BAB II HUKUM PERJANJIAN INDONESIA Dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata yang berisi tentang pengaturan mengenai perikatan.Pada pasal 1233 kitab undang-undang hukum perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,baik karena undangundang.BW (K.U.H. Perdata) sebagai undang-undang mulai berlaku atau diumumkan secara
resmi
pada
tanggal
30
April
1847
(St.
No.23/1847).Dari
tahun
pengundangannya jelas dapat kita ketahui,BW yang dalam Buku III mengatur Hukum Perjanjian adalah undang-undang produk kolonial Belanda 8 Untuk mengetahui arti sebenarnya dari suatu perjanjian tidaklah mudah karena banyak pendapat para ahli-ahli hukum didalam memberikan rumusan perjanjian tersebut.Dengan adanya berbagai pendapat tentang rumusan dari perjanjian tersebut.Penulis merasa perlu memberikan beberapa pengertian perjanjian menurut para sarjana. A. Pengertian Perjanjian Buku III KUH Perdata bebicara tentang perikatan (Van Verbibtenissen) yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan
8
M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT.Alumni,Bandung,1986,hlm.3.
14
Universitas Sumatera Utara
15
beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. 9 Menurut Prof.Dr.Wrijono Prodjodikoro Perjanjian adalah : “Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut janji itu.” 10 Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH. Bahwa : “Perjanjian adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk saling melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.” 11 Menurut M. Yahya Harahap,SH ,perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian: “Suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
12
Secara harafiah kata “verbintenis”yang merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil Perancis dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.
9
Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009,hlm 39. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas hukum perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 7 11 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,PT.Alumni, Bandung, 1986, hlm 78 12 M.Yahya Harahap, Op.Cit.,hlm.6. 10
Universitas Sumatera Utara
16
Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah “perikatan”.Diawali dengan ketentuan pasal 1233, yang menyatakan bahwa.“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. 13 Dari beberapa pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa wujud pengertian perjanjian itu sendiri yaitu, hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban dipihak lain untuk memenuhi suatu hal (prestasi) yang telah disepakati. Perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak, tiap-tiap pihak yang berjanji untuk mematuhi prestasi kepada pihak lainnya, begitupula pihak lainnya harus memperoleh pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu. Oleh karena itu prestasi dapat dirumuskan secara luas sebagai “sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.Perbuatan, sikap tidak
13
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja,Perikatan Pada Umumnya,PT.Raja Grafindo Pusaka,Jakarta,2004.,hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
17
berbuat, atau janji dari masing-masing pihak adalah harga bagi janji yang telah dibeli oleh pihak lainnya itu.” 14 Prestasi ini adalah “objek” tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.Prestasi harus berwujud dan mempunyai nilai; jika tidak demikian, maka tidak ada perjanjian. Dari pengertian yang telah dikemukakan para sarjana di atas, maka dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata terdapat rumusan tentang perjanjian itu, yang diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata Adapun bunyi dari pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah sebagai berikut : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 15 Namun menurut Handri Raharjo ada beberapa kelemahan dalam definisi perjanjian menurut KUH Perdata tersebut diantara nya: 1. Didalam KUH Perdata disebutkan “Merupakan perbuatan” menurut handri raharjo makna ini terlalu luas, seharusnya dipersempit dengan “Merupakan perbuatan hukum”
14
Ibid.,hlm.99. R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pradnya Paramita, Jakarta,1979, hlm 304.
15
Universitas Sumatera Utara
18
2. Dari pengertian diatas juga ditemukan “Yang mengikatkan dirinya hanya 1 pihak , hal tersebut kurang lengkap sehingga bisa disebut perjanjian sepihak, seharusnya “saling mengikatkan diri”. 3. Apa yang menjadi tujuan tidak jelas, seharusnya diperjelas. Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian menurut Handri Raharjo adalah : “Suatau hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka(para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum lainnya berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.” 16 Dari rumusan itu dapat kita ketahui ada dua pihak dalam suatu perikatan, yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.Pihak yang berhak dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”.Dalam hal ini kedua belah pihak memiliki hubungan hukum dengan arti jika pihak debitur tidak melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak kreditur, maka pihak kreditur dapat melakukan tuntutan kepada pihak debitur. Dengan kata lain bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum untuk
16
Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.41.
