BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KERANGKA TEORI 1. Tinjauan Tentang Kontrak/ Perjanjian a. Pengertian Kontrak/ Perjanjian Kontrak merupakan istilah yang tidak asing lagi kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Ada ahli yang berpendapat bahwa kontrak merupakan istilah yang sama dengan perjanjian, namun ada pula yang berpendapat sebaliknya. Mengacu pada pendapat Munir Fuadi, pengertian kontrak atau persetujuan yang diatur dalam Buku III Bab Kedua KUH Perdata adalah sama saja dengan pengertian perjanjian. Istilah “kontrak” yang sering disebut dengan istilah “perjanjian” merupakan terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris, atau “overenskomst” dalam bahasa Belanda (Evi Ariyani, 2013: 1). Sehingga dalam penelitian ini akan digunakan bersamasama atau secara berganti-ganti istilah “kontrak” atau “perjanjian”. Setiap orang memiliki pendapat dan pandangan masingmasing dalam menafsirkan suatu hal termasuk untuk menafsirkan suatu istilah seperti istilah kontrak. Menyamakan suatu pendapat memang tidaklah mudah karena setiap orang dapat nmemandang suatu hal melalui sudut pandang yang berbeda. Hal ini terlihat jelas apabila kita memahami lebih jauh beberapa pengertian kontrak sebagaimana di bawah ini : 1) Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 2) Subekti (2010: 1) menyatakan bahwa :
13
14 Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau diman dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 3) Salim H.S. menyatakan bahwa : Kontrak adalah hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan yang telah disepakati (Evi Ariyani, 2013: 4). 4) Henry
Campbell
Black
dalam
Black
Law
Dictionary
menyatakan bahwa : “Contract is an agreement between two or more person which creates an obligation to or not to do particular things”. Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Kontrak tersebut menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian (Evi Ariyani, 2013: 4). Berdasarkan beberapa definisi di atas maka terlihat bahwa antara kontrak dengan perjanjian mengandung pengertian yang sama, yaitu adanya suatu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan diri antara para pihak ke dalam suatu hubungan hukum perikatan. b. Asas-Asas Hukum Kontrak/ Perjanjian Hukum kontrak atau perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut diuraikan sebagai berikut : 1) Asas Kebebasan Berkontrak Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak
15 dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilan. 2) Asas Pelengkap Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang-undang tidak boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang. Akan tetapi, apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, berlakulah ketentuan undangundang. Asas ini hanya mengenai rumusan hak dan kewajiban pihak-pihak. 3) Asas Konsensual Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Berdasarkan konsensus ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup secara lisan saja. Akan tetapi, ada perjanjian tertentu yang dibuat secara tertulis,
misalnya,
perjanjian
perdamaian,
hibah,
dan
pertanggungan (asuransi). Tujuannya adalah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian formalitas ini disebut perjanjian formal. 4) Asas Obligatoir Asas ini memiliki arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihakpihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering) (Abdulkadir Muhammad, 2010: 295). 5) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
16 perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. 6) Asas Itikad Baik (Good Faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. c. Syarat-Syarat Sahnya Kontrak/ Perjanjian Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3) mengenai suatu hal tertentu; dan 4) suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua termasuk syarat subyektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengatakan perjanjian. Syarat ketiga dan keempat termasuk syarat obyektif
17 karena mengenai perjanjiannya atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu (Subekti, 2010: 17). d. Pembatalan Kontrak/ Perjanjian Maksud dari pembatalan kontrak/ perjanjian dalam tinjauan ini dikhususkan terkait pembatalan perjanjian karena debitur telah melakukan, bukan karena tidak memenuhi syarat subyektif dalam perjanjian. Prof. Dr. Sri Soedewi M. Sofwan, S.H. mengemukakan pendapatnya terkait pembatalan perjanjian karena wanprestasi sebagai berikut : “Pembatalan karena wanprestasi adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan, kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan dan ganti kerugian (Riduan Syahrani, 2006: 228).” Pembatalan perjanjian dapat terjadi apabila terpenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 1) perjanjian harus bersifat timbal balik; 2) harus ada wanprestasi; dan 3) harus dengan putusan hakim. Perjanjian bersifat timbal balik berarti kedua belah pihak dalam perjanjian sama-sama mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi misalnya perjanjian pemborongan. Pembatalan tidak tidak terjadi dengan sendirinya hanya karena telah terjadi wanprestasi, tetapi harus dimintakan kepada hakim, dan hakimlah yang akan membatalkan perjanjian tersebut dengan keputusannya. Jadi keputusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif yang berarti membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat, bukan bersifat deklaratif dimana hakim menyatakan batal perjanjian antara penggugat dan tergugat (Riduan Syahrani, 2006: 231). e. Wanprestasi dalam Kontrak/ Perjanjian
18 Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur ini dapat disebabkan karena : 1) keasalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian; dan 2) keadaan memaksa atau force mejeur, di luar kemampuan debitur. Sehingga debitur tidak bersalah dalam hal ini (Abdulkadir Muhammad, 2010: 241). Menurut Subekti (2010: 45), wanprestasi yang dilakukan oleh debitur dapat berupa empat macam yaitu: 1) tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebabgiman dijanjikan; 3) melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau 4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 2. Tinjauan tentang Hukum Jaminan a. Pengertian Hukum Jaminan Jaminan secara umum diatur dalam Buku II KUH Perdata yaitu Pasal 1131 yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan demikian, segala harta kekayaan debitur secara otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian utang meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai jaminan. Buku II KUH Perdata hanya mengisyaratkan jaminan sebagai hak kebendaan saja, padahal jaminan juga dapat berupa jaminan perorangan atau yang disebut borgtocht. Jaminan perorangan diatur dalam Buku III KUH Perdata. Pasal 1820 KUH Perdata memperbolehkan adanya penanggungan utang. Menurut pasal ini,
19 penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang sendiri ini tidak memenuhinya. Menurut Salim H.S. (2008: 7) hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Unsur-unsur yang termuat dari definisi ini adalah: 1) Adanya kaidah hukum Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. 2) Adanya pemberi dan penerima jaminan Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Pihak yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit atau lebih dikenal dengan sebutan debitur. Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Pihak yang bertindak sebagai penerima jaminan juga dapat berupa orang atau badan hukum, penerima jaminan biasanya disebut kreditur. Badan hukum dalam hal ini, adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan nonbank.
