BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Pemberian Kuasa Secara umum, kuasa diatur dalam bab ke-16, Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan secara khusus diatur dalam hukum acara perdata. Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan bahwa “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” 55 Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau dapat dilakukan secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa (lastgeving)
yang terdapat
dalam Pasal 1792
KUHPerdata tersebut mengandung unsur: a. persetujuan; b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan c. atas nama pemberi kuasa. Unsur persetujuan harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu hal tertentu; dan
55
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 457.
40
41 d. suatu sebab yang halal. Sedangkan unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan harus sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas. Kemudian mengenai unsur atas nama pemberi kuasa, ini berarti bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Dalam hal ini, bentuk-bentuk kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan (Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata), dan sejumlah ketentuan Undang-Undang mewajibkan surat kuasa terikat pada bentuk tertentu, antara lain Pasal 1171 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik.56 Dalam perkembangan hukum di Belanda melalui Nieuw Burgerlijke Wetbook, sebuah kitab revisi Burgerlijke Wetbook, telah diatur pengertian tentang kuasa (volmacht) dan pemberian kuasa (lastgeving). Pada prinsipnya, volmacht berbeda dengan lastgeving. Volmacht merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu. Tindakan hukum sepihak adalah tindakan hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatan satu pihak saja, misalnya pengakuan anak dan pembuatan wasiat (Hoge Raad 24 Juni 1938 NJ 56
Ibid, hal.438-439.
42 19939, 337). Adapun lastgeving merupakan suatu persetujuan sepihak, di mana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak. Pasal 1792 KUHPerdata merupakan lastgeving dan pada dasarnya pemberian kuasa ini bersifat cuma-cuma, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1794 KUHPerdata. Dengan demikian, lastgeving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa, sedangkan volmacht merupakan kewenangan mewakili. Suatu lastgeving tidak selalu memberikan wewenang untuk mewakili pemberi kuasa sebab dalam lastgeving dimungkinkan adanya wewenang mewakili (volmacht), akan tetapi tidak selalu volmacht merupakan bagian dari lastgeving. Apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan persetujuan pemberian kuasa, maka akan terjadi perwakilan yang bersumber dari persetujuan. 57
2.2 Perjanjian Nominee Secara harfiah, nominee, mempunyai dua arti yang berbeda. Pertama, nominee merujuk pada suatu usulan, atau nominasi kandidat atau calon untuk menduduki suatu jabatan tertentu, untuk memperoleh suatu penghargaan tertentu, atau untuk jenis-jenis pencalonan lainnya. Kedua, nominee memberikan pengertian sebagai seseorang yang mewakili kepentingan pihak lain. Dalam pengertian yang kedua ini, seorang nominee dibedakan dari seorang pemberi kuasa dalam keadaan; dimana nominee menjadi pemilik dari suatu benda
57
http://jdih.bpk.go.id/informasihukum/SuratKuasa.pdf, tanggal 10 November 2015.
diakses pada
43 (termasuk kepentingan atau hak yang lahir dari suatu perikatan) yang berada dalam pengurusannya; sedangkan penerima kuasa tidak pernah menjadi pemilik dari benda (termasuk kepentingan) yang diurus oleh nominee ini. Pihak yang menunjuk nominee seringkali dikenal sebagai pihak beneficiary Nominee mewakili kepentingan-kepentingan dari beneficiary dan karenanya nominee dalam melakukan tindakan-tindakan khusus harus sesuai dengan yang diperjanjikan dan tentunya harus sesuai dengan perintah yang diberikan oleh pihak beneficiary.58 Perjanjian
nominee
sebagai
instrumen hukum penguasaan tanah
merupakan perjanjian yang dibuat antara orang asing dengan WNI. Perjanjian tersebut dibuat dengan maksud agar orang asing yang bukan merupakan sebagai subyek pemegang hak milik justru dapat memiliki dan menguasai tanah hak milik yaitu dengan tanah hak milik tersebut diatasnamakan atau dipinjam nama WNI sehingga memenuhi kriteria hukumnya yaitu WNI sebagai subyek pemegang hak milik atas tanah akan tetapi secara fisiknya tanah hak milik dipergunakan dan dikuasai sepenuhnya oleh orang asing. WNI sebagai nominee bertindak untuk nama pihak lain yaitu orang asing sebagai wakil dalam arti sempit yang terbatas. Terkadang istilah tersebut digunakan untuk menandakan sebagai agen atau wali. Dalam praktek penguasaan tanah yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI
58
Gunawan Widjaja, 2008, “Nominee Shareholders Dalam Perspektif UUPT Baru dan UU Penanaman Modal Baru Serta Permasalahannya Dalam Praktik” Jurnal Hukum dan Pasar Modal, Vol. III, No. 4, hal. 43.
