BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Pemerintah Daerah a. Pengertian Pemerintah Daerah Pemerintahan apabila dibagi atau dipisahkan, maka terdapat perbedaan antara pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti sempit hanya meliputi lembaga yang mengurusi pelaksanaan roda pemerintahan (disebut eksekutif), sedangkan pemerintahan dalam arti yang luas selain eksekutif, termasuk lembaga yang membuat peraturan perundangundangan (disebut legislatif), dan yang melaksanakan peradilan (disebut yudikatif) (Inu Kencana Syafie, 2005:21-22). Menurut C.F. Strong sebagaimana dikutip oleh Inu Kencana Syafie (2005:22) : Government in the broader sense, is changed with the maintenance of the peace and security of state with in and with out. It must therefore, have first military power or the control of armed forces, secondly legislative power or the means of making law, thirdly financial power of the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending of state and of enforcing the law it makes on the state behalf. Samuel Government
Edward
sebagaimana
Finer
dalam
dikutip
oleh
bukunya Inu
Comperative
Kencana
Syafie,
menyatakan bahwa istilah government, paling sedikit mempunyai empat arti (2005:3-4) : 1) menunjukkan kegiatan atas proses memerintah, yaitu melaksanakan kontrol atau pihak lain (the activity or the process of roverning).
2) menunjukkan masalah-masalah negara dalam mana kegiatan atau prosesdi atas dijumpai (states of affairs). 3) menunjukkan orang-orang (pejabat-pejabat) yang dibebani tugastugas untuk memerintah (people changed with the duty of governing). 4) menunjukkan cara, metode, atau sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu diperintah (the manner, method or system by witch a particular society is governed). Pemerintahan dalam arti luas menurut Carl J. Frederich adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan
rakyatnya
dan
kepentingan
negaranya
sendiri.
Pemerintahan semata-mata tidak hanya sekedar menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif ( Titik Triwulan Tutik, 2005 :97). Uraian-uraian di atas dapatlah dirumuskan bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif, yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara, sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara (Titik Triwulan Tutik, 2005 :6). Pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam dan keluar. Oleh karena itu, pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, yang kedua, harus mempunyai kekuatan legislatif atau dalam arti pembuatan undangundang, yang ketiga, harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai biaya keberadaan negara dalam menyelenggarakan peraturan, hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
Tujuan
adanya
lembaga-lembaga
negara
atau
alat-alat
kelengkapan negara adalah untuk menjalankan fungsi negara dan menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Lembaga-lembaga tersebut harus dapat membentuk satu kesatuan proses yag satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara (Luthfi Widagdo Eddyono,16-17 : 2010). Sistem pemerintahan daerah ada beberapa teori yang mendasari tentang pembagian kekuasaan diantaranya teori pembagian kekuasaan secara horisontal dan teori pembagian kekuasaan secara vertikal. Menurut pendapat Jimly Asshidiqie pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara verikal ke bawah. Pembagian kekuasaan secara vertikal berarti adanya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan (Juanda, 2008 : 37). Menurut Miriam Budiardjo, pembagian kekuaasaan secara vertikal berarti
adanya pembagian kekuasaan
antara beberapa tingkatan pemerintahan (Juanda, 2008 : 37). Menurut Ni’matul Huda pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Ni’matul Huda, 2005 : 20). Menurut Siswanto sistem pemerintahan di Indonesia meliputi (Siswanto Sunarno, 2005 : 5) : 1) Pemerintahan pusat, yakni pemerintah; 2) Pemerintahan daerah, yang meliputi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; 3) Pemerintahan desa. UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut tugas pembantuan. Pemerintah daerah meliputi gubernur, bupati, walikota dan perangkat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Peran pemerintah daerah adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam bentuk pelaksanaan
otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang dan kewajiban pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut undangundang. Pemerintah daerah lebih difungsikan sebagai pelaksana teknis kebijakan desentralisasi. Konstelasi ini, tidak mengherankan bila keberadaan desentralisasi lebih dipahami pemerintah daerah sebagai kewajiban daripada sebagai hak. b. Prinsip Pemerintah Daerah Pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia memiliki prinsip yang dalam penerapannya. Prinsip pelaksanaan pemerintahan daerah secara umum terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat (2) yang menjelaskan, “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Prinsip-prinsip yang terkait pemerintah daerah merupakan tujuan serta cita-cita yang terkandung dalam undang-undang yang terkait penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Konsekuensi logis dari komitmen para founding fathers yang memilih sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka melahirkan pemerintahan daerah. Negara Kesatuan Republik Indonesia secara hirarkis struktural terbagi atas pemerintah pusat disatu sisi dan pemerintahan daerah di sisi lainnya. Pemerintah daerah diberi hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri (local self government), hak dan kewenangan ini dikenal dengan istilah
