9
BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Pengertian Bank Syariah Saat ini Bank Syariah mulai berkembang di dunia perbangkan, bahkan hampir seluruh bank nasional berlomba lomba untuk membentuk bank syariah. Alasanya adalah bank syariah sekarang menjadi salah satu bank yang popular di masyarakat khususnya pada masyarakat Indonesia. Bank syariah dipandang lebih memberikan kenyamanan dan menjanjikan dari pada bank konvensional. Sesuai dengan pendapat Kasmir (2003 : 24), pengertian bank dan bank syariah, sebagai berikut : “Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam bentuk lalu lintas pembayaran”. Sedangkan menurut Siamat, Dahlan (2004), menguraikan pengertian Bank Syariah merupakan bank yang dalam menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip hukum atau syariah dengan selalu mengacu pada Al-Quran dan Al-Hadist. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Bank syariah adalah Bank merupakan lembaga/badan usaha yang mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat, juga berperan sebagai lembaga perantara bagi masyarakat yang surplus dana dan masyarakat yang kekurangan dana dengan menggunakan prinsip syariah dengan mengacu pada Al-qur‟an dan Al-Hadist.
9
10
Perbedaan antara bank konvesional dan bank syariah secara umum diuraikan oleh Syafi‟i Antonio (2001), dalam bank konvensional investasi yang digunakan yang halal dan haram, memakai perangkat bunga, profit oriented, hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur – kreditur, dan tidak terdapat Dewan Pengawas Syariah. Sedangkan dalam bank syariah hanya melakukan investasi – investasi yang halal saja, dengan prinsip bagi hasil serta jual beli dan sewa, profit dan falah oriented (kemakmuran dan kebahagiaan akhirat, hubungan dengan nasabah dengan kemitraan, dan penghimpun serta penyaluran dana harus sesuai dengan Fatwa Dewan Pengawas Syari‟ah (DPS) Adapun perbedaan antara imbalan yang diberikan oleh kedua bank tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : dalam bank konvensional menggunakan system bunga. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung / rugi, besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan, Jumlah pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi, Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk agama Islam. Sedangkan dalam bank syariah akan menggunakan system bagi hasil. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada untung/rugi, besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan, tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
11
Dalam operasionalnya, bank konvensional memberikan kredit kepada peminjam atau debitur, sedangkan bank dengan prinsip syariah memberikan pembiayaan. Dalam pembiayaan yang dilakukan bank akan mengandung risiko kredit/pembiayaan seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko tingkat bunga, dan lain-lain. Untuk dapat menentukan tingkat risiko tersebut, bank dapat melihat laporan keuangannya
2.1.1.1 Fungsi dan peranan Bank Syariah Menurut M. Syafi‟i Antonio (2001;40) bank syariah mempunyai fungsi secara umum meliputi sebagai berikut : Bertanggung jawab terhadap penyimpanan dana nasabah , Mengelola investasi dari dana yang diperoleh, Penyedia transaksi keuangan , Pengelola zakat, infaq dan shadaqoh. Agar berhasil menjadi pendorong terwujudnya pembangunan ekonomi nasional maka bank Syari‟ah memiliki peranan sebagai perekat nasionalisme yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, beroperasi secara transparan, berfungsi sebagai pendorong penurunan investasi spekulatif, pendorong peningkatan efisiensi, mobilisasi dana masyarakat serta menjadi uswatun hasanah bagi praktek usaha berlandaskan moral dan etika Islam. 2.1.1.2 Karakteristik Bank syariah Karakteristik bank Syari‟ah dapat bersifat fleksibel, yang meliputi : Pertama Keadilan, melarang riba tetapi menggunakan bagi hasil. Pengertian riba menurut M. Syafi‟i Antonio (2001;37) dijelaskan sebagai berikut: Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
12
Kedua kemitraan, yaitu saling memberi manfaat. Posisi nasabah, investor, pengguna dana dan bank berada dalam hubungan sejajar sebagai mitra usaha yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab di mana tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Ketiga, Universal, melarang transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar). Menghindari penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan terbuka seluas-luasnya bagi masyarakat tanpa membedakan agama, suku, dan ras. 2.1.1.3 Produk – Produk Bank Syariah Pada umumnya produk – produk
perbankan syariah dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu : produk penghimpun dana, produk penyaluran dana dan produk jasa. a.
Produk Penghimpun Dana Produk penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi‟ah dan mudharabah. Prinsip wadi‟ah dikenal sebagai titipan atau simpanan yaitu penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan. Terdapat dua jenis dalam prinsip wadi‟ah yaitu wadi‟ah amanah dimana harta titipan hanya boleh disimpan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, dan wadi‟ah yaddhamah dimana barang titipan dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan dengan ijin pemilik barang. Prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sbg pemilik modal sedangkan bank bertindak sbg pengelola. Berdasarkan jenisnya ada dua
13
yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Peneparan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito, berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Berbeda dengan mudharbah muqqayadah dimana shahibul mall memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. b.
Produk Penyaluran Dana Produk penyaluran dana dapat dibedakan dalam tiga jenis yaitu prinsip jual beli, prinsip bagi hasil dan prinsip sewa. Prinsip jual beli sendiri dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti
Pembiayaan Murabahah, Salam dan Istishna. Produk
penyaluran dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah Mudharabah dan Musyarakah. Sedangkan produk penyaluran dana dengan prinsip sewa adalah ijarah. c.
