BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT PERBANKAN
A. Istilah, Pengertian Dan Dasar Hukum Kredit Perbankan Kita sebagai masyarakat dalam kegiatan sehari-hari kita telah mengenal kata kredit, mulai dari kredit barang pecah belah yang dijajakan oleh tukang kredit dari rumah ke rumah atau kredit atas angsuran perabot rumah tangga. Dalam skala lebih luas lagi kita juga mengenal kredit yang diberikan oleh perusahaan Leasing30 atau Perbankan. Kita juga sudah mengenal bahwa setiap terjadi transaksi kredit, terutama untuk kredit yang diberikan oleh perusahaan perbankan, selalu berkaitan dengan angsuran atau cicilan dengan disertai jangka waktu dan jumlah cicilan yang harus dibayar. Namun, tahukah kita apakah sebenarnya pengertian dari istilah kredit tersebut serta dasar hukum yang melandasi pemberian kredit perbankan tersebut sehingga selalu berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakat. 1. Istilah dan Pengertian Kredit Perbankan Istilah credit, berasal dari perkataan Latin credo, yang berarti I Believe (saya percaya), I Trust (saya menaruh kepercayaan). Perkataan credo31 berasal dari kombinasi sansekerta cred yang berarti kepercayaan (trust) dan perkataan 30
Leasing memiliki definisi: “An agreement in which the right of occupancy or use of real property, or the right to use personal property, is conveyed to another for a set period of time in return for consideration, typically in the form of periodic payments (Sebuah perjanjian dimana hak hunian atau penggunaan property sungguhan, atau hak untuk menggunakan properti pribadi, disampaikan ke yang lain untuk jangka waktu yang ditetapkan sebagai imbalan, yang biasanya dalam bentuk pembayaran berkala)”. Susan Ellis Wild, Webster’s New World® Law Dictionary, Indianapolis, Wiley Publishing Inc., 2006. 31 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Credit Management Handbook: Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006, h. 3.
Latin do yang berarti saya menaruh. Sesudah kombinasi tersebut menjadi bahasa Latin, kata kerja dan kata bendanya masing-masing menjadi credere dan creditum. Meskipun banyak penulis yang mengemukakan bahwa credit berasal dari credere.32 Istilah yang merupakan pasangan kredit yaitu utang (debt). Kredit dan utang merupakan istilah-istilah untuk satu perbuatan ekonomi (perbuatan yang menimbulkan akibat-akibat ekonomi) yang dilihat dari arah yang berlawanan. Berdasarkan istilah tersebut, secara sederhana dapat diartikan bahwa kredit merupakan pinjaman yang diberikan oleh kreditur kepada debitur atas dasar kepercayaan di antara para pihak. Berikut ini beberapa definisi lain tentang kredit, yaitu: Raymond P. Kent Credit may be defined as the right to receive payment or the obligation to make payment on demand or at some future time on account of an immediate transfer of goods (Kredit dapat didefinisikan sebagai hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran atas permintaan atau pada beberapa waktu mendatang karena transfer langsung dari barang).33 Charles L. Prather The word “credit” has many meanings, but in economics it usually refers to the ability to obtain something of value in the present in return for a promise to pay for it at some future time, combining the elements of a 32 33
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004, h. 101. Raymond P. Kent dalam Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal dalam Op. Cit., h. 4.
