi asas kemandirian terkait pertimbangan dan hambatan hukum maupun ekonomi bagi pelaksanaan nasionalisasi modal asing
11
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 dan Undang-Undang terkait yang relevan dalam tindakan nasionalisasi modal asing. F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.5 Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.6 Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya,
untuk
kemudian
mengusahakan
suatu
pemecahan
atas
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42. 6
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 60.
12
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru. 2. Pendekatan Yang Dipakai Sehubungan dengan penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian normatif maka penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan nasionalisasi dan investasi asing di Indonesia. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep nasionalisasi dan investasi asing sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang bermakna ganda. Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah tindakan nasionalisasi dan investasi asing di Indonesia dari berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga kini diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pendekatan perbandingan dilakukan untuk membandingkan konsep nasionalisasi modal asing
13
di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta peraturanperaturan lainnya dan asas-asas internasional yang terkait. 3. Bahan dan Sumber Penelitian a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundanganundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan, dan putusan-putusan hakim.7 Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UUD 1945, Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda, Undang- Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UndangUndang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dan Peraturan Kepala BKPM yang berkaitan dengan nasionalisasi modal asing dan investasi asing. b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu8 seperti buku-buku investasi . 4. Metode Pengumpulan Data 7
Ibid, h. 181.
8
Ibid, h. 183.
14
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan nasionalisasi modal asing, peraturan perundang-undangan dan peraturan internasional yang terkait dengan tindakan nasionalisasi modal asing. pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. 5. Metode Pengolahan dan Analisa Data Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.9 Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai tindakan nasionalisasi dalam hukum investasi di indonesia 9
Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet ke-II, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006) h. 393.
15
serta melakukan studi komparatif terhadap penerapan keabijakan serupa di negara yan lain. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan; Diuraikan tentang latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kerangka Teoritis dan Konseptual, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Tinjauan umum mengenai hukum penanaman modal asing di Indonesia; Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian hukum investasi asing di Indoneisa, asas-asas hukum investasi, arah kebijakan-kebijakan pemerintah dalam investasi asing serta tujuan serta manfaat adanya investasi asing di Indonesia. BAB III Tinjauan umum mengenai konsep nasionalisasi modal asing; Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai pengertian Nasionalisasi modal asing serta pemahamannya dalam ranah hukum nasional dan internasional, serta pemberian kompensasi (ganti rugi) sebagai konsekuensi nasionalisasi.
16
BAB IV Tinjauan yuridis asas kemandirian terkait pelaksanaan tindakan nasionalisasi dalam perspektif hukum ekonomi pembangunan; Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai konsep dan pemahaman nasionalisasi dalam pandangan aliran pragmatis kontemporer, kemanfaatan nasionalisai dalam segi hukum dan ekonomi, makna dan pemahaman kemandirian ekonomi dari perspektif hukum ekonomi pembangungan, serta mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum serta dampak positif dan negatif pelaksanaan nasionalisasi modal asing baik internal maupun eksternal. BAB V Penutup; Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
BAB II KEBIJAKAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Pengertian Hukum Investasi Asing Investasi menurut Webster berasal dari kata to invest, yang artinya: to use (money) to make more money out of something that expected to increase in value.1 Dalam kamus istilah keuangan dan investasi digunakan istilah investement yang mempunyai arti penggunaan modal utuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi digunakan terminologi investment, penanaman modal, adalah investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.2 Istilah investasi dan penanaman modal merupakan istilah-istilah yang dikenal baik dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-undangan. Istilah investasi merupakan istilah yang lebih populer dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lebih banyak digunakan dalam bahasa perundang-undangan. Namum demikian, pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama sehingga kadang-kadang digunakan secara interchangable. Kedua istilah 1
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 356. 2
Hendrik Budi untung, Hukum Investasi ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1-2.
17
18
tersebut merupakan terjemahan dari kata investment. Di kalangan masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio investment),3 sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung.4 Dalam perkembangan hukum internasional, terdapat perbedaan batasan ruang dalam memberikan definisi hukum investasi asing atau hukum penanaman modal asing. Dalam Draft Text Perjanjian Multilateral mengenai penanaman modal (Multilateral Investment Agreement) yang dibuat oleh Organization For Economic Co-operation Development (OECD) memberikan definisi yang sangat luas tentang penanaman modal asing, termasuk di dalamanya tidak hanya penanaman modal asing langsung, tetapi juga portofolio investment. Draft text tersebut mengemukakan bahwa penanaman modal asing adalah: “Every kind of aset owned or controlled, directly or indirectly, by an investor, including: 1 An enterprise (being a legal person or any other entity constituted or organized under the applicable law of the contracting party, whether or not for profit, and whether private or goverment owned or controlled, and includes a corporation, trust, partnership, sole proprietorship, branch joint venture, association or organization); 3
Portofolio Investment adalah investasi tidak langsung dengan kepemilikan portofolio/ bukti lembaran surat berharga melalui pergerakan modal dengan maksud membeli saham dalam suatu perusahaan yang berada di luar negeri. Jenis investasi ini dapat juga berupa pembelian jaminan, surat utang, atau penghimpunan dana/ reksa dana. Karakteristik utama dalam penanaman modal seperti ini adalah terdapatnya pemisahan antara manajemen perusahaan dengan pengawasaan perusahaan serta kepemilikannya. 4
Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum & Kebijjakan Investasi Langsung Di
Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 1.
19
2 Share, stock or other forms of equaty participation in interprise, and right derived thereform; 3 Bonds, debentures, loans and other form of debt and rights derived thereform; 4 Right under contract, including turnkey, construction, management, production or revenue-sharing contract; 5 Claims to money and claim to performance; 6 Right conferred pursuant to law or contract such as concessions, licenses, authorizations, and permits; 7 Intellectual property rights,; 8 And other tangible and intangible, moveble and immovable property and any related proverty rights, such as leases, morgages, liens and pledges”.5 International Monetary Fund (IMF) menggunakan definisi yang sempit terhadap penanaman modal asing dengan tidak memasukkan portofolio investment ke dalam definisi penanaman modal asing langsung. Yang dimaksud dengan penanaman modal asing langsung/ Foreign Direct Investment (FDI) menurut IMF adalah “Investment that is made to acquaire a lasting interest in an interprise operating in an economy other than that of an investor, the investor’s purpose being to have an affective choice in the management of the enterprise”.6 Sedangkan menurut Hukum Nasional, lebih tepatnya diatur dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (undang-undang yang lama) disebutkan bahwa: “Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk
5
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal (Bandung: PT Alumni, 2011), h. 39. 6
Ibid., h. 40.
20
menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut”. Perumusan sebagaimana tersebut di atas tentang apa yang dimaksudkan dengan penanaman modal asing pada prinsipnya mengandung beberapa unsur pokok yakni: 1. Penanaman modal secara langsung (direct investment) 2. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia 3. Resiko yang langsung ditanggung oleh pemilik modal. Penjelasan UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing juga menjelaskan bahwa kredit berbeda dengan penanaman modal asing, yaitu dalam hal kredit, resiko penggunaan kredit ditanggung oleh peminjam/penerima modal, sedangkan pada penanaman modal asing resiko penggunaannya ada pada penanam modal. Berkaitan dengan tanggungan atas resiko ini
pembuat undang-undang
memberikan hak kepada investor asing untuk menentukan direksi perusahaan di mana modalnya ditanam sebagaimana tersebut dalam pasal 9.7 Melalui Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal sebagai pengganti UU Penanaman Modal Asing yang lama, melalui ketentuan umum angka (3) telah dirumuskan apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing, yaitu “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
7
Hilman Panjaitan dan Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing (Jakarta: CV Indhill Co, 2008), h. 45.
21
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing8 sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. B. Asas-Asas Dalam Hukum Investasi Asing Di antara hal-hal yang menarik dengan kehadiran UU Penanaman Modal yang baru adalah dicantumkannya sejumlah asas yang menjiwai norma yang ada dalam undang-undang penanaman modal. Tampaknya, pembentuk undang-undang berupaya untuk menangkap nilai-nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di tingkat nasional maupun di dunia internasional. Artinya, dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional, maka berbagai nilai yang dianggap telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional. Pemerintah selaku stake holders yang mengawasi iklim investasi dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sudah sepatutnya menerapkan
asas-asas yang sebagian besar diadopsi dari Prinsip utama Good
Corporate Governance, demi terwujudnya kesejateraan rakyat nasional dan internasional. Tepatnya dalam pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya menyebutkan sejumlah asas dalam penanaman modal yang dimaksud, yaitu:9
8
Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh Negara Asing, perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Selanjutnya Sunarhayati Hartono mengemukakan bahwa yang menjadi ukuran apakah sesuatu itu termasuk modal asing atau bukan adalah: Dalam hal valuta asing, apakah valuta asing itu merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia atau tidak, dan dalam hal alat-alat atau keahlian, apakah alat, barang atau keahlian tertentu itu merupakan milik orang asing atau tidak. 9
Lihat penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal serta, dan bandingkan dengan asas-asas Good Corporate Govarnance.
22
1. Asas kepastian hukum. Adapun maksud asas ini adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 2. Asas keterbukaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. 3. Asas akuntabilitas. Adapun maksud asas ini adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman moodal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Adapun maksud asas ini adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. 5. Asas kebersamaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 6. Asas efesiensi berkeadilan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efesiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
23
7. Asas berkelanjutan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. 8. Asas berwawasan lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan asas ini adalah asas penanaman
modal
yang
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan
dan
mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. 9. Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedapankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. 10. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Adapun maksud asas ini adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
C. Arah Kebijakan Hukum Investasi Asing di Indonesia Program Pembangunan Nasional (propenas) yang menjadi arah kebijaksanaan investasi asing di Indonesia menetetapkan, bahwa investasi asing dimungkinkan pelaksanaannya di Indonesia dengan memenuhi berbagai persyaratan tertentu. Bagi negara-negara berkembang untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat, yaitu pertama, ada economic opportunity (investasi mampu memberikan keuntungan secara ekonomis bagi investor; kedua, political stability
24
(investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik); ketiga, legal certainty atau kepastian hukum.10 Memperhatikan syarat-syarat di atas, investasi asing juga diarahkan untuk memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan uraian Sunarhayati Hartono bahwa suatu pembahasan mengenai penanaman modal asing tidak dapat dilihat terlepas dari peranannya dalam pembangungan ekonomi dan rencana pembangunan (economy planning).11 Selain itu, dalam program pembangunan nasioanal secara tegas disebutkan bahwa kebijakan dan penyelenggaraan proses investasi asing ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang diwujudkan melalui instrumen kebijakan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan juga Peraturan Pelaksana yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Seperti lahirnya UU No 1 Tahun 1967 jo. UU No 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Asing dan UU No 6 Tahun 1968 jo. UU No 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, di mana Undang-Undang ini telah diperbaharui dengan lahirnya UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Kebijakan pemerintah terhadap penanaman modal dari waktu ke waktu terus mengalami pasang surut, kadang kala diperlukan kebijaksanaan yang sangat ketat, 10 11
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, h. 48. Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 44
25
guna menjaga keutuhan sumber daya alam dan kasatuan ekonomi yang demokratis. Seperti mensyaratkan setiap kegiatan investasi asing yang dilakukan di Indonesia diharuskan dan diwajibkan untuk melakukan kerja sama dalam bentuk usaha patungan (joint venture)12 dengan modal nasional. Dan juga pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terubuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini pemerintah membagi 3 (tiga) kelompok bidang usaha yaitu bidang usaha tertutup, bidang usaha terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kepemilikan modal, lokasi tertentu dan perizinan khusus, serta bidang usaha yang terbuka. Arah kebijakan pemerintah terhadap penyelenggaraan penanaman modal asing haruslah jelas dan konsisten sehingga dalam pelaksanaannya tidak bias dan tidak mudah berubah sesuai selera pengambil kebijakan. Dengan kata lain kebijakan yang terarah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keuntungan ekonomi bagi bangsa dan tanah air Indonesia. Sudah sepatutnya setiap arah kebijakan yang hendak ditetapkan harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 di mana semua kebijakan akan bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran milik bangsa Indonesia. 12
Joint venture berarti mencoba berusaha bersama-sama (usaha patungan/ Musyaarokah). Bentuk kerjasama ini dirumuskan sebagai suatu persetujuan antara dua peserta atau lebih yang mempersatukan sumber-sumber modal atau jasa-jasanya atau kedua-duanya dalam satu perusahaan tertentu dengan tanpa membentuk suatu persekutuan yang tersusun.