otonomi daerah. Pemerintah daerah yang memiliki hak dan kewenangan tersebut dikenal dengan sebutan daerah otonom. Konsep teori dari Pemerintahan Lokal (local goverment) dan bagaimana aplikasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Local goverment bagian negara maka konsep local goverment tidak dapat dilepaskan dari konsep-konsep tentang kedaulatan negara dalam sistem unitary dan Federal serta sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan juga tugas pembantuaan (Hanif Nurcholis, 2007:13). Konsep local goverment berasal dari barat untuk itu, konsep ini harus dipahami sebagaimana orang barat memahaminya. Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis (2007:1) menjelaskan bahwa local goverment memiliki tiga arti. Pertama, berarti pemerintahan lokal. Kedua, pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintahan lokal. Ketiga, berarti daerah otonom. Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah lokal memiliki arti sebagai daerah otonom. Prinsip pemerintah daerah sebagai daerah otonom diperkuat untuk keutuhan negara kesatuan sebagai mana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat (6) menjelaskan, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 2. Tinjauan Tentang Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001 telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah
merupakan
fenomena
politis
yang
menjadikan
penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. Paradigma baru dalam pelaksanaan
otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggungjawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan
semangat
demokratisasi
dan
pelaksanaan
pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat (6) menjelaskan, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengertian itu tidak terlepas dari pengertian otonomi yang dalam konteks politik dan pemerintahan mengandung makna pemerintahan sendiri. Kata “otonomi” berasal dari kata “otonom” yang mempunyai dua pengertian. Pertama, berdiri sendiri; dengan pemerintah sendiri; dan daerah otonom. Kedua, kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri. Menurut Dharma Setyawan Salam dalam Ni Nyoman Mariadi demokrasi di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan otonomi seluasluasnya diberbagai daerah. Pemerintag daerah menginginkan agar pemerintah pusat menyerahkan sebesar-besarnya urusan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai daerah otonomi atau otonomi daerah. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “autos” yang artinya sendiri dan “nomos” yang artinya peraturan. Sehingga otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian
berkembang pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri (Ni Nyoman Mariadi, 2011 : 47). Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku (Hanif Nurcholis, 2007:30).
Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah juga mendefenisikan daerah otonom, Pasal 1 ayat (12) menjelaskan, “Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat
setempat
menurut
prakarsa
sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. b. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah Otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberikan
pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (HAW. Widjaja, 2007:133). Penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah (HAW. Widjaja, 2007:7-8). Prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut (Rozali Abdullah, 2007:5):
1) Prinsip otonomi luas Otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban untuk
menangani
urusan
pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. 2) Prinsip otonomi nyata Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing. Potensipotensi yang dimiliki daerah dapat dikembangkan deaerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah. 3) Prinsip otonomi yang bertanggungjawab Prinsip otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya
harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Pemerintah Daerah harus memilki standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kewenangan Daerah a. Pengertian Kewenagan Daerah Kewenangan merupakan untuk kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Pengertian bebas kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Sadu
Wasistiono
(2008:9)
menyatakan
bahwa
“urusan
merupakan himpunan fungsi dalam satu bidang pemerintahan yang didalamnya terkandung adanya hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab. Aktivitas tersebut dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau oleh masyarakat serta dunia usaha. Menurut Miriam Budiardjo dalam Hastutiyani dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya.
Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled) (Hastutiyani,17 :2014). Sumber kewenangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis (Sadu Wasistiono, 2005) : 1) Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat dan diberikan kepada suatu institusi atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2) Kewenangan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian dari institusi atau pejabat
yang lebih tinggi
tingkatanya. Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: “.... Bevoegheid
wet
kan
bestuurechttelijke
worden
omscrevenals
bevoegdheden
door
het
geheel
van
publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer.” Artinya wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik (Hastutiyani,19 :2014). Kewenangan
terdapat
wewenang-wewenang
(rechtsbovoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik, misalnya wewenang menandatangani atau menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama menteri. Kewenangan pemerintahan karena diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Hadjon (wewenang pemerintahan dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), sehingga wewenang dalam konsep hukum publik akan selalu berkaitan dengan kekuasaan (Jemmy Sondakh, 2013 : 212). Menurut Safri Nugraha dalam Luthfi Widagdo Eddyono (2010:27), cara memperoleh kewenangan akan menggambarkan
adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan yang bersifat nasional, regional, dan lokal atau level pemerintahan atasan dan pemerintahan bawahan. Pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah (delegans). Penyelenggaraan kewenangan sangat erat kaitannya sama perbuatan
pemerintah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan.
Perbuatan pemerintah harus memiliki dasar kewenangan yang sah dari peraturan perundang-undangan, tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melakukan
perbuatan
pemerintahan.
Kewenangan
yang
sah
merupakan atribut bagi setiap pejabat atau setiap badan tata usaha negara, jadi setiap perbuatan pemerintah harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan. Prinsip pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk menangani wewenangan
urusan
pemerintahan
yang
berdasarkan
dilaksanakan tugas,
penyerahan
wewenang
untuk
memberdayakan daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Artinya bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dimasyarakat. Hal ini jelas akan memberikan semangat yang cukup kuat kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya terutama dalam pemberian pelayanan. H.D. van Wilk/Willem Konijnenbelt dalam Luthfi Widagdo Eddyono ( 2010 : 35) menjelaskan bahwa delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan
lainnya,
sedang
mandat
terjadi
ketika
organ
pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Syarat delegasi adalah tidak terdapat hubungan hirarki (atasan dan bawahan), tetapi menurut Henk van Marseven dalam Luthfi Widagdo Eddyono (2010 : 35) atas dasar konstitusi, dapat dibenarkan dalam beberapa hal pendelegasian oleh pembuat peraturan perundangundangan kepada organ bawahan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah maka pemerintah daerah yang dipimpin oleh kepala daerah, juga memiliki kewenangan tersendiri yang bersifat atributif dalam segala bidang seperti pemerintah pusat kecuali : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi kewenenangan setiap daerah untuk mengeluarkan peraturan sendiri khusus untuk daerahnya sendiri yang kemudian dikenal dengan Peraturan Daerah (PERDA). Kabupaten dan kota yang selama ini berkedudukan sebagai wilayah administratif dan juga sebagai daerah otonom telah berakhir karena konstelasi pemerintahan sedemikian itu cenderung mematikan kreatifitas dan inovasi daerah dalam mengembangkan daerahnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, status kabupaten dan kota tidak lagi sebagai wilayah administratif tetapi hanya sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang besar untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan penyebutan dari kotamadya menjadi kota karena kotamadya mengandung konotasi tingkatan kota dalam arti kota kecil, kota sedang, dan kota besar padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian. b. Sifat kewenangan Daerah Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusankeputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh
organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemerintahan daerah adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 karena diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18Aayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan kepala daerah sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah, karena kepala daerah adalah kepala pemerintah daerah, tentunya akan sangat tidak tepat apabila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah (Luthfi Widagdo Eddyono,2010 :27). Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,dan
potensi
unggulan
daerah
yang
bersangkutan.
Pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah otonom, yang didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan
pemerintahan
yang
tetap
menjadi
kewenangan
pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi dan agama. Urusan pemerintahan yang dijalankan secara concurrent, yakni penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dilaksanakan secara bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Artinya terhadap urusan yang bersifat concurrent tersebut terdapat pembagian, yakni ada bagian yang penyelenggaraan otonomi daerah mensyaratkan adanya pembagian urusan ditangani pemerintah, dan ada bagian yang ditangani oleh pemerintah provinsi serta bagian yang ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota (Albert Morangki, 2012 : 63).
