BAB II TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAK ASASI MANUSIA
A. Pengertian dan Perkembangan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional Kondisi penegakan HAM dari tahun ke tahun masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, terutama menyangkut kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Tegaknya Hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari komitmen dan militansi sejumlah individu dan kelompok yang mendedikasikan hidupnya untuk menyadarkan orang lain akan hak-haknya. Sejauh ini, ketidakberdayaan Negara menawarkan jaminan yang efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia telah memberi pelajaran kritis bahwa perjuangan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. 25 Hak Asasi Manusia, yakni hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya. Jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia dan HAM harus dipahami dan dimengerti secara universal. Memerangi atau menentang keuniversalan HAM berarti memerangi dan menentang HAM. 26 Pengertian hak asasi manusia menurut Shalahuddin Hamid ialah “Kebenaran yang diperjuangkan
25
Komnas HAM, Potret Buram HAM Indonesia, Penerbit Pusdokinfo Komnas HAM, Jakarta, 2006, hal 2 26 A. Gunawan Setiardjo, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal 71
Universitas Sumatera Utara
kewenangannya dan menjadi milik individu, kelompok sesuai dengan cara pandang terhadap kebenaran baik berupa materi maupun non materi”. 27 Hak Asasi Manusia atau sering disingkat dengan HAM adalah wewenang yang dimiliki oleh manusia sebagai anugerah Tuhan YME yang melekat pada hakikat manusia. 28 Hak asasi manusia (HAM) terbentuk dari tiga kata, yaitu hak, asasi, dan manusia. Hak berarti milik atau kepunyaan. Hak juga didefinisikan sebagai kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Asas berarti pokok, dasar, atau utama. Asasi berarti yang dasar atau yang pokok. Manusia didefinisikan sebagai orang, insan, atau makhluk yang berakal budi. Dengan demikian hak asasi manusia dapat didefinisikan sebagai milik atau kepunyaan yang bersifat mendasar atau pokok yang melekat pada seseorang sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dijabarkan atau dikembangkan menjadi kewajiban-kewajiban dan hakhak lainnya. Definisi hak asasi manusia di atas menunjukkan bahwa timbulnya hak asasi manusia karena adanya kesadaran manusia terhadap harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaannya. Kesadaran manusia itu muncul karena adanya tindakan
sewenang-wenang,
perbudakan,
penjajahan,
ketidakadilan,
dan
kezaliman. Semua tindakan tersebut telah melanggar hak hidup manusia. Hak hidup adalah salah satu contoh hak asasi. Hak hidup setiap orang melahirkan kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Secara mendasar, hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak untuk memiliki
27
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Amissco, cet.ke-1, 2000, hal. 11. 28 Ida Rohayani, Op.Cit, hal 3
Universitas Sumatera Utara
sesuatu. Hak-hak asasi tersebut terus berkembang menurut tingkat kemajuan kebudayaan. 29 Secara etimologi, hak asasi manusia terbentuk dari tiga suku kata : hak, asasi dan mansia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia adalah kata dalam bahasa Indonesia. HAM merupakan hak
kodrati
yang
melekati
pada
manusia.
Hak
asasi
melambangkan
kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah isu universal sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu digelindingkan dalam konteks partikular. 30 HAM sebagai hak-hak yang melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia. Dari pengertian tersebut, maka pada hakikatnya dalam HAM terkandung dua makna, yaitu: 1. HAM merupakan hak alamiah yang melekat dalam diri setiap manusia sejak ia dilahirkan ke dunia. Hak alamiah adalah hak yang sesuai dengan kodrat manusia sebagai insan merdeka yang berakal budi dan berperikemanusian. Karena itu, tidak ada seorang pun yang diperkenankan merampas hak tersebut dari tangan pemiliknya. Hal ini tidak berarti bahwa HAM bersifat mutlak tanpa pembatasan, karena batas HAM seseorang adalah HAM yang melekat pada orang lain. Bila HAM dicabut dari tangan pemiliknya, manusia akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia. 2. HAM merupakan instrumen atau alat untuk menjaga harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodrat kemanusiannya yang luhur. Tanpa HAM 29
MS.Faridy, Op.Cit, hal 55 Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal 17 30
Universitas Sumatera Utara
manusia tidak akan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. 31 Hak asasi manusia adalah serangkaian klaim yang tanpa terkecuali didukung oleh etika dan yang semestinya didukung oleh hukum, yang diajukan kepada masyarakat, terutama diajukan kepada para pengelola negara, oleh individu-individu atau kelompok-kelompok berdasarkan kemanusiaan mereka. Hak-hak itu berlaku terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin atau pembeda lain dan yang tidak mungkin ditarik kembali atau ditolak oleh semua pemerintahan, rakyat atau individu. 32 Konsep perkembangan asal-usul HAM muncul pada tahun 1689 dalam bill of right (judul lengkapnya adalah “An Act Declaring the Right and Liberties of the Subject and Setting the Succession of the Crown/Akte Deklarasi Hak dan Kebebasan Kawula dan Tata cara Suksesi Raja”) yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan individu, dan merupakan hasil perjuangan Parlemen melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuwart yang sewenang-wenang pada abad ke-17. Disahkan setelah raja James II dipaksa turun takhta dan Willem III serta Mary II naik ke singgasana menyusul “Revolusi Gemilang” (glorious revolution) pada tahun 1988. Revolusi gemilang ini penting karena merupakan preseden yang menunjukkan bahwa para penguasa dapat disingkirkan atas kehendak rakyat jika mereka gagal mematuhi persyaratan legitimasi konstitusional. Lebih lanjut tahun 1791 USA mengadopsi Bill of Right yang memuat daftar hak-hak individu yang dijaminnya, dan dilaksanakan melalui 31 32
Ida Rohayani, Op.Cit, hal 3 Mashood A. Baderin, Op.Cit, hal 15
Universitas Sumatera Utara
amandemen terhadap konstitusi USA. Amendamen yang paling terkenal adalah: Amandemen pertama, menyangkut perlindungan terhadap kebebasan beragama, kebebasan Amandemen
pers,
kebebasan
keempat,
menyatakan
menyangkut
pendapat,
dan
perlindungan
hak
berserikat.
