BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A. PERJANJIAN SECARA UMUM A.1 PENGERTIAN PERJANJIAN Sebelum kita membicarakan tentang pengertian perjanjian menurut ilmu hukum, ada baiknya lebih dahulu bila kita mengetahui dimana perjanjian itu diatur di dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari 1993 pasal dibagi atas IV Buku, yang susunannya adalah sebagai berikut : 1. Buku kesatu berjudul : “Tentang Orang/”Van Personen” 2. Buku kedua berjudul : “Tentang Benda/”Van Zaken” 3. Buku ketiga berjudul : “Tentang Perikatan”/’’Van Verbintenissen” 4. Buku keempat berjudul : “Tentang Pembuktian” dan “Daluarsa”/”Van Bewijsen Verjaring” Buku ketiga diatas berjudul ‘Tentang Perikatan”/”Van Verbintenissen”. Menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perikatan dapat terjadi karena : -
Undang-Undang
-
Perjanjian
Di atas telah kita mengetahui dimana diaturnya perjanjian itu dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk itu apakah yang dinamakan “perjanjian” itu?
12 Universitas Sumatera Utara
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Apabila kita secara seksama menganalisa perumusan pasal 1313 tersebut diatas ternyata rumusan tersebut kurang sempurna atau tidak lengkap. Sehingga pengertiannya disatu pihak bisa luas dan dilain pihak bisa sempit. Dikatakan bisa luas : Dari
perumusan
dari
pasal
1313
diatas
hanya
menyebutkan “perbuatan” saja. Tentu dalam benak pikiran
kita
akan
timbul
pertanyaan,
apakah
ini
maksudnya hanya perbuatan hukum saja atau meliputi semua perbuatan baik yang sudah dijanjikan terlebih dahulu maupun tidak (perbuatan yang menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan). Misalnya, A dengan mengenderai motor menabrak B yang menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan, ialah B akan menuntut ganti rugi kepada A berdasarkan perbuatan melanggar hukum di muka Pengadilan, pada hal tidak ada persetujuan antara A dan B terlebih dahulu. Dikatakan sempit
: Karena definisi pasal 1313 hanya mengenai persetujuan sepihak, sepihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi.
Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro S.H mendefinisikan : Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam
13 Universitas Sumatera Utara
mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 7 Prof. R. Surbekti S.H. mendepinisikan : Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 8 Dengan berpedoman kepada kedua depinisi sarjana di atas, maka dari itu perkataan “perbuatan” dalam pasal 1313, harus ditambah dengan perkataan “hukum”. Mengganti perkataan “satu” dengan perkataan “dua”. Kemudian menambahkan perkataan “saling” didepan perkataan “mengikatkan dirinya”, selanjutnya perkataan “terhadap satu orang lain atau lebih” dihilangkan dan diganti dengan perkataan”untuk melaksanakan sesuatu hal” ……….. Dengan demikian pasal 1313 akan berbunyi sebagai berikut ; Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari depinisi diatas jelaslah bagi kita bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat para pihak agar supaya mereka melaksanakan penyerahan sesuatu barang, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian perjanjian itu adalah merupakan tali pengikat bagi para pihak-pihak untuk mana mereka dituntut memenuhi apa yang telah mereka sepakati. Adanya suatu perjanjian adalah karena suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum mana menimbulkan perhubungan antara dua orang atau lebih, 7
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Cet Ke VII Penerbit “Sumur-Bandung” Hal 17, tahun 1981. 8 R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian Cet Ke V Hal I.