Produk Jasa atau Pelengkap Produk Jasa dalam Bank syariah yaitu Wakalah, Kafalah, Hiwalah, Rhan, Qard dan Sharf. Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Kafalah adalah jaminan yang diberikan penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain. Hiwalah adalah transaksi pemindahan utang piutang suatu pihak kepada pihak lain. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu
14
pihak kepada lain pihak. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Rhan adalah kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Qard adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu : Sebagai pinjaman talangan haji, sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, sebagai pinjaman kepada pengurus bank. Sharf adalah transaksi jual beli valuta asing, Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
2.1.2
Pembiayaan Kegiatan utama sebuah bank adalah menghimpun dana dari masyarakat
luas dalam bentuk kembali
dana
tabungan, simpanan giro dan deposito dan menyalurkan
tersebut
kepada
masyarakat
yang
membutuhkan
dana.
Pengalokasian dana tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau yang lebih dikenal dengan kredit atau pembiayaan Menurut Muhammad (2002), Manajemen Bank Syariah. Penyaluran dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi
15
dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaanya yaitu Pembiayaan dengan prinsip jual beli,pembiayaan dengan prinsip sewa, prinsip bagi hasil, dan pembiayaan dengan akad pelengkap. Dalam kegiatan operasioanlnya bank konvensional memberikan kredit kepada peminjam atau debitur, sedangkan bank syariah memberikan pembiayaan kepada nasabah yang akan dibiayainya. Pembiayaan menurut Kasmir (2003:92-93), dijelaskan sebagai berikut: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dalam buku yang sama dijelaskan pembiayaan sebagai berikut : “Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kredit dan pembiayaan merupakan pemberian pinjaman atau penyediaan dana yang diberikan kepada peminjam atau yang dibiayainya, dana yang dibiayai tersebut wajib untuk dibayar atau mengembalikan tagihan tersebut pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan dan imbalan yang telah disepakati.
16
2.1.2.1 Fungsi Pembiayaan Fungsi pembiayaan menurut Muhammad (2005 : 263) dalam adalah Memperoleh profit yang optimal, Menyediakan aktiva cair dan kas yang memadai, Menyimpan cadangan, Mengelola kegiatan-kegiatan lembaga ekonomi dengan kebijakan yang pantas bagi seseorang yang bertindak sebagai pemelihara dana-dana orang lain, Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan. Dari fungsi pembiayaan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembiayaan memiliki berbagai macam fungsi selain untuk memperoleh laba yang optimal, bank juga menyediakan aktiva cair dan kas yang memadai untuk keperluan bank itu sendiri atau untuk kepentingan nasabah yang bisa diambil kapan saja. Fungsi lainnya yaitu untuk menyimpan cadangan yang maksudnya adalah dana yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan sewaktuwaktu dapat diambil dengan cepat, karena nasabah yang diberi pembiayaan oleh bank harus mengembalikannya sesuai dengan perjanjian. Apabila dana yang diperoleh dari pihak ketiga tidak disalurkan lagi maka dana tersebut akan mengendap dan tidak dapat menghasilkan apa-apa, sehingga akan timbul kelebihan dana di bank dan bank tidak dapat memberikan imbalan kepada nasabah yang telah menyimpan dananya. Sesuai dengan pengertian bank yaitu sebagai intermediasi antara pihak-pihak yang kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana. Oleh karena itu, fungsi bank selanjutnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan, baik itu berupa barang maupun modal.
17
2.1.3
Akad Murabahah Produk penyaluran dana kepada masyarakat atau pada bank syariah
disebut juga pembiayaan. Pembiayaan pada bank syariah dapat terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah pembiayaan jual beli yang terdiri dari pembiayaan murabahah, salam dan istishna. Namun pembiayaan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah pembiayaan murabahah. Pembiayaan murabahah adalah Penjualan barang oleh seseorang atau lembaga kepada pihak lain dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh bank (ba‟i) dan nasabah pembeli (musytari). Pembayaran dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Menurut PSAK 102 paragraf 5, pengertian murabahah sebagai berikut : “Akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang telah disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan tersebut kepada pembeli”. Pasal 9 ayat 1 huruf d UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Akad murabahah” adalah Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan murabahah merupakan pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli dengan mengungkapkan harga pokok pembelian dan menambah tingkat keuntungan (margin) yang telah ditetapkan oleh bank.
18
2.1.3.1
Rukun dan Syarat Sahnya Akad Murabahah Adapun rukun Murabahah adalah Pertama adalah adanya pihak – pihak
yang melakukan akad (Penjual dan Pembeli), kedua adalah Objek yang diadakan, yang mencakup (Barang yang diperjual belikan), ketiga adalah Akad / sighat (Ijab dan Qobul) Selain itu ada beberapa syarat – syarat sahnya jual beli Murabahah adalah sebagai berikut : Pertama Mengetahui harga pokok dimana Harga beli awal (harga pokok) harus diketahui oleh pembeli kedua. Karena mengetahui harga merupakan salah satu syarat sahnya jual beli yang menggunakan prinsip Murabahah. Mengetahui harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh menekankan pentingnya syarat ini. Pada prakteknya bank dapat menunjukan bukti pembelian obyek jual beli Murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian tersebut nasabah mengetahui harga pokok bank. Kedua, mengetahui keuntungan dimana keuntungan seharusnya diketahui karena ia merupakanbagian dari harga. Keuntungan atau dalam peraktek perbankan
syariah
sering
disebut
dengan
margin
Murabahah
dapat
dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sehingga kedua belah pihak terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank. Ketiga, Harga pokok dapat dihitung dan diukur Harag pokok dapat diukur, baik menggunakan ta bisakaran, timbangan ataupun hitungan. Ini merupakan syarat Murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang penting biasa diukur dan diketahui.