individu
terhadap
penggeledahan dan penangkapan yang tidak beralasan. Amandemen kelima, menyangkut penetapan larangan memberatkan diri sendiri (self incrimination) dan hak atas proses hukum yang benar. Amandemen ketigabelas, yaitu menyangkut pelarangan praktek perbudakan. 33 Demikian juga di Perancis, perjuangan perlindungan HAM dimulai dengan menghancurkan suatu sistem pemerintahan yang absolut yang sudah tua dan mendirikan suatu orde baru yang demokratis dengan menekankan prinsip bahwa kedaulatan suatu negara terletak di tangan rakyat. Karenanya pemerintahan haruslah oleh rakyat untuk rakyat dan setiap pemerintahan yang tidak tanggap terhadap tuntutan warga negaranya dapat dirubah dengan pernyataan kehendak rakyat. Selanjutnya penyelesaian yang terjadi adalah menyusul adanya revolusi Perancis yang mencerminkan teori kontrak sosial dan hak-hak kodrati dari John Locke dan para filsuf Perancis seperti Monstesquieu dan Rosseau. Deklarasi hak asasi manusia dan warga negara pada tahun 1789 memperlihatkan bahwa kebahagiaan yang sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari hak-hak manusia yang suci, tak dapat dicabut dan kodrati. Kemudian sasaran setiap asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak ini adalah hak 33
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional, PT. Pustaka Utama Grafika, Jakarta, 1994, cet. 1, hal. vii, terjemahan dari judul asli: Human Rights, hal 2
Universitas Sumatera Utara
atas kebebasan (liberty), harta (property), keamanan, (safety) dan perlawanan terhadap penindasan (resistance to oppression). 34 Dalam Pasal 4 Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara dinyatakan: 35 Kebebasan berarti, dapat melakukan apa saja yang tidak merugikan orang lain: Jadi pelaksanaan hak-hak kodrati setiap manusia tidak dibatasi, kecuali oleh batas-batas yang menjamin pelaksanaan hakhak yang sama ini bagi anggota masyarakat yang lain. Batas-batas ini hanya dapat ditetapkan oleh undang-undang. Walaupun awal berkembangan abad ke-17 dan ke-18 sebagaimana diuraikan di atas, namun barulah pada akhir Dunia Perang II masyarakat internasional mulai menaruh minat pada promosi dan proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hokum internasional, utamanya setelah terjadi kejahatan perang yang dilakukan oleh Nazi dibawah pimpinan Hitler kemudian di bawa ke peradilan Nuremberg. Dengan demikian ide tentang HAM yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Karena selama perang PD II dipandang dari segi apapun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia, karena kerusakan dahsyat yang ditimbulkan pada Perang Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup merendahkan krisis internasional. 36 Selanjutnya perkembangan yang secara konsisten dan konsekwen dilaksanakan Mahkamah Internasional adalah terhadap kejahatan perang yang telah dimulai sejak masa Mahkamah Nuremberg,
34
Ibid., hal 6 dan 7. Ibid., 36 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta, 1996, cet. hal. 1, diterjemahkan oleh Titas Eddy Arini, dari judul asli: Making Sense of Human Rights 35
Universitas Sumatera Utara
masa International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan Interntional Tribunal for Rwanda (ICTR). 37 Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Dulham) 1948, setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan dengan tidak ada pengecualian apakah seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan. 38 Pada awalnya HAM di buat untuk mengatasnamakan memperjuangkan hak‑hak dari setiap manusia di dunia. Pada tahun 1215 penanda tanganan Magna Charta dianggap sebagai perlindungan hak asasi manusia yang pertama, dalam kenyataanya isinya hanya memuat perlindungan hak kaum bangsawan dan kaum Gerejani sehingga Magna Charta bukan merupakan awal dari sejarah hak hak asasi manusia. Pada abad 18 perkembangan sejarah perlindungan hak‑hak asasi manusia cukup pesat seperti yang dialami oleh bangsa‑bangsa Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Perjuangan rakyat di Negara‑ Negara tersebut sangan luar biasa dalam menghadapi kesewenang‑wenangan para penguasanya. Pertumbuhan ajaran demokrasi menjadikan sejarah perlindungan hak asasi manusia memiliki kaitan erat dengan usaha pembentukan tatanan Negara hukum yang demokratis. Pembatasan kekuasaan para penguasa dalam undang‑undang termasuk konstitusi, Pemimpin suatu Negara harus melindungi hak yang melekat secara kodrati pada individu yang menjadi rakyatnya. Konvensi yang di tanda tangani oleh lima belas 37
Heru Cahyono, Kejahatan Perang yang Diatur Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1, hal. 124. 38 Tim Kontras, Panduan Untuk Pekerja HAM : Pemantauan dan Investigasi Hak Asasi Manusia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan dan Indonesia Australia Legal Development Facility, Jakarta, 2009, hal 29
Universitas Sumatera Utara
Dewan anggota Eropa di Roma, pada tanggal 4 Nopember 1950, mengakui pernyataan umum hak‑hak asasi manusia yang diproklamasikan Sidang Umum PBB 10 Desember 1948, konvensi tersebut berisi antara lain, pertama hak setiap orang atas hidup dilindungi oleh undang‑undang, kedua menghilangkan hak hidup orang tak bertentangan, dan ketiga hak setiap orang untuk tidak dikenakan siksaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia. Dalam perkembangannya hak hak asasi manuia diperlambat oleh sejumlah kekuatan yang menentangnya. Diantara kekuatan‑kekuatan tersebut rezim pemerintahan yang otoriter dan struktur pemerintahan yang sewenang‑wenang dan serba mencakup merupakan kekuatan penentang yang paling besar pengaruhnya terhadap laju perkembangan perlindungan hak‑hak asasi manusia. Terdapat tiga masalah yang menghambat perkembangan hak‑hak asasi manusia, yaitu Negara menjadi penjamin penghormatan terhadap hak‑hak asasi manusia Kedua merupakan bagian dari tatanan Negara modern yang sentrlistik dan birokratis. Merujuk pada sejarah khas bangsa‑bangsa barat, sosialis dan Negara‑negara dulu. Dalam sejarah modern, hak asasi manusia (HAM) berkembang pesat menjadi bahan pembicaraan internasional semenjak perang dunia kedua di pertengahan abad 20. Sejak saat itu, HAM menjadi bahan perbincangan yang luar biasa, baik dalam konsep maupun jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya. Dari istilah fundamental human rights (yang secara harfiah berarti hak dasar manusia). Diakhir abad 20 ini di hamper seluruh dunia masalah hak-hak manusia
Universitas Sumatera Utara
diangkat sebagai hal yang penting dalam Negara demokrasi. Hak asasi manusia dianggap sebagai konsep etika politik modern dengan gagasan intinya adalah adanya tuntutan moral yang menyangkut bagaimana manusia wajib diperlakukan sebagai manusia, sehingga tuntutan moral itu secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. 39 Hak asasi manusia (HAM) dipercayai sebagai memiliki nilai universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu. Nilai universal yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum internasional di berbagai Negara untuk dapat melindungi dan menegaskan nilai-nilai kemanusiaan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan dan keseragaman. Penafsiran right to live (hak untuk hidup). Hak tiap Negara memiliki penafsiran yang berbeda tentang seberapa jauh Negara dapat menjamin right to live. 40 Dewasa ini perlindungan, pemajuan, pemenuhan serta penghormatan HAM telah menjadi tugas yang amat penting dan mulia serta terhormat bagi Negara-negara nasional gaya bar, yakni Negara yang bukan saja tampil secara demokratik
tapi
juga
menunjukkan
komitmen
kepada
masalah-masalah
kemanusiaan. 41
39
