BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1
LANDASAN TEORI
2.1.1
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
2.1.1.1 Otonomi Daerah Pengertian otonomi daerah menurut undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan, otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi otonom dan parastatal, ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi nonpemerintah. Beragamnya daerah di indonesia yang meliputi provinsi, kabupaten, dan kota, kecamatan, dan desa/kelurahan membutuhkan sistem yang mampu mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar dan daerah kaya membantu daerah miskin. Itulah sistem otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sesuai dengan penjelasan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang menyatakan bahwa prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi daerah yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggungjawab. (1) Prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi layanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (2) Prinsip otonomi daerah yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani suatu urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. (3) Prinsip otonomi daerah yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional. Dalam wewenang
(desentralisasi)
(dekonsentrasi)
dan
tugas
berbarengan pembantuan
sistem
ini,
penyerahan
dengan pelimpahan
wewenang
seperti
yang ditunjukan pada
Gambar 2.1 (Badrudin, 2012). Gambar 2.1 Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia PUSAT
S, K, P P
PROVINSI
S,P KOTA
P
KABUPATEN
P DESA
Sumber : Kuncoro dalam (Badrudin, 2012)
Keterangan : S : Desentralisasi (penyerahan wewenang) = APBD K : Dekonsentrasi (pelimpahan wewenang) = sentralisasi APBN P : Tugas Pembantuan (sentralisasi dari APBN)
Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi itu sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional, artinya orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan
fungsi
pemerintahan,
yaitu
layanan,
pengaturan,
dan
pemberdayaan agar dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat. hubungan
Dalam
bahasa
politis,
pusat-daerah, otonomi merupakan sebuah
dalam
konteks
kewenangan
yang
dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi, birokrasi, keuangan, kebijakan publik, dan hal-hal lain dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Adanya otonomi daerah, lebih memungkinkan sebuah pembangunan lebih terarah dan tepat sasaran. 2.1.1.2 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses
pengambilan
keputusan
publik
yang
lebih
demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002). Wallace Oates dalam Decentralization Theorem-nya menyatakan bahwa barang publik yang ditentukan pada wilayah dan populasi tertentu, dan dengan biaya yang sama pada setiap tingkat output barang selalu lebih efisien disediakan oleh pemerintah lokal/daerah daripada disediakan oleh pemerintah pusat. Adanya
penerapan tata pemerintahan desentralisasi mempunyai dampak ekonomi pada suatu negara. Dalam hal ini, didukung oleh dua perspektif teori yaitu traditional theories (First-Generation Theories) dan new perspective theories (Second Generation Theories). Pada traditional theories menekankan dua keuntungan utama dari desentralisasi yaitu penggunaan informasi yang lebih efisien karena pemerintahan daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, memungkinkan masyarakat dalam memilih barang dan jasa publik sesuai dengan selera dan keinginan masyarakat. Sedangkan untuk new perspective theories menjelaskan pengaruh desentralisasi terhadap perilaku pemerintah daerah yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lokal dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah. Secara umum desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization). Desentralisasi fiskal terdiri dari 2 kata, yaitu desentralisasi
dan
fiskal.
Desentralisasi
mengacu
pada
“pembalikan
konsentrasi administrasi pada pemerintah pusat dan penyerahan kekuasaan ke pemerintah lokal” (Smith 1985 : 1) atau sebagai “proses penyerahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah subnasional” (Burki et al 1993 : 3). Pemindahan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat merupakan dasar dari desentralisasi. Oleh karena itu, desentralisasi dapat dikatakan sebagai sebuah alat untuk mencapai salah satu
tujuan
negara
yaitu
memberikan
pelayanan
publik
yang
lebih
baik
dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002). Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut : 1.
Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement;
2.
Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. Khusus desentralisasi fiskal, Bird dan Vaillancourt (2000) menyebutkan
tiga variasi desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan
yang
dilakukan
daerah.
Pertama,
desentralisasi
berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi yang berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, pelimpahan (devolusi) yang berhubungan dengan suatu
situasi yang bukan saja bersifat implementatif tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah. Litvack and Seddon (1998) di dalam Mauludin (2008) menyebutkan tiga pendekatan sebagai dasar di dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu (i) pendekatan
penerimaan,
(ii)
pendekatan
pengeluaran,
(iii)
pendekatan
komprehensif. Pendekatan penerimaan (income approach) mempunyai arti bahwa daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak atau menyerahkan proporsi tertentu dari penerimaan pusat. Di samping itu terkadang dimodifikasi dengan tambahan transfer dana yang bersifat umum dan khusus untuk mengkompensasi perbedaan di dalam potensi penerimaan. Sisi penting yang perlu diperhatikan dalam desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi penerimaan saja, tetapi juga perlu dilihat dari sisi pengeluaran (expenditure approach). Pendekatan pengeluaran diartikan bahwa daerah diberi kewenangan untuk menetapkan pengeluarannya, selanjutnya akan dibiayai sebagian atau seluruhnya melalui transfer. Transfer tersebut dapat berupa pinjaman, hibah (grant), atau bagi hasil (revenue sharing). Dan terakhir pendekatan pengeluaan ini tidak terlepas dari mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Manajemen keuangan daerah yang baik akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana-dana yang ada. Dengan demikian daerah perlu menyusun rencana pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, dan dilaksanakan dengan lebih transparan dan akuntabel. Pendekatan
komprehensif dilakukan
dengan
cara
menyelaraskan
potensi penerimaan dengan besarnya penerimaan dengan besarnya pengeluaran (expenditure needs). Dengan pendekatan ini kewenangan di bidang penerimaan
dan pengeluaran, dengan asumsi tertentu, diserahkan kepada daerah secara bersamaan. Apabila terjadi ketimpangan antara potensi penerimaan dan besarnya tanggung jawab pengeluaran yang didelegasikan
maka pemerintah pusat
akan menutupnya dengan hibah atau pinjaman.
