perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KETENTUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh ONI KURNIAWAN NIM. E 1107052
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KETENTUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Oleh Oni Kurniawan NIM. E 1107052
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 2 Desember 2012
Dosen Pembimbing Skripsi I
Dosen Pembimbing Skripsi II
Endang Mintorowati, S.H.,M.H Ambar Budhisulistyawati, S.H.,M.Hum commitNIP. to user NIP. 19490505 198003 2001 19571112 198303 2001
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) KETENTUAN PENYELESAIN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Oleh Oni Kurniawan NIM. E1107052
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari
: Rabu
Tanggal : 21 Desember 2011 DEWAN PENGUJI
1. Dr. M. Hudi Asrori S, S.H.,M.Hum
(………………….)
NIP. 19601107 198911 1001 2. Endang Mintorowati S.H.,M.H
(………………….)
NIP. 19490505 198003 2001 3. Ambar Budhisulistyawati, S.H.,M.Hum
(………………….)
NIP. 19571112 198303 2001
Mengetahui Dekan
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum commit to user NIP. 19570203 198503 2001 iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Oni Kurniawan Nim
: E 1107052
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul : KETENTUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2011 Yang membuat pernyataan
Oni Kurniawan E 1107052
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al. Baqarah : 153) Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah Niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Al. An’am : 17) Semakin malas kita hari ini, semakin banyak yang harus kita kerjakan besok (Sarip, SH) Menjadikan setiap kesulitan sebagai pondasi yang kokoh Pada saat menggapai keberhasilan (Oni Kurniawan)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk : ü
Allah SWT, Rabb semestas alam
ü
Rasulullah Muhammad SAW teladan dalam hidupku
ü
Ibu, Bapak dan Adikku insan terbaik yang pernah kumiliki
ü
Seluruh keluarga besarku
ü
Motivator yang selalu memotivasiku dalam mengerjakan Penulisan Hukum ini
ü
Seluruh kawan FH UNS Segenap civitas akademika FH UNS
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas karunia, nikmat, serta petunjukNYA sehingga penulis dapat menyelesaiakan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul: “KETENTUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata)” Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non-materiil sehingga penulisan hukum (Skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H, selaku Kepala Bagian Hukum Perdata; 3. Ibu Endang Mintorowati, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini; 4. Ibu Ambar Budhisulistyowati, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini; 5. Bapak Harjono, S.H.,M.H, selaku Ketua Program Non Reguler atas nasehat dan arahan-arahannya bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum; 6. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; 7. Ibu Sutarni AMA PD, Bapak Sarip SH, kalian adalah insan terbaik yang pernah kumiliki, tidak ada satupun yang dapat membayar seluruh pengorbanan dan cinta kasih kalian. Terima kasih atas petuah-petuah, kasih saying dan pengorbanannya. Maaf apabila baru ini yang bisa kupersembahkan; 8. Adikku satu-satunya Aris Setyawan, keluarga besar Eyang Gito Suwiryo dan keluarga besar Eyang Ahmad Sungudi, serta Fadisa Quamila motivator yang selalu memberiku commitdan to user semangat untuk mewujudkan harapan cita-cita;
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini; Semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 2 Desember 2011 Penulis
(Oni Kurniawan)
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJAN...................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................
iii
HALAMAN MOTTO..............................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................................
v
KATA PENGANTAR.............................................................................
vi
DAFTAR ISI............................................................................................
ix
ABSTRAK...............................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Perumusan Masalah .........................................................
5
C. Tujuan Penelitian .............................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...........................................................
5
E. Metode Penelitian ............................................................
6
F. Sistematika Penulisan ......................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ................................................................ 1.
2.
11
Tinjauan Umum Perjanjian ......................................
11
a.
Pengertian Perjanjian.........................................
11
b.
Asas-asas Perjanjian ..........................................
12
c.
Unsur-unsur Perjanjian ......................................
16
d.
Syarat Sahnya Perjanjian ...................................
17
e.
Akibat Hukum Perjanjian ..................................
20
f.
Pelaksanaan Perjanjian ......................................
21
g.
Pretasi ................................................................
21
h.
Wanprestasi .......................................................
22
i.
Jenis Perjanjian..................................................
24
j.
Hapusnya Perjanjian ..........................................
25
k.
Perjanjian Tentang Jaminan ..............................
26
Tinjauan Tentang Jaminan ....................................... commit to user
27
ix
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
a.
Istilah dan Pengertian Jaminan...................
27
b.
Jenis Jaminan .............................................
30
c.
Syarat-syarat dan Manfaat Benda Jaminan
30
d.
Sifat Perjanjian Jaminan .............................
31
e.
Bentuk dan Substansi Perjanjian Jaminan..
31
Tinjauan Tentang Gadai ...........................................
32
a.
Pengertian Gadai ........................................
33
b.
Dasar Hukum Gadai ...................................
33
c.
Perjanjian Gadai .........................................
33
d.
Unsur-unsur Gadai .....................................
34
e.
Subjek dan Objek Gadai ............................
34
f.
Prosedur dan Syarat-syarat Pemberian dan Pelunasan Pinjaman Gadai .........................
36
g.
Bentuk dan Substansi Perjanjian Gadai .....
36
h.
Hak dan Kewajiban antara Pemberi dan Penerima Gadai ..........................................
38
i.
Jangka Waktu Gadai ..................................
39
j.
Hapusnya Gadai .........................................
40
k.
Pelelangan Barang Gadai ...........................
40
l.
Kerangka Pemikiran ...................................
42
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Hasil Penelitian ........................................................
44
2.
Pembahasan ..............................................................
56
a. Bagaimana
Ketentuan
Debitur
Dinyatakan
Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ................
56
b. Bagaimana Ketentuan Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata .......................................
61
BAB IV PENUTUP A. Simpulan...................................................................
68
B. Saran ......................................................................... commit to user
72
x
digilib.uns.ac.idxi
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
ONI KURNIAWAN. E1107052. KETENTUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI Ditinjau Dari Kitab Undangundang Hukum Perdata). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2011. Penelitian dalam rangka Penulisan hukum (Skripsi) ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan apa saja yang digunakan dalam melakukan perjanjian gadai, baik dalam melakukan pemberian kredit hingga ketentuan yang mengatur mengenai permasalahan wanprestasi yang timbul dengan adanya perjanjian gadai tersebut. Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat preskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum doctrinal. Lokasi penelitian yaitu di perpustakaan-perpustakaan, antara lain perpustakaan fakultas hukum univesitas sebelas maret Surakarta dan perpustakaan pribadi dengan buku-buku yang dimiliki penulis yang berkaitan dengan penulisan hukum ini, dan melalui media internet. Jenis bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum atau disebut dengan studi kepustakaan dengan membaca buku-buku, literatur, dokumen-dokumen dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang diteliti. Analisis bahan hukum menggunakan analisis preskriptif. Berdasarkan bahan hukum yang ditemukan dalam penelitian yang telah dilakukan oleh penulis diperoleh hasil bahwa ketentuan yang diterapkan dalam jaminan gadai antara lain mengenai pelaksanaan perjanjian, ketentuan debitur dinyatakan wanprestasi, ketentuan penyelesaian yaitu lelang terhadap benda jaminan didasarkan atas adanya wanprestasi dari debitur (nasabah), sebelum lelang debitur diberi peringatan (somasi) dan penetapan lalai (ingebrekestelling) dari kreditur bahwa apabila debitur tidak melakukan prestasinya secara sukarela, maka kreditur berhak untuk menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) benda jaminan guna mengambil pelunasan piutangnya. Jika ada uang kelebihan, setelah dikurangi uang pinjaman dan sewa modal maka dikembalikan pada debitur. Dalam ketentuan gadai debitur hanya diwajibkan untuk melakukan kewajibannya, apabila debitur tidak melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan gadai maka debitur tersebut wanprestasi, jika terjadi waprestasi sehingga dilaksanakan lelang jaminan. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan pemerintah lebih berperan dalam memberdayakan lembaga pegadaian yang ada sekarang ini dengan tujuan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan peran lembaga pegadaian. Manfaat praktisnya adalah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam rangka melakukan perjanjian gadai yang dapat memberikan keadilan bagi semua pihak sehingga baik kreditur maupun debitur tidak dirugikan salah satunya. Selain itu karena masih digunakannya kitab undang-undang hukum perdata dalam pengaturannya, maka pemerintah segera membuat undang-udang nasional sendiri untuk mengaturnya. Kata Kunci : Gadai, Ketentuan, Wanprestasi
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
ONI KURNIAWAN. E1107052. STIPULATION OF FAILURE SOLUTION IN PAWN AGREEMENT(REVIEW FROM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA). LAW FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY OF SURAKARTA. RESEARCH PAPER. 2011. The purpose of this research is to know what stipulations are used in doing pawn agreement, either credit granting to stipulate which manage a problem of failure that appears caused by pawn agreement. This research is perspective and belong to law doctrinal research if saw from it is purpose. The location of this research are libraries such as library of Law Faculty of Sebelas Maret University Of Surakarta and personal library (the writer’s book) and searching through internet. Data of this research consist of primary, secondary and tertiary legal materials. Data is collected by using literature study. Data is analyzed by using perspective data analysis. Based on this research, the writer found that stipulations applied in a pawn agreement were. Among the other, stipulations about agreement implementation. Requirements used in defermining that a debtor is failure, settlement stipulations namely collateral public sale based on debtor’s (client’s) failure. Before the public sale is performed debtor is provided with a notice (summations) ans failure statement from creditor. The notice states that if debtor had not performed their obligation voluntarily, than the creditor has a right to sell, on the creditor’s authority. The collateral selling is exceeding amount of the debt and capital lease, than remaining moner is returned to the debtor. In the pawn agreement a debtor is only has a responsible to do their own responsibility. If a debtor doesn’t do their responsibility which is suitable with the pawn agreement so that debtor was failure. If the failure happens so the collateral public sale must be performed. Theoretical implication of this research is for government is hoped to have a greater role in empowering public pawn shops considering their existence is very useful for people. Practical implications of the research is the findings of the research can be used as reference in making a pawn agreement in order to provide justice to all related parties, so that the debtor or creditor will not be harmed by the pawn agreement, in addition, because Civil Law is still used in regulation of the pawn agreement. Then it is better that government is immediately legislating a specific law to regulate the pawn agreement.
Key words : Pawn, Stipulation, Failure
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan kehidupan masyarakat semakin hari semakin meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula dengan kebutuhan
yang
semakin
bertambah
dan
membawa
persoalan
dalam
pemenuhannya. Kebutuhan akan menimbulkan suatu dorongan atau desakan alami untuk memuaskan kebutuhan
tersebut dan adanya kecenderungan untuk
mempertahankan hidup. Kebutuhan akan mudah terpenuhi bila sumber-sumber tersedia, tetapi apabila jumlahnya terbatas, maka manusia akan tertantang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Keadaan ekonomi yang sekarang ini terjadi di Indonesia, keadaan yang sulit yaitu keadaan yang berat untuk masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang harus dipenuhi. khususnya dialami oleh wirausahawan, baik usaha yang bersifat kecil, menengah, maupun usaha berskala besar. Wirausahawan yang bergerak disektor industri, perdagangan, pertanian mengalami kendala dengan keadaan ekonomi yang tidak baik tersebut. Misalnya dibidang pemasaran, dikarenakan situasai ekonomi yang tidak baik membuat daya beli konsumen menjadi lemah, sedangkan kendala yang dialami oleh pelaku usaha dibidang ekonomi, yaitu permodalan bagi usaha kecil pada khususnya meupun penambahan modal pada kegiatan usaha yang sudah mapan. Kondisi demikian menyebabkan masyarakat umum dan wirausahawan sangat membutuhkan bantuan keuangan yang terjangkau untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lembaga gadai yang ada di Indonesia adalah pegadaian, Pegadaian merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memberikan kredit kepada masyarakat yang terjangkau dengan jaminan gadai. Pegadaian yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum) Negara yang bernaung dibawah Departemen Keuangan. Sejarah pegadaian berawal dari berdirinya Bank Van Leening di jaman VOC (Verenidge Oost Companny) yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan dengan harta bergerak. Pegadaian dalam commit to user
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkembangannya mengalami perubahan, baik dalam bentuk usaha maupun perubahan pada status pengelolaannya. Berdasarkan Staatblad 1901 No. 131 tanggal 12 Maret 1901, pada tanggal 1 April 1901 berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti menjadi Lembaga Resmi Pemerintah. Kantor Pegadaian yang menjadi Lembaga Resmi Pemerintah tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Pegadaian yang berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1961
No.178.
Selanjutnya,
dalam
perkembangannya
pada
tahun
1969
dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia No.9 tahun 1969 yang mengatur bentuk-bentuk usaha negara menjadi beberapa, antara lain adalah Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero). Dengan berjalannya waktu, Perusahaan Negara Pegadaian berubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan. Setelah Perusahaan Negara Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Jawatan, pemerintah meningkatkan status pegadaian dari Perusahaan Jawatan menjadi Perusahaan Umum. Perubahan tersebut didasarkan
pada
Peraturan
Pemerintah
No.10
(http://www.scribd.com/doc/23372530/SEJARAH-PEGADAIAN).