Komnas HAM & Insist, Pendidikan Hak Asasi Manusia : Panduan Untuk Fasilitator, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia & Insist, Yogyakarta, 2000, hal 27 40 Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 70 41 Saafroedin Bahar, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Cetakan pertama, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal 4-5
Universitas Sumatera Utara
Dalam dasawarsa terakhir abad ke-20 yang lalu dunia internasional terutama Negara-negara yang telah menjadi anggota PBB dengan segala komitmen dan perhatiannya yang cukup tinggi, mulai berupaya mewujudkan dalam satu pengertian, pemahaman tentang pentingnya perlindungan HAM di antara Negara-negara, sampai pada bentuk, materi maupun prosedur perlindungan HAM mealui seperangkat lembaga maupun komisi HAM yang bertugas memantau promosi HAM.
Dengan aman cepat, mengkristalisir dalam suatu
bentuk hokum internasional tentang hak asasi manusia. Bahkan pada akhirnya, produk-produk legislative PBB banyak diwarnai oleh pernyataan maupun perjanjian tentang hak asasi manusia. 42 Sebelum keberadaan hukum HAM internasional, manusia sebagai individu belum dianggap sebagai subyek hukum menurut hokum internasional. Manusia dianggap tidak lebih dari properti milik Negara, diperlakukan sebagai obyek hokum. Perlakuan Negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hokum internasional, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak Negara-negara lainnya. Masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap Negara sehingga Negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu Negara. 43 Secara sederhana hak asasi manusia itu dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki oleh manusia, hak asasi manusia keberadannya tidak tergantung dan bukan berasal dari manusia, melainkan cari dzat yang lebih tinggi dari manusia. 42
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia : Upaya Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis, Penerbit Universitas Islam Darul Ulum (UNISDA) dan Pustaka Pelajar, Lamongan, 2005, hal 31 43 Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hal 322
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, hak asasi manusia tidak isa direndahkan dan dicabut oleh hokum positif manapun, bahkan dengan prinsip demikian hak asasi manusia wajib diadopsi oleh hukum positif. 44 Perkembangan paling penting, termasuk keberadaan saat ini adalah ketika PBB mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights 1948), Konveran Internasional Hak Ekonomi, social dan budaya (The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights), sedangkan maksud ditetapkannya kedua kovenan itu adalah untuk menempatkan hak-hak dalam DUHAM ke dalam perangkat hokum yang mengikat. 45 Berbagai tulisan mengenai HAM, biasanya membedakan tiga generasi HAM. Generasi pertama mengaku pada hak-hak sipil dan politik yakni HAM yang klasik, generasi kedua mempromosikan hak ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan generasi ketiga memuat sejumlah hak bersama yang telah semakin banyak mendapat perhatian dalam beberapa tahun berakhir. Hak bersama tersebut meliputi : hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang bersih, hak atas sumber daya alamnya sendiri dan hak atas warisan budayanya sendiri. 46 Dua hakyang terakhir biasanya dianggap sebagai warisan bersama ummat manusia. Beberapa di antara HAM dari generasi ketiga ini yang
44
Dadang Juliantara, Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat Hak/asasi Manusia, Cetakan Kedua, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 1999, hal 34 45 UN Departement of Public Information, Basic Fact About UN, New York, 1987, hal 153-154 dalam M. Afif Hasibullah, Op.Cit, hal 23 46 M. Afif Hasibullah, Op.Cit, hal 26
Universitas Sumatera Utara
sangat ditekankan oleh bekas Negara komunis dan dunia ketiga dianggap kontroversial oleh Negara barat. 47 Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, yaitu ketika amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat pasal-pasal HAM. Seperti halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD 1945 amandemen juga memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik pada saat penyusunannya. Penyusunan muatan HAM dalam amandemen kedua UUD 1945 tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang berkembang dan nuansa demokratisasi, keterbukaan, pemajuan dan perlindungan HAM serta mewujudkan negara berdasarkan hukum. 48 Sistem hukum nasional tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum nasional, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam negara Indonesa, hal yang terpenting dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan politik pemerintah. Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari
47
Peter R. Baehr, Hak-hak Manusia dalam Politik Luar Negeri, Edisi Pertama, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hal 9-10 48 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Alumni, Bandung, 2006, hal., 2
Universitas Sumatera Utara
tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif. 49 Untuk mengamati kedudukan HAM dalam sistem hukum di Indonesia diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum itu sendiri. Menurut Lawrence Meir Friedman (1975 : 1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture). 50 Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem hukum nasional selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l-
49
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005, hal., 127. 50 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, 2005, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).51 Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik. 52 Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara. Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur. Pemasukan unsurunsur HAM dalam peraturan perundang-undangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah digariskan dalam Pembukaan UUD 51
Ibid, hal. 2. Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 72. 52
Universitas Sumatera Utara
1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat. 53 Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan perundangundangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and Political Rights) disingkat ICCPR.54 Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM yang Pemberlakukan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan penolakan DPR terhadap Perpu atas saran Pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM. Meski Perpu ditolak DPR, Perpu tersebut tetap dinyatakan berlaku dengan alasan untuk mengisi kekosongan hukum.55
53
Mansyhur Effendi, Op.Cit, hal 133 Handoyo Setiyono, Eksistensi HAM Dalam Sistem Hukum, melalui https://cahwaras. wordpress.com/2010/05/19/eksistensi-ham-dalam-sistem-hukum-di-indonesia/html,diakses tanggal 5 Agustus 2016 55 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan ke III, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, hal 18 54
Universitas Sumatera Utara
Pencabutan terhadap Perpu akhirnya dilakukan pada tanggal 23 November 2000 oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Pasal 50. 56 Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat. Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan. 57 Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan
56
Ibid., hal 19 Masyhur Efendi, Evandri, Taufani Sukmana. HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HAM dalam Masyarakat (edisi ketiga). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012, hal 48 57
Universitas Sumatera Utara
dibentuknya
kelembagaan
yang
berkaitan
dengan
HAM
dan
hukum.
Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Prioritas
utama
dalam
penegakan
hukum
HAM
yakni
dengan
meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih banyak, aparat penegak hukum nasional yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak. 58 Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. 59 Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus, sehingga terjadi interaksi dan 58
Raimond F. Lamandasa, Pentingnya Supremasi Hukum dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM, Artikel, http://www.morowali.com. 59 Mansyhur Effendi, Op.Cit., hal, 129.
Universitas Sumatera Utara
saling mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat. 60 Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum nasional tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas. Pasang surutnya HAM dalam sistem hukum nasional lebih disebabkan oleh faktor sosial budaya, tendensi politik dan berbagai kepentingan individu serta kelompok yang terlalu dominan dalam terciptanya HAM di Indonesia. Dari beberapa faktor tersebut tendensi politik rezim yang berkuasa menempati posisi yang penting. Tendensi politik sangat menentukan pengakuan HAM yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dilapangan. Tendensi politik penguasa yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi kehendak negara. Apabila sudah menjadi kehendak negara maka akan dengan mudah penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya membelokan kepentingan masyarakat dan menggantikannya dengan kepentingan penguasa. 61
60 61
Ibid. Satya Arinanto, Op.Cit, hal 58
Universitas Sumatera Utara
Pada pelaksanaannya, penegakkan hak asasi manusia dapat berbeda antara negara satu dengan negara lainnya. Ideologi, kebudayaan dan nilai khas yang dimiliki bangsa akan memengaruhi sikap dan perilaku hidup suatu bangsa. Penegakkan HAM di Indonesia pada saat ini tentu mengacu pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penegakkan HAM di Indonesia tidak berorientasi pada pemahaman HAM liberal dan sekuler. Dalam pelaksanaannya, pemerintah harus tetap mengacu kepada ketentuan hukum internasional mengenai HAM. Selanjutnya menyesuaikannya dan memasukkannya ke dalam sistem hukum nasional serta menempatkannya sedemikian rupa, sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional. 62 Upaya pelaksanaan pemajuan dan perlindungan HAM khususnya yang berkaitan dengan beberapa jenis hak-hak asasi manusia yang merupakan hak yang paling mendasar (non derogable right) maupun karena pelanggarannya mudah digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM dan mudah mencoreng citra bangsa, perlu ditetapkan sebagai prioritas disamping hak-hak asasi manusia yang mendasar ini, prioritas juga diberikan untuk perlindungan kaum rentan dan hak pembangunan. Pelaksanaan Konvensi Hak-hak anak 1989 yang telah disahkan oleh pemerintah Indonesia dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 mencakup berbagai kegiatan komprehensif antara lain pembentukan 62 http://www.siswamaster.com/2016/01/upaya-pemerintah-dalam-menegakkan-ham.html, diakses tanggal 6 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
institusi nasional dalam rangka pelasanaan konvensi, kerjasama pengumpulan data, evaluasi dan pengawasan, mobilisasi sosial masyarakat mengenai prinsipprinsip konvensi serta pengumpulan berbagai sumber daya yang ada, upaya pelatihan para pekerja soaila anak dan lokakarya bagi para polisi, petugas penjara, jaksa, hakim bidang peradilan anak serta pembaharuan perundang-undangan pada penegak hukum. Pelaksanaan hak asasi manusia Indonesia juga memahami berbagai kesulitan dan kadang-kadang tidak dapat dihindarkan terjadi pelanggaranpelanggaran yang mendapat sorotan dari dunia luar dan dugunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendiskriminasikan Indonesia. Kebijakan indonesia atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sekarang ini ialah segera mengambil langkah-langkah dan tindakan, membentuk Komisi pencari fakta, menahan pelaku yang dianggap bersalah dan mengadili mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 63
B. Instrumen-Instrumen Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Internasional Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu; seperangkat alat untuk memperoleh data sebagai bahan pengolahan. Hak dan kewajiban manusia harus dapat dijalankan dengan seimbang. Demikian pula dalam menggunakan hak, seseorang harus menghormati hak orang lain. Maka
63 Brownlie, Ian (e.d) Beriansyah. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia (basic Document on Human Rights). Jakarta: UI-Press, 2003, hal 52
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan alat/instrumen sebagai pedoman untuk mencapainya. Instrumen ini merupakan hukum yang melindungi segenap hak kodrati seluruh manusia. 64 Instrument
internasional
dikenal
sebagai
Undang-undang
HAM
(International Bill of Human Rights) yang diyakini sebagai standard dan menjadi parameter penegakan hokum HAM di dunia. Hukum HAM internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap HAM di semua Negara di seluruh dunia. Sekalipun hukum HAM internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur dan lembaga, hokum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam Negara yang terkait dengan Negara-negara di mana praktisi hukum mempunyai kepentingan khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada HAM. Tentunya, sadar dengan eksistensi instrument internasional HAM, maka keterjaminan dan perlindungan HAM bagi masyarakat internasional menjadi agenda bersama, bukan justru didominasi oleh kepentingan sekelompok Negara tertentu. Hal inilah yang belum menjelma kuat dalam kebijakan-kebijakan PBB. Peran strategis PBB dalam menciptakan keseimbangan kepentingan hidup dalam lalu lintas kepentingan masyarakat internasional. Penegakan HAM
