BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Setiap kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu tatanan perilaku yang diakui sebagai kuat dan mengikat. Adalakanya itu hanya merupakan suatu adatistiadat atau dapat juga berupa norma-norma hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Tatanan perilaku itu merupakan pedoman sikap tindakan dan batasan-batasan perilaku yang harus dipatuhi, dengan adanya untuk tidak mematuhinya. Sanksi tersebut dapat datang dari masyarakat maupun dari pihak yang mempunyai kekuasaan atas masyarakat tersebut. Sistem hukum adalah salah satu tatanan kehidupan yang diterapkan dalam masayarakat, jika sistem hukum tersebut dijalankan di suatu lingkup negara, maka disebut sebagai sistem hukum nasional. Sebaliknya jika sistem hukum itu berlaku di antara negara-negara, maka ia disebut sebagai sistem hukum internasional. 77
77
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun Indonesia tidak menganut aliran dualisme 78 , tetapi seperti halnya negara-negara Eropa, Indonesia menganggap dirinya terikat untuk ketentuan perjanjian Internasional dan konvensi yang telah disahkan, tanpa memerlukan perundang-undangan pelaksananya (implementing legislation). Setiap perjanjian atau konvensi yang ditandatangani oleh Indonesia akan meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk diratifikasi dalam bentuk Undang-undang, atau dalam bentuk Keputusan Presiden (sekarang Peraturan Presiden) jika tidak memerlukan persetujuan DPR. 79 Dalam prakteknya Indonesia juga membedakan antara perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan perjanjian yang hanya memerlukan persetujuan pemerintah eksekutif dan pemberitahuan belaka
78
Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini yang utama ialah Triepel, seorang pemuka aliran positivisme dari Jerman dan Anzilotti, pemuka aliran positivisme Italia. Paham dualisme ini adalah suatu paham yang bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan lain yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut di atas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut : a. Kedua prangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunhai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara. b. Kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara. c. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh pada kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum naasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketetentau hukum internasional. Lihat lebih lanjut dalam, Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung, Alumni, 2003), hal. 57-58. 79 Melda Kamil Ariadno, Op.Cit, hal. 76-77.
Universitas Sumatera Utara
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (executive agreement). Dengan demikian setiap perjanjian yang memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat, baru dapat dilaksanakan jika telah keluar undang-undang pengesahannya, dan setelah itu dapat langsung diterapkan dalam sistem hukum nasional dan pengadilan nasional, tanpa harus memerlukan suatu Undang-undang pelaksana tersendiri. 80 Sebagai contoh adalah ketentuan hukum kebiasaan internasional mengenai zona ekonomi ekslusif (yang kemudian menjadi hukum perjanjian internasional dengan ditandatanganinya “The United Nation Convention on the Law of the Sea 1982”) telah diterima dalam sistem hukum nasional Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Undang-undang Nomor 5 tahun 1983, Lembaran Negara 1983-44), tepatnta dua tahun sebelum Indonesia ikut serta meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985. 81
A.
Kerangka Hukum Laut Internasional Perkembangan hukum lingkungan laut nasional tidak dapat dilepaskan dari
sejarah hukum Laut Internasional. Teori tentang perlindungan lingkungan laut dalam kerangka hukum internasional, sebenarnya merupakan akumulasi dari The Principle of National Sovereignity and The Freedom of The High Sea. Umumnya, argumentasi yang dikemukakan disini adalah : 80
Melda Kamil Ariadno, Op.Cit, hal. 77, lihat juga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 81 Idem, hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
"a right on the part of a state threatened with environmental injury from sources beyond its territorial jurisdiction, at least where those sources are located on the high seas, to take reasonable action to prevent or abate that injury." 82
Perlindungan laut itu sendiri pada mulanya sudah ada sejak zaman Romawi dimana meskipun perlindungan laut pada masa lalu hanya meliputi pengusaan atas laut sebagai milik suatu Negara. Tujuan penguasaan masih dalam konteks yang sangat sederhana yaitu untuk membebaskannya dari bahaya ancaman bajak-bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran di laut yang sangat penting artinya bagi perkembangan perdagangan dan kesejahteraan hidup orang-orang yang hidup di daerah yang berada di bawah kekuasaan Roma pada masa itu. 83 Semenjak berakhirnyan Perang Dunia II, Hukum laut yang merupakan cabang hukum internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam. Bahkan, dapat dikatakan telah mengalami suatu revolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Dewasa ini menonjolnya peran hukum laut bukan saja karena 70% atau 140 juta mil persegi dari permukaan laut terdiri dari laut, bukan saja karena laut merupakan jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa lain keseluruh pelosok dunia untuk segala macam kegiatan, bukan saja karena kekayaannya dengan segala macam jenis ikan yang vital bagi kehidupan manusia, tetapi juga dan terutama karena kekayaan mineral yang terkandung di dasar laut itu 82
Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut : Upaya Pencegahan Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum USU, 1 April 2006), hal. 2. 83 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung : BinaCipta, 1986), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
sendiri. 84 Pentingnya laut dalam hubungan antar bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga. 85 Masalah perlindungan lingkungan laut merupakan salah satu masalah yang mendapatkan perhatian utama masyarakat internasional semenjak beberapa dekade ini karena menyangkut langsung kelanjutan hidup umat manusia. Penggunaan bahanbahan kimia secara besar-besaran untuk keperluan industri, pengembangan eksploitasi laut dan penggunaan tangki-tangki raksasa, berkali-kali terlebih telah merusak lingkungan karena polusi yang diakibatkannya. Kecelakaan kapal-kapal Torry-Kanyon di tahun 1967 dan Amoco-Cadiz ditahun 1978 misalnya yang merusak pantai-pantai dan laut disekitarnya telah mendorong masyarakat internasional untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi perlindungan dan pemeliharaan lingkungan baik darat, udara maupun di laut. 86 Perlindungan terhadap wilayah laut tidak hanya meliputi perairan tetapi telah lebih luas menjadi pesisir dan pulau kecil, mengingat bagi beberapa negara pantai dan negara kepulauan, dampak dari pencemaran dan kerusakan laut akan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang mereka miliki.
84
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2, (Bandung : Alumni, 2005), hal. 304. 85 Idem., hal. 307. 86 Idem, hal. 334.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itulah, dalam penelitian ini akan membahas perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil secara umum dari tingkat internasional sampai lahirnya Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Adapun pembahasan akan dimulai dengan memaparkan hukum lunak (soft law), dengan tujuan kita akan dapat dengan mudah memahami prinsip-prinsip hukum internasional yang melatarbelakangi pembentukan konvensi-konvensi yang melindungi laut beserta pesisir dan pulau kecil disekitarnya. Setelah itu barulah akan dibahas hukum keras (hard law) sebagai sumber hukum yang akan mengatur mengenai perlindungan secara global. 87 1.
