BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Otonomi Daerah Seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, Pemerintah Pusat menyerahkan segala urusan daerah kepada Pemerintah Daerah berdasarkan pengertian otonomi daerah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Halim (2012:1): “Pengertian Otonomi Daerah adalah wewenang yang dimiliki daerah otonom untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang mendasari perlunya mendasari perlunya diselenggarakan otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam negeri dan luar negeri.”
Otonomi Daerah adalah hak dan wewenang suatu daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Urusan rumah tangga daerahnya sendiri merupakan urusan yang muncul berdasarkan prakarsa
daerah
dan
dibiayai
dengan
pendapatan
daerah
yang
bersangkutan. (Safi’I,2007). Dalam rangka menyelenggarakan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi daerah. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi, Pemerintah
7
8
Daerah memiliki wewenang dalam menggali pendapatan daerah dan melakukan alokasi daerah secara mandiri dalam menetapkan prioritas belanja daerah. Berdasarakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan telah diperbarui dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Widarta (2005:13): semangat desentralisasi begitu kental terasa, seperti yang disebut dalam pasal 4:1-2: “Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat; Daerah-daerah yang dimaksud, berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain”. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2:1, 4 & 5, dalam Widarta (2005:14), “Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah daerah; pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintah memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya; hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya”.
Dalam pelaksanaan program, pemerintah daerah harus memiliki ketaatan terhadap peraturan untuk terciptanya Pemerintahan Daerah yang lebih baik ke depannya. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus mengerti apa saja yang menjadi tugasnya di dalam pemerintahan dan melaksanakannya dengan baik dan bertanggung jawab. Adapun tugas dari Pemerintah Daerah yang terdapat pada Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 dalam Widarta (2005:116), yang menjadi tugas pemerintah daerah antara lain:
9
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 2. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. 3. Melakukan hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya, meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam lainnya yang dilaksanakan secara adil dan selaras. Hak dan kewajiban daerah diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, yang dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan. Widarta (2005:135). Semakin berkembangnya suatu daerah bergantung pada pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan daerah dengan mengelola sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat. Perlunya penyelamatan lingkungan akibat pengelolaan yang berlebihan dapat menjadi alternatif untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, agar nantinya dimasa yang akan datang kebutuhan masih dapat terpenuhi.
10
Menurut Halim dalam Argi (2010) dalam rangka penyelenggaraan pemerintah
dan
pelayanan
kepada
masyarakat
berdasarkan
asas
desentralisasi, kepada daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola Sumber Daya Alam. Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan pinjaman daerah melalui APBD, sedangkan yang lain dikelola oleh pemerintah pusat melalui kerja sama dengan pemerintah daerah. Seiring dengan diterapkannya Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah pemerintah daerah memiliki wewenang mengatur daerahnya sendiri. Oleh sebab itu, Pemerintah Daerah wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerahnya dengan menyusun Laporan Keuangan Daerah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah mendefinisikan Keuangan Daerah sebagai semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut. Yang dimaksud daerah disini adalah pemerintah daerah yang merupakan daerah otonom berdasarkan peraturan perundang-undangan.
11
B. Akuntansi Keuangan Daerah Akuntansi keuangan daerah sangat penting dalam pengungkapan informasi mengenai keadaan suatu instansi pemerintah yang nantinya akan menjadi acuan dalam perbaikan kinerja pemerintah dimasa yang akan datang. Pertanggung jawaban tidak hanya dari lisan saja, namun perlu didukung dengan laporan pertanggung jawaban secara tertulis. Perlunya pertanggung jawaban dari Pemerintah Daerah kepada masyarakat membuat instansi pemerintah berupaya menyusun laporan keuangan dengan sebaik-baiknya. Setiap dana yang digunakan oleh Pemerintah Daerah harus dipertanggung jawabkan, karena masyarakat berkontribusi dalam bentuk pajak
telah
yang digunakan untuk membiayai
pembangunan dan roda pemerintahan. Menurut Halim dan Kusufi (2012) tentang pengertian akuntansi keuangan daerah. “Akuntansi Keuangan Daerah adalah proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, pelaporan transaksi ekonomi (keuangan) dari entitas pemerintah daerah (kabupaten, kota, atau provinsi) yang dijadikan sebagai informasi dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak eksternal entitas pemerintah daerah (kabupaten, kota, atau provinsi) yang memerlukan.”