Universitas Sumatera Utara
19
memenuhi suatu prestasi, prestasi adalah suatu hal tertentu yang patut dipenuhi menurut undang-undang. Menurut pasal 1338 KUH Perdata: semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan begitu segala sesuatu yang telah dibuat didalam suatu persetujuan berlaku sebagai suatu undang-undang atau aturan bagi para pihak yang turut sepakat dalam penyusunan perjanjian tersebut.Dengan berlakunya segala sesuatu tersebut sebagai suatu undang-undang maka apabila ada pihak yang melakukan suatu hal sebagaimana dilarang didalam suatu perjanjian, pihak lainnya dapat melakukan penuntutan untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas hal tersebut. Persetujuan yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.Dan tentunya persetujuan yang telah disepakati tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam pasal 1338 kitab undang-undang hukum perdata. Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum.Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, dan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
20
Oleh karena itu hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya.Hubungan tersebut timbul karena adanya “tindakan hukum”.Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa prestasi adalah sebuah “objek” dan kreditur berhak atas prestasi yang diperjanjikan dan debitur wajib melaksanakan prestasi tersebut. Jika demikian inti dari suatu perjanjian tiada lain adalah prestasi. Jika undang-undang telah menetapkan pihak kreditur adalah yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka inti dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri. Sesuai dengan ketentuan pasal 1234 BW, prestasi yang diperjanjikan itu ialah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.Memberikan sesuatu dalam pasal 1235 adalah kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan. Dalam hal berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu bisa bersifat postif dan negatif Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan/berbuat sesuatu.Hal ini timbul misalnya dalam perjanian kerja seperti diatur dalam pasal 1603 BW.Perjanjian
yang
bersifat
negatif
adalah
verbintenis/perjanjian
yang
Universitas Sumatera Utara
21
memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu.Sewa-menyewa sebagaimana diatur dalam pasal 1550 BW merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif. Tentang objek perjanjian harus dapat ditentukan adalah sesuatu yang logis dan praktis. Tidak akan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian. Itulah sebabnya pasal 1320 BW menentukan bawah objek perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu seperti yang dirumuskan dalam pasal 1320 BW, yaitu suatu hal tertentu dan merupakan suatu sebab yang halal. 17 Jikalau objek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah nyata dilarang oleh undang-undang maka perjanjian dengan demikian “tidak sah” karena objek perjanjian merupakan syarat yang mengikat perjanjian tersebut.Sehingga suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum jika objek yang diperjanjikan melanggar undang-undang dan aturan yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, objek perjanjian tersebut haruslah objek yang dengan hukum atau undang-undang serta aturan yang berlaku tidak melarang.Karena suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan nilai-nilai kesusilaan. 18 Oleh karena itu prestasi yang dilaksanakan debitur harus benar-benar sesuatu yang dapat dilaksanakan.Dengan maksud adalah bahwa hal yang diwajibkan untuk 17
M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT.Alumni,Bandung,1986,.,hlm.10.
18
Ibid.,hlm.11.
Universitas Sumatera Utara
22
dilaksanakan
oleh
debitur
haruslah
hal
yang
memang
mungkin
dapat
dilaksanakan.Misalnya mengangkut barang dari Pekanbaru ke Medan melalui darat dalam tempo 2 jam.Hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil dapat dilaksanakan oleh pihak debitur. Akan tetapi dalam mempersoalkan masalah prestasi yang tidak mungkin ini, harus dibedakan antara prestasi yang pada dasarnya benar-benar tidak mungkin dilakukan, dengan prestasi yang memang debitur tidak sanggup untuk memenuhinya. Dengan membedakan ketidak mungkinan yang terdapat dalam prestasi itu sendiri dengan ketidak mungkinan yang berasal dari debitur itu sendiri, secara teoritis dan praktis harus dibedakan antara : 1. Ketidak mungkinan subjektif hanya didasarkan pada anggapan subjektif debitur. Ketidak mungkinan yang subjektif tidak menyebabkan batalnya perjanjian; melainkan perjanjian tetap sah. 2. Ketidak mungkinan yang objektif. Dalam hal ini prestasi tidak mungkin dilaksanakan debitur sekalipun dengan alat dan perhitungan yang benar-benar cermat. Seperti pada contoh diatas. 19 Jikalau perjanjian yang prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan sejak dari semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian dengan sendirinya dianggap “tidak berharga” , dan tidak ada kewajiban debitur untuk memenuhinya. Sebab ketidak mungkinan itu telah menghapuskan kewajiban itu sendiri. Hal ini telah 19
Ibid.,hlm.12.
