BAB II PROSES PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA A. Demokrasi di Indonesia Istilah demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cretein yang berarti memerintah, dan ada sarjana yang menyebut kata cretien dengan kratos yang berarti kekuasaan. 70 Dengan demikian, demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 71 Ada berbagai macam kata yang dipadankan dengan kata demokrasi yang kita kenal saat ini, seperti demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Sovyet, demokrasi nasional dan sebagainya. 72 Apabila kita kembali ke akar kata dari demokrasi itu sendiri, maka dapat ditemukan bahwa kata demokrasi sesungguhnya berarti rakyat berkuasa atau goverment or rule by the people. Menurut G.J. Wolhoff sebagaimana yang dikutip oleh Zen Zaniber MZ, demokrasi dibedakan dalam 2 (dua) arti, yaitu73 :
70
Heru Nugroho; Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 87. 71
Bondan Gunawan; Apa Itu Demokrasi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 1. Satya Gunawan, Hukum dan Demokrasi, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1991), hlm. 3. 73 G.J. Wolhoff dalam Zen Zanibar MZ, Otonomi Desa dengan Acuan Khusus pada Desa di Propinsi Sumatera Selatan, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 10. 72
1.
2.
Suatu sikap rohani tertentu yang berdasarkan pemandangan bahwa keyakinan dan pendapat setiap manusia hekakatnya berharga sama, segala keputusan harus diambil setelah bermusyawarah, bertukar pikiran dan berkompromi serta sekurang-kurangnya harus didasarkan atas suara mayoritas; Suatu sistem pemerintahan yang memberi kemungkinan kepada seluruh rakyat turut serta dalam pemerintahan langsung atau tidak langsung dan menjamin bahwa keputusan-keputusan pemerintah acapkali berdasarkan sekurang-kurangnya suara mayoritas yang diperintah.
Segi yuridis konsepsi demokrasi seperti ini adalah bagaimana keputusan dibuat dan rakyat terlibat dalam proses perumusannya. Konsepsi demokrasi demikian mencerminkan bahwa pemerintahan diselenggarakan berdasarkan produk hukum yang mendapat persetujuan dari yang diperintah. Hal ini yang menurut John Dewey disebut sebagai demokrasi partisipasi, dimana dikatakan bahwa demokrasi partisipasi adalah pengutamaan kehendak warga masyarakat dan penolakan terhadap pemusatan dan sifat totalitas kekuasaan, 74 walaupun pendapat ini sedikit tidaknya berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Rouseau sebagaimana dikutip oleh Franz MagnisSuseno 75 yang mengatakan bahwa kedaulatan rakyat tidak menuntut agar tidak ada kekuasaan di atas para warga negara, melainkan bahwa kekuasaan harus dikontrol oleh mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa kedaulatan rakyat dikontrol oleh mereka. Kedaulatan rakyat tidak berarti bahwa segala keputusan harus diambil langsung oleh rakyat. 76
74
Arbi Sanit, Ormas dan Politik, (Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan (LSIP), 1995), hlm. 138-139. 75 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Prinisp-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 290. 76 Ibid.
Kenyataan seperti ini dapat ditelusuri dalam sejarah demokrasi modern yang berawal dari Revolusi Perancis, di mana demokrasi ini sesungguhnya berkembang menjadi demokrasi representatif. Dalam demokrasi representatif ini, rakyat tidak langsung membuat Undang-undang melainkan melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Keputusan-keputusan yang paling penting dalam kenyataannya diambil oleh beberapa orang atau segelintir orang saja. Maka dalam demokrasi representatif ini, menurut Franz Magnis-Suseno ada unsur elitarisme. 77 Ada 3 (tiga) buah pilar utama yang dipakai untuk membangun gagasan demokrasi, sebagaimana yang dikatakan oleh Arbit Sanit, antara lain kemerdekaan (freedom), persamaan (equality) dan keadilan (justice). 78 Bagi negara yang menganut sistem politik demokrasi, ketiga nilai demokrasi tersebut direalisasikan dalam kehidup sehari-hari. Jaminan atas terlaksananya nilai-nilai demokrasi tersebut akan sangat ditentukan oleh adanya kesempatan dari setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya kepada negara. Lebih lanjut Arbi Sanit menguraikan bahwa konsep perwakilan politik terdiri dari dua aspek, yaitu demokrasi perwakilan dan pemerintahan perwakilan. 79 Dari kedua pendapat di atas, diketahui bahwa dalam konsepsi negara demokrasi, sumber kekuasaan negara adalah rakyat, karenanya dalam konsep negara demokrasi kekuasaan itu berada di tangan rakyat. Dalam menjalankan kekuasaan ini, rakyat telah mempercayakan kepada pemerintah, maka hal ini akan dilakukan 77
Ibid. Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, 1985), hlm. 25. 79 Ibid. 78
berdasarkan kesepakatan antar rakyat dan pemerintah. Hal ini berarti bahwa setiap perilaku dan tindakan pemerintah hendaknya memberikan nilai yang bermanfaat bagi rakyat. Untuk melaksanakan maksud tersebut, maka proses pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah perlu diawasi oleh lembaga atau sekelompok orang yang diserahi kekuasaan, yang pada dasarnya merupakan bagian keseluruhan pihak yang diserahi kekuasaan oleh rakyat. Dewasa ini dalam sistim pemerintahan Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, yang diserahi kekuasaan oleh rakyat dibagi atas 2 (dua), yaitu 80 : 1. Pemerintah (Eksekutif), yang diserahi kekuasaan untuk mengatur melaksanakan pengaturan berbagai kebutuhan masyarakat. 2. Lembaga Perwakilan Rakyat (Legislatif), yaitu lembaga yang berwenang dalam hal merumuskan dan membuat aturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah serta melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah. Perwakilan politik rakyat terdapat baik di tingkat pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah. Baik lembaga perwakilan politik rakyat di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, secara umum masing-masing memiliki fungsi dan peranan yang sama, yaitu bagaimana mampu mengemban kepercayaan dari rakyat yang telah menyerahkan kekuasannya kepada wakilnya di lembaga perwakilan rakyat melalui fungsinya yang dilengkapi dengan hak-hak sebagai anggota dari lembaga perwakilan. Tentang fungsi lembaga perwakilan rakyat ini, secara umum Steven A. Peterson dan
80
Aos Kuswandi, Pelaksanaan Fungsi Legislatif dan Dinamika Politik DPRD, (Bekasi: Laboratorium Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam ’45’ (UNISMA), 2004), hlm. 3.
Thomas H. Rasumussn mengatakan bahwa terdapat dua fungsi utama badan legislatif, yaitu pembuatan Undang-undang dan Perwakilan Politik. Namun dalam pengertian yang lebih sempit, fungsi badan legislatif dapat dijalankan sebagai fungsi penyusunan anggaran, impeachment, kerja sosial dan pengawasan. 81 Pengawasan terhadap eksekutif ini adalah merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam setiap demokrasi,82 dengan tidak mengesampingkan fungsifungsi lainnya. Sedangkan Solly Lubis mengatakan bahwa pada umumnya Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai 2 (dua) macam tugas pokok, yaitu pertama tugas perundang-undangan (wetgeving law making), kedua tugas pengawas (kontrol terhadap eksekutif). 83 Dan dengan menyimpulkan beberapa pendapat di atas, Arbi Sanit mengatakan bahwa fungsi-fungsi lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi perwakilan, perundang-undangan dan pengawasan. 84 David E. Apter menguraikan bahwa dalam setiap negara demokratis pengawas terpenting terhadap kekuasaan, yang nyata maupun potensial, adalah badan legislatif yang terdiri dari wakil-wakil rakyat. 85 Dengan melihat beberapa perbedaan tentang fungsi dari lembaga perwakilan rakyat menurut pendapat beberapa ahli sebagaimana tersebut di atas, krianya dapat dimengerti apabila terdapat perbedaan di antara para ahli yang bersangkutan dalam memahami tentang fungsi dari lembaga perwakilan rakyat yang menjadi kajian dan obyek penelitiannya. Umumnya, fungsi 81
Ibid. David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, diterjemahkan dari judul asli Introduction to Political Analysis oleh Setiawan Abadi, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 177. 83 M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 65. 84 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia...., Op.Cit., hlm. 252. 85 Ibid. 82
yang harus ada dari lembaga perwakilan rakyat meliputi fungsi legislatif (perundangundangan) dan fungsi pengawasan (kontrol). Dalam hubungannya dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, Moh. Mahfud MD dengan mengutip Moh. Yamin, mengatakan bahwa 86 : Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan itu antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawan dengan asas hendak mengumpulkan segalagalanya pada pusat pemerintahan. Lebih lanjut Moh. Mahfud MD menyimpulkan dari apa yang dikatakan oleh Mohammad Yamin bahwa otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi.87 Otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokrasi. Artinya di negara demokrasi dituntut adanya pemerintah daerah yang memperoleh hak otonomi. Adanya pemerintah daerah yang demikian juga menyempurnakan suatu ciri negara demokrasi, yakni kebebasan.
B. Pengertian Desentralisasi dan Otonomi Daerah 1. Desentralisasi Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin de yang berarti pusat. Dari sini, desentralisasi dapat diartikan sebagai melepaskan dari pusat. Sejalan dengan ini, Ryaas Rasyid mengatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan
86 87
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2001), hlm. 90. Ibid.
desentralisasi tahun 1999 itu adalah di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecendrungan global dan mengambil manfaat dari padanya. 88 Berangkat dari pengertian secara etimologis ini, selanjutnya dapat dijelaskan mengenai definisi istilah desentralisasi, dimana terdapat berbagai macam pengertian, namun defenisi yang luas diterima adalah definisi yang dikemukakan oleh Dennis A. Rondinelly, John, R. Nellis and G. Shabbir Cheera dalam Desentralization in Countries: A Review of Recent Experience, dimana dikatakan bahwa, 89 desentralisasi yang disimpulkan dari beberapa pendapat seperti Joaniarto, The Liang Gie, Muslimin, Soejito, Surjaningrat, Bryan dan White, Amal dan Nasikum serta Harris, yaitu 90 : a. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintah untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah; b. Secara administrasi diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan administratif departemen pemerintah pusat ke daerah dan dikenal dengan nama dekonsentrasi; c. Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan dan control terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal dikenal dengan nama devolusi; d. Ditinjau dari segi privatisasi diartikan sebagai pemindahan tugas-tugas yang bersifat mencari untuk ataupun tidak kepada organisasi sukarela;
88
Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dan Persatuan Nasional, Jurnal Paskal Edisi I Tahun 2001,
hlm. 10. 89
S. Situmorang, Distribusi Kewenangan Pusat dan Daerah, Makalah disampaikan pada Workshop Supervisi dan Evaluasi Pengaturan Kewenangan yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 23 Oktober 2002, mengutip Dennis A. Rondinelly, John. R. Nellis and G. Shabbir Cheera dalam Decentralization in Countries: A. Review of Recent Experience. 90 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2004), hlm. 80-81.
e. Dipahami sebagai delegasi diartikan sebagai pemindahan tanggungjawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat; f. Ditinjau dari jabatan diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja dan termasuk dalam dekontsentrasi juga; g. Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintah Negara. Desentralisasi di sini ada 2 (dua) macam, yaitu desentralisasi teritotial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional (penyerahan kekuasaan untuk mengatur fungsi tertentu); h. Penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Di samping pembagian kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquie terdapat pembagian kekuasaan atas dasar wilayah. 91 Pembagian kekuasaan atau wewenang atas dasar fungsi tersebut di atas oleh Arthur Maas disebut ”Capital division of powers” untuk mendampingi ”Areal division of powers” yakni pembagian kekuasaan atau wewenang atas dasar wilayah di mana wilayah nasional dibagi ke dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil dan dalam wilayah tersebut terdapat derajat otonomi tertentu. Masyarakat yang berada dalam wilayah-wilayah tersebut akanmenjalankan pemerintahan sendiri melalui lembaga politik dan birokrasi daerah yang terbentuk. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pembagian kekuasaan atau wewenang menurut wilayah lazim disebut desentralisasi teritorial atau secara singkat disebut desentralisasi, yang dalam hal ini terkait dengan proses pembentukan
91
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1980), hlm. 151.
daerah otonom dan proses penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom tersebut. 92 Di dalam ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah : pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonomi). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan azas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara. RDH. Koesoemahatmadja, membagi desentralisasi dalam 2 macam, yaitu 93 : 1. Deconcentratie atau ambtelijke decentralisatie, dan 2. Desentralisasi ketatanegaraan/desentralisasi politik (Staatkundige decentralisatie). Selanjutnya desentralisasai ketatanegaraan dibagi lagi dalam 2 macam yaitu : a. Desntralisasi Teritorial (teritoriale decentralisatie) Desentralisasi teritorial mempunyai 2 macam bentuk, yakni : 1) Otonomi (autonomie) dan 2) Mendebewind atau zelf bestuur b. Desentralisasi Fungsional (Functionale decentralisatie) Istilah autonomie berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri, nomos = Undang-Undang) dan berarti “perundingan sendiri” (zelfwet geving). Sedangkan istilah zelfbestuur ini adalah terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris sendiri diartikan sebagai : segala pemerintahan di tiap bagian dari negeri Inggris yang dilakukan oleh wakil-wakil yang diperintah. Di negeri Belanda, “zelf bestuur” diartikan menjadi pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat 92
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Dareah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, (Jakarta: Disertasi Doktor Ilmu Administrasi Negara Pada Universitas Indonesia 8 September 1993), hlm. 71. 93 RDH. Koesoemahatmadja : Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia (Bandung: Binacipta, 1979), hlm 14-15.
atau daerah-daerah yang tingkat lebih atas oleh alat-alat perlengkapan dari daerahdaerah yang lebih bawah. 94 RDH. Koesoemahatmadja memberikan pengertian tentang dekonsentrasi adalah :“Pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Di dalam desentralisasi semacam ini rakyat tidak dibawa-bawa”. Sedangkan desentralisasi adalah : “Desentralisasi ketatanegaraan (staatkundge decentralisatie) atau disebut juga desentralisasi politik, yaitu : pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en besturende bevogheid) kepada daerah-daerah otonom di lingkungannya. Di dalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing”. 95 C. Bryant seorang pakar yang banyak menulis tentang manajemen pembangunan di negara-negara berkembang dalam buku Managing Development in the Third World yang ditulis bersama Louise G. White yang berpandangan bahwa dalam kenyataannya ada dua bentuk desntralisasi, yaitu yang bersifat administratif dan yang bersifat politik. 96 Konsep ini membedakan adanya empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration, delegation, devolution to local government dan non government institutions. Konsekwensi dari desentralisasi dalam bentuk devolution (devolution to 94
Ibid. Ibid. 96 Bryant, Carolie dan White, Louise G, Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, terjemahan dari “Managing Development in the Third World”, Penerjemah : Rusiyanto L. Simatupang, (Jakarta : LP3ES, 1989), hlm. 213-214. 95
local
government)
mengakibatkan
pemerintah
pusat
membentuk
unit-unit
pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri, dengan ciri-ciri sebagai berikut 97 : Pertama, unit pemerintah setempat bersifat otonom, mandiri (independent) dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan, di mana pemerintah pusat sedikit atau sama sekali tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya. Kedua, unit pemerintahan tersebut diakui memepunyai batas-batas wilayah yang jelas dan legal, dalam mana pemerintah setempat mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan. Ketiga, unit pemerintahan tersebut mempunyai status sebagai badan hukum dan mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber-sumber daya guna mendukung pelaksanaan tugasnya; keempat, unit pemerintah daerah tersebut dipakai oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka, dan karena itu pemerintah daerah mempunyai pengaruh dan kewibawaan terhadap warganya. Kelima, terdapat hubungan timbal balik, hubungan yang saling menguntungkan dan hubungan kemitraan, melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan. United Nations (UN) memberikan pengertian tentang desentralisasi sebagai berikut : “The term decentralization as used here refers to the transfer of authority away from the national capital whether by deconcentration (Le delegation) to field offices or by devolution to local authorities or there local bodies”. 98 Pengertian yang diberikan United Nations (UN) ini sejalan dengan yang diberikan oleh Rondinelli, 97
Rondinelli, Dennis A, and Cheema, G. Shabbir, Decentralizatin and Development, Policy Implementation in Developing Countries, (California: Sage Publication Inc, 1988), dalam Dr. E. Koswara, “Kebijakan Desentralisasi Dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah”, dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia: Kumpulan Karangan/Penyunting Achmad Sjihabuddin dan Arselan Harapan (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 152-153. 98 United Nations, Technical Assistance Programme, Decentralization for National and Local Developmnet, (New York : Department of Economic and Social Affairs, Division for Public Administration, 1962), dalam Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, (Jakarta: Disertasi Doktor Ilmu Administrasi Negara Pada Universitas Indonesia, 8 September 1993), hlm. 58.