tahun
1990 Mengenai
gadai dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undnag Hukum Perdata masih digunakan karena belum adanya undang-undang nasional yang mengatur tentang gadai. Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut masih berlaku di Indonesia hingga sekarang di dasarkan pada Pasal 1 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakannya aturan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Mengenai gadai, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150. Pengertian gadai dalam pasal tersebut adalah : “gadai adalah sesuatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil perlunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang lelang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”. Gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit. Kredit diberikan terutama atas dasar integritas commit atau kepribadian debitur, kepribadian yang to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menimbulkan rasa percaya pada diri kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajiban pelunasannya dengan baik. Bahwa pemberian gadai harus mengikuti suatu perjanjian pokok. Perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberian gadai harus mengikuti suatu perjanjian yang tidak memerlukan suatu bentuk formalitas bagi sahnya perjanjian pokok tersebut, maka berarti gadai juga dapat diberikan dengan cara yang sama, yaitu menurut ketentuan yang berlaku bagi sahnya perjanjian pokok tersebut (Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2007:75). Setelah perjanjian gadai dibuat, kemudian benda bergerak dijadikan jaminan diserahkan kepada kreditur selaku penerima gadai. perjanjian gadai terjadi sejak penyerahan benda jaminan dilakukan. Apabila benda jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, perjanjian gadai itu tidak sah (Pasal 1152 ayat 2 Kitab Undangundang Hukum Perdata). Perjanjian gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian pokok dalam Pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. 2000:172). Berdasarkan rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut gadai, maka unsur-unsur berikut harus dipenuhi, yaitu gadai diberikan hanya atas barang bergerak, gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai, gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebihdahulu atas piutang kreditur droit de preference, gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut (Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, 2007:74). Secara umum ketentuan tentang jaminan diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Berbunyi : “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hubungan hutang-piutang antara debitur dan kreditur sering disertai dengan jaminan. Jaminan tersebut dapat berupa benda dan dapat pula berupa orang. Penelitian ini akan dibatasi hubungan hutang-piutang dengan jaminan benda. Adanya benda jaminan, kreditur mempunyai hak atas benda jaminan untuk pelunasan piutangnya apabila debitur tidak membayar hutangnya. Benda jaminan dapat berupa benda bergerak dan dapat pula benda jaminan tidak bergerak. Apabila benda jaminan tersebut berupa benda bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut “gadai” pand. Apabila benda jaminan berupa benda tidak bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut “hipotik” (Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H, 2000:170). Keadaan masyarakat yang mengalami kesulitan dibidang ekonomi, kredit dengan jaminan gadai sangat dibutuhkan masyarakat dan menjadi pilihan yang tepat oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sebagai penambahan modal usaha maupun untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kredit dengan jaminan gadai sangat diminati masyarakat salah satunya karena kredit tersebut merupakan kredit yang terjangkau oleh masyarakat. Baik karena bunganya, maupun kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh lembaga gadai. Perjanjian yang dilakukan oleh kreditur dengan debitur atas piutang debitur, kreditur berhak menerima barang jaminan atas gadai yang diberikan kepada debitur. Dan debitur berkewajiban menyerahkan barang gadai kepada kreditur atas piutangnya. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin bahwa debitur dapat mengembalikan piutangnya kepada kreditur sesuai dengan perjanjian antara kreditur dan debitur. Apabila kreditur tidak dapat memberikan kewajibannya kepada kreditur sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Maka debitur dapat disebut wanprestasi dan apabila dapat memenuhi kewajibannya maka disebut dengan prestasi. Didalam lembaga gadai yaitu pegadaian, wanprestasi dapat diketahui didalam ketentuan yang termuat dalam folmulir yang diberikan oleh pegadaian kepada nasabah yaitu Surat Bukti Kredit. Wanprestasi yang dilakukan debitur karena tidak melakukan kewajibannya tersebut, maka kreditur berhak untuk mengambil pelunasan dari piutang yang commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diberikan kepada debitur dengan melakukan haknya, yaitu melakukan lelang atas benda gadai yang diberikan oleh debitur kepada kreditur. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul KETENTUAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN GADAI (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran diatas, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan debitur dinyatakan wanprestasi dalam perjanjian gadai menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ? 2. Bagaimana ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang hendak dicapai, tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pengarahan dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan berkenaan dengan masalah wanprestasi adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Ingin mengetahui dan menjelaskan ketentuan yang menyebabkan debitur wanprestasi dalam perjanjian gadai menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata: b. Ingin mengetahui bagaimana ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan gadai Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan skripsi, sebagai syarat wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret commit to user Surakarta;
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan dan memperoleh pengetahuan baru mengenai wanprestasi dalam perjanjian gadai.
D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang berguna yang dapat diambil dari penelitian tersebut, adapun manfaat penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Untuk mengembangkan ilmu yang telah diperoleh, yaitu Ilmu Hukum khususnya Hukum Perdata yang diperoleh secara teoritis dibangku kuliah; b. Untuk mendapatkan bahan hukum dan informasi guna penulisan hukum sebagai syarat mencapai derajat kesarjanaan dibidang Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret Surakarta; c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah refrensi dibidang karya ilmiah. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan dibidang Ilmu Hukum, khususnya Hukum Perdata mengenai penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai; b. Dapat mengidentifikasi indikasi-indikasi wanprestasi dalam perjanjian gadai.
E. Metode Penelitian Penelitian
hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawabisu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai deskripsi dalam menyelesaiakan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2010:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian didalam kerangka Know-how didalam commit hukum.to user Hasil yang dicapai adalah untuk
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
memberikan preskripsi dalam menyelesaiakan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2010:41) Berdasarkan pengertian metode dan penelitian diatas, maka yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun serta menginterprestasikan data guna menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, atau dengan kata lain metodologi penelitian merupakan sarana dan cara yang digunakan untuk memahami objek yang hendak diteliti yang hasilnya akan dituangkan dalam penulisan ilmiah. Metodologi penelitian sangat diperlukan dalam penelitian ilmiah, karena mutu dan validitas dari penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh ketepatan dalam penelitian diuraikan. 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum doctrinal. Penelitian hukum doctrinal adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menyediakan suatu penampilan yang sitematis menyangkut aturan yang mengatur kategori sah tentang Undang-undang tertentu, meneliti hubungan antara aturan, serta meneliti bahan pustaka atau sumber data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki. 2006:32). Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yaitu yang mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatas perundang-undangan dan putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki. 2010:141) Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal yang dipilih penulis sudah dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini penulis mengambil lokasi di perpustakaan-perpustakaan, antara lain perpustakaan fakultas hukum, perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, commit Perpustakaan to user
Universitas selain Universitas
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebelas Maret Surakarta serta perpustakaan pribadi dengan buku-buku yang dimiliki penulis yang berkaitan dengan penulisan hukum ini. 3. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat preskriptif dan terapan sebagai penelitian yang bersifat preskriptif maka penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validasi aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki. 2010:22). Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan sifat penulisan yang bersifat preskriptif yang mempelajari mengenai norma-norma hukum yang berkaitan dengan ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai (Ditinjau Dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata). 4. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian hukum ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan
historis
(historical
approach),
pendekatan
perbandingan (comparative approach), dan perbandingan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki. 2010:93). Dari beberapa jenis penelitian diatas, penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) untuk mengetahui permasalahan wanprestasi dalam perjanjian gadai dan tentang ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai. 5. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder mencakup dokumendokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (Soerjono Soekanto. 2007:12). Sumber bahan hukum untuk penulisan penelitian ini. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang mengikat (Soerjono Soekanto. 2006:52). Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer, antara lain :
commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Undang-undang Dasar 1945; 2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis dalam penulisan penelitian hukum misalnya, ketentuan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 2006:52); c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder (Soerjono Soekanto. 2006:52). Dalam bahan hukum tersier penulis menggunakan kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, bahan bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam
teknik
pengumpulan
bahan
hukum,
dilakukan
dengan
mendokumentasikan bahan hukum atau disebut studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang didalam penelitian ini 7. Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam
penelitian
hukum,
dilakukan
langkah-langkah
(1)
mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; (2) pengumpulan bahan-bahan hukum bahan-bahan hukum dan sekitarnya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum; (3) melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan behan-bahan yang telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun commitdidalam to user kesimpulan. Langkah-langkah ini
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesuai dengan karakter ilmu hukum yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validasi aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010:171).
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka peneliti hukum menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : Pada Bab I Pendahuluan ini akan diuraikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan sistematika Penulisan. Pada Bab II Landasan Teori ini akan menguraikan mengenai Tinjauan tentang Perjanjian yang meliputi : Pengertian Perjanjian, Asas-asas Perjanjian, Unsurunsur Perjanjian, Syarat Sah Perjanjian, Pelaksanaan Perjanjian, Prestasi, Wanprestasi, Jenis Perjanjian, Hapusnya Perjanjian, Perjanjian Tentang Jaminan. Tinjauan Tentang Jaminan Meliputi : Istilah dan Pengertian Jaminan, Jenis Jaminan, Syarat-syarat dan Manfaat Benda Jaminan, Sifat Perjanjian Jaminan, Bentuk dan Substansi Perjanjian Jaminan. Tinjauan tentang Gadai meliputi : Istilah dan Pengertian Gadai, Dasar Hukum Gadai, Perjanjian Gadai, Unsur-unsur Gadai, Subjek dan Objek Gadai, Prosedur dan Syarat-syarat Pemberian dan Pelunasan Pinjaman Gadai, Bentuk dan Substansi Perjanjian Gadai, Hak dan Kewajiban antara Pemberi Gadai dan Penerima Gadai, Jangka Waktu Gadai, Hapusnya Gadai dan Pelelangan Barang Gadai. dan yang terakhir adalah menguraikan mengenai Kerangka Berpikir serta Keterangan. Pada Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan ini akan menguraikan mengenai sejarah Lembaga Gadai, dan Bagaimana terjadinya perjanjian hutang piutang commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan jaminan gadai, Ketentuan terjadinya wanprestasi dan Ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai. Pada Bab IV Penutup, akhirnya sebagai penutup dari adanya penulisan hukum ini maka bab penutup ini akan dikemukakan adanya beberapa penjelasan secara singkat mengenai simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan masalah, dan saran-saran yang didasarkan atas permasalahan yang diteliti. Bagi pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi kita semua.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan didalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III. Perjanjian diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Buku III
kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang (Mariam Darus Badrulzaman. 2001:65). Sesuai
sengan ketentuan Pasal 1233 BW, perjanjian timbul karena :
Persetujuan (Overeenkomst) dan dari Undang-undang. Perjanjian yang lahir dari persetujuan, pertama marilah kita lihat pengertian persetujuan atau overeenkomst. Yang berarti suatu tindakan atau perbuatan (handeling) yang menciptakan persetujuan, berisi “pernyataan kehendak” (wils verklaring) antara para pihak. Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada “persesuaian kehendak” antara para pihak. Namun perlu diingatkan, sekalipun Pasal 1313 menyatakan, bahwa kontrak atau persetujuan adalah tindakan atau perbuatan (handeling), tapi tindakan yang dalam hal ini adalah tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling). Sebab tidak semua tindakan atau perbuatan mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg). Hanya tindakan hukum sajalah yang dapat menimbulkan akibat hukum. commit to user
12
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan atau surat dan lain-lain. Pihak yang satu menawarkan atau memajukan “usul” (proposal). Serta pihak yang lain menerima atau menyetujui usul tersebut. Jadi dalam persetujuan terjadi acceptance atau penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya “persetujuan” atau “kontrak” yang “mengakibatkan ikatan hukum” bagi para pihak. Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling “memberatkan” atau “pembebanan” kepada para pihak kreditur dan debitur. Seperti yang kita jumpai dalam persetujuan jual-beli, sewa-menyewa, pengangkutan dan lainlain. Akan tetapi sifat yang saling membebankan itu tidak selamanya menjadi cirri persetujuan (M. Yahya Harahap. 1986:23). Mengenai perjanjian yang lahir dari Undang-undang diatur dalam Pasal 1352 BW. Yaitu semata-mata dari Undang-undang dan dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Sepanjang mengenai persetujuan yang menimbulkan perikatan semata-mata karena Undang-undang; tidak akan kita bicarakan lebih lanjut dalam persoalan ini. Sebab umumnya persetujuan yang demikian telah diatur tersendiri dalam ketentuan-ketentuan yang lebih jelas. Seperti kewajiban alimentasi, sudah diatur dalam hukum kekeluargaan. Kewajiban alimentasi timbul akibat persetujan yang ditetapkan oleh Undangundang sendiri. Demikian juga misalnya persetujuan-persetujuan yang terjadi dalam hubungan ketetanggaan (burenrecht), merupakan ketentuan Undangundang yang diatur dalam hukum benda (zaken recht). Juga mengenai hak ahli waris atas harta pewaris, semata-mata oleh karena ketetapan Undang-undang waris sendiri seperti yang diatur dalam hukum warisan (erfrecht). Dalam semua hal ini dengan sendirinya telah timbul persetujuan yang mengikat, apabila terjadi suatu keadaan yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Misalnya warisan dengan sendirinya terbuka pada saat di pewaris meninggal dunia, dan ahli waris tanpa kehendak yang lahir dari pewaris; terkait menyerahkan harta warisan kepada ahli waris semata-mata karena ketentuan Undang-undang (M. Yahya Harahap. 1986:27). commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Asas-asas Perjanjian Menurut Mariam Darus Badrulzaman didalam bukunya mengenai Kompilasi Hukum Perikatan, disebutkan beberapa asas-asas dalam perjanjian tersebut antara lain : 1) Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Otonom) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya”. “Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakanjuga asas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan “adanya” (raison d’entre, het bestaanwaarde) perjanjian. Didalam Bahasa Inggris : asas ini dikenal juga. Anson berpendapat sebagai berikut : “apromise more than a mare statement of intention for it imports a willingness on the part of the promise to be bound to the person to whom it is made”. Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik Kitab Undang-undang
Hukum
Perdata, akan teapi bersifat universal; 2) Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditemukan istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya
(will),
yang
dirasanya
baik
untuk
menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian; 3) Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel) Seseorang
yang
mengadakan
perjanjian
dengan
pihak
lain,
menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, commit to userdengan kata lain akan memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak; 4) Asas Kekuatan Mengikat Asas ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Terdapat dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terkaitnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak; 5) Asas Persamaan Hukum Asas ini menepatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan; 6) Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang; 7) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-undang commit tobagi userpara pihak. Asas ini memberikan
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Terdapat dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata; 8) Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat didalam zaakwaarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban
(hukum)
untuk
meneruskan
dan
menyelesaikan
perbuatannya juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya; 9) Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
Menurut
hemat
saya,
asas
kepatutan
ini
harus
dipertahankan, karena memulai asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat; 10) Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Menegaskan : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan
suatu
perjanjian,
orang
tersebut
harus
untuk
kepentingannya sendiri. Pasal 1340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Berbunyi : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung maksud commit bahwa to perjanjian yang dibuat oleh para pihak user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkontruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian atau kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan didalam Pasal 1318 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orangorang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 Kitab Undangundang Hukum Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orangorang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memiliki ruang lingkup yang luas; 11) Asas Iktikad Baik (Goede Trouw) Asas iktikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undangundang
Hukum
Perdata
yang
berbunyi
:
“Perjanjian
harus
dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas ini merupaka asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad yang kedua, penilaian terletak pada akal dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif; 12) Asas Kebiasaan Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga halhal yang ada dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti. c. Unsur-unsur Perjanjian Unsur perjanjian adalah sebagai berikut : 1) Unsur Esensialia Mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya; 2) Unsur Naturalia Adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti; 3) Unsur Aksidentalia Adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, merupakan ketentuan yang dapat diataur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak. d. Syarat Sah Perjanjian Persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yang diterapkan oleh Undang-undang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu : 1) Adanya kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian; 2) Adanya kecakapan dari para pihak yang membuat perjanjian; 3) Adanya objek atau hal tertentu; 4) Adanya sebab atau causa yang halal. Keempat syarat tersebut harus dipenuhi bagi setiap orang yang akan membuat perjanjian agar perjanjian yang dibuatnya sah menurut hukum, bila keempat syarat ini sudah dipenuhi commit tomaka user sahlah perjanjian tersebut dan
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
berlakulah Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu : “Setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Salah satu syarat dilanggar akan mengakibatkan perjanjian dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalannya si pengadilan atau batal demi hukum. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan masing-masing syarat tersebut dengan akibat hukumnya, syarat tersebut antara lain : 1) Adanya kesepakatan artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian itu harus memberikan persetujuan secara bebas, sadar dan bertanggung jawab, tidak ada paksaan, tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan. Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : “Kesepakatan itu sah apabila diberikan tidak karena kehilafan atau tidak dengan paksaan ataupun tidak karena penipuan”. Perjanjian yang dilakukan tidak sesuai dengan Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata maka kesepakatan itu menjadi tidak ada sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat dan perjanjian dapat dibatalkan atau dimintakan pembatalannya kepada hakim melalui pengadilan; 2) Adanya kecakapan, dan Orang-orang yang membuat perjanjian. Menurut ketentuan yang berlaku, semua orang dinggap cakap (berwenang) untuk membuat perjanjian kecuali mereka yang tergolong dalam : a)
Orang yang belum dewasa;
b)
Orang yang ditempatkan dibawah pengampuan (curatele);
c)
Wanita Bersuami;
d)
Orang yang dilarang oleh Undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; “Orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, maka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu”. commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seorang yang cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal 330 Kitab Undangundang Hukum Perdata). Menurut Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, orang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang yang dungu, orang gila (tidak waras pikiran), orang yang mata gelap, orang yang boros. Mengenai orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap adalah wanita yang bersuami, menurut Pasal 1330 ayat 3 Kitab Undangundang Hukum Perdata, rational dari ketentuan ini adalah agar dalam stu
rumah
tangga
jangan
ada
dua
nahkoda
tetapi
dengan
berkembangnya emansipasi wanita maka ketidak cakapan istrinya hanya dalam bidang hukum kekayaan saja dan tidak dalam bidangbidang lainnya. Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan anka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undangundang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi. Pasal 108 dan 110 BW, tentang wewenang seorang istri melakukan tindakan hukum dan menghadap dimuka Pengadilan. Akan tetapi mengenai bijstand atau bantuan hukum suami yang terdapat pada ketentuan Pasal 108 dan 110 BW sudah dengan sendirinya tidak berlaku lagi setelah Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 berlaku secara efektif. Karena sesuai dengan Pasal 31 ayat 2. Masingmasing pihak suami-istri berhak melakukan tindakan hukum (M. Yahya Harahap. 1986:5). 3) Adanya objek atau perihal tertentu. Suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang terhadap objek tertentu dari suatu perjanjian : a) Barang yang merupakan objek perjanjian (kontrak), haruslah barang yang dapat diperdagangkan; b)
Pada saat perjanjian (kontrak) dibuat, minimal barang tersebut sudah dapat ditentukan jenisnya; commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c)
Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung, misalnya hasil panen padi pada suatu sawah dimusim panen pada tahun mendatang. Menurut Undang-undang hal tersebut tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang kemudian ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
d)
Tetapi tidak dapat dibuat kontrak terhadap barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Syarat ketiga (3) ini bila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum.
