BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BERDASARKAN KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Secara Umum Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan kepentingan yang sangat beraneka ragam. Dalam hal adanya tujuan dan kepentingan yang ingin dicapai maka untuk mewujudkan kebutuhan para pihak tersebut, terlebih dahulu harus dipertemukan kehendak yang mereka inginkan. Hal inilah yang menjadi dasar utama untuk terjadinya suatu perjanjian. KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 15
15
Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Op. cit. hal 42.
13 Universitas Sumatera Utara
Perjanjian lahir karena adanya kesepakatan, kesamaan kehendak (konsensus) dari para pihak. Hal ini berarti bahwa perjanjian tidak diadakan secara formal saja, melainkan juga secara konsensual. Dalam kehidupan sehari-hari, telah tercipta suatu anggapan bahwa kontrak merupakan bentuk formal dari suatu perjanjian yang berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu yang dibuat dalam bentuk tertulis. Ketentuan umum dari suatu perjanjian terdapat dalam KUH Perdata pada Buku III Bab II, sedangkan mengenai perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam Buku III Bab XVIII. Pada Buku III Bab II KUH Perdata berjudul “Tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”. Dengan adanya kata “atau” berarti pada hakekatnya kesengajaan penulisan kata kontrak atau perjanjian yang disebutkan dalam Buku III KUH Perdata memiliki makna yang sama. Hal ini bertujuan untuk dapat mengembalikan pengertian kontrak dan perjanjian dalam tafsiran sebagai perbuatan hukum yang tidak berbeda. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lainnya atau lebih.”
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi tersebut tidak lengkap dan masih terlalu luas. Dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, sedangkan dikatakan terlalu luas definisinya dikarenakan dapat mencakup perbuatan dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji perkawinan, yang merupakan bentuk perjanjian juga.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata karena perjanjian menurut Buku III KUH Perdata kriterianya dapat dinilai secara materiil, artinya dapat dinilai dengan uang. Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu. Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 16 Dari perjanjian tersebut maka timbullah perikatan. Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kewajiban itu. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap,
17
perjanjan atau verbintenis
adalah suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi. Unsur dari wujud pengertian perjanjan tersebut di atas adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum harta kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 16 17
R. Subekti. 1980.op cit, hal. 1 M. Yahya Harahap. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung. hal 6
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dimaksudkan sebagai pengertian persetujuan yang sebenarnya yang lebih mengenai harta benda kekayaan, sedangkan perjanjian memiliki pengertian yang lebih luas, tidak hanya berbentuk sebagaimana yang terdapat di dalam KUH Perdata, tetapi juga yang terdapat di luar KUH Perdata. Kedua pernyataan di atas yang dimaksud oleh Subekti dan M. Yahya Harahap, jelas memberikan pengertian yang sesuai antara para pihak yang mengikat dirinya dalam suatu persetujuan atau perjanjian atau perikatan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hubungan ini mengenai suatu sebab yang mencakup bidang harta kekayaan, serta pembagian hak dan kewajiban atas prestasi, termasuk tuntutan pelaksanaan perjanjian tersebut. Berdasarkan pendapat Subekti yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa suatu persetujuan merupakan suatu perjanjian di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 18 Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) hal yang dapat di telaah lebih rinci menyangkut perjanjian, yaitu : a. Unsur perbuatan Dalam Pasal 1313 KUHP Perdata, definisi perjanjian yang disebutkan sebagai suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya terhadap satu lebih orang lain.
18
Subekti. 1980. Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Jika diteliti secara lebih mendalam, maka pengertian persetujuan adalah kesepkatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Akibat kesepakatan itu muncullah hak dan kewajiban yang menjadi unsur mengikat di antara para pihak tersebut. Dapat dikatakan bahwa keterikatan ini merupakan suatu akibat hukum dikehendaki oleh para pihak. Akibat hukum ini dapat dilindungi atau dibela oleh hukum, dengan batasan bahwa dapat diterima akal sehat yang memang dapat dilakukan oleh pihak yang dibebani kewajiban. Dalam hal ini pihak yang secara langsung adalah pihak yang melaksanakan perjanjian. Selain itu kesepakatan mengenai hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum atau yang dilarang oleh undang-unang juga tidak akan dilindungi oleh hukum. Misalnya adalah perjanjian pertarungan hidup atau mati bagi dua orang yang berseteru. Jika diperhatikan dalam skema peristiwa hukum maka peristiwa hukum timbul karena perbuatan atau tindakan manusia yang meliputi “tindakan hukum” atau pun “tindakan manusia yang lain” yang bukan merupakan tindakan hukum. 19 Sebagai kebalikan dari apa yang disebutkan sebelumnya, dalam kehidupan sehari-hari ada perbuatan yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu perikatan, contohnya adalah ketentuan tentang zaakwaarneming atau tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang semua tidak didasarkan oleh perjanjian, akan tetapi hubungan hukum terjadi karena akibat hukumnya.