44 menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya. 59 Istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua pihak, orang asing meminjam nama WNI untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian WNI berdasarkan Akta Pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah orang asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada orang asing tersebut. Suatu perjanjian nominee dibuat sebagai penyelundupan hukum bagi orang asing untuk menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. Dalam hal ini orang asing sesungguhnya membeli sebidang tanah hak milik dengan menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang pada kenyataannya dibeli/dibayar oleh orang asing tersebut namun dalam akta jual beli yang dilaksanakan di hadapan PPAT yang berwenang WNI adalah sebagai pihak pembeli dalam akta jual beli tersebut sehingga obyek tanah hak milik ini kemudian didaftarkan menjadi atau ke atas nama WNI tersebut. Dengan didaftarkannya menjadi dan atas nama WNI pada sertipikat hak milik atas tanah yang sebenarnya dibeli atau dibayar oleh orang asing tersebut maka untuk memperoleh perlindungan hukumnya, diantara orang asing dengan WNI dibuatkan perikatan dalam satu atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya menyebutkan bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik atas tanah (sertipikat), sedangkan 59
Maria SW. Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 17.
45 pemilik sesungguhnya adalah orang asing tersebut. Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki tanah yang dilarang Undang-Undang Pokok Agraria adalah dengan jalan meminjam nama (Nominee)60 warga negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Akan tetapi jika dicermati lebih lanjut mengenai pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan bahwa “suatu sebab yang terlarang” maka dilihat dari pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”. Oleh karena itu, perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan sendirinya batal demi hukum dan sesuai ketentuan pasal 26 UUPA tersebut maka tanahnya jatuh ketangan negara. Sehubungan dengan penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing, maka bentuk perjanjian yang dibuat oleh Notaris/PPAT bagi warga negara asing dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai berikut:
60
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary with Guide to Pronunciation, Weat Publishing, hal. 1072.
46 a. Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang warga negara Indonesia. Melalui akta jual beli tersebut seolah-olah terjadinya kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama warga negara Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertifikat, sedangkan sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut berasal dari warga negara asing. b. Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang seolah-olah seseorang warga negara Indonesia yang namanya dipinjam itu mempunyai hutang kepada warga negara asing karena sumber dana atau uangnya berasal dari warga negara asing. c. Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini maka seorang warga negara asing akan bisa memanfaatkan tanah yang telah dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang dan diteruskan oleh ahli warisnya. d. Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang yang dibuat sebelumnya oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing, maka harus diikat dengan akta pemberian hak tanggungan, karena tanah yang atas nama warga negara indonesia sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut. e. Pernyataan. Melalui pernyataan warga negara Indonesia memberikan pernyataanpernyataannya untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga
47 negara asing dan akan melakukan perbuatan hukum apabila adanya perintah dan petunjuk dari seorang warga negara asing. f. Kuasa. Dengan adanya kuasa maka tanah yang dikuasai dengan meminjam nama warga negara Indonesia nantinya dapat dialihkan atas permintaan warga negara asing. Dan dengan adanya kuasa mengelola maka warga negara asing dapat memanfaatkan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainya.
2.3.