promise and of time (Kata "kredit" memiliki banyak arti, tetapi di bidang ekonomi biasanya mengacu pada kemampuan untuk mendapatkan sesuatu yang berharga di masa sekarang dengan imbalan janji untuk membayarnya pada suatu waktu di masa depan, memadukan unsur-unsur dari janji dan waktu).34 Christine Ammerm and Dean S. Ammerm Credit in general is the ability to obtain goods, services, and money now in exchange for promise of payment in the future (Kredit pada umumnya adalah kemampuan untuk mendapatkan barang, jasa, dan uang sekarang dengan imbalan janji pembayaran di masa depan).35 Thomas Suyatno, dkk “Kredit adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang, dan jasa.”36 Ismail “Kredit merupakan penyaluran dana dari pihak pemilik dana kepada pihak yang memerlukan dana.”37 Sementara pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memberikan pengertian bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk 34
Ibid. Ibid. 36 Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 12. 37 Ismail, Manajemen Perbankan, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, h. 93. 35
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Berdasarkan seluruh definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kredit adalah: a. penyerahan nilai ekonomi sekarang atas kepercayaan dengan harapan mendapatkan kembali suatu nilai ekonomi yang sama dikemudian hari; b. suatu tindakan atas dasar perjanjian dimana dalam perjanjian tersebut terdapat jasa dan balas jasa (prestasi dan kontraprestasi) yang keduanya dipisahkan oleh unsur waktu; dan c. suatu hak, yang dengan hak tersebut seseorang dapat mempergunakannya untuk tujuan tertentu, dalam batas waktu tertentu dan atas pertimbangan tertentu pula. 2. Dasar Hukum Kredit Perbankan Kredit perbankan merupakan pinjaman yang diberikan oleh perusahaan perbankan sebagai lembaga keuangan, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan sistem dan pengaturan kredit perbankan hingga saat ini juga diatur dalam peraturan tentang lembaga perbankan dimaksud. Pengaturan perbankan pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, dimulai ketika dilakukan nasionalisasi perusahaan perbankan kolonial yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap De Javasche Bank N.V., yang mana bank ini merupakan bank sentral yang bersifat pertikelir dan merupakan milik pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pemodal. Nasionalisasi ini dilakukan oleh Pemerintah dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. pada tanggal 15
Desember 1951. Pengundangan UU ini menjadi sejarah terhadap pengambilalihan bank sentral dari tangan pemerintahan kolonial Hindia Belanda ke tangan Pemerintah Republik Indonesia sekaligus awal dimana Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat memiliki bank sentral yang bersifat nasional. Sebagaimana judul UU tersebut, dalam UU tersebut hanya mengatur halhal terkait dengan perubahan nama, pengambilalihan saham dan modal, dan hal teknis lainnya dalam melaksanakan nasionalisasi De Javasche Bank N.V. tersebut menjadi Bank Indonesia. Oleh karenanya, dalam UU ini tidak ada mengatur bahkan menyebut mengenai kredit bank yang merupakan kegiatan usaha perbankan yang diawasi oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pasca nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terhadap De Javasche Bank N.V., pada tanggal 2 Juni 1953 Pemerintah kembali mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia. Dalam UU ini diatur mengenai tugas, pengurus, neraca, laba, dan hal pokok lainnya terkait Bank Indonesia. Pada UU ini, kata-kata kredit telah disebutkan pada Pasal 7 ayat (3) sampai dengan ayat (5) dalam Bab II mengenai Tugas Bank sebagai berikut: (3) Bank memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan Bank di Republik Indonesia pada umumnya dan dari urusan kredit nasional dan urusan bank nasional pada khususnya. (4) Bank melakukan pengawasan terhadap urusan kredit. (5) Menunggu terlaksananya suatu peraturan Undang-undang tentang pengawasan terhadap urusan kredit maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan peraturan-peraturan lebih lanjut bagi Bank untuk menjalankan pengawasan termaksud guna kepentingan kemampuan membayar ("solva-biliteit") dan kelanjutan keuangan ("liquiditeit") badan-badan kredit, begitu juga untuk pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang tepat.
Pasal 7 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 1953 ini memerintahkan agar Pemerintah segera membentuk suatu peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengawasan terhadap urusan kredit secara khusus. Dan dengan didasari ayat (5) tersebut, maka pada tanggal 4 Februari 1955 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit yang kemudian mengalami perubahan dan penambahan beberapa pasal dengan pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap Urusan Kredit pada tanggal 2 Mei 1964. Kemudian pada tahun 1966 tepatnya pada tanggal 5 Juli 1966, ditetapkanlah
Ketetapan
MPRS
RI
Nomor
XXIII/MPRS/1966
tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memerintahkan untuk dilakukannya perbaikan kemerosotan perekonomian negara yang disebabkan oleh tata kelola negara yang salah serta pemberontakan gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI dan juga penyelewengan terhadap UndangUndang Dasar 1945. Salah satu target pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan dalam Tap MPRS tersebut adalah sektor perbankan, sebagaimana Pasal 55 yang berbunyi: “Dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan UndangUndang Bank Sentral.”