26
D. Tujuan, Manfaat, Serta Dampak Negatif Investasi Asing Tujuan utama penyelenggaraan penanaman modal adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional demi kesejahteraan sosial. Tujuan ini merupakan Keniscayaaan yang tak dapat dihindari karena dampak lansung dari kegiatan penanaman modal adalah injeksi positif bagi kegiatan ekonomi. Bahkan faktor penanaman modal menjadi unsur yang paling penting di dalam sistem perekonomian nasional maupun sistem ekonomi pada umumnya. Hal itu sesuai dengan makna pembangunan ekonomi menurut GBHN 1999-2004, yaitu:13 “Pembangungan ekonomi mempunyai arti pengolahan kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi serta melalui penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen. Maka selama Indonesia belum memiliki sendiri faktor-faktor tersebut, dapat dimanfaatkan potensi-potensi modal asing, teknologi, dan keahlian dari luar negeri sepanjang tidak mengakibatkan ketergantungan yang terus-menerus serta tidak merugikan kepentingan nasional”. Dengan demikian tujuan penting terselenggaranya penanaman modal asing adalah demi terwujudnya pembangunan ekonomi nasioanal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja, meraih teknologi, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan sosial. Hal ini juga selaras dengan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (2) UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bahwa: “(2) Tujuan Penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
13
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), h. 8
27
a. b. c. d. e. f. g.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; Menciptakan lapangan kerja; Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Terlepas dari pro kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunya manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah pengahasilan negara dari sektor pajak, adanya alih tekonologi (transfer of technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how).14 Penanaman modal asing untuk saat ini, masih menjadi salah satu alternatif penting dalam memperoleh dana, guna melaksanakan pembangunan ekonomi. Melalui penanaman modal asing, diharapkan investor yang tertarik menanamkan modal tidak saja membawa modal namun juga ilmu pengetahuan dan teknologi, keahlian dan keterampilan dalam berbagai bidang termasuk manajemen berorganisasi dan manajemen pemasaran. Dengan demikian diharapkan tidak saja memajukan industri ke arah modernisasi industri namun juga meningkatkan devisa, 14
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, h. 41.
28
meningakatkan pendapatan negara-pemerintah daerah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, terjadinya alih pengetahuan, alih teknologi, dan sebagainya. John. W Head juga mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya investasi asing. Ketujuh keuntungan investasi asing itu adalah:15 1. Menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkaatkan kualitas penghasilan dan standar hidup mereka; 2. Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru; 3. Meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan pengahasilan tambahan dari luar yang dapt dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan penduduknya; 4. Menghasilkan pengalihan peralihan pelatihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain; 5. Memperluas potensi keswasenbadaan negara taun rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor; 6. Menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah;
15
Rahayu Hartini, “Analisis yuridis UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal”,
UMM: HUMANITY, Volume IV, No. 1 ( September 2009: 48 – 60): h. 53
29
7. Membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun manusia, agar lebih baik dari pemanfaatannya semula. Kekhawatiran pun mulai diperhitungkan dari banyak sarjana tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan akibat aktivitas penanaman modal asing dalam membiayai investasi di Indonesia. Antara lain tentang ketergantungan terhadap luar negeri, nasib penduduk khususnya penduduk yang termasuk angkatan kerja, tentang tanah dimana penanaman modal itu akan dilaksanakan dan ketentuan devisa yang berlaku karena pengusaha asing akan memanfaatkan bagian-bagian keuntungan di negara asalnya.16 Pandangan lain juga mengemukakan, bahwa kehadiran investasi asing di samping membawa dampat positif, senantiasa dapat membawa dampak negatif berupa motivasi komersial semata untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini terungkap dari pemikiran yang dilontarkan oleh Ushaa Dar dan Pratap K Dar:17 “it should, however, be clearly understood from the beginning that the foreign investor is not motivated by consideration of extendinng aid for development. The prime motivation is commercial, and expects return from his investment”.
16
G. Kartasapoetra, Kovensi-konvensi Internasional Tentang Paten Dalam Kaitannya Dengan Alih Tekonologi dan Kepentingan Nasional, (Bandung: Pionir Jaya, 1991), h. 87 17
Hendrik budi Untung, Hukum Investasi, h. 43
30
Berbagai pihak juga berpandangan bahwa kehadiran investor asing tidak bisa dilepaskan dari dunia bisnis, yakni selalu menempuh cara apapun untuk mencari keuntungan yang besar . Sebagaimana yang dikemukakan oleh Panjdi Anoraga: 18 “Banyak bukti menunjukan, bahwa betapapun juga, eksplorasi sumber daya alam adalah jenis industri yang bersifat ekstratif dengan ciri utama pada padat modal dan berteknologi tinggi. Dengan demikian, penanaman modal asing di sektor ini juga sangat sulit diharapkan dampak positifnya dalam penyerapan tenaga kerja yang justru menjadi salah satu tujuan pokok pihak Indonesia mengundang mereka datang ke negara ini”. Persoalan lainnya dalam kontra manfaat investasi tersebut adalah dampak negatif dari investor asing yang notabene hadir dari deretan Perusahaan Multinasional dan Internasional yang menguasai moda global, yang memberikan efek waspada bagi kedaulatan negara kita, khususnya dalam penyelenggaraan penanaman modal asing adalah:19 1. Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi perekonomian negara penerima; 2. Perusahaan multinasional melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara yang sedang berkembang; 3. Perusahaan multinasional dapat mengontrol atau mendominasi perusahaanperusahaan lokal. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakankebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan politis dari negar penerima;
18
Ibid, h. 44
19
Ibid, h. 53
31
4. Adanya realita perusahaan multinasional yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Pasalnya perusahaan multinasional telah menggunakan zatzat kimia dan menerapkan teknologi yang membahayakan lingkungan lingkungan. 5. Perusahaan multinasional dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal di negara-negara berkembang. Mengantisipasi dampak-dampak di atas, diperlukan kebijakan pemerintah yang terencana dengan perangkat hukum yang sempurna sehingga kesimpangsiuran yang terjadi akibat lemahnya koordinasi antar instasi dalam mengawasi penyelenggaraan investasi asing ini tidaklah memperburuk dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi. Dan juga peran dan konsistensi pemerintah dalam mencapai tujuan dan manfaat investasi asing haruslah benar-benar direalisasikan, agar dampak positif langsung maupun jangka panjang benar adanya dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia. Sebagaimana terdapat dalam kebijakan pembangunan pemerintah dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 di bidang investasi yang menyatakan bahwa pembangunan investasi diarahkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat, memperkuat sumber dana pembiayaan nasional, memperluas pemerataan kesempatan berusaha dan peningkatan peran usaha nasional, terutama usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi serta memperluas basis dan peningkatan peran usaha
32
nasional, terutama usaha kecil menengah, dan koperasi serta memperluas basis dan peningkatan daya saing perekonomian nasioanal menuju kemandirian ekonomi.20
20
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, h. 10.
33
BAB III NASIONALISASI DAN KOMPENSASI TERHADAP MODAL ASING A. Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Nasional Nasionalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu proses, cara, atau perbuatan menjadikan sesuatu, terutama milik asing menjadi milik bangsa atau negara, biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan kompensasi.1 Sedangkan dalam kajian Politik Hukum Ekonomi Nasional, istilah nasionalisasi
paling
tidak
mencakup
tiga
pengertian
yaitu
“konfiskasi”;
“Onteigening/expropriation” dan “pencabutan hak”. Berbicara nasionalisasi berarti terkait suatu peraturan di mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada negara. Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak pertekelir kepada negara secara paksa (Pencabutan Hak) dan disertai kompensasi. Dalam artian setiap onteigening dan pencabutan hak yang dilakukan tidak disertai dengan ganti rugi maka hal itu dapat disebut konfiskasi.2
1
Bambang Marjihanto, kamus Besar Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: Bintang Timur Offset, 1996) h. 256. Lihat juga Kamus Besar Bahasa Indoensia online Di akses pada 05/01/2015 dari http//kbbi.web.id/nasionalisasi 2
Antonio Suhadi, dkk. “Studi Hukum Atas Nasionalisasi Perusahaan Asing; Dasar Hukum Tindakan Nasionalisasi Untuk Mencapai Kepastian Hukum Penanaman Modal”, Jurnal Ilmu Hukum dan Kenotariatan (Palembang: FH Universitas Sriwijaya, 2010), h. 155
33
34
Sedangkan
dalam
peraturan
perundang-undangan
Indonesia,
Istilah
Nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Pasal 1 UU No. 86 Tahun 58 menyebutkan bahwa Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. selanjutnya dalam penjelasan umum undang-undang ini menjelaskan bahwa yang dinasionalisasikan adalah pada dasarnya segala perusahaan milik Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia, baik ia merupakan pusatnya maupun cabangnya. Undang-undang di atas juga tidak dicantumkan secara jelas perihal batasan definisi dari makna tindakan nasionalisasi. Sehingga tidak hadirnya kepastian hukum dan tujuan keadilan dalam tindakan nasionalisasi ini. Hanya saja penyusun undangundang ini mengisyaratkan melalui beberapa pasalnya dan penjelasan umumnya bahwa nasionalisasi adalah tindakan pengembilahan hak secara penuh terhadap seluruh aset asing berupa perusahaan dan modal asing peninggalan kolonial yakni Belanda.3 Ambiguitas dalam pendefinisian nasionalisasi di setiap negara berkembang pasti selalu timbul, begitu pun Indonesia. Dalam penyusunan UU Nasionalisasi ini,
3
Lihat penjelasan umum Undang-undang No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
35
banyak kalangan pejabat dan ahli hukum masa itu berdebat mengenai batasan definisi dan hak pemberian ganti rugi. Dalam risalah sementara Kabinet Kerja Republik Indonesia yang telah menyusun UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958 ini terjadi perbedaan pemahaman mengenai konsep nasionalisasi milik asing. Menteri Stabilisasi Ekonomi pada saat itu, Kolonel Suprajogi, Tertanggal 7 November 1958 kepada DPR mengatakan pendapatnya: “Pemerintah memilih tindakan nasionalisasi karena tindakan ini diakui oleh hukum internasional. syarat sah terpenting adalah ganti kerugian dan ini akan dilakukan oleh pemerintah. Maka jelaslah bahwa tuduhan seolah-olah pemerintah telah mensita bahkan dikatakan mencuri adalah tidak benar.” Tidak hanya Kolonel Suprajogi, Mr. Sujarwo dan Ruslan Abdul Ghani juga berpendapat demikian bahwa nasionalisasi yang menjadi hak negara berkembang harus disertai ganti kerugian. Berbeda halnya dengan beberapa anggota DPR seperti H.A Chamid Widjaja, dan Nungtjik A.R yang berpendapat bahwa : ”Di dalam masyarakat ramai telah berkembang saran-saran dan pernyataan dari masyarakat luas yang diajukan, agara supaya perusahaan-perusahaan itu disita saja, dala artian diambil-alih tanpa diberikan ganti kerugian. Sehingga nasionalisasi yang diinginkan masyarakat luas adalah nasionalisasi tanpa memberikan ganti kerugian”.4 Dengan demikian, perbedaan pendefenisian dan aktualisasi nasionalisasi hanyalah berputar dalam hal pengambilalihan dengan pemberian ganti rugi dan penyitaan tanpa ganti rugi (konfiskasi).
4
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1960), h. 6-7
36
Selanjutnya pengaturan nasionalisasi terdapat pada Undang-undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Pasal 21 dan pasal 22. Pasal 21 berbunyi bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian. Selanjutnya Pasal 22 (1) jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka Pemerintah wajib memberikan kompensasi/ ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku. Dalam perkembangannya UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing ini dirubah dan digantikan dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal. Perihal nasionalisasi dalam UU ini diatur dalam pasal 7 bahwa: “(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undangundang. (2) Dalarn hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Pemerintah akan rnemberikan kompensasi yang jurnlahnya ditetapkan bcrdasarkan harga pasar.5 (3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kescpakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase”.
5
Lihat penjelasan pasal 7 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Di mana harga pasar yang dimaksud dijelaskan sebagai harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk olch para pihak.
37
Sekilas tidak ada yang terlalu berbeda antara pengaturan mengenai tindakan nasionalisasi dalam kedua UU tersebut. Hanya saja pada pasal 7 UU No. 25 Tahun 2007 lebih terdapat penekanan bahwa nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang. Hal ini menunjukan kedudukan pasal ini sebagai konstitusional bersyarat dimana segala yang terkait dengan panafsiran dan pelaksanaanya akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam naskah akademik undang-undang ini disebutkan bahwa tindakan nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang adalah semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum bagi investor asing, sehingga kegiatan investasi yang dilaksanakan tidak dibayangi rasa takut akan diambilalih atau dinasionalisasi. Begitu pula dengan pengaturan ganti rugi atau kompensasi yang akan diberikan oleh pemerintah sebagai konsekuensi dari tindakan nasionalisasi akan ditetapkan sesuai dengan harga pasar yang diakui oleh hukum internasional. Hal ini adalah wujud dari penerapan asas keadilan dalam menjamin keamanan aset investor asing selama meninvestasikan modalnya di Indonesia. B. Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Internasional Setiap negara-negara berkembang berkeinginan untuk melepaskan diri dari kekangan perusahaan multinasional raksasa yang menguasai perekonomian dan perpolitikan, hal ini adalah sejalan dengan proses perkembangan pembebasan daripada apa yang terkenal dengan istilah “underdeveloped countries”. Friedman 0mengemukakan bahwa diwaktu sekarang ini soal nasionalisasi adalah “a most
38
pressing problem”, yang menyebabkan hingga masalah ini merupakan “question of very real moment” bahwa nasionalisasi adalah bagian “the growth of chauvinis following the rise of extreme nationalist movements, and the spread of communism in many countries formely under tutelage of the great powers”.6 Dalam perkembangan Hukum ekonomi internasional istilah nasionalisasi, ekspropriasi dan konfiskasi sering dipertukarkan dan dianggap mempunyai makna serupa sebagai tindakan pengambilalihan “taking”, sebenarnya terdapat perbedaan di antara ketiganya. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk mengakhiri penanaman modal asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor ekonomi dalam negeri, sedangkan ekspropriasi mengacu pada pengambilalihan perusahaan tertentu demi kepentingan umum atau kepentingan ekonomi tertentu. Sementara itu konfiskasi adalah pengambilalihan hak milik yang dilakukan penguasa demi kepentingan pribadi. Konfiskasi biasa terjadi dinegara-negara yang dipimpin oleh diktator terhadap para pedagang-pedagang asing yang merambah antar mancanegara. Perlakuan konfiskasi ini selalu tidak diiringi dengan ganti rugi atau kompensasi diakibatkan pengambilalihannya secara paksa. Dengan demikian jelas Sornarajah berpendapat bahwa ketiga hal ini harus lah dibedakan dalam pendefenisian, pengaturan dan penerapannya.7 6 7
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, h. 1
M. Sornarajah, The International Law Of Foreign Invesment, Third edition, (New York: Cambridge University Press, 2010), h. 364-367
39
Adriaanse sebagaimana telah dikutip oleh Sunarhayati memberikan perbedaan antara kofiskasi, eksproriasi dan nasionalisasi. Bahwa Confiscation merupakan “any gevernmental action by which private property is seized without compensation, no matter in what form or under what name.” Sedangkan expropriation adalah dipakai dalam arti expropriation for public utility against just compensation. Sedangkan dalam mengartikan nationalization, andriaanse sepaham dengan Gillian White bahwa “Nationalization is the term used to describe the process whereby property, and rights and interest in property are transfered from private public ownership by agents of the state acting on the authority of a legislative of executive measure. After transfer, the property remains in the ownership of, and is exploited by the state.”8 Dalam Hukum Internasional, tindakan nasionalisasi dirasakan sebagai ancaman bagi setiap penanam modal asing yang sedang mengembangkan bisnisnya. Akan tetapi wujud nasionalisasi merupakan bukti kedaulatan suatu negara dalam pembangunan ekonomi dimana hal itu diakui dan dihormati oleh dunia internasional sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan bangsa. Akan tetapi dalam hal ini perlu diketahui pula, bahwa ada pandangan tradisional yang berpendapat bahwa seorang pemilik dengan cara dan alasan bagaimanapun juga tidak boleh dicabut hak miliknya (karena hal ini merupakan suatu hak asasi), sehingga berdasarkan doktrin vested
8
Sunayati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1972), h. 174
40
right hak milik seseorang, baik warga negara maupun orang asing tidak dapat dinasionalisasi.9 Begitu sakral hak milik seseorang sebagai hak asasi yang tidak dapat diambil oleh siapapun telah mengalami perubahan sejak ditinggalkannya politik laisez faire10 dan digantikan dengan konsep negara kesejahteraan (walfare state). Maka peranan pemerintah dalam menentukan dan menyelenggarakan kepentingan masayarakat sosial menjadi lebih besar. Akibatnya hak milik yang merupakan hak mutlak asasi baik warga negara maupun asing lambat laun dapat digugat jika hal itu melanggar ketertiban umum dan memiliki peran untuk melengkapi kepentingan sosial. Namun di era kekinian dari ketiga istilah pengambilalihan modal asing, hukum internasional hanya mengenal tindakan nasionalisasi dan ekspropriasi sebagai perbuatan yang legal jika dipenuhi beberapa persyaratan sesuai customary international law. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara tegas mengakui sebuah kedaulatan ekonomi bangsa untuk melakukan tindakan nasionalisasi atau ekspropriasi sebagai hak negara tuan rumah penerima modal (host country). Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara yang bersangkutan. (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource) menyatakan bahwa:
9
Hilman Panjaitan dan Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, h. 207
10
laisez faire adalah adalah sebuah frasa bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harfiah "biarkan berbuat"). istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Laissez-faire berarti bahwa mahzab pemikiran ekonomi neoklasik memegang pandangan pasar yang murni atau liberal secara ekonomi: bahwa pasar bebas sebaiknya dibiarkan pada seperti apa adanya.
41
“Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interest, both domestic and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in accordance with the rules in force in the state taking such measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, the national jurisdiction of the state taking such measures shall be exhausted. However, upon agreement by sovereignty states and other parties concerned, settlement of the dispute should be made through arbitration or international adjudication”.11 Demikian pula halnya dalam UNCTAD Series on issues in international investment agreements, dijelaskan bahwa pengambilalihan milik asing (taking of foreign property) telah diakui dalam dunia hukum internasional, dan dapat bersumber dari tindakan pengambilalihan oleh pemerintah terhadap aset asing di negara host country, dan pemilik perusahaan terhadap aset-asetnya di negara-negara penerima investasi dengan alasan penurunan nilai aset, signifikasi aset dan lain sebagainya. Pengambilalihan milik asing dapat berbentuk secara langsung (direct taking such nationalization) maupun tidak langsung (indirect taking such creeping expropriation).12 Hal ini lebih lanjut dijelaskan bahwa: “The taking of foreign property by a host country has constituted, at least in the past, one of the most important risks to foreign investment. The taking of property by Governments can result from legislative or administrative acts that 11
Lihat Paragraf 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource) 12
Creeping expropriation adalah suatu kondisi dimana pengambilalihan tidak langsung dilaksanakan, kondisi di mana serangkaian tindakan langkah demi langkah yang merugikan investor karena menyebabkan operasi bisnis investor asing merugi. Dalam hal ini tindakan-tindakan ini harus dilakukan demi kepentingan umum, tidak diskriminatif dan disertai dengan jadwal divestasi yang dapat diterima serta diiringi dengan pemberian kompensasi.
42
transfer title and physical possession. Takings can also result from official acts that effectuate the loss of management, use or control, or a significant depreciation in the value of assets. Generally speaking, the former can be classified as “direct takings” and the latter as “indirect takings”. Direct takings are associated with measures that have given rise to the classical category of takings under international law. They include the outright takings of all foreign property in all economic sectors, takings on an industry-specific basis, or takings that are firm-specific. Usually, outright takings in all economic sectors or on an industry-specific basis have been labeled “nationalizations”. Some particular types of such takings have been called “creeping expropriations”, while others may be termed “regulatory takings”. All such takings may be considered “indirect takings”.Firm specific takings on the other hand have often been called “expropriations”. Both nationalizations and expropriations involve the physical taking of property.”13 Dengan demikian terlihat betul bagaimana para pakar hukum internasional dan kovensi-konvensi internasional membedakan pendefinisian antara konfiskasi, ekspropriasi, dan nasionalisasi. Sedangkan perihal nasionalisasi merupakan hak setiap negara yang berdaulat adalah mutlak adanya dan hal itu diakui oleh negaranegara yang beradab dan oleh hukum internasional. Begitu juga halnya dengan perbedaan pemahaman pemberian kompensasi atau ganti kerugian terhadap aset milik asing yang dinasionalisasikan, sekiranya telah menjadi syarat yang harus dipersiapkan oleh negara host country untuk menghormati keberadaan prinsipprinsip negara yang beradab dan berkeadilan.
13
Lihat UNCTAD Series on issues in international investment agreements “Taking Property”, (New York and Geneva: United Nation publication, 2000), h. 3-4
43
C. Pemberian Ganti Rugi (Kompensasi) Terhadap Milik Asing Sebagai Konsekuensi Nasionalisasi Dalam sejarah perkembangan hukum nasional Indonesia, istilah kompensasi atau pemberian ganti rugi sebagai akibat tindakan nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Tepatnya Pasal 2 undang-undang ini menyatakan bahwa, Kepada pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dalam pasal 1 (yakni perusahaan-perusahaan yang dilakukan nasionalisasi) diberi ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitia yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah. Selanjutnya dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 Tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda menyatakan bahwa, Panitia Penetapan Ganti Kerugian seperti tersebut dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 sekurang-kurangnya terdiri dari : a. Wakil Kementerian Kehakiman sebagai anggota merangkap Ketua; b. Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota merangkap Wakil Ketua c.Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota. Panitia penetapan ganti kerugian di atas memiliki tugas kewajiban yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Rumusan Peraturan Pemerintah ini memerintahkan Panitia Penetapan Ganti Kerugian untuk bertugas mengadakan pemeriksaan seperlunya tentang keadaan
44
perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dan menetapkan besarnya ganti kerugian yang dapat diberikan. Pemilik perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dapat melaporkan besaran ganti kerugian kepada Panitia Penetapan Ganti Kerugian dengan membawa berkas-berkas dan bukti-bukti sah atas kepemilikan perusahaan beserta asetnya.14 PP ini memiliki perbedaan dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam hal siapa yang berwenang dalam menentukan besaran ganti kerugian. Pasal 7 ayat 2 undang-undang ini tidak secara spesifik menentukan besaran kompensasi serta pihak siapa yang menjadi panitia penetapan ganti kerugian. Undang-undang ini menyatakan dalam hal terjadinya nasionalisasi pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dalam penjelasannya, harga pasar yang dimaksud adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh panitia independen yang ditunjuk oleh para pihak. Jadi secara tidak langsung, yang akan menentukan besaran ganti kerugian adalah pihak ketiga berdasarkan formula yang mereka tetapkan sendiri.15 Terdapat
hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal yang belum dimiliki oleh peraturan-peraturan 14
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Bandingkan dengan perihal pemberian ganti rugi dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 15
Lihat Pasal 7 Ayat 1,2,3 Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Selanjutnya dalam Penjelasan Ayat 2, yang dimaksud dengan “Harga Pasar” adalah Harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak.
45
sebelumnya, yaitu pasal 7 ayat 3 yang menyatakan bahwa perihal apabila di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan mengenai besaran kompensasi, maka akan diselesaikan melalui arbitrase.16 Penyelesaian melalui arbitrase ini memberikan makna tersendiri, dimana putusannya yang bersifat final memberikan kejelasan dan efesiensi waktu dalam menentukan besaran kompensasi yang adil dan wajar. Hal di atas berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, pasal 22 ayat 1 undang-undang ini menyatakan jika terjadi nasionalisasi, pemerintah wajib memberikan kompensasi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku. Dalam penjelasannya, pasal ini hanya sekedar menegaskan bahwa kompensasi tersebut diberikan sesuai prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Hal ini tentu saja memberikan kerancuan penafsiran, mengingat dalam dunia hukum internasional mengenal penerapan dua doktrin yang berbeda yaitu doktrin hull dan doktrin calvo17 dalam hal kewajiban pemberian ganti kerugian serta besarannya.
16
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase tertulis, di mana para pihak menyerahkan kewenangan penyelesaiannya kepada pihak yang netral yang disebut arbiter. Lihat Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 17
Doktrin Hull dikenal sebagai representative negara-negara maju pemilik modal asing, sedangkan Doktrin Calvo dikenal sebagai representative negara-negara berkembang penerima modal asing. Doktrin Hull dipopulerkan dari nama Menteri Luar Negeri Amerika Corden Hull (1930 an), maksud dari doktrin adalah hak negara untuk melakukan nasionalisasi tunduk pada hukum internasional. Nasionalisasi harus disertai dengan prompt, adequate, dan Affective compensation. Sedangkan Doktrin Calvo dipopulerkan dari nama Menteri Luar Negeri Argentina Carlos Calvo, maksud dari doktrin ini adalah sengketa mengenai penanaman modal asing (PMA) berada di bawah yurisdiksi pengadilan lokal. Investor asing tidak memerlukan proteksi internasional dan perlindungan diplomatik negara asalnya. PMA diperlakukan sesuai dengan prinsip national treatment juga dalam
46
Dalam perkembangannya, apabila kita melirik kewajiban pemberian kompensasi dalam dunia hukum internasional, kita dapat mendapatkannya dalam Resolusi 1803 / 1962 dan Resolusi 3281/ 1974 Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa, memuat ketentuan kewajiban pemberian ganti rugi terhadap nasionalisasi, hal tersebut diwajibkan agal nasionalisasi dapat dikatakn sah menurut hukum. Lengkapnya Resolusi itu berbunyi: “The right of people and nations to permanent sovereignty over their natural wealth and resources must be exercised in the interest of their national development and of well-bein of the people of the state concerned. Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interest, both domestic and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in accordance with the rules in force in the state taking such measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, the national jurisdiction of the state taking such measures shall be exhausted...”18 Pernyataan diatas menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya dan dapat pula melakukan nasionalisasi bila itu diperlukan, namun nasionalisasi dibatasi dengan kewajiban pembayaran ganti rugi, dalam hal ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional agar adil dan wajar.
hal nasionalisasi, termasuk kompensasi untuk itu. Lihat Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, glosarium, h. 344. 18
Lihat Paragraf 1 dan 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource)
47
Kewajiban membayar ganti rugi terhadap kepemilikan asing yang dinasionalisasikan juga ditegaskan dalam Charter of Economics Rights and Duties of States (Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 3281/ Tahun 1974). Lengkapnya pernyataan itu dimuat dalam pasal 2 ayat 2 huruf c bahwa: “To nationalize, expropriate or transfer ownership of foreign property, in which case appropriate compensation should be paid by the state adopting such measures, taking into account its relevant laws and regulations and all circumstance that the state considers pertinent. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, it shall be settled under the domestic law of the nationalizing state and by its tribunals, unless it is freely and mutually agreed by all states concerned that other peaceful means be sought on the basis of the sovereignty equality of states and in accordance with the principle of free choice of means”.19 Beberapa negara maju seperti Belgium, Denmark, West Germany, Luxembourg, Great Britain and the United States menyatakan bahwa Charter 3281 ini sangat bersifat radikal, dan belum sepenuhnya menganut prinsip-prinsip tradisional hukum internasional seperti yang dijelaskan dalam Resolusi PBB 1083. Hal ini disebabkan oleh tercantumnya klausul secara eksplisit bahwa kompensasi wajib diberikan secara pantas dengan kenyataan yang ada dan sesuai dengan regulasi yang
berlaku
serta
segala
pertimbangan-pertimbangan
dari
negara
yang
menasionalisasikan. Negara yang melakukan ekspropriasi juga diberikan hak
19
Lihat pasal 2 ayat 2 huruf c, United Nations, Resolution over Charter of Economic Rights and Duties of The state, General Assembly Resolution 3281 / 12 December 1974
48
eksklusif untuk menentukan berapa banyak jumlah kompensasi yang akan diberikan.20 Kedua Resolusi dan Charter di atas memiliki kesamaan tipe atau jenis kompensasi yang diadopsi yaitu konsep appropriate compensation. Konsep ini menjelaskan bahwa suatu kompensasi atau pemberian ganti rugi harus melihat sisi kepantasan dan keadilan dari kedua pihak. Konsep ini kurang lebih mirip dengan fair compensation yang dianut oleh negara-negara berkembang. Kedua konsep ini sangat bertolak belakang dengan konsep yang dianut oleh negara-negara barat (negaranegara maju pengekspor modal) seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, dimana pemberian ganti rugi harus memperhatikan prinsip prompt, adequate dan effective compensation21 (tepat waktu, cukup dan tetap sasaran).
20
Lee A. O'Connor, The International Law of Expropriation of Foreign-Owned Property: The Compensation Requirement and the Role of the Taking State, (Los Angeles: Loyola Marymount University and Loyola Law School, 1983), h. 362. 21
Yang dimaksud dengan adequate compensation adalah ganti rugi secara penuh yang dalam praktik jarang terjadi, sedangkan effective compensation adalah valuta yang dipergunakan untuk pembayaran ganti rugi yang umumnya mempergunakan valuta dari Negara yang mengajukan tuntutan, sedangkan prompt compensation adalah pembayaran ganti rugi yang dilakukan secara seketika dan sekaligus yang dalam praktik lebih banyak dilakukan secara mencicil.
BAB IV ANALISA YURIDIS KEMANDIRIAN EKONOMI DAN PERTIMBANGAN HUKUM NASIONALISASI MODAL ASING
A. Nasionalisasi Dalam Pandangan Aliran Pragmatis Kontemporer Dalam sejarah Indonesia pro-kontra modal asing mengalami pasang surut. Kebijakan anti modal asing dimulai dari perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat pada tahun 1958. Dalam sejarah Indonesia merdeka, Pemerintah pernah dua kali melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan undangundang. Pertama, Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat dari Pendudukan Belanda. Perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi adalah perkebunan, yang setelah dinasionalisasi menjadi perusahaan negara sampai sekarang. Berkaitan dengan nasionalisasi, timbul gugatan
Perusahaan tembakau
Belanda di Bremen (Jerman), ketika tembakau dari perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal dengan kasus tembakau Bremen.1 Kedua, Pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika dan Inggris sebagai 1
Erman Rajagukguk “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing”, Disampaikan pada Diskusi Panel Kritik Atas Arah Kecenderungan Supremasi Hukum, Pasca 1998 Terkait Dengan Modal, diselenggarakan oleh ELSAM. HUMA, SAWIT WATCH, INFID, WALHI, AMAN, YLBHI, ICEL. Jakarta 5 -7 Agustus 2008. h. 3
49
50
pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh pemerintahan Sukarno dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo kolonialisme dan neo imperialisme.2 Secara sederhana dari awal kemerdekaan pasca reformasi, ada dua arus pemikiran utama yang berkembang dan sangat mempengaruhi eksistensi investasi asing. Pertama, pemikiran Hatta dan Soekarno dan para ekonom lainnya seperti Syafruddin Prawinegara (Gubernur BI 1953-1958) yang berpandangan pragmatis bahwa kapital dan modal asing masih diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini melahirkan berbagai bentuk kebijakan yang cukup menuai respon positif, dikarenakan serangan dan konfrontasi baik berbentuk nasionalisasi maupun ekspropriasi hanya perlu dilakukan kepada kapitalisme jahat yang dilakukan para imperialis yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kedua, pemikiran Tan Malaka, para ekonom dan politikus sepemahaman, serta kaum serikat buruh yang berpandangan lebih radikal kontemporer bahwa penyitaan (Nasionalisasi/ ekspropriasi) seluruh kekayaan dan aset-aset asing sajalah yang mampu membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan-hambatan kaum imperialis dan kolonialis.3
2 3
Ibid. h. 3-4
Bodan kanumoyoso, Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 2-3
51