2.1.2
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.1.2.1 Pengertian dan Fungsi APBD Anggaran mempunyai arti yang sangat penting karena anggaran merupakan alat untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Anggaran diperlukan karena dengan keterbatasan sumber daya yang ada, pemerintah harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang. Melalui anggaran, masyarakat dapat melihat bahwa
pemerintah
telah
bertanggung
jawab
terhadap
rakyatnya
(Mardiasmo,2002). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Nordiawan,2007). APBD merupakan instrument kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah (Mardiasmo,2002). Oleh karena itu, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi daerah tersebut.
APBD merupakan instrumen penting bagi pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
untuk
tercapainya tujuan bernegara. Oleh karena itu, dala pasal 3 ayat (4) UndangUndang RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa anggaran (APBN dan APBD) mempunyai fungsi sebagai berikut. 1.
Fungsi Otorisasi
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan 2.
Fungsi Perencanaan
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan 3.
Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan 4.
Fungsi Alokasi
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi
Fungsi Distribusi distribusi
mengandung
arti
bahwa
memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan 6.
Fungsi Stabilisasi
kebijakan
anggaran
harus
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. 2.1.2.2 Pendekatan Penganggaran Salah satu perubahan kunci yang diamanatkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Daerah adalah perubahan mengenai metode penganggaran dengan tiga pendekatan sebagai berikut. 1.
Pendekatan Penganggaran Terpadu APBD harus memuat semua kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) secara terpadu, tidak ada lagi dikotomi antara anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Dengan demikian, penganggaran menjadi lebih transparan serta memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Selain itu, penganggaran merupakan penjabaran dari biaya yang diperlukan berdasar perencanaan program dan kegiatan yang sudah ditetapkan dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). 2.
Pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja Anggaran Berbasis kinerja dimaksudkan agar di dalam penyusunan
anggaran berorientasi pada pencapaian keluaran dan hasil yang terukur. Selain itu, dalam merealisasikan suatu anggaran untuk membiayai program dan kegiatan harus memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas. Efisiensi diukur dengan membandingkan antara input (misalnya dana) yang digunakan dengan keluaran (output) yang diperoleh. Sedangkan efektivitas diukur dengan menilai apakah keluaran
(output)
dapat
berfungsi
sebagaimana
diharapkan
mendatangkan hasil (outcome) yang diinginkan. 3.
Pendekatan Penganggaran dengan Perspektif Jangka Menegah
sehingga
Pendekatan ini memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien. Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, ketidakpastian di masa yang akan datang dapat dikurangi. Apabila terdapat inisiatif kebijakan baru dalam penganggaran tahunan, harus dilakukan penghitungan implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal jangka menengah (medium term fiscal sustainability). 2.1.2.3 Struktur APBD Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. 1.
Pendapatan Daerah Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas
umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran, dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Klasifikasi pendapatan berdasarkan kelompok terdiri atas : a)
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
b)
Pendapatan Dana Perimbangan, dan
c)
Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah.
2.
Belanja Daerah Belanja Daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum
daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu
tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Klasifikasi belanja dirinci menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari : a)
Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan, yang diklasifikasikan
menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota; dan b)
Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara, yang digunakan untuk
tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pelayanan umum, ketertiban, keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Menurut kelompok, belanja diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : a)
Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang dianggarkan tidak terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; dan b)
Belanja langsung, yaitu belanja yang dianggarkanterkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang terdiri dari belanja pegawai (honorarium), belanja barang/jasa, dan belanja modal. 3.
Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran pembiayaan. Bila terdapat defisit anggaran, harus dapat ditutup dengan jumlah pembiayaan neto. 2.1.2.4 Anggaran Belanja Daerah Anggaran belanja daerah yang ditetapkan dalam APBD merupakan kebijakan
keuangan
Pemerintah
Daerah
yang
terkait
dengan
strategi
pembangunan ekonomi daerah. Dengan merencanakan alokasi anggaran pengeluaran, Pemerintah Daerah berupaya meningkatan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi hambatan pembangunan ekonomi. Perencanaan alokasi anggaran pengeluaran dalam APBD merupakan alokasi sumber daya pembangunan yang dapat diartikan sebagai suatu kebijakan anggaran Pemerintah Daerah untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar. Kebutuhan sosial masyarakat adalah kebutuhan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh masyarakat. Sejalan dengan reformasi anggaran sektor publik, Schick (1998) menjelaskan bahwa terdapat tiga prinsip dalam manajemen pengeluaran publik (Public Expenditure Management) yang mendukung terwujudnya penyusunan anggaran yang baik. Tiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Aggregate Fiscal Discipline
Prinsip ini bertujuan untuk mengontrol total pengeluaran yang merupakan tujuan pokok dari sistem anggaran. Tanpa pembatasan pengeluaran, dapat terjadi defisit anggaran dan secara progresif akan meningkatkan perbandingan rasio pajak pendapatan dan pengeluaran publik terhadap Gross National Produk (GNP). Aggregate Fiscal Discipline meliputi total pendapatan, keseimbangan fiskal, dan utang publik yang kesemuanya berpengaruh pada total pengeluaran. Prinsip ini mengutamakan total anggaran yang harus mencerminkan hasil secara
jelas,
dijalankan
dengan
kebijakan
yang
ketat,
tidak
hanya
mengakomodasi tuntutan pengeluaran, namun juga harus disusun sebelum kebijakan pengeluaran publik dibuat, dan ditindaklanjuti dalam jangka menengah dan jangka panjang. 2.
Allocative Efficiency Prinsip ini merupakan perwujudan penyusunan alokasi pengeluaran
pemerintah ke dalam sektor, program, dan proyek dengan skala prioritas dan effektivitas program publik yang berlandaskan kepada kerangka manajemen strategis. Sistem anggaran harus mendorong realokasi program dari prioritas yang rendah dan kurang efektif ke program dengan prioritas tinggi dan lebih efektif. Pengalokasian anggaran harus berdasarkan pada skala prioritas rencana pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. 3.
Operational Efficiency Prinsip ini menekankan bagaimana pemerintah dapat menghasilkan
barang dan jasa publik pada tingkat biaya yang lebih yang lebih efisien dan kompetitif dari harga pasar. Hal ini merupakan cerminan pengeluaran pemerintah yang dialokasikan pada kepentingan masyarakat. Operational Efficiency
merupakan bagian dari sistem penganggaran yang mendorong dilakukannya efisiensi. Dalam pelaksanaannya unit kerja selalu didorong untuk menghasilkan pendapatan (profit center) daripada menjadi sumber pemborosan biaya (cost center). Operational Efficiency dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, salah satunya melalui sistem pengawasan. Jika unit kerja dioperasikan dibawah kendali internal dan eksternal, pemerintah akan dapat mengevaluasi tidak hanya biaya yang menjadi substansial, tetapi juga apakah unit kerja telah benar-benar menjalankan peraturan yang ada.
2.1.3 Indikator Kesehatan Untuk mencipatakan masyarakat yang sehat pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan telah merumuskan berbagai indikator untuk mencapai Indonesia sehat. Selain melalui Kementrian Kesehatan pemerintah Indonesia juga telah ikut serta dalam MDGs, dimana MDGs merupakan komitmen Internasional untuk memberantas kelaparan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Tujuan ke-dua dari MDGs adalah menurunkan angka kematian bayi. Hal ini penting karena bayi lebih rentan terhadap penyakit dan juga kondisi lingkungan yang kurang sehat. Sehingga diperlukan peran pemerintah untuk menciptakan angka kematian bayi yang rendah. Indikator kesehatan berdasarkan visi Indonesia Sehat 2010 yang telah dirumuskan oleh Dinas Kesehatan RI terdiri dari : 1. Indikator masukan a. Pelayanan Kesehatan 1) Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan 2) Persentase desa yang mencapai “Universal Child Imunization”
3) Persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif b. Sumberdaya Kesehatan 1) Rasio dokter per-100.000 penduduk 2) Rasio bidan per 100.000 penduduk 3) Rata-rata persentase anggaran kesehatan dalam APBD kabupaten/kota 4) Alokasi Anggaran kesehatan pemerintah per-kapita per-tahun (ribuan rupiah) c. Manajemen Kesehatan 1) Rata-rata persentase anggaran kesehatan dalam APBD kabupaten/kota 2) Persentase kabupaten/kota yang memiliki dokumen system kesehatan d. Kontribusi Sektor-Sektor Terkait 1) Persentase penduduk yang melek huruf 2) Persentase keluarga yang memiliki akses terhadap air bersih 2. Indikator hasil antara (Intermediate Output). Indikator ini terdiri dari indikatorindikator ketiga pilar yang mempengaruhi hasil akhir, yaitu: a. Keadaan Lingkungan 1) Persentase rumah sehat 2) Persentase tempat-tempat umum sehat b. Perilaku Hidup Masyarakat 1) Persentase posyandu purnama dan mandiri 2) Persentase rumah tangga berprilaku hidup bersih dan sehat c. indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan. 1) Persentase penduduk yang memanfaatkan puskesmas 2) Persentase penduduk yang memanfaatkan rumah sakit
3. Indikator hasil akhir ( Derajat Kesehatan) a. mortalitas (kematian) 1) Angka kematian bayi per-1.000 kelahiran hidup 2) Angka kematian balita per-1.000 kelahiran hidup 3) Angka harapan hidup waktu lahir
2.1.4
Angka Kematian Bayi
2.1.4.1 Pengertian Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate) merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam mendeskripsikan tingkat pembangunan manusia di sebuah negara dari sisi kesehatan masyarakatnya. Kematian bayi adalah yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai belum berusia tepat satu tahun, secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan, sedangkan kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan 2.1.4.2 Penyebab Kematian Bayi
luar.