14 Universitas Sumatera Utara
perhubungan ini dinamakan “perikatan”. Jadi perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara orang-orang yang membuatnya. Dengan demikian maka hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah, bahwa perjanjian menerbitkan perikatan Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber-sumber lainnya. Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janjijanji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Jadi perjanjian itu suatu hal yang kongkrit atau “peristiwa” karena kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Lain halnya dengan perikatan adalah suatu pengertian abstrak, kita tidak dapat “melihat” dengan mata kepala kita suatu “perikatan”, kita hanya dapat membayangkan dalam alam pikiran kita. 9 Bagian-bagian Perjanjian Perjanjian terjadi dari tiga bagian, yaitu : a. ESSENTIALIA, misalnya ; harga dan barang adalah essentialia dari perjanjian jual beli b. NATURALIA, misalnya ; jaminan kenikmatan tenteram dan aman serta tidak adanya cacad-cacad tersembunyi dari penjual ke pada pembeli dalam perjanjian jual beli. c. AKSIDENTALIA ialah ; bagian-bagian yang ditambah kepada perjanjian oleh para pihak yang tidak diatur oleh undang-undang, misalnya ; dalam perjanjian
9
Prof. R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian, Edisi ke V. Penerbit – 1 Alumni Bandung, Hal 1-2 tahun 1978.
15 Universitas Sumatera Utara
jual beli rumah kedua belah pihak menetapkan bahwa tidak turut dijualbelikan wastafel yang melekat pada rumah. Jenis-Jenis Perjanjian a. Perjanjian dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban Perjanjian dengan cuma-cuma ialah perjanjian dimana satu pihak memberi keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima kontra prestasi. Pasal 1314 ayat 2. Misalnya, hibah. Perjanjian dengan beban ialah perjanjian yang mewajibkan pihak masing-masing untuk memberikan sesuatu atau tak berbuat sesuatu. Pasal 1314 ayat 3. b. Perjanjian Sepihak Dan Perjanjian Timbal Balik Perjanjian sepihak ialah perjanjian yang hanya memberi kewajiban kepada pihak yang satu dan hak kepada pihak yang lain. Misalnya, perjanjian. Perjanjian timbal balik ialah perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa. c. Perjanjian Formil Dan Perjanjian Riil Perjanjian formil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila diadakan dengan tertulis. Misalnya, perjanjian perdamaian, perjanjian penghibaan barang tak bergerak. Perjanjian riil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila barang yang menjadi objek perjanjian telah diserahkan. Misalnya, perjanjian penitipan barang. A.2. Sistim, Asas-Asas dan Syarat-Syarat Perjanjian Hukum Perjanjian menganut sistim terbuka dan azas konsensualitas.
16 Universitas Sumatera Utara
Sistim terbuka mengandung azas kebebasan membuat perjanjian, lain dengan sistim tertutup yang mengandung sifat memaksa dari peraturanperaturannya, sebagaimana halnya dengan Hukum Benda, yang macammacamnya hak atas benda itu adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa. Sistim terbuka dari Hukum Perjanjian, memberikan kebebasan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan yang dinamakan “Hukum pelengkap” (“optional law” Bah. Inggris) yang berarti pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuatnya, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian.
10
Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu
soal, maka diartikan bahwa mereka mengenai soal itu akan tunduk kepada undang-undang. 11 Memang biasanya orang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu dan biasanya hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja. Misalnya kalau kita mengadakan perjanjian jual beli, cukuplah apabila kita sudah setuju tentang harga dan barangnya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya penghantaran barang, tentang bagaimana kalau barnag musnah dalan perjalanan, soal-soal itu lazimnya tidak dipikirkan dan tidak diperjanjikan. 10 11
Op. Cit 13 Ibid
17 Universitas Sumatera Utara
Dan apabila timbul perselisihan maka menyerah saja kepada hukum dan undangundang. Sistim terbuka yang dianut Hukum Perjanjian kita simpulkan dari pasal 1338 ayat I yang berbunyi ; “Semua perjanjian yang diadakan secara sah, berlaku bagi mereka yang mengadakannya sama seperti undang-undang” Dari rumusan pasal diatas kita dapat mengetahui makna isi pasal itu adalah, merupakan suatu pernyataan kepada khalayak ramai bahwa kita diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat siapa yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Hal ini kita dapat melihat dari perkataan “semua” Disamping pengertian – pengertian diatas dari sistim terbuka, juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk. 12
Misalnya, perjanjian “sewa-beli” dalam undang-undang Hukum Perjanjian, kita
tidak akan menemukannya, tetapi dalam praktek kita sering menemukan dan mendengarkannya, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dengan sewa-menyewa.