19
Keempat, Jual beli murabahah tidak bercampur dengan transaksi yang mengandung riba. Dan kelima, Akad jual beli pertama harus sah, apabila akad pertama tidak sah maka jual beli murabahah tidak boleh dilaksanakan. Karena murabahah adalah jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli. 2.1.3.3 Karakteristik Akad Murabahah Karakteristik pembiayaan Murabahah meliputi : Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam Murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat
mengikat atau tidak
mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam Murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset Murabahah yang telah dibeli oleh penjual, dalam Murabahah pesanan mengikat, mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual dan akan mengurangi nilai akad. Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh. Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang diserahkan kepada pembeli tetapi pembayaran dilakukan dalam bentuk angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Akad Murabahah memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara pembayaran yang berbeda sebelum akad Murabahah dilakukan. Namun jika akad tersebut telah disepakati maka hanya ada satu harga (harga dalam akad) yang digunakan.
20
Harga yang disepakati dalam Murabahah adalah harga jual, sedangkan biaya perolehan harus diberitahukan. Jika penjual mendapatkan diskon sebelum akad Murabahah maka potongan itu merupakan hak pembeli. Sedangkan diskon yang diterima setelah akad Murabahah disepakati maka sesuai dengan yang diatur dalam akad, dan jika tidak diatur dalam akad maka potongan tersebut adalah hak penjual. 2.1.3.2
Jenis – Jenis Akad Murabahah Jenis murabahah menurut Wiroso (2005 : 37) dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu : Murabahah tanpa pesanan dan Murabahah berdasarkan pesanan. Adapun penjelasan dari kedua jenis murabahah diatas adalah sebagai berikut: Murabahah tanpa pesanan,
Murabahah tanpa pesanan maksudnya, ada yang
pesan atau tidak,ada yang beli
atau
tidak,
bank
syariah
menyediakan
barang dagangannya. Penyediaan barang tidak terpengaruh atau terkait langung dengan ada tidaknya pembeli. Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Pada murabahah ini, pengadaan barang sangat tergantung pada atau terkait langsung atau pembelian barang tersebut. Dasar hukum penjualan murabahah berdasarkan pesanan adalah jenis penjualan ini dan aturan-aturannya sah berdasarkan dasar-dasar umum penjualan secara syariah Islam yang tercantum dalam Al-Quran, Al-Hadits dan bermu‟amalah dengan orang. Janji pemesanan di dalam murabahah berdasarkan pesanan, bisa bersifat mengikat dan bisa bersifat tidak mengikat. Para Fuqaha salaf menyepakati mengenai bolehnya penjualan ini, dan mengatakan bahwa pemesanan tidak mesti terikat untuk memenuhi janjinya.
21
Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu; Bersifat mengikat, maksudnya apabila telah pesan maka harus dibeli. Bersifat tidak mengikat, maksudnya walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi nasabah tidak terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut. Dalam prakteknya pembiayaan murabahah yang diterapkan Bank Syariah terbagi kepada 3 jenis, sesuai dengan peruntukannya, yaitu: pertama, Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan untuk pembelian barangbarang yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis pembiayaan yang diperlukan oleh perusahaan untuk operasi sehari-hari. Penerapan murabahah untuk modal kerja membutuhkan kehati-hatian, terutama bila obyek yang akan diperjualbelikan terdiri dari banyak jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan terutama dalam menentukan harga pokok masing-masing barang. Kedua, murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka menengah atau panjang yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang diperlukan untuk rehabilitasi, perluasan, atau pembuatan proyek baru. Ketiga, murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan perorangan untuk tujuan nonbisnis, termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil. Pembiayaan konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian barang konsumsi dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan biasanya berujud obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal. Perbedaan peruntukan pembiayaan murabahah yang diterapkan bisa dibedakan berdasarkan obyek akad, tujuan penggunaan obyek dan nasabah yang mengajukannya. Pembedaan peruntukan ini dimulai saat nasabah mengajukan
22
pembiayaan, dan disesuaikan dengan kebutuhan nasabah, kemampuan keuangan nasabah dan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan bank, sampai terealisasinya pembiayaan tersebut. Perbedaan jenis-jenis pembiayaan murabahah dapat dijelaskan melalui Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Perbedaan Jenis-Jenis Murabahah Jenis Pembiayaan Contoh Obyek Jual Beli
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
Mobil
Mobil
Mobil
Digunakan sebagai Aktiva tetap
Digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi
Penggunaan
Digunakan untuk menambah Aktiva lancar (persediaan)
Nasabah
Perusahaan yang melakukan jual beli mobil
Jangka Waktu Nominal
Pendek Besar
Perusahaan yang bergerak di bidang transfortasi / ekspedisi) Menengah Menengah
Dipakai sendiri
Panjang Kecil
Bedasarkan Tabel 2.1 diatas, penggunaan obyek murabahah untuk masing-masing jenis murabahah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan hal ini merupakan langkah awal untuk membedakan jenis murabahah mana yang akan digunakan. Bila obyek akan digunakan untuk menambah persediaan atau aktiva lancar, maka murabahah yang digunakan adalah murabahah modal kerja. Bila obyek akan digunakan sebagai aktiva tetap, maka murabahah yang digunakan adalah murabahah investasi. Dan bila obyek digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi nasabah, maka murabahah yang digunakan adalah murabahah konsumsi.