20 3) Adanya jaminan Jaminan yang diserahkan kepada kreditur dapt berupa jaminan materiil maupun imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sedangkan jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan. 4) Adanya fasilitas kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok jaminan dan bunganya. Begitu pula debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya (Salim H.S., 2008: 7-8). J. Satrio (2007: 3) juga memberikan definisi terkait hukum jaminan, menurutnya hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Definisi ini tidak hanya difokuskan pada pengaturan hak-hak kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur. Sedangkan yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan. Eksistensi adanya perjanjian penjaminan tergantung pada perjanjian pokok. Perjanjian pokok biasanya berupa perjanjian kredit. Perjanjian penjaminan tidak mungkin ada tanpa perjanjian kredit. Apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian penjaminan akan berakhir pula.
21 b. Asas-asas Hukum Jaminan Terdapat 5 asas penting dalam hukum jaminan, kelima asas tersebut yaitu: 1) Asas publisitas, yaitu bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hak hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/ Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kankor Pendaftaran Fidusia pada Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar. 2) Asas kekhususan, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barangbarang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu. 3) Asas tak dapat dibagi-bagi, bermakna bahwa dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. 4) Asas barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai. 5) Asas horizontal, yaitu bahwa bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutanatau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai (Salim H.S., 2008: -10). c. Penggolongan Jenis-jenis Jaminan Jaminan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1) jaminan materiil yaitu jaminan kebendaan; dan
22 2) jaminan immateriil yaitu jaminan perorangan (Salim H.S., 2008: 23). Kedua jenis jaminan di atas dapat dijabarkan bebagai berikut: 1) Jaminan Materiil atau Jaminan Kebendaan Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya ataupun antara kreditur dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur dengan memberikan jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak (R. Subekti, 1998: 15). Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seorang kreditur, dan menyediakannya guna pemenuhan kewajiban seorang debitur. Sedangkan kekayaan seseorang wujudnya dapat beraneka ragam, dapat berupa barang bergerak, barang tetap atau tak bergerak, maupun barang tak berwujud, maka pemberian jaminan kebendaan juga dapat meliputi barang-barang tersebut (R. Subekti, 1998: 17). 2) Jaminan Immateriil atau Jaminan Perorangan Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUH Perdata disebut sebagai penanggungan utang. Pasal tersebut menyatakan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang atau kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian selalu dibuat oleh pihak ketiga yang menjamin terpenuhnya kewajiban membayar kredit tersebut, baik diketahui maupun tidak diketahui oleh debitur. Jaminan perorangan lahir dari adanya perjanjian antara kreditur dengan seorang pihak ketiga
yang
menjamin
dipenuhinya
kewajiban-kewajiban
debitur. Pihak ketiga inilah yang nantinya dijadikan jaminan perorangan (R. Subekti, 1989: 15). Jaminan perorangan dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu :
23 a) penanggung (borg), adalah orang lain yang dapat ditagih; b) tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan c) perjanjian garansi (Salim H.S., 2008: 24). 3. Tinjauan tentang Asuransi Surety Bond a. Pengertian Asuransi Surety Bond Sri Redjeki Hartono berpendapat bahwa perusahaan asuransi mempunyai dua tugas rangkap, yaitu dari sisi kepentingan sosial dan kepentingan ekonomi. Salah satu tugas yang dimiliki oleh perusahaan asuransi adalah menawarkan jasa proteksi kepada yang membutuhkan,
maka
ia
berposisi
sebagai
lembaga
yang
menyediakan diri untuk dalam keadaan tertentu menerima risikorisiko ekonomi (Neni Sri Imaniyati, 2013: 77). Beberapa manfaat dari asuransi antara lain : 1) Membantu masyarakat dalam rangka mengatasi segala masalah risiko yang dihadapinya. Hal itu akan memberikan ketenangan dan
kepercayaan
diri
yeng
lebih
tinggi
kepada
yang
bersangkutan. 2) Merupakan sarana pengumpulan dana yang cukup besar sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan. 3) Sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang dihadapi dalam
melaksanakan
pembangunan
(Man
Suparman
Sastrawidjaja dan Endang, 1997: 116). Asuransi surety bond merupakan produk dari perusahaan asuransi, namun dalam praktiknya terdapat perbedaan antara surety bond dengan asuransi pada umumnya. Perbedaan keduanya adalah bahwa apabila timbul suatu kerugian atas kejadian yang dijamin, pada perjanjian asuransi penanggung akan membayar tertanggung tanpa tuntutan balik atau recourse kepada kliennya tetapi pada kontrak penjaminan, penjamin yang telah membayar klaim kepada
24 penuntut memiliki hak untuk menuntut kliennya atas jumlah ganti kerugian yang dibayarnya kepada penuntut (A. Junaedy Ganie, 2011: 43-44). F.X. Djumialdji (1993: 3) memberikan definisi terkait Surety bond sebagai berikut : “Surety bond adalah suatu perikatan jaminan dalam bentuk warkat dimana penjamin yaitu perusahaan surety dengan menerima premi atau service-charge mengikatkan diri guna kepentingan obligee untukk menjamin pelaksanaan atas suatu kewajiban atau perikatan pokok dari principal, yang mengakibatkan kewajiban membayar atau memenuhi suatu prestasi tertentu terhadap obligee, apabila principal ternyata cidera janji atau wanprestasi, surety merupakan suatu bentuk jaminan bersyarat sedangkan jaminan bank merupakan jaminan tanpa syarat yaitu membayar sebesar pemberian garansi, apabila ternyata pemborong gagal melaksanakan isi perjanjian”. Ricardo Simanjuntak dalam artikelnya yang berjudul Surety Bond dan Kepastian Hukum Penjaminan di Indonesia, memberikan definisi tentang surety bond, menurutnya surety bond merupakan suatu
produk
inovatif
perusahaan
asuransi
sebagai
upaya
pengambilalihan potensi risiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak atas kepercayaan yang diberikannya pada pihak lain dalam pelaksanaan kontrak yang telah disepakati oleh mereka. Masih menurut Ricardo, jaminan tertulis tersebut akan memberikan kewajiban untuk melakukan pembayaran oleh pihak asuransi selaku penjamin atau surety terhadap pihak penerima jaminan yaitu obligee atau kreditur sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang
dijamin
yaitu
principal
atau
debitur
tersebut.