Universitas Sumatera Utara
23
menjadi prinsip umum dalam kehidupan hukum, yang berbunyi: “imppossibilium nulla obligation est.” , artinya “ketidak mungkinan meniadakan kewajiban” 20 Sesuai dengan prinsip umum dalam kehidupan hukum bahwa ketidak mungkinan meniadakan kewajiban, maka resiko yang timbul akibat ketidak mungkinan; tidak dapat dibebankan kepada pihak debitur.Sebab perjanjian demikian tidak mempunyai akibat perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.Dengan catatan bahwa ketidak mungkinan yang mengakibatkan perjanjian sejak dari awal adalah tidak sah dan tidak mengikat, ialah ketidak mungkinan melaksanakan prestasi yang diperjanjikan. Jika pada saat perjanjian tersebut dibuat, prestasi tersebut memang benar-benar mungkin dapat dilaksanakan,kemudian oleh karena suatu hal menjadi tidak mungkin, maka perjanjian tersebut tetap sah dan berharga. Adapun masalah sampai dimana pengaruh kejadian yang menyebabkan ketidak mungkinan melaksanakan prestasi, persoalan ini termasuk ruanglingkup “overmacht” atau “keadaan memakasa” . Jika prestasi secara
mutlak tidak bisa dilaksanakan , maka debitur tidak
dianggap merugikan kreditur, jika hal itu terjadi karena “keadaan memaksa” pihak debitur harus dengan jelas membuktikan kebenaran dari overmacht tersebut. Karena kemungkinan itu baru terjadi pada saat sebelum atau pada waktu hendak melakukan pemenuhan prestasi. Untuk membedakan antara “absolute overmacht” dan “ relative overmacht” pada absolute overmacht pelaksanaan perjanjian sama sekali tidak mungkin dapat 20
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
24
dilaksanakan oleh debitur. Pada relative overmacht pelaksanaan perjanjian masih mungkin dilakukan tapi dengan menanggung kerugian yang sangat berat bagi pihak debitur. 21 Namun dalam hal relative overmacht yang menimbulkan kerugian besar, tidak dianggap sebagai alasan overmacht yang membebaskan debitur untuk melaksanakan prestasi.Sebab kerugian seperti itu dalam perikatan merupakan resiko. Bahwa setiap orang yang sepakat untuk membuat suatu perjanjian harus sudah siap memperkirakan segala resiko yang akan terjadi. Akan tetapi dalam memperhitungkan resiko kerugian yang terjadi, pada prakteknya selalu dibebankan kepada kedua belah pihak antara kreditur dan debitur; jika benar keadaan yang menimbulkan overmacht tadi tidak dapat diperhitungkan sejak awal.Harus diingat dengan jelas bahwa keadaan-keadaan yang bersifat pribadi tidak dapat diperhitungkan sebagai alasan overmacht. Dalam Hukum Perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu : 22 1. Asas kebebasan berkontrak. Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar
21
Ibid.,hlm.13.
22
Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.43.
Universitas Sumatera Utara
25
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata) Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalm hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat memaksa) dinamakan hukum pelengkap karena pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka(para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hala ini Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a) Membuat atau tidak membuat perjanjian. b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun. c) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang ketertiban umum, dan kesusilaan. 2. Asas konsensualisme. Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320,Pasal 1338 KUH Perdata) Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak.