Hukum Lunak (Soft Law) Hukum lunak (soft law) merupakan satu bentuk hukum internasional yang
tidak secara langsung mengikat negara, tetapi ia harus dipedomani untuk membentuk hukum dimasa yang akan datang (the future law). Menurut Davit Hunter, et al., hukum lunak diartikan sebagai : “Soft law is either not yet law or not only law. Soft law is an important innovation in international law-making that describes a flexible process for states to develop and test new lagal norms before they become binding upon the international community.”
Terdapat beberapa hukum lunak / soft law yang nantinya akan melatarbelakangi pemberlakuan hukum keras / hard law dalam rangka perlindungan
87
Sukanda Husin, ”Pengaturan Perlindungan Keanekaragaman Hayati dalam Lingkungan Internasional”, Jurnal Hukum Yustisia, Edisi XVI. No. 2, Juli 2006, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
laut secara umum beserta seluruh wilayah pesisir dan pulau kecil sebagai bagian ekosistem laut, antara lain : a.
Deklarasi Stockholm 1972 Deklarasi
Stokholm
1972
merupakan
pilar
perkembangan
Hukum
Lingkungan internasional Modern, artinya semenjak saat itu paradigma hukum lingkungan telah berubah dari use-oriented menjadi environment-oriented. Deklarasi ini ditandatangani oleh 113 kepala Negara dan berisikan 26 prinsip pembangunan. Deklarasi ini meminta Negara-negara di dunia untuk melaksanakan pembangunan demi memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup generasi hari ini dengan tidak mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konsep ini disebut dengan suitainable development atau pembangunan Berkelajutan yang kemudian dijadikan prinsip hukum dalam deklarasi Rio1992. Deklarasi Stockholm inilah yang nantinya akan memicu lahirnya beberapa konvensi internasional salah satunya Konvensi Hukum Laut 1982. 88 Deklarasi ini berisikan 26 prinsip internasional untuk mengelola lingkungan hidup. Sekalipun deklarasi ini tidak sebagai sumber langsung hukum internasional, tetapi merupakan soft law yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional untuk membentuk hukum di masa yang akan datang (the future law). Sebagai suatu kodefikasi dari prinsip atau adegium hukum kebiasaan internasional sebagaimana yang termuat dalam prinsip 21, paling tidak ada tiga prinsip hukum yang dikodifikasi
88
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
oleh Deklarasi Stockholm, yakni prinsip territorial (state soverignty), prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas (good neighborliness and duties to cooperate) dan prinsip state responsibility. 89 b.
Deklarasi Rio 1992 Konferensi ini diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro dan merupakan
peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972. Konferensi Rio ini dinamakan dengan UNCED (United Nations Conference on Environment dan Development), yang menghasilkan consensus mengenai beberapa bidang yang dituangkan dalam beberapa dokumen dan perjanjian 90 , salah satunya adalah ”Agenda 21”. Agenda 21 merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, meliputi berbagai isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari semua negara di dunia ini. Agenda 21 Global merupakan suatu dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembengunan berkelanjutan menjelang abad 21, serta dapat digunakan baik oleh pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-ekonomi. 91 Sehubungan dengan peran hukum dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, Geoge H. De Bert Romily mengatakan, bahwa dengan adanya
89
Sukanda Husin, Penegakan Hukum....,Op.Cit., hal. 24. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan EdisiVIII Cetakan kesembilan belas, (Yogyakarta : Gadjah Mada Univ. Press, 2006), hlm. 19. 91 Idem, hal. 22-23. 90
Universitas Sumatera Utara
penekanan pada Chapter 8 dari Agenda 21 yang menekankan bahwa hukum dan peraturan yang disesuaikan dnegan kondisi khusus negara termasuk instrumen yang amat penting untuk mewujudkan kebijaksanaan lingkungan dan pembangunan menjadi kegiatan. 92 Pengarahan yang tegas bagi negara-negara yang melakukan pengembangan kelambagaan dan program pembaharuan hukum lingkungan untuk memberikan kerangka hukum bagi pembangunan berkelanjutan diberikan dalam section 8.14, yang menyatakan, bahwa adalah esensial untuk mengembangkan dan melaksanakan hukum dan peraturan yang integratif, dapat ditegakkan, dan efektif yang didasarkan pada prinsip sosial, ekologi, ekonomi dan ilmiah yang kuat. Meskipun perkembangan hukum nasional akan bergerak berdasarkan kebutuhan, persyaratan dan prioritas yang khusus dirasakan oleh negara yang bersangkutan, namun suatu jangkauan yang luas dari berbagai sektor perlu diatur apabila sesuatu strategi hukum untuk pembangunan yang berkelanjutan ingin memperoleh hasil yang baik. 93 Dari 27 prinsip-prinsip lingkungan dan pembangunan yang dituangkan dalam deklarasi Rio tersebut, terdapat beberapa prinsip yang nantinya akan berkaitan dengan perlindungan lingkungan secara umum, antara lain prinsip 4 Deklarasi Rio yaitu : ”Dalam upaya untuk mewujudkan suatu pembangunan yang berkelanjutan, aspek perlindungan lingkungan harus merupakan bagian integral dari proses pembangunan tersebut dan karenanya hal itu tidak dapat dipandang secara terpisah dari proses yang dimaksud.”
92 93
Idem, hlm. 34. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c.
The Johannesburg Declaration on Sustainable Developmen Tahun 2002 di Johanesburg Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dikenal dengan World Summit on
Sustainable Development / WSSD di Johannesburg, sebagai perpanjangan progran pembangunan berkelanjutan yang pernah di deklarasikan pada KTT di Rio de Janeiro, telah menghasilkan ”the Johannesburg Declaration on Sustainable Developmen” dan Rencana Pelaksanaannya yang dikenal dengan ”Plan on Implementation of the World Summit on Sustainable Development (POI)”. Dalam rencana pelaksanaan / POI tersebut pada beberapa bab mengatur mengenai perlindungan lingkungan secara umum dan negara pulau kecil, antara lain 94 : Bab IV tentang Melindungi dan mengelola basis sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi dan sosial Bab V
tentang Pembangunan berkelanjutan dalam era globalisasi
Bab VII tentang Pembangunan berkelanjutan negara-negara berkembang kepulauan kecil Sebagai tindak lanjut dari WSSD, telah diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Indonesia untuk Pembangunan Berkenjutan (Indonesia Summit on Sustainable Development/ ISSD). 95 Beberapa soft law yang dewasa ini menjadi rujukan utama adalah Agenda 21 KTT Bumi dan ”the plan of Implementation (POI )” KTT Pembangunan
94 95
Idem., hlm. 36. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002. POI juga telah memperkuat mandat perlindungan
dan
pelestarian
lingkungan
laut
oleh
UNCLOS
dengan
merekomendasikan kepada negara-negara untuk menjaga produktifitas dan keragaman hayati (bio diversity) wilayah-wilayah laut dan pantai-pantai yang penting dan rentan, termasuk wilayah-wilayah di dalam dan diluar yurisdiksi nasional negara (paragraf 32 ”the plan of Implementation”). 96 Selanjutnya Majlis Umum PBB telah menegaskan kembali keperluan mandesak masyarakat internasional untuk mengankat isu-isu menyangkut keragaman hayati diluar yurisdiksi nasional dan terutama keperluan untuk mempertimbangkan cara-cara
untuk
mengintegrasikan
dan
meningkatkan,
berdasarkan
ilmiah,
managemen resiko dari ”seamounts” (bukit-bukit laut), batuan karang air dingin, dan aspek-aspek tertentu dalam lingkungan laut (paragraf 20 Dokumen Majelis umum PBB no.A/58/95). Rekomendasi KTT Johannesburg tersebut adalah sejalan dengan mandat perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang juga merupakan bagian umum dari mandat Convention on Biological Diversity (CBD). 97
96
Kedutaan Besar Republik Indonesia, Kedaulatan Versus Reklamasi Tinjauan Komprehensif dari Perspektif Kepentingan Republik Indonesia Terhadap Standard an Praktek Internasional Menyangkut Perlindungan Lingkungan Laut, ( Singapura : KBRI Singapura, 2004), Buku Online yang diakses dari : http://www.kbrisingapura.com/docs/reklamasi_annex3a.pdf, terakhir dikunjungi pada : minggu, 27 april 2008, pukul 12.15pm, hal. 13. 97 Idem, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
2.