12
Op Cit Hal 14
18 Universitas Sumatera Utara
Asas-asas dalam suatu perjanjian Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas yang berlaku, antara lain13: 1. Azas Kebebasan Berkontrak Azas kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Azas kebebasan berkontrak ini didasari oleh pasal 1338 KUH perdata, yakni suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Azas Konsensualisme Azas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 1338 14 KUH perdata. Dalam pasal 1320 KUH Perdata, desebutkan secara tegas bahwa adanya kesepakatan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian dan pada pasal 1338, disebutkan “semua perjanjian”. Kata-kata dalam pasal 1338 dan 1320 ini menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Azas ini sangat erat hubungannya dengan azas kebebasan mengadakan perjanjian. 3. Azas Kepercayaan Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itubahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di kemudian
13
Prof.Miriam Darus Badrulzaman.2001.Kompilasi Hukum Perikatan Citra Aditya Bakti,Bandung. Hlm 83 14 Pasal 1338 KUH perdata : semua perjanjian yang dibuat sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya
19 Universitas Sumatera Utara
hari. Tanpa kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh para pihak. 4. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral. Demikian sehingga asas-asas, moral, kebiasaan dan kepatutan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. 5. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kekayaan, jabatan, bangsa, dan lain-lain. Masing-masing para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. 6. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang diadakan. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
20 Universitas Sumatera Utara
7. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak. 8. Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugatkontraprestasi dari debitur. Asas ini juga terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata 15. Faktorfaktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan atau moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya. 9. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, asa ini patut dipertahankan Karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
Syarat-syarat perjanjian Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian,diatur pada
pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 syarat yakni : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 15
Pasal 1339 KUH Perdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan., kebiasaan atau oleh undang-undang
21 Universitas Sumatera Utara
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Syarat-syarat diatas dapat dikelompokknan menjadi dua bagian yaitu kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat obektif, karena mengenai objek dari perjanjian. 1. Syarat Subjektif a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dengan diberlakukan keta sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak tidak mendapat suatu unsure paksaan atau tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengartian sepakat di lukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui para pihak. Sedangkan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacatpada kesepakatan tersebut. Yaitu kehilafan, pakasaan dan penipuan. b. cakap untuk membuat suatu perikatan pasal 1329 : Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.
22 Universitas Sumatera Utara
subjek hukum yang tidak cakap hukum pasal 1330 : b.1 Orang-orang yang belum dewasa Orang yg telah dianggap dewasa oleh hukum, atau berumur 18 tahun berdasarkan hukum perkawinan (ini yg berlaku dalam hukum perdata) atau dalam KUHPerdata berumur 21 tahun. b.2 Dibawah pengampuan b.3 Orang-orang perempuan, dalam hal ini ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Mengenai sub 3 pasal 1330 KUH Perdata ini tidak berlaku lagi sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 mengatakan kedudukan wanita yang telah memiliki suami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya.
2. Syarat Objektif a.
Syarat tentang barang suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti aka nada secara ringkas, ketentuan mengenai barang yang menjadi objek perjanjian adalah sebagai berikut : 1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan
23 Universitas Sumatera Utara
2) Barang- barang yang di pergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti pelabuhan, gedung-gedung umum, jalan raya dan sebagainya tidaklah dapat di jadikan objek perjanjian 3) Dapat di tentukan jenisnya. (pasal 133316 KUH Perdata) 4) Barang yang akan datang atau barang yang aka nada. (pasal 1334 17 KUH Perdata)
b.
Syarat tentang suatu sebab yang halal berdasarkan pasal 1335 samapai dengan pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat tanpa sebab, dengan sebab palsu atau larangan serta bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan adalah tidak sah, dan tidak memiliki kekuatan hukum.