4) Suatu sebab yang halal atau legal. Persyaratan tersebut dikatakan bahwa isi suatu perjanjian harus memuat suatu kuasa yang diperbolehkan oleh Undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan, misalnya suatu perjanjian untuk melakukan kejahatan atau mencemarkan nama baik seseorang, itu melanggar syarat “sebab yang legal” atau syarat keempat (4). Bila syarat keempat (4) ini dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat ketiga (3) dan keempat (4) ini disebut dengan syarat objektif, karena syarat ini terletak pada objek atau isi perjanjian. Jika syarat ketiga (3) dan keempat (4) ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Akibat hukum dari perjanjian yang sah sesuai dengan yang disebutkan dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Perdata,
menimbulkan akibat hukum yang antara lain sebagai berikut : a) Berlaku sebagau Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, bahwa pihak-pihak yang membuat harus mentaati undang-undang. Jika ada yang melnggar perjanjian yang dibuat, ia dianggap melanggar Undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum; b) Tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Namun apabila ada alasan-alasan yang cukup menutut commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak; c) Pelaksanaan dengan iktikad baik, bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut
harus
mengindahkan
norma-norma
kepatutan
dan
kesusilaan. e. Akibat Hukum Perjanjian 1) Akibat hukum perjanjian Akibat hukum dari perjanjian yang sah sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Perdata, menimbulkan akibat hukum yang antara lain sebagai berikut : a) Berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, bahwa pihak-pihak yang membuat harus mentaati Undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang dibuat, ia dianggap melanggar Undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum; b) Tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Namun apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut Undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak; c) Pelaksanaan dengan iktikad baik, bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut
harus
mengindahkan
norma-norma
kepatutan
dan
kesusilaan. 2) Perjanjian yang tidak sah, merupakan perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akibat hukum dari tidak sahnya perjanjian antara lain adalah : a) Perjanjian dapat dibatalkan, yaitu apabila tidak dipenuhi syarat subjektif perjanjian mengenai kesepakatan dan kecakapan para pihak; b) Perjanjian tidak dipenuhi, yaitu mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
f. Pelaksanaan Perjanjian Iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus-harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja (http;// wartawarga. gunadarma.ac.id /2011/05/ pembatalan-dan-pelaksanaan-suatu-perjanjian//) g. Prestasi 1)
Pengertian Pretasi Prestasi adalah suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi jamian umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
2)
Bentuk Prestasi Menurut ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu; (b) berbuat sesuatu; (c) tidak berbuat sesuatu. Dalam Pasal 1235 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai, hutang-piutang. Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan commit todalam user perikatan. Misalnya melakukan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan. Apabila debitur berlawanan dengan perikatan, ia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian (Abdulkadir Muhammad. 2000:201) 3)
Sifat prestasi Prestasi adalah objek perikatan. Supaya itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu : a)
Harus
sudah
tertentu
atau
dapat
ditentukan.
Hal
ini
memungkinkan debutur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan mengakibatkan perikatan batal (nietig); b)
Harus mungkin, artinya pretasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala usahanya. Jika tidak demikian perikatan batal (nietig);
c)
Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh Undangundang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal (nietig);
d)
Harus ada manfaat bagi kreditur, artinya dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar);
e)
Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar) (Abdulkadir Muhammad. 2000:202).
h. Wanprestasi 1)
Pengertian Wanprestasi commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu karena kesalahan debitur baik sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian dank arena keadaan memaksa (overmacht), force majeure jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak bermasalah (Abdulkadir Muhammad. 2000:203) 2)
Unsur-unsur Wanprestasi Wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang berarti keadaan yang menunjukkan adanya pihak yang tidak berprestasi dan dapat dipersalahkan. Ada tiga unsur yang menentukan kesalahan, antara lain : a) Perbuatan yang dilakukan debitur dapat desesalkan kreditur; b) Debitur dapat menduga akibatnya; c) Debitur dalam keadaan cakap berbuat. Kalau debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi.
3)
Wujud Wanprestasi a) Debitur sama sekali tidak berprestasi Dalam hal ini, debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu bisa disebabkan, karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan, karena memang kreditur objektif tidak mungkin berprestasi lagi untuk secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi pada peristiwa yang pertama memang kreditur tidak biasa lagi berprestasi; b) Debitur keliru berprestasi Disini
debitur
memang
dalam
fikirnya
telah
memberikan
prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditur lain dari pada yang diperjanjikan kreditur. Jadi dalam kelompok ini (tidak berprestasi) termasuk “penyerahan tidak sebagaimana mestinya”, dalam arti tidak to sesuai commit userdengan yang diperjanjikan;
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Debitur terlambat berprestasi Disini debitur berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjiakn. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, debitur kita golongkan dalam kelompok “terlambat berprestasi”, kalau objek prestasinya masih berguna bagi kreditur. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora (J. Satrio S.H. 1999:122). 4)
Akibat Wanprestasi Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum sebagai berikut : a) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); b) Apabila perikatan itu timbale balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui hakim (Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); c) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat 2); d) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); e) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan dimuka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah (Abdulkadir Muhammad. 2000:203).
i. Jenis Perjanjian Beberapa perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad (2000) akan diuraikan seperti berikut ini berdasarkan criteria masing-masing : 1) Perjanjian timbal balik dan sepihak, perjanjian timbale balik mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbale balik, misal jual beli, tukar menukar, sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan member hak kepada pihak lain untuk menerima prestasi, misal perjanjian hibah, hadiah;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
2) Perjanjian bernama dan tak bernama, perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian yang bersifat khusus dan jumlahnya terbatas. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas; 3) Perjanjian obligator dan kebendaan, perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, misalnya jual beli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual beli, hibah, tukar-menukar; 4) Perjanjian konsensual dan real, perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadi sekaligus realisasi, tujuan perjanjian yaitu memindahkan hak. Apabila Abdulkadir Muhammad (2000) menguraikan jenis-jenis perjanjian seperti tersebut diatas antara lain perjanjian timbal balik dan sepihak, perjanjian bernama dan tak bernama, perjanjian obligator dan kebendaan serta perjanjian konsensual dan real. Dalam hal ini J. Satrio (1996) menguraikan tentang perjanjian gadai sebagai perjanjian accesoir. Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi tertentu, yang pada umumnya tidak selalu merupakan perjanjian hutangpiutang dan karenanya dikatakan, bahwa perjanjian gadai mengabdi kepada perjanjian pokoknya atau dikatakan, bahwa ia merupakan perjanjian bersifat accesooir. j. Hapusnya Perjanjian Mengenai hapusnya perjanjian (Tenietgaan Van Verbintenis) diatur pada Titel ke 4 Buku III BW. Masalah “hapusnya perjanjian” (Tenietgaan Van Verbintenis) biasa juga disebut (Tinietgaan Van Overeenskomst). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur. Sehubungan dengan hal ini perlu kiranya mendapat perhatian ditinjau dari segi teoritis, hapusnya persetujuan sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian. Akan tetapi sebaliknya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya mengakibatkan hapusnya persetujuan. Hanya saja dengan hapusnya perjanjian, persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan pelaksanaan. Sebab dengan hapusnya perjanjian berarti pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi oleh debitur (M. Yahya Harahap. 1986:106). Hapusnya (atau berakhirnya atau lenyapnya) perjanjian atau overeenkomst haraplah sungguh-sungguh diperbedakan dari lenyapnya verbintenis. Sebab mungkin perjanjian sudah lenyap, tetapi verbintenis-verbintenis yang lain masih ada. Tentang berakhirnya perjanjian, hal tersebut tidak diatur tersendiri oleh wet, tetapi hal ini dapat kita simpulkan dari beberapa ketentuan dalam wet (Undang-undang). Disini dikemukakan 2 (dua) cara hapusnya perjanjian, yaitu: 1) Dengan pihak sendiri dapat menentukan, bahwa perjanjian akan berlaku untuk sampai saat tertentu; 2) Dengan Opzegging (pernyataan menghentikan perjanjian), Opzegging dapat dilakukan oleh kedua pihak ataupun oleh satu pihak saja. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara (Mashudi dan Moch. Chidir Ali (Alm). 2001:155). k. Perjanjian Tentang Jaminan Perjanjian tentang jaminan antara debitur dan kreditur dalam hal ini adalah hubungan hutang-piutang dengan benda jaminan. Benda jaminan itu dapat berupa benda bergerak dan dapat pula benda tidak bergerak. Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Segala kebendaaan, yang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Oleh karena itu, perjanjian jaminan yang timbul sesuai Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakanjaminan yang lahir karena Undang-undang. Jaminan yang ditentukan Undang-undang ialah jaminan yang adanya ditunjuk oleh Undang-undang. Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya; pendapatan benda-benda itu dibagi-bagi commit topenjualan user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dalam Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut, setiap pihak sebagai yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban, yaitu debitur. Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini berkenaan dengan jaminan, merupakan jaminan yang lahir karena perjanjian. Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan-jaminan yang adanya harus diperjanjikan lebih dahulu antara para pihak. Tergolong jenis ini ialah : Hipotik, Gadai, Credietverband, Fiducia, Penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung dan lain-lain. Berdasarkan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berkenaan mengenai jaminan yang lahir karena perjanjian antara lain adalah Gadai. Menurut ketentuan Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, gadai adalah hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Jelas bahwa gadai adalah hak yang bersifat mendahulu dari seorang kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari benda yang digadaikan tersebut, manakala debitur tidak memenuhi kewajibannya. Hak ini memberikan hak mendahulu dari kreditur konkruen, berdasarkan ketentuan Pasal 1132, 1133 dan Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 2. Tinjauan Tentang Jaminan a. Istilah dan Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah. Agunan dalam kontruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur kepada bank. Unsur-unsur agunan antara lain jaminan tambahan, diserahkan oleh debitur kepada bank dan untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan (H. Salim, 2004:21). Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : Segala kebendaan, yang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Rumusan tersebut diatas menunjukan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaan, baik bersifat menambah jumlah harta kekayaan (kredit), maupun nantinya akan mengurangi harta kekayaan (debit). Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu berada dalam keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Setiap perjanjian yang dibuat maupun perikatan yang terjadi dapat mengakibatkan harta kekayaan seseorang bertambah atau berkurang. Jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang ialah jaminan yang adanya perjanjian dari para pihak. Contoh hak-hak yang bersifat memberikan jaminan yang ditentukan undang-undang antara lain kreditur konkuren, kreditur preferen, hak privilege dan hak retensi. Seperti telah dikatakan diatas bahwa kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari akan selalu menjadi jaminan bagi perikatan orang tersebut dari waktu ke waktu. Jika ternyata dalam hubungan hukum harta kekayaan tersebut, seseorang memiliki lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu orang yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut, maka konteks Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Dalam konteks Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut, setiap pihak sebagai yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban (debitur) tersebut secara : 1) Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan; 2) Prorata atau Proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut. Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang adanya harus diperjanjikan lebih dahulu antara para pihak. Tergolong jenis ini ialah : Hipotik, Gadai, Credietverband, Fiducia, Penangungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menaggung dan lain-lain. Para kreditur dengan hak pari passu dan prorate tersebut dinamakan kreditur konkuren. Selanjutnya sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari bagian terakhir Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1133 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa :“Hak untuk didahulukan di antara para kreditur terbit dari hak istimewa, dari gadai dan hipotek. Tentang gadai dan hipotek dalam Bab XX dan Bab XXI buku ini”. Selanjutnya mengenai hak-hak istimewa ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa :“Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undangundang ditentukan sebaliknya”. Berdasarkan pada rumusan tersebut di atas, yaitu Pasal 1133 jo. Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum commit Perdata to user dapat kita ketahui bahwa selain
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kreditur konkuren, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, masih terdapat 2 macam kreditor lainnya, yaitu : 1) Kreditur preferens (yang diistimewakan), yaitu kreditur yang oleh Undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu; 2) Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Dengan berlakunya Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (Undang-undang Hak Tanggungan), maka pemberlakuan hipotek sebagai lembaga jaminan atas kebendaan tidak bergerak, menjadi tidak berlaku lagi untuk kebendaan berupa hak-hak atas tanah berikut benda-benda yang secara hukum dianggap melekat atas bidang tanah tersebut, yang diatur dalam dalam Undang-undang Hak Tanggungan. Selanjutnya untuk mengatur jaminan-jaminan atas kebendaan yang tidak mungkin diagunkan berdasarkan gadai, hipotek, maupun hak Hak Tanggungan telah pula dilahirkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. b. Jenis Jaminan Perbankan menjadi salah satu pilar yang penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia pada saat ini. Undang-undang perbankan mulai disahkan sejak lahirnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya diubah lagi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut UUP, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang selanjutnya disebut UUPS (Undang-undang Perbankan Syariah). (http://repository.usu.ac.id, diakses hari Rabu, 15 Juni 2011 pada pukul 10.00 WIB).
