BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pemahaman Otonomi Daerah
Pengertian Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD untuk meningkatkan akuntabilitasi dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama (Sidik, 2002)
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu : (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan mensejahterakan
masyarakat,
(2)
menciptakan
efisiensi
dan
efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002). Selanjutnya dalam Penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumbersumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. Dijelaskan juga dalam UU Nomor 32 tahun 2004, bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memerlukan dukungan dari perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dimana hal ini salah satunya disebabkan masih rendahnya kemampuan keuangan daerah. Pelaksanaan desentralisasi pembangunan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan di daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan kemungkinan pengelolaan dan pengembangan berbagai sendi pembangunan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan pembangunan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih berseifat desentralistik.
Desentralisasi pelaksanaan pembangunan merupakan suatu keharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pembangunan ini. Ketiga hal tersebut adalah : Pembangunan masyarakat demokrasi, Pengembangan social capital dan Peningkatan daya saing bangsa. Ketiga hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa desentralisasi pembangunan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia. Masih banyak daerah di Indonesia ini yang tidak atau belum siap menerima berbagai kewenangan di berbagai bidang pembangunan.
2.2
Kebijakan Publik
Pada era reformasi ini yang mengatur segalanya mulai dari perencanaan, hingga pelaksanaan sebuah program itu semua diatur atau ditetapkan dari sebuah kebijakan tertentu. Maka dapat di definisikan menurut para pakar Ealau dan Prewitt dalam Suharto (2008:7) pemaknaan kebijakan “sebagai sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya”. Sedangkan menurut Titmuss (dalam Suharto, 2008:7) pemaknaan sebuah kebijakan “adalah sebagai prinsipprinsip yang mengatur tindakan yang di arahkan kepada tujuan-tujuan tetentu”. Adapun menurut beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Huttman, Magill, dan Hill dalam Suharto (2008:10) juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut : 1.
Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah (Magill, 1986).
2.
Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga Negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall,1956).
3.
Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).
4.
Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencanarencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981).
5.
Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan Negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996). Dari uraian beberapa pengertian kebijakan di atas maka kesimpulan yang
dapat diambil oleh penulis adalah kebijakan merupakan sebuah tindakan yang dilakukukan dalam penyelenggaraan pemerintahan guna untuk mencapai tujuan bersama dalam konteks mensejahterakan masyarakat. Kebijakan menurut Hoogerwerf dalam Subarsono (2008:2) “kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk, memecahakan, mengurangi, mencegah suatu masalah melalui cara tertentu yaitu dengan tindakan-tindakan yang terarah”. Pendapat Heln dan Eulauk menyatakan bahwa “kebijakan adalah suatu keputusan yang tetap yang ditandai dengan adanya perhubungan dan keberulangan pada bagian-bagian dari keduanya yang membuat tunduk padanya”.
Dari beberap definisi di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kebijakan adalah suatu serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
2.3
Implementasi Kebijakan
Kebijakan publik tidak akan memiliki arti jika tidak diiringi dengan pelaksanaan (implementasi) yang baik. Implementasi kebijakan merupakan tujuan dari diadakannya kebijakan (policy goals). Implementasi kebijakan lebih bersifat praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan. Menurut Udoji dalam Iskandar (2005:59) : Implementasi suatu kebijakan pada satu kondisi lebih penting dari pembuatan kebijakan itu sendiri. Kebijakan akan sekedar menjadi impian atau rencana yang bagus serta menjadi suatu bahan arsip apabila kebijakan itu tidak diimplementasikan. Implementasi merupakan hal yang sangat penting, bahkan lebih penting dari sebuah kebijakan itu sendiri. Menurut Edward dalam Iskandar (2003:90) implementasi kebijakan akan berhasil apabila terdapat 4 (empat) faktor kritis yang mendukungnya, yaitu:
Menurut Wahab (dalam Iskandar, 2003:75) mengemukakan bahwa: implementasi merupakan aspek yang penting dari seluruh aspek kebijakan.
Implementasi
bukan
hanya
menyangkut
mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan kedalam prosedur-prosedur lewat saluran-saluran birokrasi, tetapi juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan apa yang diperoleh dari suatu kebijakan”.
1.
Komunikasi
2.
Sumber daya
3.
Disposisi
4.
Struktur birokrasi
Keempat faktor di atas memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan atuapun kegagalan peleksanaan sebuah kebijakan. Implementasi menuntut ketersediaan sumber daya. Kinerja implementasi akan apabila sumber daya yang dibutuhkan rendah. Sumber daya yang baik akan menimbulkan terwujudnya implementasi kebijakan yang efektif dan efisien. Implementasi kebijakan harus disertai dengan adanya komunikasi. Semua pelaksana akan memahami apa yang diinginkan apabila terjalin komunikasi yang baik. Komunikasi menyangkut kewenangan serta kepemimpinan. Struktur birokrasi pelaksana meliputi karakteristik, norma, dan pola hubungan, sangat berpengaruh terhadap implementasi sebuah kebijakan. Faktor sumber daya, komunikasi, dan struktur birokrasi akhirnya bermuara pada terbentuknya disposisi terhadap implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan juga dapat mengalami kegagalan apabila pada pelaksana berjalan tidak efektif dan efisien dan tidak loyal. Kamus Webster dalam Wahab menjelaskan dalam Widodo (2009:86) implementasi diartikan sebagai “to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effects to (menimbulkan
dampak/akibat
terhadap
sesuatu)”.
Implementasi
berarti
menyediakan sarana untuk melaksanakan suatu dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu tertentu.
Lebih lanjut Mazmanian dan Sabatier dalam Widodo (2009:88) menjelaskan lebih rinci implementasi kebijakan dengan mengemukakan bahwa implementasi “adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk UndangUndang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan”. Dalam memberikan pelayanan tidak lepas dari peran pemimpin birokrasi. Menurut Sinambela dalam buku Harbani Pasolong (2008:196) menyatakan : bahwa apapun tingkat birokrasi yang dimiliki, pada dasarnya tidak mengurangi tanggungjawabnya
sebagai
pemimpin
yang
mempunyai
peranan
untuk
memberikan pelayana terbaik untuk masyarakat, karena dengan peranan pemimpin berusaha memberikan pelayanan publik terbaik, itulah salah satu factor pemimpin untuk mencapai tujuan sebaik-baiknya.
Dari uraian di atas, hakekat utama dari implementasi adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah sesuatu program dinyatakan berlak uatau dirumuskan. makna dari implementasi ini merupakan sesuatu sarana yang melaksanakan program dari sebuah kebijakan yang ingin dilaksanakan secara efisien dan efektif pada suatu rangkaian kegiatan tertentu dengan maksud dan tujuan bersama. Hal demikian juga tidak terlepas dari peran pemimpin yang memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sebaik-baiknya. Pada pelaksanaan kegiatan kebijakan tentunya peran pemimpin layak diunggulkan karena mempunyai andil yang sangat penting dalam memberikan pelayanan serta memberi motivasi dalam bekerja pada suatu organisasi.
2.4.
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Secara
konseptual,
pemberdayaan
atau
pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Menurut
Suharto
(2005:60)
mengatakan
bahwa
“tujuan
pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil)”. Menurut Terry dan Rue (2005:104) mengatakan bahwa “power adalah kemampuan untuk memerintahkan atau menggunakan kekerasan dan tidak harus diikuti dengan kekuasaan”. Kekuasaan diperlukan untuk membimbing kegiatan-kegiatan setiap satuan menuju tujuan-tujuan menyeluruh organisasi. Dan, dalam sebagian organisasi-organisasi seorang pemangku jabatan, karena kedudukan dalam organisasi atau karena posisi, menerima kekuasaan yang diperlukan itu untuk melakukan kewajibankewajiban pekerjaan. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas.
Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi social antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada 2 (dua) hal, yaitu: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah, jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun dan (2) bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : 1.
Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan;
2.
menjangkau
sumber-sumber
produktif
yang
memungkinkan
mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barangbarang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan 3.
berpartisipasi
dalam
proses
pembangunan
keputusan yang mempengaruhi mereka.
dan
keputusan-
Beberapa ahli di bawah ini mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan: Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984). Menurut
Ife
(1995)
sebagaimana
dikutip
Suharto
(2005),
pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas : 1.