A.3 SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN a. Subjek Perjanjian Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang teikat dengan diadakannya suatu perjanjian. KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu :
16
Pasal 1333 KUH Perdata : dinyatakan secara tegas “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” 17 Pasal 1334 KUH Perdata : jelas dinyatakan “Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu………………”
24 Universitas Sumatera Utara
1. Para pihak yang mengadaka perjanjian itu sendiri 2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya. 3. Pihak ketiga
b. Objek Perjanjian Objek perjanjian yang merupakan tujuan dari perjanjian yaitu adanya hak dan kewajiban dari setiap pihak-pihak biasanya disebut prestasi, yang berupa: 1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu Agar objek perjanjian itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat antara lain 18: 1. Lahir dari perjanjian maupun undang-undang 2. Prestasinya harus tertentu dan dapat ditentukan 3. Dapat dilaksanakan 4. Diperbolehkan, dalam arti tidak bertentangan denga undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. A.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suau bentuk tertentu, perjanjian dapat dibuat secara lisan dan atau lisan, apabila dibuat secara tulisan, apabila dibuat secara tulisan maka bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan dan juga menjadi syarat untuk adanya perjanjian itu, kerena beberapa perjanjian tertentu, undang-undang
mnentukan suatu bentuk tertentu dimana
apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian tidak sah, misalnya perjanjian 18
Wan Sadjaruddin Baros.1992. Beberapa Sendi Hukum Perikatan USU Press, medan.
25 Universitas Sumatera Utara
mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris (pasal 38 Kitab Undang0Undang Hukum Dagang) Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut 1. Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok ke dua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli 2. Perjanjian Cuma-Cuma Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak 3. Perjanajian atas beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadapprestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum 4. Perjanjian bernama/perjanjian khusus Perjanjian khusus adalah perjanjiann yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentukl undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari 5. Perjanjian tidak bernama Di luar perjanjian bernama, ada juga perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Namun tetap tunduk peda peraturan umum yang
26 Universitas Sumatera Utara
terdapat dalam KUHPerdata sesuai dengan pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan : “semua perjanjian baik yang memiliki nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan nama tertentu, tunduk pada peraturanperaturan umum yang termuat dalam bab lainnya.” Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihakpihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolahan. Dasar hukum dari adanya perjanjian. 6. Perjanjian obligator Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda tersebut dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsesual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan). 7. Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan dengan mana seseorang menyerahkan hak atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (lavering transfer). Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara. Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligator dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.
27 Universitas Sumatera Utara
8. Perjanjian konsensual Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata perjanjian ini seudah mempunyai kekuatan mengikat (pasal 1338 KUHPerdata) 9. Perjanjian riil Didalam KUHPerdata ada perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), pinjam meminjam (pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. 10. Perjanjian liberatoir Perjanjian diman apara pihak membebaskan diri kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang pasal 1438 KUHPerdata19 11. Perjanjian pembuktian Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka. 12. Perjanjian utung-untungan Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanian asuransi pasal 1774 KUHPerdata 13. Perjanjian public Perjanjian public yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah 19
Pasal 1438 KUHPerdata : pembebasab sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan
28 Universitas Sumatera Utara
pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian iaktan dinas. 14. Perjanjian campuran Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewamenyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) juga pelayanan.