Tujuan
perbankan
Indonesia
yaitu
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam commit rangka to meningkatkan pemerataan, pertumbuhan user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan dari kesejahteraan rakyat banyak. Berdasarkan dari uraian ini, dapat bahwa dunia Perbankan tidak akan terlepas dari pembangunan nasional negara kita. Jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan yang berlaku di Luar Negeri. Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”. Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu jaminan meteriil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan; dan jaminan imateriil (perorangan), yaitu jaminan perorangan. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebndaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan (H. Salim, 2004:23). c. Syarat-syarat dan Manfaat Benda Jaminan Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya, tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya dan memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. Jaminan mempunyai kedudukan dan mafaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur adalah terujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur. Bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya (H.commit Salim,to 2004:27). user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
d. Sifat Perjanjian Jaminan Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Perjanjian Accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir ini adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia. Jadi, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok (H. Salim. 2004:29). e. Bentuk dan substansi Perjanjian Jaminan Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan dan tertulis. Perjanjian pembebanan dalam bentul lisan, biasanya dilakukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan, masyarakat yang satu membutuhkan pinjaman uang kepada masyarakat, yang ekonominya lebih tinggi. Biasanya pinjaman itu cukup dilakukan secara lisan. Perjanjian pembebanan jaminan dalam bentuk tertulis, biasanya dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan non bank maupun lembaga pegadaian. Perjanjian pembebanan ini dapat dilakukan dalam bentuk akta dibawah tangan dan atau akta autentik. Perjanjian pembebanan jaminan dengan menggunakan akta dibawah tangan dilakukan pada lembaga pegadaian. Bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh Perum Pegadaian secara sepihak, sedangkan nasabah tinggal menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Perjanjian pembebanan jaminan dengan akta autentik ini dilakukan dimuka dan dihadapan pejabat yang berwenang, Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jaminan adalah Pejabat Pemmbuat Akta Tanah (PPAT) yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta autentik dapat dilakukan pembebanan pada jaminan atas hak tanggungan, jaminan fidusia, dan jaminan hipotek atas kapal laut atau pesawat udara (H. Salim, 2004:30). Hubungan hutang-piutang antara debitur dan kreditur sering disertai dengan jaminan. Jaminan itu dapat berupa benda dan dapat pula berupa orang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
(Jaminan Perorangan). Dalam hal ini yang akan dibicarakan ialah hubungan hutang-piutang dengan jaminan benda. Dengan adanya benda jaminan ini, kreditur mempunyai hak atas benda jaminan untuk pelunasan piutangnya apabila debitur tidak membayar hutangnya. Benda jaminan itu dapat berupa benda bergerak dan dapat berupa pula benda tidak bergerak. Apabila benda jaminan itu berupa benda bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut ‘gadai’ (pand). Selain gadai masih ada lagi hak yang mirip dengan dadai yaitu retensi. Apabila benda jaminan itu berupa benda tidak bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut “hipotik”(Abdulkadir Muhammad. 2000:170). Perjanjian jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh dari perjanjian accesoir ini adalah pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia. Jadi, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok (H. Salim, 2004:30). Perjanjian pokok dalam perjanjian gadai adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak. Apabila debitur telah membayar pinjamannya kepada penerima gadai, maka sejak itulah hapusnya perjanjian gadai. 3. Tinjauan Tentang Gadai a. Istilah dan Pengertian Gadai Gadai berasal dari terjemahan dari kata pand (bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (bahasa Inggris). Pengertian Gadai Tercantum dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, gadai adalah Suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai yang harus didahulukan (H. Salim, 2004:33).
b. Dasar Hukum Gadai Dasar hukum gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini : 1)
Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sampai Pasal 1160 Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Artikel 1196 vv, title 19 Buku III NBW. (Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata hingga saat ini berdasarkan aturan Pasal 1 aturan peralihan Undang-undang Dasar
1945, karena hingga saat ini belum ada
Undang-undang nasional yang mengatur mengenai gadai) ; 2)
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadian;
3)
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1970 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
4)
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Di Indonesia lembaga yang ditunjuk untuk menerima dan menyalurkan kredit berdasarkan hukum gadai adalah lembaga pegadaian. c. Perjanjian Gadai Undang-undang dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan perumusan Gadai sebagai berikut : “Gadai adalah suatu hak yang diperbolehkan seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematkannya, setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
Perumusan Undang-undang seperti tersebut diatas sedapat-dapatnya akan kita pakai sebagai patokan untuk pembicaraan lebih lanjut. Kata “gadai” dalam Undang-undang digunakan dalam 2 (dua) arti, pertama-tama untuk menunjuk kepada bendanya (benda gadai, vide Pasal 1152 Kitab Undangundang Hukum Perdata), kedua, tertuju kepada haknya (hak gadai, seperti pada Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) (J. Satrio, 2002:89). d. Unsur Gadai Unsur-unsur gadai yang tercantum dalam pengertian gadai adalah sebagai berikut : 1) Adanya subjek gadai, yaitu kreditur (penerima gadai) dan debitur (pemberi gadai); 2) Adanya objek gadai, yaitu barang bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud; 3) Adanya kewenangan kreditur. Kewenangan kreditur adalah kewenangan untuk melakukan pelelangan terhadap barang debitur. Penyebab timbulnya pelelangan ini adalah karena debitur tidak melakasanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatanyang dibuat antara kreditur dan debitur, walaupun debitur telah diberikan somasi kreditur (H. Salim. 2004:35) e. Subjek dan Objek Gadai Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever, yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya untuk pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai, yaitu : 1) Orang atau badan hukum; 2) Memberikan jaminan berupa benda bergerak; 3) Kepada penerima gadai; 4) Adanya pinjaman uang. Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). badan hukum yang ditunjuk commitDitoIndonesia, user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini didirikan berdasarkan: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; 2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; dan 3) Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, maksud dan tujuan Perum ini adalah : 1) Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; 2) Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Untuk mendukung maksud dan tujuan di atas, maka Perum Pegadaian juga melakukan usaha-usaha sebagai berikut : 1) Menyalurkan uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia; 2) Pelayanan jasa titipan; 3) Pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi; 4) Unit toko emas; 5) Industri perhiasan emas; 6) Usaha-usaha lain yang menunjang maksud dan tujuan tersebut diatas. Usaha yang paling menonjol dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah menyalurkan uang (kredit) berdasarkan hukum gadai. Artinya bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, sehingga barang-barang itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai. Asas ini disebut dengan asas inbezitzeteling. commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Objek gadai ini adalah benda bergerak. Benda bergerak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu benda bergerak berujud dan tidak berujud. Benda bergerak berujud adalah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Yang termasuk dalam benda bergerak berujud, seperti emas, arloji, sepeda motor dal lain-lain. Benda bergerak yang tidak berujud, seperti piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil benda dan atas piutang (H. Salim. 2004:36). f. Prosedur dan Syarat-syarat Pemberian dan Pelunasan Pinjaman Gadai Setiap nasabah atau pemberi gadai yang ingin mendapatkan pinjaman uang dari lembaga pegadaian harus menyampaikan keinginan kepada penerima gadai dengan menyerahkan objek gadai kepada penaksir gadai. Penaksir gadai merupakan orang yang ditunjuk oleh lembaga pegadaian untuk menaksir objek gadai, yang meliputi kualitas barang gadai, beratnya, dan besarnya nilai taksiran dan pinjamannya. Pada dasarnya, prosedur dalam peminjaman dan pelunasan kredit gadai sangat praktis, karena tidak memerlukan birokrasi yang panjang. Prosedur di dalam peminjaman dan pengembalian kredit tidak melibatkan instansi yang lainnya, sebagaimana dengan peminjaman kredit dengan menggunakan kontruksi hak tanggungan dan jaminan fidusia. Peminjaman kredit dengan kontruksi
gadai
hanya
melibatkan
lembaga
pegadaian
semata-mata.
Pembebanan hak tanggungan, instansi yang terkait dalam pembebanan adalah kreditur (lembaga perbankan), notaris PPAT, dan Badan Pertanahan Nasional. Begitu juga lembaga fidusia, maka lembaga yang terkait adalah kreditur (lembaga perbankan), notaris, dan kantor pendaftaran fidusia; jadi untuk mendapatkan fasilitas kredit dengan menggunakan institusi hak tanggungan dan fidusia memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar untuk pengurusan administrasi, sedangkan dalam peminjaman kredit dengan kontruksi gadai tidak memerlukan birokrasi yang panjang dan biayanya kecil, bahkan dianggap tidak ada biaya (H. Salim. 2004:39). g. Bentuk dan Substansi Perjanjian Gadai Ketentuan tentang bentuk perjanjian gadai dapat dilihat dalam Pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Perjanjian gadai commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus dibuktikan dengan alat yang diperkenankan
untuk membuktikan
perjanjian pokoknya”. Perjanjian gadai dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana halnya dengan perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pemberian kredit. Perjanjian tertulis dapat dilakukan dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta otentik. Praktiknya, perjanjian gadai dilakukan dalam bentuk akta dibawah tangan yang ditandatangani oleh pemberi gadai dan penerima gadai. Bentuk, isi, dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh Perum Pegadaian Secara Sepihak. Hal-hal yang kosong dalam surat bukti kredit (SBK), meliputi nama, alamat, jenis barang jaminan, jumlah taksiran, jumlah pinjaman, tanggal kredit, dan tanggal jatuh tempo. Hal-hal yang kosong tinggal diisi oleh Perum Pegadaian. Syarat-syaratnya telah ditentukan oleh Perum Pegadaian. Berikut disajikan isi perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak yang telah dibakukan oleh Perum Pegadaian, yaitu: Pegadaian memberikan kredit kepada nasabah atau yang dikuasakan dengan jaminan; 1) Nasabah dan atau yang dikuasakan menjamin bahwa barang yang dijaminkan merupakan milik yang sah dari nasabah yang dikuasai secara sah menurut hukum. Oleh nasabah dan karenanya, nasabah mempunyai wewenang yang sah untuk menjadikannya utang kepada pegadaian. Nasabah juga menjamin bahwa tidak ada orang dan atau pihak yang lain yang turut mempunyai hak atas jaminan tersebut, baik hak memiliki atau hak menguasai; 2) Nasabah menjamin bahwa barang digadaikan pada pegadaian tidak sedang menjadi jaminan sesuatu hutang, tidak dalam sitaan, tidak dalam sengketa dengan pihak lain atau tidak berasal dari barang yang diperoleh secara tidak sah melawan hukum; 3) Barang jaminan hilang atau rusak akan diganti sebesar 125% dari nilai taksiran, setelah dikurangi uang pinjaman dan sewa modal. Pegadaian tidak bertanggunmg jawab atas kerugian apabila terjadi force majeur, antara lain bencana alam, huru hara, dan perang; commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Apabila terjadi perbedaan dalam taksiran dan menyebabkan nilai barang jaminan tidak dapat menutup uang pinjaman dan sewa modal, paling lama 14 hari sejak pemberitahuan. Nasabah atau yang diikuasakan berkewajiban menyerahkan tambahan barang jaminan yang nilainya minimal sama dengan nilai pinjaman ditambah sewa modal maksimum; 5) Nasabah atau yang dikuasakan berkewajiban untuk membayar uang pinjaman ditambah sewa modal, dengan jangka waktu kredit 120 hari; 6) Nasabah atau yang dikuasakan dapat mengalihkan haknya untuk menebus, menerima, atau mengulang gadai barang jaminan kepada orang lain dengan mengisi dan membubuhkan tanda tangan pada kolom yang tersedia; 7) Pelunasan dapat dilakukan dengan cara melunasi seluruhnya, mengangsur, dan atau mengulang gadai, mulai sejak tanggal kredit sampai dengan 1 hari sebelum tanggal lelang. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak dilunasi (diangsur) atau diulang gadai, maka barang jaminan akan dilelang pada tanggal yang di tetapkan; 8) Hasil penjualan barang jaminan digunakan untuk menutup pinjaman ditambah sewa modal dan biaya lelang. Apabila terdapat uang kelebihan
yang menjadi hak nasabah dengan jangka waktu
pengambilan selama 1 tahun, uang kelebihan tidak diambil dalam jangka 12 bulan, sejak tanggal lelang selebihnya menjadi hak pegadaian; 9) Apabila penjualan lelang lebih rendah dari uang pinjaman tambah sewa modal ditambah biaya lelang, selisihnya tetap merupakan utang nasabah yang akan ditagih oleh pegadain dan harus dilunasi paling lambat 14 hari sejak tanggal pemberitahuan diterima. 10) Apabila terjadi permasalahan di kemudian hari akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Jika ternyata perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka akan diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat. h. Hak dan Kewajiban antaracommit Pemberi todan userPenerima Gadai
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sejak terjadinya perjanjian gadai antara pemberi gadai dengan penerima gadai, maka sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban para pihak. Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah mengatur tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hak penerima gadai adalah : 1) Menerima angsuran pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan waktu yang ditentukan; 2) Menjual barang gadai, jika pemberi
gadai
tidak memenuhi
kewajibannya setelah lampau waktu atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janjinya. Kewajiban penerima gadai diatur di dalam Pasal 1154, Pasal 1156 dan Pasal 1157 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kewajiban penerima gadai adalah : 1) Menjaga barang yang digadaikan sebaik-baiknya; 2) Tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberi gadai wanprestasi (Pasal 1154 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); 3) Memberitahukan pada pemberi gadai (debitur) tentang pemindahan barang-barang gadai (Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); 4) Bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat kelalaiannya (Pasal 1157 Kitab Undang - undang Hukum Perdata). Hak-hak pemberi gadai : 1) Menerima uang gadai dari penerima gadai; 2) Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasi; 3) Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kewajiban pemberi gadai : 1) Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai; 2) Membayar pokok dan commit sewa modal kepada penerima gadai; to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
3) Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai (Pasal 1157 Kitab Undangundang Hukum Perdata) (H. Salim. 2004:44). i. Jangka Waktu Gadai Penentuan jangka waktu gadai diatur dengan Keputusan Direksi Perum Pegadaian dan dijabarkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direksi Perum Pegadaian. Surat Edaran Nomor : SE.16/Op.1.00211/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan SK Direksi Nomor: 020/Op.1.00211 /01 tentang perubahan tarif sewa modal, telah diatur tentang jangka waktu gadai. Surat Edaran tersebut tidak hanya mengatur tentang tarif sewa modal, tetapi juga mengatur tentang jangka waktu kredit dan maksimum sewa modal. Prinsipnya jangka waktu gadai tidak berubah, yaitu minimal 15 hari dan maksimum 120 hari. Perubahan yang mungkin terjadi adalah besarnya uang pinjaman, sewa modal, dan maksimum sewa modal. Semakin besar jumlah uang pinjaman, semakin besar sewa modalnya, tetapi semakin kecil uang pinjaman, maka semakin kecil pula sewa modalnya. Pinjaman gadai tersebut hanya diperuntukkan bagi usaha kecil dan menengah, yang modal usahanya tidak terlalu besar. Bagi pengusaha besar yang memerlukan biaya besar, tidak cocok untuk meminjam uang pada lembaga gadai, tetapi mereka dapat mengajukan permohonan pada lembaga perbankan dengan jaminan hak tanggungan dan fidusia (H. Salim. 2004:149). j. Hapusnya Gadai Hapusnya gadai telah ditentukan di dalam Pasal 1152 Kitab Undangundang Hukum Perdata dan surat bukti kredit (SBK). Di dalam Pasal 1152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan 2 cara hapusnya hak gadai, yaitu : 1) Barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai; 2) Hilangnya barang gadai atau dilepaskan dari kekuasaan penerima gadai surat bukti kredit. Begitu juga dalam Surat Bukti Kredit (SBK) telah diatur tentang berakhirnya gadai. Salah satunya adalah jika jangka waktu gadai telah berakhir. Jangka waktu gadai itu adalah commit to user15 hari dan maksimal 120 hari.
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perjanjian pokok dalam perjanjian gadai adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan gadai. Apabila debitur telah membayar pinjamannya kepada penerima gadai, maka sejak itulah hapusnya perjanjian gadai (H. Salim. 2004: 50). k. Pelelangan Barang Gadai Sejak terjadinya perjanjian gadai antara pemberi gadai dengan penerima gadai, maka timbul hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban pemberi gadai adalah membayar pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan yang ditentukan oleh penerima gadai. Didalam surat bukti kredit (SBK) telah di tentukan tanggalnya mulainya kredit dan tanggal jatuh temponya atau tanggal pengembalian kredit. Disamping itu, didalam surat bukti kredit telah ditentukan syarat, yaitu “jika sampai dengan tanggal jatuh tempo pinjaman tidak dilunasi (diperpanjang), maka barang jaminan akan dilelang pada tanggal yang sudah ditentukan”. Ketentuan tentang lelang tersebut di atur di dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cara melakukan penjualan barang gadai adalah dilakukan dihadapan umum menurut kebiasaan setempat dan persyaratan yang lazim. Barang-barang dagangan atau efek, maka penjualan dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantara 2 orang makelar yang ahli dalam bidang tersebut. Tujuan penjualan di muka umum agar jumlah hutang, bunga, dan biaya yang dikeluarkan dapat dilunasi dengan hasil penjualan tersebut. Apabila ada kelebihan dari penjualan barang di muka umum tersebut, uang sisanya dikembalikan pada pemberi gadai (H. Salim 2004:51).
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Kerangka pemikiran
HUTANG PIUTANG
KREDITUR
JAMINAN BENDA BERGERAK
DEBITUR
JAMINAN BENDA TIDAK BERGERAK
JAMINAN PERORANGAN
PERJANJIAN GADAI
PRESTASI
KREDITUR
WANPRESTASI
KETENTUAN DEBITUR
WANPRESTA
KETENTUAN PENYELESAIAN
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : Perjanjian pokok antara kreditur dan debitur adalah perjanjian hutangpiutang, didalam perjanjian hutang-piutang terdiri dari pihak debitur dan kreditur. debitur dan kreditur tersebut yang melakukan perjanjian hutang piutang, pihak debitur wajib menyerahkan jaminan, yaitu jaminan benda bergerak, benda tidak bergerak maupun jaminan perorangan tergantung bentuk perjanjian hutang yang disepakati oleh pihak kreditur dan debitur. Dalam hal ini jaminan yang di gunakan adalah jaminan benda bergerak, dan perjanjiannya disebut dengan perjanjian gadai. Perjanjian gadai lahir dari adanya perjanjian hutang-piutang dengan jaminan gadai atau jaminan benda bergerak. Disetiap perjanjian hutangpiutang ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak kreditur maupun debitur, serta hak yang diterima pihak kreditur maupun debitur. Apabila pihak kreditur dan debitur memenuhi kewajibannya sesuai dengan apa yang dijanjikan sebelumnya, hal tersebut disebut prestasi. Namun apabila pihak kreditur maupun debitur tidak melakukan kewajibannya, maka hal tersebut disebut dengan wanpresatasi. Dengan kata lain prestasi lahir apabila kedua belah pihak yang melakukan perjanjian memenuhi prestasi atau kewajibannya. Namun apabila salah satu pihak atau keduanya melakukan indikasi atau tidak memenuhi kewajibannya baik sebagai kreditur maupun menjadi debitur hal tersebut disebut wanprestasi. Pihak kreditur maupun pihak debitur dikatakan wanprestasi haruslah memenuhi ketentuan atau kriteria wanprestasi, keadaan yang menjadi ketentuan apakah debitur tidak memenuhi prestasinya antara lain karena debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru dan debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya atau terlambat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian Setelah dilakukan peneitian dengan mengumpulkan data semaksimal mungkin, peneliti menggunakan berbagai cara sebagaimana tertuang dalam metodologi, diperoleh hasil antara lain : Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang atau lebih”. Didalam perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur sering diiringi dengan adanya jaminan. Jaminan tersebut antara lain adalah jaminan dengan benda bergerak, benda tidak bergerak maupun dengan jaminan perorangan. Didalam penulisan ini dikhususkan pada ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai. gadai tersebut merupakan jaminan benda bergerak. Didalam bukunya H. Salim, mengenai Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia Gadai sendiri memiliki arti atau istilah gadai berasal dari kata pand (bahasa belanda) atau pledge atau pawn (bahasa ingris). Pengertian gadai tercantum dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, gadai adalah “suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang member wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai yang harus didahulukan”. Gadai tersebut memiliki dasar hukum, dasar hukum gadai antara lain adalah a. Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-undang hukum perdata. b. Artikel 1196 vv, title 19 Buku III NBW; commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
c. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; dan e. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Dari beberapa dasar hukum gadai yang disebutkan diatas, didalam penulisan ini melihat dasar hukum gadai dilihat dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut masih digunakan karena belum adanya peraturan nasional yang baru untuk mengatur mengenai gadai. hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan masih tetap berlaku selam belum diadakannya aturan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Lembaga yang menyalurkan kredit dengan berdasarkan hukum gadai di Indonesia adalah lembaga pegadaian. Lembaga pegadaian merupakan lembaga yang telah berdiri di Indonesia sejak jaman penjajahan, dapat disebutkan sejarah lembaga pegadaian sebagai berikut. Lembaga gadai yang ada di Indonesia adalah pegadaian, Pegadaian merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memberikan kredit kepada masyarakat yang terjangkau dengan jaminan gadai. Pegadaian yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum) Negara yang bernaung dibawah Departemen Keuangan. Sejarah pegadaian berawal dari berdirinya Bank Van Leening dijaman VOC (Verenidge Oost Company) yang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan dengan harta bergerak. Pegadaian dalam perkembangannya mengalami perubahan, baik dalam bentuk usaha maupun perubahan pada status pengelolaannya. Berdasarkan Staatblad 1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901, pada tanggal 1 April 1901 berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti menjadi Lembaga Resmi Pemerintah. Kantor Pegadaian yang menjadi Lembaga Resmi Pemerintah berubah menjadi Perusahaan commit totersebut user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Negara Pegadaian yang berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1961 No.178. Selanjutnya, dalam perkembangannya pada tahun 1969 dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia No.9 tahun 1969 yang mengatur bentuk-bentuk usaha negara menjadi beberapa, antara lain adalah Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero). Dengan berjalannya waktu, Perusahaan Negara Pegadaian berubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan. Setelah Perusahaan Negara Pegadaian berubah menjadi Perusahaan
Jawatan,
pemerintah meningkatkan status pegadaian dari Perusahaan Jawatan menjadi Perusahaan Umum. Perubahan tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.10
tahun
1990
(http://www.scribd.com/doc/23372530/SEJARAH-
PEGADAIAN). Dari uraian tersebut diatas dapat dibedakan antara gadai dengan lembaga gadai. gadai merupakan suatu perjanian hutang piutang dengan jaminan benda bergerak, dan ketentuan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai gadai diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan lembaga gadai merupakan lembaga di Indonesia yang menerima dan menyalurkan kredit berdasarkan pada hukum gadai. lembaga gadai sekarang ini berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Hubungan hutang-piutang antara kreditur dengan debitur, atau sering disebut perjanian hutang-piutang sering disertai dengan jaminan. Jaminan itu dapat berupa benda dan dapat juga pula berupa orang. Jaminan merupakan sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan dalam bentuk pinjaman uang (http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/18/hukum-jaminanpengertian-dan-macam-macam-jaminan/). Hubungan hutang-piutang yang mengatur adalah dalam hukum perdata, yakni aturan yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya, dengan menitik beratkan pada kepentingan perorangan atau pribadi. Pada Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hutang-piutang dianggap sah secara hukum apabila dibuat suatu perjanjian. Yakni perjanjian yang berdasarkan hukum yang diatur pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, meliputi antara lain : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya bahwa semua pihak menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau dibawah tekanan; b. Cakap untuk membuat perjanjian, kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam Undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu; c. mengenai suatu hal tertentu, Perjanjian yang dilakukan menyangkut objek atau hal yang jelas; d. Suatu sebab yang halal, Adalah bahwa perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan (Mariam Darus Badrulzaman, 2001:73). Perjanjian dapat dibatalkan apabila tidak sesuai dengan ketentuan dari empat (4) poin yang telah disebutkan diatas dan batal demi hukum. Syarat pertama dan kedua menyangkut subjek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai objek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subjek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai objek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Hubungan hutang-piutang dengan jaminan benda. Dengan adanya benda jaminan ini, kreditur mempunyai hak atas benda jaminan untuk pelunasan piutangnya apabila debitur tidak bertanggung jawab pada hutangnya. Benda jaminan itu dapat berupa benda bergerak dan dapat pula benda tidak bergerak. Apabila benda itu berupa benda bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut gadai (pand), sumber hukum tentang gadai tersebut antara lain Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Selain gadai masih ada lagi yang mirip dengan gadai yaitu retensi. Hak retensi merupakan hak untuk menahan bendatosampai commit user piutang yang bertalian dengan
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
benda itu dilunasi. hak retensi
tidak termasuk hak kebendaan menurut
pembentukan undang-undang, tetapi dibicarakan dalam hak kebendaan karena mempunyai persamaan dengan hak gadai, persamaan tersebut antara lain : a. Adanya benda jaminan yang bertalian dengan tagihan; b. Hak retensi bersifat asesor (accessoir), sama dengan hak gadai; c. Hak retensi bersifat tidak dapat dibagi-bagi; d. Hak retensi tidak membawa serta hak boleh memakai benda yang ditahan, sama dengan hak gadai. Apabila benda jaminan itu berupa benda tidak bergerak, maka hak atas benda jaminan itu disebut hipotik. Menurut J.Satrio, dalam bukunya Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, 2002:91. Disebutkan bahwa, Pembagian lembaga jaminan menjadi Gadai dan Hipotik merupakan konsekuensi lebih lanjut daripada pembagian benda menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak atau tetap. Untuk masing-masing kelompok benda tersebut, Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan lembaga jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak gadai, sedangkan untuk benda tetap hipotik. Dalam Pasal 1167 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan tegas dikatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan. Namun didalam bukunya, R.Subekti (1989:20) bahwa jaminanjaminan kebendaan yang kita kenal menurut hukum di Indonesia yang salah satunya adalah gadai, dapat berupa gadai tanah dan pemberian jaminan tanah menurut hukum adat, serta gadai (pand) menurut bw. Menurut hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan dimana barangnya jaminan tetap dikuasai oleh sipeminjam uang, sedangkan gadai atau apa yang dinamakna cekelan ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan pemberi kredit. Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian Gadai adalah “Suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang dan yang memberikan kewenangan kepada krediturcommit untuktomendapatkan pelunasan dari barang user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
tersebut lebih dahulu daripada kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan”. Dalam melakukan gadai merupakan perjanjian yang pada dasarnya adalah kesepakatan perjanjian dari antara kedua belah pihak. Dari rumusan Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai ada 2 (dua), yaitu pihak yang memberikan jaminan gadai, disebut pemberi gadai, sedangkan pihak lain yang menerima jaminan disebut penerima gadai (J.Satrio, 2002:89). Setelah kesepakatan itu dilaksanakan, antara kreditur dan debitur timbullah hak dan kewajiban dari kedua belah pihak tersebut. Didalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah diatur tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hak penerima gadai adalah ; a. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak, jika si berhutang atau pemberi gadai ingkar. Setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau atau jika tidak telah ditentukan suatu, menjual benda gadai (parate eksekusi) yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur tanpa memiliki eksekutorial titel. Penjualan harus dilakukan dimuka umum, menurut kebiasaan setempat serta atas syarat yang lazim berlaku (Pasal 1155 ayat 1 Kitab Undangundang Hukum Perdata); b. Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan dapat juga terjadi jika si berpiutang menuntut di muka hakim supaya barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan hakim untuk melunasi hutang beserta bunga dan biaya; c. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai Pemegang gadai dapat menuntut agar barang gadai akan tetap pada si pemegang gadai untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam vonis hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya (Pasal 1156 ayat 1 Kitab Undang-undang commit Hukum to Perdata); user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
d. Hak untuk mendapat ganti rugi. Pemegang gadai berhak mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna, yang telah dikeluarkan oleh kreditur guna keselamatan barang gadai (Pasal 1157 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); e. Semacam hak retensi, yaitu pemegang gadai berhak menahan benda jaminan sampai piutangnya dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga serta biaya-biaya (Pasal 1159 ayat 1 Kitab Undangundang Hukum Perdata); f. Hak didahulukan (rechtvan voorrang) Kreditur mempunyai hak didahulukan terhadap tagihan-tagihan lainnya baik terhadap hutang pokok, bunga dan biaya (Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata), hak mana diujudkan dalam hak kreditur menjual barang gadai sendiri ataupun melalui bantuan hakim (Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Terhadap hak didahulukan ini ada pengecualiannya, yaitu biaya lelang dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai (Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Sebaliknya pula penerima gadai dibebani kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh undang-undang sebagai berikut : (Abdul Kadir Muhammad, 2000: 174) : a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau kemerosotan nilai benda jaminan, karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); b. Penerima gadai harus memberitahukan kepada pemberi gadai (debitur) apabila ia hendak menjual benda jaminan untuk pelunasan piutangnya (Pasal 1156 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); c. Penerima gadai harus memberikan perhitungan mengenai pendapatan penjualan dan menyerahkan kelebihannya kepada debitur setelah dikurangi pelunasan hutang debitur (Pasal 1155 ayat 1 Kitab Undangundang Hukum Perdata); commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Penerima gadai wajib mengembalikan benda jaminan, apabila hutang pokok, bunganya dan biaya pemeliharaan benda jaminan telah dibayar lunas. Hak-hak den kewajiaban pemberi gadai atau debitur menurut H.Salim, 2004:48, adalah sebagai berikut : Hak pemberi gadai : a. Menerima uang gadai dari penerima gadai; b. Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga, dan biaya lainnya telah dilunasinya; c. Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kewajiban pemberi gadai : a. Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai; b. Membeyar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai; c. Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai
(Pasal 1157 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata). Ketika salah satu bahkan keduanya antara pemberi gadai dengan penerima gadai tidak menemui kesepakatan maka perjanjian tersebut tidak akan terjadi. Meskipun demikian dilakukan berlandaskan kesepakatan, tidak menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dalam pemenuhan kewajiban masingmasing pihak. Baik pihak debitur maupun kreditur juga memungkinkan melakukan wanprestasi. Sebelum mengenal wanprestasi terlebih dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Dalam suatu perjanjian, pihakpihak yang bertemu saling mengungkapkan janjinya masing-masing dan mereka sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain dalam Perikatan untuk melaksanakan sesuatu. Pelaksanaan sesuatu itu merupakan sebuah prestasi, yaitu yang dapat berupa: a. Menyerahkan suatu barang (penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual); commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
b. Berbuat sesuatu (karyawan melaksanakan pekerjaan dan perusahaan membayar upahnya); c. Tidak berbuat sesuatu (karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaan tempatnya sekarang bekerja). Wanprestasi sendiri adalah tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu karena kesalahan debitur maupun karena keadaan memaksa (Abdulkhadir Muhammad 2000:203) apabila debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau katakanlah prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanpestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Wanprestasi seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa : a. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuasi dengan janjinya; c. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi terlambat; d. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan (http://hukum.kompasiana.com/2011/05/27/wanprestasi/). Penguasaan benda gadai oleh pemegang gadai atau kreditur atau pihak ketiga merupakan syarat penting untuk lahirnya gadai. Apabila benda tidak dikuasai oleh kreditur maka gadai tersebut tidak sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 1152 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Apabila benda objek gadai keluar dari kekuasaan kreditur gadai akan hapus sesuai dengan Pasal 1152 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kecuali hilang atau dicuri dari tangan kreditur. Pada masa penguasaan benda gadai oleh kreditur menjadi kondisi yang riskan terjadinya masalah. Selama masa penguasaan benda gadai oleh kreditur sepenuhnya adalah tanggung jawab kreditur. Perawatannya juga menjadi tanggung jawab penuh dari kreditur. Jika terjadi kerusakan kreditur yang memiliki kewajiban dalam atas benda gadai tersebut. commit perbaikan to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagaimana termuat dalam Pasal 1152 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jika benda gadai keluar dari kekuasaan kreditur. Gadai tersebut secara otomatis akan hapus kecuali dalam hal hilang atau dicuri dari tangan kreditur. Hapusnya gadai menurut J. Satrio. 2000:132 antara lain : a.
Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Ini sesuai dengan sifat accessoir daripada gadai, sehingga nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya; Perikatan pokok hapus antara lain karena : 1) Pelunasan; 2) Kompensasi; 3) Novasi; 4) Penghapusan utang.
b. Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai. Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntut kembali dan kalau berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah terputus (Pasal 1152 ayat 31 Kitab Undang-undang Hukum Perdata); c.
Dengan hapusnya atau musnahnya benda jaminan;
d.
Dengan dilepasnya benda gadai secara sukarela;
e.
Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang gadai menjadi pemilik barang gadai tersebut;
f.
Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang gadai (Pasal 1159 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Sebenarnya undangundang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal ini. Hanya dalam Pasal 1159 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan, bahwa pemegang
gadai
mempunyai
hak
retensi,
kecuali
kalau
ia
menyalahgunakan benda gadai, dalam hal mana, secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi gadai berhak untuk menuntut kembali benda jaminan. Kalau benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang gadai, maka gadainya menjadi lepas. Jaminan adalah unsur yang penting dalam rangka pemberian kredit oleh kreditur kepada nasabahnya atau debitur yang memerlukan pinjaman. Adanya commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jaminan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberi modal atau kreditur bahwa uang yang dipinjam debitur, suatu saat akan dikembalikan sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa kasus debitur menganggap hal itu sengaja dilakukan oleh kreditur agar menghilangkan tanggung jawabnya atas benda gadai tersebut. Karena kreditur dilindungi oleh regulasi yang ada yaitu dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdat Berdasarkan penjelasan
tersebut mewujudkan gadai sebagai hak
kebendaan. Hak kebendaan disini bersifat menjamin. Hak dan kewajiban pemegang dan pemberi hak kebendaan (gadai) sebagai jaminan kredit adalah pemegang gadai mempunyai hak atas barang gadai serta memiliki hak kebendaan. Karena gadai merupakan hak kebendaan yaitu hak sepenuhnya atas benda tersebut. Perlu ditegaskan bahwa kreditur mempunyai kewajiban bertanggung jawab atas barang gadai, jika terjadi sesuatu (dicuri atau hilang) maka pemegang gadai wajib mengganti barang tersebut. Juga wajib memberitahukan kepada debitur (pemberi gadai) apabila mengadakan lelang terhadap benda jaminan pemberi gadai itu sendiri. Sebab pemberi gadai mempunyai beberapa hak yang harus dipenuhi oleh pemegang gadai yaitu berhak mendapatkan pelayanan yang lebih baik, berhak menuntut atas hilangnya barang gadai dan kemerosotan kualitas atau nilai barang juga berhak tahu apabila barang yang dijaminkan oleh pemberi gadaiakan dilelang. Serta atas hak tersebut pemberi gadai mempunyai kewajiban memenuhi segala bentuk isi dari perjanjian kredit. Adapun ciri-ciri dari hak kebendaan yang salah satunya adalah hak revindikasi antara lain : a. Hak mutlak, hak kebendaan dapat dikuasai oleh siapapun juga dan dapat dipertahankan dari siapapun juga yang bermaksud mengganggu hak kebendaan itu; b. Droit de suite, selalu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada dan revindivikasi; c. Droit de preference, memberikan kedudukan yang diutamakan; d. Objeknya benda; e. Dapat dialihkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
Terkait dengan masalah yang timbul dalam masa penguasaan benda gadai oleh kreditur mudah untuk diselesaikan sesuai dengan hukum positif di Indonesia yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sebagai gadai memililki sifat kebendaan yang mempunyai ciri mutlak sebagaimana disebutkan diatas. Jika terjadi masalah hak tersebut dapat dipertahankan dari gangguan siapapun baik itu pihak kreditur, debitur maupun pihak ketiga. Karena benda gadai tersebut mengikuti kemana dan siapapun yang memegang benda gadai tersebut. Juga memberikan kedudukan yang diutamakan. Kembali kedasar terjadinya gadai berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undangundang Hukum Perdata, gadai terjadi karena adanya penyerahan barang jaminan oleh pihak debitur kepada pihak kreditur sebagai jaminan hutang. Maka haknya terjadi peralihan kekuasaan benda bukan peralihan hak milik dari debitur kepada kreditur, dengan peralihan kekuasaan benda tersebut maka kreditur preferens dapat mengambil pelunasan hutang debitur dari hasil penjualan benda jaminan jika terjadi debitur wanprestasi. Kreditur sebagai pemegang hak kebendaan berhak untuk didahulukan pelunasannya dari pada kreditur-kreditur lain. Mengenai penguasaan benda gadai oleh kreditur dalam sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1152 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Apabila benda tidak dikuasai oleh kreditur maka gadai tersebut tidak sah. Dikuasai dalam hal ini bukan berarti dimiliki sementara oleh kreditur. Pemilik sah benda gadai tersebut tetap adalah debitur, hanya saja benda gadai dipegang sementara oleh kreditur sebagai jaminan atas utang. Sering kali hal ini disalahartikan dan disalah gunakan haknya tersebut. Sebelum benda gadai tersebut dinyatakan menjadi milik kreditur karena debitur tidak mampu membayar atau wanprestasi lainnya maka benda gadai tetaplah milik sah dari debitur. Meski penguasaannya sementara ditangan kreditur selama utang belum dilunasi. Telah dijabarkan diatas tentang penyelesaian kasus antara ke dua belah pihak antara kreditur dengan debitur, seyogianya diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat (negosiasi). Negosiasi tersebut membicarakan keinginan kedua belah pihak mengenai commit to user jalan yang ditempuh dalam
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyelesaian. Apabila perselisihan tersebut tidak dapat terselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat, maka barulah jalur hukum ditempuh. Kedua belah pihak dapat menyelesaikannya melalui jalur hukum sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/06/30/makalah-tentangobservasigadai-hukum-jaminan/). Dari uraian diatas, yang menyebutkan perjanjian hutang piutang yang dilakukan antara kreditur dan debitur yang menyebutkan bahwa perjanjian hutang piutang sering disertai dengan benda jaminan. Baik berupa jaminan perorangan, jaminan benda yang berupa jaminan benda bergerak maupun benda tidak bergerak, hal tersebut sama dengan pembagian lembaga jaminan menjadi gadai dan hipotik merupakan konsekuensi lebih lanjut daripada pembagian benda menurut B.W menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak atau tetap. Untuk masing-masing kelompok tersebut, undang-undang telah memberikan lembaga jaminannya sendirisendiri, yaitu untuk barang bergerak gadai, sedangkan untuk benda tetap hipotik. Dalam Pasal 1167 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan tegas dikatakan bahwa barang-barang bergerak tak dapat dihipotikkan (J.Satrio 1999:10). Dalam hal ini di khususkan pada jaminan gadai. Perjanjian hutang-piutang dengan jaminan benda bergerak, atau gadai oleh kreditur dapat berjalan baikbaik saja sesuai dengan apa yang di perjanjikan, hal tersebut seperti disebut diatas yaitu prestasi. Prestasi yang dilakukan antara lain adalah Menyerahkan suatu barang (penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan
uangnya
kepada
penjual),
Berbuat
sesuatu
(karyawan
melaksanakan pekerjaan dan perusahaan membayar upahnya), Tidak berbuat sesuatu (karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaan tempatnya sekarang bekerja). Namun apabila kreditor maupun debitor tidak melakukan prestasi, atau melakukan kewajibannya sebagai kreditur maupun debitor maka hal tersebut disebut wanprestasi, seperti disebut diatas, wanprestasi dapat berupa Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya, Melaksanakan apa yang dijanjikan commit totetapi user tidak sesuasi dengan janjinya,
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi terlambat Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 2. Pembahasan a. Bagaimana Ketentuan Debitur Dinyatakan Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan Debitur Dinyatakan Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai terjadi dengan memperjanjikannya, Lain halnya dengan hak istimewa (privilege) yang adanya otomatis, ditentukan oleh undang-undang. Hal itu berarti, bahwa persetujuan pemberian gadai agar sah harus memenuhi syaratsyarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Dalam Pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan, bahwa perjanjian gadai dapat dibuktikan dengan segala alat bukti yang diperbolehkan bagi persetujuan pokoknya. Karena persetujuan pokoknya biasa berupa perjanjian obligatoir yang mana pun tetapi umumnya berupa perjanjian hutang piutang dan prinsipnya perjanjian obligatoir bentuknya adalah bebas, bias lisan, baik otentik maupun di bawah tangan maka perjanjian gadai juga tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu (J. Satrio 2002:100). Sejak terjadinya perjanjian gadai antara pemberi gadai dan penerima gadai, maka sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban para pihak (Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kewajiban pemberi gadai adalah membayar pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan yang ditentukan oleh penerima gadai. Perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak, Dalam Surat Bukti Kredit (SBK) disebutkan dan ditentukan tanggal mulainya kredit dan tanggal jatuh temponya atau tanggal pengembalian kredit. Disebut pula bahwa apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak dilakukan pelunasan atau diperpanjang lagi kreditnya. Penentuan jangka waktu gadai diatur dengan keputusan Direksi Perum Pegadaian dan dijabarkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Direksi Perum Pegadaian. Di dalam Surat Edaran Nomor: SE. 16/0P.1.00211/2001 tentang petunjuk pelaksanaan SK direksi Nomor: 020/op.1.00211/01 tentang Perubahan Tarif Sewa Modal, telah diatur tentang jangka waktu gadai. Sebenarnya dalam SE itu tidak hanya mengatur tentang tarif sewa modal, commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetapi juga mengatur tentang jangka waktu kredit dan maksimum sewa modal. Tingkat sewa modal (H.Salim 2004:49). Disebutkan bahwa Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur antara lain sebagai berikut : 1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya; 3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja atau tidak dipenuhi kewajiban maupun karena lalai dan karena keadaan memaksa (overmacht), force majeur dapat karena keadaan manusia maupun dipengaruhi karena keadaan alam. Apabila sampai pada batas waktu yang telah ditentukan atau sampai tanggal jatuh tempo yang ditentukan sebagaimana tercantum dalam SBK debitur tidak menebus barang yang digadaikan atau melakukan pelunasan uang pinjaman dan sewa modalnya atau tidak memperpanjang waktu gadai maka debitur dinyatakan sesuai dengan Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa debitur dianggap lalai dengan lewatnya batas waktu yang ditentukan sebagaimana tercantum dalam SBK (Abdulkadir Muhammad. 2000:201). Perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak, seperti hal ini di Indonesia lembaga keuangan non bank adalah Perum Pegadaian yang melayani kredit dengan jaminan gadai. yang dilakukan oleh Perum Pegadaian, pastinya ada Surat Bukti Kredit (SBK) yang harus disetujui dan di tanda tangani oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Dalam Surat Bukti Kredit tersebut berisi mengenai kesepakatan yang harus di penuhi (prestasi) baik hak yang diterima maupun kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
Perjanjian kredit
dengan jaminan barang bergerak, dalam Surat Bukti Kredit berisikan beberapa commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesepakatan antara pihak yang melakukan perjanjian tersebut yaitu atas nama pegadaian dengan nasabah memuat perjanjian antara lain sebagai berikut : 1) Pegadaian memberikan kredit kepada nasabah atau yang dikuasakan dengan jaminan; 2) Nasabah dan atau yang dikuasakan menjamin bahwa barang yang dijaminkan merupakan milik yang sah dari nasabah yang dikuasai secara sah menurut hukum. Oleh nasabah dan karenanya, nasabah mempunyai wewenang yang sah untuk menjadikannya utang kepada pegadaian. Nasabah juga menjamin bahwa tidak ada orang dan atau pihak yang lain yang turut mempunyai hak atas jaminan tersebut, baik hak memiliki atau hak menguasai; 3) Nasabah menjamin bahwa barang digadaikan pada pegadaian tidak sedang menjadi jaminan sesuatu hutang, tidak dalam sitaan, tidak dalam sengketa dengan pihak lain atau tidak berasal dari barang yang diperoleh secara tidak sah melawan hukum; 4) Barang jaminan hilang atau rusak akan diganti sebesar 125% dari nilai taksiran, setelah dikurangi uang pinjaman dan sewa modal. Pegadaian tidak bertanggunmg jawab atas kerugian apabila terjadi force majeur, antara lain bencana alam, huru hara, dan perang; 5) Apabila terjadi perbedaan dalam taksiran dan menyebabkan nilai barang jaminan tidak dapat menutup uang pinjaman dan sewa modal, paling lama 14 hari sejak pemberitahuan. Nasabah atau yang diikuasakan berkewajiban menyerahkan tambahan barang jaminan yang nilainya minimal sama dengan nilai pinjaman ditambah sewa modal maksimum; 6) Nasabah atau yang dikuasakan berkewajiban untuk membayar uang pinjaman ditambah sewa modal, dengan jangka waktu kredit 120 hari; 7) Nasabah atau yang dikuasakan dapat mengalihkan haknya untuk menebus, menerima, atau mengulang gadai barang jaminan kepada orang lain dengan mengisi dan membubuhkan tanda tangan pada kolom yang tersedia; 8) Pelunasan
dapat
dilakukan
dengan
cara
melunasi
seluruhnya,
mengangsur, dan atau commit mengulang gadai, mulai sejak tanggal kredit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampai dengan 1 hari sebelum tanggal lelang. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak dilunasi (diangsur) atau diulang gadai, maka barang jaminan akan dilelang pada tanggal yang di tetapkan; 9) Hasil penjualan barang jaminan digunakan untuk menutup pinjaman ditambah sewa modal dan biaya lelang. Apabila terdapat uang kelebihan yang menjadi hak nasabah dengan jangka waktu pengambilan selama 1 tahun, uang kelebihan tidak diambil dalam jangka 12 bulan, sejak tanggal lelang selebihnya menjadi hak pegadaian; 10) Apabila penjualan lelang lebih rendah dari uang pinjaman tambah sewa modal ditambah biaya lelang, selisihnya tetap merupakan utang nasabah yang akan ditagih oleh pegadain dan harus dilunasi paling lambat 14 hari sejak tanggal pemberitahuan diterima. 11) Apabila terjadi permasalahan di kemudian hari akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. Jika ternyata perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka akan diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat. Uraian diatas baik debitur maupun kreditur tidak melaksanakan prestasinya maka debitur atau kreditur tersebut dapat disebut wanprestasi. Wanprestasi tersebut dapat dilakukan oleh debitur karena Tidak melakukan apa
yang
disanggupi
akan
dilakukannya,
Melaksanakan
apa
yang
dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya, Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat, Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Dari wanprestasi tersebut dapat diselesaiakan dengan musyawarah untuk mufakat maupun melalui Pengadilan Negeri Setempat atau menuntut hak-hak kreditur apabila debitur ingkar janji. Jelas adanya dari uraian dan penjelasan diatas, bahwa untuk menentukan debitur wanprestasi dalam perjanjian gadai tidak perlu adanya peringatan atau teguran atau sering disebut dengan somasi karena jangka waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan dalam Surat Bukti Kredit (SBK) dan apabila sampai tanggal jatuh tempo pemenuhan prestasi debitur tidak juga menebus barang yang digadaikan atau dijaminkan atau tidak melakukan pelunasan uang commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pinjaman atau tidak memperpanjang waktu gadainya maka debitur dapat dinyatakan wanprestasi. Sesuai dengan rumusan masalah yang pertama, yaitu bagaimana ketentuan debitur dinyatakan wanprestasi dalam perjanjian gadai menurut Kitab Udangundang Hukum Perdata ?. rumusan masalah tersebut dapat dijawab sebagai berikut, sesuai dengan ketentuan yang ada karena didalam perjanjian telah ditentukan suatu waktu tertentu sebagai tanggal pelaksanaan hak dan kewajiban (tanggal penyerahan barang dan tanggal pembayaran). Dengan lewatnya waktu tersebut tetapi hak dan kewajiban belum dilaksanakan, maka sudah dapat dikatakan terjadi wanprestasi. Waktu terjadinya wanprestasi dapat ditentukan ketika didalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus sudah dilaksanakan. Bentuk prestasi yang berupa “tidak berbuat sesuatu” mudah sekali ditentukan waktu terjadinya wanprestasi, yaitu pada saat debitur melaksanakan suatu perbuatan yang tidak diperbolehkan itu. Jika dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus dilaksanakan, maka kesulitan menentukan waktu terjadinya wanprestasi akan ditemukan dalam bentuk prestasi “menyerahkan barang” atau “melaksanan suatu perbuatan”. Di sini tidak jelas kapan suatu perbuatan itu harus dilakasanakan, atau suatu barang itu harus diserahkan. Untuk keadaan semacam ini, menurut hukum perdata, penentuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan dari debitur kepada kreditur yang biasanya dalam bentuk teguran (somasi). Dalam peringatan itu kreditur meminta kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya pada suatu waktu tertentu yang telah ditentukan oleh kreditur sendiri dalam surat peringatannya. Dengan lewatnya jangka waktu seperti yang dimaksud dalam surat peringatan, sementara debitur belum melakasanakan kewajibannya, maka pada saat itulah dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi. Debitur yang wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara
bila
sampai
diperkarakan
secara
hukum
(http://hukum.kompasiana.com/2011/05/27/wanprestasi/). commit to user
di
pengadilan
Mengenai
kapan
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
debitur wanprestasi, bergantung dari perikatannya, jika perikatannya memakai ketentuan waktu sebagai batas akhir (vervaltermijn), maka sejak saat lewatnya waktu yang dicantumkan debitur wanprestasi. Dalam hal ini tidak ditetapkan suatu tenggang waktu tertentu, maka tagihan pada asasnya bisa dibuat matang untuk ditagih dengan sommer debitur yang bersangkutan. Dalam prakteknya, sekalipun didalam perjanjian hutang-piutangnya disebutkan suatu waktu tertentu, masih juga ditambahkan klausula yang mengatakan, bahwa dengan lewatnya jangka waktu yang sudah ditetapkan, maka debitur sudah dianggap wanprestasi, tanpa diperlukan lagi adanya surat teguran atau peringatan atau sering disebut dengan somasi melalui eksploit juru-sita atau surat lain semacam itu. Hal itu berkaitan dengan asas hukum perikatan, yang mengatakan, bahwa suatu ketentuan waktu dalam suatu perikatan selalu ditafsirkan untuk keuntungan debitur, kecuali ditentukan secara tegas yang sebaliknya (Pasal 1270 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Menurut Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, wujud prestasi antara lain adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Apabila debitur dalam perjanjian gadai tersebut tidak melaksanakan prestasi menurut Pasal 1234 Kitab Undang-undang tersebut, maka dapat dikatakan wanprestasi. Wanprestasi dalam perjanjian gadai dapat dilihat dari wujud wanprestasi, antara lain debitur sama sekali tidak berprestasi, yaitu debitur sama sekali tidak melakukan kewajiban sebagai debitur. yang kedua adalah debitur keliru berprestasi yaitu debitur memenuhi prestasinya namun tidak sesuai dengan apa yang sudah ditentukan dengan kreditur, Dan yang terakhir adalah debitur salah berprestasi, yaitu debitur benar dalam berprestasi namun prestasinya tersebut terlambat dari waktu yang sudah diperjanjikan dengan kreditur. b. Bagaimana ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai menurut Kitab Udang-undang Hukum Perdata Gadai sebagai lembaga jaminan kebendaan yang memberikan kepada pemegangnya kedudukan yang didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya. Memiliki salah satu ciri yang juga merupakan hak yang utama bagi pemegang gadai (kreditur), yaitu kreditur commit to userdapat melakukan parate executie
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanpa ijin hakim atau title eksekutorial. Penjualan dimuka umum ini tidak boleh mengakibatkan kerugian bagi pihak pemberi gadai, dimana penjualan tersebut harus dilakukan menurut kebiasaan dan persyaratan yang berlaku. Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur bahwa apabila tidak diperjanjikan lain oleh para pihak, maka si berpiutang adalah berhak menjual barang yang menjadi objek gadai dimuka umum, dalam hal si berhutang atau pemberi gadai cidera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau atau setelah dilakukan peringatan (somasi) mengenai hal itu. Penjualan barang gadai dilakukan dimuka umum dan dilakukan menurut kebiasaan setempat serta berdasarkan syarat-syarat yang berlaku dimaksudkan agar didapat harga pasar dan sehingga kreditur dapat mengambil pelunasan piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan barang gadai tersebut. Dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hak parate executie ini merupakan hak yang diberikan demi undang-undang namun bersyarat, adapun syarat tersebut dalah sebagai berikut : 1) Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut merupakan ketentuan yang bersifat menambahkan (aanvullendrecht), karena apabila para pihak tidak menentukan lain maka barulah Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Berlaku; 2) Hak parate executie otomatis timbul saat pemberi gadai melakukan wanprestasi. Dengan kata lain hak untuk mengeksekusi otomatis menjadi terpenuhi saat debitur melakukan wanprestasi. Mengenai wanprestasi yang disyaratkan dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini dirumuskan sebagai berikut : a) Setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau; b) Setelah dilakukan peringatan (somasi) untuk membeyar, dalam hal tidak ditentukan mengenai tenggang waktu; c) Hak parate executie ini diberikanoleh undang-undang atau demi hukum atau tidak perlu diperjanjikan terlebih dahulu kepada kreditur pemegang gadai; commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Untuk penjualan tersebut tidak disyaratkan adanya title eksekutorial. Pemegang gadai dapat melakukan penjualan tanpa perantara pengadilan, tanpa perlu minta bantuan juru sita, tanpa perlu mendahuluinya dengan suatu sitaan. Pemegang gadai disini menjual atas
kekuasaan
sendiri
(J.Satrio,1993:19
,
teddy.
Anggoro
@ui.eduatauteddy.
[email protected]) Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 1156 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai eksekusi gadai. diantaranya memiliki perbedaan, didalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai eksekusi gadai, dan dalam Pasal 1156 ayat 1 mengenai penjualan dengan cara selain yang diatur dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Untuk menentukan penjualan objek gadai atau menentukan agar objek gadai tersebut dimiliki oleh kreditur pemegang gadai sebagai pelunasan, kreditur dapat meminta kepada pengadilan. Kamus umum Bahasa Indonesia lelang diartikan sebagai menjual atau penjualan dihadapan orang banyak (dengan tawaran beratas-atasan). Sedangkan dalam kamus hukum, lelang diartikan sebagai penjualan barangbarang dimuka umum dan diberikan pada penawar yang tertinggi. Dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain maka si berpiutang adalah berhak, jika si pemberi gadai ingkar janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau atau jika tidak telah ditentukan suatu penjualan benda gadai (parate eksekusi) yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur, tanpa memiliki eksekutorial titel. Melakukan lelang ini pemegang gadai harus terlebih dahulu memberikan peringatan (somasi) kepada pemberi gadai (debitur). Untuk menentukan saat terjadinya ingkar janji, undang-undang memberikan pemecahannya dengan lembaga “penetapan lalai” (ingebrekestelling). Penetapan lalai adalah pesan dari kreditur kepada debitur, dengan mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi. Apabila debitur tidak melakukan prestasinya secara sukarela yaitu membayar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
hutangnya, maka kreditur dapat melakukan lelang atau penjualan terhadap benda jaminan. Penjualan harus dilakukan di depan umum, menurut kebiasaan setempat serta atas syarat yang lazim berlaku (Pasal 1155 Kitab Undangundang Hukum Perdata ayat 1). Setelah penjualan dilakukan maka pemegang gadai memberikan pertanggung jawaban tentang hasil penjualan itu kepada pemberi gadai HR. 17 Januari 1929, W 1951; Nj 1929-622 (Mariam Darus Badrulzaman, 1997: 93). Seperti sudah dikatakan didepan, Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan pasal yang berisifat mengatur (aanvullend) dan para pihak diberikan kebebasan untuk memperjanjikan lain. Akan tetapi, memperjanjikan cara penjualan yang lain dari pada penjualan dimuka umum tidak diperkenankan. Pembuat undang-undang mempunyai kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya kerugian yang terlalu besar bagi debitur melalui persengkongkolan antara penjual dengan calon pembelinya. Namun, sebagaimana setelah debitur wanprestasi, maka para pihak dapat mengadakan persetujuan untuk menjual benda jaminan dibawah tangan. Didalam praktek kita sering kali melihat perjanjian gadai yang mengandung klausul penjualan, baik dimuka umum maupun dibawah tangan. Adanya perjanjian seperti itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kreditur secara secara semena-mena, tetapi mengingat, bahwa sering kali penjualan dibawah tangan memberikan hasil yang lebih baik dan ini menguntungkan kedua belah pihak. Biasanya dalam penjualan dibawah tangan, kreditir pemegang gadai minta persetujuan dari pemberi gadai. Disamping itu, untuk benda-benda gadai yang mempunyai nilai yang kecil saja, sungguh tidak praktis dan efisien untuk melaksanakan penjualan melalui juru lelang. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa hasil penjualan bisa lebih kecil dari biaya lelang (dengan semua persiapan pendahuluannya). Adanya janji untuk menjual dibwah tangan tidak perlu harus menjadikan klausula demikian batal demi hukum, tetapi palingpaling dapat dibatalkan, kita lihat dahulu, apakah ada dasar yang patut untuk mencantumkan klausul seperti itu. Kalau tidak ada tuntutan dari pemberi gadai, maka boleh dianggap perlindungan juga dibutuhkan. Dalam hal para pihak menyingkirkan hak kreditur Pasal 1155 Kitab Undangcommitberdasarkan to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
undang Hukum Perdata, maka dalam hal debitur wanprestasi pelaksanaan hakhak kreditur pemegang gadai dilakukan dengan melalui gugat perdata biasa, kecuali kreditur memegang akta notariil pengakuan hutang yang berbentuk grosse, artinya mengandung title eksekutoral (Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa), yang pelaksanaannya cukup dimintakan fiat eksekusi saja dari ketua Pengadilan (J.Satrio, 2002:122). Pengaturan mengenai gadai yang terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan kelebihan bagi seorang pemegang gadai. Kelebihan yang pertama adalah bahwa gadai memberikan hak pelunasan yang didahulukan (hak preferensi) bagi penerima gadai, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa, hak ini memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kreditur atau penerima gadai daripada kreditur konkuren yang dijamin dengan jaminan umum. Didalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa pemegang gadai adalah kreditur preferen. Dengan adanya lembega preferensi ini, maka kreditur pemegang gadai mempunyai kedudukan yang lebih baik untuk mendapatkan pemenuhan hak tagihannya. Konsekuensi dari hak preferen memberikan kemudahan bagi kreditur atau pemegang gadai dalam pemenuhan haknya, karena kreditur tidak perlu menunggu perhitungan pembagian secara pond’s pond’s terhadap harta kekayaan debitur, seperti para kreditur konkuren yang diatur dalam Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kelebihan lain bagi seorang pemegang gadai sebagaimana telah disampaikan sebelumnya dalah diberikan hak parate executie. Sebagaimana telah dijelasakan pada bagian sebelumnya mengenai eksekusi gadai, maka dapat disimpulkan bahwa eksekusi gadai dapat dilakukan dengan cara: 1) Parate executie Berdasarkan Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, kemudahan bagi kreditur pemegang gadai yang terdapat dalam lembaga parate executie ini, dalam pelaksanaannya terdapat syarat yang harus dilakukan, yaitu penjualan benda gadai tersebut harus dilakukan dimuka umum (lelang, menurutcommit kebiasaan setempat dan dengan syarat-syarat to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang lazim berlaku. Sedangkan menurut Pasal 1155 ayat 2, terhadap benda gadai yang terdiri dari barang dagangan atau dari efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan ditempat itu juga, asalkan dengan perantara dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu. Mengenai kewajiaban melakukan parate executie dimuka umum (melalui lelang), ditujukan agar benda gadai bias mendapatkan harga pasar, yaitu harga yang pantas sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat. Dengan dasar pemikiran demikian seperti ini maka sangatlah logis ketentuan Pasal 1155 ayat 2 yang mengatur bahwa terhadap barang-barang yang mempunyai nilai pasar dan efek-efek yang dapat diperdagangkan di bursa dapat dijual ditempat itu juga (secara tertutup atau private selling) asalkan dengan perantara 2 orag makelar yang ahli dibidang tersebut. 2) Ditentukan Hakim atau perantara pengadilan (Pasal 1156 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pelaksanaan eksekusi benda gadai terkadang tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak dalam perjanjian gadai. Adapun permasalahannya terletak pada, bahwa benda gadai tersebut tidak memiliki harga pasar dan tidak mendapatkan pembeli, atau tidak dapat diharapkan adanya pembeli yang akan membeli dengan harga yang pantas dalam lelang. Untuk peristiwa tersebut pembuat undang-undang sudah menyediakan jalan keluarnya, yaitu pengaturan dalam Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam Pasal 1156 ayai 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diberikan 2 sarana yang berbeda dan harus dibedakan, yaitu : a) Kreditur bisa menuntut dimuka hakim supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim (untuk melunasi hutang beserta bunga dan biaya). Dengan perkataan lain, kreditur meminta agar pengadilan menetapkan suatu cara penjualan benda gadai yang bersangkutan; commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Hakim atas tuntutan si berpiutang, dapat mengabulkan agar barangbarang gadainya akan tetap pada si berpiutang untuk suatu jumlah yang ditetapkan dalam suatu putusan hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya atau dengan perkataan lain, memohon agar kreditur, dengan perhitungan sejumlah uang yang ditetapkan oleh pengadilan,
boleh
memiliki
benda
gadai
(
[email protected]@gmail,com). Berdasarkan ketentuan Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut berarti membuka kemungkinan bagi kreditur melalui pengadilan atau izin hakim, memiliki benda gadai yang telah dikuasainya dengan harga yang ditentukan oleh hakim atau melalui penjualan dibawah tangan atau private selling (sebagai lawan dari penjualan dimuka umum). Pelaksanaan lelang benda jaminan yang disebabkan karena debitur atau nasabah ingkar janji (wanprestasi). Sebelum lelang dilaksanakan, oleh kreditur memberikan adanya peringatan (somasi). Ingkar janji didahului oleh suatu penetapan lalai (ingebrekestelling). Lelang dilaksanakan terbuka untuk umum, Dalam hal adanya uang kelebihan lelang maka harus dikembalikan kepada debitur setelah dikurangi uang pinjaman dan sewa modal. debitur sebagai orang yang menguasai benda pada waktu melakukan perjanjian gadai, maka kreditur menganggap bahwa debiturlah orang yang berhak atas benda itu. Sehingga uang kelebihan lelang harus dikembalikan pada debitur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari pembahasan bab-bab sebelumnya serta hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Mengenai ketentuan debitur dinyatakan wanprestasi dalam perjanjian gadai menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai berikut : a. Sesuai dengan pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa debitur dianggap lalai dengan lewatnya batas waktu yang ditentukan sebagaimana tercantum dalam Surat Bukti Kredit (SBK). Surat bukti kredit (SBK) merupakan bentuk otentik yang bersifat tertulis yang dibuat antara kreditur dan debitur yang memuat mengenai perjanjian pokok, Pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan “Perjanjian gadai harus dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian pokoknya”. Dengan adanya perjanjian pokok yang berupa Surat Bukti Kredit (SBK) sebagaimana telah disetujui oleh kedua belah pihak maka lebih mudah untuk menentukan apabila debitur melakukan wanprestasi. Demikian untuk menentukan seseorang dalam keadaan wanprestasi dalam perjanjian gadai perlu adanya peringatan atau teguran yang sering disebut dengan somasi, Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling. Setelah dilakukan somasi baik dalam bentuk pemberitahuan atau peringatan lesan maupun tertulis, namun debitur tetap belum melakukan prestasinya sesuai dengan jangka waktu yang telah diberitahukan dalam somasi tersebut, maka debitur dapat dikatakan wanprestasi. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang commit to user
72
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyebutkan bahwa wanprestasi salah satunya dikarenakan tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Surat Bukti Kredit (SBK) yang di terbitkan oleh lembaga pegadaian yaitu pegadaian pada poin 6 disebutkan bahwa nasabah atau yang dikuasakan berkewajiban untuk membayar uang pinjaman ditambah sewa modal sebesar tarif sebagaimana yang tercantum di halaman depan dengan jangka waktu kredit 120 hari. Dalam ketentuan Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, kreditur diberikan hak untuk menyuruh jual benda gadai manakala debitur cidera janji atau wanprestasi. Dalam hal yang demikian, maka sebelum kreditur menyuruh jual benda yang digadaikan, maka ia harus memberitahukan terlebih dahulu mengenai maksudnya tersebut kepada debitur atau pemberi gadai. Pemberitahuan tersebut akan berlaku sah manakala dalam perjanian pokok dan perjanian gadainya telah ditentukan suatu jangka waktu, dan jangka waktu tersebut telah lampau sedangkan debitur sendiri telah tidak memenuhi kewajibannya tersebut (Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja 2007:197). dengan pengertian tersebut dapat
disimpulkan
bahawa
apabila
debitur
tidak
memenuhi
kewajibannya sesuai yang tertulis pada surat bukti kredit poin 6 tersebut yaitu membayar uang pinjaman ditambah sewa modal sesuai tarif sebagaimana disebutkan jangka waktu kredit 120 hari dan debitur tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan kewajiban tersebut setelah adanya pemberitahuan atau somasi dari kreditur, maka debitur sesuai dengan ketentuan wanprestasi Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang salah satunya menyebutkan bahwa Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, Di sini debitur berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; 2. Mengenai ketentuan penyelesaian wanprestasi pada perjanjian gadai menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dilakukan dengan ketentuan yang telah ditentukan, antara lain : a. Seperti dalam Surat Bukti Kredit telah disebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan commit dikemuidian to userhari akan diselesaikan secara
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
musyawarah untuk mufakat dan apabila tidak tercapai kesepakatan akan diselesaiakan melalui Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan dimana nasabah melakukan perjanjian gadai tersebut atau tanpa adanya campur tangan hakim atau sering disebut dengan eksekusi langsung (parate eksekusi) yaitu dengan melelang barang-barang gadai di depan umum. Dalam melaksanakan lelang atas barang-barang jaminan terlebih dahulu diberitahukan atau diumumkan kepada para peminjam bahwa barang jaminan akan dilelang pada tanggal yang telah ditentukan oleh kreditur. Dalam menawarkan barang lelang dipakai cara penawaran tertinggi, selanjutnya apabila tidak ada penawar yang lebih tinggi maka penawar yang tertinggi pada saat itulah yang berhak membayar atau membeli barang lelang tersebut dan biaya lelang akan ditanggung oleh pihak pembeli barang lelang. Dalam hal ini kreditur masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kelebihan hasil lelang atau menyerahkan uang sisa dari lelang tersebut yang merupakan hak dari debitur. Sehingga apabila kita melihat dari sitematika dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat ditarik kesimpulan bahwa hak parate executie merupakan hak yang deberikan demi undang-undang namun bersyarat, adapun syaratsyarat tersebut adalah sebagai berikut : 1) Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut merupakan
ketentuan
yang
bersifat
menambahkan
(aanvullendrecht), karena apabila para pihak tidak menentukan lain maka barulah ketentuan Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku; 2) Hak parate executie otomatis timbul saat pemberi gadai melakukan wanprestasi. Dengan kata lain hak untuk mengeksekusi otomatis menjadi terpenuhi saat debitur melakukan wanprestasi. Mengenai wanprestasi yang disaratkan dalam Pasal 1155 Kitab Undangundang Hukum Perdata ini dirumuskan sebagai berikut (J. Satrio, 1993;5) ; commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau. Hal ini merujuk pada anak kalimat “ setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan”, yang tertuju pada perjanjian dengan batas akhir (verval termijn); b) Setelah dilakukan peringatan (somasi) untuk membayar, dalam hal tidak ditentukan mengenai tenggang waktu. Hal ini merujuk pada anaki kalimat ; “atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janji dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti”; c) Tidak berprestasi sebagaimana mestinya d) Hak Parate executie ini diberikan oleh undang-undang atau demi hukum tidak perlu diperjanjikan terlebih dahulu kepada kreditur pemegang gadai (J. Satrio, 1993;19); e) Untuk penjualan tersebut tidak diisyaratkan adanya title eksekutorial. Pemegang gadai dapat melakukan penjualan tanpa perantara pengadilan, tanpa perlu minta bantuan juru sita, tanpa perlu mendahuluinya dengan suatu sitaan. Pemegang gadai disini menjual atas kekuasaan sendiri. b. Selain pengaturan dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengenai eksekusi gadai juga diatur dalam Pasal 1156 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu menjual benda gadai dengan cara yang ditentukan hakim atau perantara pengadilan. Didalam pasal 1156 ayat 1 tersebut diatur mengenai penjualan dengan cara lain selain apa yang diatur dalam Pasal 1155 Kitab Undangundang Hukum Perdata yaitu penjualan dimuka umum melalui lelang. Jadi dalam hal kreditur atau pemegang gadai tidak mau atau tidak dapat atau tidak boleh menggunakan
atau melaksanakan parate
execitie, kreditur dapat selalu meminta kepada pengadilan untuk 2 hal yaitu, menentukan cara penjualan objek gadai atau menentukan agar objek gadai tersebut dimiliki oleh kreditur pemegang gadai sebagai pelunasan sebagian atau seluruh piutangnya. commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan demikian penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai seharusnya menurut ketentuan Pasal 1238 dan Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata seharusnya dilakukan dengan adanya peringatan atau somasi kepada debitur untuk memenuhi prestasi atau melunasi hutangnya karena tenggang waktu pelaksanaan prestasi sudah ditentukan dalam Surat Bukti Kredit (SBK), serta berhak melelang barang-barang jaminan atau barang gadai yang sudah jatuh tempo tidak ditebus dan lelang dilakukan tanpa campur tangan hakim (eksekusi langsung). Selain itu dalam undang-undang yang telah mengatur hal tersebut sudahlah baik, tercermin pada Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai hak eksekusinya, dan Pasal 1156 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai cara eksekusi.
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. SARAN
Terhadap kesimpulan diatas, penulis memiliki saran untuk ketentuan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian gadai baik untuk pihak debitur maupun pihak kreditur atas hambatan-hambatan yang ada sebagai jalan keluar atau untuk memberikan masukan bagi kedua belah pihak maka penulis sampaikan saransaran sebagai berikut : 1. Perlu adanya kebijaksanaan pemerintah khususnya bagi Perum Pegadaian yang merupakan lembaga pemerintah yang melayani penyaluran kredit dengan jaminan gadai terhadap masyarakat dan betapa pentingnya Perum Pegadaian yang menyediakan jasa gadai bagi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah pada khususnya agar mereka tidak terjerat rentenir atau para pegadai gelap, maka ketentuan yang sekiranya membuat sulit masyarakat untuk memperoleh dana kredit maupun upaya penyelesaian apabila ada permasalahan tidak dipersulit; 2. Gadai dalam perkembangannya sekarang sangat baik, terbukti bahwa lembaga gadai yang ada sekarang adalah perum pegadaian sangat diminati oleh masyarakat dalam mencari kredit. Perum pegadaian diminati masyarakat khususnya masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah atas berbagai faktor. Oleh karena itu, saya berharap dalam pengaturannya, pemerintah membuat suatu peraturan perundang-undangan nasional sendiri, bukan menggunakan peraturan yang lama lagi. Karena masalah yang timbul dari adanya perjanjian gadai semakin lama akan semakin berkembang, sehingga harus ada peraturan nasional yang baru untuk menghadapi permasalahan yang akan ada dimasa mendatang.
commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Dari Buku Abdulkadir Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mariam Darus Badrulzaman. 1997. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni Mariam Darus Badrulzaman. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Mashudi dan Moch. Chidir Ali (Alm). 2001. Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata. Bandung : Mandar Maju. Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja. 2007. Seri Harta Kekayaan Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta Kencana Prenada Media Group. Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Salim. H. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Satrio. J. 1993. Parate Eksekusi Sebagai Sarana Menghadapi Kredit Macet. Bandung: Citra Aditya Satrio. J. 1996. Hukum Jaminan: Hak-hak Jaminan Kebendaan, Cet. 3. Bandung: Citra Aditya Bakti. Satrio. J. 1999. Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni commit to user
79
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Satrio. J. 2002. Hukum Jamian, Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Subekti. R. 1989. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Yahya Harahap. M. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni Dari Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dari Makalah Teddy Anggoro. “ Kata Menuntut Atau Vorderen Dalam Pasal 1156 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah Suatu Upaya Hukum Permohonan (Suatu Pemahaman Dasar dan Mendalam)”. Dari Internet http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/06/30/makalah-tentangobservasigadai-hukum-jaminan/.(4 Nopember 2011 Pada Pukul 20.00 WIB). http://repository.usu.ac.id, (15 Juni 2011 Pada Pukul 10.00 WIB). http://www.scribd.com/doc/23372530/SEJARAH-PEGADAIAN.(1Desember 2011 Pada Pukul 20.30 WIB). http;//wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/pembatalan-dan-pelaksanaansuatu-perjanjian//. (20 September 2011 Pada Pukul 21.00 WIB). http://hukum.kompasiana.com/2011/05/27/wanprestasi/.(3Nopember2011 Pada Pukul 23.00 WIB) commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/18/hukum-jaminan-pengertian-danmacam-macam-jaminan/.(4 Nopember 2011 Pada Pukul 20.00 WIB).
commit to user