Sebab kematian pada anak. Tiga penyebab utama kematian bayi adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberi andil bagi 75% kematian bayi. Pada 2001 pola penyebab kematian bayi ini tidak banyak berubah dari periode sebelumnya, yaitu karena sebab-sebab perinatal, kemudian diikuti oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, tetanus neotarum, saluran cerna, dan penyakit saraf.Pola penyebab utama kematian balita juga hampir sama yaitu penyakit saluran pernafasan, diare, penyakit syaraf – termasuk meningitis dan encephalitis – dan tifus. 1. Faktor Ibu a.
Masa Kehamilan 1) ANC 2) Infeksi ibu hamil : rubela, sifilis, gonorhoe, malaria 3) Gizi Ibu Hamil 4) Karakteristik ibu hamil : umur, paritas, jarak
b.
Persalinan 1) Partus macet/ lama : letak sunsang, bayi kembar, distocia 2) Tenaga Penolong Kehamilan
2. Faktor janin a. Umur 0 – 7 hari : BBLR, Asfiksia b. Umur 8 – 28 hari : pneumonia, diare, tetanus, sepsis, kelainan kogenital. 2.1.4.3 Pencegahan Angka kematian bayi baru lahir dapat dicegah dengan intervensi lingkungan dan perilaku. Upaya penyehatan lingkungan seperti penyediaan air
minum, fasilitas sanitasi dan higienitas yang memadai, serta pengendalian pencemaran udara mampu meredam jumlah bayi meninggal. "Untuk itu pemerintah tidak lelah mengampanyekan pentingnya upaya kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat”. Perawatan sederhana seperti pemberian air susu ibu (ASI) dapat menekan AKB. Telah terbukti, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 13% kematian bayi dan bahkan 19/0 jika dikombinasikan dengan makanan tambahan bayi setelah usia 6 bulan. 2.1.4.4 Cara Penanggulangan Dari gambaran penyakit penyebab kematian neonatal di Indonesia, dan permasalahan kesehatan neonatal yang kompleks dimana dipengaruhi oleh faktor medis, sosial dan budaya (sama dengan permasalahan kesehatan maternal) maka: 1.
Bidan di desa atau petugas kesehatan harus mampu melakukan: a. perawatan terhadap bayi neonatal b. promosi perawatan bayi neonatal kepada ibunya, serta c. pertolongan pertama bayi neonatal yang mengalami gangguan atau sakit.
2.
Kepala Puskesmas dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan: a. Deteksi dan penanganan bayi neonatal sakit b. Persalinan yang ditolong/didampingi oleh tenaga kesehatan c. Pembinaan bidan di desa dan pondok bersalin di desa d. PONED dengan baik dan lengkap (obat, infus, alat-alat emergensi) e. Organisasi transportasi untuk kasus rujukan
3.
Kepala Dinkes Kabupaten dan atau RS Kabupaten dan jajarannya mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan:
a. Fungsi RS Kabupaten sebagai PONEK 24 jam b. Sistem yang tertata sehingga memberi kesempatan kepada keluarga bayi neonatal dari golongan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan standar, termasuk pertolongan gawat darurat di RS Kabupaten dengan biaya terjangkau c. Pelayanan berkualitas yang berkesinambungan d. Pembinaan teknis profesi kebidanan untuk bidan yang bekerja di Puskesmas/desa
melalui
pelatihan,
penyegaran
pengetahuan
dan
ketrampilan, penanganan kasus rujukan. 4.
Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan neonatal emergency care di Puskesmas dan RS Kabupaten.
2.1.4.5 Cara Menghitung Angka Kematian Bayi Dimana rumus : Angka Kematian Bayi AKB =
2.1.5
× 1000
Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit
2.1.5.1 Pengertian Rumah Sakit Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan
kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan: 1.
Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
2.
Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
3.
Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit;
4.
Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
2.1.5.2 Klasifikasi Rumah Sakit Rumah sakit dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan berdasarkan jenis pelayanan, kepemilikan, jangka waktu pelayanan, kapasitas tempat tidur dan fasilitas pelayanan (PERMENKES RI NO. 340/MENKES/PER/III/2010). 1.