64 http://guruppkn.blogspot.co.id/2013/10/instrumenhaminternasional.html,diakses tanggal 27 Juli 2016
Universitas Sumatera Utara
internasional diperankan oleh lembaga-lembaga internasional dan PBB masih menyisahkan masalah implementatif yang signifikan. 65 Sebagai instrument perundang-undangan hak asasi manusia supaya dipositifkan kaidah-kaidahnya dan disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk mengembangkan sarana-sarana pendukung agar apa yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat ditaati. 66 Sebagai negara yang telah mengadopsi beragam instrumen hukum HAM internasional, regional dan nasional, pemerintah Indonesia, juga memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta, secara khusus perusahaan multi-nasional. 67 Dalam praktek, sumber hukum hak asasi manusia internasional yang paling penting dan berguna barangkali adalah perjanjian-perjanjian internasional yang secara langsung menimbulkan kewajiban bagi para Negara pihak. Namun perlu diingat juga bahwa banyak norma-norma hak asasi manusia yang penting justru terdapat dalam instrumen hukum hak asasi manusia internasional di luar perjanjian, yang sifatnya tidak mengikat secara hukum, namun tetap dapat digunakan sebagai rujukan. 68 Beberapa perjanjian hak asasi manusia telah diratifikasi secara luas sehingga dianggap menjadi instrument hukum kebiasan internasional yang berlaku universal, dandianggap mengikat bahkan pada negara yang tidak 65
Majda El Muhtaj, Op.Cit, hal 81-83 Muladi, Op.Cit, hal 71 67 Chrisbiantoro, Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM yang Beratdi Indonesia, Penerbit Kontras, Jakarta, 2014, hal 23 68 Rhona K.M. Smith. et.al, Op.Cit, hal 66 66
Universitas Sumatera Utara
meratifikasinya, misalnya Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Genosida, dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, juga Resolusi Majelis Umum PBB yang mengakui Prinsip-prinsip Nuremberg sebagai hukum internasional. 69 Pelaksanaan perlindungan HAM di berbagai negara dilakukan dengan mengacu pada berbagai instrumen HAM internasional. Beberapa instrumen hukum HAM internasional itu adalah sebagai berikut. 70 a. Hukum kebiasaan Dalam hukum internasional, customary international law (hukum kebiasaan internasional) adalah hukum negara atau norma-norma hukum yang dibentuk melalui pertukaran kebiasaan antara negara-negara dalam kurun waktu tertentu, baik yang berdasarkan diplomasi atau agresi. Secara khusus, kewajiban hukum dianggap muncul antara negara-negara untuk mengangkat urusan-urusan mereka secara konsisten dengan tindakan yang diterima di masa lampau. Kebiasan-kebiasaan ini bisa juga berubah berdasarkan penerimaan atau penolakan dari negara-negara dengan tindakan tertentu. Customary international law juga bisa dibedakan dengan hukum perjanjian yang terdiri dari perjanjian-perjanjian (treaties) eksplisit antar negara untuk mengasumsikan kewajiban. Namun, berbagai perjanjian merupakan usahausaha untuk mengkodifikasi hukum tradisional yang telah ada sebelumnya. Sebagai tambahan dari perjanjian dan treaty yang terlihat maupun yang diratifikasi yang menciptakan hukum internasional, pengadilan internasional, para sarjana hukum, ahli hukum, PBB dan negara-negara anggotanya, dengan 69
Resolusi Majelis Umum PBB No.488 (V) tahun 1950, UN Doc. A/177 http://pknips.blogspot.co.id/2015/03/instrumenhukumhaminternasional.html, diakses tanggal 27 Juli 2016 70
Universitas Sumatera Utara
mengacu pada customary international law, menggabungkannya dengan prinsip-prinsip umum hukum, menjadikannya sumber-sumber utama hokum internasional. Mayoritas terbesar pemerintah di dunia ini menerima secara prinsip keberadaan customary international law, meskipun ada beberapa pendapat berbeda terhadap aturan-aturan yang ada di dalamnya. Customary international law terdiri dari peraturan hukum yang diturunkan dari tindakan– tindakan konsisten negara-negara yang melakukannya karena percaya bahwa hukum mensyaratkan mereka untuk bertindak sedemikian. 71 Hal ini mengikuti bahwa customary international law dapat dibedakan dengan pengulangan yang meluas dari negara dengan tindakan internasional serupa selama kurun waktu tertentu (tindakan negara), tindakan-tindakan harus muncul sebagai kewajiban (opinio juris), tindakan-tindakan harus diambil oleh sejumlah besar negara dan tidak bisa ditolak oleh sejumlah besar Negara. 72 Customary international law dihasilkan dari praktik umum dan konsisten sejumlah negara yang mengikuti kewajiban hukumnya, sedemikian sehingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Jika hal itu terjadi, tidaklah menjadi kewajiban bagi sebuah negara untuk menandatangani perjanjian untuk menerapkan customary international law (hukum kebiasaan internasional). Dengan kata lain, customary international law harus diturunkan dari konsensus yang jelas di antara para negara, seperti yang terlihat pada tindakan meluas dan rasa kewajiban yang nyata. Customary international law karenanya dapat
71
Sabthai Rosenne, Practice and Methods of International Law, Oceana Publications. London, 1984, hal. 55 72 Ibid
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan oleh mayoritas negara-negara dengan tujuannya sendiri, hal ini bisa dibedakan melalui praktik meluas yang sesungguhnya. Beberapa prinsip hukum kebiasaan internasional telah mencapai kekuatan sebagai norma peremptory yang tidak bisa dilanggar ataupun dirubah kecuali oleh norma dengan kekuatan serupa. Norma-norma ini dikatakan mendapatkan kekuatan mereka dari penerimaan secara universal misalnya pelarangan terhadap apartheid, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan, genosida, perbudakan dan penyiksaan. Sebuah norma peremptory (juga disebut sebagai jus cogens, Latin) merupakan prinsip dasar hukum internasional yang dianggap telah diterima di komunitas internasional negara secara menyeluruh. 73 Tidak seperti hukum perjanjian pada umumnya yang mesyaratkan secara tradisional adanya treaty dan memungkinkan perubahan kewajiban antar negara melalui perjanjian, norma peremptory tidak bisa dilanggar oleh negara manapun. Di bawah Vienna Convention on the Law and Treaties, perjanjian apapun yang berlawanan dengan norma peremptory tidak sah dan dianggap tidak ada. Treaty memungkinan munculnya norma peremptory baru, namun treaty itu sendiri bukanlah norma peremptory. 74 Hukum kebiasaan merupakan hukum yang diterima melalui praktik umum. Dalam menyelesaikan berbagai sengketa intemasional, hukum kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum yang digunakan oleh Mahkamah 73
Yang dimaksud dengan peremptory atau jus cogens adalah norma umum dalam hukum internasional yang disepakati, diterima, dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar dan atau dikurangi dan hanya bisa dirubah jika lebih banyak negara-negara di dunia menyepakati, menerima, dan mengakui sebuah norma lain yang subsekuen dengannya. Untuk lebih jelasnya, lihat Vienna Convention on the Law and Treaties, 1958, Pasal 53. 74 Rhona K.M. Smith. et.al, Op.Cit, hal 61
Universitas Sumatera Utara
Internasional. Hukum kebiasaan internasional mengenai HAM, antara lain, terdiri dari larangan penyiksaan, larangan diskriminasi, larangan pembantaian massal, larangan perbudakan dan perdagangan manusia, dan larangan terhadap berbagai tindakan pembunuhan dan sewenang-wenang. 75 b. Piagam PBB Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) didirikan dengan tujuan utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan, dan dengan demikian mencegah persengketaan atau konflik bersenjata yang mewarnai hubungan internasional. Dua perang dunia dalam jangka waktu hanya 30 tahun telah memorakporandakan Eropa Barat dan juga telah meluas ke seluruh bagian dunia lainnya, termasuk Asia dan Pasifik. Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu PBB, telah mengadvokasikan suatu sistem yang menjamin hak-hak minoritas untuk melindungi bahasa, agama, dan budaya tradisional dan rakyat perwalian yang hidup di bawah kekuasaan asing (termasuk masyarakat yang dipindahkan melintasi perbatasan, menyusul penetapan kembali batas–batas negara–Negara Eropa oleh negara-negara pemenang perang). Hak universal untuk semua orang meniadakan rezim perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai suatu solusi sederhana bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun nyatanya sampai sekarang masih banyak kaum minoritas yang tertindas. Lebih jauh lagi, PBB sendiri, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian ini, terus berusaha
75 http://pkn-ips.blogspot.co.id/2015/03/instrumen-hukum-ham-internasional.html, diakses tanggal 28 Juli 2016
Universitas Sumatera Utara
untuk mengartikulasikan instrumen-instrumen tambahan yang memuat hak-hak untuk perempuan, masyarakat adat, anak-anak dan lain-lain. 76 Dalam piagam PBB terdapat ketentuan mengenai HAM, di antaranya, sebagai berikut. 1. Pasal 55 menyatakan: “... Perserikatan Bangsa Bangsa akan menggalakkan standar hidup yang lebih tinggi, pekerjaan penuh, kemajuan ekonomi, dan ; kemajuan serta perkembangan sosial
pemecahan masalah-masalah
ekonomi, sosial, dan kesehatan internasional dan masalah-masalah terkait lainnya;
budaya
internasional
dan
kerja
sama
pendidikan;
dan
penghormatan universal dan pematuhan hak-hak asasi dan kebebasan dasar manusia bagi semua tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama”. 2. Pasal 1 menyatakan: “Tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional ... dan menggalakkan serta meningkatkan penghormatan bagi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi semua orang tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, maupun agama ...” 3. Pasal 56 menyatakan: “Semua anggota berjanji kepada diri mereka sendiri untuk melakukan tindakan secara bersama atau sendiri-sendiri dalam bekerja sama dengan organisasi untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam Pasal 55”. c. The International Bill of Human Rights
76
Rhona K.M. Smith. et.al, Op.Cit, hal 87
Universitas Sumatera Utara
The International Bill of Human Rights merupakan istilah yang digunakan dalam pemilihan tiga instrumen utama HAM beserta dengan protokol opsinya. Ketiga instrumen utama yang dimaksud tersebut meliputi: 1. Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) Pernyataan Sedunia mengenai Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights/ UDHR). Selain Kovenan Sipil dan Politik, pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Rasial (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination /CERD). 77 2. Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR) protokol opsi pertama pada ICCPR yang kini berubah menjadi UDHR merupakan instrumen HAM terpenting. Semua instrumen internasional HAM dan konstitusi di berbagai negara merujuk pada UDHR. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan BangsaBangsa, yang memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi sebagai “standar pencapaian
77
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD), Resolusi Sidang Umum PBB 2106 (XX), 21 Desember 1965, berlaku tanggal 4 Januari 1969, Seri Traktat PBB, Vol. 660, Seri Traktat, vol. 660, hal. 195
Universitas Sumatera Utara
bersama”. Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status hukum deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang
sebagai
interpretasi
otentik
terhadap
muatan
Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi semua Negara. 78 Dengan
demikian
pelanggaran
terhadap
deklarasi
ini
merupakan