yakni pengertian dalam arti yang luas yakni mencakup dekonsentrasi dan desentralisasi yang menggunakan istilah devolusi. Kemudian Bhenyamin Hoessein dalam disertasinya berpendapat bahwa : “Dalam pustaka Indonesia pada umunya terdapat tiga pengertian dari konsep desentralisasi. Pertama, pengertian desentralisasi yang sempit tidak mencakup konsep dekonsentrasi. Kedua, pengertian desentralisasi yang luas mencakup pengertian dekonsentrasi. Ketiga, pengertian yang sangat luas mencakup dekonsentrasi dan konsep lain”. Dalam penelitiannya pakar Ilmu Administrasi Negara tersebut menganut pengertian yang pertama yakni konsep desentralisasi terpisah dan tidak mencakup dekonsentrasi. Di samping itu pakar otonomi daerah tersebut juga membatasi pada desentralisasi yang disebut oleh kalangan pakar sebagai desentralisasi teritorial dengan argumen bahwa dalam proses desentralisasi pemerintahan atau desentralisasi politik atau desentralisasi ketatanegaraan atau yang menurut pustaka Inggris disebut devolusi. Dari uraian tentang konsep desentralisasi tersebut di atas Nampak kaitan yang sangat erat antara desentralisasi dengan Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, oleh karenanya maka konsep otonomi daerah dan daerah otonom menjadi perlu untuk diuraikan dalam penelitian yang akan menyoroti fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap pelaksanaan kebijakan daerah termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai perwujudan nyata dari pelaksanaan konsep desentralisasi. Alasan lain yang mendukung antara lain, pendapat
Paul S. Maro yakni : perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau disingkat Otonomi; Bintoro Tjokroamidjoyo yang menegaskan bahwa desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Dari semua pengertian desentralisasi di atas, kiranya yang lebih mengarah dengan pokok bahasan ini adalah pengertian desentralisasi ditinjau dari segi kenegaraan. Karena dalam pemahaman penulis tentang desentralisasi itu sendiri sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah penyerahan kekuasaan, baik wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab sejumlah urusan pemerintah dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom yang bersangkutan dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam
masalah-masalah
pengelolaan
pembangunan
untuk
mendoroing
dan
meningkatkan kinerja pembangunan di daerahnya dengan partisipas seluruh warga masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Marium sebagaimana yang dikutip oleh Yosef Riwu Kaho 99 tentang alasan dianutnya desentralisasi, yaitu : Pertama, demi tercapainya efektivitas pemerintah; dan Kedua, demi terlaksanannya demokrasi di/dari bawah (grassroots democracy). Walaupun demikian, tidak semua tugas-tugas pemerintah dapat diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor, seperti :
99
Yosef Riwu Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia; Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 9.
1. Tugas-tugas pemerintah itu akan lebih efektif dan eifisien apabila diselenggarakan oleh pemerintah pusat; 2. Masyarakat di daerah (dan boleh jadi termasuk pemerintah daerahnya) dianggap belum cukup mampu untuk mengurus tugas-tugas tersebut.
2. Otonomi Daerah Istilah otonomi daerah berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: outos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Secara harfiah, otonomi dapat berarti perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving). Diberikannya hak perundangundangan dan pemerintah kepada badan otonomi, seperti kepada propinsi, kabupaten dan kota mengandung pengertian bahwa badan tersebut dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan membuat peraturan sendiri. 100 Menurut Padmo Wahjono, otonomi daerah adalah ”hak suatu wilayah untuk mengatur urusannya sendiri sesuai dengan keinginan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Menurut pakar ini lagi bahwa pada hakekatnya otonomi sama dengan demokrasi yakni kebebasan sekelompok manusia dalam mencapai kesejahteraan”. Namun lingkup otonomi lebih sempit daripada demokrasi. Demokrasi menyangkut kehidupan di dalam negara, sedangkan otonomi menyangkut dimensi wilayah suatu negara. 101
100
Otong Rosadi; Hukum Tata Negara Indonesia; Teori dan Praktek, (Naskah Untuk Program Penulisan Buku Teks Perguruan Tinggi), (Padang: Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, 2004), hlm. 67. 101 Bhenyamin Hoessein, Op.Cit., hal. 80-81.
Menurut
Moh.
Hatta,
otonomi
berarti
membuat
peraturan
dan
melaksanakannya sendiri. Dalam hal ini daerah otonom memiliki kebebasan untuk melaksanakan kedua kegiatan tersebut. Pendapat proklamator ini menurut Bhenyamin Hoessein lebih luas dari pendapat pakar Universitas Indonesia Padmo Wahjono. 102 Proklamator Moh. Hatta juga mengaitkan otonomi dengan demokrasi, menurut Hatta, bahwa 103 : ”Memberikan otonomi kepada daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya auto aktivitet. Auto aktivitet artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto aktivitet tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukna nasibnya sendiri, melainkan juga terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Berangkat dari pendapat Moh. Hatta dan Amrah Muslimin tersebut di atas, pakar Administrasi Negara Universitas Indonesia, Bhenyamin Hoessein, berpendapat bahwa yang dimaksud otonomi daerah atau secara singkat otonomi adalah pemerintahan dari, oleh danuntuk rakyat di bagian wilayah Nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat. 104 Kemudian menurut Bhenyamin Hoessein, operasionalisasi pengertian otonomi di atas mencakup dua komponen utama otonomi, yaitu 105 : Pertama, komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu pada konsep ”pemerintahan” yang terdapat dalam pengertian otonomi. 102
Ibid. Ibid. 104 Ibid. 105 Ibid, hlm. 18-21. 103
Komponen ini memiliki 7 (tujuh) ciri sebagai berikut : 1. Terdapatnya wewenang untuk menetapkan danmelaksanakan kebijakan tertentu yang diperoleh dari Pemerintah Pusat. Sesuai dengan pendapat H.D. Lasswell dan Abraham Kaplan, wewenang adalah kekuasaan formal (formal power); 2. Wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidang-bidang (gatra) kehidupan yang terliput dalam wewenang (scope of power) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui peraturan perundang-undangan; 3. Baik domain of power maupun scope of power dapat berubah sehingga berpengaruh terhadap bobot wewenang (weight of power). Perubahan bobot wewenang dimaksud terjadi dalam arti “mengecil” atau dapat pula “membesar”; 4. Sesuai dengan amanat UUD 1945, perubahan bobot wewenang apapun tidak akan menimbulkan “staat” dalam Negara Indonesia. Dengan demikian wewenang yang diperoleh dari Pemerintah Pusat tidak akan mencakup wewenang untuk menetapkan produk legislatif yang disebut secara formal dengan “Undang-Undang” dan wewenang yudikatif (rechtspraak) sepertia dalam Negara Bagian. Di samping itu wewenang tersebut tidak pula mencakup bidang hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan postel sebagai bidang-bidang kehidupan yang dipandang mencirikan Negara Kesatuan; 5. Terdapatnya lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal di luar Pemerintah Pusat sebagai pengemban dan pelaksana wewenang penetapan kebijakan yang terluang dalam Peraturan Daerah; 6. Terdapatnya birokrasi Daerah, beserta birokratnya sebagai peracik dan pelaksana kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah tersebut; 7. Tersedianya sumber keuangan yang diperlukan bagi kebijakan dan pelaksanaannya, baik dalam rangka tugas rutin maupun tugas pembangunan. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang mengacu pada katakata “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Kemandirian mendorong tumbuhnya aktivitas yang dilukiskan oleh Moh. Hatta sebagai “Prakarsa dan aktivitas sendiri”. Komponen ini dilihat dari perbandingan antara pendapatan yang diperoleh Daerah sendiri (pendapatan asli daerah) dan bantuan yang diperoleh dari pemerintah atasan. Secara asumsi, semakin besar pendapatan asli daerah dibandingkan bantuan yang diperoleh dari pemerintah atasan, semakin besar kemandirian yang dicapai daerah otonom. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa salah satu hasil Sidang MPR Tahun