B. Perjanjian Jual Beli B.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale. Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457 samapi dengan pasal 1540 KUHPerdata jual beli (menurut BW) adalah suatu perjanjian timabal balik dalam mana piahk yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (sipembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Terjadinya perjanjian jual beli dan peralihan hak. Unsur-unsur pakok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Dimana pertama-tama antara penjuan dan pembeli harus ada akata sepakat tentang harga dann benda yang menjadi objek jual beli. Sesuai dengan asas “ konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian BW, perjanjian jual beli itu
29 Universitas Sumatera Utara
sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak telah setuju dengan barang dan harg, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifatnya konsensual dari
perjanjian jual beli
tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahakn maupun harganya belum dibayar.” 20 Namun perlu diperhatikan, bahwa dengan persetujuan ini, sipembeli belumlah menjadi pemilik (eigenaar), kerena persetujuan ini hanya bersifat obligator. Untuk menjadi pemilik, harus diadakan penyerahan (lavering) lebih dulu. Penyerahan inilah yang mengakibatkan terjandinya pemindahan kebendaan. Penyerahan ini bergantung pada jenis bendanya, apakah bergerak, tidak bergerak maupun benda tidak bertubuh. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 1459 KUHPerdata, yakni “hak milik atas barang yang di jual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612 21, 61322, dan 616 23” Bagi sipembeli untuk mendapatkan kepastian bahwa ia benar-benar akan menjadi pemilik benda yang bersangkutan maka dapat di berikan semacam uang panjar. Karena dalam pasal 1464 KUHPerdata menegaskan, bahwa dengan panjar 20
Prof.R>Subekti 1995.Aneka Perjanjian .Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2 Pasal 612 KUHPerdata : penyerahan kebendaan bergerak, terkecualai yang tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu atau atas naman pemilikk, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada. 22 Pasal 613 KUHPerdata : penyerahan atas nama piutang-piutang dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hakl-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. 23 Pasal 616 KUHPerdata :penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 620 21
30 Universitas Sumatera Utara
ini, kedua belah pihak tidak dapat membatalkan persetujuan jual beli, baik dengan memberikan uang itu di tangan penjual maupun dengan pengembalian uang itu ketanggan pembeli. Biasanya uang yang diberikan itu diperhitungkan dengan harga pembelian sebelumnya, sehinggan lebih merupakan suatu pemberian perschoot pembayaran. Artinya dari pada penyerahan ini ditegaskan dalam pasam 1475 KUHPredata. 24 Penyerahan adalah pemindahan benda yang dijual kedalam kekuasaan pembeli. Penyerahan ini harus memperhatikan jenis bendanya, apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak, karena apabila benda bergerak, penyerahan nyata dan penyerahan juridis adalah satu tindakan, sedangkan untuk benda bergerak, maka perlu diperhatikan pasal 612,613,616 KUHPerdata. Juga disini berlaku ketentuan bahwa jual beli milik orang lain tidak sah. 25 Macam-macam jual beli antara lain: 1. Jual beli dengan percobaan ; diatur dalam pasal 1463 KUHPerdata. Jual beli percobaan berarti pembeli baru akan membeli kepastian jadi tidaknya jual beli, setelah pembeli melakukan percobaan atau mencoba barang yang hendak dibeli 26 dalam jual beli dengan percobaan, dibuat dengan syrat tangguh, dimana jadi atau tidaknya transaksi jual beli berdasarkan hasil percobaan itu 2. Jual beli dengan system panjar; diatur dalam pasal 1464 KUHPerdata. Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang dilakukan antara penjual dengan pembeli. Dimana jual beli itu pihak pembelian menyerahkan uang perschoot/panjar atas harga barang, sesuai dengan kesepakatan antara 24
Achmad Ichsan.1969.Hukum Perdata IB.jakarta; Pembimbing Masa,Jakarta.hlm 102 Ibid 26 M.Yahya Harahap.op.cit.hlm.183 25
31 Universitas Sumatera Utara
kedua belah pihak. Dalam sistem jual beli ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya. 3. Jual beli dengan contoh; dalam hal ini barang yang menjadi objek jual beli sebelum dilakukan perjanjian jual beli. Diberikan contohnya terlebih dahulu. Apabila pembeli telah melihat contoh dan sesuai dengan keinginan pembeli, maka perjanjian jual beli pun dapat dilakukan, apabila pembeli merasa sesuai dengan contoh barang yang dimaksud/ kalau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh maka dapat dituntut pembatalan perjanjjian. 