Hukum Keras (Hard Law) Hard law adalah satu bentuk hukum internasional yang mempunyai kekuatan
mengikat (binding power) terhadap negara peserta (contracting parties) secara langsung sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Hard law ini dapat berupa treaty, convention, agreement, protocol, dan lain-lain. Beberapa Konvensi dibawah ini mengatur mengenai rejim perlindungan lingkungan laut 98 : a.
Konvensi Paris 1974 Konvensi ini aslinya bernama the 1974 Paris Convention for Prevention of
Marine Pollution from Land-Based Sources. Konvensi ini terdiri atas 29 pasal dan 2 annex yang mewajibkan Negara-negara peserta untuk secara individu atau bersamasama mencegah terjadinya pencemaran laut dari bahan-bahan pencemar yang bersumber dari darat. Konvensi Paris secara jelas mengatur jenis-jenis bahan pencemar yang dilarang beserta batasan yang boleh dimasukkan ke laut. Untuk itu dalam annex-nya tersebut disebutkan 4 klasifikasi jenis kimia yang dilarang, dibatasi dan yang diperbolehkan hanya dalam jumlah tertentu. b.
Konvensi London 1976 Konvensi ini dikenal dengan Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage Resulting from Exploration and Exploitation of Seabed Mineral Resources yang ditetapkan pada tahun 1976. 98
Sukanda Husin, Penegakan Hukum.....Op.Cit., hal. 26, sedangkan untuk kumpulan konvensi hukum laut internasional lainnya dapat dilihat pada R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of The Sea, (UK, Manchester University Press, 1988), hal. XIX.
Universitas Sumatera Utara
Konvensi ini merupakan Konvensi internasional pertama yang menganggap bahwa perbuatan mencemarkan lingkungan laut merupakan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, konvensi ini mewajibkan setiap perusahaan yang melakukan pencemaran di lepas pantai baik yang bersumber dari instansi maupun dari kapal memikul tanggungjawab financial atas kerugian yang diderita oleh korban atau negara korban. c.
The MARPOL Convention 1973/1978 Konvensi ini secara khusus mengatur mengenai pencemaran yang disebabkan
oleh kegiatan kapal, serta mengatur mengenai bagaimana mencegah kapal agar tidak mencemari laut dalam pelayarannya. d.
1996 Protocol to London Dumping Convention Dumping (pembuangan limbah secara sengaja ke laut) biasanya dapat
dilakukan secara legal karena telah memperoleh izin maupun illegal karena tidak dibenarkan oleh undang-undang. Sehingga kegiatan dumping terutama yang legal menurut undang-undang juga perlu diatur menurut ketentuan konvensi ini. e.
CITES dan CBD Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora / CITES merupakan salah satu konvensi yang mengatur masalah perdagangan species tumbuhan dan satwa yang terancam punah. Konvensi ini bertujuan untuk menghindari berbagai jenis flora dan fauna dari kepunahan melalui sistem pengendalian perdagangan yang berlebihan melalui prinsip control dan pengawasan
Universitas Sumatera Utara
melalui system lisensi. 99 Indonesia merafikasi ketentuan ini didalam Keppres No. 43/1978 tentang Pengesahan CITES. Convention on Biological Diversity 1992 merupakan konvensi yang memberikan perlindungan terhadap berbagai macam keanekaragaman hayati. Bahwa setiap
Negara
mestilah
menjaga
dan
memberikan
perlindungan
terhadap
keanekaragaman hayati yang berada diwilayah Negara masing-masing. Indonesia meratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Perlindungan keanekaragaman hayati ini secara khusus telah diatur juga di dalam UUPWPPPK pada Bab V. Pemanfaatan, bagian ketiga tentang Konservasi dari Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 dan Bab V. Pemanfaatan, bagian keempat tentang Rehabilitasi dari Pasal 32 sampai dengan Pasal 33 serta Bab. V. Pemanfaatan, bagian Larangan pada Pasal 34. f.
Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia telah meratikasi Konvensi ini menjadi Undang-Undang Nomor 17
tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut). Konvensi ini pada Bab. XII-nya mengatur secara umum tentang pencegahan pencemaran laut (Marine pollution). Dalam konvensi ini, setiap Negara mempuyai hak kedaulatan (sovereign right) untuk mengambil sumber daya alam di dalam laut maupun di dasar laut. Di
99
Lebih lanjut dapat lihat di dalam web resmi CITES : http://international.fws.gov/ cites/cites.html, terakhir diakses pada Selasa, 10/05/2011, pukul. 01.20 wib.
Universitas Sumatera Utara
samping itu, Konvensi ini juga mewajibkan Negara-negara peserta untuk menggunakan teknologi sadar lingkungan agar di dalam melakukan penggalian sumber daya alam tersebut tidak terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Untuk itu Negara-negara di dunia ini diwajibkan untuk bekerja sama dalam membuat teknologi dan peraturan perlindungan lingkungan laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut mendapatkan perhatian khusus Konvensi. Bab XII yang terdiri dari 45 pasal, dari Pasal 192 sampai Pasal 237 khusus diperuntukkan bagi segala sesuatunya yang berhubungan dengan pencemaran dan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk melindungi lingkungan laut. 100 Meskipun dalam konvensi hukum laut ini tidak memberikan pengaturan secara spesifik mengenai pembahasan pencemaran dan perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau kecil melainkan hanya membahas pencemaran laut secara umum namun berdasarkan perkembangan selanjutnya wilayah pesisir dan pulau kecil sebagai salah satu bagian penunjang ekosistem laut, maka pesisir dan pulau kecil pun mendapat perhatian untuk dilindungi. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 13 KHL : “Suatu elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelililngi dan berada diatas permukaan laut pada waktu air laut, tetapi berapa di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari daratan atau suatu pulau, maka garis surut pada elevasi demikian dapat dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut territorial.”