Dalam setiap pemerintahan terdapat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertugas untuk menyusun anggaran dan pelaporan keuangan Pemerintah Daerah yang nantinya akan di serahkan kepada Kepala daerah sebagai wujud pemisahan tugas di pemerintahan. Dengan adanya
12
pemisahan tersebut, Pemerintah Daerah akan lebih mudah dalam pengawasan penyusunan anggaran maupun realisasi anggaran. Menurut Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 dalam Widarta (2005:246): “Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah adalah kepala daerah. Dalam melaksanakan kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung jawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan tersebut didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.”
Sedangkan entitas pelaporan pada pemerintah daerah adalah pemerintah daerah itu sendiri yang diwakili oleh kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah. Dalam wilayah akuntansi keuangan daerah, kepala daerah berwenang menetapkan kebijakan akuntansi (Ritonga, 2010). Pelaku akuntansi yang berfungsi sebagai pelaksana entitas pelaporan adalah Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan
dan
Aset
Daerah
(DPPKAD).
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Setiap Pemerintah Daerah harus mengawasi kegiatan daerah salah satunya dalam kebijakan keuangan daerah. Dengan adanya pengawasan akan meminimalisir adanya kesalahan maupun kecurangan didalam pemerintahan. Adapun prinsip yang digunakan untuk mengawasi kebijakan keuangan daerah, Menurut Mardiasmo (2002:29), prinsip
13
akuntansi manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengawasi kebijakan keuangan daerah meliputi: 1. Akuntabilitas Akuntabilitas mensyaratkan bahwa mengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik. 2. Value for Money Dalam konteks ekonomi daerah, Value for Money merupakan jembatan
untuk
menghantarkan
pemerintah
daerah
mencapai
governance. Value for Money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. 3. Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan. 4. Transparansi Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya
14
sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel,
dan
responsif
terhadap
aspirasi
dan
kepentingan
masyarakat. 5. Pengendalian Penerimaan dan pengeluaran daearah harus dievaluasi secara rutin, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis Varians (Selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan. Govermental Acoounting Standards Board (GASB) dalam Consepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting dalam Mardiasmo (2002:162) menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar dari pelaporan keuangan di pemerintahan. Akuntabilitas adalah tujuan tertinggi pelaporan keuangan pemerintah. GASB menjelaskan keterkaitan akuntabilitas dan pelaporan keuangan sebagai berikut: … Accountability requires governments to answer to the citizenry to justify the raising of public resources and the purposes for which they are used. Governmental accountability is based on the belief that the citizenry has a “right to know”, a right to receive openly declared facts that may lead to public debate by the citizens and their elected representatives. Financial reporting plays a major role in fulfilling government’s duty to be publicly accountable in a democratic society.
15
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 71 Tahun 2010 tentang SAP Nomor 01 paragraf 14 menyatakan bahwa dalam satu set laporan keuangan terdiri atas: 1. Laporan Pelaksanaan Anggaran: a. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) b. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) 2. Laporan Finansial a. Neraca b. Laporan Operasional (LO) c. Laporan Arus Kas (LAK) d. Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) e. Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) Pengguna eksternal dari laporan keuangan Pemerintah/Pemerintah Daerah, sebagaimana disebutkan oleh Halim (2008), adalah DPR/DPRD, BPK, inversor, kreditur, donator, analis ekonomi dan akademisi, rakyat, LSM, Pemerintah Pusat (Pemerintah Daerah), dan Pemerintah Daerah lainnya. Sedangkan, akuntansi pemerintahan yang ditujukan untuk menghasilkan informasi bagi pengguna internal dalam pemerintahan disebut dengan akuntansi manajemen pemerintah. Setiap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah nantinya akan di periksa oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengetahui apakah Laporan Keuangan yang disusun oleh Pemerintahan Daerah sudah sesuai.