4. Tinjaun teori tentang Ketenagakerjaan a. Pengertian ketenagakerjaan Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Tenaga kerja merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian nasional dan sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Indikasi ini bisa dilihat pada masih tingginya jumlah pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya kesempatan kerja yang disediakan. Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan
masyarakat
pembangunan
masyarakat
pancasila. tersebut
Tujuan
adalah
terpenting
kesejahteraan
dari rakyat
termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus dijamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat (2) menjelaskan, “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat”. Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat (9) menjelaskan, “Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Menurut Payaman J. Simanjuntak dalam Muhammad Fadli (2014 : 288-289) menyatakan bahwa tenaga kerja atau manpower adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain
seperti sekolah dan mengurus rumah tangga. Jadi semata-mata dilihat dari batas umur minimum 15 tahun dan batas umur maksimum 55 tahun. Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angktan kerja. Kelompok bukan angkatan kerja adalah : 1) Mereka yang dalam studi; 2) Golongan yang mengurus rumah tangga; 3) Golongan penerima pendapatan yakni, mereka yang tidak melakukan aktivitas ekonomi tapi memperoleh pendapatan misalnya pensiunan, penerima bunga deposito dan sejenisnya. Asri Wijayanti (2009:14-15) berpendapat bahwa hukum ketenagakerjaan terletak dibidang hukum administratif / tata negara, hukum perdata, dan hukum pidana, maksudnya dari pernyataan itu disampaikan bahwa : Pertama, menyangkut kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata. Hubungan antara pengusaha dengan pekerja (tenaga kerja/buruh) didasarkan pada hubungan hukum privat. Hubungan ini didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi hukum perdata. Hukum ketenagakerjaann bersifat privat karena mengatur hubungan antara orang perorangan (pembuatan perjanjian kerja). Bersifat publik karena pemerintah ikut campur tangan dalam masalahmasalah perburuhan (ketenagakerjaan) serta adanya sanksi pidana dalam peraturan hukum perburuhan (ketenagakerjaan) (Asri Wijayanti, 2009 :12). Iman Soepomo yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai guru besar hukum perburuhan (ketenagakerjaan) Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
(ketenagakerjaan)
memberikan
sebagai
definisi
berikut:
hukum
“Hukum
perburuhan perburuhan
(ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah” (Aulia Kosasih, 2012 :22).
b. Hak-Hak Tenaga Kerja 1) Upah Pengertian upah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat (30) menjelaskan, “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Mengkaji pengertian di atas, pengertian yang diberikan oleh Iman
Soepomo
(ketenagakerjaan)
tampak
jelas
setidak-tidaknya
bahwa
hukum
perburuhan
mengandung unsur
(Aulia
Kosasih, 2012 :22) : a) Himpunan peraturan (baik tertulis dan tidak tertulis). b) Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa. c) Seseorang bekerja pada orang lain. d) Upah. Upah memberikan peranan penting dan memberikan ciri khas suatu hubungan yang disebut dengan hubungan kerja, bahkan upah merupakan tujuan utama dari seorang pekerja melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum lain. Tenaga kerja menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah, artinya tenaga kerja (pekerja) menjual tenaga kerjanya agar mendapatkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-harinya.
2) Izin, Perlindungan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Pekerja mendapatkan hak dan kewajiban bagi tenaga kerja yang sama tanpa perbedaan gender , seperti halnya:
a) pengaturan jam kerja / lembur Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan Pasal 78 ayat (1) menjelaskan, “Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh
melebihi
waktu
kerja
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: (1) ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan (2) waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu)hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.” Perusahaan yang memperkerjakan pekerja melebihi waktu kerja, maka perusahaaan wajib memberikan upah kerja lembur sebagai
mana diatur
pada ayat
(2) “Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur”. Pengaturan mengenai waktu baik di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur diatur secara seragam. Pengaturan yang
lebih rinci
didalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur Pasal 1 ayat (1) menjelaskan, “Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah”.