Jenis Pelayanan Berdasarkan Jenis Pelayanannya, Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi
2 tipe yaitu Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. a. Rumah Sakit Umum Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik. Rumah Sakit ini memberi pelayanan kepada berbagai penderita, diagnosis dan terapi untuk berbagai kondisi medis. b. Rumah Sakit Khusus Rumah sakit khusus adalah Rumah Sakit yang mempunyai fungsi primer, memberikan diagnosis dan pengobatan untuk penderita yang mempunyai kondisi medik khusus, misalnya Rumah Sakit Ginjal, Rumah Sakit Anak, Rumah Sakit Jantung, dan lain-lain.
2.
Kepemilikan Kepemilikan Rumah Sakit dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Rumah
Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. a. Rumah Sakit Pemerintah Rumah sakit pemerintah adalah Rumah Sakit umum milik pemerintah, baik pusat maupun daerah, Departemen Pertahanan dan Keamanan, maupun Badan Usaha Milik Negara. Rumah Sakit pemerintah dapat dibedakan berdasarkan fasilitas pelayanan dan peralatan menjadi empat kelas, yaitu Kelas A, B, C, dan D. b. Rumah Sakit Swasta Rumah sakit swasta adalah Rumah Sakit umum milik suatu perkumpulan atau yayasan tertentu, antara lain: 1) Rumah Sakit Umum Swasta Pratama, yaitu Rumah Sakit swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas D. 2) Rumah Sakit Umum Swasta Madya, yaitu Rumah Sakit swasta yang memberikan pelayanan medik bersifat umum dan spesialistik dalam 4 cabang, setara dengan rumah sakit pemerintah kelas C. 3) Rumah Sakit Umum Swasta Utama, yaitu Rumah Sakit swasta yang memberikan pelayanan medik, spesialistik dan subspesialistiksetara dengan rumah sakit pemerintah kelas B. 3.
Fasilitas Pelayanan dan Kapasitas Tempat Tidur Sesuai SK Menteri Kesehatan
No. 920/MENKES/PER/XII/1986 fasilitas
pelayanan rumah sakit dibagi sebagai berikut:
a. Rumah Sakit Kelas A Rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik luas, dengan kapasitas lebih dari 1000 tempat tidur.
b. Rumah Sakit Kelas B Rumah sakit kelas B dibagi menjadi: 1) Rumah Sakit B1, melaksanakan pelayanan medik minimal 11 (sebelas) spesialistik dan belum memiliki sub spesialistik luas dengan kapasitas 300-500 tempat tidur. 2) Rumah Sakit B2, melaksanakan pelayanan medik spesialistik dan sub spesialistik terbatas dengan kapasitas 500-1000 tempat tidur. c. Rumah Sakit Kelas C Rumah sakit yang mempunyai kemampuan pelayanan medik spesialisti dasar, yaitu penyakit dalam, bedah, kebidanan atau kenadungan, dan kesehatan anak dengan kapasitas 100-500 tempat tidur. d. Rumah Sakit Kelas D Rumah sakit yang mempunyai kemampuan pelayanan medik
dasar
dengan kapasitas tempat tidur kurang dari 100.
2.1.6
Tingkat Kemiskinan
2.1.6.1 Teori Kemiskinan Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi
ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang, maupun papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar pendidikan. Kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui berdasarkan kemampuan pendapatan dalam memenuhi standar hidup (Nugroho, 1995). Pada prinsipnya, standar hidup di suatu masyarakat tidak sekedar tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya kebutuhan akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun pemukiman yang layak merupakan salah satu dari standar hidup atau standar kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu masyarakat disebut miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2004) Definisi tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan
penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a. Kemiskinan absolut Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinandiukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. b. Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan
negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Sedangkan menurut Jhingan (2000), mengemukaan tiga ciri utama Negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman.