Faktor-Faktor Warga Negara Asing Menggunakan Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Atas Tanah Perolehan penguasaan tanah oleh warga negara asing saat ini sangat
bervariasi. Ada perolehan penguasaan tanah yang sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun ada pula praktek penguasaan tanah yang pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk penyelundupan hukum. Adapun bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat diidentifikasi sebagai berikut : a. Penguasaan tanah dengan Hak Pakai (Pasal 42 UUPA) b. Penguasaan tanah dengan Hak Sewa untuk bangunan (Pasal 45 UUPA) c. Kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga negara asing diatas tanah Hak Pakai (PP No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia)
48 Cara penguasaan tanah yang mengindikasikan adanya penyelundupan hukum, adalah sebagai berikut: a. Penguasaan tanah dengan cara menggunakan kedok pinjam nama nominee”, praktek yang sering dilakukan berkaitan dengan model penguasaan tanah dengan menggunakan kedok ini, misalnya melakukan jual beli atas nama seorang warga negara Indonesia dengan sumber uangnya dari seorang warga negara asing, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Namun, disamping itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia tersebut dengan cara pemberian kuasa (yang menjadi kuasa mutlak), yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan memberi wewenang kepada penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum mestinya hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (warga negara Indonesia). b. Penguasaan tanah yang juga merupakan bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing secara terselubung adalah penguasaan tanah oleh pasangan kawin campur antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia, yang tidak mempunyai perjanjian kawin khususnya mengenai pemisahan harta, dimana mereka membeli sebidang tanah hak milik, yang pada umumnya sumber dananya adalah dari warga negara asing akan tetapi mereka tidak memunculkan identitas perkawinannya, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan, tetapi secara substansial
49 terjadi
penguasaan
tanah
(hak
milik)
oleh
pasangan
dengan
kewarganegaraan ganda yang tentunya sudah tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. c. Penguasaan tanah dengan modus pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing, pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing berpotensi menjadi pemindahan hak atas tanah (hak milik) secara terselubung. Pada praktek, warga negara asing lebih memilih menggunakan instrumen perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nominee. Mengenai arti dari istilah nominee dalam praktek penguasaan tanah, menurut Maria SW. Sumardjono, yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang telah dibahas sebelumnya, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya. 61 Dalam praktek istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia
berdasarkan Akta Pernyataan yang dibuatnya
mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah warga negara asing selaku pihak
61
Maria SW. Sumardjono, Op.cit, hal. 17.
50 yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut. Dengan menggunakan perjanjian nominee, maka warga negara asing dapat menguasai tanah layaknya Hak Milik. Faktor-faktor yang menyebabkan warga negara asing menggunakan perjanjian nominee untuk menguasai hak milik atas tanah adalah sebagai berikut :
2.3.1. Keterbatasan Jangka Waktu Terhadap Hak Pakai Pasal 42 UUPA menyebutkan bahwa warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai Hak Pakai. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 disebutkan kualifikasi warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia adalah yang ”kehadirannya memberi manfaat bagi pembangunan nasional.” Karena
pengertian
tersebut
dianggap
tidak
jelas,
maka
dalam
PMNA/KBPN No.7/1996 diberikan penegasan yakni orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional adalah orang yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki rumah tinggal atau hunian di Indonesia. 62 Pasal 41 UUPA tidak menentukan jangka waktu Hak Pakai tetapi dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, jangka waktu hak pakai dibedakan sesuai dengan asal tanahnya yaitu : a. Hak Pakai Atas Tanah Negara 62
Maria SW. Sumardjono, Op.cit, hal. 54.
51 Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui dalam jangka waktu 25 tahun. b. Hak Pakai Atas Tanah Pengelolaan Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 Tahun dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperhaharui dalam jangka waktu 25 tahun. c. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik dengan pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat PPAT dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. 63 Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 menyatakan, baik Hak Pakai diatas Tanah Hak Pakai, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik jangka waktu ditetapkan tidak melebihi dari 25 tahun. Jangka waktu Hak Pakai bagi badan hukum asing menurut Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa : ”Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun.” 63
Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, hal.121.
52 Adanya keterbatasan jangka waktu dari Hak Pakai, sehingga Warga negara asing menganggap Hak Pakai kurang kuat dan warga negara asing ingin cepat menguasai tanah dan memanfaatkan tanah serta ingin mendapat jaminan keamanan maka ia meminjam nama (nominee) warga negara Indonesia sebagai pemegang hak atas tanah hak milik dan membuat pengakuan utang disertai pemberian jaminan tersebut bertujuan untuk mencegah warga negara Indonesia yang secara formal adalah pemilik, untuk mengalihkan/menjaminkan tanah tersebut kepada pihak lain yang akan dapat merugikan warganegara asing. Dengan dibebani tanah tersebut dengan Hak Tanggungan, maka dalam buku tanah yang terdapat di kantor pertanahan, telah terdaftar Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik tersebut. Oleh karenanya warga negara Indonesia yang secara formal adalah pemilik tanah, tidak akan dapat mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain dan tidak juga dapat mempergunakan tanah tersebut sebagai jaminan sebelum ada bukti pelunasan atau peroyaan dari warga negara asing. Dengan pengakuan utang dan pemberian jaminan saja tidak memberikan kewenangan kepada warga negara asing untuk menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut yang merupakan tujuan dari warga negara asing. Untuk memenuhi tujuan warga negara asing, dibuatkanlah oleh Notaris akta sewa-menyewa yang merupakan alas hak bagi warga negara asing untuk menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut. Hal-hal tersebut bertujuan semata-semata untuk memperkuat posisi warga negara asing terhadap warga negara Indonesia mengenai Hak Milik tersebut.