1998
adalah
lahirnya
Ketetapan
Nomor
XV/MPR/1998
tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 TAP MPR tersebut di atas dikemukakan mengenai kebijakan nasional bahwa 106 : ”Penyelenggara otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara priporsional diwujudkan dengan penaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”. Untuk mewujudkan keinginan politis sebagaimana tertuang dalam TAP MPR di atas, telah lahir Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah inipun telah mengalami pergantian terakhir dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Rumusan Otonomi Daerah dapat dijumpai dalam Pasal 1 Angka 5 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang berbunyi ”Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, sedangkan desentralisasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk 106
Republik Indonesia, Ketatapan MPR-RI Nomor XI/MPR/1998
mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintah di Indonesia, terdapat perbedaan persepsi tentang otonomi daerah di kalangan cendekiawan dengan pejabat birokrasi. Ada yang mempresepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan regional sesuai riwayat, adat istiadat dan sifat-sifatnya dalam kadar Negara kesatuan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Soepomo 107 dan oleh karena itu maka otonomi dianggap sebagai upaya pembangunan berkelanjutan. 108 Ada juga yang mempresepsikan otonomi sebagai suatu upaya yang berpresektif otonomi di bidang ekonomi dan politik di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka akan semakin menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan tidak bakal menuntut pemisahan diri sebagaimana dialami oleh Negara Yugoslavia dan Uni Sovyet. 109 Dan menurut Bagir Manan, otonomi dikatakan sebagai kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintah lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintah. 110 Sedangkan mengenai istilah pemerintah, menurut etimologi, kata pemerintah yang diterjemahkan dari kata goverment berasal dari kata berbahasa Yunani kebernan
107
Abdullah, H.R. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Saatu Alternatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 11. 108 Suara Pembaruan, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 83. 109 Ibid., hlm. 79 110 Bagir Manan. Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 2.
yang berati nakhoda kapal, yang artinya menatap ke depan. Lalu memeriantah berarti melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat, negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. 111 Hal yang samapun dijelaskan oleh Taliziduhu Ndraha dalam kata pengantar atas bukunya Kybernology (Ilmu Pemerintah Baru), 112 di mana disebutkan bahwa konsep government adalah derivate konsep governance, sedangkan governance berasal dari kata Gerik kybern, kybernan yang artinya pengemudi kapal bersama semua isinya sampai pada tujuan dengan selamat. Menurut Ramlan Surbakti, istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya. Pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenaggarakan tugas dan kewenangan negara. 113 Kata pemerintahan dapat diartikan secara luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas, berarti seluruh fungsi negara, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi fungsi eksekutif saja. 114 Sedangkan pengertian pemerintah dalam arti luas adalah seluruh aparat yang
111
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), hlm. 167-168. 112 Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintah Baru), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 7. 113 Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 168. 114 Ibid., hal. 169
melaksanakan fungsi-fungsi negara, sedangkan pemerintah dalam arti sempit menyangkut aparat eksekutif. 115 Sejalan dengan pendapat di atas, Jimmly Asshiddiqie, 116 mengatakan bahwa: Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan, memelihara keamanan dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat serta dalam menjamin kepentingan negara itu sendiri. Dalam konteks fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatir, pengertian pemerintahan menyangkut semua fungsi di atas, sedangkan dalam arti sempit hanya menyangkut fungsi eksekutif saja. Secara normatif, pengertian pemerintahan daerah dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, di mana dikatakan bahwa117 : Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut aasas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia 1. Pelaksanaan Desentralisasi Pelaksanaan desentralisasi di negara Indonesia telah menjadi konsensus nasional. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur mengenai penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Sebagai sebuah negara kesatuan, Indonesia telah mencoba menerapkan desentralisasi yang dianggap sebagai upaya untuk mewujudkan suatu sistem
115
Ibid. Jimly Asshiddiqie; Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 59. 117 Repubik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Ps. 1. 116
pemerintahan daerah yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dan menjaga serta tetap melestarikan keanekaragaman daerah namun tetap dalam kerangka negara kesatuan. Sebagai konsekwensi negara kesatuan, kewenangan pemerintah pada dasarnya dimiliki oleh pemerintah pusat, namun dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, pemerintah (pusat) menyerahkan kewenangan yang dimilikinya kepada daerah otonom, untuk membuat dan melaksanakan kebijakan tertentu bagi kepentingan masyarakat. Hal ini sebagai suatu bukti bahwa pemerintah daerah merupakan subsitem dari sistem negara kesatuan republik Indonesia secara utuh. Dilihat dari sudut kedaulatan, sesungguhnya kedaulatan yang terdaoat dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi-bagi. Untuk hal ini, Sri Soemantri berpendapat bahwa ”adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah bukan semata-mata karena hal ini ditetapkan dalam konstitusinya, tetapi merupakan hakikat dari negara kesatuan”.118 Sementara negara kesatuan menurut A.V. Dicey sebagaimana yang dikutip oleh Otong Rosadi, dikatakan bahwa ada dua macam ciri yang bersifat esensial dari negara kesatuan, yaitu119 : 1. Adanya supremasi daripada Parlemen/Lembaga Perwakilan Rakyat (the supremacy of the central Parliament); 2. Tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the obsence of subsidiary sovereign bodies).
118
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo, 1984), hlm. 32. 119 Otong Rosadi; Hukum Tata Negara Indonesia..........., Op.Cit.,, hlm. 59.