16
C. Pengertian Anggaran Secara Umum Penyelenggaraan kegiatan pemerintah yang menjadi tanggungan suatu daerah didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu yang harus diperhatikan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu daerah dalam satu tahun anggaran yang tersedia dapat mencukupi bahkan melebihi untuk pembiayaan belanja daerah. Apabila belanja daerah melebihi rencana yang telah dianggarkan, maka pemerintah daerah harus berupaya meningkatkan pendapatan daerah yang nantinya akan menutupi semua kekurangan dari pengeluaran untuk pembiayaan belanja daerah. Definisi
Anggaran
menurut
The
National
Committee
on
Governmental Accounting (NCGA) adalah sebagai berikut (Sugijanto, dkk, 1995:22) dalam Halim dan Kusufi (2012:15) : “A Budget is plan of financial operation embodying an estimated of proposed expenditures for a given period of time an the proposed means of finacing them”. Jadi, anggaran adalah rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finasial, yang meliputi usulan pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode waktu tertentu, beserta usulan cara-cara memenuhi pengeluaran tersebut. Proses penganggaran sektor publik yaitu dengan menyusun dan meperhitungkan alokasi dana untuk setiap program dan aktivitas yang telah dibuat oleh pemerintah. Tujuan dari penganggaran sendiri yaitu untuk mensejahterakan rakyat, karena anggaran sendiri dibuat berdasarkan
17
kebutuhan masyarakat serta dapat menimbang dari segi penerimaan dan pengeluaran suatu daerah. Mardiasmo (2005:65) mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, dan penganggaran merupakan proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Organisasi sektor publik tentunya berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi keinginan tersebut seringkali terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Setiap tahun anggaran Pemerintah daerah wajib menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai acuan dalam menyusun program pemerintah yang telah tersusun untuk jangka waktu periode anggaran yang akan dijalankan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah, dimana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaranpengeluaran dimaksud (Mamesah, 1995:20) dalam Halim dan Kusufi (2012:21). Penggunaan anggaran dengan pendekatan kinerja dapat memotivasi instansi pemerintah untuk terus memperbaiki semua kekurangan-
18
kekurangan yang terjadi pada periode anggaran. Pemerintah Daerah dapat melakukan perbaikan dengan menganalisis biaya pengalokasian dana dilakukan secara optimal berdasarkan efisiensi dan menghindari adanya pemborosan dana. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam otonomi daerah disusun dengan pendekatan kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan (Mardiasmo, 2002:28). Sebagai alat pengukuran kinerja Pemerintah Daerah, anggaran dapat menjadi acuan penetapan tujuan dan sasaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pada alokasi dan realisasi periode anggaran. Fungsi anggaran menurut Mardiasmo (2002:41) yaitu sebagai alat alokasi sumber daya publik, alat distribusi, dan stabilisasi. Anggaran merupakan rencana yang akan dicapai untuk 1 periode yang akan datang. Dengan adanya perencanaan akan membuat strategi dan sasaran yang akan di capai dapat terlaksana. Jika anggaran yang telah dibuat tidak sesuai dengan yang direncanakan, maka anggaran tersebut menjadi tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja. Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah melalui anggaran yang telah dibuat. Oleh karena itu anggaran sangat penting dalam kegiatan pemerintahan.
19
Menurut Mardiasmo (2002:41) Anggaran Sektor Publik penting karena beberapa alasan, yaitu: 1. Anggaran
merupakan
mengarahkan menjamin
pada
alat
terpenting
pertumbuhan
kesinambungan,
dan
bagi
pemerintah
untuk
pembangunan
sosial-ekonomi,
meningkatkan
kualitas
hidup
masyarakat. 2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choise), dan trade offs. 3. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembagalembaga publik yang ada. Dalam ruang lingkup akuntansi, anggaran berada dalam lingkup akuntansi manajemen. Beberapa fungsi anggaran dalam manajemen organisasi sektor publik antara lain: Nordiawan (2006:48) a. Anggaran sebagai Alat Perencanaan Dengan adanya anggaran, organisasi tahu apa yang harus dilakukan dan kearah mana kebijakan yang dibuat. b. Anggaran sebagai Alat Pengendalian
20
Dengan
adanya
anggaran
organisasi
sektor
publik
dapat
menghindari adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending) atau
adanya
penggunaan
dana
yang
tidak
semestinya
(misspending). c. Anggaran sebagai Alat kebijakan Melalui anggaran organisasi sektor publik dapat menentukan arah atas kebijakan tertentu. Contohnya adalah apa yang dilakukan pemerintah dalam hal kebijakan fiskal, apakah melakukan kebijakan fiskal ketas atau longgar dengan mengatur besarnya pengeluaran yang direncanakan. d. Anggaran Sebagai Alat Politik Dalam organisasi sektor publik, melalui anggaran dapat dilihat komitmen pengelolaan dalam melaksanakan program-program yang telah dijanjikan. e. Anggaran sebagai Alat Koordinasi dan Komunikasi Melalui dokumen anggaran yang komprehensif sebuah bagian atau unit kerja atau departemen yang merupakan suborganisasi dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dan juga apa yang akan dilakukakan oleh bagian/unit kerja lainnya. f. Anggaran sebagai Alat Penilaian Kinerja Anggaran adalah suatu ukuran yang bisa menjadi patokan suatu bagian/unit kerja telah memenuhi target baik berupa terlaksananya aktivitas maupun terpenuhinya efisiensi biaya.
21
g. Anggaran sebagai Alat motivasi Anggaran dapat digunakan sebagai alat komunikasi dengan menjadikan nilai-nilai nominal yang tercantum sebagai target pencapaian. Anggaran akan menjadi alat motivasi yang baik jika memenuhi sifat “menantang tetapi masih mungkin untuk dicapai” (challenging but attainable atau demanding but achievable). Suatu anggaran itu hendaknya tidak terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi juga tidak terlalu rendah sehingga terlalu mudah dicapai. Berdasarkan pasal 83 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, didahului dengan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang keduanya disusun berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan dengan berpedoman kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penyusunan APBD. APBD disusun berpedoman pada RKPD melalui KUA dan PPAS yang disepakati antara Pemerintah Daerah Kabupaten dan DPRD Kabupaten, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan daerah. RKPD kemudian diterjemahkan kedalam Rencana Kerja SKPD yang disusun dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan : (1)
22
aspirasi masyarakat, (2) kinerja pemerintah daerah sebelumnya, (3) perkembangan dan arah kebijakan ekonomi nasional, (4) potensi daerah. (LKjIP Kabupaten Karanganyar Tahun 2014) APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam masa satu tahun anggaran sesuai dengan Undang-undang mengenai keuangan daerah yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2014. Adanya Undang-undang No. 23 Tahun 2014 yang telah dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya ada peraturan yang mengatur tentang pedoman penyusunan APBD yang digunakan dalam perencanaan pembangunan nasional. Adapun Prosedur penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu: 1. Kepala daerah menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan diajukan kepada DPRD untuk dibahas. 2. KUA serta PPAS yang telah disepakati oleh kepala daerah bersama DPRD menjadi pedoman Perangkat Daerah dalam menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). 3. Rencana Kerja dan anggaran SKPD disampaikan kepada pejabat pengelolaan keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.
23
4. Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana kerja anggaran, serta dokumen pelaksanaan anggaran SKPD diatur dalam perda yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. D. Pendapatan Daerah dan Dana Perimbangan Pendapatan daerah adalah semua pemasukkan yang diterima daerah dari suatu kegiatan di pemerintahan. Pendapatan yang diterima nantinya akan dijadikan acuan untuk menyusun program pemerintah dalam penggunaan pengelolaan pertumbuhan suatu daerah. Oleh sebab itu, peningkatan pendapatan sangat penting bagi setiap daerah. Dengan adanya peningkatan pendapatan daerah pemerintah dapat memaksimalkan untuk kegiatan belanja yang akan meningkatkan kualitas pembangunan suatu daerah. Adapun definisi pendapatan daerah menurut ahli adalah sebagai berikut: Menurut Widarta (2005:115). Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam peningkatan pendapatan daerah Pemerintah Daerah sebaiknya berfokus pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena PAD merupakan pemasukkan untuk daerah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan belanja daerah, Pemerintah Daerah berupaya meningkatkan hasil penerimaan daerah seperti penerimaan dari sektor pajak maupun retribusi daerah.