53 Sehingga warga negara asing terlindungi dari kemungkinan menderita kerugian karena tindakan warga negara Indonesia. Dengan adanya keterbatasan jangka waktu, warga negara asing khawatir akan adanya perubahan ketentuan mengenai Hak Pakai, apabila ia menguasai tanah dengan Hak Pakai, jangka waktu berakhir kemudian memperpanjang lagi tentunya jika ada perubahan ketentuan akan mempersulit warga negara asing dalam proses perpanjangan jangka waktu tersebut.
2.3.2. Adanya Ketentuan Yang Belum Jelas Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah masih adanya keraguan dikalangan pelaksana untuk melaksanakan ketentuan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, mengingat adanya beberapa ketentuan yang kurang jelas atau memerlukan penafsiran, sehingga menimbulkan kekhawatiran takut salah menafsirkannya. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, peraturan pemerintah tersebut menyisakan beberapa hal yang belum jelas, yakni sebagai berikut Pertama, Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1996 memberikan pengertian ”berkedudukan di Indonesia” sebagai kehadirannya memberi manfaat bagi pembangunan nasional. Kiranya definisi ini terlampau luas dan untuk ketegasannya diperlukan kriteria yang jelas tentang keberadaan dan memberi manfaat tersebut yang tentunya harus meliputi dipenuhinya syarat-syarat keimigrasian disamping syarat-syarat penentu utama tersebut. Disamping itu perlu
54 penegasan instansi mana yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhinya persyaratan itu sehingga memudahkan dalam pemberian Hak Pakainya. Kedua, pemilikan rumah tersebut dibatasi pada satu tempat tinggal. Masalahnya, instansi mana yang berwenang melakukan pengawasan terhadap hal ini, karena tanpa dukungan administrasi pertanahan yang andal kiranya tidak mudah melakukan pengawasannya. Ketiga, pada hakekatnya Hak Pakai dapat terjadi di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik (Pasal 41 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996), tetapi dalam Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1996 tidak disebut mengenai rumah yang berdiri di atas Hak Pakai yang berasal dari tanah hak pengelolaan. Sehingga timbul pertanyaan dapatkah warga negara asing memiliki rumah yang dibangun di atas tanah hak pengelolaan. Keempat, dalam kaitannya dengan sanksi apabila warga negara asing tersebut sudah tidak memenuhi lagi persyaratan dan tidak memenuhi kewajibannya untuk mengalihkannya kepada pihak lain, masalahnya adalah instansi mana yang berwenang untuk melakukan pengawasannya, karena tanpa pengawasan yang ketat, maka peraturan tersebut tidak akan efektif. Kelima, Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1996 hanya mengatur tentang warga negara asing. Bagaimana untuk badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia yang dapat menjadi pemegang Hak Pakai. Hal ini tidak ada diatur dalam peraturan terseut. Keenam, berkenaan dengan kemungkinan pembebanan Hak Pakai dengan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 53 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996,
55 disebutkan bahwa hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan. Bagaimana dengan hak pakai di atas tanah hak milik, yang belum diatur ketentuan pembebanannya dalam Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Dari faktor-faktor tersebut, penguasaan tanah oleh warga negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee paling banyak dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut juga aman dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses pembuatan aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku.
2.4.
Pembuatan Akta Perjanjian Nominee oleh Notaris/PPAT terhadap Penguasaan Atas Tanah Mengenai kepemilikan tanah di Indonesia, walaupun telah diatur dalam
UUPA Pasal 21 mengenai subyek hak milik, namun dalam prakteknya sering terjadi penyalahgunaan terhadap ketentuan dari Pasal 21 UUPA tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terdapat banyak sekali jenis pelanggaran yang dapat dilakukan baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh orang asing dalam hal penguasaan tanah. Isi dari perjanjian tersebut sejatinya merupakan suatu penyelundupan hukum, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal seperti itu memang benar terjadi dan semakin berkembang dalam masyarakat. Praktek penguasaan tanah yang paling banyak terjadi dalam masyarakat adalah dengan cara menggunakan perjanjian nominee. Cara ini yang paling
56 banyak dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut juga aman dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses pembuatan aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku. Dalam praktek penguasaan tanah dengan menggunakan perjanjian nominee, hal pertama yang mereka lakukan adalah membeli tanah, kemudian mereka mendatangi kantor Notaris/PPAT untuk membuat akta jual beli yang akan digunakan untuk membuat sertifikat tanah. Selain dengan penjual, orang asing yang membeli tanah tersebut juga didampingi oleh orang yang akan dipinjam namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikat. Setelah sertifakat diterbitkan, biasanya diikuti dengan pembuatan pernyataan antara warga negara asing dengan orang yang dipinjam namanya, bahwa warga negara asing itu yang berhak menguasai tanah tersebut, karena uang untuk keperluan membeli tanah adalah miliknya.
Kemudian dilanjutkan dengan dibuatkan akta pengakuan hutang dengan jaminan tanah tersebut, sehingga orang yang dipinjam namanya tersebut tidak akan dapat menjual tanah itu pada pihak lain karena masih dibebani hak tanggungan. Untuk adanya alas hak bagi warga negara asing agar dapat melakukan perbuatan hukum diatas tanah tersebut maka dibuatkan akta sewa menyewa. Peranan PPAT dalam pembuatan sertipikat hak milik. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, seorang PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
57 dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Akta yang dibuat oleh PPAT disini berfungsi sebagai alat bukti bahwa secara hukum telah terjadi suatu perbuatan yang bersifat memindahkan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan syarat formil akta, yaitu untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, harus dibuatkan suatu akta.64 Jual beli tanah secara garis besarnya baru dikatakan sah bila telah dibuat dengan akta PPAT dan dibayar lunas dihadapan saksi dengan persetujuan suami/istri, kemudian diterbitkan sertifikat berdasarkan akta PPAT tersebut. Jadi dalam hal ini jual-beli atas nama warga Negara Indonesia hanyalah merupakan suatu "kedok" sehingga secara yuridis formal hal tersebut tidak menyalahi peraturan. Setelah diterbitkan sertifikat atas nama warga negara Indonesia, selanjutnya antara para pihak membuat Pernyataan mengenai penguasaan tanah, yang intinya menjelaskan bahwa hanya warga negara asing yang dapat melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah itu sedangkan pihak warga negara Indonesia tidak diberi hak apapun atas tanah tersebut. Dalam perjanjian penguasaan tanah selain surat pernyataan juga digunakan surat kuasa. Kuasa tersebut isinya tidak berbeda jauh dengan isi surat pernyataan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pihak warga negara Indonesia memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan 64
Sudikno Mertokesumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal.126.
58 memberikan kewenangan pada penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (WNI) sehingga pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Apabila warga negara asing tidak puas hanya dengan dibuatkan surat pernyataan atau kuasa, mereka lalu meminta dibuatkan pengakuan hutang. Mereka kemudian mendatangi PPAT untuk dibuatkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (selanjutnya disebutAPHT) yang membebankan tanahnya pada dasarnya benda yang akan dijadikan jaminan suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang; b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas; c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan d. Memerlukan penunjukkan dengan undang-undang.65 Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan telah menentukan bahwa hak milik dapat dijadikan obyek hak tanggungan. Dalam Pasal 8 ayat (2), menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.
65
Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal. 4.