Pilihan-pilihan
personal
dan
kesempatan-kesempatan
hidup;
kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan. 2.
Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
3.
Ide
atau
gagasan:
kemampuan
mengekspresikan
dan
menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4.
Lembaga-lembaga : kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi
pranata-pranata
masyarakat,
kesejahteraan social, pendidikan, kesehatan.
lembaga-lembaga
5.
Sumber-sumber : kemampuan mobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
6.
Aktivitas ekonomi : kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa
7.
Reproduksi : kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat,
termasuk
individu-individu
yang
mengalami
masalah
kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat
yang
berdaya,
memiliki
kekuasaan
atau
mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun social seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun
karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi : 1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis. 2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. 3.
Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga (Suharto, 2005:60).
Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) sebagaimana dikutip Suharto (2005) menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa
faktor
seperti:
ketiadaan
jaminan
ekonomi,
ketiadaan
pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional. Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah, dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut keadaan ini dengan istilah
“alienasi”. Sementara Seligman menyebutnya sebagai “ketidakberdayaan yang dipelajari” (learned helplessness), dan Learner menamakannya dengan istilah “ketidakberdayaan surplus” (surplus powerlessness) (Suharto, 2005:61). Learner lebih jauh menjelaskan konsep “pentidakberdayaan” ini sebagai proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada. Sebagai contoh, para penerima Bantuan Sosial Keluarga (AFDC/ Aid for Families with Dependent Children) merasa tidak berdaya untuk merubah program dan bentuk-bentuk pelayanan AFDC. Mereka memiliki persepsi bahwa dirinya tidak mampu, tidak berdaya, atau bahkan tidak berhak untuk merubah program-program tersebut. Menurut Kieffer (1984:9), ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan- diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber social dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik. Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Menurutnya, ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif dengan lingkungan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 2005). 1.
Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang
terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat. 2.
Interaksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem diluar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau keompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi social dimana mereka berada.
3.
Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran
dan
tindakan
kelompok
tertentu.
Situasi
ini
dapat
mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.
Bertitik tolak dari uraian teori di atas, maka dapat dikatakan setidaktidaknya ada 2 (dua) macam perspektif yang relevan untuk mendekati persoalan pemberdayaan masyarakat desa (terutama kelompok miskin), yaitu : (1) perspektif yang memfokuskan perhatiannya pada alokasi
sumber daya, dan (2) perspektif yang memfokuskan perhatiannya pada penampilan kelembagaan (Usman, 2006:21). Lebih lanjut, dikatakan bahwa dalam perpektif yang pertama, ketidakberdayaan kelompok miskin dianggap sebagai akibat dari syndrome kemiskinan yang rekat melekat pada kehidupan kelompok miskin itu sendiri. Sedangkan pada perspektif yang kedua , ketidakberdayaan itu dianggap sebagai konsekuensi dari bentuk pengelolaan pelayanan kelembagaan yang diskriminatif. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka menurut hemat peneliti, yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah serangkaian kegiatan untuk memberdayakan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan daya, hanya saja satu dan yang lainya berbeda dan sangat dipengaruhi oleh “interlingking factor” antara lain pengetahuan, kemampuan, status, harta, kedudukan, jenis kelamin, faktor inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan subyek (penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Pola seperti hubungan inilah yang akan diperbaiki dalam proses pemberdayaan. Proses pemberdayaan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Adi
(2002:172)
bahwa
pemberdayaan
merupakan
proses
yang
berkesinambungan sepanjang hidup seseorang (on-going process). Pemberdayaan sebagai on going process di mana melihat proses pemberdayaan individu sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukanya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja. Hal ini juga
berlaku pada suatu pada suatu masyarakat, di mana suatu komunitas proses pemberdayaan tidak akan berakhir dengan selesainya suatu program, baik program yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan diri mereka sendiri. Menurut
hogan
(2000:20),
proses
pemberdayaan
yang
berkesinambungan itu terdiri dari lima tahapan utama yaitu: 1.
Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayaakan (recall depowering/empowering experiences).
2.
Mendiskusikan alasan mengapa terjadinya pemberdayaan dan ketidak berdayaan (discuss reasons for depowerment/empowerment).
3.
Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek (identify one problem or project).
4.
Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna (identify useful power basis).
5.
Mengembangkan rencana – rencana aksi dan mengimplementasikan (develop and implement action plants). Dari ke lima tahap di atas, Hogan meyakini bahwa proses
pemberdayaan yang terjadi pada tingkat individu, berhenti pada suatu titik tertentu, tetapi lebih merupakan sebagai upaya berkesinambungan untuk meningkatkan daya yang ada. Pandangan Prijono dan Pranaka (1996) proses pemberdayaan memiliki kecendurungan :
1. Proses pemberdayaan yang menekan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan, kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. 2. Sebagai proses stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan. Untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog dan diskusi dalam organisasi/ kelompok secara bersama. Lebih Lanjut dapat dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu : 1.
Inisiatif dari pemerintah oleh pemerintah dan untuk rakyat
2.
Participatoris dari pemerintah bersama masyarakat oleh pemerintah bersama masyarakat untuk rakyat.
3.
2.5.
Emansipatif dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Partisipasi aktif masyarakat mutlak diperlukan dalam proses pembangunan, apalagi kalau ditilik dari paradigm pembangunan yang berpusat pada rakyat yang mana pembangunan pada dasarnya adalah merupakan proses perubahan (bukan berorientasi pada hasil), salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan perilaku dan sikap. Menurut Soetomo (2002) salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku adalah dengan melihat pada adanya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan baik secara kualitas dan kuantitas. Beberapa pihak mencoba merumuskan pengertian partisipasi dengan memasukkan dua kriteria yakni keterlibatan dan faktor yang melatar
belakangi dan mendorong keterlibatan tersebut (dalam Soetomo 2002). Dengan menggunakan kedua kriteria tersebut partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Apabila yang ada hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong oleh determinasi dan kesadaran maka hal tersebut bukan partisipasi, melainkan mobilisasi. Pengertian partisipasi dengan memasukkan kedua kriteria tersebut adalah yang lebih sesuai dengan kerangka
berpikir yang
dikembangkan dalam strategi Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah partisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan mulai dari pengambilan keputusan dalam identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan program, pelaksanaan program serta dalam evaluasi dan menikmati hasil. Apabila dikenal ada pengertian partisipasi parsial dan partisipasi prosesional, maka yang dimaksud adalah dalam pengertian sebagai partisipasi professional, karena bukan hanya dalam salah satu bagian dari proses tetapi meliputi keseluruhan proses. Dalam berbagai wacana juga sering dijumpai adanya pengertian partisipasi yang bersifat instrumental, yaitu partisipasi dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan partisipasi yang bersifat transformasional, dimana partisipasi dianggap sebagai tujuan. Berkenaan dengan kedua sifat tersebut, dalam Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas, partisipasi yang dimaksudkan meliputi keduanya, sebagai alat sekaligus tujuan. Dengan demikian, dalam proses pembangunan akan
terjadi perkembangan dan peningkatan kapasitas masyarakat secara komulatif yang tercermin dalam proses berkelanjutan. Sudut pandang yang lain, partisipasi masyarakat dalam pembangunan juga dapat berkedudukan sebagai input sekaligus output. Partisipasi masyarakat
menjadi
salah
satu
factor
pendukung
keberhasilan
pembangunan, dilain pihak juga dikatakan bahwa pembangunan berhasil kalau dapat meningkatkan kapasitas masyarakatnya, termasuk dalam berpartisipasi. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara lebih baik sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan juga merupakan pencerminan, bahwa dalam pembangunan masyarakat lebih memfokuskan perhatian pada aspek manusia dan masyarakatnya, bukan semata-mata pada hasilnya dalam bentuk material.
2.7
Pasar Tradisioanal Tidak ada yang pasti mengenai pasar tradisional. Menurut Soetandyo, (1991:16-17) pasar tradisional dapat didefinisikan sebagai berikut: Tempat pertemuan penjual dan pembeli barang-barang dan jasa yang diusahakan secara berkelompok dan terbuka untuk umum di mana komoditas perdagangannya sebagian besar berupa barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari, sedangkan barang lainnya sebagai pelengkap relatif sedikit.
Pasar juga berfungsi sebagai tulang punggung perekonomian nasional atau perekonomian rakyat karena melibatkan jutaan pedagang. Setidaknya ada dua peran yang dimainkan oleh pasar tradisional, yaitu, pasar sebagai
pusat ekonomi yang meliputi sistem distribusi, produksi dan konsumsi masyarakat. Pasar juga merupakan faktor penyumbang bidang sosial, yaitu dalam hal mengurangi pengangguran karena kegiatan ini bersifat pada karya dan dengan kualifikasi yang tidak terlalu sulit, misal hanya berpendidikan rendah mampu untuk bekerja disini. Dengan tingkat survive yang tinggi, serta tingkat kerugian yang kecil bila dibandingkan dengan sektor formal lebih menyababkan pekerjaan sebagai pedagang pasar mudah untuk digapai, yang ada pada akhirnya akan mudah menyerap tenaga kerja. Menurut Clifford Geertz dalam Soetandyo (1991:5-6) pasar berfungsi “menghubungkan kegiatan produksi barang-barang dengan kegiatan konsumsi masyarakat, juga memindahkan barang dari kota ke desa, desa ke kota, maupun kota/desa. Oleh sebab itu Geertz menyebut pasar sebagai lembaga perekonomian dan cara hidup”.
2.7.1
Jenis-Jenis Pasar Jenis pasar menurut bentuk kegiatannya. Menurut dari bentuk kegiatannya pasar dibagi menjadi 2 yaitu pasar nyata ataupun pasar tidak nyata(abstrak). Maka kita lihat penjabaran berikut ini:
Pasar Nyata Pasar nyata adalah pasar dimana barang-barang yang akan diperjual belikan dan dapat dibeli oleh pembeli. Contoh pasar tradisional dan pasar swalayan.
Pasar Abstrak
Pasar abstrak adalah pasar dimana para pedagangnya tidak menawar barang-barang yang akan dijual dan tidak membeli secara langsung tetapi hanya dengan menggunakan surat dagangannya saja. Contoh pasar online, pasar saham, pasar modal dan pasar valuta asing. Setidaknya ada tiga kelebihan pasar tradisional, yang pertama, dalam aktivitas ekonomi berupa transaksi; antara penjual dan pembeli bisa melakukan transaksi langsung dengan pembelinya. Kedua, terjadinya proses interaksi sosial yang berpengaruh pada keputusan dan kepuasan antara penjual dan pembeli. Ketiga, dari segi lokasi, pasar tradisional letaknya selalu berdekatan dengan permukiman penduduk. Ketiga hal tersebut tidak pernah dijumpai di pasar modern. Memang ada beberapa permasalahan yang saat ini belum dimiliki oleh pasar tradisional, dari aspek keamanan dan kebersihan misalnya, pasar tradisonal belum mampu memberikan pelayanan terbaik bagi pedagang dan pengunjung, sehingga aman dari kehilangan barang, pencopetan, tekanan preman dan lain sebagainya. Terbatasnya lahan parkir menjadi permasalahan yang tidak pernah usai untuk diperbincangkan. Pola hubungan antara pedagang dan manusia yang terlibat di dalam kegiatan perdagangan pasar merupakan hal yang tak kalah penting, di samping adanya hubungan ekonomis dan jalinan perdagangan antar pasar dan petani. Hubungan sosial ini terjalin akrab, karena adanya kesamaan geografis atau desa ataupun adanya rasa solidaritas sesama migran. Kreativitas pemerintah tidak pernah berhenti dalam menyukseskan program kerja pemerintah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
Pengembangan pasar tradisional merupakan salah satu bentuk tujuan pemerintah dalam menggapai visi dan misinya. Di samping itu, masyarakat harus dapat memahami konsep yang dilaksanakan pemerintah daerah agar pelaksanaan kegiatan kebijakan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang maksimal.
2.7.2 Pasang Surut Perkembangan Pasar Tradisional Dalam dua tahun terakhir ini, ekonomi dunia mengalami resesi yang berdampak pada lesunya pertumbuhan perekonomian, baik di kancah global maupun nasional. Di Indonesia, pergolakan ekonomi menjelang penghujung tahun 2010 menjadi perhatian banyak kalangan, baik para pengamat ekonomi, pelaku bisnis maupun masyarakat umum. Bagi sebagian besar ekonom, gonjang-ganjing perekonomian ini tentu berdampak pada mandegnya hajat hidup orang banyak. Fakta menjamurnya pasar modern di hampir semua daerah di Indonesia, cenderung meningkatkan iklim kompetisi yang ketat dan lambat-laun menggerus eksistensi pasar tradisional. Meski survei AC Nielsen di tahun 2009 menunjukkan grafik positif dari pangsa pasar tradisional yang mencapai 80%, namun ini bukan posisi aman. Di tahun 2010, Nielsen memprediksi adanya penurunan pangsa pasar tradisional menjadi 70% - 67%, sedangkan pasar modern meningkat 30% - 37%. Dalam hal ini, pasang surut perkembangan pasar tradisional juga dipengaruhi oleh media. Setidaknya, di media telah banyak iklan bisnis yang menyoroti keunggulan pasar modern. Sebaliknya, pasar tradisional
kerap diasosiasikan sebagai pasar yang kotor, becek, bau, dan jorok. Image buruk itu kemudian semakin kuat dengan gambar-gambar yang disajikan media secara eksplisit. Sederhanya, media lebih banyak menyoroti potret buram pasar tradisional. Derasnya arus pasang surut perkembangan pasar tradisional saat ini, memang belum kuat untuk menggerus keberadaan pasar tradisional. Tapi, tidak menutup kemungkinan pasar tradisional makin tersisihkan jika beberapa faktor di atas tak dibenahi. Diharapkan, pemerintah bisa mengambil langkah prefentif untuk menangani masalah ini, minimal melakukan langkah pengembangan sebagai upaya menata dan menjaga eksistensi pasar tradisional. Bagaimanapun, pasar tradisional sudah menjadi bagian penting dari budaya bangsa ini.
2.7.3 Klasifikasi Pasar Pasar tradisional Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar.
Pasar modern Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah hypermarket, pasar swalayan (supermarket), dan minimarket. Pasar dapat dikategorikan dalam beberapa hal. Yaitu menurut jenisnya, jenis barang yang dijual, lokasi pasar, hari, luas jangkauan dan wujud.
2.7.4 Pasar Menurut Jenisnya Pasar Konsumsi Pasar konsumsi adalah pasar yang menjual barang-barang untuk keperluan konsumsi. Misalnya menjual beras, sandal, lukisan, dll. Contohnya adalah Pasar Mergan di Malang, Pasar Kramat Jati di Jakarta, dll. Pasar Faktor Produksi Pasar faktor produksi adalah pasar yang menjual barang-barang untuk keperluan produksi. Misalnya menjual mesin-mesin untuk alat produksi barang, lahan untuk pabrik, dll.
Pasar Menurut Jenis Barang yang Dijual Pasar menurut jenis barang yang dijual dapat dibagi menjadi pasar ikan, pasar buah, dll. Pasar Menurut Lokasi Pasar menurut lokasi misalnya Pasar Kebayoran yang berlokasi di Kebayoran Lama, dll. Pasar Menurut Hari Pasar menurut hari dinamakan sesuai hari pasar itu dibuka. Misalnya Pasar Rebo dibuka khusus hari Rabu, Pasar Minggu dibuka khusus hari Minggu, Pasar Senen dibuka khusus hari Senin, Pasar Wage Purwokerto, dll.
2.7.5 Pasar Menurut Luas Jangkauan
Pasar Daerah Pasar Daerah membeli dan menjual produk dalam satu daerah produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar daerah melayani permintaan dan penawaran dalam satu daerah. Pasar Lokal Pasar lokal adalah pasar yang membeli dan menjual produk dalam satu kota tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar lokal melayani permintaan dan penawaran dalam satu kota.
Pasar Nasional Pasar nasional adalah pasar yang membeli dan menjual produk dalam satu negara tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar nasional melayani permintaan dan penjualan dari dalam negeri. Pasar Internasional Pasar internasional adalah pasar yang membeli dan menjual produk dari beberapa negara. Bisa juga dikatakan luas jangkauannya di seluruh dunia.