23
Produk pembiayaan murabahah pada bank syariah tidak hanya berdasarkan jenis tetapi juga produk dalam bentuk rupiah dan valuta asing. Berdasarkan keterangan Laporan keuangan dan Buku panduan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (2004:59) produk pembiayaan murabahah adalah Pembiayaan murabahah dalam rupiah yang terdiri dari Pembiayaan murabahah terkait dengan bank serta Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank. Kemudaian terdapat pembiayaan murabahah dalam valuta asing yang terdiri dari Pembiayaan murabahah terkait dengan bank serta Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank. Adapun
penjelasan
dari produk
pembiayaan
murabahah
diatas
adalah sebagai berikut ; Pertama, pembiayaan murabahah dalam rupiah. Pembiayaan murabahah dalam rupiah yaitu pembiayaan yang dalam transaksi jual belinya
menggunakan satuan rupiah. Adapun penyaluran pembiayaan
murabahah dalam rupiah terbagi menjadi 2; Pembiayaan murabahah terkait dengan bank dimana pembelinya adalah pihak yang berkaitan secara langsung dengan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk baik direktur, pemilik modal, karyawan maupun pihak lain yang berkaitan dengan bank, misalnya perusahaan yang menjadi penyedia barang dalam kegiatan pembiayaan. Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank dimana pembeli atau nasabahnya adalah pihak ketiga dan dalam transaksinya menggunakan satuan rupiah. Dilihat dari laporan keuangan neraca PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank ini merupakan pembiayaan terbesar jumlahnya dibandingkan dengan pembiayaan yang lainnya.
24
Kedua, Pembiayaan murabahah dalam valuta asing. Pembiayaan murabahah
dalam
valuta
asing
yaitu
pembiayaan
yang transaksi
jual
belinya menggunakan valuta asing karena produknya hanya tersedia di luar negri. Adapun penyaluran pembiayaan murabahah. dalam valuta asing terbagi menjadi 2;
Pembiayaan murabahah terkait dengan bank dimana pembelinya
adalah pihak yang berkaitan secara langsung dengan PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk baik direktur, pemilik modal, karyawan maupun pihak lain yang berkaitan dengan bank, misalnya perusahaan yang menjadi penyedia barang dalam kegiatan pembiayaan. Yang membedakan dengan rupiah adalah transaksi dalam hal pembelian atau penjualan barangnya menggunakan valuta asing. Pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank dimana pembiayaan murabahah tidak terkait dengan bank yaitu pembeli atau nasabahnya tidak berkaitan dengan bank dan dalam transaksinya menggunakan valuta asing. Namun pembiayaan murabahah ini belum terdapat pada PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
2.1.4
Akad Istishna Menurut ulama Fiqh, istishna’ sama dengan jual beli salam dari segi
objek pesanannya, yang mana sama-sama harus dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri atau kriteria khusus yang dikehendaki pembeli. Perbedaannya, pembayaran pada jual beli salam diawal sekaligus, sedangkan pembayaran pada istishna’ dapat diawal, ditengah, dan di akhir sesuai dengan perjanjian.
25
Menurut Az-Zuhaili, Istishna’ ialah kontrak jual beli antara pembeli (mustashni‟) dengan cara melakukan pemesanan pembuatan barang barang, dimana kedua belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan ataupun ditangguhkan pada masa yang akan dating. Pada dasarnya, istishna’ merupakan suatu transaksi yang hamper sama dengan bai‟ Salam dan jual beli murabahah mua‟jjal, namun sedikit terdapat perbedaan diantara ketiganya, dimana dalam bai‟ as-salam pembayaran dimuka dan penyerahan barang nya dikemudian hari, sedangkan pada murabahah mua‟jjal barang diserahkan dimuka dan uangnya bias dibayar dengan cicilan, dan dalam Istishna’, barang diserahkan dibelakang, sedangkan pembayarannya juga bisa dilakukan dengan cicilan. 2.1.4.1 Rukun dan Syarat Akad Istishna Menurut jumhur fuqaha, istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad salam. Bisanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad salam. Adapun rukun Istishna sebagai berikut : Aqid (orang yang berakad yaitu shani‟ dan mustahni yang telah baligh dan mumayyis). Ma‟qud alaih (objek akad berupa mashu‟(Barang) dan tsaman (Harga). Sighat (ijab qabul) Sedangkan
syarat
Istishna
adalah
sebagai
berikut
:
Mashnu’
(Menjelaskan jenis, bentuk, kadar, sifat, kualitas, kuantitas) seperti terdapat dalam fatwa DSN tentang ketentuan barang dalam istishna : Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang, harus dapat dijelaskan spesifikasinya, Penyerahan dilakukan kemudian, waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
26
berdasarkan kesepakatan, pembeli (mustashni‟) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya, tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis kesepakatan, dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Tsaman (Diketahui semua pihak, bias dibayar saat akad, dicicil/ tangguh) dan ketentuan tersebut pula dapat dirincikan berdasarkan fatwa DSN mengenai ketentuan pembayaran dalam istishna : Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat, Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan, Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. 2.1.4.1 Jenis Akad Istishna Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.104, Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni‟) dan penjual (pembuat, shani‟). Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad istishna‟ antara pemesan (pembeli, mustashni‟) dengan penjual (pembuat, shani‟), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni‟, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani‟. 2.1.5.1 Akad Mudharabah Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
27
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Menurut Adiwarman A Karim (2006 : 204) pembiayaan mudharabah adalah “bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaku usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan uang”. Sedangkan dalam Pernyataan Standart Akuntansi Keuangan No. 105 mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pengelola dana. Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan mudharabah didanai sepenuhnya oleh pemilik dana dan pengelola usaha hanya menjalankan usaha tanpa penanaman dana sesuai dengan kesepakatan dan keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati diawal akad, namun bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh si pemilik dana, kecuali apabila terjadi akibat kelalaian dari pengelola usaha maka kerugian ditanggung oleh pengelola usaha. 2.1.5.2 Rukun dan Syarat Akad Mudharabah Adapaun rukun dan syarat dalam akad mudharabah yang dimuat dalam fatwa DSN No. 7 adalah sebagai berikut : Pertama, penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum. Kedua, Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
28