24
Sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri atas: (Mardiasmo, 2002) 1. Hasil pajak daerah. 2. Hasil retribusi daerah. 3. Hasil perusahaan milik daearh dan hasil pengelolaaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan 4. Lain-lain PAD yang sah. Pemerintah
Daerah
dalam
melaksanakan
rumah
tangganya
memerlukan sumber pendapatan yang berasal dari PAD. Tanpa adanya dana yang cukup, maka ciri pokok dari otonomi daerah menjadi hilang. Meskipun daerah juga mendapatkan sumber-sumber dari PAD, namun PAD mempunyai peranan yang strategis di dalam keuangan daerah karena bagi suatu daerah sumber pendapatan daerah merupakan tiang utama penyangga kehidupan daerah. Oleh karena itu para ahli sering memakai PAD sebagai alat analisis dalam menilai tingkat otonomi suatu daerah (Hariyanto, 2005). Adapun penerimaan kas daerah selain dari Pendapatan Asli daerah seperti Dana Perimbangan. Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk pelaksanaan daerah. Dana Perimbangan terdiri atas: (Mardiasmo, 2002) 1. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Penghasilan Perseorangan, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam (SDA). 2. Dana Alokasi Umum (DAU), dan
25
3. Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana perimbangan didefinisikan sebagi dana yang bersumber dan pendapatan APBD yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 1. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang berumber dari pendaptan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil bersumber dari pajak, yang terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Penghasilan (PPH), serta bersumber dari Sumber Daya Alam (bukan pajak) yang berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. 2. Dana alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBD yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
26
E. Pengertian Belanja Daerah Anggaran belanja yang diterima oleh Pemerintah Daerah dapat menunjang pertumbuhan belanja daerah yang akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
dari
setiap
Kota/Kabupaten/Provinsi.
Perkembangan sarana dan prasarana juga menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dalam mengatur anggaran belanja daerahnya. Menurut Widarta (2005:115). “Belanja Daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Dalam pelaksanaan belanja daerah Pemerintah Pusat sudah membuat peraturan yang kegiatan belanja daerah menjadi lebih terkendali. Menurut Kepmendagri Nomor. 29 Tahun 2006 mengenai penggolongan belanja. “Belanja digolongkan menjadi 2 yakni belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung terdiri atas belanja pegawai (yang berisi gaji dan tunjangan pejabat dan pegawai negeri sipil), belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan desa, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan desa dan belanja tidak terduga. Belanja langsung diklasifikasikan menjadi belanja pegawai (yang berisi honorarium dan uang lembur), belanja barang dan jasa, dan belanja modal.”
