BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu bentuk kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal untuk memandirikan daerah-daerah yang ada di Indonesia adalah dengan mengalihkan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari pajak pusat menjadi pajak daerah. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Kebijakan ini merupakan titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan.
Apabila dilihat dari karakteristik, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan pedesaan dan perkotaan merupakan pajak daerah. Namun, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan,
pemberian
hasil
penerimaan
(tax
sharing)
dan
pengelolaan
administrasinya masih berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan UU 28 Tahun 2009, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan diserahkan kepada Pemerintah daerah. Dengan demikian BPHTB dan PBB-P2 diharapkan bisa menjadi salah satu sumber PAD yang potensial bagi daerah, dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan pajak- pajak daerah yang ada selama ini. Khususnya PBB-P2 berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima
pengalihan PBB P2. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 diatur oleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).
Menurut buku pedoman yang diterbitkan Kemenkeu (2014), dasar pemikiran dan alasan pokok dari pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain: Pertama, berdasarkan teori, PBB-P2 lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-link principle). Kedua, pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sekaligus memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan PBB-P2. Keempat, berdasarkan berdasarkan praktek di banyak negara, PBB -P2 atau Property Tax termasuk dalam jenis local tax. Dengan di terapkannya hal ini khusus nya pada Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Maka setiap daerah di Indonesia bisa memaksimalkan potensi pajak daerah mereka sendiri untuk pembangunan, termasuk Kota Bukittinggi. Menurut PERDA Kota Bukittinggi No. 5 bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan wilayah Bukittinggi serta sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu mengatur ketentuan tentang pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dengan Peraturan Daerah.
Berikut ini merupakan penerimaan PBB di tiap-tiap Kecamatan di Kota Bukittinggi selama 4 tahun terakhir yaitu pada periode 2011-2014. Data selengkapnya yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi pada tabel 1.1. berikut: Tabel 1.1 Persentase Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2011-2014 di Kota Bukittinggi Persentase Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (dalam %)
Kecamatan 2011
2012
2013
2014
Guguk Panjang
114.61%
115.37 %
52.68 %
95.2 %
Mandiangin Koto Selayan
100.11%
104.94%
45.70 %
103.7%
Aur Birugo Tigo Baleh
127.39%
130%.99
54.68 %
100.4%
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Bukittinggi Berdasarkan data yang di atas, dapat dilihat jumlah penerimaan pajak bumi dan bangunan dari tahun 2011 – 2014, dimana kita bisa melihat jumlah penerimaan yang besar dari masing-masing kecamatan di kota Bukittinggi. Dengan penerimaan yang besar ini bila semua nya bisa dialihkan ke pemerintah daerah, maka pembangunan di Kota Bukittinggi bisa terlaksana dengan maksimal. Dalam pelaksanaanya hal ini juga tidak boleh hanya di pamahami oleh pemerintah daerah saja, tapi masyarakat juga harus memahami tentang bagaimana penerapan PBB-P2 ini diterapkan di daerah mereka berdomisili. Oleh karena itu saya mengambil sampel Kota Bukittinggi sebagai objek penelitian untuk mengetahui
seberapa besar pemahaman masyarakat tentang penerapan PBB-P2 sebagai pajak daerah dan bukan pajak pusat lagi. Merujuk pada penelitian Rini Khairani (2009) tentang Analisis Tingkat Pemahaman Wajib Pajak Mengenai Peraturan Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Kecamatan Guguk, ingin meneliti pemahaman wajib pajak mengenai peraturan pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data, kuisioner, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Kesimpulan menunjukkan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kecamatan Guguk tergolong paham dan patuh terhadap peraturan pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan, dengan tingkat pemahaman dan kepatuhan masing-masing 50,89% dan 64,04%. Menurut Benjamin S. Bloom (Anas Sudijono, 2009) mengatakan bahwa: Pemahaman (Comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Jadi, dengan pahamnya masyarakat tentang adanya pengalihan PBB-P2 diharapkan masyarakat tidak salah dalam mengartikan pajak PBB-P2 ini. Jadi, apabila masyarakat memiliki pemahaman yang baik terhadap peraturan pajak, maka akan berakibat pada meningkatnya penerimaan pajak bagi pemerintah. Sebaliknya jika masyarakat sama sekali tidak memiliki pemahaman terhadap pajak, maka akan berakibat dengan berkurangnya penerimaan bagi pemerintah.
1.2 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tentang seberapa baiknya pemahaman masyarakat Kota Bukittinggi tentang perubahan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah. 2. Mengetahui tentang pengaruh dari pemahaman tentang perubahan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah dapat mempengaruhi masyarakat dalam membayar pajak.