59 Sehubungan dengan ketentuan tersebut, hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan. 66 Cara untuk membuktikan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang memiliki obyek tanggungan adalah dengan menunjukkan sertifikat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak, yaitu sebagai tanda jaminan hukum yang diberikan oleh pemerintah atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.67 Dengan adanya sertifikat, seseorang dapat membebankan hak tanggungan atas tanahnya. Dengan berlakunya Undang-Undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT. APHT serta sertifikat dan warkah lain yang diperlukan dikirim ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. Kemudian Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan dicatat pada sertifikat bahwa tanah tersebut telah dibebani hak tanggungan. Sertifikat tersebut dikembalikan pada pemiliknya dan sertipikat hak tanggungan diberikan pada pemegang hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUPA pendaftaran pembukuan tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya pembebanan atas tanah tersebut. 68 Begitulah cara warga negara asing dalam menguasai tanah. Dengan dibuatkan APHT dan dalam sertifikat tertulis bahwa tanah tersebut telah dibebani
66
ST. Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, KetentuanKetentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni Bandung, hal. 25 67 Ibid., hal. 27. 68 Ibid., hal. 30.
60 hak tanggungan, walaupun pihak warga negara Indonesia yang memegang sertifikat tersebut berniat untuk menjualnya, hal itu tidak dapat dilakukan karena tidak ada orang yang akan membeli tanah yang sedang dibebani hak tanggungan dan PPAT pun dapat menolak membuat akta jika tanah yang diperjualbelikan masih dibebani hak tanggungan. Terlebih lagi jika warga negara asing yang memegang sertifikatnya ditambah dengan adanya surat pernyataan yang dibuat antara para pihak atau surat kuasa yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah serta secara nyata merupakan bukti bahwa penguasaan terhadap tanahnya berada di tangan orang asing. Perjanjian yang mengatur hubungan hukum antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Hubungan hukum perjanjian tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan itu, demikian pula sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Prestasi adalah obyek perjanjian, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur terhadap debitur atau sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau dapat dinilai dengan uang.
61 Dalam menjalankan profesinya, seorang Notaris terikat pada batas-batas kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun yang berdasarkan kode etik profesinya. Secara hukum, Notaris dalam melaksanakan tugasnya pada dasarnya bertumpu pada kegiatan pembuatan akta yang formal prosedural. Dikatakan demikian karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari pihak-pihak yang memakai jasanya. Mengenai bentuk perjanjian yang dipilih sebagai instrumen hukum penguasaan tanah oleh warga negara asing untuk mengikat warga negara Indonesia secara empiris dilakukan melalui perjanjian tertulis yang dibuat dalam akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT. Kualifikasi akta yang dibuat dihadapan Notaris termasuk Akta Pihak bukan Akta Relaas. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan hukum menimbulkan suatu perjanjian, hal ini berkaitan dengan syarat substantif utama perjanjian yakni adanya perjumpaan kehendak dari para pihak yang terkait. Adapun alasan mengapa Notaris membuatkan perjanjian nominee bagi warga negara asing, dikarenakan adanya asas kebebasan berkontrak. Akta yang dibuat dihadapan Notaris kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee adalah karena adanya Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas Kebebasan Berkontrak dalam akta tercantum pada Badan Akta sebagai isi akta. Asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak menurut kehendaknya untuk membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Asas ini mengandung
62 makna bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka. Ruang lingkup kebebasan dalam membuat perjanjian meliputi : kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjjian, dan kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana. Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari
63 ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam KUHPerdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta Notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta otentik. Asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa ”Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk
64 membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 KUH Perdata menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku.
Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata menentukan bahwa “Suatu hal tertentu”. Obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan, suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.
65 Pasal 1320 ayat (4) jo.Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undang-undang. Menurut undang-undang, kausa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian yang dipilih dalam penguasaan tanah oleh warga negara asing untuk adanya legalitas dituangkan ke dalam bentuk-bentuk akta otentik sebagai berikut : 1. Akta Jual Beli Tanah Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah “Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Sedangkan menurut Hukum Adat jual beli tanah bukan merupakan pengertian yang dimaksudkan dalam Pasal 1457 KUH Perdata, melainkan “suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang
66 bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.” 69 Menurut hukum adat, jual beli tanah merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara bersamaan. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan atau baru dibayar sebagian. Prosedur jual beli tanah, diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah diantara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi diikuti dengan pemberian panjer. Dengan adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu (terang). Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-
69
Effendi Peranginangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal.15.