Di tengah perbedaan pendapat ini pemerintah mengambil kebijakan untuk tetap melakukan nasionalisasi demi mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Nasionalisasi yang dilakukan tentunya harus memenuhi prinsip-prinsip hukum internasional dan menghormati hak milik asing dengan tidak membabi buta dalam hal nasionalisasi. Kebijakan ini juga diselaraskan dengan tindakan indonesianisasi yang lebih intensif dalam era Kabinet Ali Satroamidjojo (1953-1955), hal yang terpenting dari program indonesianisasi ini adalah dengan memberikan bantuan kepada pengusaha-pengusaha pribumi untuk mengambil bagian yang lebih besar dari kegiatan ekonomi, seperti perdagangan impor, perbankan, perkapalan, dan penggilingan beras, yang saat itu masih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi Belanda dan Tionghoa.4 Meskipun demikian, para pemimpin nasional Indonesia tersebut memiliki kesamaan ideologi yang anti kapitalis, neo liberalis, neo imperialis dan neo kolonialis. Akan tetapi, pandangan pragmatis (Hatta dan Sukarno) menyadari bahwa modal asing harus tetap dapat ditarik ke Indonesia dan tentunya dikontrol untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan perindustrian yang modern. Untuk itu maka pada tahun 1953 pemerintah Indonesia menyusun suatu rancangan undang-undang penanaman modal asing yang telah disetujui parlemen pada tahun 1958 disertai berbagai amandemen.5
4
Ibid, h. 41
5
Hill, Hal Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 15
52
Seiring berkembangannya berbagai kebijakan hukum ekonomi terkait penanaman modal asing, arus pemikiran baik pragmatis dan radikal kontemporer kian aktif mengkritisi kebijakan hukum ekonomi terkait penanaman modal asing ini. Penulis mengamati catatan sejarah yang memicu ledakan amarah untuk lepas dari neo kolonialisme adalah pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan era otoritarianisme. Hal-hal ini terlihat ketika Ketergantungan pada asing yang rentan mencapai klimaknya ketika di Korea dan Malaysia terjadi krisis moneter. Posisi pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto mengalami banyak kesulitan mengatasi “krisis moneter” yang telah berubah menjadi “krisis multidimensional”. Presiden selaku kepala pemerintahan Indonesia dipaksa untuk menandatangani agenda kekuatan politik ekonomi internasional yang diwakili oleh IMF dan Bank Dunia. Kebijakan ini pun serontak menyebabkan meluasnya arus kapitalisme dan neo imperialisme sehingga beberapa oknum pengusaha berjiwa kerdil tidak ragu menggunakan cara yang licik dan kejam. Mereka tidak ragu mengorbankan kedaulatan rakyat, kedaulatan negara selama kepentingan diri dan kelompoknya tercapai.6 Situasi ini pun diperparah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 Sebagai Peraturan Pelaksana Penanaman Modal Asing yang melahirkan
6
Hariyono, “Kedaulatan Indonesia dalam Perjalanan Sejarah Politik”. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang. (Malang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang , Rabu, 14 Desember 2011), h. 34-35
53
kebijakan liberalistik, kapitalistik, neo kolonialistik, dan neo imperialistik. Diantaranya adalah: 1. Sektor-sektor usaha yang dapat dimasuki investasi asing semakin banyak. Meluasnya sektor usaha bagi penanaman modal asing akan menambah ruang gerak Penanaman modal asing. Sektor-sektor modal asing dapat sampai l00%, antara lain perkebunan, perikanan (usaha perikanan tangkap terpadu dan budi daya ikan), kehutanan ( usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan pembenihan tanaman hutan), pertambangan (usaha pengeboran minyak dan gas bumi), perhubungan ( pembangunan dan pengusahaan pelabuhan laut dan udara), pekerjaan umum (pengolahan dan penyediaan air bersih untuk umum), kesehatan (Pelayanan medis, meliputi pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit, medical check up, laboratorium klinik, pelayanan rehabilitasi), dan bidang usaha komunikasi (peralatan jasa dan jaringan telekomunikasi. 2. Liberalisasi dalam pemilikan saham asing. Dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994, penanaman modal asing dapat menguasai sepenuhnya saham yang ada tanpa harus bermitra bisnis dengan pemodal Indonesia. Kesempatan ini, paling tidak sampai lima beias tahun pertama setelah berproduksi secara komersial.7 Demikian halnya, apabila kita memperhatikan Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No. 1055/KMK.013/1989 yang membatasi kepemilikan asing di Pasar Modal hanya sampai 49%. Peraturan ini dicabut berdasarkan Keputusan Menteri 7
Erman Rajagukguk “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing, h. 8-10
54
Keuangan No. 455/KMK.01/1997. Tidak tunduknya asing pada ketentuan mengenai pembatasan bidang usaha yang tertutup dan/atau terbuka dengan pembatasan bagi penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman modal menyebabkan pihak asing dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dalam negeri.8 Hal ini semakin mempertegas ketergantungan terhadap modal asing yang menyetir Bangsa Indonesia dalam naungan neo kolonialisme. Pada masa orde baru, nasionalisme kita baru saja terusik ketika aset dan saham perusahaan Indonesia diborong oleh orang atau perusahaan asing. Di era reformasi, banyak yang meneliti bahwa tren privatisasi BUMN sekarang direduksi menjadi “asingisasi”, penjualan saham BUMN kepada investor/perusahaan asing.9 Hal itupun seakan tak menghormati jerih payah Founding Fathers kita yang telah mendirikan perusahan milik negara (sekarang BUMN) sebagai wujud nasionalisme. Era reformasi yang banyak memberi kekebasan pada awalnya memberikan suatu harapan yang besar bagi masyarakat. Dibuai oleh wacana pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan deregulasi masyarakat dan pemerintah memberi kesempatan pada para pedagang (lokal dan internasional) bergerak bebas mencari keuntungan. Mereka yang menghalangi dianggap sebagai musuh peradaban. Negara yang tidak mendukung kebebasan pun dianggap 8
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Modul Kuliah 2, Pasal 1 s/d Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), h. 6 9
Dadang Supardan, Tantangan Nasionalisme Indonesia Dala Era Globalisasi, (Bandung: Univesitas Pendidikan Indonesia,), h. 17
55
melanggar ”Washington Consensus”.10 Konsekuensinya seiring berjalannya sejarah, kedaulatan diri, bangsa dan negara justru makin memprihatinkan. Kita terasa menjadi bangsa yang makin “lembek”. Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia makin bersifat masif. Pemikiran ekonom Indonesia yang dominan di era reformasi masih didominasi oleh pemikir penganut neoklasik. Usaha mencari pinjaman untuk menopang pembangunan sekaligus mengurangi peran negara makin berjalan cepat. reformasi usaha mencari pinjaman makin bersemangat. Proses penjualan aset negara makin gencar dan meriah dipasarkan. Usaha mengurangi peran negara juga makin meningkat. Pelbagai kebijakan sejak Presiden Habibie (Golkar), Abdurahman Wahid (PKB), Megawati Sukarnoputri (PDI-P), hingga Susilo Bambang Yudoyono (PD) banyak yang memberi ruang keterlibatan swasta asing. Menguatnya kebijakan neoliberal di era reformasi yang sulit dikendalikan oleh Presiden menurut Kwik Kian Gie disebabkan oleh ”kecerdikan” ekonomi penganut ideologi neoliberal. Pada masa pemerintahan Abdurahman mereka masuk pada badan penasehat atau tim asistensi. Pada masa pemerintahan Megawati mereka mengendalikan eselon 1 dan II dari semua departemen secara rapi. 11 Sedangkan di akhir era SBY, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2014 Tentang 10
Washington Consensus pertama kali dimunculkan oleh Jhon Williamson pada tahun 1989 sebagai simbol dari liberalisasi perdagangan internasional. Istilah Washington merujuk kepada lembaga keuangan yang berada di Washington DC (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS). 11
Kwik Kian Gie, Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa. Dalam I. Wibowo & F. Wahono. Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003) h, 331
56
Daftar Negatif Investasi memperkaya kebijakan liberalistik di mana adanya peningkatan kepemilikian asing di sektor Sumber daya mineral, Perhubungan, Kesehatan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif. Dalam pembangkit listrik > 10 MW dan transmisi/ distribusi tenaga listrik misalnya, kepemilikan modal asing adalah maksimal 100%. Hal ini tentu semakin menyempitkan kesempatan pengusahapengusaha lokal untuk bersaing.12 Kebijakan penanaman modal asing di Indonesia dewasa ini masih belum mencerminkan hukum dasar perekonomian nasional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 33 UUD RI Tahun 1945. Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 harus ditafsirkan secara jernih dengan memperhatikan aspek historis perumusannya untuk selanjutnya dipegang teguh sebagai hukum dasar penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia. Perubahan fundamental melalui nasionalisasi atau ekspropriasi terhadap perusahaan-perusahaan asing khususnya pengaturan cabangcabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus menjadi pertimbangan, guna mengembalikan tujuan kemakmuran rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam yang begitu berlimpah di tanah air tercinta ini. B. Makna Kemandirian Ekonomi Dari Perspektif Hukum Ekonomi Pembangunan Negara-negara yang sekarang ini disebut negara-negara maju (Developed Countries) telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat ; unifikasi,
12
Leks & C0 Law Firm, Artikel “Pemerintah Menerbitkan Daftar Negatif Indonesia Terbaru” Artikel Diakses Pada 10/02/2015 dari http://hukumpenanamanmodal.com/.
57
industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesaman nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk ekonomi dan modernisasi politik. Akhimya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu yang relatif lama. Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi. Indusirialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan (Walfare State).13 Negara-negara berkembang (Developing Countries) memiliki tujuan yang sama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi kadang kala timbul pebedaan pemahaman cara untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Pengaruh yang terbesar dirasakan oleh negara-negara berkembang yaitu ketika mereka dipaksa mengikuti dan mengadopsi segala sistem politik dan ekonomi hingga budaya melalui penjajahan kolonialisme untuk mencapai ketiga tingkatan tersebut. Sehingga ketika mereka ingin mencapai tingkatan industrialisasi pasca kesatuan nasionalisme (kemerdekaan), hanya tersisa pilihan untuk tetap statis meneruskan sistem
13
Erman Rajagukguk “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”. Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 4 Januari 1997), h. 1
58
kolonialisme atau melaksanakan kedaulatan ekonomi nasional menuju kesejahteraan sosial sebagai negara yang berdaulat. Sistem Industrialisasi negara-negara maju yang didominasi negara-negara bagian barat telah mengenalkan sistem liberalisme dan kapitalisme. Hingga saat ini Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang filosof yang menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai penganut faham individualis dan pembela kaum industri, Smith mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar akan mampu membenahi dirinya sendiri. Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga (pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan keniscayaan memperoleh keuntungan semaksimal-maksimalnya karena pasar mengatur dirinya sendiri. 14 Puncak dari pergumulan ini adalah perebutan pasar serta sumberdaya enerji dan produksi. Maka lahirlah Perang Dunia I dan II. Amerika Serikat (AS) tidak lagi menghendaki Eropa mendominasi perekonomian. Sekaligus diperlukan strategi baru bagaimana mengatur perekonomian dalam pergaulan internasional. Pemikiran inilah yang melahirkan apa yang disebut Breton Woods, yakni tiga lembaga ekonomi (Bank Dunia, IMF, dan GATT yang kemudian menjadi WTO) dan satu lembaga politik (PBB). Tetapi liberalnya pasar ini menemui kegagalan karena AS terus
14
Ichsanuddin Noorsy, “Kerakyatan Versus Neoliberal”, Artikel diakses pada 10/02/2015 dari www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/002.pdf , h. 3-4.
59
mengalami defisit anggaran dan defisit perdagangan. Karena itu pada Juli 1971. Perekonomian Inggris juga mengalami hal yang sama. Dua negara “sekandung” ini berpendapat, kesejahteraan mereka beralih ke negara lain terutama karena Jepang dan Jerman telah kembali menancapkan pengaruhnya dalam kancah perekonomian. Ekonomi industrialisasi berbasis neoliberal sebagaimana dikaji ilmuwan Barat sendiri telah membuat orang kaya makin kaya dan kaum papa makin ternista. Neoliberal bahkan telah memposisikan pengusaha berhadapan dengan rakyat.15 Sebagai negara berkembang, Indonesia harus berani mengambil sikap yang berbeda dengan keadaan liberalisasi dan globalisasi ekonomi yang bukti kegagalannya
tidak
terbantahkan.