Universitas Sumatera Utara
26
3. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda). Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). 4. Asas itikad baik (Togue dentrow). Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata). Itikad baik ada dua, yakni: a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B. b) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (berpenampilan seperti preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga yang sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidak legal. 5. Asas kepribadian (personalitas) Pada umumnya tidak seorang pendapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga. B. Jenis- Jenis Perjanjian Mengenai perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam buku III KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan
Universitas Sumatera Utara
27
pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan, mengeyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu para pihak yang hendak mengadakan perjanjian , berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam KUH Perdata. Perjanjian dapat dibedakan menururut berbagai cara, yaitu: 1. Perjanjian menurut sumbernya : a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga misalnya, perkawinan. b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda. c) Perjanjian obligatoir , adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara. e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik. 2. Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi : a) Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk kepada perjanjian ini misalnya, perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan lain-lain. b) Perjanjian tidak bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.
Universitas Sumatera Utara
28
3. Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Yang termasuk perjanjian lisan adalah: a) Perjanjian konsensual dan perjanjian real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya persetujuan kehendak antara para pihak. b) Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian disamping adanya persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.Contohnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, perjanjian pinjam pakai dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu : a)
Perjanjianstandar atau baku adalah perjanjian tertulis yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah di standarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat massal, tanpa
mempertimbangkan
perbedaan
kondisi
yang
dimiliki
konsumen. b) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu, misalanya perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis, perjanjian hibah dengan akta notaris. 23
23
Ibid., hlm.59.
Universitas Sumatera Utara
29
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ditinjau dari segi prestasi perjanjian, dapat dibagi antara “perjanjian untuk memberikan sesuatu” , “melakukan sesuatu”, “tidak melakukan sesuatu”. Selain jenis-jenis perjanjian yang telah disebutkan di atas, hukum perdata juga mengenal beberapa jenis perjanjian yang lainnya, yaitu : 1. Perjanjian Positif dan Negatif. Perjanjian positif dan negatif ini adalah pembagian perjanjian yang ditinjau dari segi “isi” prestasi yang harus dilaksanakan. Suatu perjanjian disebut positif apabila pelaksanaan prestasi yang dimaksud dalam isi perjanjian merupakan “tindakan positif”, baik berbuat sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau melakukan sesuatu. Dan yang disebut dengan perjanjian negatif adalah, apabila prestasi yang menjadi maksud perjanjian merupakan sesuatu tindakan ngatif hal ini terdapat pada persetujuan yang berupa “tidak melakukan sesuatu” (niet te doen). 24 2.
Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak saja, sedangkan dilain pihak hanya ada haknya saja.Contohnya perjanjian hibah, hadiah, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma.Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Contohnya
24
M.Yahya Harahap,Op.Cit., hlm.34.
Universitas Sumatera Utara
30
Perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya. Didalam KUH Perdata Buku III diatur berbagai persetujuan tertentu, seperti jual beli,sewa menyewa,tukar menukar barang, pemberian kuasa, perjanjian perburuhan, pemborongan kerja dan lain-lain. Lalu dari peraturan tersebut timbul pertanyaan, apakah perjanjian pengangkutan dapat dikategorikan kepada salah satu dari perjanjian tertentu yang ada dalam KUH Perdata. Menurut HMN. Purwosujtipto,SH. Bahwa perjanjian pengangkutan tidak termasuk kedalam salah satu perjanjian tertentu yang diatur dalam KUH Perdata. Demikian juga pendapat Prof. Wirjonoprodjodikoro,SH. 25 Persamaan antara perjanjian pengangkutan dan pemberian kuasa hanya terdapat dalam hal unsur menyuruh orang lain mengerjakan Sesutu bagi kepentingan pihak yang menyuruh. Tetapi perbedaannya sangat mendasar. Bahwa dalam pemberian kuasa, ada hubungan yang hakiki dan erat antara yang memberi kuasa dan yang diberi kuasa dalam suatu perbuatan tertentu sehingga dengan perbuatan tersebut timbul hubungan hukum antara si pemberi kuasa sendiri, dan penyuruhan orang lain pada hakekatnya hanya dilakukan dalam hal si pemberi kuasa berhalangan atau keberatan untuk melakukan perbuatan itu sendiri. Jadi dalam hal pemberian kuasa perlu dibuat suatu pasal-pasal yang jelas mengenai hubungan antara pihak pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa.Hal tersebut tidak diperlukan dalam perjanjian pengangkutan.