pelanggaran terhadap hukum internasional. Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1966. Tetapi kedua Kovenan itu baru berlaku mengikat secara hokum pada tahun 1976. Dua instrumen pokok hak asasi manusia internasional itu menunjukkan dua bidang yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain. Kedua instrument ini disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran yang lebih spesifik. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya, menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat “non-derogable” dan hak-hak mana yang bersifat “permissible”. Begitu
78
Lihat Louis B. Sohn, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
pula dengan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat secara lengkap hak-hak ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab Negara yang berbeda dibandingkan dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Jadi sebetulnya dua Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah praktis berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia. 79 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Kembar (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau KIHESB dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau KIHSP) meletakkan dasar bagi hak asasi
manusia internasional
kontemporer sebagaimana didukung oleh PBB dan komunitas internasional pada umumnya. Namun, sejumlah instrumen tambahan telah dikembangkan dalam tahun-tahun setelah diterimanya DUHAM. Beberapa di antaranya lahir sebelum Kovenan kembar yang mengindikasikan ranah-ranah di mana kesepakatan dapat dicapai, sementara instrumen-instrumen lainnya diterima setelahnya. Ada dua aliran pemikiran mengenai fenomena: bagi para pengecam, banyaknya instrumen itu mencerminkan kegagalan Peraturan Perundang-Undangan Hak Internasional (International Bill of Rights) dan konsep hak universal, sementara untuk para pendukung, pembuatan instrumen-instrumen lapisan tambahan itu menciptakan dasar yang lebih kuat bagi hak-hak universal. Pembuatan instrumen-instrumen tambahan itu ”menambal” kesenjangan-
79
Rhona K.M. Smith. et.al, Op.Cit, hal 36
Universitas Sumatera Utara
kesenjangan dalam sistem hak universal, menarik perhatian internasional pada kelompok-kelompok yang dirugikan (perempuan, kelompok rasial, anak, penduduk pribumi, penyandang cacat) atau hak-hak tertentu (penyiksaan, nondiskriminasi, perbudakan). Sedikit hak tidak tercantum dalam Peraturan Perundang-Undangan Hak Internasional. Ini lebih merupakan instumen-instrumen yang menyebutkan kembali hak-hak yang sudah diterima dalam konteks yang berbeda serta menekankan pentingnya hak-hak tersebut. Seorang perempuan, misalnya, berhak atas semua hak universal yang tercantum dalam Peraturan Perundang-undangan Hak Internasional, namun statistik menunjukkan bahwa perempuan seringkali didiskriminasikan atas dasar gender. Oleh karenanya, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan kemudian diterima untuk memperkuat kententuan-ketentuan Kovenan-Kovenan tersebut yang berkenaan dengan diskriminasi dan memberikan pengaruh lebih lanjut pada janji PBB guna memastikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 80 Instrument hukum HAM internasional dapat dikelompokkan sebagai berikut: 81 1. World Conference on Human Rights and Millennium Assembly (Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia dan Majelis Millennium) 2. The Right of Self-Determination (Hak Penentuan Nasib Sendiri) 3. Rights of Indigenous Peoples and Minorities (Hak-hak Masyarakat dan Minoritas Adat) 4. Prevention of Discrimination (Pencegahan Diskriminasi) 5. Rights of Women (hak perempuan) 6. Rights of the Child (hak anak) 7. Rights of Older Persons (hak lanjut usia) 8. Rights of Person With Disabilities (hak orang penyandang cacat) 80 81
Rhona K.M. Smith. et.al, Op.Cit, hal 137 Sefriani, Op.Cit, hal 328
Universitas Sumatera Utara
9. Human Rights in the Administration of Justice Protection of Person Subjected to Detention or Imprisonment (Hak Asasi Manusia dalam Administrasi Peradilan Perlindungan Orang Dikenakan Penahanan atau Pemenjaraan) 10. Sosial Welfare, Progress and Development (Sosial Kesejahteraan, Kemajuan dan Pembangunan) 11. Promotion and Protection of Human Rights (Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia) 12. Marriage (perkawinan) 13. Right to Health (hak atas kesehatan) 14. Right to Work and to Fair Conditions of Employment (Hak untuk Bekerja dan ke Fair Kondisi Kerja) 15. Freedom of Association (Kebebasan Berserikat) 16. Slavery, Slavery-Like Practices and Forced Labour (Perbudakan, Perbudakan - suka Praktek dan Kerja Paksa) 17. Rights of Migrants (hak migran) 18. Nationality, Satelessness, Asylum and Refugees (Kebangsaan, Satelessness, Suaka dan Pengungsi) 19. War Crimes and Crimes Against Humanity, Including Genocide (Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Termasuk Genosida) 20. Humanitarian Law (Hukum Humaniter).
C. Beberapa tentang Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional Dalam kerangka hukum HAM internasional, khususnya pendekatan secara tradisional, negara masih merupakan komponen utama yang terlibat dalam proses ratifikasi dan/ atau adopsi terhadap perjanjian-perjanjian HAM internasional. Oleh karenanya melekat tanggungjawab di dalamnya, bahwa negara adalah subyek yang harus memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga Negara. Dalam konteks ini, UN Treaty Bodies melalui beragam perjanjian internasional yang mengikat negara-negara pihak, telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yakni: Pertama, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), kedua, kewajiban untuk memajukan (obligation to promote), dan ketiga, kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill).
