perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. 1.
Kerangka Teori
Tinjauan Tentang Tindak Pidana a.
Istilah Tindak Pidana Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda yaitu strafbaar feit. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat tentang rumusan ilmiah strafbaar feit itu sendiri. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. Pembentuk undang-undang Indonesia telah menerjemahkan perkataan strafbaar feit sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feitt tersebut. Terdapat tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit itu sendiri yang digunakan baik dalam perundangundangan dan juga dari berbagai literatur hukum. Istilah-istilah tersebut adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan perbuatan pidana. Strafbarfeit sendiri terdiri dari tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Secara literlijk, kata straf berarti pidana, baar berarti dapat atau boleh, feit berarti perbuatan (Adami Chazawi, 2002:69) Menurut Pompe, strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai berikut: Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaran de overtreder schuld heeft enwaarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de benhartigining van het algemeen welzijn (P.A.F. Lamintang,1997:182).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lain halnya dengan Simons, beliau telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai: Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (P.A.F. Lamintang, 1997:185). Alasan dari Simons merumuskan seperti uraian di atas adalah karena : 1) Untuk adanya suatu strafbaar feit disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undangundang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum 2) Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan 3) Setiap strafbaar feitsebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu (P.A.F. Lamintang, 1997:185). Van Hammel merumuskan straafbar feitadalah: Kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana
(strafwaarding) dan dilakukan de 2008:61). Di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang merupakan landasan yuridis untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud dengan straafbarfeit tidak dijelaskan. Dengan tidak adanya batasan yuridis, dalam praktik selalu diartikan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang. b.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis menguraikan unsur-unsur tindak pidana menurut doktrinal dan menurut undangundang. Doktrinal artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin dalam bunyi rumusannya. Sedangkan menurut undang-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundangundangan yang ada. 1) Menurut doktrinal a)
Dualisme Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa dalam tindak pidana dipisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan, hal ini juga dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin.Menurut batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsurunsur tindak pidana adalah: (1) Kelakuan manusia (2) Diancam dengan pidana (3) Dalam peraturan perundang-undangan (Adami Chazawi, 2002: 80) Dari unsur-unsur yang ada dapat terlihat jelas bahwa tidak menyangkut dari si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata
mengenai
perbuatannya.
Sehingga,
aliran
dualisme dapat diartikan tentang delik yang membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur subyektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur obyektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang (tidak dipidana). Adapun
pemidanaan
dinyatakan
dapat
ditujukan
kepada
pembuat
mempertanggungjawabkan
yang
perbuatan
dilakukannya. Berdasarkan hal ini, pemidanaan terhadap pembuat harus melihat dua hal yang terpisah, pertama, apakah perbuatan pidana dilakukan, dan kedua, apakah pembuat dapat mempertangungjawabkan
(bersalah)
dalam
melakukan
perbuatan pidana sehingga dapat dipidana (Adami Chazawi, 2002:81).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Aliran monisme Jika di atas telah dijelaskan mengenai aliran dualisme yang memisahlan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana, ada aliran lain yaitu aliran monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai orangnya. Banyak ahli hukum yang berpandangan monisme, antara lain, JE Jonkers, Wirjono Prodjodikoro, H.J.van Schravendjik, Simons, dan lain-lain (Adami Chazawi, 2002: 75). Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirinci unsurunsur tindak pidana adalah: (1) Perbuatan (yang) (2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan) (3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat) (4) Dipertanggungjawabkan Sementara itu, Schravendjik dalam batasannya, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut: (1) Kelakuan (orang yang) (2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum (3) Diancam dengan hukuman (4) Dilakukan oleh orang (yang dapat) (5) Dipersalahkan/kesalahan (Adami Chazawi, 2002:80). Perbedaan mendasar dari pertentangan antara monisme dan dualisme tentang delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Kendati terdapat banyak perbedaan lainnya yang mewarnai perdebatan antara monisme dan dualisme, akar persoalan tersebut berasal dari unsur-unsur delik, makna kelakuan (plegen)
dan
kepembuatan
(daderschap),
dan
pertanggungjawaban pidana sehingga melahirkan konsekuensi terhadap pandangan hukum pidana secara keseluruhan. Karenanya,
perbuatan
pidana
hanya
ditujukan
kepada
perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berdasarkan penetapan kesengajaan pelaku (Adami Chazawi, 2002:81).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Menurut KUHP Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku III memuat pelanggaran. Dari rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu dapat diketahui adanya 2 unsur tindak pidana, yaitu: a)
Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kelapaan (negligence or schuld). Pada umumnya para akar telah menyetujui bahwa kesengajaan terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yakni: (1) Kesengajaan sebagai maksud (ogmerk) (2) Kejahatan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) (3) Kesenganjaan dengan keinsafan akan memungkinkan (dolus eventualis) (Leden Marpaung, 2012:9). Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni: (1) Tidak berhati-hati (2) Dapat menduga akibat perbuatan itu (Leden Marpaung, 2012: 9).
b) Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas: (1) Perbuatan manusia, berupa: (a) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif (b) Omission,yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. (2) Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehomatan, dan sebagainya. (3) Keadaan-keadaan (circumstance) Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: (a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan (4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasanalasan yang membebaskan pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaandengan larangan atau perintah (Leden Marpaung, 2012:10) Semua unsur tindak pidana tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan pengadilan. c.
Jenis-jenis tindak pidana 1) Kejahatan dan Pelanggaran Adapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang pasti jenis pelanggaran itu adalah lebih ringan daripada kejahatan, hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominir dengan ancaman pidana penjara (Adami Chazawi, 2002:120). 2) Tindak Pidana Materiil dan Tindak Pidana Formil Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti inti dari larangan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Tindak pidana materiil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertnaggungjawabkan dan dipidana (Adami Chazawi, 2002:120). 3) Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaian Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsure kesengajaan.Sedangkan tindak pidana culpa (culpose delicten)
adalah
tindak
pidana
yang
dalam
rumusannya
mengandung unsure culpa (Adami Chazawi, 2002:124).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Tindak Pidana Aktif (Delik Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif (Delik Omsionis) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif).Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil), adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuhorang yang berbuat. Berbeda dengan tindak pidana pasif. Dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, maka ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi. Tindak pidana ini disebut juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum (Adami Chazawi, 2002:125). 5) Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus Tindak pidana ini dilihat dari waktu di mana tindak pidana itu berlangsung.Apakah hanya pada saat itu saja atau berlangsung dengan beberapa jangka waktu kejahatan itu dilakukan. 6) Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat alam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. (Buku II dan Buku III KUHP). Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapa di luar kodifikasi tersebut. Misalanya tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), tindak pidana psikotropika (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997), tindang pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997) (Adamai Chazawi, 2002:127). 7) Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propia Jika dilihat dari sudut objek hukum tindak pidana, maka tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delicta communia) dan tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang hanya dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propia) (Adami Chazawi, 2002:128). 8) Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten) dan Tindak Pidana Aduan (Klacht Delicten) Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian terbesar tindak pidana adalah berupa tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini. Sedangkan tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan (Adami Chazawi, 2002:128). 9) Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok, yang Diperberat dan yang Diperingan Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur-unsurnya dicantumkan dalam rumusan, misalnya pencurian (362). Karena disebutkan secara lengkap unsure-unsurnya, maka pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan pada bentuk yang diperberat dan atau yang diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur pokok itu, melainkan sekedar
menyebut
kualifikasi
bentuk
pokoknya,
kemudian
disebutkan atu ditambahkan unsure yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan (Adami Chazawi, 2002:130). 10) Jenis Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum yang Dilindungi Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP
adalah
didasarkan
pada
kepentingan
hukum
yang
dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi ini, maka dapat disebutkan misalnya dalam buku II. Untuk melindungi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepentingan negara, maka dibentuk rumusan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Bab I) (Adamai Chazawi, 2002:132). 11) Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Sedangkan tinda pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehinnga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan secara berulangulang (Adami Chazawi, 2002:132).
2.
Tinjauan Tentang Korupsi a.