25
HMN.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Buku III Hukum Pengangkutan,Djambatan, Jakarta,1987, hlm 187.
Universitas Sumatera Utara
31
Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian pengangkutan tidak termasuk kepada perjanjian-perjanjian tertentu seperti yang diatur dalam KUH Perdata,akan tetapi merupakan jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUH Dagang. Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaan itu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: 26 Perjanjian
Perikatan
Perjanjian menimbulkan perikatan
Perikatan adalah isi perjanjian
Perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar
Perikatan merupakan pengertian yang abstrak ( hanya dalam pikiran)
Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya:Akibat hukum dikehendaki kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksakan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan 2 sehingga bukan pernyataan sepihak, dan merupkan perbuatan hukum.
Bersegi satu, hal ini berarti belum tentu menimbulkn akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut dimuka pengadilan (hutang karena judi) pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah 1 maka merupakan pernyataan sepihak dan merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum)
26
Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.43.
Universitas Sumatera Utara
32
C. Syarat-syarat Perjanjian Seperti kita ketahui bahwa hukum perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 bab. Dari 18 bab ini diklasifikasikan menjadi ketentuanketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan umum diatur mulai dari Bab I s/d Bab IV, sedangkan ketentuan khusus diatur mulai dari Bab V s/d Bab XVIII KUH Perdata. Berlakunya ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus dapat dibatasi sepanjang hal-hal yang sudah diatur secara khusus pula.Jika belum diatur secara khusus, maka berlaku ketentuan umum.Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 1319 KUH Perdata dan pasal 1 KUH Dagang. Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan : “Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.” 27 Yang dimaksud dengan “dalam bab ini dan bab yang lalu”dalam pasal ini adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian dan bab I tentang perikatan-perikatan pada umumnya.
27
R.Subekti, R.Tjitorosudibio,Op.Cit.,hlm.305.
Universitas Sumatera Utara
33
Pasal I KUH Dagang menyatakan : “Kitab Undang-undang hukum perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang ini, sekedar di dalam kitab undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”. 28 Karena KUH Dagang mengatur tentang perikatan, maka kitab undang-undang hukum perdata yang dimaksud dalam pasal ini mengenai Bab I tentang perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, Bab III tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 1352 dan 1353, pada bab IV tentang hapusnya perikatan. Mengenai penerapan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur hal yang sama tidak perlu diperlakukan lagi. Jika mengenai satu hal belum diatur secara khusus, maka ketentuan-ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diperlakukan. Misalnya dalam KUH Dagang sudah diatur secara khusus dan terperinci mengenai peraturan tertentu, tetapi syarat-syarat sah perjanjian tidak disebutkan maka berlaku pasal 1320 KUH Perdata. Berkenaan dengan perjanjian, pasal 1320 KUH Perdata menentukan syaratsyarat bagi sah nya suatu perjanjian yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ; 4. Suatu sebab yang tidak halal. 29 28
R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan ,Pradnya Paramita, Jakarta,1991, hlm .9.
Universitas Sumatera Utara
34
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengadakan suatu perjanjian penulis akan membahas syarat- syarat tersebut secara satu persatu. A. Sepakat (toestemming). Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan : 1. Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan penawaran. 2. Acceptasi (penerimaan) adalah pihak yang menerima penawaran. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi, ada beberapa macam teori/ajaran yaitu: 1. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. 2. Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh phak yang menerima tawaran. 3. Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun 29
R.Subekti, R.Tjitorosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pradnya Paramita, Jakarta,1979,hlm.305.
Universitas Sumatera Utara
35
penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung.) 4. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Kesepakatan penting karena itu merupakan awal terjadinya perjanjian, sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni disebut dengan cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak )Pasal 1321 KUHPerdata): 1. Kekhilafan (Pasal 1322 KUHPerdata) Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya.
