BAB II LANDASAN TEORI
II.1.
Pengertian dan Kewajiban Membayar Pajak Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang No. 28 Tahun 2007 pengertian Pajak adalah : kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Pardiat (2008),UU. No 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah di ubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan UU No. 7 Tahun 1983 yang telah di ubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 menyebutkan UU. Pajak (KUP dan PPh) dilandasi falsafah Pancasila Tahun 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sistem self assessment dalam Undang-Undang perpajakan dinyatakan dalam Pasal 12 UU KUP, yaitu : setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan,
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak (SKP).
6
dengan
tidak
II.2
Fungsi dan Asas Pengenaan Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka menurut Mardiasmo (2006), pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: •
Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pahak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. •
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya : dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 7
•
Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien. •
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. •
Asas Pengenaan Pajak Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang
pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Menurut Mardiasmo (2008), terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah: •
Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk 8
kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept). •
Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
•
Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas 9
domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income. II.3 PAJAK PENGHASILAN II.3.1. Pengertian Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
Pasal 1
mendefinisikan, “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak”. II.3.2. Subjek Pajak Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut: 1. Subyek pajak pribadi yaitu setiap orang yang tinggal di Indonesia atau tidak bertempat tinggal di Indonesia yang mendapatkan penghasilan dari indonesia. 2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak. 3. Subyek pajak badan yaitu perkumpulan orang dan/atau modal baik melakukan usaha maupun tidak melakukan kegiatan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan bentuk usaha apapun seperti firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, perkumpulan, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi 10
sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. 4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia. Sedangkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 juga menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak, antara lain sebagai berikut: 1. Badan perwakilan negara asing. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF. 3. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia. 11
II.3.3. Objek Pajak Penghasilan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk: a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, penghargaan dan labausaha. c. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. 3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. 4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan 12
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau pemodal dalam perusahaan pertambangan. d. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. e. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. f. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. g. royalty atau imbalan atas penggunaan hak. h. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. i. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. j. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP. No. 130/2000). k. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. l. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. m. premi asuransi. n. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 13
o. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. p. penghasilan dari usaha berbasis syariah. q. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan (SE.04/PJ.42/2002) r. surplus Bank Indonesia. Objek Pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) final atas penghasilan, yakni: a. bunga obligasii dan Surat Utang Negara. b. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek. c. penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan. d. Hadiah undian. e. Bunga simpanan koperasi. f. Penghasilan dari transaksi derivatif. g. Penghasilan dari usaha real estate. h. Deviden yang diterima WPOPDN sebesar 10% (sepuluh persen). Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, yang tidak termasuk Objek Pajak, antara lain : 1. a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. 14
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 2. Warisan. 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, WP yang dikenakan secara final atau WP yang menggunakan norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa. 6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a.
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
b.
bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 15
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor. (”dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut” dihapus pada perubahan UU.No.36 Tahun 2008); 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha (berlaku s.d. 31 Des 2008); 11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. merupakan perusahaan mikro kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sector-sektor usaha diatur atau berdasarkan PMK; dan b. saham tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. 12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur atau berdasarkan PMK; 16
13. Sisa lebih diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK; 14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK.
II.3.4. Tarif Pajak Penghasilan Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap sampai dengan akhir 2008 adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tahun Sampai 2008
Tarif Pajak
Rp. 0,00 – Rp. 50.000.000,00
10%
Rp 50.000.000,00 – Rp. 100.000.000,00
15%
Di atas Rp. 100.000.000,00
30%
Tabel. 2.1. Penghasilan Kena Pajak Badan Dan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
17
menjelaskan perubahan tarif progresif menjadi tarif tunggal pada Pasal 17 ayat (1) huruf b UU. No.36 Tahun 2008 yakni sebesar 28%. WP badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tariff sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud diatas.