2.1.7
Desentralisasi Fiskal dan Angka Kematian Bayi Salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, diharapkan Pemerintah Daerah dapat lebih peka terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat di daerahnya masing-masing. Dengan penyerahan dan pelimpahan kewenangan pada Pemerintah Daerah, diharapkan Pemerintah Daerah dapat lebih cepat, dan efisien dalam menentukan kebijakan yang harus dirumuskan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan publik dasar. Setiap pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut akan dijabarkan melalui anggaran yang akan dialokasikan terhadap sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sektor kesehatan menjadi salah satu sektor yang menjadi perhatian Pemerintah Daerah sebagai bagian dari pelayanan kebutuhan dasar
masyarakat. Desentralisasi fiskal diharapkan mampu untuk bisa menetapkan tanggung jawab serta pelimpahan kewenangan finansial untuk menentukan kebijakan layanan kesehatan pada tingkat Pemerintah Daerah untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih efisien (Uchimura & Jutting, 2009). Dampak keuntungan dari desentralisasi pada layanan kesehatan didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi bisa meningkatkan informasi dari pengambil keputusan di daerah tentang kondisi daerahnya, serta respons efektif pada kebutuhan lokal. Pengambil keputusan di daerah juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengurangi biaya daripada pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Mereka bisa menyesuaikan pegawai dan prosedur pada konteks lokal, dan memiliki lebih banyak kebebasan untuk bereksperimen dengan cara alternatif dalam melakukan sesuatu dan mengimplementasikannya daripada harus bergantung pada prosedur yang ditetapkan pusat. Oleh karena itu, desentralisasi, jika didesain dan diimplementasikan dengan baik, diharapkan bisa meningkatkan ekuitas, efisiensi, kualitas, dan akses pada layanan kesehatan dan akhirnya dapat menaikkan derajat kesehatan masyarakat (Dolores, Rubio. 2011). Walaupun banyak teori yang menggambarkan keuntungan penyerahan wewenang pembuatan kebijakan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam layanan kesehatan, desentralisasi pun memiliki batasan (Khalegian, 2004), khususnya dari sudut pandang pembiayaan kesehatan terletak pada kemungkinan bahwa pemerintah daerah tidak akan memprioritaskan sektor kesehatan. Salah satu kebijakan tentang pembiayaan kesehatan di daerah yang tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 tentang pengalokasian anggaran minimal 10% dari APBD. Namun, dalam kenyataannya kesepakatan ini baru
merupakan suatu wacana karena realisasinya
persentase anggaran di banyak
daerah di Indonesia tidak banyak bergeser dari kondisi sebelum desentralisasi yaitu sebesar 2,5% sampai maksimal 7%. Pemerintah daerah lebih berorientasi pada pembangunan fisik, sedangkan anggaran kesehatan sebagai program non fisik tidak menarik perhatian pemerintah lokal (Hendrarti, dkk, 2008). Indikator hasil akhir yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas bidang kesehatan salah satunya adalah melalui angka kematian bayi. Kematian bayi telah dianggap sebagai indikator yang paling lengkap dari kesehatan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan kesehatan anak dan wanita hamil, selain keadaan perkembangan kesehatan dalam masyarakat. Penetapan indikator ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat (Stalker, Peter. 2008).
2.1.8
Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit dan Angka Kematian Bayi Kesehatan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh Pemerintah pusat dan daerah. Ini berarti dalam rangka otonomi daerah,Pemerintah
daerah
harus
bertanggung
jawab
sepenuhnya
dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerahnya.Sumber daya kesehatan, seperti halnya sarana kesehatan sangat erat hubungannya dengan tingkat pelayanan dan perawatan kesehatan. Pemerintah daerah, baik itu di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga diharapkan memiliki komitmen untuk terus memperkuat sistem kesehatan. Pemerintah pusat diharapkan menganggarkan dana yang cukup besar untuk mendukung peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan. Pelayanan kesehatan dasar yang diberikan melalui Rumah sakit hendaknya hendaknya diimbangi dengan ketersediaan tempat tidur bagi pasien .Adanya keterbatasan kapasitas tempat tidur di rumah sakit juga turut mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian bayi, meskipun pengaruhnya tidak berdampak secara langsung. Namun keterbatasan tersedianya tempat tidur rumah sakit secara tidak langsung juga mempengaruhi dikarenakan terbatasnya kapasitas tempat tidur rumah sakit mempengaruhi tingkat penanganan dari pasien terutama dari kalangan ibu hamil, ibu yang akan mengalami proses melahirkan yang tidak mendapatkan pelayanan dikarenakan keterbatasan kapasitas tempat tidur rumah sakit memiliki resiko kematian lebih tinggi dari pada yang mendapatkan pelayanan tersebut.
2.1.9
Tingkat Kemiskinan dan Angka Kematian Bayi Derajat kesehatan dan sosial bangsa dapat dilihat dari beberapa indikator
antara lain dengan angka kematian bayi. Kematian bayi sendiri tidak dapat dipisahkan dari baik buruknya kesehatan ibu. Rawannya derajat kesehatan ibu juga sangat mempengaruhi kesehatan janin yang dikandungnya. Kejadian lahir lalu mati dan kematian bayi pada minggu pertama kehidupannya sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu selama masa kehamilan Faktor tingginya tingkat mortalitas bayi salah satunya adalah kemiskinan, dalam hal ini berkaitan dengan daya beli keluarga.Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh ibu hamil, berguna untuk memastikan apakah ibu berkemampuan membeli dan memilih makanan yang bernilai gizi tinggi. Gizi yang baik diperlukan oleh seorang ibu hamil agar
pertumbuhan janin tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi dengan berat normal. Dengan kondisi kesehatan yang baik, sistem reproduksi normal, tidak menderita sakit dan tidak ada gangguan gizi pada masa prahamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi lebih besar dan lebih sehat daripada ibu dengan kondisi kehamilan sebaliknya. Wanita yang tingkat ekonominya rendah tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari karena keterbatasan ekonomi sehingga kebutuhan gizi tidak tercukupi. Wanita hamil yang kekurangan gizi akan cenderung mengalami anemia yang berdampak pada kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah yang sangat rentan terhadap penyakit yang dapat berdampak pada kematian (Septiana, dkk. 2010).
2.2
Penelitian Terdahulu Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengukur dampak dari
pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap outcomes bidang kesehatan. Studi terdahulu tersebut telah dilakukan Rubio, Dolores (2011) dalam penelitian ini variabel outcomes bidang kesehatan adalah angka kematian bayi. Dalam penelitiannya
Rubio,
Dolores
(2011)
menggunakan
indikator
variabel
desentralisasi fiskal yang diukur dari pengeluaran kesehatan pada GDP. Kontrol variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain GDP perkapita, tingkat pendidikan, dan konsumsi alkohol dan tembakau sebagai indikator gaya hidup. Dari hasil penelitiannya Rubio, Dolores (2011) menemukan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di berbagai Negara (cross country) dapat menurunkan angka
kematian bayi, hal ini dapat terjadi hanya jika anggaran yang disiapkan oleh pemerintah mencukupi kebutuhan bidang kesehatan. Penelitian lain oleh Victoria, Maria dan Vincent (2012), penelitian ini menganalisis dampak desentralisasi fiskal dari pengeluaran kesehatan terhadap angka kematian bayi di Kolombia. Angka kematian bayi untuk 1080 kotamadya selama periode lebih dari 10 tahun (1998-2007) dikaitkan dengan desentralisasi fiskal dengan menggunakan model analisis regresi. Variabel yang digunakan adalah angka kematian bayi, pengeluaran kesehatan daerah, transfer kesehatan dari pemerintah pusat, dan tingkat kemiskinan. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dapat menurunkan tingkat kematian bayi di Kolombia dan tingkat penurunan lebih tinggi terjadi di kota yang makmur dari pada di kota yang terbelakang, dikarenakan kota yang makmur memiliki anggaran yang lebih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dibandingkan kota terbelakang. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gregory, Yinghua dan Tong Zeng (2015), dalam penelitiannya yang berjudul “Fiscal Decentralization and China’s Regional Infant Mortality” menganalisis dampak dari desentralisasi fiskal pada tingkat angka kematian bayi di China. Kontrol variabel yang digunakan dalam penelitian ini jumlah dokter per 10.000 orang, tingkat urbanisasi, jumlah kapasitas tempat tidur rumah sakit, GDP per kapita, dan pengeluaran kesehatan. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi yang kuat dan desentralisasi fiskal telah menggambarkan ekonomi China lebih dari 30 tahun, di dalam penelitian ini tidak menemukan penurunan konsisten baik angka kematian bayi atau underreporting angka kematian bayi kecuali bahwa
keseluruhan penurunan angka kematian bayi provinsi terlihat mengurangi underreporting pada periode sampel. Menurut Abay Asfaw, Klaus Frohberg, KS James, dan Johannes Jutting (2007), dalam penelitiannya pengaruh desentralisasi terhadap tingkat kematian bayi di pedesaan India pada tahun 1990 – 1997, secara umum, hasilnya mengindikasikan bahwa desentralisasi fiskal dapat memainkan peran untuk meningkatkan kesehatan yang berdampak pada angka kematian bayi di. Namun hasilnya juga mengindikasikan bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi saja mungkin tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, kecuali dengan disertai dengan kebijakan yang lain, seperti desentralisasi politik. Seperti yang kita lihat sebelumnya, ini adalah hasil yang masuk akal, sebab mungkin desentraliasasi lebih berdampak buruk bagi pengadaan kesehatan dan konsekuensinya dapat menyebabkan penurunan tingkat kesehatan, jika masyarakat setempat tidak aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam proses pelaksanaannya.
Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Nama Penulis, Judul, dan Tahun
Rubio, Dolores (2011) “The impact of fiscal
Hasil Penelitian
Desentralisasi fiskal di berbagai Negara (cross country) dapat
Persamaan
- Angka kematian bayi sebagai variabel dependen
Perbedaan Penelitian Terdahulu - Menggunakan variabel tingkat pendidikan, dan
Rencana Penelitian - Menggunakan tingkat kemiskinan, dan
decentralization on infant mortality rates: Evidence from OECD countries”
menurunkan angka kematian bayi, hal ini dapat terjadi hanya jika anggaran yang disiapkan oleh pemerintah mencukupi kebutuhan bidang kesehatan.