67 lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh (tunai). Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, warisan. Sejak berlakunya Peraturan Peerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya (syarat terang). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Agar perbuatan jual beli sah adapun syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi : a. Syarat materiil 1) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Menurut Pasal 21 UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
68 2) Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang hendak dijualnya (pemilik yang sah menurut hukum). Jika pemiliknya dua orang atau lebih maka semua pemiliknya harus bertindak sebagai penjual secara bersama-sama. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka suami isteri harus hadir dan bertindak sebagai penjual. Untuk harta bersama, seorang suami atau isteri berhak melakukan perbuatan hukum dengan persetujuan pihak yang lain. 3) Menurut hukum, tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan (Pasal 20 UUPA) dan tidak boleh dalam sengketa. b. Syarat formil Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat akta jual belinya (Pasal 37 PP No.24/1997). Jual beli yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA). Kendatipun demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No.21/1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud mengindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT. Dalam akta jual beli oleh warga negara asing dengan meminjam nama warga negara Indonesia, pertama didasari oleh adanya kepercayaan yang diberikan oleh warga negara asing kepada warga negara Indonesia. Setelah adanya kepercayaan itu kemudian diikuti oleh adanya keinginan warga negara asing untuk memiliki tanah dengan meminjam nama dari
69 orang yang dipercayai tersebut, yang disertai dengan memberikan kuasa kepada seorang warga negara Indonesia untuk membeli tanah, dimana uang untuk membeli tanah bersumber dari warga negara asing. 2. Akta Pengakuan Hutang Dengan Jaminan Perjanjian Pengakuan Hutang merupakan perjanjian pokok yang dilengkapi dengan perjanjian assesoir dengan perjanjian pemberian jaminan hutang, biasanya dalam bentuk Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan. Pada hakekatnya yang dijaminkan dari suatu perjanjian hutang piutang adalah tanah dan bangunannya, melalui suatu lembaga penjaminan yang dikenal dengan nama Hak Tanggungan. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan diuraikan mengenai kewenangan bertindak para pihak. Sebagai Pihak Pertama disebutkan bahwa Warga Negara Asing dalam kewenangan bertindaknya diwakili berdasarkan kekuatan surat kuasa membebankan
Hak
Tanggungan,
tanggal
dibuatnya
Surat
Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan, Nomor Akta, dibuat dihadapan Notaris dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut telah diperlihatkan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah, sehingga dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut sah selaku kuasa dari dan untuk atas nama Nama Seorang Warga Negara Indonesia dengan disebutkan secara lengkap identitas dari Warga Negara Indonesia tersebut, selaku pemberi Hak Tanggungan dan untuk selanjutnya disebut pihak pertama. Untuk Pihak Kedua dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan disebutkan Nama Warga Negara Asing dengan identitas lengkap, Nomor paspor dari Warga Negara Asing tersebut dan untuk keperluan itu telah diperlihatkan kepada Notaris. Kedudukan Warga Negara Asing adalah selaku
70 Penerima Hak Tanggungan, yang setelah Hak Tanggungan bersangkutan didaftar pada kantor Pertanahan setempat akan sebagai Pemegang Hak Tanggungan. Akta Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, dibuat setelah adanya akta jual beli, merupakan akta di mana warga negara Indonesia mengakui bahwa ia menerima pinjaman uang dari warga negara asing selaku kreditur untuk membeli sebidang tanah. Di dalam akta tersebut dinyatakan bahwa debitur tidak dikenakan bunga atas hutangnya dan jangka waktu pengembalian hutang lamanya tidak ditentukan. Klausula yang demikian menurut hukum bertentangan dengan asas-asas atau syarat sahnya perjanjian dan maksudnya adalah menyembunyikan tujuan yang sebenarnya sehingga bertentangan dengan Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi ”Suatu Perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” 3. Akta Sewa-Menyewa Dalam kehidupan masyarakat, perjanjian sewa menyewa tanah sering dibuat oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Dalam sewa menyewa ini warga negara Indonesia menyerahkan tanahnya seluas yang diperjanjikan, kemudian warga Negara Asing memberikan sejumlah uang sebagai sewa dari tanah tersebut. Dalam Pasal 1548 KUH Perdata ditentukan bahwa sewa menyewa adalah "suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang,
71 selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak a. Pernyataan dan Kuasa Kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, maka di dalam akta pernyataan mengandung pernyataan : a. Warga negara Indonesia menyatakan bahwa jumlah uang yang dipakai untuk membeli sebidang tanah hak milik adalah berasal dari warga negara asing. b. Warga negara Indonesian menyatakan bahwa selaku pemilik dan yang berhak atas tanah tersebut adalah warga negara asing tersebut. c. Di dalam Akta Pernyataan dinyatakan pula bahwa akta tersebut mengikat juga para ahli waris dari warga negara Indonesia dan warga negara asing. Dalam akta pernyataan warga negara Indonesia mengakui dan menyatakan tujuan dari pernyataan tersebut, bahwa semua hak dan kendali atas tanah yang ditetapkan atas setrtifikat Hak Milik, termasuk segala sesuatu yang telah ada pada tanah tersebut tetapi tidak terbatas pada bangunanbangunan dan turutannya akan dikendalikan dan diwariskan kepada warga negara asing, ahli warisnya atau yang ditunjuknya, dan warga negara Indonesia hanya meminjamkan namanya untuk digunakan dalam sertifikat tersebut, serta tidak akan melakukan segala tindakan hak atas kepemilikan tanah dan yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut kecuali secara khusus diperintahkan atau diminta untuk melakukannya oleh warga negara asing, ahli warisnya atau yang ditunjuknya.