19
J. Satrio. 1995. Hukum Perikatan Yang Lahir dari Undang-undang. Citra Adiya Bakti. Bandung. hal 24.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa kata perbuatan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan yang menurut hukum menimbulkan hak dan kewajiban. b. Unsur Mengikat Diri Jika ditelaah dalam Pasal 1313 KUHP Perdata menjelaskan bahwa, apabila kedua pihak saling mengikatkan diri maka sebenarnya dengan adanya ikatan tersebut, kedua pihak berjanji sama-sama mempunyai hak dan juga kewajiban yang sama besarnya. Hak tersebut bedasarkan pada perolehan prestasi oleh salah atu pihak, sedangkan kewajibannya didasarkan pada penuasain prestasi oleh pihak lain, yang dianggap sebagai keseimbangan hak dan kewajiban atas dasar kesepakatan bersama. c. Perjanjian Dalam Pengertian Sempit Pada dasarnya perjanjian dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perjanjian dalam arti luas dan perjanjian dalam arti sempit. Dalam arti luas maka perjanjian berarti setiap kesepakatan yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak setidak-tidaknya sudah diketahui oleh para pihak sebelumnya atau dianggap telah diektahui. Hal ini disebabkan karena memang ditentukan oleh undang-undang. Contoh nyatanya adalah perkawinan dalam arti upacaranya, perjanjian pemisahan harta atau harta bersama dan semua konsekuensi logisnya termasuk dalam hal warisan. Dalam arti sempit, J. Satrio mengatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksudkan oleh buku III KUHP Perdata” 20 Pendapat ini pada dasarnya cukup beralasan apabila dihubungkan dengan pengaturan dalam undang-undang. Di sini disebutkan bahwa hukum perjanjian adalah bagian dari hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari hukum kakayaan. Sehingga hubungan yang timbul di antara para pihak yang melakukan perjanjian adalah huum yang terjadi dalam lapangan huum kekayaan. Dalam hal ini banyak sarjana beranggapan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber utama perikatan sehingga apa yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata berarti sebagai perjanjian yang menimbulkan perikatan atau sering disebut dengan perjanjian obligator, yaitu perjanjian antar para pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain.
2. Syarat-Syarat Sah Perjanjian Dalam kaiatannya sebagai hukum yang berfungsi melengkapi saja, ketentuan-ketentuan perjanjian yang terdapat di dalam KUHP Perdata akan dikesampingkan apabila dalam suatu perjanjian para pihak telah membuat pengaturannya sendiri. Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menegaskan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
20
Ibid, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi hal tersebut harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikat diri b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah memenuhi semua ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian. Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian.
a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri Pengertian “kata sepakat” secara harfiah adalah persetujuan dari pihakpihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Sehingga secara langsung dapat juga berarti bahwa persetujuan itu sendiri lahir karena para pihak merasa dapat menarik manfaatnya atau memperoleh nilai tambah. Pengertian dari sisi yuridisnya adalah kebebasan dari para pihak untuk memberikan persetujuan. Secara mendalam dapat dikatakan walaupun secara formal telah dapat dibuktikan bahwa perjajian tersebut dibuat dengan terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu adanya kata sepakat. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaan suatu perjanjian berdasarkan gugatan salah satu pihak yang ada dalam perjanjian tersebut ataupun pihak lain yang merasa berkepentingan dengan adanya perjanjian tersebut, ternyata setelah diadakan penelitian dapat diketahui bahwa kata sepakat itu lahir karena adanya penipuan atau adanya berbagai cara yang terselubung maupun merupakan hasil dari bentuk kekerasan atau paksaan, yang direkayasa sehingga tidak berbentuk nyata. Dengan kata lain, jika hanya dilihat secara formal, hal tersebut tidak akan kelihatan. Dengan adanya alasan ini, hakim dapat membatalkan suatu perjanjian, karena pada hakekatnya dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur sepakat dari perjanjian yang diadakan. Apabila dalam perjanjian tidak ada kata sepakat, berarti ada pihak yang dirugikan serta tidak memenuhi salah satu syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dilakukan kata sepakat mengadakan perjanjian, berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, di mana harus dipertemukan kemauan yang dikehendaki terhadap hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. Apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lain. Dapat dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat tercapainya kata sepakat para pihak sehingga perjanjian itu sudah sah dan mempuyai kekuatan yang mengikat. Akan tetapi ada pengecualian oleh undang-undang yang menentukan formalitas terentu terhadap beberapa perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan, peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan melalui PPAT ataupun notaris. Demikian juga halnya apabila ternyata dalam perjanjian yang dibuat ternyata terdapat suatu kekhilafan, walaupun perjanjian tersebut telah dibuat dan
Universitas Sumatera Utara
secara formal kelihatan sempurna, perjanjian itu masih dapat dibatalkan oleh hakim sebagai suatu perjanjian yang tidak sempurna yang tidak mengandung unsur kata sepakat. Dalam hal ini A. Qirom S. Meilala berpendapat bahwa, “Kata sepakat mungkin pula diberikan karena penipuan, paksaan atau kekerasan. Dalam keadaan ini pun mungkin diadakan pembatalan oleh pengadilan atau tuntutan dari orangorang yang berkepentingan”.