4. Jual beli dengan hak membeli kembali; dalam jual beli ini puhak penjual dapat memperjanjikan pada pihak pembeli bahwa barang yang sudah sijualnya dapat dibelinya kembali dari pembeli itu. Waktu yang diperjanjian untuk membeli kembali barang yang sudah dijual itu tidak boleh lebih dari 5 tahun (pasal 1519 KUHperdata). Apabila setelah lampau waktu yang diperjanjikan, penjual tidak membeli kembali, maka perjanjian untuk memeli kembali itu gugur. Dalam jual beli dengan hak membeli kembali, apabial objeknya barang bergerak, maka hak untuk membeli kembali itu hanya ada pada penjualanpertama, sedangkan untuk barang tidak bergerak, hak membeli kembali itu tetap ada walaupun barang itu berada pada pihak lain. 5. Jual beli dengan cicilan/ angsuran; jual beli cicilan secara umum di atur dalam pasal 1576 samapai denga pasal 1576x KUHPerdata balanda, tetapi tidak dimuat dalam KUHPerdata Indonesia. Dalam jual beli dengan cicilan, hak milik atas barang telah berpindah kepada pembeli ketika barang diserahkan
32 Universitas Sumatera Utara
walaupun barang belum lunas dibayar, dimana pelunasan barang dilakukan dengan cara mencicil. Begitu pembeli menerima barang, seketika itu juga ia berhak menjual barang itu, walaupun harga belum lunas. Jual beli dengan cicilan ini biasanya mengunakan uang panjar, yang ditentukan oleh penjual. Sisanya dibayar dengan waktu yang telah ditentukan kedua belah pihak. 27 6. Sewa beli disebut juga dengan huurkoop.dalam hal ini pembayaran dilakukan dengan cara berangsuran, namaun demikian sudah ada penyerahan hanya dalam persetujuan ditegaskan bahwa dengan penyerahan ini hak milik belum berpindah. Hak milik baru berpindah setelah harga di bayar lunas. Karena itu sewa beli merupakan suatu pembelian dengan cara Subjek dan objek jual beli Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek hukum dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual atau pembeli dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atautelah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut ini 28: a. Jual beli suami istri Pertimbangan hukum tidak diperkenankan jual beli antara suami istri adalah karena mereka sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin, namun ketentuan ini ada pengecualiaannya, yakni:
27
Wan Sadjaruddin Baros.loc.cit Salim SH.MS, 2003.HUkum Kontrak (TEori dan TeknikPenyusunan Kontrak)Sinar Grafika.Jakarta.hlm 50
28
33 Universitas Sumatera Utara
1. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-bendakepada istri atau kepada suaminya yang oleh pengadilan dipisahkan apa yang menjadi hak suami dan apa yang menjadi hak istri menurut hukum. 2. Jika penyerahan dilakukan seorang suami atau istrinya, juga dari pengembalian benda-bendasi istri yang telah di jual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan. 3. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang telah ia janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Juru sita dan Notaris, Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal ini tetap dilakukan, maka jual beli ini dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga. c. Pegawai yang memangku jabatan umum yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang di lelang.
Objek Jual Beli Yang dapat menjadi objek jual beli dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya, sedangkan yang tidak diperkenankan untuk di perjual belikan adalah 29:
29
ibid.hlm 51
34 Universitas Sumatera Utara
a. Benda atau barang orang lain b. Barang yang tidak dperkenankan oleh undan-undang. Seperti;obat terlarang c. Bertentangan dengan ketertiban, dan d. Kesusilaan yang baik
B.3. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Kewajiban Penjual Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu : a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan Kewajiban yang menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengelihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari pihak penjual kepada pembeli. Oleh karena itu KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut : a. Penyerahan benda bergerak Penyerahan benda bergerak cukup dengan penyerahan atas barang tersebut, sesuai dengan pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut : “penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyta akan kebendaan itu oleh atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci dari bangunan dalam mana kebendaan ituberada”
35 Universitas Sumatera Utara
b. Penyerahan kebendaan tidak bergerak Bagi kebendaan tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam pasal 50630 dan pasal 508 KUHPerdata, kecuali mengenai hak ats tanah yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang pokok agrarian, penyerahan hak miliknya dilakukan dengan membuat suatu akta otentik yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut dan selanjutnya mengumumkan dan mendaftarkan sesuai dengan pasal 620 KUHperdata 31 terhadap kebendaan berupa tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, yang di jual bersama-sama dengan tanah tersebut, berlakulah ketentuan yang diatur dalalm UUPA, dimana jual beli dilakukan secara terang (dihadapan pejabat pembuat akta tanah), dan tunai, (tanpa diperlukan dua peristiwa hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 584 KUHPerdata) 32 Dengan demikian jelaslah jika dalam KUHPerdata penyerahan benda tidak bergerak harus dilakukan dengan cara balik nama penyerahan yuridis, namun dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintahan No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mengantikan PP No. 10 Tahun 1961, maka