Dan mengenai negara kesatuan ini, C.S.T. Kansil berpendapat bahwa negara kesatuan dibedakan menurut sistem pembagian kekuasaannya, yaitu120 : 1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurus (oleh pemerintah pusat), dan daerahdaerah tinggal melaksanakan; 2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom atau swatantra. Desentralisasi sebagai suatu sistem pemerintahan merupakan kebalikan dari sistem sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala kewenangan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah dipusatkan dalam satu tangan, yaitu pemerintah pusat. 121 Hal ini berbeda dengan sistem desentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan pada daerah untuk dilaksanakan. 122 Walau demikian, memberikan desentralisasi kepada daerah tidak berarti bahwa pemerintah pusat sepenuhnya memberikan kewenangan dan kekuasaannya menjadi urusan pemerintah daerah. Walaupun demikian, patut disadari bahwa adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah pusat. 123 Adanya pembatasan ini merupakan ciri negara hukum. 124
120
C.S.T. Kansil; Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1984), hlm. 4. Bandingkan pula dengan Yosef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1991), hlm. 4. 121 Ibid. 122 Ibid. 123 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di......, Op.Cit., hlm. 91. 124 Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Mahfud MD, di antara ciri-ciri negara hukum klasik, terdapat tiga hal yang berkaitan dengan pembatasan kekuasaan, yakni: (1) adanya UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antar pemerintah dan warganya, (2). Adanya pembagian kekuasaan yang dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, (3). Adanya
Berbicara tentang desentralisasi akan selalu terkait dengan sentralisasi yang merupakan dua hal yang berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bhenyamin Hoessein yang mengatakan bahwa 125 : Sekarang ini hampir tidak ada negara yang semata-mata menganut sentralisasi, dan sebaliknya juga tidak mungkin hanya dilaksanakan desentralisasi tanpa sentralisasi. Perbedaannya dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terletak pada sejauhmana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengurus berbagai kepentingannya atau yang dikenal dengan istilah local authorty. Tentang desentralisasi ini, Bhenyamin Hoessein lebih lanjut menjelaskan bahwa 126 : Penyelenggaraan otonomi daerah pada dasarnya adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Apabila penyelenggaraan desentralisasi dilakukan oleh pemerintah, maka penyelenggaraan otonomi daerah (pemerintahan daerah) secara tepat asas dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam kepustakaan Inggris terdapat istilah local goverment yang dapat berarti pemerintahan daerah (lokal) dan pemerintahan daerah (lokal) yang mengruus berbagai kepentingan yang bersifat lokalitas. Konsep pemerintah daerah kerapkali sebagai padanan ”local authority”, yang berwenang mengurus kepentingannya sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Konsep local authority juga mengacu pada adanya council yang dikenal dalam praktek pemerintahan di Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD. Desentralisasi ini bagi Indonesia telah menjadi konsensus nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dengan perubahannya) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun pemancaran kekuasaan negara/pemerintah. Ciri-ciri lainnya adanya adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, persamaan perlakuan di depan hukum dan jaminan perlindungan hukum bagi seluruh rakyat, dan adanya asas legalitas. Ibid. 125 Bhanyamin Hoessein, Evaluasi Yuridis Materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
, diakses tanggal 12 Juni 2010, Pada Pukul 12.30 WIB. Tulisan yang sama dapat dibaca dalam Jurnal Forum Inovasi, Volume II, Maret-Mei 2002, hlm. 96. 126 Ibid.
2004 Tentang Pemerintah Daerah, selain itu desentralisasi bagi Indonesia juga merupakan suatu keharusan. Perlunya desentralisasi bagi Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi, bahkan hampir semua negara di dunia baik negara yang sedang berkembang maupun negara maju memerlukan desentralisasi. 127 Keinginan supaya desentralisasi segera dilaksanakan di Indonesia bukan merupakan suatu isu yang baru, yang mengemuka pada era reformasi bersamaan dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, tapi jauh sebelum itu, politisi dan para pakar hukum administrasi di Indonesia telah lama menyadari bahwa sistem pemerintahan yang sentralistik tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Perbedaan mengenai perlunya desentralisasi bagi negara kesatuan republik Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1958 secara mendalam dapat dilihat dari laporan penelitian Gerald S. Maryanov yang berjudul Decentralization in Indonesia: As a Political Problem yang memuat hasil wawancara dengan Subadio Sastrosatomo yang mengatakan bahwa, ”otonomi bagi masyarakat bagaikan kemerdekaan bagi seluruh bangsa” 128 dan dalam pustaka yang sama D.S. Diapara berpendapat bahwa ”desentralisasi merupakan kebutuhan yang mutlak bagi pengorganisasian negara dan
127
B.C. Smith, Decentralization: The Territorial Dimension of the State sebagaimana dikutip oleh S. Situmorang dalam Makalahnya berjudul Distribusi Kewenangan Pusat dan Daerah, yang disampaikan pada Workshop Supervisi dan Evaluasi Pengaturan Kewenangan, diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 23 Oktober 2002. 128 Ibid.
masyarakat Indonesia yang demokratis”. 129 Lebih dari itu, Maryanov berkesimpulan bahwa desentralisasi di Indonesia telah diterima sebagai aksioma. 130 Desentralisasi adalah isu hukum, politik dan sosial. Sebagai isu hukum, desentralisasi sebagai salah satu obyek studi Ilmu Kenegaraan, sementara George Jellinek meletakkan isu desentralisasi dalam teori tentang sendi pemerintahan yang membahas negara sebagai bangunan hukum. 131 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro membahas desentralisasi dalam lingkup eksekutif pada bagian atau sub tema pemerintahan daerah 132 dan dalam lingkup sosial kedaerahan. 133 Aspek sosial dari desentralisasi berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat setempat atau masyarakat lokal. Menurut Mac Iver, 134 badan lokal lebih dapat menghargai dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus bagi masyarakatnya. Selanjutnya dikatakan bahwa ”kedudukan otonomi badan-badan lokal tersebut dipertahankan sepanjang dalam menjalankan fungsinya tidak melampaui batas kewenangannya”. 135 Aspek hukum desentralisasi berhubungan dengan tindakan hukum pemerintah pusat dalam membentuk daerah otonom, kesatuan pemerintahan lokal dan 129
Ibid. Bhenyamin Hoessein, Perspektif Jangka Panjang Desenralisasi dan Otonomi Daerah, Makalah disampaikan dalam “Diskusi Kebijakan Desentralisaasi dan Otonomi Daerah dalam Jangka Panjang” yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah, BAPPENAS, Jakarta, Tanggal 27 November 2002. 131 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1993), hlm. 14-19. 132 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Penerbit PT. Eresco, 1981), hlm. 87-88. 133 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1989), hlm. 114. 134 Mac Iver, Negara Modern, diterjemahkan oleh Drs. Moertono, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1977), hlm. 348. 135 Ibid., hlm. 349. 130
menyerahkan wewenang penyelenggaraan pemerintahan sendiri. Tindakan hukum demikian dalam konsep pemerintahan dalam arti luas adalah tindakan mengatur atau regeling. Produk-produk tindakan mengatur dari penguasa berupa peraturan perundang-undangan bermuara pada positivisme hukum yang diperkenalkan oleh John Austin dan para pengikutnya yang kemudian dimodifikasi oleh Hans Kelsen dan Mazhab Wina. 136 Kebijakan desentralisasi dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari modernisasi adalah di Indonesia, 137 yang bagian lainnya adalah privatisasi dan penyederhanaan proses administrasi. 138 Melalui pelimpahan tugas dalam sistem desentralisasi ini, pemerintah pusat bermaksud untuk memperbaiki pelayanan negara, memperkuat ekonomi lokal 139 dan mewujudkan demokrasi di tingkat daerah, terlebih di tingkat kabupaten dan kota. Hal ini disebabkan karena kabupaten dan kota akan lebih cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat dan karena keputusan dapat langsung diambil oleh kabupaten dan atau kota sendiri maka diharapkan pelaksanaan tugas dapat lebih efisien.
136
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari judul asli Legal Theory oleh Mohammad Arifin, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 145. 137 Samodra Wibawa, Neus Steuerungsmodell, Belajar Otonomi dari Jerman, (Yogyakarta: Wacana, 2001), hlm. 31. 138 Ibid. 139 Penguatan ekonomi lokal ini merupakan salah satu dimensi dari 4 (empat) dimensi esensi otonomi daerah yang perlu diperhatikan oleh para birokrat daerah menurut Budi Setiono, yakni dimensi politik, dimensi ekonomi, dimensi manajemen dan dimensi budaya. Hal ini dapat dilihat dalam : Budi Setiono, Jaring Birokrasi, Tinjauan dari Apsek Politik dan Administrasi, (Bekasi: Gugus Press, 2002), hlm. 175.