21
Dengan demikian, bialaada kepincangan kata sepakat dalam suatu perjanjian maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim pengadilan. Selamata pembatalan itu tidak diminta oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian tetap berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1449 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kesilapan atau penipuan, menerbitkan hak tuntutan untuk membatalakkannya”. Sehubungan dengan kekhilafan atau salah pengertian yang terjadi dalam suatu perjanjian terdapat pengaturan khusus dalam KUH Perdata. Pada Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa kekhilafan diletakkan sama posisinya dengan paksanaan dan penipuan. Akan tetapi dalam Pasal 1322 KUH Perdata memberikan pengaturan yang khusus dengan menyebutkan bahwa : “Kekhilafan tidak menyebabkan batalnya suatu persetujuan selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai barang yang menjadi pokok persetujuan kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kehilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang yang siapa seseorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.
21
. A. Qirom S. Meliala, 1985. Op. Cit. hal 10
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan ini memberikan gambaran bahwa kekhilafan yang dimaksud di sini adalah terbatasa dan hanya bisa mengenai subjek perjanjian dan bukan objeknya. Jika menyangkut objek perjanjian maka hal itu tidaklah dapat lagi digolongkan dalam kelompok paksaan atau penipuan. Berkenaan dengan indikasi adanya paksaan dalam suatu perjanjian. Pasal 1323 KUH Perdata menegaskan bahwa : “Paksaan yang dilakukan terhadap yang membuat suatu persetujuan merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, jika apabila paksanan itu dilakukan oleh seorang pihak ketigas untu kepentingan siapa persetujuan tersebut telah dibuat”. Mengenai penipauan dijelaskan dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yaitu : “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan itu dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”. Jika diteliti ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata tersebut, dapat diketahui bahwa pasal tersebut mengandung pesan untu dapat mengatakan telah dilakukan suatu penipuan tidaklah hanya reka-reka atau diduga saja, akan tetapi haruslah dibuktikan. Dari ketentuan tersebut juga dapat ditarik pengertian bahwa hukum tetap ingin berperilaku seimbang dengan tetap melindungi itikad baik dan menghalangi semua itikad buruk.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian pengertian bebas itu sendiri dapat berarti sebagai suatu keadaan sedemikian rupa di mana para pihak memberikan persetujuan dalam keadaan yang benar-benar sadar dan wajar terhadap hal-hal yang mendasar bagi dibuatnya satu perjanjian. Setidaknya terdapat kesadaran terdap hal-hal yang akan saling dipertukarkan. Pada sat kata sepakat lahir adalah merupakan klimaks dari lahirnya persetujuan kehendak para pihak yang berjanji. Secara mendasar, ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian dianggap lahir pada saat dicapainya kata sepakat di antara para pihak.
b. Kecakapan dari Para Pihak Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan hal yang penting bagi para pihak, sebab perjanjian menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda kepada orang lain dan kewajiban untuk tiak melakukan suatu perbuatan. Inilah yang dikenal sebagai prestasi dalam perjanjian. Oleh karena itu, orangorang yang mengadakan perjanjian harus cakap, sebab perjanjian itu nantinya akan mengikat para pihak sehingga harus mempunyai kesadaran tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. KUH Perdata mulai melakukan pengaturan tentang kecakapan dengan menyatakan hal tersebut dalam Pasal 1329, yaitu : “Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, kecuali terhadap orang-orang yang oleh undang-undang dipandang tidak cakap untuk melakukan perbuatan tersebut. Bila ketentuan
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak dipenuhi oleh para pihak maka dengan sendirinya perjanjian tersebut tidak mungkin ada. Ketentuan tersebut masih pula dibatasi oleh Pasal 1330 KUH Perdata yang mengatur bahwa mereka tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang sakit ingatan, bukan termasuk orang yang bersifat pemboros dan ditetapkan oleh hakim berada dibawah pengampuan atau pun perempuan yang bersuami”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, dapat ditentukan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu Batasan tentang usia dewasa memang terdapat perbedaan dalam beberapa ketentuan anak-anak yang belum sampai umur atau yang masih berada di bawah pengawasan orang tua atau wali adalah termasuk orang-orang yang belum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, seseorang telah dikatakan dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah menikah. Apabila belum memenuhi syarat tersebut, mereka masih dianggap belum dewasa dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya atau kuratornya bagi mereka yang berada dibawa pengampuan. Akan tetapi bukan tidak mungkin terjadi suatu perjanjian yang dibuat oleh orang yag berusia di bawah usia 21 tahun dan tetap diakui keabsahannya. Pada kenyataannya hal ini tidak begitu diperhatikan oleh para pihak atau pun para penegak hukum.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun demikian, ketetnauan Pasal 330 KUH Perdata tersebut tidak selalu menjadi pedoman, karena ada beberapa pendapat sarjana yang berbeda tentang batasan kedewasan yang ditentukan KUH Perdata tersebut. Berkenaan dengan hal ini,Imam Sudiyat mengatakan bahwa : “Kedewasaan seseorang menurut ketentuan Hukum adat dan Hukum Islam adalah seorang itu sudah akil baligh, yang sudah biasa mencapai umur 15 tahun atau telah mencapai perampungan status orang mandiri, lagi pula sudah berumah tangga”
22
Selain orang-orang yang belum dewasa dianggap tidak cakap dalam berbuat, demikian juga halnya dengan orang-orang yang berada di bawah pengampuan. Dalam hubungan ini Syahrani mengatakan : “Dalam sistem hukum perdata barat hanya mereka yang telah berada di bawah pengampunan saja yang dianggap tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Sedangkan orang-orang yang kurang sehat atau tiaksehat akal piirannya yang tidak berada di bawah pengampunan tidak demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidakah akaluhanya didasarkan pada Pasal 1320 KUHP Perdata. Tetapi perbuatan hukum itu tidak dapat dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlakukan untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perata. 23 Kecakapan seorang perempuan dalam membuat suatu perjanjian dijealskanoleh pasal 108 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perempuan yang bersuami yang akan membuat perjanjian memerlukan bantuan dan izin dari suaminya itu. Perempuan yang telah menikah dianggap tidak cakap membuat perjanjian sehingga harus mendapat bantuan dan izin dari suaminya.