(http://www.hukumonline.com , diakses pada hari Rabu, tanggal 11 November 2015 pukul 13.51 ). b. Asas-asas Hukum Asuransi Asas-asas umum dalam perjanjian asuransi terdiri dari : 1) Asas Indemnitas atau Asas Keseimbangan
25 Asas ini merupakan satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk asuransi kerugian). Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penangung. Asas ini tercantum dalam awal pengaturan perjanjian asuransi, yaitu Pasal 246 KUH Dagang 2) Insurable Interest (Kepentingan Yang Dipertanggungkan) Setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan, maksudnya
ialah
bahwa
pihak
tertanggung
mempunyai
keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian. Mengenai kepentingan ini, KUH Dagang mengaturnya dalam ketentuan Pasal 250 dan Pasal 268. 3) Asas Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna) Merupakan kewajiban kita untuk memberitahukan sejelasjelasnya dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang diasuransikan. Prinsip inipun menjelaskan
risiko-risiko
yang
dijamin
maupun
yang
dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara
jelas
serta
teliti.
Asas ini dalam hukum asuransi
tercantum pada Pasal 251 KUH Dangang. 4) Asas Subrogasi (Perwalian) Prinsip subrogration (perwalian) ini berkaitan dengan suatu keadaan dimana kerugian yang dialami tertanggung merupakan akibat dar kesalahan pihak ketiga (orang lain). Prinsip ini memberikan
hak
perwalian
kepada
penanggung
oleh
tertanggung jika melibatkan pihak ketiga. Asas ini diatur dalam Pasal 284 KUH Dagang adalah suatu asas yang
26 menrupakan
konsekuensi
logis
dari
asas
idemnitas
(keseimbangan) (Sri Rejeki Hartono, 2001: 98). c. Syarat-syarat Perusahaan Asuransi Umum dapat Memasarkan Jaminan Surety Bond Syarat-syarat untuk dapat memasarkan jaminan surety bond oleh perusahaan asuransi umum termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 /Pmk.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship. Pasal 2 Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
124
/Pmk.010/2008
memberikan ketentuan sebagai berikut: 1) memiliki kondisi keuangan sebagai berikut : a) tingkat solvabilitas sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b) rasio perimbangan antara jumlah investasi dan cadangan teknis serta kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan c) rasio likuiditas paling rendah sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus). 2) memiliki tenaga ahli asuransi dengan kualifikasi ahli asuransi kerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri yang berdasarkan penilaian Biro Perasuransian setara dengan AAMAI; 3) memiliki tenaga ahli asuransi dengan kualifikasi paling rendah ajun ahli asuransi kerugian dari AAMAI atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri yang berdasarkan penilaian Biro Perasuransian setara dengan AAMAI yang khusus ditugaskan untuk mengelola lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
27 a) memiliki pengalaman sebagai underwriter lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship, atau pengalaman sebagai analis kredit korporasi paling sedikit 3 (tiga) tahun; dan b) pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan yang khusus diselenggarakan di bidang Asuransi Kredit atau Suretyship. 4) memiliki pegawai yang ditugaskan untuk mengelola lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship yang telah
mengikuti
pendidikan dan pelatihan khusus di bidang Asuransi Kredit atau Suretyship, termasuk pada kantor cabang yang memasarkan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship; 5) memiliki manual underwriting untuk setiap produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship yang dipasarkan, yang mencerminkan bahwa pelaksanaan proses seleksi risiko dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan praktek asuransi yang berlaku umum; 6) memiliki sistem informasi yang memungkinkan debitur atau Principal, kreditur atau Obligee, dan Menteri melakukan pengecekan mengenai kebenaran penerbitan Asuransi Kredit atau Suretyship tertentu; dan 7) menyelenggarakan
program
pendidikan
dan
pelatihan
berkelanjutan bagi tenaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship. Sedangkan ketentuan tentang permodalan tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 /Pmk.010/2008. Pasal ini menyatakan bahwa perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship yang memberikan jaminan atas pelaksanaan kewajiban pembayaran dari transaksi kredit, harus memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah).