100
Boer Mauna, Op.Cit., hal. 333.
Universitas Sumatera Utara
Elevasi sebagai salah satu ekosistem pesisir mulai mendapat perhatian pada saat ini dikarenakan selain berfungsi sebagai penentuan titik pangkal territorial suatu Negara juga mempunyai potensi ekonomis seperti pariwisata, perikanan dan pertanian laut seperti pohon bakau dan rumput laut, sehingga bila pesisir pantai tercemar dan rusak akibat abrasi akan membawa dampak kerugian secara ekonomis dan politik. Setiap
Negara
mempunyai
kewajiban
melindungi
dan
melestarikan
lingkungan laut 101 yang tentu saja mencakup wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bagi Negara yang berbentuk kepulauan. Masih dalam BAB XII KHL tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut, Pasal 208, menjelaskan bahwa pencemaran yang berasal dari kegiatan-kegiatan dari laut yang tunduk pada yurisdikasi nasional mesti menetapkan peratuaran perundang-undangan nasional mereka 102 , yang mana nantinya Negara kita akan menindaklanjuti ketentuan dari pasal ini pada beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang ada termasuk perundangan yang terbaru mengenai pengelolaan pesisir dan pulau kecil yaitu undang-undang nomor 27 tahun 2007 dan undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai framework (kerangka kerja) dalam memberikan perlindungan hukum terhadap segala macam bentuk pencemaran yang terjadi di wilayah yurisdiksi Indonesia.
101 102
Pasal 192, KHL 1982. Pasal 208, KHL 1982.
Universitas Sumatera Utara
Penentuan daerah kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara atas sumber daya alam yang mereka miliki tidak lepas dari betapa pentingnya penentuan garis pangkal sebagai penentuan batas elevasi surut pantai suatu negara, bila garis elevasi surut pantai sudah diketahui maka barulah garis pangkal ditentukan. Suatu elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial. 103 Ada 3 (tiga) tipe garis pangkal menurut Unclos 1982 yaitu garis pangkal biasa /normal, garis pangkal lurus / straight, and garis pangkal kepulauan / straight archipelagic. 104 Kegunaan garis pangkal inilah yang nantinya akan digunakan secara umum oleh setiap negara guna menentukan dasar penarikan garis teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif sampai dengan landas kontinen. Sedangkan secara khusus dengan adanya penetuan garis pangkal inilah nantinya akan dapat ditentukan
103
Pasal 13 KHL. Adapun definisi dari setiap garis pangkal tersebut, menurut UNCLOS yang diratifikasi dan digunakan sebagai dasar peristilahan yang nantinya diterjemahkan secara resmi pada isi pasal dalam undang-undang nasional yang mengatur masalah laut adalah : “The normal baseline is the basic element from which the territorial sea and other maritime zones are determined. It is defined as the low water line along the coast, as marked on large-scale charts of the coastal state (Article 5). Straight baselines are defined by straight lines that join points on the coastline which have been selected according to the criteria listed in Article 7. They delineate internal waters from territorial seas and other maritime zones. Straight archipelagic baselines define the periphery on an island group by joining the outermost islands with a succession of straight lines constructed in accordance with Article 47.” 104
Universitas Sumatera Utara
tapal batas wilayah provinsi dan/atau kabupaten kota terhadap penentuan batas wilayah laut mereka. Penentuan batas laut suatu daerah provinsi dan/atau kota nantinya juga akan menggunakan tatacara sebagaimana yang telah diatur dalam TALOS (A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982), dimana batas wilayah laut terdiri atas beberapa teori teknik kelautan 105 , namun yang umum digunakan adalah dengan menggunakan teori the equidistance line 106 atau yang dikenal juga dengan istilah median line/ garis tengah. Meskipun masih banyak pengaturan internasional lainnya yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan terutama lingkungan laut, namun pada kenyataan hukum internasional ini hanya berupa imbauan, ajakan dan kewajiban menjalankan perintah. Mengingat dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut yang sudah masuk ke dalam teritorial suatu negara akan bergantung kepada efektifitas dan itikat baik suatu negara tersebut untuk benar-benar menegakkan aturan hukum nasional mereka sendiri.
105
Chapter 6 TALOS, mengenai Bilateral Boundaries, disebutkan terdapat beberapa teknik penentuan batas delimitasi laut yaitu : The Equidistance, Thalweg, Arbitrary Lines, Prolongation of land Boundaries, enclaving, dan pengembangan dari teori equidistance lainnya. 106 Artikel 15 UNCLOS, menyebutnya sebagai equidistance line demikian juga dengan TALOS sedangkan untuk beberapa buku yang membahas mengenai delimitasi juga menyebutkan sebagai median line / garis tengah.
Universitas Sumatera Utara
B.
Kerangka Hukum Laut Nasional Sebagai salah satu anggota PBB, maka berdasarkan Resolusi PBB Nomor I/4
tahun 1972 tentang National Standardization, termasuk Indonesia tentunya, mestilah membentuk “National Names Authority” yang bertugas di dalam wilayah Negara yang bersangkutan, dalam bentuk “Gasetir Nasional Nama Pulau”. Gasetir ini harus diserahkan ke PBB untuk mendapatkan pengakuan Internasional, akan tetapi sampai saat ini belum secara resmi diberikan oleh Indonesia. 107 Penamaan dan inventarisasi pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia ini sangatlah diperlukan dalam penetapan batas wilayah teritorial negara kita yang diakui sebagai negara kepulauan melalui UNCLOS 1982. Sehingga untuk menjalankan amanat resolusi PBB nomor I/4 tahun 1972, pemerintah mengimplementasikan dengan mengeluarkan undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (UU PWPPK). Selain menjalankan amanat Resolusi PBB nomor I/4 tersebut, Undang-undang ini juga sangat penting dalam kerangka mempertahankan kedaulatan dan yurisdiksi negara kita sebagai sebuah negara kepulauan. Sebagai sebuah negara mestilah memenuhi unsur-unsur dari suatu negara tersebut, berdasarkan Pasal 1 Montevideo Convention On Rights and Duties of States 1933, unsur dari suatu negara adalah sebagai berikut 108 ;
107
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 149-150. 108 D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, (London : Sweet & Maxwell, 1991), hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
“The states as a person of International law should posses the following qualifications ;
a.
a permanent population
b.
a definied territory
c.
goverment; and
d.
capacity to enter into relations with other states”
Sebagai sebuah negara kepulauan, kita mempunyai kedaulatan penuh atas laut teritorial kita. Maksud dari kedaulatan teritorial disini adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. 109 Kedaulatan teritorial suatu negara itu sendiri mencakup tiga dimensi, dimana dimensi itu terdiri atas 110 : 1.
tanah (daratan) yang mencakup segala yang ada dibawah dan diatas tanah tersebut termasuk yang tumbuh diatas permukaan tanah.
2.
Laut yang mencakup kolom air, ruang udara diatasnya dan segala sumber daya yang ada di tanah dasar laut.
3.
Ruang udara, sampai batas tertentu sesuai dengan kemampuan dan teknologi mencapainya. Khusus mengenai kedaulatan negara atas wilayah laut merupakan suatu
pembahasan yang sangat penting dewasa ini. Hal ini ditandai dengan sangat pesatnya perkembangan hukum laut internasional, khususnya setelah disahkannya Konvnesi
109
Huala Adolf, Aspek – Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 99. 110 Idem., hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Laut PBB 1982 ( United Convention on Law of the Sea of 1982) di Teluk Montego Jamaika pada 10 Desember 1982. 111 Indonesia sebagai salah satu penggagas utama konsep negara kepulauan pada Unclos 1982 ini didasari dari bentuk geografis negara kita yang terdiri dari beriburibu pulau. Sehingga pada tangga 31 Desember 1985 di Jakarta, disahkanlah Undangundang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Selanjutnya dalam melakukan perlindungan hukum terhadap wilayah perairan teritorial, pemerintah telah membuat berbagai peraturan yang khusus mengatur masalah perlindungan laut. Namun mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baru dibuat pada tanggal 17 Juli 2007. Meskipun pemerintah telah membuat Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Umbrella Act yang melindungi lingkungan hidup secara umum, namun secara khusus / lex specialis undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau Kecil sangat diperlukan baik dalam kerangka pelaksanaan perlindungan di tinggat nasional maupun dalam kerangka pelaksanaan amanat Resolusi PBB I/4 tahun 1972. Peran serta negara dalam pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam semangat KTT Bumi baik di Rio maupun di Johanesburg telah diimplementasikan dengan memasukkan perlindungan lingkungan kedalam bebagai
111
Idem., hal. 126.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan dan kebijakan pemerintah yang nantinya akan diinventarisasi pada sub bab berikutnya. Pengendalian dampak lingkungan sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah, meminimalkan, dan atau menangani dampak negatif suatu usaha (proyek pembangunan) terhadap lingkungan sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga dengan baik 112 salah satunya adalah dengan menggunakan instrumen perundang-undangan. Meskipun UU-PWPPK baru di undangkan pada tahun 2007, namun pengaturan mengenai wilayah pesisir dan pulau kecil telah diatur dalam beberapa ketentuan yang masih dalam bentuk sederhana sesuai dengan perkembangan zaman pada masa itu. Berdasarkan sejarah, dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau kecil tidak dapat dilepaskan dari percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia. Bila dahulu orang hanya memanfaatkan laut untuk perikanan dan pelayaran, saat ini telah berkembang sebagai sarana pariwisata, pertanian laut, reklamasi, sampai dengan eksplorasi dan eksploitasi dasar laut. Sejarah perlindungan hukum lingkungan terutama laut nusantara dapat dibagi atas dua bagian yaitu 113 :
112
K.E.S. Manik, Op.Cit., hal. 186. Untuk perkembangan sejarah peraturan perundang-undangan mengenai hukum Lingkungan secara umum dapat dilihat di dalam Koesnadi Hardjasoematri, Hukum Tata Lingkungan EdisiVIII Cetakan kesembilan belas, (Yogyakarta : Gadjah Mada Univ. Press, 2006), hlm. 65-76. 113
Universitas Sumatera Utara
1.
Zaman Hindia Belanda Dimana pada masa ini telah ada beberapa pengaturan / hukum yang mengatur
mengenai perlindungan laut, antara lain : a.
Parelvisscherij, Sponsenvisscherijordonnantie (Stbl. 1916 No. 157) tanggal 29 Januari 1916 dikeluarkan di Bogor, oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Ordonansi ini memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga millaut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia).
b.
Visscherijordonnantie (Stbl. 1920 No. 396) tanggal 26 Mei 1920 dengan penetapan Gubernur Jenderal No. 86; Ordonansi ini mengatur mengenai perikanan untuk melindungi keadaan telur ikan, benih ikan dan segala macam kerang-kerangan. Dalam Pasal 2 ditentukan pelarangan dalam menangkap ikan dengan bahan-bahan beracun, bius, atau bahan-bahan peledak.
c.
Reden Reglement Tahun 1925 peraturan mengenai Bandar atau saat ini dikenal sebagai pelabuhan.
d.
Kustvisscherijordonnantie (Stbl. 1927 No. 144) tanggal 1 September 1927; Ordonansi ini mengatur mengenai perikanan, yang mana nantinya ordonansi ini pasca kemerdekaan menjadi cikal bakal terbentuknya Undang-Undang Perikanan Nomor 9 tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Universitas Sumatera Utara
e.
Hinder-Ordonnantie (Stbl. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450) yaitu mengenai Ordonansi Gangguan
f.
Natuur Bescharmings Ordonantie (Stbl. 1941 No. 167), merupakan
ordonantie
yang
mengatur
cagar-cagar
dan
suaka-suaka
margasatwa. g.
Haven Ordonantie 114 peraturan yang mengatur mengenai kepelabuhan
h.
Staatblaad 382 tahun 1941 115 mengatur tentang bangunan atas air/perairan
2.
Pasca Kemerdekaan Norma-norma pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundangundangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepantiungan baik kepantingan daerah, kepentingan nasional maupun kepanetingan internasional melalui sistem pengeloaan wilayah terpadu 116 .
114
Dian Saptarini dkk., Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Wilayah Pesisir, (Jakarta : PP-PSL, 1996), hal. IV.2. 115 Ibid. 116 Penjelasan I. Umum, angka 1.Dasar Pemikiran UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan hakekat negara kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagaian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. Dimana dasar hukum ini juga dilandasi oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 117 . Dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil maka penelitan ini akan mengacu kepada hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan 118 , maka perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, meliputi : 1.
Undang-undang Dasar 1945 a. Pembukaan alinea ke-empat, yaitu : Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia
dan
untuk
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan 117
Penjelasan I. Umum, angka 1.Dasar Pemikiran UUPWPPPK. Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.26 118
Universitas Sumatera Utara
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/Perwakilan,
serta
dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Pasal 25 A, berbunyi : ”Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” c. Pasal 33 ayat (3), berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” d. Pasal 33 ayat (4), berbunyi : ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
2.
Ketetapan MPR a. b. c. d.
TAP MPR NO. IV/MPR/Tahun 1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara TAP MPR NO. IV/MPR/Tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara TAP MPR NO. II/MPR/Tahun 1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara TAP MPR NO. II/MPR/Tahun 1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
Semua ketetapan MPR tersebut menjelaskan bahwa wawasan nusantara telah berlaku sebagai ketentuan hukum yang mengikat serta mutlak harus dihayati oleh
Universitas Sumatera Utara
setiap penyelenggara pemerintahan, wawasan nusantara itu sendiri berfungsi membimbing bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupannya, baik secara nasional, regional, maupun global sekaligus sebagai rambu-rambu dalam perjuanagn mengisi kemerdekaannya. 119
3.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dengan mempertimbangkan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang; dan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. 120 Maka pada tanggal 17 Juli 2007 diundangkanlah Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan tercatat dalam Lembaran
119
Lemhanas, Wawasan Nusantara, (Jakarta : Kerjasama Penerbitan Balai PustakaLemhanas, 1997), hal. 23-24. 120 Menimbang huruf a dan b UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
Negara Republik Indonesia Nomor 84 tahun 2007. Adapun tujuan dasar dari penyusunan Undang - Undang ini adalah untuk 121 : a.
Menyiapkan
peraturan
setingkat
undang-undang
mengenai
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait; b.
Membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta
c.
Memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.
Berkaitan dengan objek pengelolaan wilayah laut itu sendiri, akan berkaitan erat dengan ruang lingkup pengelolaan wilayah laut yang nantinya akan dibahas pada 121
Penjelasan I. Umum, Angka 2 UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
bab berikutnya. Sedangkan subjek hukum yang sangat berperan dalam undangundang PWPPPK ini meliputi : a.
Pemangku Kepentingan Utama Adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir.
b.
Masyarakat Masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Adapun yang dimaksud dengan: 1.)
Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
2.)
Masyarakat
Lokal
adalah
kelompok
Masyarakat
yang
menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum
Universitas Sumatera Utara
tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. c.
Masyarakat Tradisional Merupakan masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan, ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
d.
Orang Adapun yang dimaksud dengan orang dalam UUPWPPPK disini meliputi orang perseorangan dan/atau badan hukum.
e.
Menteri Menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
f.
Dewan Perwakilan Rakyat Adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
g.
Mitra Bahari Dimaksudkan dengan mitra bahari disini adalah sebagai jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga,
pendidikan,
penyuluhan,
pendampingan,
pelatihan,
penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
h.
Pemerintah Dalam hal ini yang dikatakan sebagai pemerintah meliputi pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Guna melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk perairan diantaranya maka di dalam pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai berikut 122 : a.
Perencanaan
Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen 123 . Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan
122 123
Penjelasan I. Umum, Angka 3. Ruang Lingkup UUPWPPPK. Penjelasan I. Umum, Angka 3. Ruang Lingkup, Huruf a Perencanaan UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut. Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: 1.)
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3-K;
2.)
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K;
3.)
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan
4.)
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAWP-3-K.
Setiap Perencanaan diatas, mestilah dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan berdasarkan Pasal 14 UUPWPPPK; Dan setiap data serta informasi yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil mestilah dilakukan pemutakhiran data dan informasi dalam hal ini dilakukan
oleh
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
secara
periodik
dan
terdokumentasikan serta dipublikasikan secara resmi, sebagai dokumen publik, sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan peraturan perundang-undangan. 124 Tabel Mekanisme Penyusunan Rencana UUPWPPPK dapat dilihat sebagai berikut;
Tabel. 2.1. Mekanisme Penyusunan Rencana UUPWPPPK
(1) Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP- 3-K, dan RAPWP-3-K (dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.) (2) Mekanisme penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K (dilakukan oleh : pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan Masyarakat.) (3) Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K (untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan)
4.a Bupati/walikota menyampaikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kabupaten/kota kepada gubernur dan Menteri untuk diketahui.
4.b Gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil provinsi kepada Menteri dan bupati/ walikota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(5) Gubernur atau Menteri memberikan tanggapan dan/atau saran terhadap usulan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja. (6) Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.
Sumber Data : Pasal 14 Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
124
Pasal 15 Ayat 2 UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
b.
Pemanfaatan
Pasca diputuskannya Permohonan uji materil sejumlah pasal yang berkaitan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Mahkamah Konstitusi125 pada Kamis tanggal 16 Juni 2010, maka dari Bab V tentang Pemanfaatan yang diatur oleh UUPWPPPK meliputi: 1.)
Pemanfaatan Pulau–Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya tersebut diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut 126 : a.)
konservasi;
b.)
pendidikan dan pelatihan;
c.)
penelitian dan pengembangan;
d.)
budidaya laut;
e.)
pariwisata;
125
Mahkamah Konstitusi, diunduh dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan /putusan_sidang_Nomor%203%20PUU%20pesisir%202010-TELAH%20BACA.pdf, pada Sabtu, 23 Juni 2011, dengan amar putusan : Menyatakan: - Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; - Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50,Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang 168 Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; - Menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) tidak mempunyai kekuatan mengikat. 126 Pasal 23 ayat 2 UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
f.)
usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
g.)
pertanian organik; dan/atau
h.)
peternakan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Pulau-pulau kecil itu sendiri dibagi atas 2 yaitu : 1. Pulau-pulau kecil 2. Pulau-pulau kecil Terluar Pemanfaatan PPKT dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan pemerintah daerah. Pemanfaatan PPKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 127 PPKT itu sendiri menurut PP ini merupakan KSNT (Kawasan Strategis Nasional Tertentu 128 . Pemanfaatan PPKT mestilah dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan menteri/pimpinan
127
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). 128 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Menurut Pasal 1 ayat 3 KSNT adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
Universitas Sumatera Utara
lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Rencana Zonasi PPKT sebagaimana dimaksud terdiri atas 129 : 1.) sub zona yang meliputi pertahanan keamanan, 2.) kesejahteraan masyarakat, dan/atau 3.) pelestarian lingkungan. yang mana dalam pelaksanaan pemanfaatannya mestilah sesuai dengan daya dukung dan daya tampung PPKT itu sendiri. Berikut adalah lebih lanjut mengenai pasal-pasal yang secara khusus membahas mengenai pemanfaatan PPKT berdasarkan rencana Zonasi PPKT : Pasal 6 PPKT : Pemanfaatan PPKT untuk pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a untuk: a. akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara di laut; b. penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; c. penempatan aparat Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; d. penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara; e. penempatan sarana bantu navigasi pelayaran; dan/atau f. pengembangan potensi maritim lainnya. Pasal 7 PPKT : Pemanfaatan PPKT untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b untuk: a. usaha kelautan dan perikanan; b. ekowisata bahari; c. pendidikan dan penelitian; d. pertanian subsisten; e. penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi; dan/atau f. industri jasa maritim. 129
Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 8 PPKT : (1) Pemanfaatan PPKT untuk pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi. (2) Kawasan yang dilindungi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan sebagian atau seluruhnya sebagai kawasan konservasi. (3) Kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
2.)
Reklamasi
Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi. 130 Reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya. Dari beberapa hak pemanfaatan diatas, pelaksanaan pemanfaatan juga mesti dibarengi dengan beberapa kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap stake holder yang mengelola lingkungan pesisir, perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain meliputi kewajiban untuk melakukan: 1.)
Konservasi
Menurut Pasal 28 UUPWPPPK, konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan untuk :
130
a.)
menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.)
melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
Pasal 34 ayat 1 UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
c.)
melindungi habitat biota laut; dan
d.)
melindungi situs budaya tradisional.
Selain itu, untuk kepentingan konservasi sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.
2.)
Rehabilitasi
Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan Ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dengan cara 131 : a.)
pengayaan sumber daya hayati;
b.)
perbaikan habitat;
c.)
perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan berkembang secara alami;dan
d.)
3.)
ramah lingkungan.
Larangan
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang 132 : a.)
menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;
b.)
mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
c.)
menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
131 132
Pasal 32 UUPWPPPK. Pasal 35 UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
d.)
menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
e.)
menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.)
menebang melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g.)
menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
h.)
menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;
i.)
melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan
dan/atau
pencemaran
lingkungan
dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; j.)
melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
k.)
melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
l.)
melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
c.
Pengawasan dan Pengendalian
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pemantauan, pengamatan lapangan,
dan/atau
evaluasi
terhadap
perencanaan
dan
pelaksanaannya 133 .
Pengawasan dan pengendalian tersebut dapat dilakukan oleh Pejabat dengan kewenangan tertentu, PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) tertentu, dan masyarakat. Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk 134 : 1.)
mendorong mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;
2.)
mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;
3.)
memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.
4.)
Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan
133
Pasal 36 UUPWPPPK. Penjelasan I. Umum, Angka 3. Ruang Lingkup, huruf c Pengawasan dan Pengendalian UUPWPPPK. 134
Universitas Sumatera Utara
ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundangundangan yang lain.
Bila dalam pelaksanaan dan pengawasan ditemukan sengketa hukum maka, terdapat 2 prosedur penyelesaian sengketa yang diatur dalam UUPWPPPK yang meliputi : Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan 135 . Dan bila ternyata dalam pelaksanaan pengawasan dan pelaksanaan terdapat pelanggaran oleh para pemangku kepentingan yang dapat menimbulkan perusakan dan pencemaran lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil maka dapat dilakukan langkah penegakan hukum melalui :
4.
a.
Penegakan Hukum Pidana
b.
Penegakan Hukum Perdata
c.
Penegakan Hukum Administrasi
Peraturan Pemerintah Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 79 UUPWPPPK huruf a, bahwa
peraturan pemerintah mestilah segera dibentuk sebagai langkah awal petunjuk pelaksana dari suatu undang-undang dalam hal ini UUPWPPPK. ”Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang- Undang ini diselesaikan paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.”
135
Pasal 64 UUPWPPPK.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat 4 (empat) PP yang diamanatkan oleh UUPWPPK yang mesti segera direalisasikan paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah UUPWPPPK ini diberlakukan antara lain : a.
Pasal 20 angka (4) tentang Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3. (pasal ini telah dibatalkan oleh Keputusan MK).
b.
Pasal 27 angka (2) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar.
c.
Pasal 51 angka (3) Tata cara penetapan kewenangan menteri. (pasal ini telah dibatalkan oleh keputusan MK).
d.
Pasal 59 (4) Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pasca pembatalan beberapa pasal dalam UUPWPPPK oleh MK, maka 2 (dua) PP yang diamanatkan telah terealisasi, meliputi : a.
Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 2010 oleh Menteri Hukum dan HAM dan tercatat dalam lembaran negara nomor 101 tahun 2010. Peraturan Pemerintah ini secara khusus mengatur mengenai pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT). Wilayah Indonesia mempunyai 92 pulau terdepan yang berbatasan
Universitas Sumatera Utara
langsung dengan 10 negara dan wilayah perairan internasional 136 sehingga pemanfaatannya mestilah dilakukan sebaik mungkin. Pulau-Pulau Kecil Terluar, selanjutnya disingkat PPKT adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional 137 . Pemanfaatan PPKT adalah kegiatan yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan potensi sumber daya PPKT dan perairan di sekitarnya sampai paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 138 Pemanfaatan PPKT pada dasarnya ditujukan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia 139 . Dan secara spesifik berdasarkan Pasal 5 PPPPKT Pemanfaatan PPKT hanya dapat dilakukan untuk: 1.)
pertahanan dan keamanan;
2.)
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
3.)
pelestarian lingkungan.
Dalam pemanfaatan PPKT sebagaimana dimaksud diatas mestilah dilakukan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung PPKT.
136
Koran Harian Kompas, Peluncuran Buku Pulau Terdepan Kurang Dikenal, terbit pada Rabu, 15 Juni 2011. 137 Pasal 1 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2010 tentang Pemanfaatan PulauPulau Kecil Terluar. 138 Pasal 1 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2010 tentang Pemanfaatan PulauPulau Kecil Terluar. 139 Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2010 tentang Pemanfaatan PulauPulau Kecil Terluar.
Universitas Sumatera Utara
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 140 Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia diantaranya adalah lempeng Eurasia, Australia, dan lempeng dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempenglempeng tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahanpatahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor. Wilayah pesisir sebagai daerah hunian dan pusat aktivitas masyarakat merupakan kawasan yang rawan bencana, oleh karena itu perlu diupayakan langkah strategis untuk melindungi setiap warga negara dengan langkah penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum bencana terjadi (prabencana).141 Sehingga dengan diaturnya upaya pencegahan penanggulangan bencana dikawasan pesisir sebagai akibat posisi negara Indonesia yang berada di kawasan 140
Pasal 1 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 141 Penjelasan I. Umum Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Universitas Sumatera Utara
cincin api benua, diharapkan akan dapat mengurangi resiko bencana kepada masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir pantai.
5.
Keputusan Presiden Sampai tulisan ini dibuat, berdasarkan situs online resmi milik Departemen
Hukum dan Ham, penulis belum menemukan satupun keputusan presiden yang menjadi petunjuk pelaksana UUPWPPPK padahal berdasarkan pasal 79 ayat b UUPWPPPK menyatakan : ”Peraturan Presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.” Terdapat 6 (enam) Peraturan Presiden yang diamanatkan oleh UUPWPPK yang belum terealisasikan sampai batas terakhir penulis melakukan penelitian, antara lain : a.)
Pasal 31 angka (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas sempadan pantai
b.)
Pasal 33 angka (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rehabilitasi
c.)
Pasal 34 angka (3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi
d.)
Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penelitian dan pengembangan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Universitas Sumatera Utara
e.)
Pasal
49
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. f.)
Pasal 53 angka (3) Pelaksanaan kegiatan Kewenangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil.
6.
Peraturan Menteri Sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 79 huruf c UUPWPPPK, antara
lain : ”Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.” Terdapat 11 (sebelas) peraturan menteri yang mesti diterbitkan berdasarkan perintah pasal di dalam UUPWPPPK yaitu: a.)
Pasal 7 angka (2) Norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
b.)
Pasal 15 angka (6) Pedoman pengelolaan data dan informasi tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
c.)
Pasal 26 Pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Pulau- Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya.
d.)
Pasal 28 angka (4) Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
e.)
Pasal 36 angka (4) Wewenang Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
f.)
Pasal 39 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38.
g.)
Pasal 40 angka (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai program akreditasi.
h.)
Pasal 41 angka (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Mitra Bahari.
i.)
Pasal 62 (2) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil.
j.)
Pasal 63 angka (4) Ketentuan mengenai pedoman Pemberdayaan Masyarakat.
k.)
Pasal 71 angka (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administrative. (pasal ini telah dibatalkan oleh keputusan MK)
Namun diantara 11 (sebelas) perintah pembentukan keputusan menteri yang diamanatkan oleh UUPWPPPK tersebut, keputusan menteri yang terbit baru 4 (empat), meliputi :
(1.) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan menteri nomor 17/Men/2008 ini adalah sebagai tindak lanjut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Universitas Sumatera Utara
Pulau-Pulau Kecil. Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, mewujudkan
dilestarikan pengelolaan
dan/atau wilayah
dimanfaatkan pesisir
dan
secara
berkelanjutan
pulau-pulau
kecil
untuk secara
berkelanjutan. 142 Menurut Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tujuan ditetapkannya konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk memberi acuan atau pedoman dalam melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya. Sedangkan Sasaran pengaturan kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil ditujukan untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. 143
(2.) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.18/MEN/2008 tentang Akreditasi Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Nomor Program
142
Pasal 1 ayat 8 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 143 Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tindaklanjut Pasal 40 ayat (8) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perlu adanya penyelenggaraan akreditasi terhadap program pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Akreditasi sebagai sebuah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap programprogram pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela 144 . Penyelenggaraan akreditasi bertujuan untuk menjamin terselenggaranya PWP3-K secara terpadu dan berkelanjutan 145 . Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang selanjutnya disebut program PWP-3-K adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, orang perseorangan/badan hukum, pemerintah, pemerintah daerah, dalam menunjang keterpaduan dan keberlanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 146
(3.) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya. Guna menjamin keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, maka sebagai tindaklanjut Pasal 26 144
Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2008 tentang Akreditasi Terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 145 Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2008 tentang Akreditasi Terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 146 Pasal 1 Ayat 12 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2008 tentang Akreditasi Terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dipandang perlu menetapkan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya melalui sebuah Peraturan Menteri. 147 Menurut isi Pasal 3 peraturan menteri ini, Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: (a.)
Konservasi;
(b.)
pendidikan dan pelatihan;
(c.)
penelitian dan pengembangan;
(d.)
budidaya laut;
(e.)
pariwisata;
(f.)
usaha perikanan dan kelautan secara lestari;
(g.)
pertanian organik; dan/atau
(h.)
peternakan.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya selain dapat dimanfaatkan antara lain untuk usaha pertambangan, permukiman, industri, perkebunan, transportasi, dan pelabuhan. Menariknya dari kontens isi peraturan menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya ini adalah pada bunyi Pasal 4, bahwa selain Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dapat diberikan kepada orang perseorangan warga
147
Menimbang angka a Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya.
Nomor
Universitas Sumatera Utara
negara Indonesia; badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau masyarakat adat. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dapat juga diberikan kepada orang asing dengan persetujuan Menteri. Dengan adanya pembenaran menurut peraturan menteri mengenai bolehnya orang asing memanfaatkan pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia, dengan itu berarti Undang-undang telah membenarkan pemilikan suatu pulau kepada orang asing, selain itu didalam kepmen ini tidak diatur juga mengenai jangka waktu pemanfaatannya. Hal ini kelak dapat menjadi bahaya laten yang akan meruntuhkan NKRI, bila setiap pulau kecil dapat dikuasai oleh orang asing melalui wacana pengelolaan. Sebaiknya pasal ini juga dilakukan yudicial review sebagaimana halnya pasalpasal HP-3 yang terdapat dalam UUPWPPPK, mengingat pembenaran pengelolaan suatu pulau kepada pihak akan bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
(4.) Peraturan Menteri Kelautan dan PER.14/MEN/2009 tentang Mitra Bahari.
Perikanan
Nomor
Tindak lanjut Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dipandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan Mitra Bahari. Mitra Bahari sebagai jejaring pemangku kepentingan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya
Universitas Sumatera Utara
manusia, lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan 148 . Menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2009; Mitra Bahari merupakan forum kerjasama antara Pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan/atau dunia usaha untuk mendukung peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan dapat dibentuk di Pusat maupun di tingkat Daerah. Dari penjelasan panjang lebar diatas, berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan pengelolaan WPPPK di Indonesia, maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa perlindungan WPPPK telah diatur secara spesifik oleh suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Adapun konsep dasar perlindungan hukum yang diberikan oleh undangundang dalam melindungi WPPPK dari segala bentuk pencemaran dan/atau kerusakan akibat pengelolaan WPPPK adalah : suatu konsep pengelolaan terpadu mulai dari perencanaan, pemanfaatan serta pengawasan dan pengendalian WPPPK dimana setiap stake holders mulai dari masyarakat, pengusaha dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan mestilah mengelola WPPPK sesuai dengan tupoksinya masing-masing.
148
Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2009 tentang Mitra Bahari.
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasca dikeluarkannya putusan MK, juga memperkuat maksud dan tujuan utama pengelolaan lingkungan khususnya WPPPK Indonesia. Dimana dengan dihapuskannya pasal-pasal yang berkenaan dengan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh dunia usaha (dalam pasal-pasal HP-3), mempertegas bahwa UUPWPPPK telah sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 bahwa bumi, tanah dan air adalah dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Tentu saja dalam konteks penulisan ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun dengan dihapuskannya pasal UUPWPPPK yang mengatur mengenai pemanfaatan ruang laut juga akan membawa dampak lemahnya perlindungan hukum terhadap ruang laut perairan pesisir dari segala bentuk pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Terutama untuk aktifitas pertambangan pasir laut yang saat ini marak terjadi disekitar perairan laut di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Bali dan provinsi lainnya. Namun dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, diharapkan akan membantu dalam perlindungan hukum terhadap pengelolaan alam dan lingkungan Indonesia terutama lingkungan pesisir karena dengan undang-undang ini setiap pemerintah yang akan membuat kebijakan telah mestilah menjalankan kebijakan sesuai dengan pemetaan wilayah yang telah ditetapkan dengan undang-undang ini, antara lain 149 :
149
Pasal 1 ayat 12, 13 dan 14 Undang-undang nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial.
Universitas Sumatera Utara
1.
Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah darat.
2.
Peta Lingkungan Pantai Indonesia adalah peta dasar yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah pesisir.
3.
Peta Lingkungan Laut Nasional adalah peta dasar yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah laut. Sebagai sebuah ruang aspek kebumian, geospasial akan lebih fokus dalam
penentuan aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu150 . Diharapkan dengan adanya undang-undang informasi geospasial akan memberikan informasi lepada setiap stake holders terutama masyarakat pesisir dan masyarakat Indonesia secara umum, agar dapat memberikan kontrol social terhadap setiap kebijakan pemerintah dan dunia usaha dalam pemanfaatan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil.
150
Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Universitas Sumatera Utara