F. Pengalokasian dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pengalokasian APBD dari tahun ketahun selalu mengalami perubahan sesuai dengan peraturan yang telah dikeluarkan. Sesuai dengan Undang-undang terbaru yang didalamnya ada peraturan tentang alokasi anggaran belanja daerah. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan
27
urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah yang terdiri atas urusan pemerintahan wajin dan urusan pemerintahan pilihan. Belanja daerah tersebut di prioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal serta berpedoman pada standar teknis dan harga satuan regional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pada tahun 2010 belanja daerah disusun dengan prestasi kerja yang berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan, oleh karena itu dalam penyusunan APBD tahun anggaran 2010 agar Pemerintah Daerah berupaya menetapkan target capaian baik dalam konteks daerah, satuan kerja dan kegiatan sejalan dengan urusan yang menjadi kewenangannya. Pengalokasian belanja daerah di tahun 2010 pada Belanja Langsung mendapat porsi alokasi yang lebih besar dari Belanja Tak Langsung, dan Belanja Modal mendapat porsi alokasi yang lebih besar dari Belanja Pegawai atau Belanja Barang dan Jasa. (Permendagri No. 25 Tahun 2009). Penyerapan anggaran belanja daerah sangat penting untuk menilai kinerja keuangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan anggaran belanja daerah yang terealisasi. Penyerapan dapat dikatakan sangat baik apabila mencapai seratus persen (100%). Penyerapan anggaran yang baik adalah dengan didukung pencapaian suatu daerah seperti adanya pembangunan daerah dari tahun ke tahun. Sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan
28
Republik Indonesia Nomor 249/PMK.02/2011 tentang “Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga”. Hasil penilaian kinerja dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut: Tabel II.1 Penilaian Kinerja Persentase
Kategori
90% - 100%
Sangat Baik
80% - 90%
Baik
60% - 80%
Cukup/Normal
50% - 60%
Kurang
Sampai dengan 50%
Sangat Kurang
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.02/2011 Untuk
penyerapan
APBN
Pemerintah
berupaya
penyerapan
anggaran belanja tahun ini bisa lebih maksimal dibandingkan dengan tahun lalu. Sekretaris Utama Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Syahrial Loetan mengatakan,“pemerintah berupaya bisa mencapai target penyerapan 20% pada kuartal I, sebagaimana yang ditargetkan semula”. Menurutnya, target penyerapan anggaran sebesar 20% tidak terlalu tinggi. “Sudah ada hitungannya, tentu harus kita dukung. Dari sisi regulasi, kita selalu ingatkan agar penyerapan
29
belanja kementrian/lembaga maksimal,” ujarnya (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Direktoran Jenderal Anggaran 2011). Seperti halnya dengan APBD target dalam setiap triwulan pertama hingga keempat juga harus melakukan penyerapan sebesar 20%. Hasil wawancara dengan bapak Aris Munadar selaku Kasubag Perencanaan di DPPKAD Kabupaten Sragen yang menyatakan “Untuk setiap triwulan pertama dalam satu tahun anggaran untuk penyerapan anggaran ditargetkan mencapai dua puluh persen (20%) hal tersebut juga berlaku untuk triwulan-triwulan selanjutnya, dan penyerapan paling baik pada akhir tahun anggaran bisa mencapai seratus persen (100%)”. G. Analisis Belanja Daerah Dalam organisasi pemerintahan belanja daerah berorientasi kepada pembangunan suatu daerah. Sifat belanja daerah yang mudah dilakukan menjadi sangat rentan terhadap kebocoran, oleh karena itu perencanaan, pengendalian
dan
pengawasan
sangat
penting
dilakukan
untuk
meminimalisir kesalahan. Setelah anggaran belanja digunakan dan dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran, selanjutnya analisis terhadap belanja daerah harus dilakukan koreksi untuk perbaikan periode berikutnya. Mahmudi (2006:134) Analisis belanja daerah sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi apakah pemerintah daerah telah melakukan APBD secara ekonomis, efisien, dan efektif (value for money). Sejauh mana pemerintah daerah telah melakukan efisiensi anggaran, menghindari
30
pengeluaran yang tidak perlu dan pengeluaran yang tidak tepat sasaran. Dengan digunakannya sistem penganggaran berbasis kinerja, semangat untuk melakukan efisiensi (penghematan) atas setiap belanja mutlak harus tertanam dalam jiwa setiap pegawai pemerintah daerah. Pemerintah tidak perlu lagi berorientasi untuk menghabiskan anggaran yang berakibat terjadinya pemborosan anggaran, tetapi hendaknya berorientasi pada output dan outcome dari anggaran. Adapun analisis yang digunakan dalam belanja daerah untuk mengetahui sejauh mana Pemerintah Daerah melakukan efisiensi anggaran dengan berbasis kinerja. Menurut Mahmudi (2007:142-152), berdasarkan informasi pada Laporan Realisasi Anggaran, kita dapat membuat analisis anggaran. 1. Analisis Varians Belanja Dalam hal belanja daerah terdapat ketentuan bahwa anggaran belanja merupakan batas maksimum pengeluaran yang boleh dilakukan pemerintah daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah akan dinilai baik kinerjanya apabila realisasi belanja tidak melebihi dari yang dianggarkan. Analisis varians merupakan analisis terhadap perbedaan atau selisih antara realisasi belanja dan anggaran. Analisis varians cukup sederhana namun dapat memberikan informasi yang sangat berarti. Bedasarkan Laporan Realisasi Anggaran yang disajikan, pembaca laporan dapat mengetahui secara langsung besarnya varians anggaran belanja dengan realisasinya yang bisa dinyatakan dalam nilai
31
nominalnya atau presentasenya. Selisih anggaran belanja dikategorikan dua jenis, yaitu: 1) Selisih disukai (favourable variance), 2) Selisih tidak disukai (unfavourable variance). Dalam hal ini realisasi belanja lebih kecil dari anggarannya maka disebut favourable variance, sedangkan jika realisasi belanja lebih besar dari anggarannya maka dikategorikan unfavourable variance. Hal ini penting yang harus diperhatikan dalam analisis varians adalah: a. Mempertanyakan alasan terjadinya varians. Apakah selisih tersebut cukup beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan? b. Berapa besarnya varians, apakah jumlahnya signifikan atau tidak? c. Berapa tingkat selisih (varians) yang bisa ditoleransi? Selisih realisasi belanja dengan yang dianggarkan yang cukup signifikan bisa memberikan dua kemungkinan, pertama hal itu menunjukkan adanya efisiensi anggaran. Kedua justru sebaliknya, jika terjadi selisih kurang maka sangat mungkin telah terjadi kelemahan dalam perencanaan anggaran. Pada penelitian sebelumnya jika selisih antara anggaran belanja dan realisasi belanja cukup signifikan, maka sangat mungkin terjadi kelemahan. Dalam jurnal Christian Kainde yang berjudul “Analisis Varians Dan Pertumbuhan Belanja Daerah Pada Pemerintahan Kota Bitung” yang menyatakan bahwa: “Apabila selisih antara anggaran belanja dan realisasi tidak begitu besar, berarti kinerja dari pemerintah dapat dikatakan baik dikarenakan adanya penghematan anggaran. Secara umum
32
terjadinya varians karena terdapatnya selisih yang cukup signifikan antara perencaan anggaran belanja dan realisasi anggaran belanja. Sangatlah mungkin terjadi kelemahan dalam perencanaan anggaran jika perkiraan dalam belanjanya kurang tepat atau tidak terserapnya anggaran tersebut. Bisa jadi hal tersebut disebabkan ada program dan kegiatan yang tidak dilaksanakan padahal sudah direncanakan dalam anggaran yang pada intinya sisa dari penghematan tersebut dapat disalurkan ke pos-pos belanja yang masih kurang.”
2. Analisis Pertumbuhan Belanja Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan
pemerintah
daerah
dalam
mempertahankan
dan
meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masingmasing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapat perhatian. Persentase pertumbuhan belanja daerah:
3. Analisis Keserasian Belanja a. Analisis Belanja per Fungsi terhadap Total Belanja Analisis belanja per fungsi terhadap total belanja dihitung dengan cara membandingkan belanja tiap-tiap fungsi terhadap total belanja dalam APBD. Rasio Belanja per Fungsi:
33
b. Analisis Belanja Operasi Terhadap Total Belanja Analisis belanja operasi terhadap total belanja merupakan perbandingan antara total belanja operasi dengan total belanja daerah. Rasio ini menginformasikan mengenai porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja operasi.
Belanja operasi
merupakan belanja yang manfaatnya habis dikonsumsi dalam satu tahun anggaran, sehingga belanja operasi sifatnya jangka pendek dan dalam hal tertentu sifatnya rutin atau berulang. Mahmudi (2007:146). Rasio Belanja Operasi terhadap Total Belanja:
c. Analisis Belanja Modal terhadap Total Belanja Analisis Belanja Modal terhadap Total Belanja merupakan perbandingan antara total realisasi belanja modal dengan total belanja daerah. Berdasarkan rasio ini, pembaca laporan dapat mengetahui porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk investasi dalam bentuk belanja modal pada tahun anggaran bersangkutan. Berbeda dengan belanja operasi yang bersifat jangka pendek dan rutin, pengeluaran belanja modal yang dilakukan saat ini memberikan manfaat jangka menengah dan panjang. Mahmudi (2007:146).
