PEMBAHARUAN HUKUM PENANAMAN MODAL UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 St. Laksanto Utomo, SH, MH Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta Peneliti dan Konsultan Hukum LPSH-HILC Jakarta Abstract The changing of Investment Law in Indonesia could be caused by internal and external factors that they influence each other. Our government needs foreign investment in order to improve the new field of work for creating the prosperity of our own society. Therefor, the Indonesian government has to create the investment opportunity for foreign investors in order to convince them to invest their capital in Indonesia that is called as internal factor. In another side, the investors need the government’s guarantee for doing business safety and easily. These factors could urged the changing of the investment law No. 25 in year 2007. Keywords: Investment, law, prosperity, government, opportunity, capital, guarantee, business, investor. A. PENDAHULUAN Setelah krisis moneter tahun 1998, maka banyak pembenahan yang harus dilakukan pemerintah pada era setelah kejatuhan rejim Orde Baru, banyak pembenahan dan sendi-sendi hukum dibidang perbankan, pengawasan perbankan, masalah investasi dan pembenahan aparat agar kiranya dapat memberikan pelayanan bagi negara serta investor asing yang akan menanamkan modal di Indonesia. Beberapa negara tetangga seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia dengan gesit telah membenahi beberapa peraturan tentang mvestasi agar beberapa hal mempunyai kekuatan hukum serta beberapa kemudahan dan fasilitas termasuk holiday tax dan pembelian peroperty. Sebagai contoh di Vietnam pengusaha asing yang akan menanamkan modal dinegara tersebut mendapat kemudahan pengurusan perijinan, pembelian property sampai dengan 80 tahun serta fasilitas tax holiday dalam waktu tertentu pada saat masa pra konstruksi sampai produksi komersil. Bagaimana di Indonesia?, sejak dipimpin Presiden Abdurachman Wahid dibuka kesempatan bagi investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, sungguh sayang perjalanan titian muhibah Presiden saat itu dibeberapa negara untuk mengundang investor asing menjadi sia-sia, karena perjalanan mengundang investor asing ke Indonesia sungguh tidak dibarengi dengan kesiapan aspek hukum dalam pengaturan investasi dalam negeri. Selama beberapa dasa warsa penanaman modal asing diatur berdasar ketentuan UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No 6 Th 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang hampir beberapa tahun tidak ada perubahan secara mendasar sehingga banyak kalangan investor asing yang berniat menanamkan modal di Indonesia hanya berdasar komitment dan janji dari para pemimpin pemerintah (eksekutif), hal dipandang oleh pihak asing tidak memberikan kepastian hukum, karena dengan bergantinya pemerintah (pimpinan eksekutif), maka komitmen kepada investor asing akan berubah karena peraturan yang bersifat kebijakan dapat dengan mudah dirubah atau disesuaikan dengan berubahnya pimpinan eksekutif. Pada Era perdagangan yang menggelobal, karena batas antar negara tanpa batasan/borderless,
tidak ada lagi rintangan perdagangan anta negara (trade barriers) menuju kearah perdagangan bebas (Klodt Henning, 2004: 7). Maka pemerintah harus segera membenahi beberapa peraturan tentang PMA agar ada kepastian hukum bagi investor asing. Tidak siapnya infrastruktur serta berubahnya beberapa kebijakan dalam otonomi daerah maka harus diatisipasi dengan mengeluarkan peraturan baru tentang penanaman modal dengan keluarnya UU No 25 Tahun 2007 yang pada intinya memberikan rangsangan bagi para investor untuk menanamkan modal di Indonesia, serta mengakomodasi beberapa kepentingan masyarakat dan investor, penyederhanaan birokrasi perijinan serta memberikan kewenangan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk lebih berperan dalam menghadapi segela hambatan serta keluhan yang selama ini menjadi masalah bagi para investor di Indonesia Pembaharuan Hukum Dalain UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut bahwa asas perlakuan yang sama/non diskriminasi akan membuka kesempatan usaha yang seluasnya bagi penanam modal asing di Indonesia, menjadi pertanyaan bagi kita apakah dengan diberikannya fasilitas serta sarana prasarana bagi pemodal asing yang kuat apakah tidak menyebabkan perekonomian kerakyatan menjadi rapuh atau justru hilang karena merugikan rakyat khususnya pengusaha Nasional (Sunaryati Hartono, 1972: 78). Masuknya Supermarket Carefour, Giant jika tidak diatur dan dibatasi, niscaya ekonomi pengusaha nasional dan pasar-pasar tradisional akan tergusur, pada hal ada beberapa aspek ekonomi yang menggerakkan pasar tradisional. Karakteristik hukum modern balawa rasionalitas adalah diatas segal-galanya/rationality above else (Satjipto Rahardjo, 2008: 10). Hal ini menjadi pertentangan memberikan kepastian hukum bagi investor asing, karena Pemerintah Indonesia memerlukan kapital data Luar Negeri khususnya pemilik modal Asing, sekaligus untuk menggerakkan roda ekonomi Nasional khususnya setelah tahun 1997, karena dengan bergairahnya roda perekonomian memberikan peluang bagi tenaga kerja yang pada akhirnya pendapatan perkapita nasional akan naik. Jika dilihat semata maka tingkat kesejahteraan rakyat akan naik, pembaharuan hukum dalam hal ini UU tentang penanaman modal pada intinya untuk kepentingan masyarakat, sebagaimana Prof Satjito bahwa hukum intinya adalah untuk kebahagian masyarakat, walaupun hukum modern mempunyai credo bahwa rasionalitas adalah diatas segalanya, pada intinya hukum diciptakan untuk kebahagian masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2008: 13). Adanya pertentangan dalam pemahaman tentang arti pentingnya investasi modal asing melalui perdebatan yang sangat panjang dan tidak ada habisnya, karena adanya pendapat yang sangat ekstrim melakukan penolakan investasi asing baik berlatar belakang Nasionalis yang tinggi ataupun kepentingan ideologi tertentu/sosialis (Jonker Sihombing, 2009: 76). Dalam melakukan revisi peraturan penanaman modal asing, tentunya pembuat UU dan Pemerintah lebih rasional karena penanaman modal asing akan membawa perkembangan modernisasi ekonomi bagi penerima modal asing tersebut. Proses modernisasi dilihat dari perkembangan ekonomi dunia dan mekanisme pasar harus disertai pengaturan agar tujuan idiil tercapai. Asas Penanaman Modal dan Rangsangan Kemudahan dalam PMA Pada Pasal 3 UU No 25 Tahun 2007 bahwa asas penanaman modal diatur secara rinci dan mencakup beberapa hal : 1. Kepastian hukum, hal ini menjadi landasan penting karena sebagai negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dalam bidang penanaman modal. 2. Keterbukaan, adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur serta tidak diskriminatif dalam penanaman modal. 3. Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara sesuai ketentuan peraturan undang-undang. 4. Perlakuan sama dan tidak membedakan asal negara (Non discriminatie), asas perlakuan sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasar pada undang-undang antara penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, maupun investor asing asal dari beberapa negara. 5. Kebersamaan Asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 6. Efisiensi berkeadilan Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan dari penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim berusaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing. 7. Berkelanjutan Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terancana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. 8. Berwawasan Lingkungan berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. 9. Kemandirian Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara sendiri, dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi nasional. 10. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya untuk menjaga keseimbangan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
B. PEMBAHASAN Selain dari kemudahan-kemudahan dalam bidang fasilitas impor dan fasilitas keimigrasian sebagaimana yang disebutkan di atas, pemerintah melalui UU Nomor 25 Tahun 2007 memberikan juga kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah yang diberikan pemerintah ditempuh dengan cara hak atas tanah diperpanjang di muka sekaligus, dan dapat diperbaharui kembali sesuai permohonan penanam modal. Kernudahan-kemudahan tersebut berupa : a. Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun, dan kemudian dapat diperbaharui kembali selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan (HGB) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun, dan kemudian dapat diperbaharui kembali selama 30 (tiga puluh) tahun; serta c. Hak Pakai (HP) yang dapat diberikan untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun, dan kemudian dapat diperbaharui kembali selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pemberian hak atas tanah sekaligus dengan perpanjangannya di muka sebagaimana yang disebutkan di atas hanya dapat diberikan dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut : 1) Penanaman modal yang akan dilakukan harus untuk jangka waktu yang relatif panjang, dan terkait dengan rencana perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing. 2) Penanaman modal yang akan dilakukan memiliki tingkat risiko yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka yang relatif panjang, sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan. 3) Penanaman modal yang akan dilakukan diperkirakan tidak memerlukan area yang luas untuk pelaksanaan kegiatan usahanya. 4) Penanaman modal yang akan dilakukan dengan menggunakan hak atas tanah negara, serta 5) Penanaman modal yang akan dilakukan tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. Meskipun pemerintah memberikan kemudahan untuk mendapatkan hak atas tanah dengan pemberian opsi perpanjangannya di muka sekaligus sebagaimana yang disebutkan terdahulu, pembaharuan hak tersebut hanya dapat dilakukan sepanjang hasil penilaian menunjukkan bahwa tanah tersebut masih dipergunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya semula. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah tersebut dapat dihentikan atau dibatalkan pemerintah jika penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, memanfaatkan tanah yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak semula, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pemberian kemudahan yang menyangkut hak-hak atas tanah tersebut pada dasarnya merupakan sesuatu yang baru karena baik dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing maupun UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri tidak memberikan fasilitas sejenis. Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing hanya menyebutkan bahwa untuk keperluan perusahaan penanaman modal asing dapat diberikan tanah dengan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditinjau dari sudut penanaman modal yang harus menanggung risiko atas penanaman modalnya dan waktu yang diperlukan (time horizon) bagi penanaman modal langsung (direct investment) biasanya memerlukan waktu yang relatif panjang, sehingga pemberian hak atas tanah dengan jangka waktu yang relatif lama memang merupakan sebuah kebutuhan. Namun, pada waktu ketentuan tersebut diterbitkan telah menimbulkan penolakan dari berbagai kalangan, terutama oleh lembaga swadaya masyarakat. Penolakan atas UU tersebut yang bersifat non diskriminatif akan menciptakan persaingan antara pemilik modal kuat dengan pemilik modal kecil, yang akan mengarah kepada survival of the fittest dan pada akhirnya akan memojokkan mereka yang tidak sanggup untuk bersaing secara bebas. UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengenal berbagai jenis hak atas tanah, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lainnya. Pada Pasal 21 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, dengan pengecualian bahwa hak milik tersebut dapat diberikan kepada badan-badan hukum yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan sepanjang penggunaan tanah hak milik tersebut murni untuk tujuan sosial dan keagamaan dimaksud. Dengan demikian hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh penanam modal yang bukan warga negara Indonesia adalah
hak atas tanah di luar hak milik seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1960, hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, sedang hak guna bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Pemberian jangka waktu yang lebih panjang pada guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai pada Pasal 22 UU Nomor 25 Tahun 2007 dengan maksud untuk memberikan insentif bagi penanaman modal sebenarnya kurang tepat apabila ditinjau dari segi peraturan perundangundangan. UU Nomor 25 Tahun 2007 tersebut merupakan lex specialis dalam bidang penanaman modal, bukan ketentuan yang bersifat lex specialis dalam bidang pertanahan. Saat ini undangundang yang mengatur tentang hak atas tanah adalah UU Nomor 5 Tahun 1960, karena belum ada undang-undang yang terbaru yang khusus mengatur mengenai hak atas tanah selain dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tersebut. Dengan maksud untuk mengakomodasi keinginan para penanam modal agar tercipta peningkatan kegiatan penanaman modal di Indonesia, pembuat undangundang telah mengesampingkan asas-asas hukum. Asas lex specialis derogate legi generali telah dilanggar oleh pemerintah dalam pemberian jangka waktu hak atas tanah pada UU Nomor 25 Tahun 2007 yang menyimpang dari ketentuan pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tersebut. Dalam pemberian hak atas tanah pada UU Nomor 25 Tahun 2007 yang memberikan perpanjangan di muka sekaligus hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai pada dasarnya bertentangan dengan konsep keseimbangan kepentingan yang didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Maria S. W. Sumardjono, 2001: 5). Gagasan untuk memberikan hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk jangka waktu yang lebih panjang atau memberikan hak milik bagi warga negara/badan hukum asing merupakan resonansi pemikiran kelompok kapitalis (Maria S.W. Sumardjono, 2001: 41). Bagi kelompok kapitalis ini, ekses-ekses yang timbul berupa penggusuran hak-hak rakyat dan semakin berkurangnya akses rakyat terhadap tanah dipandang hanya sebagai efek sampingan yang lumrah dan tidak perlu untuk dibesar-besarkan di era percepatan pembangunan nasional dewasa ini (Maria S.W. Sumardjono, 2001: 5). Dengan mengambil contoh pemberian kemudahan-kemudahan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2007, kelihatannya pemerintah kurang menyadari bahwa pembaharuan di bidang hukum yang dapat menunjang terciptanya pembangunan nasional yang berkelanjutan seharusnya dilakukan dengan lebih selektif. Hal ini erat kaitannya dengan kenyataan bahwa bagian-bagian tertentu dari bidang hukum bersifat sensitif karena tidak menyentuh nilai-nilai historis dan kultural yang hidup di masyarakat. Hukum penanaman modal termasuk bagian dan hukum administrasi negara tetapi juga merupakan bagian dari hukum bisnis, dan pembaharuan dalam bidang hukum penanaman modal pada dasarnya lebih bersifat netral, sehingga dalam hal ini hukum dapat berfungsi sebagai a tool of social engineering. Di pihak lain, hukum pertanahan tidaklah bersifat netral dan masih dipengaruhi oleh hukum adat. Upaya pembaharuan dalam bidang hukum pertanahan melalui pemberian hak atas tanah berikut dengan perpanjangannya sekaligus di depan dengan maksud untuk memberikan daya tarik bagi penanaman modal di Indonesia merupakan kebijakan yang menggabungkan dua bidang hukum ke dalam satu ketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak mengherankan apabila UU Nomor 25 Tahun 2007 menuai banyak protes dari masyarakat dan pengamat hukum karena liberalnya hak atas tanah yang diatur dalam UU tersebut, dan beberapa golongan masyarakat seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) serta organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat samapai mengajukan uji materiil terhadap UU dimaksud ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 21-22/PUU-V/2007 tanggal 25 Maret 2008 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU Nomor 25 Tahun 2007 sepanjang menyangkut pemberian HGU, HGB, dan HP dalam UU tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU Nomor 25 Tahun 2007 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud Pasal 22 UU Nomor 25 Tahun 2007 menjadi berbunyi sebagai berikut : (1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan diperbaharui kembali atas permohonan penanam modal. (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain : a. Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing. b. Penanaman modal dengan tingkat risiko penanam modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan. c. Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas. d. Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara, dan e. Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. (3) Hak atas tanah dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. (4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbaharui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang disebutkan di atas, hak-hak atas tanah yang dibuat Pemerintah bersama-sama dengan DPR yang keluar dari proporsinya pada UU Nomor 25 Tahun 2007 tersebut, dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi dan dikembalikan untuk mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Salah seorang anggota majelis hakim Mahkamah Konntitusi dalam pertimbangannya untuk memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) menyebutkan bahwa hakim dimaksud menolak perlakuan yang sama yang diberikan pada pihak yang berbeda. Tentang Nasionalisasi dan Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Di masa orde lama pemerintah pernah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan swasta asing milik Belanda di Indonesia tanpa memberikan kompensasi ataupun ganti rugi kepada pemiliknya. Tindakan nasionalisasi ini menyebabkan tembakau ekspor yang berasal dari nusantara yakni milik ex perkebunan NV. Verenigde Deli Matschappijen yang akan dipasarkan di Bremen pernah menjadi obyek sengketa di pengadilan tinggi setempat, karena pengusaha Belanda di sana masih menganggap barang tersebut sebagai miliknya (Yudha Bhakti
Ardhiwisastra, 2003:51). Mengenai nasionalisasi ini, P. Adriaanse menyebutkan sebagai berikut (Sunaryati Hartono, 1972: 173): “Nationalization means that a business becomes state-owned property, it becomes a nation affair”. Sejalan dengan itu, Sudargo Gautuma menyebutkan bahwa nasionalisasi dimaksud pada dasarnya merupakan species dari genus pencabutan hak (onteigenting), yaitu suatu cara peralihan hak dari swasta kepada negara secara paksa. Pada Pasal 7 UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dicantumkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal secara semena-mena. Jika dengan alasan-alasan tertentu pengambilalihan hak tersebut terpaksa harus dilakukan oleh pemerintah, pemerintah akan melaksanakannya dengan memintakan persetujuan parlemen (DPR) terlebih dahulu melalui undang-undang yang dibuat khusus untuk itu. Selain itu, dalam hal pemerintah terpaksa harus melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan dari para penanaman modal, pemerintah akan memberikan kompensasi kepada pemilik modal tersebut yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (market price). Harga pasar merupakan harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemilik modal yang dinasionalisasi. Apabila di antara pemerintah dan pemilik modal yang akan dinasionalisasi tidak tercapai kata sepakat, penyelesaiannya akan dilakukan melalui lembaga arbitrase atas dasar kesepakatan tertulis oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Selain jaminan dari pemerintah yang tidak akan melakukan nasionalisasi modal asing sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 7 UU Nomor 25 Tahun 2007, pemerintah juga berusaha memberikan perlakuan yang lebih baik bagi para penanam modal dengan cara melakukan penyelesaian sengketa penanaman