Istilah Korupsi Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut Korupsi (dari bahasa Latin: corruption= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya (Evi Hartanti, 2007:8). Dikutip dalam sebuah jurnal internasional mengenai korupsi bahwa: Corruption occurs where private wealth and public power overlap. It represents the illicit use of willingness-to-pay as a decisionmaking criterion. Frequently, bribes ind that are against the interests of their princi-pals, who may be bureaucratic superiors, politically appointed ministers, or multiple principals such as the general public. Pathologies in the agency/principalrelation are at the heart of the corrupt transaction. Idifferentiate between low-level opportunistic pay-offs, on the one hand, and systemic corruption, on theother, which implicates an entire bureaucratic hierarchy, electoral system, or gov-ernmental structure from top to bottom. Of course, when corruption reaches the highest levels, it is also likely to prevail lower down Yang berarti: Korupsi terjadi di mana kekayaan pribadi dan kekuasaan publik tumpang tindih.Hal ini merupakan kriteria dari gambaran penggunaan kewenangan yang tidak sah. Seringkali, suap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendorong aparat untuk mengambil tindakan yang bertentangan dengan kepentingan tugas pokok mereka, yang mungkin pejabat birokrasi, menteri politik yang menjabat, atau beberapa direktur dalam kantor pemerintahan. Perubahan fungsi di dalam instansi/hubungan direksi adalah jantung dari transaksi korup.Saya membedakan antara tingkat rendah politik pemberian hadiah, di satu sisi, dan korupsi sistemik, di sisi lain, yang berimplikasi terhadap seluruh hirarkie sistem birokrasi, sistem pemilu, atau struktur pemerintahan dari atas ke bawah.Tentu saja, ketika korupsi mencapai tingkat tertinggi, juga kemungkinan dilakukan pada tahap yang lebih rendah dalam bentuk membeli dukungan dari pejabat kecil (Susan Rose-Ackerman, Jurnal Internasional, vol.15, 2008-330). Di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary adalah: Corruption an act done with an intent to give some advantage with official duty and and the rights of others. The act of an official of fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the right of yang artinya suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud
untuk
mendapatkan
beberapa
keuntungan
yang
bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya (Surachmin & Suhandi Cahaya, 2011:10). b.
Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi Jenis-jenis tindak pidana korupsi menurut Komisi Pemberantas Korupsi dikelompokkan menjadi 7 macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : 1) Perbuatan yang Merugikan Negara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu : (a) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara. Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) : (1) perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan palin banyak Rp. (2)
sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
(b) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya
terletak
pada unsur penyalahgunaan
wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis initelah diatur dalam Pasal 3 UU PTPK sebagai berikut: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
paling lama
20 tahun
dan
denda
paling
sedikit
Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah) . 2) Suap-menyuap Suap-menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. 3) Penyalahgunaan jabatan Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinyamelakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini sebagaiamana rumusan Pasal 8 UU PTPK. Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan
pasal-
pasal
lain
yang
mengatur
tentang
penyalahgunaan jabatan, antara lain: (a) Pasal 9 UU PTPK; (b) Pasal 10 huruf a UU PTPK; (c) Pasal 10 huruf b UU PTPK; (d) Pasal 10 huruf c UU PTPK. 4) Pemerasan Berdasarkan definisi dan dasar hukumnya, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 yaitu : (a)
Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat. Pemerasan ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan dasar hukum dan definisinya yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) Pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena
mempunyai
kekuasaannya memberi
kekuasaan
dan
dengan
itu memaksa orang lain untuk
atau
melakukan
sesuatu
yang
menguntungkan dirinya. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 huruf e UU PTPK; (2) Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat dengan alasan uang atau pemberian ilegal itu adalah bagian dariperaturan atau haknya padahal kenyataannya tidak demikian.Pasal yang mengatur tentang kasus ini adalah Pasal 12 huruf e UU PTPK (b)
Pemerasan yang di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi jenis ini di atur dalam Pasal 12 huruf f UU PTPK.
5) Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan Yang dimaksud dalam tipe korupsi ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh pemborong, pengawas proyek, rekanan TNI/Polri, pengawas rekanan TNI/Polri, yang melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap keuangannegara atau yang dapat membahayakan itupegawai
keselamatan
negeri
yang
negara pada saat perang. Selain
menyerobot
tanah
negara
yang
mendatangkan kerugian bagi orang lain juga termasuk dalam jenis korupsi ini. Adapun ketentuan yang mengatur tentang korupsi ini yaitu : (a) Pasal 7 ayat 1 huruf a UU PTPK; (b) Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PTPK; (c) Pasal 7 ayat (1) huruf c UU PTPK; (d) Pasal 7 ayat (2) UU PTPK; (e) Pasal 12 huruf h UU PTPK;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6) Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan Pengadaan
adalah
kegiatan
yangbertujuan
untuk
menghadirkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu instansi atau perusahaan.Orang atau badan yang ditunjuk untuk pengadaan barang atau jasa ini dipilih setelah melalui proses seleksi yang disebut dengan tender. Pada dasarnya proses tender ini berjalan dengan bersih dan jujur. Instansi atau kontraktor yang rapornya paling bagus dan penawaran biayanya paling kompetitif, maka instansi atau kontraktor tersebut yang akan ditunjuk dan menjaga, pihak yang menyeleksi tidak boleh ikut sebagai peserta. Kalau ada instansi yang bertindaksebagai penyeleksi sekaligus sebagai peserta tender maka itu dapat dikategorikan sebagai korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i UU PTPK sebagai berikut: Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya . 7) Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi atau hadiah Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanyagratifikasi. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman
tanpa bunga, tiket pesawat, liburan,
biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas lainnya. Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12B UU PTPK dan Pasal 12C UU PTPK, yang menentukan : ri menerima
hadiah,
atau
penyelenggara
padahal
diketahui
negara
yang
atau
patut
didugabahwa hadiah, tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan (Komisi Pemberantas Korupsi, 2006:19).
3.
Tinjauan tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Istilah pencucian uang (money laundering) telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan oleh -perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi illegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minum keras (Barda Nawawi Arief, 2003:175). money laundering diartikan sebagai berikut : Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced (Barda Nawawi Arief, 2003:23) Secara
umum,
money
laundering
merupakan
metode
untuk
menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money laundering atau
pencucian
uang
pada
intinya
melibatkan
aset
(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau disembunyikan asal-usulnya sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dati kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. a.
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masingmasing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
placement,
layering
dan
integration
(http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/11_upayamemberantas-pencucian-uang_x.pdf, di akses tanggal 18 Juni 2014). 1) Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau
melalui
rel
estate
atau
saham-saham
atau
juga
mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing. 2) Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi
yang
kompleks
yang
didesain
untuk
menyamarkan/ dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. 3) Adapun integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu
bagi hasil kejahatan. Disini placement maupun layering dialihkan
ke dalam
kegiatan-kegiatan
resmi
sehingga
tampak
tidak
berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk
yang
sejalan
dengan
aturan
hukum
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/11_upayamemberantas-pencucian-uang_x.pdf, di akses tanggal 18 Juni 2014). Kebijakan
kriminalisasi
terhadap
tindak
pidana
pencucian
uang (money laundering) berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 mencakup hal-hal sebagai berikut : b.
Kualifikasi Delik Dilihat dari kualifikasi delik Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 menyebutkan adanya kejahatan yaitu pasal 12 yang
Tindak Pidana pada Bab II disebut dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pada Bab III disebut dengan Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU). Namun demikian tidak ada ketentuan yang menyebutkan secara eksplisit bahwa pelanggaran terhadap ketentuan diluar Bab II dan Bab III adalah pelanggaran. Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan terbagi menjadi dua yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (TPU) dan Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPPU) adalah sebagai berikut : 1) Tindak Pidana Pencucian Uang Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Pasal 3, 6, dan 7 yaitu sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja: (a) Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(b) Mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; (c) Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; (d) Menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; (e) Menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; (f) Membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau (g) Menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah) (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) penempatan; 2) pentransferan; 3) pembayaran; 4) hibah; 5) sumbangan; 6) penitipan; atau 7) penukaran, Harta Kekayaan
yang
diketahuinya
atau
patut
diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah) (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003). Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah
Negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003). c.
Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencucian uang tidak hanya terbatas
pada orang,
tetapi juga dapat dikenakan
terhadap korporasi. Memperhatikan undang-undang tersebut seolaholah terdapat pembagian tegas antara subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi. Subjek hukum orang terdapat pada pasal 3, 6 (1), 9 dan 10. Sedangkan subjek hukum korporasi terdapat dalam pasal 4, 6 (2) dan 8, bahkan terdapat pasal yang mencantumkan secara tegas bahwa subjek pelakunya adalah orang atau korporasi (pasal 7 Undang-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003). Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 (1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi. (2)
Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(3)
Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(4)
Hakim
dapat
menghadap
memerintahkan
supaya
pengurus
sendiri di sidang pengadilan dan
korporasi dapat pula
memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (5)
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
4.
Tinjauan Tentang Pemidanaan a.
Pengertian pemidanaan Berkaitan dengan pidana dan pemidanaan, maka masalah tentang penjatuhan jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan (strafmaat) serta bagaimana pidana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu dilaksanakan merupakan bagian dari suatu sistem pemidanaan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Sehingga, maksud dari sebuah pemidanaan itu sendiri sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap
terjadinya kejahatan
serupa.
Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut: 1) Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang; 2) Pemberian pidana oleh badan yang berwenang; 3) Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang (PAF Lamintang, 2012:3). L.H.C. Hullsman mengemukakan bahwa: Sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment) ( Barda Nawawi Arief, 2008 : 119). Barda Nawawi Arief menambahkan: Apabila pengeortian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana) (Barda Nawawi Arief, 2008 : 119).
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Tujuan dan teori-teori tentang pemidanaan Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : 1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, 2) Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi (PAF Lamintang, 2012:10). Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai berikut : 1) Teori Absolut (pembalasan) Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana.Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa : Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan (Zainal Abidin, 2005 : 11).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Inti ajaran teori absolut adalah alam pemikiran pembalasan, bahwa kejahatan (delik) harus diikuti dengan pidana, dan hal ini bersifat mutlak. Pidana yang dikenakan kepada seseorang sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat yang sudah dilakukan. 2) Teori Relatif (tujuan) Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan
pidana
mempunyai
tujuan
tertentu,
misalnya
memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Menurut Muladi tentang teori ini bahwa : Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan(Zainal Abidin, 2005 : 11). Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori absolut dengan keberatan terhadap tumpuan pembalasan yang dipandang kurang memuaskan.Tujuan utama pemidanaan ialah mempertahankan ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan pribadi maupun publik dan mempertahankan tatatertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat (rechtsorde; soial orde).Teori ini bertitik tolak pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam
masyarakat.Yang
menjadi
tujuan adalah
tata tertib
masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Menurut sifatnya tujuannya adalah bersifat menakut-nakuti, bersifat memperbaiki, dan bersifat membinasakan. Dan menurut sifat pencegahannya adalah pencegahan umum (menakut-nakuti dengan cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh) dan pencegahan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khusus (tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi) (Adami Chazawi, 2002: 157). 3) Teori gabungan/modern (Vereningings Theorien) Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsipprinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan.
Teori
ini
bercorak
ganda,
dimana
pemidanaan
mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut : a) Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. b) Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis. c) Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya (Zainal Abidin, 2005:11). Dari pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan tujuan dari pemidanaan yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari (Adami Chazawi, 2002: 162). c.
Macam-macam sanksi pidana Adapun jenis-jenis pemidanaan hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni : a) Pidana Pokok: (1) Pidana mati (2) pidana penjara (3) Pidana kurungan (4) Pidana denda (5) Pidana tutupan b) Pidana Tambahan: (1) Pencabutan hak-hak tertentu (2) Perampasan barang-barang tertentu (3) Pengumuman keputusan hakim (Barda Nawawi Arief, 2008:152).
5.