memperhatikan hal-hal berikut: Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad), Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak, Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. Ketiga, Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya, Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad, Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Keempat, Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak, Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk persentase (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan,
Penyedia
dana
menanggung
semua
kerugian
akibat
dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. Kelima, Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan halhal berikut: Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
29
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan, Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan, Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari‟ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. 2.1.5.3 Jenis – Jenis Akad Mudharabah Pembiayaan mudharabah menurut Muhammad Syafi‟i Antonio (2001:97) terbagi menjadi dua jenis yaitu mudharabah mutlhaqah dan mudharabah muqqayadah. Mudharabah mutlhaqah adalah bentuk akad kerja sama antara pemilik dana dan pengelola usaha, dimana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah adalah bentuk akad kerja sama antara pemilik dana dan pengelola usaha, dimana pemilik dananya memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai jenis usaha, waktu dan tempat usaha. 2.1.6.1 Akad Musyarakah Musyarakah berasal dari kata syarika yang berarti persekutuan. Dalam lisan al-‟Arab disebutkan as-syirkah dan as-syarikah mengandung makna yang sama mukhalaṭatu as-syarikaini (bercampur atau bergabungnya dua orang) untuk melalukan kerja sama. Menurut M Syafi‟i Antonio (2001:90), mendefisinikan pembiayaan musyarakah adalah “ akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal)
30
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan “. Sedangkan pengertian musyarakah menurut Sunarto Zulkifli (2007 : 53) adalah “akad kerjasama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan resiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah suatu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu, dan apabila mengalami keuntungan atau kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 2.1.6.2 Rukun dan Ketentuan Akad Musyarakah Adapun rukun dan ketentuan dari musyarakah adalah sebagai berikut : pertama Ijab-kabul (sighah) yaitu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransakasi. Kedua, Dua pihak yang berakad („aqidani) dan memiliki kecakapan hukum melakukan pengelolaan harta serta baligh. Ketiga, Objek aqad (mahal) yang disebut juga ma‟qud alaihi, yang mencakup modal atau pekerjaan. Modal yang diberikan harus tunai, Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, asset perdagangan atau asset tak berwujud seperti hak paten dan lisensi, Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus ditentukan nilai tunainy aterlebih dahulu dan harus diseoakati bersama, Modal para mitra harus dicampur, tidak boleh dipisah
31
Keempat, Nisbah bagi hasil dimana Pembagian keuntungan harus disepakati oleh para mitra, Perubahan nisbah harus disepakati para mitra dan Keuntungan yang dibagi tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan. 2.1.6.3 Jenis – Jenis Akad Musyarakah Menurut syafi‟i Antonio (2001) musyarakah dibagi menjadi 2 jenis, musyarakah kempemilikan (Al amlak) dan musyarakah akad atau kontrak (al uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oeh dua orang atau lebih. Dalam Musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yanng dihasilkan aset tersebut. Musyarakah Akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah, Mereka pun sepakat membagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah kepemilikan ini oleh ahli fiqih dibagi lagi menjadi 2 yaitu syirkah ikhtiyar dan syirkah ijbari. Syirkah ikahtiar atau perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat, sedangkan syirkah ijbari adalah perserikatan yang muncul secara paksa bukan atas keinginan orang yang berserikat yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak mereka, seperti harta warisan yang diterima karena adanya kematian dari salah satu keluarga Musyarakah akad terbagi menjadi al-inan, al-mufawadhah, al-a’maal, al-wujud, dan al-mudharabah. Syirkah al-inan adalah kontrak kerjasama antara
32
dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka, Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai kesepakatan mereka. Syirkah muwafadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang alau leblh. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak. Syirkah a’maal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. ini kadang-kadang dlsebut Musyarakah. Syirkah wujud adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-masyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
33
Syirkah mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Tetapi ada sebagian ulama menganggap Al-Mudharabah tidak termasuk kepada jenis Al-Musyarakah
2.1.7
Ijarah Menurut Syafi‟i Antonio (2001 : 117) Ijarah adalah pemindahan hak
guna
atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. 2.1.7.1 Rukun dan Syarat Ijarah Adapun rukun dan syarat ijarah menurut fatwa DSN No. 09/DSNMUI/IV/2000 adalah sebagai berikut : Pertama Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain. Kedua adalah Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa. Ketiga adalah Obyek akad ijarah yaitu manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah. Adapaun objek – objek yang ditentukan dalam ijarah yaitu meliputi : Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa, Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak, Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan), kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari‟ah. Manfaat harus dikenali
secara
spesifik
sedemikian
rupa
untuk menghilangkan jahalah
(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa, Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan
34
spesifikasi atau identifikasi fisik, Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah, Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek, Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapatdiwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. 2.1.7.2 Jenis Ijarah Dalam hukum islam ada dua jenis ijarah yaitu : a) Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah; b) Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu‟jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Sedangkan berdasarkan Exposure Draft PSAK 107, Ijarah dibagi menjadi 2, yaitu: a) Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset atau jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah atau sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas aset itu sendiri; b) Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) merupakan Ijarah dengan wa’ad (janji) dari pemberi sewa berupa perpindahan kepemilikan objek Ijarah pada saat tertentu; c) Berdasarkan jual dan sewa kembali (sale and leaseback) atau transaksi jual dan Ijarah.
35
2.1.8
Likuiditas Masalah likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan
suatu bank dalam memenuhi kewajiban finansialnya yang harus dipenuhi. Kelebihan likuiditas akan mengakibatkan bank mengorbankan profitabilitasnya. Sementara kekurangan likuiditas akan mengakibatkan kerugian bagi bank karena tidak dapat memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhinya sehingga akan menyulitkan bank itu sendiri. Menurut Lukman Syamsuddin (2000;42), Likuiditas adalah sebagai berikut : “Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban financial jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia”. Menurut Ikatan akuntansi keuangan (2004;5) adalah sebagai berikut : “ ketersediaan kas jangka pendek di masa depan setelah memperhitungkan komitmen yang ada” Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui bahwa likuiditas mengacu pada kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi atau membayar kewajiban jangka pendeknya.Suatu bank
dapat dikatakan likuid apabila bank yang
bersangkutan dapat membayar kewajiban utang – utangnya dapat membayar kembali semua deposannya serta memenuhi semua permintaan pembiayaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan. Suatu bank yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera dipenuhi, dikatakan bahwa bank tersebut likuid, sebaliknya apabila suatu bank tidak mempunyai kekuatan membayar maka bank tersebut dikatakan ilikuid.
36
2.1.8.1 Indikator Likuiditas Salah
satu
untuk
menghitung
likuiditas
bank
adalah
dengan
menggunakan loan to deposit ratio (LDR). LDR yaitu seberapa besar dana bank dilepaskan sebagai perkereditan . Pemeliharaan kesehatan bank antara lain dilakukan dengan tetap menjaga likuiditasnya sehingga bank memenuhi kewajiban kepada semua pihak yang menarik atau mencairkan uangnya. LDR = Loan yang disalurkan : Total Dana Ketiga x 100% Sedangkan BI menggunakan FDR sebagai salah satu alat untuk mengukur kesehatan bank syariah. FDR dipakai untuk melihat kemampuan bank syariah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dari dana yang telah dihimpun. Dalam dunia perbankan syariah
tidak mengenal kredit (loan) dalam
penyaluran dana yang dihimpunnya. Oleh karena itu aktifitas penyaluran dana yang dilakukan bank syariah lebih mengarah kepada pembiayaan (financing). Rumus LDR kedalam dunia syariah menjadi financing to deposit rstio (FDR). Sehingga FDR dapat dirumuskan : FDR = Pembiayaan yang disalurkan : Total Dana Pihak Ketiga x 100%
2.1.9
Hubungan Pembiayaan Syariah Dengan Tingkat Likuiditas Pembiayaan merupakan salah satu fungsi yang dilakukan oleh bank
untuk mendapatkan keuntungan dari bagi hasil yang digunakan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek yang disebut likuiditas bank, Menurut G. Sugiyarso (2005:47) adalah sebagai berikut: “Komposisi pembiayaan akan mempengaruhi risiko yang berkaitan dengan likuiditas. ” Risiko pembiayaan akan terjadi apabila
37
pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada nasabah tidak dapat dikembalikan sebesar pembiayaan yang diberikan ditambah dengan imbalan atau bagi hasil dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi bank, karena jumlah dana yang terhimpun dari masyarakat tidak dapat disalurkan kembali kepada masyarakat, keadaan tersebut akan mempengaruhi tingkat likuiditas bank karena pembiayaan tersebut. Adapun teori lain yang dikutip oleh Siamat (2009:157)
menyatakan
“Kredit (pembiayaan) yang di khususkan bank terutama pembiayaan jangka pendek (dalam kondisi normal) pada saat pembayaran cicilan oleh nasabah banknya dapat menambah likuiditas bank yang bersangkutan. Berati pembiayaan yang diberikan dapat mempegaruhi jumlah likuiditas.”
2.1.10 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian
terdahulu
yang
digunakan
sebagai
bahan
perbandingan dan referensi dalam penelitian ini antara lain adalah : 1.
Adie (2010). Menganalisis pembiayaan murabahah pengaruhnya terhadap tingkat likuiditas pada PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Untuk mengetahui pengaruh pembiayaan murabahah terhadap tingkat likuiditas digunakan pengujian statistik (regresi linier, koefisien korelasi pearson, koefisien determinasi, uji hipotesis). Dari hasil penelitian didapat besarnya tingkat keeratan hubungan (korelasi) yang sangat erat diperoleh yaitu sebesar 0,832 dan besarnya pengaruh sebesar 69,2% dan sisanya sebesar 30,8% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
38
Menurut aturan kriteria guildford termasuk hubungan yang kuat. Dengan nilai probabilitas pengaruh pembiayaan murabahah terhadap tingkat likuiditas sebesar 0.020. Angka probabilitas 0,020 < dari 0,05, maka model regresi ini layak digunakan untuk memprediksi tingkat murabahah pada PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 2.
Ramadhani (2014). Dalam penelitian sebelumnya, penelitiannya bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan berdasarkan bagi hasil terhadap Likuiditas Perbankan Islam di Indonesia dari Januari 2008 sampai Juni 2012. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif. Teknik analisis yang digunakan adalah beberapa regresi linier dan persamaan adalah Y = 0,58 + 0,016 (pmud) - 0056 (PMU) Berdasarkan hasil uji t, pembiayaan pembiayaan mudharabah dan musyarakah sebagian tidak berpengaruh signifikan terhadap likuiditas dengan hasil uji t berturut-turut 0,765 untuk pembiayaan mudharabah dan 0,621 untuk musyarakah. Hasil uji simultan menunjukkan bahwa pembiayaan mudharabah dan musyarakah berpengaruh signifikan terhadap likuiditas industri perbankan Islam dengan nilai siginifikan 0,000. Dan berdasarkan hasil uji determinasi, nilai RSquare adalah 0,593 atau 59,3% yang menunjukkan kemampuan pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah dalam menjelaskan likuiditas 59,3% dan 40,7% sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
3.
Ridha (2008). Dalam penelitian terdahulu dengan judul;
Pengaruh
Likuiditas Dan Rentabilitas Terhadap Pembiayaan Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Purwakarta. Penelitian Ini Menggunakan Metode
39
Korelasional Dengan Pendekatan Kuantitatif. Untuk Mengetahui pengaruh likuiditas dan rentabilitas terhadap pembiayaan pada bank syariah mandiri cabang purwakarta dengan menggunakan pengujian Statistik (Regresi Linier,
Koefisien
Korelasi
Pearson,
Koefisien
Determinasi,
Uji
Hipotesis). Dari Hasil Penelitian Menunjukan Bahwa Terdapat Pengaruh Yang
Signifikan
Dari
Tingkat
Likuiditas
Yang
Diukur
Dengan
Menggunakan Rasio FDR Dan Tingkat Rentabilitas Yang Diukur Dengan Menggunakan Rasio ROA Terhadap Pembiayaan. 4.
Mustafidan (2013) Dalam penelitian terdahulu dengan judul; Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Likuiditas Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia Periode 2007-2012. Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh DPK, NPF, CAR, ROA, ROE, NIM, penempatan pada SBIS dan PUAS terhadap Likuiditas yang diproksikan Financing to Deposit Ratio (FDR). Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif yaitu data yang digunakan dalam penelitian berupa angka-angka (numerik). Populasi sekaligus sampel dari penelitian ini adalah tiga Bank Umum Syariah (BUS), yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DPK, NPF, CAR, ROA, ROE, NIM, Penempatan pada SBIS dan PUAS terbukti berpengaruh simultan secara signifikan terhadap FDR Sedangkan pengujian secara parsial DPK, NPF, CAR, ROA,ROE dan SBIS berpengaruh signifikan terhadap FDR. Sedangkan NIM dan PUAS tidak berpengaruh signifikan terhadap FDR.
40
5.
Ropiah
(2015).
Dalam
Pengaruh pembiayaan
penelitian
investasi terhadap
terdahulu
dengan
likuiditas Bank
judul;
Muamalat
Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan pendekatan
kuantitatif.
Untuk
mengetahui
pengaruh
pembiayaan
investasi terhadap likuiditas pada Bank syariah dengan menggunakan pengujian Statistik (Regresi Linier, Koefisien Korelasi Pearson, Koefisien Determinasi, Uji Hipotesis). Dari Hasil Penelitian menunjukkan bahwa secara parsial variabel pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah berpengaruh secara signifikan terhadap likuiditas. Secara simultan variabel pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah berpengaruh secara signifikan terhadap likuiditas.
2.1.11 Kerangka Pemikiran Dalam pasal 1 Undang – undang No. 2 tahun 2008 pengertian bank adalah sebagai berikut : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak”. Menurut kasmir (2002;2), bank diartikan sebagai berikut : “ Lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa – jasa bank lainnya”. Dari pengertian tersebut di atas mencerminkan dua peran bank baik sebagai financial intermediate maupun institute of economic development. Sebagai
perantara
keuangan
(financial
intermediate),
bank
melakukan
41
penghimpunan dana dari masyarakat yang surplus dana dalam berbagai bentuk simpanan. Melalui penghimpunan dana, bank membayar bunga kepada masyarakat atau nasabah penyimpan. Selanjutnya bank menyalurkan dana tersebut (sebagian besar) dalam bentuk kredit/pembiayaan kepada masyarakat yang defisit dana. Melalui penyaluran dana (pembiayaan) bank memperoleh pendapatan bunga/bagi hasil. Penilaian aspek penghimpunan dan penyaluran dana merupakan kinerja keuangan yang berkaitan dengan peran bank sebagai lembaga intermedasi. Berdasarkan uraian di atas, kinerja keuangan bank merupakan gambaran kondisi keuangan bank pada suatu periode tertentu baik menyangkut aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasanya diukur dengan indikator kecukupan modal, rentabilitas, profitablitas, serta likuiditas. Berdasarkan pengertian di atas, bank umum memiliki dua sistem yaitu: 1.
Sistem konvensional (berdasarkan bunga : kredit).
2.
Prinsip Syariah (tanpa bunga/bagi hasil : pembiayaan). Dalam operasionalnya, bank konvensional memberikan kredit kepada
peminjam atau debitur, sedangkan bank dengan prinsip syariah memberikan pembiayaan. Dalam pembiayaan yang dilakukan bank akan mengandung risiko kredit/pembiayaan seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko tingkat bunga, dan lain-lain. Untuk dapat menentukan tingkat risiko tersebut, bank dapat melihat laporan keuangannya. Pengertian laporan keuangan menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2004:04) mengemukakan bahwa “Laporan keuangan merupakan laporan periodik yang disusun menurut prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum tentang status keuangan dari individu, sosiasi atau organisasi bisnis
42
yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan kuitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan”. Laporan akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menentukan tingkat risiko kredit/pembiayaan. Untuk menentukan tingkat risiko kredit perusahaan harus menganalisis laporan keuangannya. Analisis laporan keuangan dijelaskan oleh Hanafi dan Abdul Halim (2003:5), sebagai berikut : “Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan untuk mengetahui tingkat profitabilitas (keuntungan) dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan”. Analisis laporan keuangan dilakukan untuk mengetahui tingkat likuiditas dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan perusahaan. Tingkat kesehatan bank merupakan unsur terpenting dalam penilaian kualitas suatu bank. Pengertian Kesehatan Bank Menurut Kasmir (2008:41) : “Tingkat kesehatan bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.” Begitu luasnya cakupan kesehatan suatu bank dalam melaksanakan aktivitas usahanya, maka ada beberapa indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kesehatan bank yaitu meliputi permodalan, likuiditas, rentabilitas/ profitabilitas, manajemen bank, dan aspek lainnya. Ketentuan mengenai kesehatan bank lebih jelasnya diatur dalam Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang
43
perbankan, di mana aturan mengenai kesehatan bank tersebut mencakup dana sampai dengan penggunaan dan penyaluran dana. Kualitas aset (aktiva) merupakan salah satu hal terpenting di dalam menentukan tingkat kesehatan bank. Aset bank terbagi menjadi dua jenis yaitu aktiva produktif dan aktiva non produktif. Menurut M. Syafi‟i Antonio (2001:37), aset adalah : “sesuatu yang mampu menimbulkan aliran kas positif atau manfaat ekonomi lainnya, baik dengan dirinya sendiri ataupun dengan asset yang lain, yang haknya didapat oleh bank Islam sebagai hasil dari transaksi atau peristiwa di masa lalu”. Aset digunakan sebagai alat untuk penilaian kualitas aktiva produktif. Salah satu aktiva produktif dalam bank adalah kredit atau pembiayaan. Pembiayaan digunakan sebagai indikator dalam menilai tingkat kesehatan bank. Menurut Lukman Dendawijaya (2005:61) dijelaskan bahwa: “Aktiva produktif atau earning assets adalah semua aktiva dalam rupiah maupun valuta asing yang dimiliki bank dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya”. Aktiva produktif merupakan aktiva yang dimiliki bank yang digunakan untuk memperoleh penghasilan, salah satu aktiva produktif diantaranya adalah kredit atau pembiayaan. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa kredit atau pembiayaan dapat mempengaruhi kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan. Artinya tingkat likuiditas akan tergantung pada tingkat kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank. Likuiditas juga sering disebut dengan pemenuhan kewajiban finansial. Pengukuran tingkat
likuiditas dapat digunakan untuk mengetahui
44
apakah bank dapat menjalankan aktivitas manajerial secara efektif dan efisien. Selain itu, likuiditas juga merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Oleh karena itu, tingkat kredit atau pembiayaan harus dikelola dengan baik agar dapat menjaga tingkat likuiditas bank.
2.2
Hipotesis
Dari kerangka pemikiran tersebut, dapat diambil hipotesis yaitu : H1 : Pembiayaan murabahah berpengaruh positif terhadap tingkat likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank BRI Syariah”. H2 : Pembiayaan istishna berpengaruh positif terhadap tingkat likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank BRI Syariah”. H3 : Pembiayaan ijarah berpengaruh positif terhadap tingkat likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank BRI Syariah”. H4 : Pembiayaan mudharabah berpengaruh positif terhadap tingkat likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank BRI Syariah”. H5 : Pembiayaan musyarakah berpengaruh positif terhadap tingkat likuiditas pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank BRI Syariah”.