II.4. Kewajiban Perpajakan PPh Badan II.4.1. Kewajiban Pembukuan a. WP Badan dalam negeri, semuanya Wajib pembukuan, oleh karena itu dasar pengisian SPT. PPh. Badan adalah pembukuan WP, Bentuk usaha tetap juga diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai Pasal 28 UU KUP. b. Pasal 14 (5) UU no. 36 Tahun 2008 Apabila dilakukan pemeriksaan pajak, ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan norma perhitungan penghasilan neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara diatur dengan PMK. c. Pasal 39 ayat (1) huruf f, g, h, UU KUP. Setiap orang dengan sengaja:
18
1) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen yang palsu dan dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; 2) Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; 3) Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
II.4.2. Kewajiban Menyampaikan SPT Tahunan PPh Kewajiban menyampaikan SPT. PPh Tahun 2008, ketentuan formal sudah berdasarkan UU. No.28 Tahun 2007 (Perubahgan Ketiga UU KUP), sedangkan ketentuan materialnya masih berdasarkan UU No.36 Tahun 2008 (Perubahan Keempat UU. PPh. 1984)) mulai berlaku 1 Januari 2009 dapat digunakan untuk menyusun tax planning tahun 2009.
19
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4b) UU. No.28 Tahun 2007, dalam hal laporan keuangan diaudit Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada SPT. PPh, maka dianggap SPT tidak lengkap dan tidak jelas atau dianggap SPT. PPh. tidak disampaikan. Tata cara pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian SPT diatur
dengan
atau
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
No:
181/PMK.03/2007, antara lain : a. Formulir SPT dapat diambil langsung di KPP, eSPT dapat diambil secara langsung oleh WP atau dengan cara mengunduh format SPT atau aplikasi eSPT dari situs DJP (www.pajak.go.id) b. SPT yang disampaikan ke KPP wajib ditandatangani oleh WP atau Kuasa WP, dengan cara : tanda tangan biasa, tanda tangan stempel, tanda tangan elektronik atau digital. c. Penyampaian SPT ke KPP dapat dilakukan : 1) Secara langsung diberikan tanda penerimaan surat; 2) Melalui pos dengan bukti pengiriman surat. 3) Melalui perusahaan hasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat 4) e-Filling melalui Application Service Provider (ASP) dengan bukti penerimaan elektronik. d. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh: 1) WPOP paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak 2) WP badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. 20
II.4.3. Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 25 Peraturan Dir. Jen. Pajak No. PER-22/PJ/2008, 21 Mei 2008. Pembayaran PPh. Pasal 25 dilakukan melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan system pembayaran secara on-line : a. Harus dibayar paling lambar tanggal 15 bulan berikutnya; b. Tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libut termasuk Sabtu, pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya; c. Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). d. SSP merupakan bukti pembayaran pajak dan dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). e. PPh. Pasal 25 Rupiah yang dibayar pada Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi, dan SSPnya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. f. PPh. Pasal 25 Nihil, PPh. Pasal 25 yang dibayar dalam USD, PPh. Pasal 25 yang belum on-line; SPT. Masa PPh. Pasal 25 (SSP lembar ke 3) wajib dilaporkan sebelum tanggal 20 bulan berikutnya. g. Terlambat membayar PPh. Pasal 25 secara on-line tetapi sebelum tanggal laporan, dikenai sanksi bunga sebesar 2%. h. Terlambat membayar PPh. Pasal 25 secara on-line setelah tanggal laporan, dikenai sanksi 2% perbulan dan denda sebesar Rp. 100.000,-.
21
II.4.4. Kewajiban Memotong atau Memungut Pajak 1. Memotong PPh-Pihak lain. Wajib Pajak Badan dan BUT, wajib melakukan pemotongan PPh. Pasal 21, PPh. Pasal 23, PPh. Pasal 26 dan PPh. Pasal 4 ayat (2) Final, PPh. Pasal 15; a. Pasal 8 PP. No.138 Tahun 2000, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya pernghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu; kecuali untuk pembayaran ke kontraktor dilakukan pada saat pembayaran termin. b. Disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan kemudian dilaporkan (SPT.Masa PPh. Pasal 21/26, SPT Masa. PPh. Pasal 23/26, SPT. Masal Ph. Pasal 4 (2) Final, SPT. Masa PPh. Pasal 15) Paling lambat tanggal 20. c. SPT. Masa PPh Pasal 21, wajib dilaporkan walaupun NIHIL. d. Sanksi terlambat menyetorkan atau terlambat melaporkan sebesar Rp. 100.000,-. e. Terlambat menyetorkan dikenakan sanksi bunga 2% perbulan. 2. Pajak Pertambahan Nilai. Bagi WP Badan dan BUT yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), wajib melaporkan SPT. Masa PPN walaupun NIHIL; mulai tahun 2008 tidak atau terlambat menyampaikan SPT. Masa PPN dikenakan sanksi denda sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). 3. SPT. Tahunan PPh. Pasa; 21/26 (Tahun Takwin).
22
Bagi WP Badan dan BUT wajib menyampaikan SPT. Tahunan PPh. Pasal 21/26, walaupun NIHIL. Paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
II.4.5. Kompensasi Rugi Fiskal Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU. No. 10 Tahun 1994 tidak berubah s.d. UU. No.36 Tahun 2008, Rugi Fiskal dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun, dimasukkan dalam lampiran khusus SPT. Tahunan PPh : 1. Berdasarkan SPT-WP, jika belum dilakukan pemeriksaan pajak. 2. Berdasarkan SKP (hasil pemeriksaan), walaupun WP mengajukan keberatan tapi belum ada keputusan keberatan. 3. Berdasarkan keputusan keberatan, walaupun WP mengajukan banding ke Pengadilan Pajak tapi belum ada Putusan Pengadilan Pajak. 4. Berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak, walaupun WP mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tapi belum ada Putusan dari Mahkamah Agung. 5. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. SE-03/PJ.3/2000, Rugi Usaha di LN tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan DN. Dan WP Pembukuan yang penghasilannya dikenakan PPh-tidak final (PPh dengan tarif umum), apabila menderita kerugian fiskal tidak dikenakan PPh, dapat dikompensasikan selama lima tahun; dan dapat mengurangi perhitungan PPh Pasal 25 tahun berikutnya.
23
II.4.6. Transaksi Antara Pihak-Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa (Satu Group) Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, WP wajib mengisi lampiran khusus dalam mengisi SPT. Tahunan PPh. Badan, untuk menjelaskan metode penentuan harga transfer. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat 4, hubungan istimewa dianggap apabila: a. WP mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada WP lain, atau hubungan antara WP dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua atau lebih, demikian pula hubungan antara dua WP atau lebih yang disebut terakhir. b. WP menguasai WP lainnya atau dua atau lebih WP berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau kesamping satu derajat. Dan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 1984 yang telah diubah terakhir menjadi UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 18 menyebutkan. a. Ayat (3), Dirjen. Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurang serta menentukan kembali besarnya 24
penghasilan dan pengurang serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP yang mempunyai hubungan istimewa dengan WP lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antar pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya plus, atau metode lainnya. b. Ayat (3a) : Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan WP dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Pasal 9 ayat (1f) UU No.36 Tahun 2008, tidak boleh dikurangkan jumlah yang melebihi kewajiban yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
II.5. Biaya Fiskal dan Non Fiskal Berdasarkan UU. PPh. Pasal 6 Tahun 1984 mengenai biaya-biaya yang dapat dijadikan pengurang pajak, telah mengalami perubahan pada UU. No 36 Tahun 2008 yakni berisi :
25
1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk : a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain : 1) biaya pembelian barang; 2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3) bunga, sewa, royalty; 4) biaya perjalanan; 5) biaya pengolahan limbah; 6) premi asuransi; 7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8) biaya administrasi; dan 9) pajak kecuali pajak penghasilan. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortiasasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A (UU. No.10/1994); c. Iuran kepada dana pensiun yang pendirinya telah disyahkan oleh Menteri Keuangan (UU. No.10/1994);
26
d. Kerugian karena penjualan atau peralihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (UU. No.10/1994); e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing (UU. No.10/1994); f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia (UU. No.10/1994); g. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan (UU.No.10/1994); h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat (UU. No.17/2000 yang mengalami perubahan menjadi UU.No.36/2008) : 1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2) wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jendral Pajak; 3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana penghapusan dalam pasal 4 ayat (1) huruf k. yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK.
27
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan PP (UU.No.36/2008). j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan PP (UU.No.36/2008). k. Biaya pembangunan infrastruktur social yang ketentuannya diatur dengan PP (UU.No.36/2008). l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP (UU.No.36/2008); dan m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam PP (UU.No.36/2008). 2. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun (UU. No.7/1983) 3. Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Dan berdasarkan Pasal 9 UU PPh. 1984 mengenai biaya-biayan yang tidak dapat dijadikan pengurang pajak, juga mengalami perubahan pada UU.No.36 2008, yakni : 1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi (UU.No.10/1994);
28
b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota (UU. No.10/1994); c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali (UU.No.36/2008) : 1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3) cadangan penjamin untuk Lembaga Penjamin Simpanan; 4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5) cadangan biaya penanaman kembali usaha kehutanan; dan 6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industry, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan PMK. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (UU.No.10/1994); e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (UU. No.17/2000);
29
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan (UU. No.7/1983); g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, kecuali sumbangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan PP (UU.No.36/2008); h) Pajak Penghasilan (UU.No.7/1983); i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya (UU.No.10/1994); j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham (UU.No.10/1994); k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan (UU. No.10/1994) 2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak diperbolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A (UU. No.10/1994). 30
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (Pasal 4 PP. No.138 Tahun 2000) termasuk : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak; b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final; c. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan; d. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk deviden sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak; dan e. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupaka Objek Pajak.
II.6. Manajemen Pajak Manajemen pajak adalah suatu upaya dalam melakukan penghematan pajak tanpa melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sophar Lumbatorun seperti dikutip oleh Suandy (2008) mendefinisikan, “Manajemen pajak adalah sarana 31
untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”. Tujuan manajemen pajak adalah menerapkan peraturan perpajakan secara benar dan mencapai laba serta likuiditas yang diharapkan, dan dapat dicapai melalui fungsifungsi manajemen pajak yang terdiri dari :
II.6.1. Perencanaan pajak (Tax Planning) Mengacu pada pendapat Suandy (2008), perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, agar dapat diketahui jenis tindakan penghematan pajak. Dan untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun
yang
melanggar
peraturan
perpajakan
(unlawful),
dan
dengan
memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur (loopholes). Tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada, maka perencanaan pajak (tax planning) ini sama dengan penghindaran pajak (tax avoidance) karena keduanya memaksimalkan penghasilan setelah pajak (tax after return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba bagi Wajib Pajak.
32
II.6.2. Pelaksanaan kewajiban Pajak (Tax Implementation) Pelaksanaan kewajiban pajak harus memenuhi peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku agar perencanaan pajak tidak menyimpang dari tujuan manajemen pajak. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diketahui dan diperhatikan, yakni : a. Memahami ketentuan peraturan perpajakan. b. Menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. c. Melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
II.6.3. Pengendalian pajak (Tax Control) Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal dan material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, contohnya melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal. II.7 Motivasi Pelaksanaan Perencanaan Pajak Menurut Suandy (2008), motivasi yang mendasari dilakukannya perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga unsure perpajakan, antara lain :
33
a. Kebijakan perpajakan (tax policy). Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sarana yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning) antara lain : 1) Pajak yang akan dipungut 2) Subjek Pajak 3) Objek Pajak 4) Tarif Pajak 5) Prosedur Pembayaran Pajak b. Undang-Undang Perpajakan (tax law). Satu hal yang perlu disadari, yakni tidak ada undang-undang yang mengatur permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jendral Pajak. Dan tidak jarang ditemukan pertentangan antara ketentuan pelaksana dengan Undang-Undang itu sendiri karena adanya penyesuaian dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya, akibatnya terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik. c. Administrasi Perpajakan (tax administration). Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak (tax planning) dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena
34
adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dan Wajib Pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
II.8. Tahap-tahap Perencanaan Pajak Mengacu pada Suandy (2008), perencanaan pajak dapat berhasil sesuai tujuannya, harus melalui tahap-tahap berikut : 1. Menganalisis informasi yang ada. Tahap pertama dari proses perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung tepat beban pajak yang harus ditanggung. 2. Membuat model satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. Setelah menganalisis informasi yang diperoleh, maka selanjutnya adalah membuat berbagai macam model rencana kemungkinan besarnya pajak yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi pajak. 3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak. Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategic perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak (tax burden), perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak Dalam membuat suatu rencana pajak terkadang perlu mencari kelemahan, misalnya hal ini disebabkan oleh perubahan peraturan perundang-undang atau perencanaan ini 35
tidak sesuai dengan kondisi perusahaan. Sehingga harus memperbaiki kembali rencana pajak yang telah dibuat sebelumnya. 5. Muktahirkan rencana pajak. Walaupun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya. Pemuktahiran dari suatu rencana pajak adalah konsekuensi yang perlu dilakukan atas perkembangan yang akan datang maupun situasi saat ini, dimana seorang perencana pajak mampu mengurangi resiko atas perubahan dan mampu mengambil kesempatan atau memperoleh manfaat yang potensial.
II.9. Rekonsiliasi Laporan Komersial dengan Laporan Fiskal Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP). Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersial yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu the proper matching cost against revenue, sedangkan dari segi fiskal tujuan utamanya adalah penerimaan negara. Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal Wajib Pajak harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan standart akutansi keuangan harus disesuaikan atau koreksi fiskal terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP). Perbedaan antara laporan keuangan fiskal dengan komersial dapat dibedakan menjadi 2, yakni :
36
1. Perbedaan Waktu (timing differences). Adalah perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan standart akutansi keuangan. Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi perbedaan waktu positif dan perbedaan waktu negatif. Perbedaan waktu positif apabila pengakuan beban untuk akutansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan penghasilan untuk tujuan akutansi. Dan perbedaan waktu negatif terjadi apabila ketentuan perpajakan mengakui beban lebih lambat dari pengakuan beban akutansi komersial atau akutansi mengakui penghasilan lebih lambat dari pengakuan menurut ketentuan pajak. Contoh: perbedaan pengakuan penyusutan menurut komersial dan fiskal, dimana penyusutan komersial disusutkan sesuai umur masa manfaat aktiva tersebut, namun dalam fiskal diperhitungkan menurut waktu perolehan aktiva. 2. Perbedaan Tetap (permanent differences). Adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut standart akutansi keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari. Perbedaan permanen dapat positif karena ada laba akutansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan relatif pajak, sedangkan perbedaan permanen negatif disebabkan adanya pengeluaran sebagai beban laba akutansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiskal. Contoh: secara komersial pendapatan jasa giro merupakan tambahan penghasilan bagi perusahaan, namun secara fiskal pendapatan tersebut terkena Pajak final,
37
sehingga pengakuan terhadap pendapatan ini tidak disertakan dalam laporan fiskal. Dalam prakteknya dilapangan, terdapat pajak masukan dan pajak keluaran dimana: pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai (PPn) yang telah dipungut oleh pengusaha kena pajak pada saat pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu. Pajak masukan dijadikan kredit pajak oleh pengusaha kena pajak untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang. Sedangkan pajak keluaran adalah pajak pertambahan nilai (PPn) yang telah dipungut oleh pengusaha kena pajak pada saat penjualan barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu.
38