34
Rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja:
Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan seberapa besar porsi belanja daerah yang telah dibelanjakan untuk kegiatan belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah dengan belanja barang dan jasa, merupakan belanja Pemerintah Daerah yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya maka akan semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika semakin rendah angka rasionya maka semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut DJPK-KEMENKEU RI (2011:45) d. Analisis Belanja Langsung dan Tidak Langsung Analisis proporsi belanja langsung dan tidak langsung bermanfaat untuk kepentingan manajemen internal pemerintah daerah, yaitu untuk pengendalian biaya dan pengendalian anggaran. Belanja Langsung dan Tidak Langsung biasanya menjadi bagian dari laporan keuangan eksternal, namun informasi tersebut sangat penting bagi manajemen internal. Pengklasifikasian belanja ke dalam belanja langsung dan tidak langsung merupakan klasifikasi berdasarkan aktivitas, sedangkan pengklasifikasian belanja ke
35
dalam belanja operasi dan belanja modal adalah klasifikasi berdasarkan jangka waktu manfaat yang dinikmati atas belanja tersebut. Rasio belanja langsung menggambarkan keseimbangan antara alokasi dana pemerintah daerah pada belanja rutin dan belanja pembangunan. Semakin tinggi rasio belanja langsung, maka semakin tinggi pula kemampuan keuangan daerah dalam mendukung otonomi daerah. Mahmudi (2007:151). Rasio Belanja Langsung terhadap Total Belanja:
Rasio Belanja Tidak Langsung terhadap Total Belanja:
4. Analisis Efisiensi Belanja Analisis Efisiensi Belanja merupakan perbandingan antara realisasi belanja dengan anggaran. Rasio efisiensi belanja ini digunakan untuk mengukur tingkat penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah. Angka yang dihasilkan dari rasio efisiensi ini tidak bersifat absolute, tetapi relative. Artinya tidak ada standar baku yang dianggap baik untuk rasio ini. Kita hanya dapat mengatakan tahun ini belanja pemerintah daerah relatif lebih efisien dibandingkan tahun lalu. Pemerintah daerah dinilai telah melakukan efisiensi anggaran jika rasio efisiensinya kurang dari 100%. Sebaliknya jika
36
melebihi
100%
maka
mengidikasikan
terjadinya
pemborosan
anggaran. Mahmudi (2007:152) Rasio Efisiensi Belanja:
5. Analisis Belanja Daerah terhadap PDRB Analisis belanja daerah terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) merupakan perbandingan antara total belanja dengan PDRB yang dihasilkan daerah. Rasio ini menunjukkan produktivitas dan efektifitas belanja daerah. Mahmudi (2007:152) Rasio Belanja Daerah terhadap PRDB:
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB daerah tersebut. Apabila angka-angka PDRB disajikan atas dasar harga konstan, maka hal tersebut akan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sedangkan jika angka-angka dalam PDRB tersebut mengalami peningkatan setiap tahunnya, maka hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tersebut meningkat dan sebaliknya apabila angka-angka yang disajikan dalam PDRB mengalami penurunan setiap tahunnya, maka hal itu menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut mengalami penurunan. BPS (2004) dalam Veronika (2012:21).
37
Rekapitulasi Analisis Belanja No.
Analisis Belanja
Ukuran
Kriteria
1
Varians Belanja
Realisasi < Anggaran
Baik
2
Pertumbuhan Belanja
Positif
Baik
3
Efisiensi Belanja
Rasio Efisiensi < 100%
Baik
Semakin besar % untuk 4
Keserasian Belanja
Sumber: M. Faqihudin,2010
ekonomi masyarakat
Baik