Atas perintah Tap MPRS ini terutama Pasal 55 tersebut, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan pada tanggal 30 Desember 1967 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral pada tanggal 7 Desember 1968. Kredit perbankan dalam UU Perbankan mulai mendapat perhatian yang terlihat pengaturannya dalam UU ini yakni pada Bab V mengenai Usaha-Usaha Perbankan; Pasal 23 sampai Pasal 25 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Umum; Pasal 26 sampai Pasal 27 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Tabungan; serta Pasal 28 dan Pasal 29 untuk kredit yang diberikan oleh Bank Pembangunan. Pada Bab V ini, jumlah kredit yang dapat dapat diberikan oleh masing-masing bank tersebut harus berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagaimana tercamtum pada Pasal 25 ayat (1) untuk Bank Umum; Pasal 27 untuk Bank Tabungan; dan Pasal 29 ayat (2) untuk Bank Pembangunan. Hal ini mengandung arti bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sekaligus kewenangan untuk menetapkan jumlah atau besaran kredit yang dapat diberikan oleh bank-bank yang telah disebutkan itu. Dengan demikian pada masa berlakunya UU Pokok-Pokok Perbankan ini, Bank Indonesia memiliki tugas dan kewenangan hanya sebatas penetapan jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank dimaksud. Perkembangan
perekonomian
nasional
maupun
internasional
yang
senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas, mendorong dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan tujuan agar perbankan nasional dapat menjalankan fungsi dan
tanggung
jawabnya
kepada
masyarakat
guna
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional. Dengan berlakunya UU ini, maka UU Pokok-Pokok Perbankan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, termasuk mengenai pengaturan kredit perbankan. Sehingga kredit sebagai kegiatan usaha perbankan dijalankan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kredit perbankan secara khusus menyebabkan pengaturan kredit tersebut bergantung kepada UU perbankan sebagai lembaga penyalur kredit perbankan itu sendiri. Hingga kini, yang menjadi dasar hukum pemberian kredit perbankan di Indonesia yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dimana peraturan pelaksana kredit secara teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan lebih lanjut diatur dalam peraturan masing-masing bank.
B. Unsur-unsur Kredit Perbankan 1. Kepercayaan Telah dikemukakan bahwa unsur penting dalam pemberian kredit perbankan adalah kepercayaan yaitu keyakinan bank terhadap nasabah peminjam
(debitur) bahwa kredit (pinjaman) yang diberikan kepada debitur akan benarbenar kembali sebagaimana yang telah diperjanjikan.38 Hal ini mengandung arti bahwa suatu lembaga perbankan sebagai penyalur kredit akan memberikan kredit ketika bank tersebut telah yakin bahwa si peminjam (debitur) akan mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati oleh kedua pihak, pihak bank dan pihak lain sebagai peminjam (debitur). Kepercayaan tersebut terlihat dalam kondisi sebaliknya, dimana tanpa adanya kepercayaan ini suatu bank tidak akan menerima simpanan dari masyarakat yang dilakukan oleh nasabah penyimpan. Dengan kata lain, kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan merupakan balas jasa atas kepercayaan yang diberikan masyarakat, dalam hal ini nasabah penyimpan, terhadap perbankan kepada masyarakat itu sendiri, dalam hal ini nasabah peminjam. 2. Para Pihak Para pihak merupakan subjek-subjek hukum yang memiliki hubungan hukum secara langsung terkait dengan kredit bank.39 3. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan suatu kesepakatan40 antara pihak kreditur dan pihak debitur dalam bentuk bentuk tertulis. Tujuan dari perjanjian tersebut dibuat adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak, terutama kepada
38
Kasmir, Op. Cit., h. 103. Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Loc. Cit. 40 Ibid. 39
pihak bank selaku pemilik modal atau dana yang dipinjamkan dalam bentuk kredit kepada nasabah peminjam (debitur).41 Secara umum, perjanjian yang berlaku pada praktik perbankan merupakan perjanjian baku (standard contract)42 yang dibuat oleh pejabat bank yang bersangkutan maupun oleh notaris dengan mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank yang bersangkutan. Oleh karena itu, perjanjian kredit ini mengacu pada Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia sebagai pedoman pengaturannya. 4. Jangka Waktu Jangka waktu merupakan batas rentang pengembalian pinjaman (kredit) yang telah disepakati bersama antara kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit.43 Lama jangka waktu ini umumnya dipengaruhi oleh jenis kredit dan besar pinjaman44 yang diberikan oleh pihak bank. Pada kondisi tertentu, jangka waktu pengembalian pinjaman dapat diperbaharui dengan cara memerpanjang jangka waktu kredit tersebut sesuai dengan kesepakatan bersama para pihak. 5. Risiko Risiko merupakan kerugian yang mungkin akan timbul atas penyaluran kredit bank.45 Risiko ini dapat terjadi pada pihak bank maupun nasabah peminjam.46
41
Ismail, Op. Cit., h. 95. Standard Contract atau perjanjian baku merupakan perjanjian yang bentuknya tertulis dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh kreditur serta sifatnya memaksa debitur untuk menyetujui. Gatot Supramono, Op. Cit., h. 174. 43 Ismail, Loc. Cit. 44 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Op. Cit., h. 6. 45 Ismail, Loc. Cit. 46 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Loc. Cit. 42
6. Bunga Kredit Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, secara implisit disebutkan bahwa bunga kredit merupakan kewajiban yang harus dikembalikan oleh peminjam disamping tagihan kredit sesuai dengan kesepakatan atau persetujuan bersama antara kreditur dan debitur sebagaimana dimuat dalam perjanjian kredit tersebut. Dalam praktik perbankan, terutama bagi bank konvensional, bunga kredit merupakan balas jasa/imbalan debitur yang atas pinjaman (kredit) yang diberikan kepada bank dengan besaran atau prosentase tertentu yang ditetapkan oleh bank.
