BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pengertian Umum Tentang Pajak
II.1.1 Definisi Pajak dan Ciri – Ciri Pajak Menurut Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU KUP Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1, mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya
kemakmuran rakyat. Sesuai dengan definisi yang diberikan UU KUP, maka ada 5 ciri – ciri yang melekat pada pajak, yaitu: 1.
Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang – Undang;
2.
Sifatnya dapat dipaksakan;
3.
Tidak ada kontra – pretasi langsung (imbalan) yang dapat dirasakan langsung oleh pembayar pajak;
4.
Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; dan
5.
Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah bagi kepentingan masyarakat umum.
7
II.1.2 Fungsi Pajak dan Jenis Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak, maka terlihat adanya 2 fungsi pajak, yaitu: 1. Fungsi penerimaan (budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi mengatur (reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dan juga terhadap barang mewah.
Pajak dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi: a.
Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Misalnya: Pajak Penghasilan (PPh).
b.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Misalnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Menurut sifat, dibagi menjadi:
8
a.
Pajak
subjektif
adalah
pajak
yang
berpangkal
atau
berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya baru akan dicari objeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Misalnya: PPh. b.
Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Misalnya: PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
3. Menurut pemungut dan pengelolanya, dibagi menjadi: a.
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Misalnya: PPh, PPN, PPnBM, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Meterai.
b.
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Misalnya: pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PBB sektor perkotaan dan pedesaan.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Sitem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Sistem Official Assessment Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 9
2. Sistem Self Assessment Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan,
tanggung
jawab
kepada
Wajib
Pajak
untuk
menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarkan. 3. Sistem Withholding Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.1.4 Azas Pemungutan Pajak Azas – azas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiri into the Nature and Cause of the Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada azas – azas berikut: a) Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil yang dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
10
b) Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang – wenang, oleh karena itu Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayarannya. c) Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat – saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut sebagai pay as you earn. d) Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.
II.2
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Secara Umum
II.2.1 Definisi, Karakteristik dan Istilah Umum Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Berikut akan disebutkan karakteristik dari Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: a) Indirect Tax Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung yang mana beban perpajakannya dapat dilimpahkan ke orang lain. 11
b) Objective Tax Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak objektif yang mana pengenaan pajak pertama – tama dilihat dari objeknya. c) Multistage Tax Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak bertingkat yang mana pengenaan pajak terjadi di setiap jalur distribusi, selama yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. d) Tax witholding by using Tax Invoice Pajak Pertambahan Nilai dipungut dengan menggunakan Faktur Pajak, dan yang mempunyai wewenang untuk menerbitkan Faktur Pajak tersebut hanyalah Pengusaha Kena Pajak. e) Tax on domestic consumption Pajak Pertambahan Nilai dikenakan karena adanya konsumsi atas objek yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. f) Neutral Pajak Pertambahan Nilai dikenakan secara netral terhadap siapa saja yang melakukan konsumsi atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. g) No double taxation Pengenaan atas Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan adanya pajak ganda.
12
Istilah – istilah yang digunakan dalam Pajak Pertambahan Nilai beserta definisinya, yaitu: a) Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat – tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang – Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. b) Barang Kena Pajak adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak berdasarkan Undang – Undang ini. c) Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan yang dikenai pajak berdasarkan Undang – Undang ini. d) Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang – Undang ini. e) Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
13
f) Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
II.2.2 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai dan Perubahannya Reformasi sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang mana disertai dengan pembaruan dan penyempurnaan yang terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2009 dengan ditebitkannya Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009. Dilakukannya perubahan atas Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut bertujuan untuk: a) Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai b) Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai c) Mengurangi biaya kepatuhan d) Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak e) Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai f) Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi
14
II.2.3 Objek dan Subjek Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 diatur bahwa objek Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b) Impor Barang Kena Pajak; c) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau f)
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Sedangkan untuk barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut: a) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya; dan d) Uang, emas batangan dan surat berharga.
15
Jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a) jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b) jasa di bidang pelayanan sosial; c) jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d) jasa di bidang perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e) jasa di bidang keagamaan; f) jasa di bidang pendidikan; g) jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; h) jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i) jasa angkutan umum di darat dan di air; j) jasa di bidang tenaga kerja; k) jasa di bidang perhotelan; dan l) jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
Berdasarkan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 diatur bahwa objek Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b) Impor Barang Kena Pajak; c) Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
16
d) Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Sedangkan untuk barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut: a) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering; dan d) Uang, emas batangan dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a) jasa pelayanan kesehatan medis; b) jasa pelayanan sosial; c) jasa pengiriman surat dengan perangko; 17
d) jasa keuangan; e) jasa asuransi; f) jasa keagamaan; g) jasa pendidikan; h) jasa kesenian dan hiburan; i) jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; j) jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; k) jasa tenaga kerja; l) jasa perhotelan; m) jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n) jasa penyediaan tempat parker; o) jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p) jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan q) jasa boga atau catering.
Subjek Pajak Pertambahan Nilai adalah Pengusaha Kena Pajak. Beberapa contoh yang termasuk Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: a) Pabrikan; b) Importir; c) Indentor; d) Agen utama atau penyalur utama; 18
e) Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merek dagang Barang Kena Pajak; f) Pedagang besar; g) Eksportir; h) Pedagang eceran besar; i) Pemborong atau kontraktor; j) Pengusaha jasa bidang telekomunikasi; k) Pengusaha jasa angkatan udara dalam negeri; atau l) Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
II.2.4 Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Sesuai dengan Pasal 7 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh Persen). Di samping itu, tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) atas ekspor Barang Kena Pajak. Sedangkan perubahan yang terjadi atasnya, yaitu pada pasal 7 Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009, tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh Persen). Di samping itu, tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan c) ekspor Jasa Kena Pajak. Tarif pajak yang disebutkan di atas dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajaknya. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Berikut
akan
dilampirkan
definisi dari dasar pengenaan
Pajak
Pertambahan Nilai yang akan digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sesuai dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000: a)
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang – Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b)
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang – Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
c)
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan dalam perundangundangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang – Undang ini.
20
d)
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e)
Nilai lain yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak, yaitu: 1) Pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP Harga jual / Penggantian setelah dikurangi laba kotor 2) Pemberian cuma – cuma BKP dan/atau JKP Harga jual / Penggantian setelah dikurangi laba kotor 3) Penyerahan media rekaman suara atau gambar Perkiraan harga jual rata – rata 4) Penyerahan film cerita Perkiraan hasil rata – rata per judul film 5) Persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan Harga pasar wajar 6) Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan Harga pasar wajar 7) Kendaraan bermotor bekas 10% dari harga jual 8) Penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih 9) Jasa pengiriman paket 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
21
10) Jasa anjak piutang 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon.
Sedangkan sesuai dengan Undang – Undang terbaru yaitu Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009, maka definisi dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tersebut yaitu: a)
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang – Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b)
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang – Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
c)
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan 22
dalam peraturan dalam perundang-undangan
yang mengatur
mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang – Undang ini. d)
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e)
Nilai lain yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan Pajak, yaitu: 1) Pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP Harga jual / Penggantian setelah dikurangi laba kotor 2) Pemberian cuma – cuma BKP dan/atau JKP Harga jual / Penggantian setelah dikurangi laba kotor 3) Penyerahan media rekaman suara atau gambar Perkiraan harga jual rata – rata 4) Penyerahan film cerita Perkiraan hasil rata – rata per judul film 5) Penyerahan produk hasil tembakau Harga jual eceran 6) BKP berupa persediaan dan/atau persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan Harga pasar wajar 7) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang Harga pokok penjualan atau harga perolehan
23
8) Penyerahan BKP melalui pedagang perantara Harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli 9) Penyerahan BKP melalui juru lelang Harga lelang 10) Jasa pengiriman paket 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih 11) Penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
II.2.5 Faktur Pajak Berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ada 3 (tiga) jenis Faktur Pajak yang digunakan: 1. Faktur Pajak Standar Faktur Pajak Standar merupakan bukti pungutan pajak yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Apabila Faktur Pajak Standar tidak diisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan. 2. Faktur Pajak Gabungan Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak (PKP) diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua 24
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang terjadi selama 1 (satu ) bulan takwim kepada penerima Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang sama. Pada dasarnya Faktur Pajak Gabungan merupakan Faktur Pajak Standar yang mana harus dibuat paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). 3. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir. Faktur Pajak Sederhana juga dibuat atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada penerima Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang nama, alamat atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) nya tidak diketahui.
Sedangkan sesuai dengan Pasal 13 Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 hanya dikenal istilah Faktur Pajak yang mana Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak setiap: a) Penyerahan Barang Kena Pajak; b) Penyerahan Jasa Kena Pajak; dan/atau c) Ekspor Jasa Kena Pajak. 25
Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak setiap: a) Penyerahan Barang Kena Pajak; b) Penyerahan Jasa Kena Pajak; c) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau d) Ekspor Jasa Kena Pajak.
Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, saat pembuatan Faktur Pajak diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak yaitu paling lama pada akhir bulan berikutnya atau pada saat pembayaran (dalam hal pembayaran diterima sebelum akhir bulan berikutnya). Sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009, Faktur Pajak harus dibuat pada: a) Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak; b) Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; c) Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau d) Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
26
a) Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Jasa Kena atau Jasa Kena Pajak; b) Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; c) Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga; d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g) Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
II.2.6 Pengkreditan Pajak Masukan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya atau dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi) pada akhir tahun buku. Pada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, permohonan pengajuan 27
pengembalian Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar dapat dilakukan pada setiap Masa Pajak oleh semua Pengusaha Kena Pajak. Namun sesuai dengan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009, pengajuan permohonan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih bayar pada setiap Masa Pajak hanya dapat dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi syarat – syarat berikut: a) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; b) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pemungut Pajak Pertambahan Nilai; c) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut; d) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; e) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau f) Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.
Kriteria Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan lagi menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 apabila: 1. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP); 28
2. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; 3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan combi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP); 5. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak sederhana; 6. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan; 7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan; 8. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang Pajak Masukannya ditagih melalui Surat Ketetapan Pajak (SKP); atau 9. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang
Pajak
Masukannya
tidak
dilaporkan
dalam
Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
29
Sedangkan kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan menurut Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009 yaitu apabila: 1. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP); 2. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; 3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan combi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP); 5. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan atau tidak mencantumkan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP); 6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan; 7. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang Pajak Masukannya ditagih melalui Surat Ketetapan Pajak (SKP); 30
8. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang
Pajak
Masukannya
tidak
dilaporkan
dalam
Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; atau 9. Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) selain barang modal atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum Pengusaha Kena Pajak (PKP) berproduksi.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan dengan Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
II.2.7 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kurang bayar dilakukan paling lama pada tanggal 15 (lima belas) setelah berakhirnya Masa Pajak. Sedangkan untuk pelaporan dilakukan paling lama pada tanggal 20 (dua puluh) setelah berakhirnya Masa Pajak. Sedangkan setelah diteapkannya Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2009, maka penyetoran dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disampaikan. Dan untuk pelaporan dapat dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. 31