Tinjauan Tentang Perbarengan Tindak Pidana Atau Concursus Pengertian concursus tidak dijelasakan secara khusus dalam KUHP, namun dalam rumusan beberapa pasal-pasalnya diperoleh pengertian sebagai berikut: a. b.
c.
Ada Concursus Idealis, aapabila (Pasal 63): Suatu perbuatan masuk dalam lebih dari suatu aturan pidana. Ada perbuatan berlanjut, apabila (Pasal 64): 1) Seseorang melakukan beberapa perbuatan. 2) Perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran. 3) Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut. Mengenai unsure ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, Memorie van Teolichting (MvT) memberikan tiga ktiteria: 1) Harus ada satu keputusan kehendak. 2) Masing-masing perbuatan harus sejenis. 3) Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama. Ada Concursus Realis, apabila (Pasal 65): 1) Seseorang melakukan beberapa perbuatan. 2) Masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu tindak pidana (kejahatan/ pelanggaran); jadi tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan (pada concursus relais dan perbuatan berlanjut) harus belum ada keputusan hakim (Barda Nawawi Arief, 2012: 82). Terdapat 4 (empat) macam istilah/sistem pemberian pidana dalam concursus sebagai ajaran pemberian pidana (leestuk van starftoemeting), yaitu: a. b.
c. d.
Sistem absorbsi, yaitu yang diterapkan hanya ketentuan pidana yang terbatas. Sistem absorbs yang dipertajam, yaitu diterapkan ketentuan pidana yang terberat ditambah dengan 1/3 (sau per tiga) d atas pidana maksimum. Sistem kumulasi, yaitu yang diterapkan tiap-tiap ketentuan pidana tanpa dikurangi, Sistem kumulasi yang diperlunak, yaitu yang diterapkan semua ketentuan pidana tetaoi tidak boleh melebihi yang terberat ditambah sebagian dari ini (satu per tiganya) (Winarno Budyatmojo, 2009: 55). Sistem pemberian pidana pada concursus idelis, perbuatan berlanjut,
dan concursus realis menurut KUHP yaitu: a.
Concursus Idealis 1) Menurut ayat (1) digunaka sistem absorbsi, yait hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat. 2) Apabila hakim menghadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan pidana tambahan yang paling berat. 3) Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penuntutan pidana yang terberat didasarkam pada urutan-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam Pasal 10 (Pasal 69 ayat (1) jo Pasal 10) 4) Dalam Pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1) dalam hal ini berlaku adagium
b.
Perbuatan berlanjut (Pasal 64) 1) Menurut Pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbs yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat. 2) Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. 3) Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatnkejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407:1 (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatankrjahatan ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih daro Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) maka menurut Pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah Pasal 362 (pencurian) atau 406 (perusakan barang). c.
Concursus Realis (Pasal 65 sampai dengan Pasal 71) 1) Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku Pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah satu per tiga. 2) Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku Pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah satu per tiga. System ini disebut system kumulasi diperlunak (Barda Nawai Arief, 2012: 86).
6.
Tinjauan Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
memberikan
pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (Satjipto Raharjo, 2010:111). Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bitner, menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertibandalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yangakan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban (Satjipto Rahardjo, 2010:117). Kepolisian dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian. Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa: a.
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
b.
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah KepolisianNasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakanperan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Undang-undang Kepolisian
menyebutkan
bahwa
tugas
pokok
kepolisian Negara Repubik Indonesia adalah (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Pasal 13): a.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.
Menegakkan hukum; dan
c.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian,
keamanan dan ketertiban masyarakat diartikan sebagai:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
uatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya
proses
pembangunan
nasional
dalam
rangka
tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan
masyarakat
dalam
menangkal,
mencegah,
dan
menanggulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Pasal 14 yaitu: a.
Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b.
Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c.
Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
d.
Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e.
Memelihara ketertiban dan menjami kemanan umum;
f.
Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g.
Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sema tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h.
Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i.
Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j.
Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelu ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;
k.
Memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l.
Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masalah penyimpangan polisi di Indonesia pada dasarnya telah
diantisipasi oleh Polri melalui berbagai instrumen pengawasan terhadap personil polisi. Pertama, melalui keberadaan instrumen legal berupa peraturan. Selain pelanggaran pidana yang secara umum diatur dalam KUHP, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap personilnya, Polri memiliki dua landasan utama yaitu melalui keberadaan peraturan disiplin dan kode etik profesi. Peraturan disiplin anggota Polri diatur melalui Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2003. Peraturan ini mengatur tentang kewajiban, larangan, sanksi hingga tata cara penyelesaian masalah pelanggaran disiplin oleh personil Polri. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003, Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh-sungguh terhadap peraturan disiplin anggota
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia.
Disiplin
adalah
kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen, disiplin anggota kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kehormatan sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan kredibilitas dan komitmen sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, karenanya pembuatan peraturan disiplin bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas dan komitmen yang teguh. Dalam hal ini kredibilitas dan komitmen anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, penegak hukum dan pemelihara keamanan. Komitmen berbeda dengan loyalitas, loyalitas cenderung mengarah ke loyalitas mutlak dan berujung pada
perpustakaan.uns.ac.id
kecenderunganpenguasa/pimpinan
digilib.uns.ac.id
untuk
menyalahgunakan
loyalitas
tersebut (abuse of power). Oleh karena itu pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan/ kesadaran dari pada loyalitas. Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2003 wajib: a.
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaikbaiknya kepada masyarakat.
b.
Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/ atau pengaduan masyarakat.
c.
Mentaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan perturan perundang-undangan yang berlaku.
d.
Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab.
e.
Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
f.
Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku.
g.
Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya.
h.
Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas.
i.Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya. Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2003 dilarang: a.
Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b.
Melakukan kegiatan politik praktis.
c.
Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
perpustakaan.uns.ac.id
d.
digilib.uns.ac.id
Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau diluar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara.
e.
Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor / instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi.
f.
Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaan.
g.
Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan.
h.
Menjadi penagih pirutang atau menjadi pelindung orang yang punya hutang.
i.
Menjadi perantara / makelar perkara.
j.
Menelantarkan keluarga. Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia dilarang : a.
Membocorkan rahasia operasi kepolisian.
b.
Menginggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan.
c.
Menghindarkan tanggung jawab dinas.
d.
Menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
e.
Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya.
f.
Mengontrakkan/ menyewakan rumah dinas.
g.
Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit.
h.
Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak.
i.
Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi.
j.
berpihak dalam berpekara pidana yang sedang ditangani.
k.
Memanipulasi perkara.
l.
Membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan / atau kesatuan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
m. Mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. n.
Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehinga mengubah arah kebenaran materiil perkara.
o.
Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya.
p.
Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani.
q.
Menyalahgunakan wewenang.
r.
Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan.
s.
Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan.
t.
Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas.
u.
Memiliki,
menjual,
membeli,
menggadaikan,
menyewakan,
meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah. v.
Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya.
w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain. x.
Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 6 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2003). Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia untuk pertama kali
ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No.Pol: Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia beserta pedoman pengamalannya. Dengan berlakunya Undangundang Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia
dengan
Perkembangan
Keputusan selanjutnya
Kapolri dengan
No.
Pol.:Kep/04/III/2001.
Ketetapan
MPR-RI
Nomor.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan tugas kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan. Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2001 memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia di semua tingkat organisasi, selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia. Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Dalam perumusan kode etik kepolisian Perkap Nomor 14 Tahun 2001 Pasal 13 ditegaskan dengan jelas bahwa setiap anggota polri dilarang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi.
B.
Kerangka Pemikiran
Tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara
Irjen Pol. Djoko Susilo sebagai Kakorlantas Mabes POLRI melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terhadap proyek pengadaan alat simulator SIM
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Gambar 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan : Dari bagan di atas dapat diambil keterangan bahwa terjadi tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat tinggi Negara, salah satunya yaitu Irjen Pol. Djoko Susilo sebagai Kakorlantas Mabes POLRI dalam pengadan alat simulator SIM. Dengan adanya hal tersebut, tindakan yang telah dilakukan oleh Irjen Pol. Djoko Susilo di bawa dalam persidangan dan dituntut berdasarkan dakwaan yang dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum.