BAB II LANDASAN TEORI
II.1.
Pajak Pajak merupakan kewajiban setiap Wajib Pajak dalam bentuk pembayaran
kepada negara dimana penerimaan pajak tersebut digunakan oleh negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan negara.
II.1.1. Urutan Dasar Hukum Perundang-undangan Perpajakan Mengacu pada Zain (2003) setelah dilengkapi, pajak memiliki urutan dasar hukum perundang-undangan perpajakan, sebagai berikut: Gambar 2.1 UU Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2 “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan UU”
Undang-Undang Perpajakan
Peraturan Pemerintah / Keputusan Presiden
Keputusan / Peraturan Menteri Keuangan
Keputusan / Peraturan Dirjen Pajak
Surat Edaran Dirjen Pajak
7
II.1.2. Pengertian dan Fungsi Pajak ¾ Pengertian Pajak Soemitro, seperti yang dikutip oleh Mardiasmo (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h 1). Adriani, seperti yang dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubung
tugas
negara
untuk
menyelenggarakan pemerintahan” (h.10). Smeets, seperti yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2002) mendefinisikan, “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah” (h. 5). Soemahamidjaja, seperti yang dikutip oleh Ilyas dan Burton (2004) mendefiniskan, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum” (h. 5). Feldmann, seperti yang dikutip oleh Resmi (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum” (h. 1). 8
Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsurunsur : 1. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. ¾ Fungsi Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2003), terdapat dua fungsi pajak, yaitu : 1) Fungsi budgetair. Pajak adalah sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. 2) Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
9
II.1.3. Pengelompokan dan Tarif Pajak ¾ Pengelompokkan Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2003), terdapat tiga penggolongan pajak, yaitu : 1) Menurut golongannya. a. Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2) Menurut sifatnya. a. Pajak subyektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak obyektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 3) Menurut lembaga pemungutnya. a. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b. Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. ¾ Tarif Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2003), terdapat empat macam tarif pajak, yaitu : a. Tarif sebanding/proposional. Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. 10
b. Tarip tetap. Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. c. Tarif progresif. Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 17 tentang Pajak Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001), tarif yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi : 1. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,-
5%
Di atas Rp 25.000.000,- s.d Rp 50.000.000,-
10 %
Di atas Rp 50.000.000,- s.d Rp 100.000.000,-
15 %
Di atas Rp 100.000.000,- s.d Rp 200.000.000,-
25 %
Di atas Rp 200.000.000,-
35 %
2. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
10 %
Di atas Rp 50.000.000,- s.d Rp 100.000.000,-
15 %
Di atas Rp 100.000.000,-
30 %
d. Tarif degresif. Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. 11
II.1.4. Sistem Pemungutan Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2003), terdapat tiga sistem pemungutan pajak yaitu : a) Official Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2. Wajib Pajak bersifat pasif. 3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. b) Self Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. 2. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c) With Holding System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
12
Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
II.1.5. Pajak Penghasilan Suandy (2001) mendefinisikan, “Pajak penghasilan adalah pajak atas laba atau penghasilan kena pajak yang dapat mengurangi besarnya penghasilan bersih setelah pajak (after tax return)” (h. 12). Ikatan Akuntan Indonesia (2004) mendefinisikan, “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan” (h. 46.2).
II.1.5.1 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan ¾ Subjek Pajak Penghasilan Mengacu pada Djuanda dan Lubis (2006), yang menjadi subjek pajak adalah : 1). a. Orang pribadi b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2) Badan 3) Bentuk Usaha Tetap (BUT). Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 2 tentang Pajak Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001) menyatakan bahwa Subjek Pajak terdiri dari : 1) Subjek Pajak dalam negeri adalah : a) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 13
12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c) Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2) Subjek pajak luar negeri adalah : a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 3 tentang Pajak Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001) yang tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah : 1) Badan perwakilan negara asing. 2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar 14
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 4) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. ¾ Objek Pajak Penghasilan Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) tentang Pajak Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001) mendefinisikan, “Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun” (h 80). Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) tentang Pajak Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001), yang termasuk objek pajak adalah : a)
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
15
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh. b)
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c)
Laba usaha.
d)
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1)
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2)
Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
3)
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha.