22 23
. Imam Sudiyat. 1981. Hukum Adat dan Sketsa Adat. Liberty. Yogyakarta. hal 78 . Ridwan Syahrini. 1985. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Alumni. Bandung. hal 217
Universitas Sumatera Utara
Khusus mengenai perempuan yang telah menikah/bersuami, sejak dikeluarkannya surat edaran Mahakamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1963 yang menganjurkan kepada para hakimuntuk tidak mempedomani beberapa pasal dalam KUH Perdata karena tidak sesuai
lagi dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Pasal tersebut antara adalah Pasal 108, 110, 284 ayat (3) dan 1238 KUH Perdata.
c. Suatu Perdata Suatu hal tertentu dalam syarat membuat suatu perjanjian mengarah pada objek tertentu dalam suatu perikatan. Karena para pihak yang telah membuat perjanjian akan memikul hak dan kewajiban maka diperlukan adanya kektentuan yang mengatur tentang jenis barang yang menjadi objek dalam perjanjian itu. Perjanjian baru dianggap ada apabila para pihak yang telah mengetahui dan menentukan apa yang menjadi objek dibuatnya suatu perjanjian. Batasan yang dapat ditarik adalah para pihak telah mengetahui setidak-tidaknya macam atau jenis apa yang menjadi objek perjanjian. Contohnya perjanjian jual beli beras seharusnya
menjealskan
berapa
beratnya,
jenisnya
menyebutkan warnanya. Hal yang tidak semakin
atau
bila
mungkin
mempertegas syarat-syarat
seperti yang telah disebutkan sebelumnya sehingga perjanjian yangdibuat memang merupakan sesuatu yang diinginkan terjadi oleh para pihak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah walaupun bentuk fisik objek perjanjian tidak kelihatan secara langsung, namun para pihak disyaratkan telah mengetahui apa yang menjadi standarnya. Apabila perjanjian mengenai barang maka barang tersebut haruslah barang-barang yang ada di dalam perdagangan. Akan tetapi, ukuran yang ada dalam dunia perdagangan sekarang ini telah
Universitas Sumatera Utara
berkembang sedemikian rupa dan sangat bergantung pada kalangan yang memperdagangkannya. Dengan kata lain bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tetentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Dengan demikian batasannya juga telah berubah yaitu asal saja bukan sesuatu yang secara nyata dilarang dalam undang-undang, kepatuhan atau pun kebiasaan untuk diperdagangkan.
d. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang hahal merupakan syarat untuk adanya perjanjian. Hal ini disebabkan pada setiap mengadakan perjanjian tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang akan dicapai. Namun demikian, setiap maksud dan tujuan yang akan dicapai tidak boleh melawan hukum tetapi harus atas sesuatu yang halal. Ini adalah syarat terhadap isi perjanjian sehingga orang yang membuat perjanjian itu tidak tertuju pada niat yang kurang baik, karena masing-masing saling membutuhkan. Seperti yang telah disebutkan bahwa ukuran halal dalam KUH Perdata ini berarti tidak berlawanan dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Walaupun batasan tersebut dapat dikaitkan dengan ketentuan agama, akan tetapi tidak semua yang dikategorikan tidak halal dalam agama langsung diartikan tidak halal di mata hukum. Dasar suatu perjanjian yang tidak halal dapat mengakibatkan perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Ukuran sebab yang halal pada kenyataannya sejalan dengan kebutuhan dan perasaan hukum masyarakat sosial.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian, Subekti menjelaskan : “Kedua syarat pertama dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir disebutkan sebagaisyarat ojektif karena mengenai objek perjanjian. Apabila tidak dipenuhinya syarat pertama dan kedua maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan apabila tidak dipenuhinya syarat ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum”. 24 Melihat 4 (keempat) ketetuan yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian yang telah disebutkan di atas maka pada dasarnya syarat tersebut terbagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : a. Syarat Subjektif Syarat subjektif merupakan suatu syarat yang menyangkut tentang subjeksubjek perjanjian yang diadakan. Dengan kata lain dapat disebutkan terhaap mereka yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang melekat pada dirinya, berupa kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan bagi mereka yang membuat perjanjian. Kesepakatan itu sendiri dapat terwujud secara tegas yakni berupa dituangkannya dalam bentuk tertulis. Akan tetapi pada kenyataannya dapat dilakukan secara diam-diam yaitu dengan menganalogikan pada ukuran kebiasaan ataupun kepatuhan salah satu subjek perjanjian dianggap telah menyatakan kesepakatan atas sesuatu hal tertentu. Pada kenyataannya, mengenai kecakapan subjek perjanjian telah bergerser ukurannya pada saat sekarang ini. Bisa saja kesepakatan lahir tanpa harus bertemunya atau pun berkumpulnya para pihak yang mengadakan perjanjian misalnya adalah transaksi melaui internet (bussiness to business commerce).