Menurut Dennis A. Rondinelli, dkk dalam Analysing Decentralization Policies in Developing Countries: a Political-Economy Framework, dikatakan bahwa decentralization embraces a variety of concepts, the feasibility of which must be carefully analysed in any particular country before pursuing decentralizations polices 140 (Desentralisasi mencakup berbagai konsep, yang mungkin harus dianalisis dengan seksama di negara-negara tertentu sebelum melaksanakan kebijakankebijakan desentralisasi). Penyelenggaraan asas desentralisasi di Indonesia kiranya harus mengacu pada pendapat di atas, agar pelaksanaannya dapat sesuai dengan kondisi masing-masing daerah yang sangat beragam. Sejalan dengan hal ini, dapat dikemukakan alasanalasan dianutnya desentralisasi menurut The Liang Gie sebagaimana yang dikutip oleh Josef Riwu Kaho, 141 sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaam, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada suatu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani; 2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demorkasi. 3. Dari sudut teknik organisatoris pemerintah, alasan mengadakan pemerintahan daeah (desentralisasi), adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat. 4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti 140
Dennis A. Rondinelli, James S. McCullough AND Ronald W. Johnson; Analysing Decentralization Policies in Developing Countries: a Political-Economy Framework, bahan kuliah Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. 141 Joesef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 8.
geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya; 5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut (maksudnya pembangunan ekonomi). Sebagaimana diketahui, bahwa desentralisasi di Indonesia pada awal reformasi semula berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diselimuti oleh semangat reformasi di segala aspek kehidupan bernegara, berlangsung secara cepat sehingga dirasakan ada substansi atau praktek penyelenggarannya yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bedemokrasi dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kekuarangan yang ada dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut telah pula disadari oleh para wakil rakyat yang duduk di lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang kemudian melahirkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Bersamaan dengan itu, dalam sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah dilakukan perubahan (amandemen) Kedua UUD 1945 yang antara lain telah mengubah ketentuan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah dengan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Dengan demikian, dikeluarkan ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tersebut telah sejalan dengan Perubahan Kedua UUD 1945. Salah satu butir rekomendasi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tersebut menyatakan bahwa:
Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah, diperlukan 142 upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945. Atas dasar amanat Ketetapan MPR tersebut, kebutuhan untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak dapat dielakkan lagi, apalagi Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen kedua tersebut yang menjadi dasar pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah disempurnakan dan ditambah menjadi semakin jelas dan rinci. Dengan pertimbangan ini, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sangat berbeda dengan kebiasaan di negara-negara lain yang melakukan transfer kewenangan secara bertahap atau secara gradual serta dengan persyaratan dan pembatasan. Di samping itu, desentralisasi adi Indonesia dianggap sebagai yang tercepat dan terliuas di dunia, walaupun belum disertai dengan perencanaan yang jelas. Di satu pihak, Indonesia dianggap sukses mendeklarasikan otonomi luas, tetapi sekaligus memberi peringatan tentang kemungkinan kegagalan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang dapat berakhir dengan ketidakjelasan atau kembali ke sistem lama.
142
A.M. Fatwa menggunakan istilah dilakukan. Lihat dalam A.M. Fatwa, Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hlm. 6.
Program desentralisasi selain yang saat ini diterapkan di Indonesia, telah pula dicoba dibeberapa negara dengan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Robert Chambers dalam Rural Development Putting the Last First telah membuktikan hal ini, sebagaimana yang terjadi di Tanzania di bawah kepemimpinan Julius Nyerere menyebabkan para pejabat pemerintahan ke luar ibukota, mengosongkan
departemen-departemen,
dan
menyediakan
anggaran
yang
penggunaannya ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah sendiri. 143 Lebih lanjut Chambers menjelaskan bahwa disentralisasi yang dilaksanakan di Mesir dan Sudan merupakan contoh lain dari kesediaan pemerintah pusat untuk melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pemerintah daerah, terutama dalam bidang keuangan.144 Walau demikian, dengan kepemimpinan yang mantap ataupun karena tuntutan yang keras dari daerah, ada kemungkinan, meskipun sulit, memberikan lebih banyak kewenangan ke daerah merupakan suatu jalan sebagai dimulainya proses desentralisasi, termasuk di Indonesia.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Esensi dasar penyelenggaraan pemerintah adalah untuk menegakkan ketertiban dan keamanan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat (maintain law and order for the creation of people welfare). Sementara itu, esensi otonomi daerah adalah mendistribusikan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan
143
Robert Chambers; Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Diterjemahkan dari judul asli Rural Development; Putting The Last First oleh Pepep Sudrajat, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 219. 144 Ibid.
tersebut kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan pokok (basic needs) dan kebutuhan pengembangan sektor unggulan (core competence) guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat. Daerah-daerah yang menginginkan otonomi, yang bebas mengatur rumah tangganya sendiri merupakan suatu gejala yang umum yang kini nampak pada hampir semua negara di dunia. Hal ini juga yang kiranya menyebabkan banyak negara besar maupun kecil, memberikan hak untuk berotonomi ini kepada daerahnya masingmasing dengan memberikan nama yang berbeda-beda, seperti negara bagian dalam bentuk negara federasi 145 atau Bondstaat atau Bundesstaat ataupun negara serikat. 146 Pada
prinsipnya,
kebijakan
otonomi
daerah
dilakukan
dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi (terpusat) di tangan pemerintah (pusat). Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke tingkat daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergesaran kekuasaan dari pusat ke daerah. Atau hal ini dapat dikatakan bahwa dengan diterapkannya asas desentralisasi, maka terbentuklah daerah otonom atau dengan kata lain daerah otonom merupakan pelaksanaan dari asas
145
Sistem federal adalah sistem pemerintahan dan hukum dimana pemerintah nasional yang terpusat berbagi kekuasaan dengan negara bagian, provinsi, atau wilayah yang dalam batas-batas tertentu masing-masing berdaulat dengan hak-haknya sendiri. Beberapa contoh negara federal adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Swiss dan lain-lain. Lihat, Lawrence M. Friedman; Hukum Amerika Sebuah Pengantar, diterjemahkan dari judul asli American Law an Introduction oleh Wishnu Basuki, (Jakarta: Penerbit PT. Tatanusa, 2001), hlm. 168. Negara Republik Indonesia pernah menjadi negara bagian dari Republik Indonesia Serikat, sebagai hasil dari upaya pemerintahan kolonial Belanda untuk kembali menjajah negara Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. 146 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara....., Op.Cit., hlm. 116.
desentralisasi. 147 Pendapat senada disampaikan pula oleh Bhenyamin Hoessein, bahwa perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi, 148 sedangkan otonomi itu sendiri mengandung beberapa pengertian, yaitu 149 : 1. Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk ”tidak dikontrol” oleh pihak lain ataupun kekuatan luar; 2. Otonomi adalah bentuk ” pemerintah sendiri” (self goverment), yaitu hak untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri (the right of self government; self determination); 3. Pemerintah sendiri yang dihormati, diakui dan dijamin tidak ada kontrol oleh pihak lain terhadap fungsi daeah (local or internal affairs) atau terhadap minoritas suatu bangsa; 4. Pemerintah otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara adil (self determinantion, self sufficiency, self reliance); 5. Pemerintah otonomi memiliki supremasi/dominasi kekuasaan (supremacy of authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuahnya oleh pemegang kekuasaan di daerah. Dengan bertumpu pada uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa daerah otonom, menurut Yosep Riwu Kaho 150 memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Adanya urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat atas kepada daerah untuk diatur dan diurusnya dalam batas-batas wilayahnya; 2. Pengaturan dan pengurusan urusan-urusan tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri dan didasarkan pada kebijakan sendiri pula;
147
Misdayanti dan RG. Kartasaputra, Fungsi Pemerintahan Daerah Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 20. 148 Bhenyamin Hossein, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah Dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dalam Kerangka Good Governance, dilaksanakan oleh Pusat Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, 30 Oktober 2001. 149 Syahda Guruh LS; Menimbang Otonomi Vs Federal; Penerbit Raja Rosda, Bandung, 2000, hal. 73-74 150 Yosef Riwu Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia...., Op.Cit., hlm. 20.