Pasal 3 ayat (1) mengatur batas maksimal pelaksanaan waktu lembur “Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu”. Pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan, “Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur”. Pasal 10 ayat (1) menjelaskan, “Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka perhitungan upah lembur adalah 100% (seratus perseratus) dari upah”. Pada ayat (2) menjelaskan, “ Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75% (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar hitungan upah lembur 75%(tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah”. b) waktu kerja dan istirahat Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: (1) istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; (2) istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; (3)cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan (4) istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masingmasing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak
berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masakerja 6 (enam) tahun. Pekerja setelah menjalankan pekerjaan didalam batas waktu tertentu setelah mendapat istirahat agar dapat segera menghadapi pekerjaan selanjutnya, dan diharapkan produktivitas kerja akan naik dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja. c) peraturan tentang istirahat / cuti tahunan Tenaga kerja yang sudah memiliki masa kerja 12 bulan berturut-turut berhak untuk mendapat istirahat/cuti tahunan. Hal ini diatur dalam
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 79 menjelaskan : (1) cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan (2)istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah dengan ketentuan pekerja/buruh
tersebut
tidak
berhak
lagi
atas
istirahat
tahunannya dalam 2 dua tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. d) jaminan sosial Pekerja dapat menjalankan pekerjaanya dengan semangat dan bergairah apabila ada jaminan sosial bagi tenaga kerja. Pengaturan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 99 ayat (1) menjelaskan, “Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja”. Jaminan sosial ini sudah diatur secara normatif didalam perundangan, sehingga bagi perusahaan yang belum atau tidak memenuhi standar yang sudah ditetapkan dapat dikenakan sanksi.
e) Kerja malam bagi perampuan Kebutuhan dari beberapa sektor industri menuntut tegara kerja wanita bekerja malam hari. Berdasarkan peraturan perundangan pada prinsipnya tenaga kerja wanita dilarang untuk bekerja pada malam hari, akan tetapi mengingat berbagai alasan, maka tenaga kerja wanita diizinkan untuk bekerja pada malam hari antara lain : a. alasan sosial, b. alasan teknis, c. alasan ekonomis. f) Cuti Hamil dan Keguguran Tenaga kerja wanita yang hamil, dilindungi oleh Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan dalam hal cuti hamil dan keguguran yang diatur lebih rinci Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) yang menjelaskan: (1)Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2)Pekerja/buruh
perempuan
yang
mengalami
keguguran
kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelengaraan Ketenagakerjan
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalaam pelayanan bidang ketenagakerjaan di Kota
Kendala-Kendala yang menghambat pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pelayanan bidang ketenagakerjaan di Kota Surakarta
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
Keterangan: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah termasuk kategori pengaturan pelaksanaan pemerintah daerah yang menjalankan kegiatan operasionalnya berdasarkan otonomi daerah yang desentralisasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah tersebut khususnya pada Pasal 12 ayat (2) dijelaskan pula bahwa tenaga kerja merupakan salah satu urusan pemerintahan daerah wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Peran Pemerintah Kota Surakarta menjadi salah satu kunci penting
di
dalam
banyak
hal
yang
berhubungan
dengan
ketenagakerjaan. Pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. Pembangunan ekonomi di daerah, perlu perencanaan tenaga kerja yang menjadi kewenangan Pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 29 ayat (1) menjelaskan “Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan”. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Ketenagakerjan
merupakan
instrumen
hukum
peraturan ketenagakerjaan ditingkat daerah. Peraturan derah bertujuan untuk memberi kepastian hukum masalah ketenagakerjan dilingkup daerah kota Surakarta. Ketenagakerjaan menjadi masalah krusial dengan masalah-masalah ketenagakerjaan ditingkat daerah, sehingga harus ada perbaikan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Penelitian yang diteliti oleh penulis mengenai tinjauan terhadap kewenangan
Pemerintah
Daerah
dalam
pelayanan
bidang
ketenagakerjaan di Kota Surakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah serta kewenangan pemerintah daerah dalam pelayanan bidang ketenagakerjaan dan kendala-kendala
yang
menghambat
pelaksanaan
kewenangan
pemerintah daerah dalam pelayanan bidang ketenagakerjaan di Kota Surakarta