Victoria, Maria dan Vincent (2012) “Fiscal decentralisation and infant mortality rate: The Colombian case”
Desentralisasi fiskal dapat menurunkan tingkat kematian bayi di Kolombia dan tingkat penurunan lebih tinggi terjadi di kota yang makmur dari pada di kota yang terbelakang Di dalam penelitian ini tidak dijelaskan bahwa peningkatan perekonomian dan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang telah diterapkan di China selama 30 tahun terakhir belum menunjukkan penurunan konsisten angka kematian bayi
Gregory, Yinghua dan Tong Zeng (2015), “Fiscal Decentralization and China’s Regional Infant Mortality”
Abay Asfaw, Klaus Frohberg, KS James, dan Johannes Jutting (2007) “Fiscal Decentralization and Infant Mortality: Empirical Evidence from Rural India”
Desentralisasi fiskal yang disertai dengan kebijakan yang lain, seperti desentralisasi politik dapat memainkan peran untuk meningkatkan kesehatan yang berdampak pada angka kematian bayi
- Menggunakan model penelitian ECM - Desentralisasi Fiskal sebagai variabel independen - Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi - Angka kematian bayi sebagai variabel dependen - Tingkat kemiskinan sebagai variabel independen -Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi - Angka kematian bayi sebagai variabel dependen - Rasio kapasitas tempat tidur rumah sakit sebagai variabel independen - Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi
konsumsi alkohol dan tembakau - Menggunakan sampel beberapa negara
kapasitas tempat tidur rumah sakit - Hanya menggunakan sampel satu daerah
- Menggunakan analisis data panel - Menggunakan variabel pengeluaran kesehatan daerah, transfer kesehatan dari pemerintah
- Menggunakan model penelitian ECM - Menggunakan variabel kapasitas tempat tidur rumah sakit
- Metode
- Menggunakan model penelitian ECM - Menggunakan variabel tingkat kemiskinan
Angka kematian bayi sebagai variabel dependen - Desentralisasi Fiskal sebagai variabel independen -Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap angka kematian bayi
- Menggunakan analisis data panel
Stochastic Frontier Analysis (SFA) - Menggunakan variabel tingkat urbanisasi, rasio pertumbuhan populasi penduduk, dan pengeluaran kesehatan perkapita
-Menggunakan angka melek huruf perempuan dan desentralisasi politik pada variabel independen
- Menggunakan model penelitian ECM - Menggunakan tingkat kemiskinan, dan rasio kapasitas tempat tidur rumah sakit
2.3
Kerangka Berpikir Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia juga membawa konsekuensi
terhadap adanya desentralisasi fiskal di daerah otonom. Desentralisasi fiskal ini merupakan suatu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menggali potensi keuangan didaerahnya dan mendayagunakan potensi tersebut untuk mendukung pelaksanaan tugas pemerintahan. Pelaksanaan desentralisasi memiliki asumsi dasar bahwa pemerintah daerah akan lebih peka terhadap masalah dan kebutuhan masyarakat didaerahnya. Dalam setiap pelaksanaan kebijakan pemerintahan akan dijabarkan melalui anggaran yang akan dialokasikan terhadap suatu sektor yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sektor kesehatan merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam pembentukan modal manusia. Pentingnya sektor kesehatan ini telah disadari oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 tentang pengalokasian anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Dalam UU UndangUndang No 36 Tahun 2009 Pasal 171 ditetapkan bahwa setiap daerah wajib mengalokasikan anggaran minimal 10% dari APBD. Adanya desentralisasi fiskal juga dianggap dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dimana dengan penyerahan dan pelimpahan kewenangan pada pemerintah daerah maka pemerintah di harapkan dapat lebih cepat, tepat dan efisien dalam melakukan pelayanan publik untuk bidang kesehatan. Peran besar dalam membangun sektor kesehatan sebagian besar memang menjadi beban pemerintah, namun tak dapat dipungkiri bahwa banyak faktorfaktor diluar faktor tesedianya pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau
ini yang turut menentukan derajat kesehatan masyarakat yaitu kondisi ekonomi dari masyarakat, serta kualitas pelayanan di bidang kesehatan itu sendiri. Pencapaian kualitas kesehatan masyarakat merupakan interaksi dari berbagai faktor yang turut mempengaruhi kesehatan. Pencapaian kualitas kesehatan ini dapat di ukur dengan menggunakan indikator angka kematian bayi (AKB). Indikator ini dianggap sebagai indikator yang paling lengkap dari kesehatan dalam masyarakat. Hal ini mencerminkan kesehatan anak dan wanita hamil, selain keadaan perkembangan kesehatan dalam masyarakat. Selain itu, kematian bayi dianggap lebih sensitif pada perubahan kebijakan seperti desentralisasi daripada indikator kesehatan lainnya seperti harapan hidup (Dolores, Rubio. 2011). Penetapan indikator ini didasarkan pada alasan bahwa anak-anak terutama bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat (Stalker, Peter. 2008). Penelitian terdahulu telah banyak dilakukan diberbagai negara termasuk Indonesia. Penelitian yang dilakukan di berbagai Negara menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif terhadap outcomes bidang kesehatan Hal ini berarti bahwa desentralisasi fiskal mampu menurunkan angka kematian bayi, hal ini mendorong penulis untuk meneliti masalah sejenis di daerah Kabupaten Blora Berdasarkan paparan diatas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Desentralisasi Fiskal
Pelayanan Kesehatan
Perekonomian Masyarakat
Rasio Desentralisasi Fiskal
Jumlah Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit
Tingkat Kemiskinan
Angka Kematian Bayi
2.4
Hipotesis Sesuai dengan tujuan, kerangka pemikiran, dan hasil-hasil penelitian
terdahulu, maka hipotesis yang disusun adalah sebagai berikut : 5. Diduga variabel Desentralisasi Fiskal berpengaruh negatif terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora. 6. Diduga variabel Jumlah Kapasitas Tempat Tidur Rumah Sakit berpengaruh negatif terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora. 7. Diduga variabel pengaruh Tingkat Kemiskinan berpengaruh positif terhadap Angka Kematian Bayi di Kabupaten Blora.