3. Adanya alat-alat perlengkapan atau organ-organ atau aparatur sendiri untuk mengatur urusan-urusan tersebut maka daerah perlu memiliki sumber-sumber pendapat/keuangan sendiri. Pada bagian lain, Bhenyamin Hoessein mengemukakan ciri-ciri yang terkandung dalam hakekat desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu151 : Pertama, hakekat desentralisasi adalah mengotonomikan suatu masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Pengotonomian dilakukan dengan menjadikan masyarakat tersebut sebagai daerah otonom. Di samping itu, desentralisasi juga berarti penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang dapat dilakukan bersamaan dengan pembentukan daerah otonom atau sebagai penambah urusan pemerintahan yang teah dimiliki sebelumnya. Kedua, baik dalam definisi otonomi daerah dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus yang lazim disebut sebagai urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit merupakan distribusi wewenang antara pemerintah dan daerah otonom. Ketiga, konsep urusan pemerintahan menunjukkan dua indikator penting, yaitu fungsi dan asal urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribuskan hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari Lembaga Tinggi Negara lainnya. Keempat, selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya yaitu dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbanga dan bernegara lazim diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Kelima, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah otonom dilakukan oleh pemerintah daerah yang terdiri dari atas DPRD dan Kepala Daerah. Dalam hal ini, wewenang pengaturannya melibatkan kedua lembaga tersebut, sedangkan wewenang pengurusan dilakukan oleh Kepala Daerah dengan instrumenya birokrasi setempat yang disebut perangkat daerah. 152 151
Bhenyamin Hossein, Op.Cit. Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Daerah, perangkat daerah ini bersama Gubernur, Bupati dan Walikota adalah sama-sama sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam angka 4 ditambahkan lagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 152
Keenam, penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah daerah ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberian layanan. Dari pandangan-pandangan diatas, dapat diketahui bahwa pemberian otonomi bagi masyarakat di daerah bertujuan untuk membuka ruang politik bagi masyarakat untuk mengelola kepentingannya secara mandiri tanpa intervensi dari pemerintah yang lebih tinggi. Sementara model otonomi Indonesia yang diinginkan adalah otonomi yang dapat mengembangkan secara maksimal segala potensi daerah, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya alam. 153 Tentang bagaimana otonomi diberikan dan bagaimana batas cakupannya, Moh. Mahfud MD 154 dengan mengutip pendapat dari beberapa sarjana yang mengidentifikasikannya ke dalam tiga ajaran yaitu, formal, material, dan nyata (riil). Di kalangan para sarjana, istilah yang diberikan terhadap identifikasi itu ternyata tidak sama. Bagir Manan menyebut dengan istilah ”sistem rumah tangga daerah”. Josep Riwu Kaho memberi istilah ”sistem” yang menekankan pada teknik yang dipergunakan untuk menetapkan bidang-bidang yang diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Pada waktu yang sama digunakan oleh Josep Riwu Kaho istilah prinsip seperti yang digunakan oleh Sujamto dengan merujuk pada TAP MPR No. IV/MPR/1973.
153
Syahda Guruh LS, Otonomi Yang Luas Dan Mandiri Menuju Indonesia Baru, (Bandung: Tarsito, 1999), hlm. 78. 154 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: PT. Rieneke Cipta, 2000), hlm. 95.
Selanjutnya, masih menurut kutipan dari Moh. Mafud MD, Koentjoro Poerbopranoto 155 memakai istilah sistem yang kadangkala diganti dengan istilah asas. Terlepas dari perbedaan istilah, ternyata mereka berpijak pada pengertian yang sama bahwa ajaran-ajaran (formal, material, dan rill) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Pendapat ini memperoleh pembenarannya, apabila kita dapat mengatakan bahwa negara Indonesia adalah suatu organisasi pemerintahan yang sangat besar, dan sebagai suatu organisasi maka harus tunduk pada falsafah dan mekanisme organisasi. Konsekwensi logis dari hal ini adalah negara Indonesia haruslah dibagi dalam tingkatan-tingkatan, dan struktur organisasinyapun mengenal adanya pembagian kekuasaan. Para perumus Undang-undang Dasar 1945 sejak awal berdirinya negara Indonesia telah membagi negara Indonesia dalam daerah besar dan kecil, sebagaimana tercermin dalam
rumusan pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi 156 :
”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem permusyawaratan negara dan hakhak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
155 156
Ibid. Rumusan ini adalah rumusan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen.
Dan untuk menghilangkan penafsiran yang berbeda atas rumusan Pasal 18 UUD 1945 di atas, maka rumusan tersebut kemudian dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebagai berikut157 : “Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenhidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil, daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat adm belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di daerahdaerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena itu di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”. Mengenai penjelasan Pasal 18 UUD 1945 ini, Hanif Nurcholis berpendapat bahwa 158 : “Telah terdapat ketidakselarasan pengertian pemerintah daerah menurut Pasal 18 yang ada pemerintah daeah otonom, dengan bunyi penjelasan UUD 1945. Dalam penjelasan disebutkan bahwa daeah-daerah yang dibentuk sebagai pemerintah daeah ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administratip belaka. Jadi, menurut bunyi penjelasan UUD 1945, pemerintah daerah yang besar maupun yang kecil bisa berbentuk otonom dan juga bisa berbentuk administratip belaka. Padahal dalam Pasal 18 jelas disebutkan bahwa pemerintah daerah hanya terdiri atas pemerintah daerah yang bersifat otonom”. Selanjutnya, mengenai ketidakselarasan pengertian pemerintah daerah dalam Penjelasan UUD 1945, Bhenjamin Hoessein dengan mengkritik Soepomo 159
157
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Sebagaimana diketahui, bahwa rumusan Penjelasan UUD 1945 dirumuskan oleh Soepomo. 158 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm. 50-52. 159 Sebagaimana diketahui, bahwa Soepomo yang merumuskan penjelasan UUD 1945, di mana penjelasan UUD 1945 ini telah diakui sebagai fakta yuridis. Hal ini telah diperbuat dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada diktum kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya adalah Penjelasan.
sebagaimana
yang
dikutip
oleh
Hanif
Nurcholis
berpendapat
bahwa 160 :
”Ketidaksesuaian bentuk pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 dengan penjelasannya tersebut akibat salah tafsir Soepomo. Soepomo keliru menafsirkan Pasal 18 karena tidak mengacu pada wacana yang berkembang dalam rapat-rapat BUPKI yang membahas tentang pemerintah daerah”. Sementara dalam buku Risalah Sidang BPUBKI disebutkan bahwa 161 : Pemerintah daerah yang terdiri atas daerah besar dan kecil harus dengan memandang dan mengingati ”dasar permusyawaratan”, artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasarkan atas permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan dewan perwakilan daerah. Ini artinya dalam gagasan founding fathers bentuk pemerintahan daerah yang akan disusun adalah pemerintah daerah yang berbentuk otonom, bukan wilayah administratif. Berkaitan dengan penerapan Pasal 18 UUD 1945, bentuk dan susunan daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 162
160
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan....., Ibid. Ibid. 162 Republik Indonesia; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Ps. 1 Angka 6. 161
Apabila kita telusuri secara mendalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 163 sebelum diamandemen beserta penjelasannya, ternyata sejak awal berdirinya negara Indonesia telah digariskan secara tegas tentang pembagian daerah Indonesia menjadi propinsi dan dalam propinsi itu dibagi lagi menjadi daerah yang lebih kecil, yang dalam perkembangannya, pembagian daerah yang lebih kecil ini adalah kabupaten dan kota, 164 serta bagaimana pengaturan saling hubungan antara daerahdaerah tersebut dalam sistem pemerintahan Indonesia secara utuh. Sebelum adanya perubahan (amandemen) Undang-undang Dasar 1945, khususnya perubahan terhadap Pasal 18 sebagai sumber legitimasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah,
klausul
Pasal
18
Ayat
(7)
menggariskan
bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk diatur dalam Undang-undang. Atas dasar ini, telah ditetapkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah yang pernah berlaku antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah;
163
Pada saat disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 hanya bernama “OENDANG-OENDANG DASAR”. Demikian pula ketika diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946, istilah yang digunakan masih OendangOendang Dasar tanpa tahun 1945. Baru kemudian dalam Dekrit Presiden 1959 memakai UndangUndang Dasar sebagaimana yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959 (Baca: H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Hj. Ni’matul Huda; dalam Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafinda, 1999), hlm. 70. 164 Bandingkan hal ini dengan rumusan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa wilayah negara kesatuan republik Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Kiranya, ketentuan ini tidak taat asas, karena telah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri; 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah; 4. Penetapan Presiden nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; 7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari
semua
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
pemerintahan daerah tersebut, khususnya yang mengatur tentang rumusan dan komposisi pemerintahan daerah yaitu antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun ikut turut bergeser sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan rumusan serta penafsiran konstitusi dan undangundang itu sendiri. 165
165
B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 8.
D. Pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia Secara historis, asal-usul kata pemerintah daerah berasal dari bahasa yunani dan latin kuno seperti koinotes (komunitas) dan demos (rakyat atau distrik), commune (dari bahasa perancis) yaitu suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk suatu wilayah. Ide dasar tentang commune adalah suatu pengelompokan alamiah dari penduduk yang tinggal pada suatu wilayah tertentu dengan kehidupan kolektif yang dekat dan memiliki minat dan perhatian yang bermacam-macam. 166 Pemerintahan
local/daerah
yang
kita
kenal
sekarang
berasal
dari
perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke 11 dan 12 pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah ditingkat dasar yang secara alamiyah membentuk suatu lembaga pemerintahan. Pada awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola di sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), couty (kabupaten), commune/gemente (desa). 167 Pada masa abad pertengahan kekuasaan raja didasarkan atas kekuasaan Tuhan yang bersandar pada teori kedaulatan Tuhan dimana teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi yang memiliki adalah Tuhan. Pemegang dari kekuasaan ini di dunia adalah raja dan paus. Menurut ajaran Marsilius raja adalah wakil dari Tuhan untuk melaksanakan dan memegang kedaulatan di dunia. Sehingga raja merasa dapat berbuat apa saja karena perbuatannya merupakan kehendak Tuhan. Raja tidak merasa bertanggung jawab pada siapapun kecuali pada Tuhan, dan kemudian muncul 166
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), hlm. 23. Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 42. 167
gagasan kedaulatan Negara. Namun dari gagasan itu akhirnya timbul kekuasaan yang sewenang-wenang dengan dalil dan idealime yang bersandar pada paham-paham tersebut. Dari hal tersebut muncul perlawanan dari kaum monarkomaken dengan Johannes Althusius sebagai pelopornya. Dalam ajarannya Althusius tidak lagi mendasarkan kekuasan raja itu atas kehendak Tuhan, tetapi atas kekuasaan rakyat. Dimana rakyat menyerahkan kekuasaan kepada raja dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian penundukan. 168 Di era sekarang, konsep kedaulatan rakyat ini mendapatkan tempat yang utama. Isu yag muncul adalah isu mengenai pembatasan kekuasaan Negara. Pada prinsipnya Negara tetap diselenggarakan oleh orang-orang tertentu, namun orangorang tersebut harus mendapat legitimasi dan kontrol dari rakyatnya. Oleh karena itu, pemikiranpemikiran yang sebelumnya hanya berbentuk teori-teori dan konsep-konsep umum, berkembang pada pemikiran-pemikiran yang mulai menggali persoalanpersoalan pelembagaan. Berkaitan dengan konsep Pemerintahan Lokal dalam hal ini otonomi daerah, ajaran kedaulatan rakyat mempunyai pengaruh yang besar. Dimana pada dasarnya dengan adanya otonomi daerah ada semacam pembagian kekuasaan dengan mendesentralisasikan kewenangan yang selama ini ersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Sehingga ada semacam pegeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Dengan demikian dengan terselenggaranya otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi dimana aspek aspirasi rakyat dalam hal ini kepentingan yang terdapat di tiap daerah dapat terakomodir dengan baik. Otonomi 168
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 159-160.
daerah memungkinkan “kearifan lokal” masing-masing daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai prakarsa dan inisiatif masyarakat di daerah. Aspek pembatasan kekuasaan pun akan berjalan dengan maksimal sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh pemerintah pusat. Kemudian konsep Local Government yang berasal dari barat harus dipahami sebagaimana orang barat memahaminya. Bhenyamin Hoessein menjelaskan bahwa Local Government dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintahan lokal. Kedua, pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintahan lokal. Ketiga berarti, daerah otonom. 169 Local Government dalam arti yang pertama menunjuk pada lembaga/organnya. Maksudnya Local Government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di daerah. Dalam arti ini istilah Local Government sering di pertukarkan dengan istilah local authority. Baik Local Government maupun local authority, keduanya menunjuk pada council dan major (dewan dan kepala daerah) yang rekrutmen pejabatnya atas dasar pemilihan. Dalam konteks Indonesia Local Government merujuk pada kepala daerah dan DPRD yang masing-masing pengisiannya dilakukan dengan cara dipilih, bukan ditunjuk. 170 Local Government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi kegiatannya. Dalam arti ini Local Government sama dengan Pemerintahan Daerah. Dalam konteks Indonesia pemerintah daerah dibedakan dengan istilah Pemerintahan Daerah.
169 170
Hanif Nurcholis, Teori Dan Praktik Pemerintahan......, Op.Cit., hlm. 45. Ibid.
Pemerintahan Daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan bentuk pasifnya, sedangkan Pemerintahan Daerah merupakan bentuk aktifnya. Dengan kata lain, Pemerintahan Daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 171 Local Government dalam pengertian organ maupun fungsi tidak sama dengan pemerintah pusat yang mencakup fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif. Pada Local Government hampir tidak terdapat cabang dan fungsi judikatif. Hal ini terkait dengan materi pelimpahan yang diterima oleh pemerintahan lokal. Materi pelimpahan wewenang
kepada
pemerintah
local
hanyalah
kewenangan
pemerintahan.
Kewenangan legislasi dan judikasi tidak diserahkan kepada pemerintah lokal. Kewenangan legislasi tetap dipegang oleh badan legislatif (MPR, DPR, dan BPD) di pusat sedangakan kewenangan judikasi tetap dipegang oleh badan peradilan (mahkamah agung, pengadilan tinggi, peradilan negeri, dan lain-lain). Badan-badan peradilan yang terdapat di daerah, seperti pengadilan tinggi di propinsi dan pengadilan negeri di kabupaten/kota masing-masing bukan merupakan bagian dari pemerintah lokal. Badan-badan peradilan tersebut adalah badan badan yang independent dan otonom di bawah badan peradilan pusat. 172 Local Government dalam pengertian ketiga yaitu sebagai daerah otonom dapat di simak dalam definisi yang diberikan the united nations of public administration yaitu sub divisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal, termasuk kekuasaan untuk memungut
171 172
Ibid. Ibid., hlm 46.
pajak atau memecat pegawai untuk tujuan tertentu. Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal. 173 Dalam pengertian ini Local Government memiliki otonomi (local, dalam arti self government). Yaitu mempunyai kewenangan mengatur (rules making = regeling) dan mengurus (rules application=bestuur) kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Dalam istilah administrasi public masing-masing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan
kebijkan
(policy
executing)
mengatur
merupakan
perbuatan
menciptakan norma hukum yang berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah, norma hukum tertuang dalam peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bersifat pengaturan. Sedangkan mengurus merupakan perbuatan menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi konkrit dan individual (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan pembangunan obyek tertentu. 174 Pemerintahan Daerah (local self government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badan-badan daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi (kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi. 175 Adapun unsur-unsur Pemerintahan Daerah tersebut adalah 176 :
173
Ibid. Bhenyamin Hossein, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi........, Op.Cit., hlm. 10. 175 Ibid. 176 Ibid., hlm. 11. 174
a. Pemerintahan Daerah adalah subdivisi politik dari kedaulatan bangsa dan Negara; b. Pemerintahan Daerah diatur oleh hukum; c. Pemerintahan Daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh penduduk setempat; d. Pemerintahan
Daerah
menyelenggarakan
kegiatan
berdasarkan
peraturan
perundangan; e. Pemerintahan Daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya.