BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ciri-ciri yang melekat dengan pengertian pajak adalah yang pertama, pajak dipungut
berdasarkan/
dengan
kekuatann
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya. Kedua,dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. Ketiga, pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Keempat, pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk pembiayaan public investment. Kelima, pajak dapat pula mempunyai tujuan lain yang non budgetair, yaitu mengatur. Keenam pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang. Dan yang ketujuh iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanya negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang). Menurut Rochmat Sumitro (1988) pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapat
8
9
jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dapat di paksakan mempunyai arti, apabila utang pajak tidak di bayar, utang tersebut di tagih dengan kekerasan, seperti surat paksa, sita, lelang dan sandera. Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa pajak memiliki beberapa unsur, seperti iuran dari rakyat kepada negara, artinya adalah yang berhak memungut pajak hanyalah negara dan iuran yang dibayarkan berupa uang. Unsur yang lainnya adalah pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaan. Pajak juga tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Serta pajak juga digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yang berupa pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Menurut Mardiasmo (2009), pajak dibagi menjadi dua, yang terdiri dari Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: pajak penghasilan. Sedangkan Pajak Tidak langsung adalah pajak yang pembebannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa. Biasanya ini berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibebankan kepada konsumen. Lembaga
pemungutan
pajak
dikelompokkan menjadi Pajak Pusat dan
menurut
Mardiasmo
(2009),
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah
10
adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri dari pajak propinsi pajak kabupaten/kota. Menurut Waluyo dan Ilyas (2007) jenis pajak digolongkan menjadi tiga macam yaitu menurut sifatnya, menurut sasarannya, dan yang terakhir menurut lembaga pemungutan. Menurut sifatnya, terdiri dari pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung disini maksudnya adalah pajak
yang
pembebanannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan pada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu. Sedangkan untuk pajak tidak langsung disini artinya adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke orang lain dan hanya dikenakan pada halhal atau peristiwa tertentu saja. Menurut sasarannya pajak dibagi menjadi dua, yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjek). Setelah diketahui keadaan subjeknya, barulah diperhatikan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Pajak objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan atau melihat objek baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai
11
hubungan hukum dengan objek yang diketahui. Menurut lembaga pemungutan, pajak dibagi menjadi dua yaitu pajak pusat atau negara dan pajak daerah. Pajak pusat (negara) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaannya didukung oleh Departemen Keuangan khususnya Dirjen Pajak. Sedangkan pajak daerah disini maksudnya adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaanya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Hasil dari pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2.1.2 Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut: Pertama, Subjek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kedua, Subjek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan
12
pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak. Ketiga, Subjek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: a) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; b) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Keempat, Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak sendiri terdiri dari dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri terdiri dari subjek pajak orang pribadi, subjek pajak badan, dan subjek pajak warisan. Subjek pajak orang pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Subjek pajak badan adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
13
memenuhi kriteria: (1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah; (4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawas fungsional Negara. Subjek pajak warisan adalah warisan yang belum dibagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak. Sedangkan subjek pajak luar negeri terdiri dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Dan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2.1.3 Fungsi Pajak Dalam Resmi (2009) terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend. Dalam fungsi budgetair, pajak berfungsi sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran untuk
14
pembangunan. Upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pemasukan dana ke kas Negara melaui cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak dengan penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak. Sedangkan fungsi regulerend adalah pajak berfungsi sebagai alat untuk memberikan kepastian hukum terutama dalam menyusun undang-undang dan perlu diusahakan agar ketentuan yang dirumuskan jangan sampai dapat menimbulkan interprestasi yang berbeda antara fiskus dan wajib pajak.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Resmi (2009) dalam memungut pajak dikenal tiga system pemungutan, yang pertama adalah Official Assessment System yang merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan). Ciri-ciri dari Official Assessment System antara lain wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus, wajib pajak bersifat pasif, dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. Yang kedua adalah Self Assessment System yang merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak dalam menentukan
15
sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditangan wajib pajak. Wajib pajak sendiri diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri pajak yang terutang, memperhitungkan sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri pajak yang terutang, melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang, dan mempertanggungjawabkan pajak yang terutang. Ciri-ciri dari Self Assessment System antara lain wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak itu sendiri, wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, dan fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. Dan yang ketiga adalah With Holding System yang merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri dari With Holding System yaitu wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang adalah pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
2.1.5 Kemauan Membayar Pajak Kemauan membayar pajak dapat diartikan sebagai suatu nilai yang rela dikontribusikan oleh seseorang (yang ditetapkan dengan peraturan) yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara dengan tidak mendapat
16
jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung. Kemauan wajib pajak membayar pajak merupakan perilaku wajib pajak terhadap pajak tersebut. Pandangan atau perasaan disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan ketentuan pajak tersebut. Perilaku tersebut tidak hanya berkaitan dengan respon atau reaksi terhadap stimulus (rangsangan) secara fisiologis, tapi juga melibatkan pengetahuan, keyakinan, dan penalaran. Dalam Konsep kemauan membayar pajak menurut Handayani, dkk (2012) dikembangkan pula melalui dua subkonsep yaitu, konsep kemauan membayar dan konsep pajak. Kemauan membayar merupakan suatu nilai dimana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau jasa . Sedangkan yang kedua adalah konsep pajak, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Dari penjabaran dari dua subkonsep di atas, maka dapat dikembangkan suatu definisi untuk kemauan membayar pajak. Kemauan membayar pajak dapat diartikan sebagai suatu nilai atau tindakan moral untuk secara sukarela yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan mengeluarkan uang (yang sesuai dengan peraturan yang berlaku) dimana uang tersebut akan dipergunakan untuk keperluan umum negara dengan tidak mendapatkan suatu timbal balik secara langsung dari negara. Hal serupa diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk (2012) kemauan membayar pajak dapat diartikan sebagai suatu nilai yang rela dikontribusikan oleh seseorang (yang ditetapkan dengan peraturan) yang
17
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa sikap moral dalam bentuk keinginan atau kemauan untuk membayar pajak sangat diperlukan dengan mengingat bahwa pajak merupakan suatu kewajiban yang mutlak kepada warga negara, maka hal tersebut perlu bagi pihak pemerintah untuk turut serta dalam meningkatkan rasa kecintaan bernegara sejak dini. Kemauan membayar pajak sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, dan tarif pajak (Hardiningsih, 2011). Untuk mencapai target pajak, perlu ditumbuhkan terus-menerus kemauan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kemauan wajib pajak untuk membayar pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak, maka secara intensif perlu dikaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan wajib pajak.
2.1.6 Pengetahuan tentang Peraturan Perpajakan Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu yang dapat berwujud barang-barang baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik yang
18
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2009). Jadi kesimpulannya pengetahuan perpajakan adalah kemampuan seorang wajib pajak dalam mengetahui peraturan perpajakan baik itu soal tarif pajak berdasarkan undang-undang yang akan mereka bayar maupun manfaat pajak yang akan berguna bagi kehidupan mereka. Pengetahuan peraturan perpajakan dalam sistem perpajakan yang baru, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dengan adanya sistem ini diharapkan para wajib pajak tahu akan fungsi pembayaran pajak. Dan diharapkan dengan diterapkannya sistem ini dapat mewujudkan keadilan. Yang dimaksud adil disini wajib pajak menghitung dengan sesuai ketentuan perpajakan dan tahu bahwa pemerintah menggunakan semua pajak yang didapat sesuai kebutuhan guna untuk membangun negara.
2.1.7 Modernisasi atas Sistem Perpajakan Modernisasi pajak melalui pelayanan perpajakan berbasis teknologi informasi merupakan sebuah solusi yang tepat yang tidak hanya dapat memberikan pelayanan yang cepat, berkualitas, dan terpercaya, melainkan juga mendukung terciptanya penyederhanaan sistem perpajakan dan membantu terwujudnya good governance. Menurut Rahayu (2010), modernisasi administrasi perpajakan pada dasarnya dilakukan dengan yang pertama, Restruktur Organisasi untuk melaksanakan perubahan secara lebih efektif dan efisien sekaligus
19
mencapai tujuan organisasi yang diinginkan,penyesuaian struktur organisasi DJP merupakan suatu langkah yang harus dilakukan dan sifatnya cukup strategis. Implementasi konsep administrasi perpajakan modern yang berorientasi pada pelayanan dan pengawasan adalah struktur organisasi DJP perlu diubah,baik dilevel kantor pusat sebagai pembuat kebijakan maupun dilevel kantor operasional sebagai pelaksana implementasi kebijakan. Yang kedua adalah penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi. Kunci perbaikan birokrasi yang berbelit-belit adalah perbaikan business process,yang mencakup metode,system dan prosedur kerja. Untuk itu,perbaikan business process merupakan pilar penting program modernisasi DJP,yang diarahkan pada penerapan full automation dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi,terutama untuk pekerjaan yang sifatnya klerikal. Langkah awal perbaikan business process adalah penulisan dan dokumentasi yaitu melalui : a) Standard Operating Procedures (SOP) untuk setiap kegiatan di seluruh unit DJP. Sampai dengan akhir tahun 2007,sekitar 1900 SOP di lingkungan DJP telah berhasil diidentifikasikan,ditulis,dan dijadikan acuan pelaksanaan tugas dan pekerjaan bagi para pegawai; b) Perbaikan business process dilakukan antara lain dengan penerapan e-system dengan dibukanya fasilitas e-Filling (pengiriman SPT secara online melalui internet), e-SPT (penyerahan SPT dalam media digital), e-Billing (fasilitas pembayaran online), dan e-Registration (pendaftaran NPWP secara online melalui internet); c) Untuk sistem administrasi internal saat ini terus dilakukan pengembangan dan
20
penyempurnaan Sistem Informasi DJP (SIDJP) Yang ketiga ialah Penyempurnaan Sumber Daya Manusia. Departemen Keuangan secara keseluruhan telah meluncurkan program Reformasi Birokrasi sejak akhir tahun 2006. Fokus program reformasi ini adalah perbaikan sistem dan manajemen SDM,dan direncanakan perubahan yang dilakukan sifatnya lebih menyeluruh. Diharapkan dengan sistem administrasi perpajakan modern akan dapat didukung oleh sistem SDM yang berbasis kompetensi dan kinerja. Dan yang keempat, Pelaksanaan Good Governance. Pelaksanaan good governance seringkali dihubungkan dengan integritas pegawai dan institusi. Dalam prakteknya,biasanya good governance berkaitan dengan mekanisme pengawasan internal (internal control) yang bertujuan untuk meminimalkan terjadinya penyimpangan ataupun penyelewengan dalam organisasi,baik itu dilakukan oleh pegawai maupun pihak lainnya,baik disengaja maupun tidak. Kemudahan dan Kenyamanan adalah hal yang ditawarkan oleh sistem modernisasi perpajakan ini dalam bentuk pelayanan prima yang dijanjikan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) . Hal tersebut bertujuan untuk mengontradiksikan adanya pandangan miring masyarakat terhadap pajak selama ini. Untuk itu pelayanan dilakukan melalui sistem satu pintu (one stop service). Jika wajib pajak memerlukan layanan lanjutan yang lebih bersifat teknis, ada Account Representative yang memang secara khusus ditunjuk untuk melayani setiap Wajib Pajak. Pelayanan ini lebih bersifat personal dengan mencoba membantu menyelesaikan masalah hingga selesai. Wajib Pajak hanya harus memenuhi segala data yang diminta. Dan bila data telah lengkap, wajib pajak
21
hanya perlu menunggu dirumah untuk menunggu hasilnya. Penerapan sistem administrasi perpajakan modern ini merupakan indikasi positif dari pihak pemerintah untuk menciptakan pengelolaan pajak secara efektif dan efisien. Keunggulan dari penerapan sistem ini antara lain: a) Adanya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara fungsi pelayanan, fungsi pengawasan, pemeriksaan, keberatan, dan pembinaan; b) Fungsi pelayanan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak lebih efektif karena dilakukan melalui mediator khusus yaitu Account Representative; c) Proses pelaksanaan pekerjaan baik untuk pelayanan, pengawasan, maupun pemeriksaan menjadi lebih efisien dan menggurangi birokrasi sehingga cost of compliance relatif lebih rendah. Dengan adanya Account Representative, penanganan atas berbagai aspek perpajakan akan menjadi lebih cepat dan dapat dimonitor; d) Manajemen
pemeriksaan lebih
efisien dan efektif karena berada dalam satu unit atau Sumber Daya Manusia dispesialisasikan pada sektor tertentu. Karena fungsi pemeriksaan dan fungsi lainnya berada dalam satu unit, maka koordinasi diantara fungsi tersebut menjadi lebih baik, dan karena fungsi pemeriksaan difokuskan pada sektor usaha tertentu, maka hasil pemeriksaan akan lebih efektif dengan treatment perpajakan yang seragam. Account Representative adalah salah satu hal yang menandai reformasi perpajakan Indonesia. Account Representative adalah pegawai yang diangkat pada setiap Seksi Pengawasan dan Konsultasi di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan Organisasi Modern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kepatuhan perpajakan wajib pajak, memberikan bimbingan/ himbauan
22
dan konsultasi teknik perpajakan kepada wajib pajak, menyusun profil wajib pajak; melakukan analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi; dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku. Seorang Account Representative terlatih untuk memberikan respons yang efektif
atas pertanyaan dan permasalahan yang
diajukan Wajib Pajak sesegera mungkin.
2.1.8 Tingkat Kepercayaan Terhadap Sistem Pemerintahan dan Hukum Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil keputusan , ia akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang-orang yang lebih dapat ia percaya. Pada penelitian dalam Handayani dkk. (2012) yang dilakukan di Rusia sebelum, selama dan sesudah masa transisi perubahan sistem pemerintahan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemauan wajib pajak untuk membayar pajak karena kebanggaan nasional dan kepercayaan kepada sistem pemerintahan yang tinggi dari pemanfaatan pajak tersebut. Sedangkan dalam penelitian dalam Handayani dkk. (2012) yang dilakukan di Swedia menjelaskan bahwa ketidakpercayaan wajib pajak terhadap politisi terkemuka akan berpengaruh pada kemuan membayar pajak memburuk dan kemungkinan mengumpulkan pajak untuk menjaga kesejahteraan negara dikurangi.
23
2.1.9 Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Wajib Pajak Menurut Boediono (2003) pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan. Pelayanan adalah cara melayani (membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang). Sementara fiskus itu adalah petugas pajak. Sehingga pelayanan fiskus dapat diartikan sebagai cara petugas pajak dalam membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang (dalam hal ini adalah wajib pajak). Secara sederhana definisi kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dann lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Sedangkan pelayanan mengandung pengertian pemberian fasilitas berupa informasi, motivasi dan sarana dengan tujuan agar pihak yang dilayani merasa aman, nyaman, puas, dan dihargai (Atiqah dan Fitria, 2010) dalam Setyawati (2013). Pelayanan perpajakan dibentuk oleh dimensi kualitas sumber daya manusia (SDM), ketentuan perpajakan, dan sistem informasi perpajakan. Standar kualitas pelayanan prima kepada wajib pajak akan terpenuhi bilamana SDM melakukan tugasnya secara profesional, disiplin, dan transparan. Dalam kondisi wajib pajak merasa puas atas pelayanan yang diberikan kepadanya, maka mereka cenderung akan melaksanakan kewajiban membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Hardiningsih, 2011).
24
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Pratomo (2015) yang berjudul, “Pengaruh Kesadaran, Pengetahuan, Persepsi, Tingkat Kepercayaan Terhadap Kemauan Membayar Pajak: Studi Kasus Pada Wajib Pajak Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Semarang Timur” dengan alat analisis berupa Regresi Berganda menyatakan bahwa Pengetahuan dan Pemahaman Tentang Peraturan Perpajakan dan Tingkat Kepercayaan Terhadap Sistem Pemerintahan dan Hukum berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kemauan Membayar Pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Hardiningsih (2011) dengan judul, “FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak” dengan alat analisis berupa Regresi Linier Berganda dan dilakukan di Kecamatan Tahunan dan Kecamatan Jepara menyatakan bahwa Kualitas Layanan signifikan berpengaruh positif terhadap Kemauan Membayar Pajak. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak telah mendapatkan pelayanan yang memadai sehingga meningkatkan Kemauan Membayar Pajak. Violita (2015) melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kemauan Membayar Pajak WPOP di Lingkungan Universitas Negeri Surabaya” dengan alat analisis berupa Regresi Linier Berganda menyatakan bahwa Pengetahuan dan Pemahaman Wajib Pajak Akan Peraturan Perpajakan, Kualitas Layanan, dan Modernisasi Perpajakan berpengaruh terhadap variable Kemauan Membayar Pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2014) dengan judul “FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak WPOP yang Melakukan
25
Pekerjaan Bebas” dengan alat analisis Regresi Berganda dan dilakukan di KPP Pratama Wonocolo Surabaya menyatakan bahwa Pengetahuan dan Pemahaman Tentang
Peraturan
Perpajakan,
Tingkat
Kepercayaan
Terhadap
Sistem
Pemerintahan dan Hukum, serta Kualitas Pelayanan berpengaruh signifikan dan positif terhadap Kemauan Membayar Pajak.
2.3 Rerangka Pemikiran Self Assesment System
Pengetahuan tentang peraturan perpajakan
Kualitas pelayanan terhadap wajib pajak
Modernisasi atas sistem perpajakan
Tingkat kepercayaan terhadap sistem pemerintahan dan hukum
Kemauan Wajib Pajak
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
26
2.4 Perumusan Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. 2.4.1
Pengaruh Pengetahuan tentang Peraturan Perpajakan terhadap
Kemauan Membayar Pajak Pengetahuan pajak adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seorang wajib pajak atau kelompok wajib pajak dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pengetahuan akan peraturan perpajakan masyarakat melalui pendidikan formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Sedangkan menurut Carolina dan Simanjuntak (2010), pengetahuan pajak adalah informasi pajak yang dapat digunakan wajib pajak sebagai dasar untuk bertindak, mengambil keputusan, dan untuk menempuh arah atau strategi tertentu sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyawati (2013) menunjukkan bahwa pengetahuan tentang peraturan perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemauan membayar pajak yang artinya semakin tinggi pengetahuan tentang peraturan perpajakan maka kemauan membayar pajak semakin tinggi. H1 : Pengetahuan tentang Peraturan Perpajakan Berpengaruh Positif terhadap Kemauan Membayar Pajak
27
2.4.2 Pengaruh Modernisasi atas Sistem Perpajakan terhadap Kemauan Membayar Pajak Pada tahun 2002 Direktorat Jenderal pajak meluncurkan program modernisasi perpajakan atau yang dimaksud dengan reformasi terhadap administrasi perpajakan. Penerapan program administrasi ini dilakukan dengan mengoptimalisasi sistem administrasi dengan pemanfaatan teknologi yang handal dan terkini. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Violita (2015) menunjukkan bahwa modernisasi atas sistem perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemauan membayar pajak. Dengan adanya modernisasi atas sistem perpajakan maka kemauan membayar pajak juga meningkat karena dengan sistem baru yang lebih efektif dan efisien sehingga wajib pajak dapat menghemat tenaga, waktu dan biaya. H2 : Modernisasi atas Sistem Perpajakan Berpengaruh Positif terhadap Kemauan Membayar Pajak 2.4.3
Pengaruh Tingkat Kepercayaan terhadap Sistem Pemerintahan dan Hukum terhadap Kemauan Membayar Pajak Dalam penelitian Henriket et al. (2005) dalam Handayani dkk. (2012) yang
dilakukan di Swedia menjelaskan bahwa ketidakpercayaan wajib pajak terhadap politisi terkemuka akan berpengaruh pada kemuan membayar pajak memburuk dan kemungkinan mengumpulkan pajak untuk menjaga kesejahteraan negara dikurangi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pratomo (2015) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan pada sistem pemerintahan dan hukum berpengaruh
28
positif dan signifikan terhadap kemauan membayar pajak. Semakin tinggi tingkat kepercayaan pada sistem pemerintahan dan hukum maka kemauan membayar pajak semakin tinggi. H3 : Tingkat Kepercayaan terhadap Sistem Pemerintahan dan Hukum Berpengaruh Positif terhadap Kemauan Membayar Pajak 2.4.4
Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Wajib Pajak terhadap Kemauan Membayar Pajak Boediono (2003), menyatakan bahwa ketrampilan yang harus dimiliki aparat
pajak adalah kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain dengan cara yang baik. Kualitas pelayanan pajak berpengaruh terhadap kepuasan wajib pajak, dengan memberikan pelayanan pajak yang baik maka wajib pajak akan patuh terhadap perpajakan. Pada penelitian Hardiningsih (2011), kemauan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak tergantung pada bagaimana petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wjaib pajak. Fiskus yang bertanggung jawab dan mendayagunakan SDM sangat dibutuhkan guna meningkatkan kemauan dalam membayar pajak. Para wajib pajak akan mau dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak tergantung pada bagaimana petugas pajak tersebut memberikan pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Untuk mewujudkan pelayanan yang baik, petugas harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang perpajakan serta dalam hal perundang-undangan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hardiningsih (2011) menunjukkan bahwa kualitas layanan signifikan berpengaruh positif terhadap kemauan
29
membayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak telah mendapatkan pelayanan yang memadai sehingga meningkatkan kemauan membayar pajak. H4 : Kualitas Pelayanan terhadap Wajib Pajak Berpengaruh Positif terhadap Kemauan Membayar Pajak