72 Dalam pernyataan ini dapat dibuat dibawah tangan atau dibuat dihadapan Notaris. Klausula pada Pernyataan yang dibuat dibawah tangan oleh para pihak isinya ditentukan sendiri oleh para pihak, kemudian supaya pernyataan tersebut memiliki kepastian hukum mereka kamudian meminta Notaris agar pernyataan itu dibubuhi cap dan tandatangan Notaris. Kemudian Notaris mendaftarkan pernyataan tersebut dalam daftar akta dibawah tangan atau dikenal dengan istilah waarmerken. Waarmerken dilakukan Notaris apabila pernyataan yang diperlihatkan kepada Notaris telah ditandatangani oleh para pihak. Namun, apabila pernyataan itu belum ditandatangani, maka akan dilakukan legalisasi. Dalam legalisasi, kedua pihak menghadap Notaris kemudian dihadapan Notaris mereka menandatangani pernyataan tersebut.
Berbeda dengan pernyataan yang berupa akta otentik yakni dibuat dihadapan Notaris, sebab lebih menunjukkan adanya kepastian hukum, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. Sehingga pernyataan tersebut tidak ada kesan adanya causa yg bertentangan dengan hukum. Setelah dibuat pernyataan, sehubungan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing maka selanjutya dibuatkan Kuasa, yakni warga negara Indonesia sebagai pihak ” pemberi kuasa” dan warga negara asing sebagai pihak ”penerima kuasa” dengan tujuan agar penerima kuasa dapat melakukan segala perbuatan hukum atas tanah hak milik tersebut. Kuasa yang demikian, merupakan kuasa utlak. Istilah Kuasa mutlak dicantumkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas
73 Tanah. Kuasa mutlak pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah yang memberikan kewenangan kepada menerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Pemberian kuasa (Lastgeving) diatur dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata. Menurut Pasal 1792 KUH Perdata Pemberian kuasa adalah ”suatu persetujuan, dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Dari ketentuan pasal tersebut, maka unsur-unsur pemberian kuasa adalah persetujuan, memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa dan atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata). Menurut Putusan HR 12 Januari W 6458, ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata yang berbunyi ”Si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya”, selain tidak bersifat memaksa, juga bukan merupakan ketentuan yang bertentangan dengan kepentingan umum (van openbare orde) sehingga para pihak bebas untuk menyimpang dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Dengan demikian,
74 pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas hukum yang sah.70 Dapat disimpulkan bahwa pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali perlu disyaratkan apabila : a. Pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian (integrerend deel) yang mempunyai alas hukum yang sah. b. Kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa. Dalam praktek, kuasa mutlak sering dipergunakan sehubungan dengan jual beli hak atas tanah dengan pinjam nama oleh warga negara asing. Maksudnya, warga negara asing menyuruh warga negara Indonesia membeli tanah dan tanah tersebut diatasnamakan warga negara Indonesia. Kemudian warga negara Indonesia tersebut membuat pernyataan dan kuasa mutlak dengan memberikan kewenangan penuh kepada warga negara asing untuk melakukan perbuatan hukum terhadap tanah seperti menjual, mengoperkan dan sebagainya.
70
Herlien Budiono, Op.cit, hal. 6.