modal yang timbul di antara pemerintah dengan penanaman modal melalui musyawarah dan mufakat. Namun, apabila musyarawah dan mufakat tidak dapat dicapai, dibuka kemungkinan untuk melakukan penyelesaiannya melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan apabila hal ini tidak disepakati, dapat ditempuh melalui proses pengadilan. Dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 diatur bahwa khusus untuk sengketa yang menyangkut penanaman modal yang terjadi antara pemerintah dengan penanaman modal asing akan diselesaikan melalui arbitrase internasional yang disepakati oleh para pihak. Klausula penyelesaian sengketa penanaman modal secara arbitrase yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tersebut terdapat pula pada undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Dengan penyelesaian sengketa secara arbitrase diharapkan akan menambah rasa aman bagi para penanam modal modal asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia, yang pada umumnya tidak menghendaki proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang memakan waktu dan proses yang berbelit-belit. Arbitrase tersebut diminati oleh penanam modal asing karena dengan penyelesaian secara arbitrase, sepanjang telah diperjanjikan terlebih dahulu, terbuka kemungkinannya untuk melakukan penyelesaian sengketa dengan mengutamakan rasa keadilan dan kepatutan di atas ketentuan-ketentuan normatif/ex aequo et bono (Priyatna Abdurrasyid, 2002: 58 lihat juga Pasal 56 UU Nomor 30 Tahun 1999). Jika penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses pengadilan, yang dikedepankan hakim adalah hukum positif yakni ketentuan perundang-undangan yang berlaku, padahal ketentuan perundang-undangan pada umumnya hanya mengedepankan asas kepastian hukum,
tidak mengedepankan rasa keadilan. Dalam melakukan penanaman modal di Indonesia, pemilik modal asing pada dasamya selain menghendaki kepastian hukum juga menghendaki keadilan. Sebagaimana diketahui, rasa keadilan dan kepastian hukum merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda, dan kedua-duanya jarang dapat dipenuhi oleh ketentuan peundang-undangan secara sekaligus. Kepastian hukum ditekankan untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat dan merupakan paham yang mendapat penekanan dari ajaran Positivisme (Positivism), sedang asas keadilan lebih melihat dari sudut pandang sosial yang melihat hukum sebagai hukum yang hidup di masyarakat yang diajarkan oleh paham Sociological Jurisprudence (Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, 2001: 66). C. PENUTUP Setelah Perang Dunia II usai memang terdapat kecenderungan penggunaan lembagalembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa penanaman modal pada tataran international, seperti penggunaan European Convention on International Commercial Arbitration, International Arbitration Court dari International Chamber of Commerce (ICC), dan American Arbitration Association. Selain dari badan arbitrase internasional yang disebutkan di atas, sering pula dijumpai penggunaan Convention on the Settlement of Investment Dispute Between States and National of Other States yang berada dibawah naungan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang menciptakan International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Penggunaan lembaga-lembaga arbitrase internasional di atas mempunyai kelebihan dalam penyelesaian sengketa penanaman modal dari cara-cara penyelesaian sengketa sebagaimana yang dilakukan melalui litigasi, menurut Aminuddin Ilmar, yakni: a. Bahwa dengan cara penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga tersebut dapat dihindari kelambatan-kelambatan yang diakibatkan oleh hal-hal yang menyangkut prosedural dan administratif. b. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya paling dapat mengetahui dan mengerti kepentingan pihaknya serta mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan. c. Para pihak yang bcrsengketa dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan (choice of law) untuk menyelesaikan nmasalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase tersebut. Putusan arbitrasee merupakan putusan yang mengikat pihak-pihak yang bersengketa (final and binding), dan dengan mehdui prosedur yang sederhana saja atau pun langsung dapat dilaksanakan eksekusi.
D. DAFTAR PUSTAKA Indonesia, W Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Alumni, Bandung, 2009. Klodt Henning, Jalan Menuju Tatanan Persaingan Gloibal, edisi bhs Ind Vol 10, Institut Liberal Friedrich Naumann, Jakarta, 2004.
Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan ke-8, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implententasi, Kompas, Jakarta, 2001. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, Jakarta 2002. Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal asing di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1972. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2008. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, P.T. Alumni, Bandung, 2003.