24
. Subekti, 1982,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta. Hal 20
Universitas Sumatera Utara
Ukuran kecakapan di sini sudah beranjak pada ukuran kemampuan melakukan suatu perbuatan. Dengan demikian, kecakapan hanya mempersoalkan tentang kemampuan untuk saling berinteraksi, misalnya dengan kemampuan menggunakan internet tersebut. J. Satrio mengatakan, bahwa : “Pada asasnya, kecuali ditentukan lain, undang-undang tidak menentukan cara orang mentukan kehendak”. 25 Hal ini merupakan suatu realitas, karena bisa saja kesepakatan untuk membuat perjanjian dilakukan melalui telepon, faksimile atau pun melalui internet. Dengan demikian tidak perlu saling mengenal mengenal atau pun berjumpa.
b. Syarat Objektif Syarat objektif merupakan syarat yang menyangkut objek perjanjian yang meliputi suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan suatu sebab yang halalyang dijadikan dasar bagi dibuatnya perjanjian tersebut. Berbeda dengan syarat subjektif apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian yang dibuat dianggap batal demi hukum (nieting baar). Ketentuan ini memang sangat logis sekali, karena sangat tidak mungkin memperjanjikan sesuatu yang tidak jelas apa yang menjadi objek perjanjian yang pada hakikatnya merupakan tujuan utama dari pembuatan suatu perjanjian. Berkenan dengan syarat suatu hal tertentu, J. Satrio berpendapat, bahwa : “Objek perjanjian tidak harus semula semula individual tetentu, tetapi cukup kalau pada saat perjanjian ditutup jenisnya tertentu”. 26 25
. J. Satrio, 1995, Op. cit, hal 183
Universitas Sumatera Utara
Dapat dilihat bahwa walaupun batasan dari pernyataan tersebut tidak terlalu kaku, tetapi ada ukuran kepatutan yang secara langsung dihubungkan dengan penilaian telah dilaksanakannya kewajiban prestasi atau belum pada saat yang ditentukan dalam perjanjian. Agar suatu perjanjian dikatakan saha, menurut Pasal 1320 Perdata syarat berikutnya adalah adanya suatu sebab yang hal atau biasa disebut sebagai kuasa yang halal sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Syarat yang sebenarnya diperjelas dalam Pasal 1335, Pasal 1336, dan Pasal 1337 KUH Perdata ini pada dasarnya ditujukan pada batasan agar setiap maksud dan tujuan yang ingin dicapai bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian adalah bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang pada intinya menegaskan bahwa persetujuan-persetujuan
harus
dilaksanakan
dengan
itikad
baik,
artinya
pelaksanaan perjanjian tersebut harus mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi orang/masyarakat. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mempunyai tugas untui memberikan kepastian, kegunaan dan keadilan. Dalam pelaksanaan perjanjian, harus diperhatikan pula kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Persetujuan-persetujuan tidakhanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
26
Ibid, hal 31
Universitas Sumatera Utara
menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang”. Akan tetapi apabila terjadi perjanjian mengenai pembelian senjata api tanpa ijin yang berwenang, ini tidak dibenarkan karena dilarang oleh undangundang, perjanjian demikian dianggap tidak pernah terjadi.
3. Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian Ada beberapa asas yang terjadi dalam hukum perjanjian, yaitu : a. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak) Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang bebas pancaran hak asasi manusia. Asas ini terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menentukan bahwa para pihak bebas untuk menentukan apa yang disepakati tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan ketentuan undangundang. Selain dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Secara langsung telah tampak pengertian bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian. Janji mana justru berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Mariam Darus berpendapat bahwa : “Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab dan mampu memelihara keseimbangan antara pengguna hak asasi dengan kewajiban asasi ini perlu tetap dipertahankan yaitu dengan cara pengembangan kepribadian untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat”. 27 Dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian mengantut sistem terbuka,yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan keinginan dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan bentuk tertentu dan bebas memilih undang-undang mana yang dipakainya untuk perjanjian itu. Berarti bahwa setiap orang bebas untuk menentukan keinginan yang dituangkan dan diatur sebagai isi perjanjian. Lebih jauh berarti bahwa karena berlaku sebagai undang-undang maka wajib dilaksanakan dan bila perlu menggunakan alat paksa kepentingan umum. Asas ini berkaitan erat dengan asas konsensualisme.
b. Asas Konsensualisme Asas ini ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini berkaitan dengan kehendak para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Asas ini berkenaan dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian sehingga dicapai suatu kesepakatan membuat perjanjian. Pesan yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa setiap orang yang sepakat berjanji tentang suatu hal, berkewajiban untuk memenuhinya. Secara implisit
asas
ini
lebih
menekankan
pada
moral
para
pelaku.
Pada
perkembangannya asas ini dijelmakan dalam klausa perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban para pihak yang berjanji. Apabila salah satu pihak ingkar maka pihak yang diingkari dapat memohon kepada hakim agar kalusa tersebut mengikat dan dapat dipaksanakan berlakunya. 27
. Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, dkk, 2001. Komplikasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 86
Universitas Sumatera Utara
Selain berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak, asas ini juga berkaitan dengan asas kepercayaan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1334 KUH Perdata, yang mengatur bahwa barang yang barus ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Dalam hal ini, subjek hukum diberikan kesempatan menyatakan keinginannya yang dianggap baik untuk mengadakan perjanjian. Maka ia harus memegang teguh kesepakatan yang diberikan kepadanya.
c. Asas Kepercayaan Seorang
yang
mengadakan
perjanjian
dengan
pihak
lain,
menumbuhkembangkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepecayaan itu maka perjanjian tiak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Asas kepercayaan ditentukan dalam Pasal 1338 Jo 1334 KUH Perdata. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 28
d. Asas Perjanjian Mengikat (Pasta Sant Servanda)
28
Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Op. cit. hal 42
Universitas Sumatera Utara
Menurut Grotius, dalam buku Mariam Darus Badrulzaman, dikatakan bahwa “Pasca sunt servanda” (janji itu mengikat). Selanjutnya ia mengatakan lagi “promissorum implemndroum obligation”. (kita harus memenuhi janji kita) 29 Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata. Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian mengandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan tersebut akan mengikat para pihak. Asas ini hampir sama dengan asas kepatutan, karena memang mengaitkan hal yang patut sebagai kewajiban bagi para pihak yang mengikat suatu perjanjian.
e. Asas Persamaan Hak Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Dalam asas ini, para pihak diletakkan pada posisi yang sama. Dalam perjanjian sudah selayaknya tidak ada pihak yang bersifat dominan dan tidak ada pihak yang tertekan sehingga tidak terpaksa untuk menyetujui syarat yang diajukan karena tidak ada pilihan lain. Mereka melakukannya walaupun secara formal hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai paksaan. Dalam perjanjian, para pihak harus menghormati pihak lainnya. Jika prinsip sama-sama menang (win win solution) tidak dapat diwujudkan secara murni, namun harus diupayakan agar mendekati perimbangan di mana segala sesuatu yang merupakan hak para pihak tidaklah dikesampingkan begitu saja.
f. Asas Keseimbangan 29
Mariam Darus Badrulzaman, 1993. KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasannya. Alumni. Bandung. hal 109.
Universitas Sumatera Utara
Asas ini diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1244 KUH Perdata yang menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan itu merupakan kelanjutan dari asas persamaan hak.
g. Asas Kepentingan Umum Asas ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata. Ditegaskan agar dalam menyusun dan melaksanakan suatu perjanjian kedua belah pihak, bak kreditur maupun debitur memperhatikan kepentingan umum. Asas ini juga mencakup suatu pesan bahwa walaupun subjek hukum diberikan kebebasan berkontrak, akan tetapi mereka harus berbuat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum.
h. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Dalam hal ini, asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Akan tetapi dalam prakteknya, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Mariam Darus mengatakan bahwa : “Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”. 30 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.
i.
30
Asas Moral
Ibid, hal.44
Universitas Sumatera Utara
Asas ini terlihat dalam perikatan biasa, artinya bahwa suatu perbuatan suka rela dari seseorang tidak menimbukan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari debitur. Hal ini terlihat juga di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela (moral) maka yang bersangkutan
mempunyai
kewajiban
(hukum)
untuk
meneruskan
dan
menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat di dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberi motivasi pada orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
j.
Asas Kebiasaan Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo 1347 KUH Perdata yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk halhal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga pada halhal yang dalam kebiasaan diikuti. Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan pula bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun dengan tegas dinyatakan. Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUH Perdata menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah kebiasaan pada umumnya (gewonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUH Perdata iala kebiasaan setempat (khusus) atau
Universitas Sumatera Utara
kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk beding).31 k. Asas Sistem Terbuka Asas ini penting diperhatikan dalam suatu perjanjian. Sitem perjanjian yang bersifat terbuka berarti dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga dapat menuntut bila perjanjian tersebut dianggap merugikan kepentingannya. l.
Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung unsur kepastian
hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian.
4. Bentuk dan Jenis Perjanjian Pada dasarnya suatu perjanjian tidak harus dibuat dalam suatu bentuk tetentu, artinya dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan dapat juga juga dalam bentuk yang tidak tertulis. Akan tetapi ada beberapa jenis perjanjian yang oleh undang-undang diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis. Misalnya adalah perjanjian penghibahan yang diatur dalam Pasal 1682 KUH Perdata, perjanjian jual beli tanah yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1960. Mengenai bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat berbentuk akta notaris dan akta dibawah tangan. Akta di bawah tangan dapat berupa perjanjian baku (Perjanjian standar) dan bentuk perjanjian bukan standar.