C. Tujuan dan Fungsi Kredit Perbankan 1. Tujuan Kredit Perbankan Masing-masing jenis kredit yang diberikan oleh bank, memiliki tujuan tersendiri yang membedakannya dengan jenis kredit yang lainnya. Namun, pada praktik perbankan yang berlaku secara universal, terdapat dua tujuan pokok atas penyaluran kredit bank. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:47 a. Profitability (Keuntungan) Profitability atau keuntungan merupakan tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa keuntungan yang diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah.48 Berdasarkan pemahaman itu, kredit menjadi sumber utama guna meraih tujuan dimaksud. Sehingga pihak bank akan senantiasa menyalurkan 47 48
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Loc. Cit. Ibid.
program kreditnya hanya kepada debitur yang dianggap maupun diyakini mampu untuk mengelola dan mengembangkan dana kredit yang dipinjamkan tersebut. Oleh karena itu, keyakinan bank terhadap nasabah tersebut akan secara langsung berkaitan erat dengan faktor keamanan atas dana kredit yang dikucurkan terhadap nasabah tersebut. Dengan kata lain, profitabilitas hanya akan dapat diraih apabila faktor keamanan kredit dan produk perbankan sejenis dapat terjamin dan terlaksana dengan baik. b. Safety (Keamanan) Safety atau keamanan merupakan terjaminnya prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar aman sehingga tujuan keuntungan dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan sama sekali.49 Keamanan ini terkait dengan nilai uang yang akan diterima oleh pihak dari berbagai balas jasa yang mereka terima dari nasabah mereka atas pelbagai produk perbankan yang mereka jual pula kepada nasabah bank dimaksud. 2. Fungsi Kredit Perbankan Kredit perbankan pada dasarnya merupakan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Hal ini merupakan fungsi dasar akan kredit tersebut. 50 Namun di samping itu, ada fungsi lainnya dari kredit yang dimaksud yang secara garis besar akan diuraikan sebagai berikut. a. Meningkatkan daya guna modal/uang51 Bank merupakan lembaga intermediasi yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Penghimpunan 49
Ibid. Ismail, Op. Cit., h. 96. 51 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Op. Cit., h. 8. 50
dana yang dilakukan melalui produk simpanan uang, baik tabungan, deposito, dan sejenis, yang mana uang tersebut pada persentase tertentu akan direkayasa oleh bank kegunaannya. Oleh kalangan pengusaha, uang ini ditarik dalam bentuk kredit yang kemudian digunakan untuk meningkatkan usahanya, baik untuk bidang produksi, pemasaran, maupun guna merehabilitasi usahanya agar memberikan hasil lebih sesuai dengan hasil yang telah ditargetkan.52 Sehingga dana yang mengendap di bank menjadi produktif yang pada akhirnya akan memberikan manfaat secara langsung kepada pengusaha maupun secara tidak langsung kepada masyarakat luas. b. Meningkatkan daya guna suatu barang53 Sebagaimana
telah
disebutkan
sebelumnya
bahwa
kredit
dapat
meningkatkan suatu usaha, termasuk bidang produksi, maka dengan bantuan kredit ini suatu barang dapat menjadi memiliki daya guna yang lebih tinggi. Umpamanya adalah peningkatan daya guna kelapa sawit yang kemudian oleh produsen dengan penambahan modal yang diperoleh dari kredit ditingkatkan daya gunanya menjadi minyak goreng, sabun, shampoo, atau produk lain yang berbahan dasar kelapa sawit. c. Meningkatkan peredaran lalu lintas uang54 Kredit yang disalurkan melalui rekening-rekening koran, debitur yang berasal dari kalangan pengusaha menciptakan pertambahan uang giral dan sejenisnya melalui kredit. Peredaran uang kartal maupun uang giral akan lebih berkembang karena kredit menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga 52
Ibid. Ibid. 54 Ibid. 53