Indonesia
harus
berani
dan
percara
mempertahankan sistem ekonomi kerakyatan yang diusung oleh Founding Father kita (Mohammad Hatta) guna menuju kemandirian ekonomi nasional. Hatta sebagai perumus pasal 33 UUD 1945 meyakinkan kepada masyarakat Indonesia bahwa tujuan kesejahteraan negara tidak melalui sistem kapitalisme, tetapi sosialisme Indonesia yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sosialisme Religius). Politik Ekonomi Hatta juga mengajak Indonesia untuk menerapkan sistem ekonomi secara kekeluargaan dan gotong royong, yang saling memperhatikan kebutuhan dan kepentingan bersama, sehingga tidak saling menghisap ala neokapitalisme dan neo
15
Ibid, h. 5
60
liberalisme. Hatta sangat memperhatikan tanggung jawab sosial untuk pemerataan, keadilan dan kemakmuran bersama.16 Secara universal dalam prinsip-prinsip Natural Of Law, setiap individu dalam artian negara memiliki hak ekonomi dan politik untuk menentukan sendiri sistem dan kebijakan demi menuju negara sejahtera. Hal itu dipertegas dengan dicantumkan pasal mengenai hak ekonomi dalam konvensi. Perlu dicatat, dipandang dari segi sistem politik dan ekonomi, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai digambarkan sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan sistem sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran. Hak-hak tersebut dapat diwujudkan dalam hak ekonomi dan politik yang beragam dan luas, asalkan tidak berbenturan dan menimbulkan penafsiran ambiguitas dalam penerapan hak asasi manusia yang diakui dan diterapkan oleh sistem negara tersebut.17 Hak ekonomi tersebut diperkuat bahwa Kedaulatan negara atas kekayaan alamnya, diakui oleh dunia internasional sebagaimana diatur dalam resolusi Majelis Umum PBB, 21 Desember 1952 yaitu tentang Prinsip penentuan nasib sendiri ekonomi setiap negara berkembang (economic self-determination) ditegaskan bahwa hak setiap negara untuk memanfaatkan kekayaan alamnya. Dalam Covenant on 16
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan, (Jakarta: Granit, 2004), h. 181-183 17
h. 113
Rhona K.M Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008),
61
Economic, Social and Cultural Right, 16 Desember 1966, pada Pasal 1 ditegaskan tentang hak suatu negara (peoples) untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. Resolusi Majelis Umum PBB tentang Permanent Sovereignty over Natural Resources tahun 1974 dan Deklarasi tentang pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Piagam Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rigahts and Duties of State) tahun 1974, yang menegaskan kembali kedaulatan negara untuk mengawasi kekayaan alamnya, terutama bagi negara berkembang.18 Indonesia sebagai negara yang berdaulat telah mengatur sistem perekonomian yang berpedoman dalam rumusan pasal 33 UUD 1945. Prinsip dan fondasi penyelenggaraan perekonomian negara diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu antara lain pada ayat 2: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan ayat 3: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rumusan ini sengaja dibuat para Founding Fathers untuk membatasi praktik ekonomi pasar liberalistik dan kapitalistik serta imperialistik yang sayangnya sedang dialami oleh Negara kita sekarang. Hal ini menjelaskan bahwa sistem industrialisasi ala barat tidak
18
sesuai dengan bangsa
Huala Adolf dalam bukunya, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Jakarta:Rajawali Pers, 1991), h. 51.
62
Indonesia yang bercirikan kebersamaan, gotong royong, dan kekeluargaan, sehingga pengkhiatan konstitusi yang sedang berlangsung ini harus segara dihentikan.19 Prinsip kekeluargaan, sosialisme religius, dan kemandirian dalam mengelola perekonomin, kiranya juga selaras dengan apa yang perintahkan oleh Allah SWT melalui Firman-Nya dalam Surat an-Nahl Ayat 71:
َّ َللاُُف ُِّيُر ْسقِ ِه ْم ُ َو ِّ ُقُفَ َماُالَّ ِذ ْيهَ ُف َ ض َلُبَ ْع ِ ْضُفِيُالز ِّْس ِ ضلُىُْاُبِ َزآد ٍ ض ُك ْمُ َعلَيُبَع ْ َعلَيُ َماُ َملَ َك ُُُ}ُُ16ُ:ُ61ُ/للاُِ َيجْ َح ُدوْ نَ ُ{ألىّحل ُ ُس َىا ٌءُأَفَ ِبىِ ْع َم ِة َُ ُتُأَ ْي َماوُهُ ْمُفَهُ ْمُفِ ْي ِه Artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni’mat Allah”. Ayat di atas jelas memposisikan bahwa kehidupan manusia di dunia ini, harus selalu memperhatikan kondisi ekonomi manusia lainnya, harus saling gotong royong dengan memegang teguh prinsip kebersamaan dan kekeluargaan sehingga sistem ekonomi sosialis religius yang telah diusung Bung Hatta dalam konstitusi ekonomi kita dapat terealisasikan. Allah telah menjelaskan dan memposisikan bahwa segala prinsip kapitalisme jahat yang hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan beragam cara adalah sebuah keserakahan yang berakibat kepada keingkaran nikmat 19
Marwan Batubara, Penanaman Modal Asing dan Pengkhianatan Konstitusi, Dalam Fadli Zon, dkk, Dilema Indonesia, (Jakarta: Institut For Policy Studies, 2007), h. 149
63
Allah. Sehingga apa yang selama ini dipraktekan Perusahaan-perusahaan multinasional asing yang cenderung hanya meraup dan menghisap sumber daya alam dan manusia di negara-negara penerima modal dengan tanpa melaksanakan kewajibannya meningkatkan perekonomian adalah sebuah kebatilan dan penjajahan gaya baru yang harus dihentikan. Secara sadar keberadaan Pasal 33 UUD 1945 serta segala peraturan yang terkait dengan perekonomian adalah cerminan eksistensi Hukum Ekonomi Pembangunan dan sosial untuk merespons kebutuhan masyarakat dan negara dalam mencapai kesejahteraan. Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal disebutkan asas atau landasan dalam sistem perekonomian kita yakni
asas
kemandirian
ekonomi.
Kemandirian
adalah
satu
sikap
yang
mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan. Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya
mengandung
kepercayaan
diri
unsur
penemuan
(sefconfidence).
diri
Kemandirian
(self-discovery) adalah
satu
berdasarkan sikap
yang
mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi
64
mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.20 Adanya suatu kondisi yang ditakutkan oleh setiap negara berkembang, adalah ketika kemandirian yang telah dijalankan dan dijaga ternodai oleh tindakan ketergantungan terhadap modal asing akibat terlalu membuka diri dengan kerjasamakerjasama internasional yang menjebak. Aliran dependensi yang banyak dianut oleh negara-negara berkembang berpendapat bahwa aliran modal asing yang masuk hanya akan memberikan kemakmuran sesaat, karena dibalik itu ada sistem menjajah yang berusaha ditanamkan selama-lamanya. Aliran interdependensi (pergeseran makna dependensi) yang dianut negaranegara maju berpandangan lebih liberal, bahwa manusia di planet bumi ini berada dalam satu perahu yang sama dan struktur ekonomi global yang semakin kompleks dari pada sekedar dikotomi pusat dan priferi. Kendati demikian, pendapat ini mengabaikan fakta bahwa penumpang-penumpang dalam perahu yang sama tidak berpergian pada kelas yang sama, bahkan tidak punya akses yang sama terhadap pelampung ataupun kapal penyelamat. Sudah jelas bahwa teori interdependensi merupakan konsep yang ambivelen dan relatif terbatas manfaat teoritisnya.21 Hukum dalam fungsi dasarnya sebagai sarana pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sarana pembangunan, dan sarana penegakan keadilan, harus dapat 20
Mukeri, “Kemandirian Ekonomi Sebagai Solusi Kemajuan Bangsa”, Artikel diakses pada 9/02/20 15, http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article, h. 3. 21
Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan: Masalah Kebijakan dan Politik (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 31
65
mewujudkan kepastian keamanan dan penegakan keadilan dalam tingkatan industrialisasi. Dalam pembangunan ekonomi, hukum harus dapat menyediakan pengaturan-pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia (peningkatan produksi) secara nasional dan berencana dengan tetap mengedapankan potensi nasional untuk mencapai kemandirian ekonomi nasional dan kesejahteraan warga dan negara.22 Permasalahan pada era globalisasi ekonomi ini juga memproduksi pengaruh terhadap globalisasi hukum. Globalisasi ekonomi menimbulkan pengaruh yang besar pada sistem hukum suatu negara, karena globalisasi ekonomi menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur. Berjayanya sistem neo liberalis ala negara-negara maju dalam wujud pasar bebas (WTO, AFTA, AES), seakan mentakdirkan kita negara-negara berkembang untuk tunduk dan ikut dalam permainan mereka.23 Globalisasi hukum tersebut ditandai dengan saling mempengaruhinya hukum nasional dan internasional, sehingga dibutuhkan harmonisasi hukum. Dalam proses harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional, berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong 22
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta,
1988), 41 23
Iskandar, Hukum Dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, (Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2011), h. 7
66
realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan perdagangan internasional dalam rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong masing-masing negara membuat aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional. Akan tetapi dalam mengadopsi hukum intenasional dalam kaitannya harmonisasi hukum, sering kali terlupakan bahwa studi hukum harus memperhatikan bagaimana hukum yang telah digunakan pada masa lalu secara kondisi sosial, ekonomi dan psikologis apakah sesuai dengan keadaan negara kita, dan apakah hukum tersebut sesuai dengan jiwa bangsa dan falsafah bangsa indonesia.24 C. Kemanfaatan Nasionalisasi dan Dampak Negatifnya dalam Segi Hukum Ekonomi Pembangunan Nasionalisasi baik yang berbentuk eksproriasi secara langsung maupun creeping expropriation tentunnya menjadi suatu hal yang sangat tidak diinginkan dan paling ditakuti oleh investor asing. Nuansa ketakutan tersebut akhirnya mereproduksi pemikiran pemerintah yang liberal untuk memberikan kepastian hukum kepada para investor bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi terhadap aset asing yang berada di Indonesia. Hal ini jelas terlihat dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Era globalisasi terus menggerogoti ketahanan dan kemandirian ekonomi nasional kita, tetapi sebagai negara yang berdaulat kita tidak boleh lupa akan jati diri 24
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1979), h. 149
67
dan niat awal sistem ekonomi nasional. Pengaturan larangan tindakan nasionalisasi dalam undang-undang penanaman modal yang begitu eksplisit merupakan wajah liberalisasi pemerintah yang lebih tunduk kepada negara-negara maju. Bila ditelusuri larangan nasionalisasi tersebut adalah hasil dari Ketentuan-ketentuan yang disusun berdasarkan praktik perjanjian internasional di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan lebih dari 60 negara yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional. Jika kita cermati ketentuan-ketentuan dari perjanjian bilateral serta konvensikonvensi internasional adanya syarat mutlak sebagai pijakan yang melegalkan tindakan nasionalisasi tersebut dapat dilakukan yaitu kepentingan publik (public interest). Namun sayangnya, syarat mutlak tersebut tidak dirumuskan dalam pengaturan undang-undang penanaman modal. Hal ini semakin memperjelas kedudukan pemerintah yang begitu tunduk terhadap asing.25 1. Kemanfaatan dan Dampak Positif Nasionalisasi Modal Asing Tindakan nasionalisasi akan memberikan banyak sekali manfaat baik itu dari segi hukum, ekonomi, politik dan tentunya sumber daya alam. Jeremy Bentham melalui teori utilitasnya berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Jadi hukum harus memberikan manfaat atau kegunanaan bagi orang banyak (to serve utility). Konsep utilitas mencoba
25
“Larangan untuk melakukan tindakan nasionalisasi dan pengambilalihan kecuali untuk kepentingan publik dari negara tuan rumah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Lihat IBR Supancana, dkk. Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal, (Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), 2010), h. 423.
68
menjelaskan bahwa setiap kebijakan hukum ekonomi haruslah dapat mewujudkan kebahagiaan ekstra serta kesejahteraan.26 Jika kita kaitkan konsep utilitas dengan teori ketergantungan (dependencia) yang menyatakan bahwa: a.
Penanaman Modal Asing dan bantuan luar negeri dalam jangka pendek memperbesar pertumbuhan ekonomi, namun dalam jangka panjang (5-20 tahun) menghambat pertumbuhan ekonomi.
b.
Makin banyak negara bergantung pada penanaman modal asing dan bantuan luar negeri (seperti IMF dan World Bank), makin besar perbedaan penghasilan dan pada gilirannya tujuan pemerataan tidak tercapai.27 Maka kekayaan sumber daya alam dan kekayaan industri suatu bangsa yang
masih terjajah oleh modal asing tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka panjang. Nasionalisasi dengan berbagai ragam agendanya seperti ekspropriasi langsung maupun yang tidak langsung seperti divestasi saham kepemilikan28, akan memberikan banyak manfaat jangka panjang dan dampak positif yang akan
26
Salim. HS, Hukum Divestasi di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 55
27
Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan: Masalah Kebijakan dan Politik, h. 359.
28
Divestasi adalah pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya, di Indonesia tindakan divestasi ini sering dikaitkan dengan divestasi yang dilakukan oleh perusahaan asing ke pemilik modal lokal/domestik. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga atas PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiata Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Perusahaan asing wajib mendivestasikan saham/ kepemilikan modal mereka hingga 51 % kepada pemilik lokal/domestik secara bertahap setelah 5 tahun produksi. Akan tetapi, peraturan tersebut mengalami kelonggaran terhadap perusahaan asing pertambangan yang telah membangun smelter pemurnian.
69
dirasakan dampaknya oleh masyarakat Indonesia. di antara manfaat nasionalisasi tersebut diantaranya adalah: a.
Dari segi hukum, nasionalisasi aset-aset asing baik seluruhnya atau sebagiannya dapat mengembalikan kembali Arah Kebijakan Hukum Ekonomi kepada konstitusi
ekonomi
serta
mereaalisasikan
konstitusi
ekonomi
(leaving
contitution/ konstitusi yang hidup) kita yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Bahwa sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UUD 1945 sistem ekonomi Indonesia merupakan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan, dengan kata lain, dapat disebut sebagai demokrasi ekonomi kerakyatan. Sistem ekonomi Indonesia bukanlah liberalisme yang kapitalistik, ataupun sistem ekonomi etatisme yang menerapkan command economy sehingga peran negara menjadi amat dominan menutup peran rakyatnya.29 b.
Nasionalisasi akan menutup penerapan-penerapan ideologi neo liberalisme dan neo imperealisme baru yang saat ini menurut para ahli telah mulai leluasa berkembang melalui kebijakan-kebijakan investasi yang cenderung melindungi kepentingan asing .30
c.
Menurut para ahli, Nasionalisasi akan menjawab perdebatan renegosiasi kontrak karya yang hanya berkutat pada masalah bagaimana menaikkan persentase
29 30
Jimly Asshidqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 354
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret 2008, Pemohon terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan LSM lainnya.
70
pembagian royalti. Di mana kenaikan pembayaran royalti nantinya hanya akan berdampak positif jangka pendek. 31 d.
Menurut para ahli, nasionalisasi dapat mengembalikan ketahanan dan kemandirian ekonomi nasional dimana kita yang telah lama terjebak dalam neo kolonialisme dan neo imperealisme.32
e.
Nasionalisasi dapat memberikan kesempatan yang lebih besar kepada investorinvestor
domestik
untuk
bisa
bersaing
dalam
pangsa
nasional
dan
internasional.33 2.
Dampak Negatif Nasionalisasi Modal Asing dari Segi Hukum Ekonomi Pembangunan. Tindakan nasionalisasi merupakan tindakan hukum yang berdimensi politik
dan dorongan faktor kedaulatan ekonomi yang memiliki konsekuensi serius yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Bahkan Hatta sendiri pun ketika mengomentari desakan para pimpinan politik dan kaum buruh serta ekonomi lainnya untuk segera menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, berusaha memberi 31
Wayu Eko Yudiatmaja, “Nasionalisasi PT. Freeport Indonesia”, Artikel diakses pada 16/02/2015 dari http://wayuguci.com/Nasionalisasi-PT- Freeport Indonesia, h. 9. 32
Data dari Badan Pertahanan Nasional bahwa konsentrasi kepemilikan aset asing meningkat: hanya 0,2% penduduk domestik menguasai 56 % aset di tanah air. Data Statistik Perbankan Indonesia hingga september 2014 menyatakan bahwa aset perbankan asing meningkat dari 12, 37% menjadi 12,88 %. Data diakses dari http://m.republika.co.id/berita/koran/financial/. Pada 16/02/2015. 33
Data investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat. Pada tahun 2013 investasi asing sebesar USD 28,62 miliar atau setara Rp. 299,2 triliun. Sementara investasi domestikhanya senilai Rp. 128,15 triliun. Data diakses dari http://www.jurnalparlemen.com/view/. Pada 16/02.2015
71
pemahaman bahwa nasionalisasi modal asing atau pengambilalihan milik asing adalah tindakan yang harus betul-betul direncanakan dengan sematang-matangya, dan bukanlah sebuah tindakan menurut sentimen atau desakan nafsu belaka untuk terlepas dari belenggu kolonial. Ia mempertegas bahwa tidak ada perjuangan yang hebat dimulai dengan kelaparan dan dengan menyuruh rakyat lapar sementara.34 Kendati demikian, tindakan nasionalisasi yang merupakan cita-cita bangsa untuk terlepas dari kontrol asing kapitalistik dan ekonomi liberal niscaya harus dikonsepkan dengan matang dan penuh pertimbangan. Mengingat disamping kemanfaatan dan dampak positif yang dirasakan untuk jangka panjang, akan timbulnya berbagai dampak negatif yang sifatnya lebih dirasakan secara langsung atau spontanitas namun bersifat jangka pendek. Di antara dampak negatif yang dapat dirasakan suatu negara pasca nasionalisasi modal asing, antara lain adalah: a.
Dari segi hukum, suatu negara yang melakukan tindakan nasionaliasi cenderung akan digugat oleh negara asal modal (home state) atau perusahaan multinasional (MNC/ Multinational Corporate) milik investor asing ke ICSID (International Convention on the Settlement of Dispute) bahkan ke mahkamah internasional.
b.
Sebagai negara beradab, host state/ negara penerima modal harus patuh terhadap kebiasaan hukum internasional, di mana setiap tindakan nasionalisasi yang dilakukan harus diiringi dengan pemberian ganti rugi yang sepadan dan pantas (appropriate compensation). 34
Bondan Kanumoyoso, Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, h. 79.
72
c.
Nasionalisasi modal asing berpotensi melanggar asas non diskriminasi dan prinsip national treatment yang merupakan salah satu prinsip pokok dalam perjanjian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), di mana negara peserta tidak boleh memperkenankan adanya perlakuan berbeda antar negara investor asing yang satu dengan negara lainnya, dan antar investor asing dengan investor domestik kecuali yang diatur lain dalam undang-undang yang berlaku. Prinsip ini sangat berkaitan dengan tindakan nasionalisasi, seperti Indonesia yang pernah dituntut akibat melakukan diskriminasi melalui nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.35
d.
Negara yang melakukan tindakan nasionalisasi modal asing, berpotensi untuk melanggar good faith/ itikad baik yang telah dibangun dengan negara-negara pemilik modal (home state) dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilatelar.
e.
Dari segi ekonomi, nasionalisasi modal asing cenderung akan mempengaruhi stabilitas ekonomi dalam tingkat mikro dan makro. Seperti penurunan produksi ekspor dan impor yang dialami Indonesia pasca nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda, tingkat inflasi yang cukup tinggi, berkurangnya ahli-ahli tenaga dan alat-alat produksi, dan fasilitas lainnya.
f.
Dalam
hubungan
internasional,
nasionalisasi
modal
asing
cenderung
mengakibatkan berkurangnya minat investor asing untuk menanamkan kembali 35
Khairul Asyikin, “Kajian Yuridis Terhadap Prinsip Non Diskriminasi Dalam UndangUndang Penanaman Modal Bagi Perlindungan Kepentingan Nasional”. Jurnal Hukum Universitas Mataram,(Juni: 2013), h. 6.
73
modalnya di negara tesebut, bahkan berpotensi terjadinya capital flight/ pelarian modal ke luar negeri yang dapat merugikan negara penerima modal.
D. Pertimbangan dan Hambatan Hukum dalam Aktualisasi Nasionalisasi Dalam pelaksanaan nasionalisasi ataupun ekspropriasi modal asing tentu harus berani menghadapi konsekuensi dari segi ekonomi, hukum dan politik. Sehingga patut seyogyannya cita-cita menuju kemandirian ekonomi nasional melalui nasionalisasi aset asing harus memperhatikan beberapa pertimbangan guna meringankan resiko dalam situasi nasional dan internasional. Pertimbangan Hukum yang sangat urgen untuk diperhatikan eksistensinya adalah pernghormatan hukum terhadap kontrak karya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan belum jatuh tempo (belum berakhir kontraknya).36 Kontrak Bisnis dilihat dari unsurnya dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama adalah Kontrak Bisnis Domestik dan kedua adalah Kontrak Bisnis Internasional. Adapun yang membedakan antara Kontrak Bisnis Domestik dengan Internasional adalah ada tidaknya unsur internasional yang dapat berupa para pihaknya, substansi yang diatur dan lain-lain.
36
Hambatan nasionalisasi aset asing (nasionalisasi dilakukan dengan mengakuisisi 58,88% saham PT Inalum) dapat dilihat dalam nasionalisi PT. Inalum, dimana indonesia baru dapat menasionalisasi PT Inalum (Indoesia Asahan Alumunium) per 1 November 2013 setelah pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan termination agreement (pengakhiran kerjasama) yang berakhir pada 31 oktober 2013.
74
Sebagai contoh, Indonesia harus memperhatikan dan menghormati dalam hal Kontrak Bisnis Internasional domain private. Contoh Kontrak Bisnis Internasional adalah Perjanjian Pendirian Usaha Patungan (Joint Venture Agreement). Sedangkan kontrak bisnis internasional yang berdimensi publik adalah suatu kontrak bisnis dimana salah satu pihaknya adalah pemerintah atau aparatnya. Sebagai contoh adalah Departemen Luar Negeri melakukan pinjam meminjam secara komersial dengan suatu bank diluar negeri guna pembiayaan gedung kedutaan di luar negeri. Penghormatan juga berlaku bagi Perjanjian Internasional yang sudah terlanjur diratifikasi oleh Indonesia seperti Konvensi WTO, Konvensi ICSID, Konvensi Trips dan Konvensi lainnya terkait investasi asing. Pertimbangan
Hukum
selain
Kontrak
Bisnis
Internasional
adalah
Pertimbangan pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional terkait investasi asing seperti Prinsip-prinsip Most Favoured Nation, Transparency, National Treatment, dan Non - Dicrimination” yang telah menjadi dasar WTO dan blok ekonomi regional. Manakala globalisasi ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Bergabung dengan WTO dan kerjasama
75
ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistem hukum.37 Sedangakan dari segi ekonominya, jelas yang terpenting adalah menghitung nilai investasi asing yang hendak dinasionalisasikan sebagai wujud kompensasi terhadap aset-aset asing. Kompensasi merupakan hal yang mutlak diakui oleh hukum internasional dan UU Penanaman Modal kita sendiri, bahwa nilai pemberian ganti rugi akan ditentukan oleh pihak ketig yang independen sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Penetapan besaran ganti rugi ini sering memicu ketidaksepahaman dalam pelaksanakannya, sehingga mengharuskan kedua belah pihak untuk membawa perkara ini ke Lembaga Arbitrase Internasional memalui ICSID untuk diselesaikan. Dari berbagai pertimbangan dan hambatan hukum di atas patut kita sadari bahwa tindakan nasionalisasi bukanlah perkara mudah seperti perubahan kepemilikan suatu perusahaan lokal. Akan tetapi, harus kita yakini bahwa niat mulia mewujudkan kedaulatan dan kemandirian ekonomi nasional melalui nasionalisasi dan eksproriasi adalah mutlak adanya diakui oleh hukum dan kebiasaan internasional. Pemerintah
seharusnya memiliki keberanian menegaskan posisi
tawarnya dalam mewujudkan nasionalisasi kepada investor asing sebagaimana yang telah ditunjukkan negara-negara dunia ketiga lainnya seperti Cili, Bolivia, dan Venezuela.