31
. Mariam Darus Badrulzaman, 1993, Op. Cit, hal 117.
Universitas Sumatera Utara
Khusus untuk perjanjian yang tidak termasuk dalam perjanjian yang diisyaratkan undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertulis, jika dibuat alam bentuk tertulis (akta) hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Adapun jenis-jenis perjanjian menurut Mariam Darus adalah sebagai berikut :32 a. Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli. b. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu dan selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan hukum. c. Perjanjian Bernama (benoemd, specified) dan Perjanjian Tidak Bernama (onvenoemd, unspecified). Perjanjian bernama (khusus) merupakan perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut di atur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yan tidak diatur dalam KUH perdata, tetapi terdapat pada masyarakat.
32
. Ibid, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Perjanjian ini lahir berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Salah satu contohnya adalah perjanjian sewa beli.
d. Perjanjian camuran (Contractus sui generis) Perjanjian campuran merupakan perjanjian yang mengandung bebagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan lainnya. Terhadap perjanjian campuran ini terdapat berbagai paham, yaitu : 1. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractu sui generis). 2. Paham kedua mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian-perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi). 3. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori kombinasi). e. Perjanjian Obligator Perjanjian
obligatoir
adalah
perjanjian
antara
pihak-pihak
yang
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Dapat dikatakan bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan misalnya perjanjian jual beli benda bergerak.
Universitas Sumatera Utara
Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik jual beliseperti itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban
(obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan
(levering). Penyerahan sendiri merupakan perjanjian kebendaan. f. Perjanjian Kebendaan Perjanjian kebendaan merupakan perjanjian hak atas benda dialihkan atau diserahkan kepada pihak lain. g. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil Perjanjian Konsensual adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapainya suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(Pasal 1338 KUH
Perdata), Perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjianyang terakhir ini dinamakan juga sebagai perjanjian riil. h. Perjanjian-perjanjian yang Istimewa sifatnya Jenis perjanjian yang istimewa sifatnya adalah : 1) Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding) pada Pasal 1438 KUH Perdata. 2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakahyang berlaku di antara mereka. 3) Perjanjian untung-untungan, mialnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
4) Perjanjian Publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak
bertindak sebagai penguasa
(pemerintah). Misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah. Anser berpenapat bahwa : “Setiap perjanjian mempunyai bagian inti dan bagian yang bukan inti”. 33 Bagian inti diebut essensialia dan bagian yang bukan inti terdiri dari naturalia dan aksidentiala. Essensialia adalah bagian-bagian yang harus ada dalam suatu perjanjian karena bagian ini menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta. Seperti persetujuan antara pihak dan objek perjanjian diamdiam melekat pada perjanjian, akan tetapi hal ini dapat diperjanjikan secara tegas untuk dihapuskan. Misalnya menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual. Aksidentialia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yaitu secara tegas diperjanjikan oleh para pihak seperti ketentuan mengenai domisili para pihak.
5. Wanprestasi Dalam Perjanjian Dalam melaksanakan perjanjian, para pihak wajib memberi sesuatu atau berbuat sesuatu ataupun bahkan tidak berbuat sesuatu. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka pihak yang tidak melaksanakan tersebut dikatakan telah melakukan wanprestasi. Wirjono Prodjodikoro mengatakan, bahwa :
33
. Mariam Darus Badrulzaman, 1993, Op. cit. hal 24
Universitas Sumatera Utara
“Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi, sedangkan prestasi dalam hukum perjanjian berarti sesuatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.” 34 Sedangkan Subekti berpendapat bahwa, seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi
apabila
ia
tidak
memenuhi
kewajibannya
atau
terlambat
memenuhinya dan tidak seperti yang diperjanjikan”. 35 Sebagaimana diketahui, bahwa wanprestasi suatu perjanjian merupakan tindakan seseorang yang idak menempati janjinya mengenai sesuatu hal yang sudah disepkati oleh para pihak yang mengadakannya. Prestasi timbul setelah para pihak mengikatkan diri dalam suatu perjanjian maka prestasi merupakan suatu kewajiban para pihak yang telah berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal tersebut. Jika dirinci, wujud wanprestasi menurut Subekti, adalah : 36 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang diperjanjian, akan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjian c. Melakukan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Dari bermacam-macam wanprestasi tersebut, jelaslah bahwa apa yang dikatakan wanprestasi bukan hanya terbatas pada tidak melakukan sesuatu yang telah disepakati bersama, tetapi termasuk juga melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, melakukan sesuatu dengan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 34
Wirjono Prodjodikoro. 1973. Asas-asas Hukum Perjanjian. Sumur. Bandung. hal 44 Subekti. 1982. Op. Cit. hal 147 36 Subekti. 1979. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta. hal 45 35
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hadisoeprapto, bahwa : “Debitur yang melakukan wanprestasi perlu ditentukan, dalam keadaan atau bentuk yang bagaimana seorang debitur tidak memenuhi prestasi yang diperjanjikan tersebut. Dalam perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu apabila debitur melakukanya berarti ia melanggar perjanjian. Dalam perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan apabila barang tidak diserahkan atau perbuatan tidak dilakukan, dapat dikatakan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi”. 37
Tentang perbuatan wanprestasi, ada dua kemungkinan penyebabnya, yaitu: a. Karena kesalahan debitur, yakni karena kesengajaraan atau kelalaian b. Karena keadaan memaksa, yakni keadaan di luar kemauan dan kemampuan debitur Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal tersebut, dapat berarti orang-orang yang telah melanggar perjanjian maka orang tersebut telah melanggar undang-undang dan padanya dapat dihukum untuk memenuhi semua perjanjian. Karena wanprestasi dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, oleh karena itu perlu diselesaikan secara efektif. Adapun penyelesaian wanprestasi itu tentunya diperlukan suatu pemberian sanksi atau paksaan kepada orang yang telah mengingkari janji, karena tanpa sanksi
atau
paksaan
dalam
penyelesaian
wanprestasi
itu,
akan
tetap
mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak.
37
. Hartono hadisoeprapto, 1984. Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan Liberty, Jogyakarta, hal 43.
Universitas Sumatera Utara
Pihak debitur yang melakukan wanprestasi berarti telah dianggap merugikan kreditur maka berarti pula telah melanggar undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Gugatan yang dapat diajukan pada debitur yang wanprestasi menurut Subekti ada beberapa kemungkinan, yaitu : 38 a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, yang disebut dengan pemberian ganti kerugian; b. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian; c. Peralihan resiko; d. Membayar perkara, kalau diperkarakan di pengadilan. Pada kenyataannya, akibat yang timbul dari suatu keadaan wanprestasi sedemikian besarnya. Oleh karena itu, untuk menetapkan jumlah dan jenis sanksi yang dikenakan, terlebih dahulu harus diteliti dan dapat disimpulkan apakah kedaan wanprestasi itu terjadi karena suatu kesengajaan. Selain itu diperhitungkan pula akibat yang diderita oleh krediturnya. Agar lebih cepat menyimpulkan apakah perbuatan itu merupakan suatu kelalaian atau suatu kesengajaan maka sebaiknya para pihak yang membuat perjanjian tersebut mengadakan pengaturan yang lebih rinci. Pengaturan itu dapat meliputi hal-hal yang berkaitan dengan bentuk perjanjian yang dibuat, cara melaksanakannya, jenis dan lingkup perjanjian atau pun jangka waktu serta kriteria yang dijadikan patokan/ ukuran lengkap dan jelas. Adapun tata cara menentukan seorang debitur telah melakukan tindakan wanprestasi atau melalaikan kewajibannya dapat dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yaitu :
38
Subekti. 1979. Loc. cit , hal. 147
Universitas Sumatera Utara
“Si berutang adalah lalai apabila ia dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Surat
perintah yang dimaksud merupakan suatu peringatan resmi dari
seorang Juru Sita Pengadilan. Istilah akta sejenis itu oleh undang-undang dimaksudkan suatu peringatan tertulis. Peringatan atau teguran itu dapat juga dilakukan secara lisan, asal saja secara tegas menyebutkan permintaan kreditur agar prestasi dilakukan atau dipenuhi dalam waktu secepatnya. Peringatan atau teguran itu lebih baik dilakukan secara tertulis dan dengan surat tercatat agar tidak mudah diingkari oleh debitur. Debitur yang dituduh atau dianggap melakukan wanprestasi dapat mengajukan pembelaan dengan menyebutkan alasannya. Subekti mengatakan ada tiga alasan yang dapat diajukan untuk pembebasan debitur dari hukum tuduhan wanprestasi, yaitu :
39
a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (Ovenrmacht atau force majeure); b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus); c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi; Mengenai keadaan memaksa ditentukan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Kedua pasal ini dimaksudkan untuk membebaskan debitur dari kewajibannya mengganti kerugian akbiat dari suatu persitiwa yang tidak disengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya sehingga menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan. 39
Subekti. 1982. Loc. cit , hal. 147
Universitas Sumatera Utara
Apabila diteliti rumusan Pasal 1244 KUH Perdata, ketentuan tersebut lebih tetpat menunjukkan keadan memaksa sebagai suatu pembelajaran bagi seorang debitur yang dituduh melakukan wanprestasi. Oleh karena itu, di dalam pasal tersebut mengandung suatu beban pembuktian kepada debitur mengenai keadaan memaksa sehingga perjanjian dilaksanakan tidak tepat pada waktunya. Sedangkan pada Pasal 1245 KUH Perdata tidak disebutkan adanya beban pembuktian kepada debitu, akan tetapi menyebutkan bahwa debitur tidaklah diwajibkan mengganti kerugian karena keadaan memaksa. Jika seorang debitur tidak dapat mengajukan alasan untuk membebaskan dirinya dari tuduhan melakukanya wanprestasi dan juga diberikan peringatan atau teguran, namun masih tidak memenuhi prestasi yang diperjanjian maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.
Universitas Sumatera Utara