30
Pasal 506 KUHPerdata : kebendaan tidak bergerak adalah : 1. Perkarangan dan yang di atasnya 2. Penggilingan, kecuali yang termaksud pasal 510 KUHPerdata 3. Pohon-pohon dan tanaman lading 4. Kayu tebangan selama belum di potong 5. Pipa-pipa dan got-got yang diperuntukkan untuk menyalurkan air ke rumah 31 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi.2003.Seri Hukum Perikatan, JUAL BELI. Hlm 143 32 Ibid.hlm 149
36 Universitas Sumatera Utara
segala hal yang berhubungan dengan jual beli, penyerahan dan pengakutan hak atas tanah serta pendaftarannya diatur didalam dan diselengarakan menurut PP No 24 tahun 1997, sedangkan untuk kapal laut peraturan mengenai hak milik masih diatur dalam Stb.1938-48 c. Penyerahan benda tidak bertubuh Sesuai dengan pasal 613 KUHPerdata penyerahan akan piutang atas nama dan benda tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta autentik atauakta dibawah tangan dengan nama hakhak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain Kewajiban pihak pembeli ialah: a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat b. Memikul biaya yang timbl dalam jual beli, misalnya ongkos antar baiya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya b.4 resiko dalam perjanjian jual beli Dalam perundang-undangan masalah resiko dalam perjanjian jual beli diatur sebagai berikut : a. Benda atau barang yang sudah ditentukan Barang yang sudah ditentukan dijual, maka resiko barang itu saatpembelian menjadi tanggungan si pembeli walaupunbarang itu belum diserahkan (pasal 1460 KUHPerdata). Namun, ketentuan ini telah dicabut
37 Universitas Sumatera Utara
dengan SEMA No 3 tahun 1963 33, sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan: (1). Bergantung pada letak dan tempat bendanya itu, dan (2). Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut 34. b. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran tetap menjadi tanggungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihitung, atau diukur. Jadi sejakterjadinya penimbangan, penghitungan dan pengukuran atas barang maka tanggungjawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli (pasal 1461 KUHPerdata) c. Barang yang di jual secara tumpukan Jika barang yang di jual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barangbarang itu menjadi tanggung jawab si pembeli, walaupun belum ditimbang, dihitung atau di ukur (pasal 1462 KUHPerdata) Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligator saja, yang berarti bahwa setelah kontrak tersebut dilakukan masih diperlukan tindakan hukum lainnya, yakni penyerahan (lavering) yang dapat dilakukan setelah kontrak jual beli dilakukan, mestinya resiko baru beralih pada saat seharusnya penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan.
33
Mahkamah Agung hendak menghindari kesalahan dalam penafsiran atau penerapan pasal 1460 KUHPerdata yang isinya antara lain menganjurkan kepada hakim di pengadilan-pengadilan untyk mengaggap pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi. 34 Salim SG.MS.loc.cit hlm 50
38 Universitas Sumatera Utara
Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam pasal 1460 KUHPerdata diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahum 1963 35 yang memintakan para ahakim tidak memberlakukan pasal 1460 tersebut 36 Dalam praktiknya, ketentuan umum tentang risiko tidak banyak berperan, karena seperti yang banyak telihat pada prakteknya, masalah risiko telah banyak diatur dalam perjanjian khusus, padahal prinsipnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. Di luar itu, para pihak dalam perjanjian juga bebas untuk mengatur sendiri masalah resiko, menyimpang dari ketentuan undangundang yang bersifat menambah. Orang boleh memperjanjikan, bahwa kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelalaiannya, dan juga kelalaian karyawannya, tidak ditanggung olehnya, tetapi orang tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab kerugian yang muncul dari kesengajaan, janji-janji dimana kreditur membebaskan diri dari kewajiban menanggung risiko sebagai yang ditentukan dalam hukum yang bersifat menambah, dinamakan klausula exonoratie. Klausula exonoratie banyak terdapat pada perjanjian standar yang isinya dibuat oleh salah satu pihak dan pihak lain ada pilihan untuk menerima atau menolak, klausula exonoratie ini juga mengambil bentuk tanpa mengubah prinsip tanggung jawabnya, hanya karena menetapkan maksimum ganti rugi yang akan dipikul apabila terjadi kerugian37.