37
Erman Rajagukguk “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”, h. 6
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian penelitian yang telah dipaparkan penulis dapat memberikan kesimpulan, antara lain sebagai berikut: 1. Tindakan nasionalisasi modal asing telah diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal ini berbentuk konstitusional bersyarat dalam sebuah larangan, tidak memiliki definisi yang Jelas dan terlalu multi tafsir. Sehingga pemerintah dan masyarakat tentunya bertanyatanya perihal langkah nasionalisasi yang mana yang akan diambil. Dunia hukum internasional telah mengakui keabsahan suatu tindakan nasionalisasi atau ekspropriasi (Resolusi PBB 1803/ Resolusi PBB 3281/ Resolusi PBB Tahun 1952/ UNTACD Tahun 2000) sebagai wujud kedaulatan Negara dalam mengolah sumber daya kekayaan alamnya dan sebagai wujud kemandirian Negara dalam menentukan arah kebijakan politik ekonominya. Adapun pemahaman konsekuensi nasionalisasi modal asing dalam pemberian berupa ganti rugi, masih merupakan perdebatan. Akan tetapi Indonesia lebih berpandangan bahwa hal itu suatu yang harus diberikan sebagai penghormatan prinsip-prinsip Negara Beradab yang tercantum dalam Resolusi PBB. 2. Tindakan nasionalisasi modal asing telah diakui oleh dunia hukum internasional sebagai cara negara-negara berkembang untuk melepaskan diri dari intervensi asing (seperti tindakan nasionalisasi Negara Cili, Kuba, Venezuela, Bolivia yang
76
77
baru-baru ini terjadi). Nasionalisasi diyakini sebagai cara ampuh untuk suatu negara berkembang dapat mencapai ketahanan dan kemandirian ekonomi nasional. Hatta dan Soekarno telah merumuskan sebuah landasan dan pedoman bertindak yaitu tercantum dalam Konstitusi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945. Akan tetapi mereka juga sadar akan suatu masa arus globalisasi yang akan datang, sehingga mustahil suatu bangsa yang tergolong dunia ketiga untuk menolak aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. 3. Tindakan hukum nasionalisasi modal asing memiliki dampak-dampak positif seperti realisasi kemandirian dan ketahanan ekonomi, reaktualisasi amanat konstitusi ekonomi, serta revitalisasi ideologi ekonomi yang sesuai dengan amanat konstitusi. Tindakan ini juga berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti pelanggaran asas non diskriminasi dan national treatment, potensi terjadinya sengketa antara home state dan host state, serta potensi mempengaruhi stabilitas ekonomi.
Memperhatikan
dampak-dampak
ini,
pemerintah
harus
mempertimbangkan tindakan nasionalisasi modal asing secara serius, terstruktur, dan terencana sebagai bentuk tanggung jawab negara beradab dan berdaulat B. Saran Berdasarkan uraian-uraian dan hasil penelitian yang telah dipaparkan terkait nasionalisasi modal asing dan kemandirian ekonomi maka penulis mencoba memberikan beberapa saran, diantaranya adalah: 1.
Sebagaimana telah diakui oleh dunia hukum internasional bahwa nasionalisasi aset asing merupakan hak suatu kedaulatan Negara dalam menentukan arah
78
kebijakan kemandirian ekonominya. Maka pemerintah saat ini diharapkan dapat merevisi kembali pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang cenderung berpihak kepada asing dan tidak berpihak kepada konstitusi ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sehingga pemerintah harus berani mencantumkan definisi serta cara-cara nasionalisasi modal asing dalam undang-undang tersebut sebagai teguran dan ancaman bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang melanggar kepentingan publik. 2.
Pemerintah harus berani menarik berbagai peraturan terkait investasi serta berbagai kebijakan dalam lingkup hukum ekonomi pembangunan (Seperti PP No 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Negatif Investasi) yang cenderung berpihak ke asing. Serta memperhatikan kembali
beberapa kebijakan
yang dapat
menjerumuskan Indonesia terhadap ketergantungan modal asing yang dapat membawa Indonesia jauh lebih dalam lagi dalam suatu neo kolonialisme, neo liberalisme dan neo imperialisme. 3.
Berdasarkan pedoman Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah dan Legislator saat ini harus mampu meregulasi suatu kebijakan hukum investasi yang pro rakyat dan pro kesejahteraan sehingga dalam pelaksanaanya negara dapat mengkontrol setiap kegiatan investasi perusahaan-perusahaan multinasional. Serta dapat mengatur dan menguasai cabang-cabang produksi yang harus diperuntukkan untuk hajat hidup bangsa sendiri. Sehingga kita tidak akan pernah kembali menjadi "a nation among coolie and coolie among nation" (bangsa kuli atau menjadi kuli di tengah bangsa-bangsa lain)
79
DAFTAR PUSTAKA Buku: Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta:Rajawali Pers, 1991. Asshidqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Batubara, Marwan. Penanaman Modal Asing dan Pengkhianatan Konstitusi, Dalam Fadli Zon, dkk, Dilema Indonesia. Jakarta: Institut For Policy Studies, 2007. Chandrawulan, An An. Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal. Bandung: PT Alumni, 2011. Gie, Kwik Kian. Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa. Dalam I. Wibowo & F. Wahono. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003. Hartono, Sunayati. Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia. Bandung: Penerbit Binacipta, 1972. Hill. Hal Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1990. HS, Salim. Hukum Divestasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010. Hartono, Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung: Binacipta, 1988. Iskandar. Hukum Dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2011. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet-II. Malang: Bayumedia Publishing, 2006. Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
80
Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Pembangunan: Masalah Kebijakan dan Politik. Jakarta: Erlangga, 2010. Kartasapoetra, G. Kovensi-konvensi Internasional Tentang Paten Dalam Kaitannya Dengan Alih Tekonologi dan Kepentingan Nasional. Bandung: Pionir Jaya, 1991. Kanumoyoso, Bodan. Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001. Marzuki, Peter Mahmud. Penilitian Hukum, cet. VIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Marjihanto, Bambang. kamus Besar Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang Timur Offset, 1996. Majelis Umum PBB. Resolusi kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource). Nomor 1803 Tahun 1962. O'Connor, Lee A. The International Law of Expropriation of Foreign-Owned Property: The Compensation Requirement and the Role of the Taking State. Los Angeles: Loyola Marymount University and Loyola Law School, 1983. Panjaitan, Hilman dan Anner Mangatur Sianipar. Hukum Penanaman Modal Asing Jakarta: CV. INDHILL CO, 2008. Rachbini, Didik J. Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Analisis Ekonomi Politik). Jakarta: PT Indeks, 2008. ..............Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta: Granit, 2004. h. 181-183. Rustanto. Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Jakarta: Penerbit Kuwais, 2012. Rakhmawati, Rosyidah. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, 2004. Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Bandung: Alumni, 1979.
81
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986 Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010. Supancana , Ida Bagus Rahmadi. Kerangka Hukum & Kebijjakan Investasi Langsung Di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006. Siong, Gouw Giok. Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi Di Indonesia. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1960. Sornarajah , M. The International Law Of Foreign Invesment, Third edition. New York: Cambridge University Press, 2010. Smith, Rhona K.M, dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Supardan , Dadang. Tantangan Nasionalisme Indonesia Dala Era Globalisasi. Bandung: Univesitas Pendidikan Indonesia, 2008. Supancana, IBR, dkk. Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal. Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), 2010. United Nation publication. UNCTAD Series on issues in international investment agreements “Taking Property”. New York and Geneva: United Nation publication, 2000. ............. Resolution over Charter of Economic Rights and Duties of The state General Assembly Resolution 3281: 12 December 1974. Untung, Hendrik Budi. Hukum Investasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar 1945
82
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi PerusahaanPerusahaan Milik Belanda Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan
Jurnal, Makalah dan Putusan: Asyikin, Khairul. “Kajian Yuridis Terhadap Prinsip Non Diskriminasi Dalam Undang-Undang Penanaman Modal Bagi Perlindungan Kepentingan Nasional”. Jurnal Hukum Universitas Mataram,(Juni: 2013). Budiman Ginting. “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia: Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi Di Indonesia”. JURNAL EQUALITY Vol. 12, No. 2 (Agustus 2007). Hartini, Rahayu, “Analisis yuridis UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal”. UMM: HUMANITY, Volume IV, No. 1 ( September 2009: 48 – 60). Hariyono, “Kedaulatan Indonesia dalam Perjalanan Sejarah Politik”. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang. Rabu, 14 Desember 2011. Suhadi, Antonio, dkk. “Studi Hukum Atas Nasionalisasi Perusahaan Asing; Dasar Hukum Tindakan Nasionalisasi Untuk Mencapai Kepastian Hukum Penanaman Modal”. Jurnal Ilmu Hukum dan Kenotariatan (Palembang: FH Universitas Sriwijaya, 2010). Rajagukguk, Erman. “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing”. Disampaikan pada Diskusi Panel: Kritik Atas Arah Kecenderunga"Supremasi Hukum". Pasca 1998 Terkait Dengan Modal”, diselenggarakan oleh ELSAM. HUMA, SAWIT WATCH, INFID, WALHI, AMAN, YLBHI, ICEL. Jakarta: 5 -7 Agustus 2008.
83
.................. “Hukum Investasi dan Pasar Modal”. Modul Kuliah 2 (Pasal 1 s/d Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal). .................. “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”. Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 4 Januari 1997. Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret 2008.
Dokumen Elektronik dan Internet: Badan Pertahanan Nasional. “Data konsentrasi kepemilikan aset asing meningkat” diakses dari http://m.republika.co.id/berita/koran/financial/. Pada 16/02/2015. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM ). “Data investasi”. Data diakses dari http://www.jurnalparlemen.com/view/. Pada 16/02.2015. Kamus Bahasa Indonesia, Di unduh dari http//kbbi.web.id/nasionalisasi pada 5 januari pukul 18.30 WIB Leks & C0 Law Firm, “Pemerintah Menerbitkan Daftar Negatif Indonesia Terbaru” Artikel Diunduh dari http://hukumpenanamanmodal.com/. Pada 10/02/2015 Mukeri. “Kemandirian Ekonomi Sebagai Solusi Kemajuan Bangsa”. Artikel diakses dari http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article. Pada 9/02/2015 Noorsy, Ichsanuddin. “Kerakyatan Versus Neoliberal”. Artikel diakses dari www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/002.pdf. pada 10/02/2015 Yudiatmaja, Wayu Eko. “Nasionalisasi PT. Freeport Indonesia”. Artikel diakses dari http://wayuguci.com/Nasionalisasi-PT- Freeport Indonesia. pada 16/02/2015