penggunaan uang akan bertambah, baik secara kualitatif apalagi secara kuantitatif. Hal ini akan selaras dengan pengertian bank sebagai money creator. d. Menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat55 Manusia sebagai makhluk ekonomi yang selalu akan berusaha memenuhi berbagai kebutuhannya. Sebagai makhluk ekonomi pula, manusia tidak akan pernah dapat merasa puas akan apa yang telah diperoleh. Dinamika dan sifat inilah yang membuat mayoritas orang termotivasi guna selalu berusaha mendapatkan hal lain yang lebih baik lagi terutama bagi para usahawan yang selalu berupaya untuk meningkatkan segala daya atas hasil usahanya. Dengan bantuan modal yang diberikan oleh bank, secara langsung hal ini akan meningkatkan kegairahan usahanya dalam mencapai tujuannya. Bantuan kredit yang diterima oleh pengusaha dari bank inilah yang kemudian untuk memperbesar volume usaha dan produktivitasnya. e. Alat stabilitasasi ekonomi56 Stabilitas ekonomi pada dasarnya dipengaruhi oleh inflasi, kegiatan eksporimpor, keberadaan sarana dan prasarana, daya beli masyarakat, dan hal lain yang sejenis. Untuk menekan arus inflasi dan terutama lagi untuk usaha pembangunan ekonomi, kredit bank memegang peranan yang penting. Arus kredit harus berpedoman pada segi-segi pembatasan kualitatif yaitu pengarahan sasaran ke sektor-sektor yang produktif dan sektor-sektor prioritas yang secara langsung berpengaruh terhadap hajat hidup masyarakat.
55 56
Ibid., h. 9. Ibid., h. 10.
f.
Meningkatkan pendapatan nasional57 Peningkatan usaha dengan bantuan kredit mengandung arti bahwa akan
terdapat peningkatan profit. Bila keuntungan ini secara kumulatif dikembangkan lagi, dalam pengertian dikembalikan lagi dalam struktur permodalan, maka peningkatan profit akan berlangsung terus secara simultan. Dengan pendapatan yang terus meningkat, berarti pajak penghasilan perusahaan pun akan meningkat dan terus bertambah. Di pihak lain, kredit yang disalurkan untuk merangsang pertambahan kegiatan ekspor akan menghasilkan pula pertambahan devisa bagi negara. g. Alat hubungan ekonomi internasional58 Fungsi ini tercermin dari bantuan-bantuan dalam bentuk bantuan kredit dengan syarat-syarat ringan, yaitu bunga relatif murah dan jangka waktu pengembalian yang panjang. Melalui bantuan kredit antarnegara, yang istilahnya sering dikenal sebagai “G to G” (Government to Government), hubungan antarnegara pemberi dan penerima kredit akan bertambah erat terutama yang menyangkut hubungan perekonomian dan perdagangan antarnegara baik yang sifatnya bilateral, regional, maupun multilateral.
D. Prinsip Penilaian terhadap Pemberian Kredit Perbankan Prinsip penilaian atau analisis kredit dilakukan secara cermat dan teliti dengan senantiasa memerhatikan atau berpedoman pada ketentuan yang berlaku yang mencakup analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Penilaian setiap permohonan kredit sangat tergantung pada faktor-faktor pokok mengenai kredit, 57 58
Ibid. Ibid.
seperti jenis usaha, sektor ekonomi, tujuan penggunaan kredit, jumlah kredit, dan faktor lain sejenisnya. Pada praktik perbankan nasional, prinsip dasar dalam menganalisis kredit dengan mengacu pada faktor-faktor tersebut di atas lazim dikenal dengan “Prinsip 5C (The 5C’s Principles)”.59 Namun pada praktik perbankan dunia yang universal, prinsip ini lazim dikenal dengan “Prinsip 6C (The 6C’s Principles)”,60 yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economic, dan Constraint. Keenam prinsip inilah yang secara khusus menjadi hal paling pokok terhadap pemberian kredit pada praktik perbankan namun dengan catatan apabila analisis terhadap seluruh faktor tersebut terpenuhi secara layak oleh calon debitur. Pentingnya penerapan prinsip-prinsip inilah yang menjadikan keenam prinsip ini sebagai ‘jaminan awal’ debitur untuk dipertimbangkan agar memeroleh kredit yang sebagaimana dimohonkan kepada pihak bank. Guna memahami arti pentingnya prinsip 6C tersebut, maka sangat penting untuk mengetahui dan memahami masing-masing pengertian utuh keenam prinsip tersebut sebagaimana dijelaskan berikut ini. 1. Karakter (Character) Character merupakan keadaan watak/sifat dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha.61 Pentingnya analisis penilaian yang dilakukan terhadap prinsip karakter ini adalah untuk mengukur itikad/kemauan calon debitur untuk memenuhi
59
Mayoritas bank lokal di Indonesia menggunakan Prinsip 5C dalam menganalisis permohonan kredit yang diajukan oleh nasabahnya. Ismail, Loc. Cit. 60 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Op. Cit., h. 288. 61 Ibid., h. 289.
kewajibannya (willingness to pay) sesuai dengan perjanjian kredit yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Pemberian kredit didasari atas kepercayaan yang berasal dari pihak bank bahwa si peminjam/debitur memiliki moral, watak, maupun sifat pribadi yang positif dan kooperatif. Selain itu, peminjam memunyai rasa tanggung jawab dalam seluruh aspek kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Prinsip mengenai karakter ini merupakan hal yang dominan sebab walaupun calon nasabah tersebut dianggap cukup mampu untuk menyelesaikan utangnya, tetapi apabila tidak memiliki itikad baik tentu akan menciptakan berbagai kesulitan bagi bank di kemudian hari.62 Ketika wawancara dengan kandidat nasabah/debitur, penting untuk diperhatikan nilai-nilai yang terdapat dalam dirinya. Nilai-nilai yang penting untuk diperhatikan tersebut yakni: social value, theoretical value, esthetical value, economical value, religious value, dan political value.63 Guna mendapat gambaran yang akurat mengenai kepastian atas seorang calon nasabah, maka hal-hal64 yang harus dilakukan secara umum adalah: a. b. c. d.
Meneliti riwayat hidup calon nasabah; Meneliti reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya; Mengkaji bank to bank information; Mencari informasi pada asosiasi-asosiasi usaha di mana usaha calon nasabah berada dan malaksanakan kegiatan operasionalnya; dan e. Mencari informasi tentang sifat konsumtif calon nasabah. Kandidat nasabah/debitur yang memiliki value yang sangat dominan pada
bagian economical value dan political value akan melekat kecenderungan untuk memiliki 62
itikad/karakter
yang
tidak
baik.
Idealnya
Ismail, Op. Cit., h. 112. Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Op. Cit., h. 290. 64 Ibid. 63
karakter
kandidat
nasabah/debitur harus memiliki nilai-nilai (values) yang berimbang dalam diri pribadi serta dengan masyarakat sekitarnya. 2. Kemampuan (Capacity) Capacity merupakan kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan usahanya guna memeroleh profit yang diharapkan.65 3. Permodalan (Capital) Capital merupakan keseluruhan jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah.66 4. Jaminan (Collateral) Collateral adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai jaminan terhadap kredit yang diterimanya.67 5. Keadaan Ekonomi (Condition of Economic) Condition of economic merupakan situasi atau kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang memengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya memengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur.68 Beberapa analisis yang perlu dilakukan terkait dengan condition of economic adalah kebijakan Pemerintah.69 Apabila kebijakan Pemerintah sering berubah, maka hal ini juga akan menyulitkan bank untuk melakukan analisis terhadap condition of economic.
65
Ibid., h. 291. Ibid., h. 290. 67 Ibid., h. 292. 68 Ibid. 69 Ismail, Op. Cit., h. 113. 66
6. Hambatan-Hambatan (Constraint) Constraint adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksanakan pada tempat tertentu.70 Hal ini berkaitan dengan letak strategis suatu usaha terhadap hal maupun keadaan lainnya yang nantinya dapat menunjang usaha dari debitur yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah pendirian SPBU (Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum) yang di sekitarnya terdapat banyak bengkel las atau usaha pembakaran batu bata. Dalam hal ini, bengkel las dan usaha pembakaran batu bata dapat menjadi faktor penghambat atas pendirian usaha SPBU tersebut. Pertimbangan terhadap constraint ini diperlukan karena apabila bank yang telah mengetahui keadaan calon nasabah sebagaimana contoh di atas namun tetap mengucurkan kreditnya, maka hal ini berarti bahwa bank mengambil dan akan menanggung sendiri risiko yang dibuatnya sendiri. Apabila hal tersebut terjadi maka bank dapat mengalami kerugian atas kredit tersebut terlebih jika pinjaman yang diberikan ada pada jumlah yang cukup besar.
E. Kualitas Kredit Perbankan Berdasarkan teori-teori tentang hukum perbankan nasional, maka kualitas kredit perbankan terbagi atas dua kategori, yaitu performing loan dan nonperforming loan.71 Sementara mengacu pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas
70
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Op. Cit., h. 293. Performing loan disebut juga dengan kredit tidak bermasalah, sementara non-performing loan adalah kredit yang sudah dikategorikan kredit bermasalah karena sudah terdapat tunggakan. Ismail, Op. Cit., h. 122. 71
Aktiva Produktif yang dicabut dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007 tanggal 20 Maret 2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, ditetapkan 5 (lima) golongan kolektibilitas kredit, yaitu: Lancar, Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Berdasarkan peraturan perbankan tersebut, ukuran yang digunakan untuk membedakan masing-masing kriteria tersebut adalah Prospek Usaha, Kondisi Keuangan, dan Kemampuan Membayar. Mengacu pada kedua penggolongan tersebut, maka kualitas kredit perbankan tersebut masing-masing dibagi menjadi kriteria sebagai berikut. 1. Performing Loan Performing loan merupakan kualitas kredit dengan predikat pembayaran kembali (repayment) kreditnya baik dimana kalaupun terdapat tunggakan pada kredit dengan kualitas dalam perhatian khusus, maka hal itu tidak akan begitu menghambat proses pembayaran kembali kredit dimaksud. Performing loan ini terdiri atas: a. Kredit dengan Kualitas Lancar Kredit dengan kualitas lancar terjadi apabila seluruh pembayaran kembali, baik pinjaman pokok maupun bunga berjalan dengan sangat baik tanpa ada hambatan sama sekali. Kriteria untuk kualitas kredit ini, yaitu: 1) Prospek Usaha a) Industri atau kegiatan usaha memiliki potensi pertumbuhan yang baik;
b) Pasar yang stabil dan tidak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian serta persaingan yang terbatas termasuk posisi yang kuat dalam pasar; c) Manajemen yang sangat baik; d) Perusahaan afiliasi atau grup stabil dan mendukung usaha; dan e) Tenaga kerja yang memadai dan belum pernah tercatat mengalami perselisihan atau pemogokan. 2) Kondisi Keuangan a) Perolehan laba yang tinggi dan stabil; b) Permodalan kuat; c) Likuiditas dan modal kerja kuat; d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran pokok serta bunga tanpa dukungan sumber dana tambahan; dan e) Jumlah portofolio yang sensitif terhadap perubahan nilai tukar valuta asing dan suku bunga relatif sedikit atau telah dilakukan lindung nilai (hedging) secara baik. 3) Kemampuan Membayar a) Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik, dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit; b) Hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat; dan c) Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat. b. Kredit dengan Kualitas dalam Perhatian Khusus Kredit dengan kualitas dalam perhatian khusus terjadi apabila seluruh pembayaran kembali sempat terjadi tunggakan namun segera dapat diatasi tanpa hambatan yang berarti. Kriteria untuk kualitas kredit ini, yaitu: 1) Prospek Usaha a) Industri atau kegiatan usaha memiliki pertumbuhan yang terbatas; b) Posisi di pasar baik, tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian dan pangsa pasar sebanding dengan pesaing; c) Manajemen yang baik; d) Perusahaan afiliasi atau grup stabil dan tidak memiliki dampak yang memberatkan terhadap debitur; dan e) Tenaga kerja pada umumnya memadai dan belum pernah tercatat mengalami perselisihan atau pemogokan. 2) Kondisi Keuangan a) Perolehan laba cukup baik namun memiliki potensi menurun; b) Permodalan cukup baik dan pemilik mempunyai kemampuan untuk memberikan modal tambahan apabila diperlukan; c) Likuiditas dan modal kerja umumnya baik;
d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa meskipun mampu memenuhi kewajiban pembayaran pokok serta bunga namun terdapat indikasi masalah tertentu yang apabila tidak diatasi akan memengaruhi pembayaran dimasa yang akan datang; dan e) Beberapa portofolio sensitif terhadap perubahan nilai tukar valuta asing dan suku bunga, tetapi masih terkendali. 3) Kemampuan Membayar a) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari dan jarang mengalami cerukan; b) Hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat; c) Dokumen kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat; dan d) Pelanggaran perjanjian kredit yang tidak prinsipil. 2. Non-Performing Loan (NPL) Non-performing loan (NPL) merupakan kualitas kredit dengan predikat pembayaran kembali (repayment) kreditnya yang buruk. Kualitas kredit ini terbagi menjadi: a. Kredit dengan Kualitas Kurang Lancar Kredit dengan kualitas kurang lancar terjadi apabila terdapat penunggakan untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kriteria untuk kualitas kredit ini, yaitu: 1) Prospek Usaha a) Industri atau kegiatan usaha menunjukkan potensi pertumbuhan yang sangat terbatas atau tidak mengalami pertumbuhan; b) Pasar dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian; c) Posisi di pasar cukup baik tetapi banyak pesaing, namun dapat pulih kembali jika melaksanakan strategi bisnis yang baru; d) Manajemen cukup baik; e) Hubungan dengan perusahaan afiliasi atau grup mulai memberikan dampak yang memberatkan terhadap debitur; dan f) Tenaga kerja berlebihan namun hubungan pimpinan dan karyawan pada umumnya baik. 2) Kondisi Keuangan a) Perolehan laba rendah; b) Rasio utang terhadap modal cukup tinggi; c) Likuiditas kurang dan modal kerja terbatas; d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa debitur hanya mampu membayar bunga dan sebagian dari pokok utang;
e) Kegiatan usaha terpengaruh perubahan nilai tukar valuta asing dan suku bunga; dan f) Perpanjangan kredit untuk menutupi kesulitan keuangan. 3) Kemampuan Membayar a) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari serta terdapat cerukan yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas; b) Hubungan debitur dengan bank memburuk dan informasi keuangan tidak dapat dipercaya; c) Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah; d) Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit; dan e) Perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan. b. Kredit dengan Kualitas Diragukan Kredit dengan kualitas diragukan terjadi apabila terdapat penunggukan yang semakin besar dan semakin lama. Kriteria untuk kualitas kredit ini, yaitu: 1) Prospek Usaha a) Industri atau kegiatan usaha menurun; b) Pasar sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian serta persaingan usaha sangat ketat dan operasional perusahaan mengalami permasalahan yang serius; c) Manajemen kurang berpengalaman; d) Perusahaan afiliasi atau grup telah memberikan dampak yang memberatkan debitur; dan e) Tenaga kerja berlebihan dalam jumlah yang besar sehingga dapat menimbulkan keresahan. 2) Kondisi Keuangan a) Laba sangat kecil atau negatif dan kerugian operasional dibiayai dengan penjualan aset; b) Rasio utang terhadap modal tinggi; c) Likuiditas sangat rendah; d) Analisis arus kas menunjukkan ketidakmampuan membayar pokok dan bunga pinjaman; e) Kegiatan usaha terancam karena perubahan nilai tukar valuta asing dan suku bunga; dan f) Pinjaman baru digunakan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. 3) Kemampuan Membayar a) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari serta terjadi cerukan yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas;
b) Hubungan debitur dengan bank semakin memburuk dan informasi keuangan tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya; c) Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan yang lemah; dan d) Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian kredit. c. Kredit dengan Kualitas Macet Kredit dengan kualitas macet terjadi apabila penunggukan yang sangat besar dan dalam waktu yang lama. Kriteria untuk kualitas kredit ini, yaitu: 1) Prospek Usaha a) Kelangsungan usaha sangat diragukan, industri mengalami penurunan, dan sulit untuk pulih kembali, serta kemungkinan besar kegiatan usaha akan terhenti; b) Kehilangan pasar sejalan dengan kondisi perekonomian yang menurun; c) Manajemen sangat lemah; d) Perusahaan afiliasi sangat merugikan debitur; dan e) Terjadi pemogokan tenaga kerja yang sulit di atasi. 2) Kondisi Keuangan a) Mengalami kerugian yang besar serta debitur tidak mampu memenuhi seluruh kewajiban dan kegiatan usaha tidak dapat dipertahankan; b) Rasio utang terhadap modal sangat tinggi; c) Kesulitan likuiditas; d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa debitur tidak mampu menutup biaya produksi; e) Kegiatan usaha terancam karena fluktuasi nilai tukar valuta asing dan suku bunga; dan f) Pinjaman baru digunakan untuk menutup kerugian operasional. 3) Kemampuan Membayar a) Terdapat tunggakan pokok dan/atau bungan yang telah melampaui 270 hari; dan b) Dokumentasi kredit dan/atau pengikatan kredit tidak ada.