35
(“dengan tidak berlakunya lagi pasal ini (pasal 1460), maka harus ditinjau tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggung jawaban atau risiko atas musnahnya barang yang telah diperjanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau iya, ditentukan sampai mana” 36 J Satrio SH. 1993. Hukum Perikatan (Perikatan pada umumnya). Alumni;Bandung. 37 Ibid.hlm.248
39 Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pasal 1481 KUHPerdata menentukan bahwa kebendaan yang dijual harus di serahkan, dalam keadaan seperti pada waktu penjualan dilakukan ketentuan tersebut memberikan arti bahwa keadaan kebendaan pada saat penyerahan dilakukan haruslah sesuai dengan saat kebendaan tersebut dijual. Dengan keadaan yang demikian, berarti dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kewajiban penjual untuk memelihara dan merawat kebendaan hingga saat penyerahan. Ini berarti meskipun jual beli telah berlaku secara sahpada saat penjual dan pembeli mencapai kata sepakat mengenai kebendaan yang di jual dan harga pembelian kebendaan, selama kebendaan belum diserahkan, maka segala hasil dan pendapatan yang diperoleh dari kebendaan tersebut masihlah menjadi milik dari penjualdengan demikian tepatlah rumusan pasal 1481 ayat 2 yang menyatakan “sejak waktu itu (waktu penyerahan) segala hal menjadi kepunyaan pembeli” 38 Berdasarkan pasal 1482 KUHPerdata yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan umum yang diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Dengan demikian maka jelaslah bahwa jual beli mengenai suatu objekkebendaan tertentu adalah jual beli yang berhubungan dengan manfaat yang akan ditarik dari kebendaan yang dibeli tersebut. Ini berarti secara objektif, jual beli meliputi segala hal yang melekat pada kebendaan tersebut agar kebendaan
38
Gunawan Widjaja.Op,cit.hlm. 150
40 Universitas Sumatera Utara
tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya (sesuai peruntukan kebendaan tersebut dan agar pembeli dapat menikmati) penggunaan dan pemanfaatannya secara aman dan tentram dari genggaman pihak manapun juga.
B.5 Pembatalan Perjanjian Jual Beli Perjanjian jual beli adalah sebuah persetujuan dan oleh karena itu supaya jual beli itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum oleh undangundang untuk sahnya suatu perjanjian. Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka persetujuan jual beli itu dapat batal demi hukum atau batal karena pembatalan atas permohonan salah satu pihak. Batal demi hukum Pembatalan ini mengakibatkan bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah dilakukan Undang-Undang mencantumkan bahwa suatu perbuatan hukum adalah batal demi hukum, apabila perbuatan itu dilakukan dengan cara melanggar ketentuan dalam undang-undang mengenai cara itu sendiri, juga termaksuk apabila mengancam ketertiban umum atau kesusilaan. Batal karena pembatalan Pembatalan ini memiliki akibat hukum setelah orang yang bersangkutan meminta kepada pengadilan supaya persetujuan itu dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa suatu perbuatan hukum dapat dibatalkan, apabila bertujuan untuk melindungi pihak yang dirugikan, seperti dalam hal terjadinya paksaan, penipuan, kekhilafan, dan orang tidak cakap. Pembatalan dalam perjanjian jual beli, umumnya terjadi apabila tidak terpenuhinya kewajiban salah satu pihak.
41 Universitas Sumatera Utara