2. Paksaan (Pasal 1323-1327) Paksaan bukan karena kehendak diri namun dipengaruhi oleh orang lain, yang dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian
Universitas Sumatera Utara
36
3. Penipuan (Pasal 1328 KUHPerdata) Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati. 30 B. Kecakapan Setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum.Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Perbedaan diantara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subjek hukum adalah hal pasif sedang pada kecakapan berbuat subjek hukummnya aktif. Siapa yang cakap berbuat? 1) Pasal 1330 KUHPerdata Orang dewasa (masing-masing aturan berbeda-beda). 2) Pasal 330 KUHPerdata Sehat akal pikiranya (tidak ditaruh dibawah pengampuan). 3) Pasal 47 UNdang-undang No.1 Tahun 1974. Tidak dilarang undang-undang.
30
Handri Raharjo,Hukum perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009.,hlm.47.
Universitas Sumatera Utara
37
Dulu perempuan termasuk kepada orang yang tidak cakap berbuat, tetapi hal ini sudah dicabut dengan SEMA No.3 Tahun 1963.Dengan demikan maka orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum). Siapa yang tidak cakap berbuat? 1) Mereka yang belum cukup umur Menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berusia 21 tahun dan belum menikah.Agar mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh wali/perwalian. 2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUHPerdata) : a. Keadaan dungu. b. Sakit ingatan/gila/mata gelap. c. Pemboros dan pemabuk. Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan yang diajukan oleh keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan (Pasal 434-435). 31
31
Ibid.,hlm.51.
Universitas Sumatera Utara
38
C. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut 1. Objek yang akan ada. 2. Objek yang dapat diperdagangkan 32. D. Suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjiannya.Halal adalah yang tidak bertentangan dengan undang-undnag, ketertiban umum, dan kesusilaan. 33 Dalam ilmu hukum dua syarat pertama dikenal dengan nama syarat subjektif oleh karena berhubungan dengan subjek perjanjian. Berdasarkan rumusan-rumusan pasal 1322, pasal 1327, pasal 1328, pasal 1331 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa jika syarat subjektif yang tidak dipenuhi, ternyata tidak mengkibatkan perjanjian batal demi hukum.Melainkan harus dimintakan pembatalannya. Seperti pada pasal 1320 yang menyebutkan bahwa “sepakat mereka yang mengikat dirinya”.Pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus mencapai kata sepakat.Perundingan adalah tindakan yang mendahului tercapainya persetujuan tersebut.Selagi pihak-pihak mengadakan perundingan, di situ belum dikatakan ada
32
Ibid.,hlm.56. Ibid.,hlm.57.
33
Universitas Sumatera Utara
39
persetujuan, setelah perundingan selesai, tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya, artinya telah tercapai kesepakatan tentang pokok perjanjian, maka ketika itulah terjadi persetujuan. Dan pada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi dalam pemenuhan syaratsyarat perjanjian adalah “kecakapan untuk membuat suatu kesepakatan”.Diawal pembahasan telah ditegaskan bahwa perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya hubungan hukum antara dua orang atau lebih.Dengan arti bahwa pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu.Masing-masing orang dalam perjanjian tersebut menduduki tempat yang berbeda satu orang menjadi pihak kreditur dan seorang lagi sebagai debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian.Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi tersebut.Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian.Hal seperti ini biasa terjadi pada “percampuran hutang” sebagaimana diatur dalam pasal 1436 BW. Maka dengan sesuai teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari : 1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan. a) Natururlijke persoon atau manusia tertentu. b) Rechts persoon atau badan hukum 34 34
M.Yahya Harahap,Op.Cit., hlm.15.
Universitas Sumatera Utara
40
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu. Misalnya,seorang menyewa rumah A. Penyewa bertindak atas keadaan dan kedudukannya sebagai penyewa rumah A, bukan atas nama inpersoon, tapi atas nama A sebagai pemilik sesuai dengan keadaanya sebagai penyewa. Untuk lebih jelas nya dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1576 BW. 35 3. Persoon yang dapat diganti Untuk persoon atau kreditur yang dapat diganti berarti kreditur menjadi subjek semula, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “atas nama”. 36 Tentang siapa-siapa yang dapat menjadi debitur, sama keadaanya dengan orang-orang yang dapat menjadi kreditur; yaitu : A. Individu sebagai persoon yang bersangkutan. a) Natuurlijke persoon b) Rechts persoon B. Seorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu.