Universitas Sumatera Utara
1. Kewajiban untuk melindungi HAM: negara dalam hal ini pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara, di antaranya massa intoleran, milisi dan / atau perusahaan. Contoh: negara melalui aparatur keamanan memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara untuk tidak disiksa, tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, dll. 2. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM: Negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Contoh: negara tidak mengeluarkan atau memelihara kebijakan yang diskriminatif, semisal peraturan daerah yang melarang dan mengharamkan agama atau aliran tertentu, dll. 3. Kewajiban untuk memenuhi HAM: negara harus melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program, dan membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Contoh: negara memberikan atau menyediakan pemulihan (reparasi) bagi setiap warga negara yang menjadi korban atau keluarga korban dari sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat. 82 PBB akhirnya mengeluarkan sebuah perjanjian sebagai usaha untuk mencegah dan menghukum kejahatan ini. Konvensi tentang Pencegahan dan
82
Chrisbiantoro, Op.Cit, hal 2
Universitas Sumatera Utara
Penghukuman Kejahatan Genosida, dicetuskan pada tanggal 9 Desember 1948, menyatakan bahwa genosida adalah sebuah kejahatan internasional, yang wajib dicegah dan pelakunya wajib dihukum. Pengadilan bagi pelaku genosida dapat dilakukan di Negara di mana genosida itu terjadi, atau dalam sebuah pengadilan internasional! Jadi disinilah pertama kali konsep sebuah pengadilan pidana internasional terbentuk. (Dibutuhkan waktu 50 tahun dan ratusan ribu korban kezaliman dan peperangan, sampai akhirnya sebuah kesepakatan tentang mahkamah pidana terbentuk di Roma pada tahun 1998) Konvensi ini juga mengkriminalisasi konspirasi untuk melakukan genosida, langsung dan hasutan public untuk melakukan genosida, percobaan genosida, dan keterlibatan dalam genosida. Negara-negara penanda tangan dapat meminta wewenang Dewan Keamanan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan genosida yang terjadi di negara lain. Karena kebanyakan negara telah meratifikasi Konvensi ini, dan hukumnya telah diterapkan di pengadilan internasional dan domestik, maka Konvensi Genosida sudah dianggap menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. 83 Beberapa tentang Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional yaitu: 84 1. Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia Sedunia) Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948 menghasilkan deklarasi yang dapat dikatakan sebagai pernyataan pertama dari masyarakat internasional tentang perlunya pengakuan dan jaminan akan hak asasi manusia ini. 83
Atikah Nuraini. et.al, Op.Cit, hal 14 Eddy utomo, Kewarganegaraan, melalui http://pknips. blogspot.co.id/2015/03/ konvensiinternasionaltentangham. html, diakses tanggal 29 Juli 2016 84
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi ini memang tidak mengikat negara anggota secara hukum, tetapi paling tidak sudah menunjukkan komitmen bersama dan sebagai seruan moral bagi bangsabangsa untuk menegakkan hak asasi manusia. Hak-hak yang diperjuangkan masih terbatas pada hak ekonomi, politik, sipil, dan sosial. Piagam ini merupakan hasil kompromi antara negara Barat yang memperjuangkan hakhak generasi pertama dengan negaranegara sosialis (Timur) yang memperjuangkan hak-hak generasi kedua. 2. International Convenant of Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) dan International Convenant of Economic, Social, and Cultural Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) tahun 1966 Secara aklamasi, kedua convenant (perjanjian) ini disetujui oleh negaranegara anggota PBB. Kedua perjanjian ini lebih bersifat mengikat bagi negara dalam memperoleh kesempatan untuk memilih salah satu atau keduaduanya. Negara yang menginginkan isi perjanjian ini berlaku di negaranya harus melakukan proses ratifikasi terlebih dahulu. Hakhak asasi manusia yang tercantum di dalam dua perjanjian PBB ini oleh sebagian besar umat manusia dianggap sudah bersifat universal. 3. Declaration on The Rights of Peoples to Peace (Deklarasi Hak Bangsa atas Perdamaian) tahun 1984 dan Declaration on The Rights to Development (Deklarasi Hak atas Pembangunan) tahun 1986 Kedua deklarasi ini dihasilkan oleh negaranegara Dunia Ketiga (negara berkembang), yaitu Negara-negara di kawasan AsiaAfrika. Deklarasi ini
Universitas Sumatera Utara
adalah wujud upaya negaranegara Dunia Ketiga guna memperjuangkan hak asasi manusia generasi ketiga, yaitu hak atas perdamaian serta pembangunan. Dua tuntutan hak ini wajar karena Negara-negara Asia Afrika ialah negara bekas jajahan, negara baru yang menginginkan kemajuan seperti Negara lain. 4. African Charter on Human and Peoples Rights (Banjul Charter) Piagam ini dibuat oleh negaranegara Afrika yang tergabung dalam Persatuan Afrika (OAU) pada tahun 1981. Charter (piagam) ini merupakan usaha untuk merumuskan ciri khas bangsa Afrika dan menggabungkannya dengan hak politik dan ekonomi yang tercantum dalam dua perjanjian PBB. Mulai tahun 1987, diberlakukan beberapa hal penting yang mencakup hak dan kebebasan serta kewajiban. Inti dari Banjul Charter adalah penekanan pada hak-hak atas pembangunan dan terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya. 5. Cairo Declaration on Human Rights in Islam Deklarasi ini dibuat oleh negaranegara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Deklarasi ini menyatakan bahwa semua hak dan kebebasan yang terumuskan di dalamnya tunduk pada ketentuan Syariat Islam sebagai satu-satunya acuan. 6. Bangkok Declaration Deklarasi Bangkok diterima oleh negara-negara Asia pada bulan April tahun 1993. Dalam deklarasi ini tercermin keinginan dan kepentingan Negara-negara di kawasan itu. Deklarasi ini mempertegas beberapa prinsip tentang hak asasi manusia, antara lain, right to Development (hak untuk Pembangunan), yaitu hak pembangunan sebagai hak asasi yang harus pula diakui semua negara ;
Universitas Sumatera Utara
nonselectivity dan objectivity, yaitu tidak boleh memilih hak asasi manusia ; universality, yaitu HAM dan menganggap satu lebih penting dari yang lain berlaku universal untuk semua manusia tanpa membedakan ras, agama, ; indivisibility dan interdependence, kelompok, etnik, dan kedudukan sosial yaitu hak asasi manusia tidak boleh dibagi-bagi atau dipilah-pilah. Semua hak asasi manusia saling berhubungan dan tergantung satu sama lainnya. 7. Vienna Declaration (Deklarasi Wina) 1993 Pada tahun 1993, telah ditandatangani suatu deklarasi di Wina, Austria. Deklarasi ini merupakan deklarasi universal dari Negara-negara yang tergabung dalam PBB. Deklarasi Wina merupakan kompromi antara pandangan Negara-negara Barat dan Negara-negara berkembang yang disetujui oleh lebih dari 170 negara. Deklarasi tersebut memunculkan apa yang dinamakan sebagai hak asasi generasi ketiga, yaitu hak pembangunan. Pada hakikatnya, Deklarasi Wina merupakan reevaluasi kedua terhadap deklarasi HAM dan suatu penyesuaian yang telah disetujui oleh hampir semua negara yang tergabung dalam PBB, termasuk Indonesia. Deklarasi Wina mencerminkan usaha untuk menjembatani jurang antara pemikiran Barat dan non Barat dengan berpegang teguh pada asas bahwa hak asasi bersifat universal.
Universitas Sumatera Utara