28 c. Prinsip-prinsip Surety Bond 1) Merupakan kontrak antara tiga pihak di mana kontrak antara principal atau pemborong dan pengguna jasa adalah yang menjadi dasar. 2) Penerbitannya dilakukan tanpa mengandalkan adanya kolateral, tetapi sebagai penggantinya pihak lain yang bertindak sebagai indemnitor dilibatkan. Untuk penerbitan ini principal dibebani Surety Bond Fee. 3) Jangka waktu Surety Bond pada prinsipnya menjamin sepanjang jangka waktu kontrak yang telah dibuat antara principal dengan obligee. 4) Penyelesaian klaim pada prinsipnya harus dilakukan dan harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kerugian yang mungkin terjadi atau disebut Loss Situation. Prinsip adanya kerugian ini bisa berubah apabila dalam pengaturannya sudah dengan tegas disebutkan bahwa jaminan diminta bukan berdasarkan kerugian tetapi lebih menekankan pada hukuman. 5) Atas segala kerugian yang dibayar, Surety Company mempunyai hak tuntut secara otomatis atau recovery kepada Principal. Hak recovery ini ditegaskan secara formal dalam Indemnity Agreement
yang
ditanganitangani
oleh
principal
dan
indemnitornya sebelum atau pada saat jaminan dikeluarkan. 6) Risiko yang dijamin dari Surety Bond tidak ditahan sendiri oleh si penjamin, tetapi diasuransikan kembali kepada Perusahaan Reasuransi seperti halnya yang diumumkan berlaku pada bisnis asuransi. 7) Surety Bond adalah perjanjian yang bersifat irrevocable (Nazarkhan Yasin, 2003: 95). d. Pihak-pihak dalam Surety Bond Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian Surety Bond yaitu:
29 1) Obligee yaitu pihak yang berhak atas prestasi serta merupakan pihak dilindungi dengan jaminan surety bond terhadap suatu kerugian adalah instansi Pemberi Pekerjaan/ Bouwbeer/ Owner/ Pemilik Proyek. 2) Principal yaitu pihak yang berwajib memberikan prestasi serta merupakan pihak yang dijamin denan jaminan surety bond, adalah Rekanan/ Kontraktor/ Penyalur/ Supplier barang dan sebagainya. 3) Surety yaitu pihak yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond adalah Perusahaan Asuransi (F.X Djumialdji, 1995: 40). e. Persyaratan Umum Penerbitan Surety Bond Sebagai persyaratan utama untuk akseptasi produk jenis ini adalah : 1) Kelengkapan Data Pengajuan Asuransi berupa : Surat Permintaan Surety Bond (SPPA) Tanda Daftar Principal Nomor Pokok Wajib Pajak Perusahaan Principal Nomor Pokok Wajib Pajak Direktur Perusahaan Principal Akta Perusahaan Principal Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Laporan Keuangan (Audited) terakhir (sebaiknay 3(tiga) tahun terakhir) Domisili terakhir Principal 2) Jeli untuk Analisa Kapabilitas Financial Principal terhadap nilai pekerjaan 3) Status Obligee harus Kedinasan/Pemerintahan 4) Principal harus menandatangani Indemnity Agreement dan Surat Kesanggupan Pembuatan Surat Pengakuan Hutang Jika terjadi Wanprestasi. f. Persyaratan Principal Mengajukan Permohonan Surety Bond 1) Warga Negara Indonesia dan cakap bertindak dalam hukum.
30 2) Usaha kecil, Menengah atau Koperasi yang memiliki legalitas usaha sesuai dengan proyek yang akan dibiayai dengan kredit yang akan dijamin. 3) Principal telah memiliki perizinan yang lengkap sebagai kontraktor. 4) Principal menyerahkan jaminan berupa marginal deposit kepada penerima jaminan terkecuali ditetapkan lain oleh penerima jaminan. 5) Untuk surety bond penawaran, principal harus memiliki undangan lelang/ pengumuman lelang. 6) Untuk surety bond jaminan uang muka, principal harus memiliki SPK, draft kontrak kerja / kontrak kerja undangan lelang / pengumuman lelang. 7) Untuk surety bond pelaksanaan, principal harus memiliki surat penunjukan / penetapan pengumuman lelang / spk /kontrak kerja. 8) Untuk surety bond pemeliharaan, rincipal harus memiliki SPK, berita
dan
acara
penyerahan
pekerjaan
(http://www.jamkridabanten.co.id/index.php/penjaminan-suretybond-2/, diakses pada Jum’at, 22 Juli 2016 Pukul 09.54 WIB). g. Bentuk-bentuk Surety Bond 1) Bid Bond / Jaminan Tender / Jaminan Penawaran Jaminan yang diperlukan oleh Principal untuk mengikuti penawaran / lelang suatu proyek / Pekerjaan. Jaminan penawaran Bid Bond berfungsi untuk mengikuti pelelangan dan apabila Principal memenangkan pelelangan tersebut maka Principal akan sanggup untuk melaksanakan kontrak yang sudah disepakati ke dua belah pihak. 2) Performance Bond / Jaminan Pelaksanaan Jaminan yang diterbitkan oleh Surety Company untuk menjamin obligee bahwa principal dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh obligee sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
31 diperjanjikan dalam kontrak. Fungsi Jaminan Pelaksanaan yaitu menjamin bahwa principal mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut sesuai dengan yang telah ditentukan dalam kontrak. 3) Advance Payment Bond / Jaminan Uang Muka Jaminan yang diterbitkan oleh Surety Company untuk menjamin obligee bahwa principal sanggup mengembalikan uang muka yang telah diterimanya dari obligee sesuai dengan ketentuanketentuan yang diperjanjikan dalam kontrak. Jaminan ini berfungsi untuk menjamin pengembalian uang muka yang diterima oleh principal dari obligee. Jumlah uang muka yang dijamin oleh surety akan berkurang sesuai dengan angsuranangsuran pengembalian uang muka yang telah dibayarkan oleh principal kepada obligee. 4) Maintainance Bond / Jaminan Pemeliharaan Jaminan yang diterbitkan oleh Surety Company untuk menjamin obligee bahwa principal sanggup memperbaiki kerusakankerusakan pekerjaan setelah pelaksanaan pekerjaan selesai sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan dalam kontrak. Fungsi jaminan pemeliharaan adalah untuk menjamin pemeliharaan pekerjaan atas kerusakan yang terjadi dalam masa pemeliharaan atau setelah proyek diserahkan kepada obligee (F.X. Djumialdji, 1995: 44-51):. h. Recovery dalam Surety Bond Menurut Team Penyusun Materi Diklat Sesuai Surat Keputusan Direksi No. Skep./07/II/1984 Tertanggal 24 Februari 1984, yang dimaksud dengan recovery adalah hasil yang diperoleh perusahaan surety dari principal untuk membayar kembali atas klaim yang telah dibayarkan atas nama principal oleh perusahaan surety kepada obligee. Hak perusahaan surety memperoleh recovery ini dituangkan pada sebuah indemnity letter dimana dalam perjanjian
32 surety bond disebut dengan Perjanjian Ganti Rugi Kepada Surety atau Agreement of Indemnity to Surety (Haerun Inayah, 2006: 38). i. Berakhirnya Surety Bond Surety bond akan berakhir dalam hal sebgai berikut: 1) Pemborong
atau
principal
telah
selesai
melaksanakan
kewajiban-kewajibannya dengan baik. 2) Perusahaan asuransi atau surety telah memenuhi tuntutan/ klaim ganti rugi dari atau membayar ganti rugi kepada obligee sebesar jumlah kerugian yang benar-benar diderita, setinggi-tingginya sebesar nilai jaminan bond tersebut (F.X. Djumialdji, 1995: 53). 4. Tinjauan Tentang Kontrak Pemborongan a. Pengertian Kontrak Pemborongan Pasal 1601 huruf b KUH Perdata memberikan definisi tentang kontrak pemborongan, yaitu perjanjian dengan mana pihak satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dilihat bahwa dalam kontrak pemborongan hanya ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian, yaitu: 1) pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan atau principal yang dapat terdiri dari ambesteder, bouwheer, kepala kantor, satuan kerja, atau pemimpin proyek; dan 2) pihak kedua disebut pemborong atau rekanan, kontraktor, atau annemer (F.X. Djumialdji, 1995: 3). Menurut F.X. Djumialdji, ketentuan-ketentuan kontrak pemborongan didalam KUH Perdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta maupun pada proyekproyek pemerintah. Kontrak pemborongan pada KUH Perdata itu bersifat
pelengkap
yang
berarti
bahwa
ketentuan-ketentuan
perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam
33 perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (H.M. Hanafi Darwis, 2012: 68). b. Prinsip-Prinsip Kontrak Pemborongan Kontrak pemborongan diatur dalam 14 pasal di KUH Perdata, yaitu pada Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617. Akan tetapi, dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan apakah kontrak pemborongan bersifat hukum memaksa atau hanya hukum mengatur. Sebagaimana umumnya pasal-pasal dalam buku ketiga KUH Perdata, maka kebanyakan ketentuan tentang hukum pemborongan bersifat hukum mengatur sehingga dapat dikesampingkan oleh para pihak (Munir Fuady, 2002:27). KUH Perdata mengatur prinsip-prinsip yuridis mengenai kontrak pemborongan sebagai berikut ( Munir Fuady, 2002: 28-31): 1) Prinsip Korelasi antara Tanggung Jawab para Pihak dengan Kesalahan dan Penyediaan Bahan Bangunan Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab masingmasing pihak disangkutkan dengan kesalahan para pihak dan pihak mana yang menyediakan bahan bangunan. Berdasarkan prinsip ini terlihat bahwa dalam suatu kontrak pemborongan apabila
pihak
pemborong
harus
menyediakan
bahan
bangunannya, maka jika sebelum diserahkan, pekerjaannya musnah dalam keadaan bagaimanapun, maka setiap kerugian yang timbul merupakan tanggung jawab pihak pemborong. Sebagai pengecualian, apabila dapat dibuktikan bahwa pihak bouwheer telah melakukan kesalahan berupa lalai untuk menerima pekerjaan tersebut. Sebaliknya, apabila bahan bagunan disediakan oleh bouwheer sementara pihak pemborong hanya berkewajiban melakukan pekerjaan saja, maka apabila pekerjaannya musnah,
34 pihak pemborong hanya bertanggungjawab untuk kesalahannya saja. Akan tetapi, dalam hal pihak pemborong hanya berkewajiban
melakukan
pekerjaannya
saja,
kemudian
pekerjaannya musanah sebelum diserahkan tanpa ada kesalahan dari pihak pemborong, maka pihak pemborong tetap tidak berhak untuk menerima harga borongan, kecuali dalam hal: a) bouwheer telah lalai dalam memeriksa dan menyetujui pekerjannya; dan/ atau b) musnahnya pekerjaan tersebut akibat cacatnya bahan yang bersangkutan. 2) Prinsip Ketegasan Tanggung Jawab Pemborong jika Bangunan Musnah karena Cacat dalam Penyusunan atau Faktor tidak Ditopang oleh Kesanggupan Tanah Berdasarkan prinsip ini, terhadap suatu pembangunan gedung pihak pemborong harus bertanggung jawab secara hukum
atas
pekerjaan
yang
dibuatnya,
jika
kemudian
bangunannya musnah baik seluruh atau sebagian asalkan memenuhi syarat-syarat berikut: a) yang diborongkan adalah pembangunan gedung; b) pekerjaan diborngkan untuk suatu harga tertentu; c) tanggung jawab pihak pemborong dan juga ahli bangunan sampai dengan jangka waktu 10 tahun; dan d) musnahnya barang tersebut disebabkan karena cacat dalam penyusunannya atau tanah tidak sanggup menahan gedung tersebut. 3) Prinsip Larangan Perubahan Harga Kontrak Maksud dari prinsip ini adalah bahwa pihak pemborong tidak
boleh
mengubah
kontrak
secara
sepihak
menaikkan harga borongan, dengan alasan telah terjadi: a) kenaikkan upah buruh; b) kenaikkan harga bahan-bahan bangunan; atau
dengan
35 c) perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana tersebut. 4) Prinsip Kebebasan Pemutusan Kontrak Secara Sepihak oleh Pihak Bouwheer Prinsip ini tercantum dalam Pasal 1611 KUH Perdata yang menentukan bahwa pihak bouwheer bebas memutuskan kontrak di tengah jalan walaupun hal ini tidak disebutkan di dalam perjanjian ataupun tanpa kesalahan pemborong, asalkan bouwheer mengganti kerugian sebesar biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang hilang dari pekerjaan tersebut. 5) Prinsip Kontrak yang Melekat dengan Pihak Pemborong Tidak semua hak dan kewajiban yang terbit dari suatu kontrak turun kepada ahli waris, meskipun secara umum, hukum menentukan demikian. Terhadap kontrak-kontrak yang mana terhadap salah satu pihak untuk dapat melaksanakan prestasinya diperlukan keahlian tertentu maka hak dan kewajiban yang terbit dari suatu kontrak tidak dapat diturunkan kepada ahli waris. Sebagai contoh adalah kontrak pemboongan, karena dalam kontrak pemborongan memerlukan keahlian tertentu dari pihak pemborong. Meskipun kewajiban pihak pemborong tidak diturunkan kepada ahli warisnya, namun para ahli waris tetap mempunyai hak atas harga borongan terhadap pekerjaan yang telah dikerjakan oleh pihak pemborong sebanding dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya itu. 6) Prinsip Tanggung Jawab Pengganti Prinsip anggung jawab pengganti atau vicarious liability adalah suatu tanggung jawab dari atasan atas tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya terhadap pihak ketiga ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya oleh atasannya itu. Pasal 1613 KUH Perdata menentukan bahwa pihak pemborong secara hukum harus
36 bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dari orang-orang yang dipekerjakan olehnya. Istilah “tindakan” orang lain, dapat diartikan bahwa tindakan yang bersangkutan yang dilakukannya dalam rangka melakukan tugas yang dibebankan kepadanya atau dijanjikan untuk dilakukannya. Sedangkan istilah “orang yang dipekerjakan”, dapat diartikan sebagai mereka yang bekerja tetapi tidak dalam arti independent contractor. Jadi, dalam hubungan kontraktor dengan subkontraktor, maka subkontraktor akan bertanggung jawab sendiri kepada pihak ketiga, bukan pihak kontraktornya. 7) Prinsip Eksistensi Hubungan Kontraktual Prinsip ini berlaku sebagai konsekuensi dari Pasal 1613 KUH Perdata, sebab di samping berlakunya prinsip tanggung jawab pengganti, maka pihak pemborong juga bertanggung jawab atas tindakan pekerja terhadap pihak bouwheer, tidak hanya tindakan pekerja terhadap pihak ketiga seperti dalam prinsip tanggung jawab pengganti. Selain Pasal 1613 KUH Perdata tersebut, Pasal 1614 dan Pasal 1615 KUH Perdata juga menegaskan kembali berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini, dimana para tukang hanya mempunyai hubungan hukum secara kontraktual dengan pihak pemborong, bukan pihak bouwheer, kecuali apabila tukang tersebut bekerja atas tanggung jawab sendiri secara langsung dengan pihak bouwheer dan untuk suatu harga tertentu. 8) Prinsip Hak Retensi Prinsip ini diakui secara eksplisit dalam Pasal 1616 KUH Perdata, bahwa jika para pekerja menguasai suatu barang kepunyaan orang lain untuk membuat suatu pekerjaan atas barang tersebut, maka kepada pekerja tersebut mempunyai hak untuk menahan barang tersebut meskipun milik orang lain
37 dalam kekuasaannya, selama ongkos pembuatan pekerjaan atas barang tersebut belum dibayar lunas. c. Bentuk Kontrak Pemborongan Kontrak pemborongan dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun
lisan.
Praktiknya,
apabila
kontrak
pemborongan
menyangkut biaya yang besar, biasanya kontrak pemborongan dibuat secara
tertulis.
Kontrak
pemborongan
dalam
proyek-proyek
pemerintah biasanya dibuat secara tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir-formulir tertentu sehingga termasuk dalam kontrak standar ( F.X. Djumialdji, 1995: 4). Adapun peraturan standar dalam kontrak pemborongan termuat dalam Algemene Voorwarden voor de uitvoering bij aanneming van openbare werkwn in Indonesia ( untuk selanjutnya disebut AV 1941) yang berarti syarat-syarat umum untuk pelaksanaan Pemborongan Pekerjaan Umum di Indonesia. Ketentuan AV
1941
ini
disahkan
oleh
Peraturan
Pemerintah
(Regeringsverordening) Nomor 9 tanggal 28 Mei 1941 dan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 14751 (H.M. Hanafi Darwis, 2012: 68). AV 1941 terdiri dari tiga bagian yaitu : 1) bagian kesatu tentang syarat-syarat administratif; 2) bagian kedu tentang syarat-syarat bahan; dan 3) bagian ketiga tentang syarat-syarat teknis. d. Peserta dalam Kontrak Pemborongan Sebagai sebuah perjanjian, maka kontrak pemborongan mengikat pihak-pihak yang terkait dalam keberlangsungan kontrak tersebut. Terdapat pihak yang terikat secara langsungn maupun pihak yang secara tidak langsung terikat dengan adanya kontrak pemborongan. Para pihak baik yang terikat secara langsung maupun tidak langsung dalam kontrak pemborongan disebut sebagai peserta dalam kontrak pemborongan. Adapun peserta dalam kontrak pemborongan adalah sebagai berikut :
38 1) Principal terdiri dari ambesteder, bouwheer, kepala kantor, satuan kerja, atau pemimpin proyek Principal merupakan pemberi tugas yang dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah, ataupun swasta. Hubungan antara principal dengan pemborong dapat berupa: a) Principal atau pemberi tugas adalah pemerintah dan pemborong juga pemerintah misal Dinas Pekerjaan Umum, maka hubungannya berwijud hubungan kedinasan. b) Principal atau pemberi tugas adalah pemerintah atau swasta sedangkan
pemborong
dari
pihak
swasta,
maka
hubungannya dituangkan dalam kontrak pemborongan/ Surat Perintah Kerja. Adapun hubungan principal dengan perencana dapat berupa : a) Principal dari pemerintah dan perencana juga dari pemerintah ( Dinas Pekerjaan Umum ), maka terdapat hubungan kedinasan. b) Principal dari pemerintah dan atau swasta, perencana adalah dari swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal. Sedangkan apabila principal dari pemerintah/ swasta dengan perencana swasta bertindak sebagai wakil pemberi tugas ( sebagai direksi ) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa sebagaimana tercantum dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata. 2) Pemborong terdiri dari rekanan, annamar, atau kontraktor Pemborong dapat berupa perseorangan, badan hukum, swasta, maupun pemerintah. Tugas pemborong yaitu malaksanakan pekerjaan sesuai dengan bestek dan menyerahkan pekerjaan. 3) Perencana atau arsitek
39 Apabila principal dan perencana adalah pemerintah maka terjadi hubungan
kedinasan.
Sedangkan
apabila
principal
dari
pemerintah/ swasta dan perencana dari pihak swasta yaitu konsultan
perencana,
maka
hubungannya
diatur
dalam
perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal atau perjanjian pemberi kuasa tergantunag tugas yang dilakukan oleh konsultan perencana. 4) Pengawas atau direksi Direksi bertugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong. Direksi
atau
pengawas
memberikan
petunjuk-petunjuk,
memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pemborongan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan.. Keempat peserta ini harus terpisah satu sama lain yang berarti tidak boleh dirangkap dalam satu tangan ( F.X. Djumialdji, 1995: 7). 5. Tinjauan tentang Indemnity Letter a. Pengertian Indemnity Letter Alwesius, seorang dosen Magister Hukum Universitas Indonesia
memberiakan penjelasan tentang indemnity letter.
Menurutnya, indemnity letter adalah jaminan bagi perusahaan asuransi bahwa prinsipal akan membayar kerugian yang sebelumnya ditalangi
oleh
perusahaan
asuransi
(http://finansial.bisnis.com/read/20150628/215/448036/ini-tips agarsurety-bond-tak-berujung-sengketa diakses pada 20 November 2015). Indemnity letter dalam Surety bond disebut dengan Agreement of Indemnity To Surety atau Perjanjian Ganti Rugi Kepada Surety. Atty Hermiaty berpendapat bahwa Agreement of Indemnity To Surety adalah: “Surat pernyataan yang dibuat dan ditandatangani oleh Principal dan Indemnitor di depan Notaris untuk kepentingan Perusahaan Surety, yang berisi kesanggupan
40 Principal dan Indemnitor untuk membayar semua kerugian Perusahaan Surety yang diakibatkan oleh pembayaran klaim kepada Obligee karena Principal tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai ketentuan dalam kontrak (Haerun Inayah, 2006: 70 ).” Indemnity letter memberikan ketentuan bahwa principal bahwa pemborong akan mengganti atau membayar kembali semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi atau surety untuk pemenuhan kewajibannya kepada obligee sampai dengan batas Penal Sum. Penal Sum atau jumlah besarnya nilai jaminan merupakan suatu bagian atas persentase tertentu dari nilai proyek/ kontrak yang ditetapkan oleh obligee untuk ditutup jaminannya dengan suatu bond (F.X. Djumialdji, 1995: 41-42). b. Pihak-pihak dalam Perjanjian Indemnity Letter (Agreement of Indemnity To Surety) Perjanjian indemnity letter ditanda tangani oleh principal yang harus dilegalisir oleh notaris dan baru dapat diterbitkan setelah terbukti adanya loss situations atau dapat dibuktikan kerugian yang sudah terjadi. Ini berarti bahwa pihak yang terikat langsung oleh perjanjian indemnity letter adalah principal dengan Perusahaan surety. Akan tetapi, apabila suatu perusahaan surety bond diminta oleh pemohon yang tidak begitu kuat keuangannya memenuhi persyaratan dari perusahaan surety maka biasanya masih dibutuhkan adanya pihak lain yang bertindak sebagai penjamin tambahan yang merupakan perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum yang ikut serta memberikan jaminan bagi surety di samping principal. Indemnitor dapat berwujud perorangan maupun badan usaha yang berbentuk daban hukum yang mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian dan berkedudukan di daerah dimana principal berada
41 atau di daerah dalam wewenang perusahaan surety setempat (.F.X. Djumialdji, 1995: 42). B. KERANGKA PEMIKIRAN Obligee Berhasil
Asuransi Surety Bond
Kontrak Pemborongan
Principal (Perusahaan Swasta)
Gagal
Perjanjian Asuransi Surety Bond Surety
Jaminan
Perlindungan Hukum Tanpa Jaminan Dimuka
Terjadi Wanprestasi Kontrak Pemborongan
Indemnity Letter
Gambar 1 : Skema Kerangka Pemikiran Keterangan Gambar : Mekanisme Perjanjian Asuransi Surety Bond Letak Permasalahan Penjelasan : Bagan kerangka pemikiran di atas menjelaskan mengenai alur pemikiran penulis untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu terkait Urgensi Indemniti Letter dalam Perjanjian Asuransi Surety Bond sebagai Jaminan Pelaksanaan Kontrak Pemborongan Perusahaan Swasta.
42 Pemaparan akan dimulai dengan pihak-pihak yang terkait dengan mekanisme pelaksanaan perjanjian asuransi surety bond, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Pihak-Pihak yang terkait dengan perjanjian ini diantaranya : 1. Obligee yaitu pihak yang berhak atas prestasi serta merupakan pihak dilindungi dengan jaminan surety bond terhadap suatu kerugian adalah instansi Pemberi Pekerjaan/ Bouwbeer/ Owner/ Pemilik Proyek. 2. Principal yaitu pihak yang berwajib memberikan prestasi serta merupakan pihak yang dijamin denan jaminan surety bond, adalah Rekanan/ Kontraktor/ Penyalur/ Supplier barang dan sebagainya. 3. Surety yaitu pihak yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond adalah Perusahaan Asuransi. Obligee bukan termasuk pihak yang terkait secara langsung dalam pembuatan perjanjian asuransi surety bond. Namun obligee termasuk pihak yang dilindungi dengan jaminan surety bond, mengingat perjanjian ini termasuk perjanjian accesoir dari kontrak pemborongan proyek. Obligee sebagai pemilik proyek melakukan kerjasama dengan principal untuk menyelenggarakan pekerjaan
pemborongan proyek.
Kerja
sama ini
dituangkan dalam bentuk sebuah kontrak pemborongan. Sedangkan pihak yang terkait secara langsung dalam perjanjian asuransi surety bond adalah pihak principal dengan surety. Principal dapat berupa instansi pemerintah ataupun perusahaan swasta. Kajian dari penelitian ini adalah principal yang berbebtuk perusahaan swasta. Surety menjamin pelaksanaan atas suatu kewajiban dari obligee sebagai pihak pemborong dari proyek pemborongan milik principal sebagaimana tercantum dalam perjanjian pokok yaitu kontrak pemborongan. Apabila kontrak pemborongan tersebut berhasil maka tidak akan menimbulkan permasalahan, sebaliknya apabila gagal dan kegagalan ini karena obligee melakukan wanprestasi atau cidera janji maka surety memiliki kewajiban untuk membayar atau memenuhi suatu prestasi tertentu terhadap obligee. Hak-hal ini tercantum dalam
43 perjanjian surety bond sebagai suatu jaminan pelaksanaan proyek pemborongan. Permasalahan yang diangkat penulis terkait perjanjian asuransi surety bond bermula dari tidak adanya jaminan di muka dari pihak principal yang diberikan kepada surety atas dikeluarkannya asuransi surety bond oleh surety. Tidak adanya kewajiban dari principal untuk memberikan jaminan di muka menimbulkan perlunya perlindungan hukum bagi pihak surety. Perlindungan hukum ini diperoleh dari adanya perjanjian umum tentang ganti rugi atau indemnity letter. Guna memberikan perlindungan ini, maka diperlukan adanya
kekuatan
hukum
dari
indemnity
letter
untuk
menjamin
terselenggaranya perjanjian asuransi surety bond. Indemnity letter dibuat oleh pihak principal dengan surety yang menyatakan bahwa pihak principal akan memberikan ganti rugi atas jaminan yang dikeluarkan oleh surety apabila principal telah lalai dalam melaksanakan isi kontrak pemborongan dengan obligee. Pembuatan indemnity letter dapat dibuat di muka ataupun saat akan pencairan jaminan surety bond. Namun pada praktiknya, para pihak baru akan menandatangani indemnity letter, saat surety akan mencairkan jaminan. Hal ini disebabkan tidak adanya kesatuan regulasi tentang mekanisme pelaksanaan pemberian jaminan asuransi surety bond sehingga masing-masing perusahaan memiliki mekanismenya sendiri-sendiri. Padahal meskipun telah ada perjanjian indemnity letter sebagai konsekuensi tidak adanya jaminan di muka dalam surety bond, hal ini belum dapat menjamin kelancaran
terlaksananya
perjanjian
indemnity
letter
yang
dapat
mengakibatkan perjanijian asuransi surety bond tidak dapat terselenggara sesuai ketentuan, sebab dengan adanya wanprestasi sebagian besar akan mempengaruhi keuangan principal.