35
Ibid.,hlm.16. Ibid.
36
Universitas Sumatera Utara
41
C. Seorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun izin dan persetujuan kreditur. 37 Sedangkan kedua syarat yang disebutkan terakhir, dikenal dengan istilah syarat objektif, karena berkaitan dengan objek dari perjanjian, yang tanpa keberadaannya, perjanjian itu tidak pernah ada. Selanjutnya terhadap pemenuhan syarat objektif, Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa sutu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi hubungan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Ini berartidalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan dijadikan objek dalam perjanjian, yang selanjutnya akan menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara para pihak yang
37
Ibid., hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
42
membuat perjanjian tersebut. Meskipun secara prinsip dikatakan bahwa kebendaan tersebut haruslah sudah ditentukan. 38 Syarat objektif kedua berhubungan dengan sebab yang halal, yang dalam ketentuan Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1. Bukan tanpa sebab; 2. Bukan sebab yang palsu; 3. Bukan sebab yang terlarang. Secara prinsip dapat kita katakana bahwa apa yang dinamakan dengan sebab yang halal tersebut bukanlah pengertian sebab yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari kita, yang menunjuk kepada sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu
peristiwa
hukum,
berubahnya
keadaan
hukum,
dilakukan
atau
dilaksanakannya suatu perbuatan hukumtertentu. Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang,kesusilaan dan ketertiban umum. 39 Untuk syarat “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”.Syarat ini berkaitan dengan objek perjanjiannya atau prestasi yang diperjanjikan.Dalam pasal 1320 KUH 38
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja,Perikatan Pada Umumnya,PT.Raja Grafindo Pusaka,Jakarta,2004.,.hlm.30. 39 Ibid.,hlm.32.
Universitas Sumatera Utara
43
Perdata menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu harus objek tertentu.Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu seperti yang dirumuskan dalam pasal 1333 BW. 40Jika objek perjanjian yang dimuat dalam perjanjian tidak menjelaskan suatu hal tertentu tersebut dengan jelas dan pasti.Maka dengan sendirinya perjanjian demikian “tidak sah” jika objeknya tidak tertentu, atau tidak diketahui dengan pasti. Syarat tentang hal objek perjanjian harus adalah sebab yang halal, objek yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan dan juga kesusilaan yang berlaku.Syarat perjanjian yang melanggar kesusilaan bertentangan dengan ketentuan pasal 1254 BW, pasal tersebut memuat kata kesusilaan. Kesusilaan yang dimaksud bukan hanya yang bertentangan dengan undang-undang saja, tapi segala sesuatu yang tidak “senonoh” atau “tidak layak” dalam pergaulan hidup bermasyrakat.Jika pada prakteknya, adanya suatu perjanjian dengan objek yang dengan jelas dan pasti melanggar kesusilaan.Maka perjanjian tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum. Yang dimaksud dengan kesusilaan yang dapat membatalkan perjanjian adalah: a. Kesusilaan
yang
dengan
tegas
dilarang
undang-undang.
Misalnya,
membunuh, menyuruh berzina atau memperkosa dan lain-lain. Hal-hal seperti ini jelas bertentangan dengan undang-undang.
40
M.Yahya Harahap,Op.Cit.,hlm.10.
Universitas Sumatera Utara
44
b. Bertentangan dengan “kepatutan” yang telah menjadi adat kebiasaan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, melarang orang untuk kawin dengan alasan dan tujuan untuk menguntungkan pihak lain. Contoh, A bersedia memberikan mobil mewah kepada B dengan syarat B tidak boleh kawin. Tentunya syarat seperti ini bertentangan dengan adat dan kepatutan. 41 Dengan demikian jelaslah bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang menjadi objek perjanjian, prestasi, atau kewajiban atau utang tidak pernah ada.Diantara para pihak yang menyatakan kehendaknya tersebut.Dan bahwa syaratsyarat dalam perjanjian yang telah dijelaskan diatas.harus dipenuhi, agar sebuah perjanjian dinyatakan sah dan berkekuatan hukum
41
Ibid., hlm.51.
Universitas Sumatera Utara