4)
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e)
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
f)
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
g)
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h)
Royalti. 16
i)
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j)
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k)
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l)
Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m)
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n)
Premi asuransi.
o)
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p)
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 4 ayat (3) tentang Pajak
Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001), yang tidak termasuk sebagai objek pajak adalah : a. 1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. b. Warisan.
17
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa. f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia : 1) Dividen berasal dari cadangan laba ditahan, dan 2) Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi.
18
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1) Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
II.1.5.2. Biaya Fiskal dan Non Fiskal ¾ Biaya Fiskal Menurut Undang-undang No. 17 tahun 2000 Pasal 6 ayat (1) tentang Pajak Penghasilan dalam Undang-undang pajak (2001), menyatakan bahwa yang termasuk sebagai biaya fiskal atau biaya-biaya yang diperbolehkan mengurangi penghasilan bruto untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, adalah sebagai berikut : a) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi dan pajak kecuali Pajak Pengasilan. b) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
19
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A. c) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. e) Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. g) Biaya beasiswa, magang dan pelatihan. h) Piutang yang nyata-nyatanya tidak dapat ditagih, dengan syarat : 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial. 2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. 3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, dan 4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. ¾ Biaya Non Fiskal Mengacu pada Setiawan (2004), biaya yang termasuk sebagai biaya non fiskal atau biaya yang bukan merupakan pengurang penghasilan bruto yang terkait dengan Wajib Pajak badan didasarkan atas Pasal 9 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut : 20
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk pembayaran dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi, pembagian laba dan gaji yang dibayarkan Wajib Pajak yang berbentuk CV dan sejenisnya yang tidak terbagi atas saham serta semua biaya yang terkait dengan pembagian laba. b) Biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. 21
g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan yang tidak ada hubungan usaha, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh Pemeluk agama Islam kepada badan amil Zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. h) Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
II.2.
Pengelakan Pajak
II.2.1. Penyelundupan Pajak Balter, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak (apakah berhasil atau tidak) untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan
yang
berlaku
sebagai
pelanggaran
terhadap
perundang-undangan
perpajakan”(h. 49). Mortenson, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penyelundupan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan Wajib Pajak untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak” (h. 49).
22
Barr, James, dan Prest, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara illegal atas penghasilannya untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang” (h. 50). Anderson, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak” (h. 50). Mengacu pada pendapat Oliver Oldman yang telah dikutip oleh Zain (2003), menegaskan bahwa pengertian penyelundupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh : a) Ketidaktahuan (ignorance), yaitu Wajib Pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut. b) Kesalahan (error), yaitu Wajib Pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan, tetapi salah hitung datanya. c) Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu Wajib Pajak salah menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undang perpajakan. d) Kealpaan (negligence), yaitu Wajib Pajak alpa untuk menyimpan buku beserta buktibukti secara lengkap.
II.2.2. Penghindaran Pajak Balter, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan peraturan perudnangundangan perpajakan” (h. 49). Morteson, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk 23
meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya” (h. 49). Barr, James, dan Prest, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang” (h. 50). Anderson, yang telah dikutip oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak” (h. 50).
II.3.
Manajemen Pajak Suandy (2001) mendefinisikan, “Manajemen pajak adalah sarana untuk
memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”(h.7). Mengacu pada pendapat Suandy (2001), tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : a) Menerapkan peraturan perpajakan secara benar. b) Usaha efisien untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Sedangkan tujuan dari manajemen pajak itu sendiri dapat dicapai melalui fungsifungsi manajemen pajak yang terdiri dari : a) Perencanaan pajak (tax planning). b) Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation). c) Pengendalian pajak (tax control). 24
II.3.1. Perencanaan Pajak (Tax Planning) Mengacu pada pendapat Suandy (2001), perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Untuk meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah tax avoidance dan tax evasion. Pengertian dari tax avoidance dan tax evasion itu sendiri adalah : Suandy (2001) mendefinisikan, “Tax avoidance adalah rekayasa “tax affairs” yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan (lawful)” (h. 6). Suandy (2001) mendefinisikan, “Tax evasion adalah rekayasa “tax affairs” yang berada diluar bingkai peraturan perpajakan (unlawful)” (h. 6). Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan menyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain sebagainya.
II.3.2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) Mengacu pada Suandy (2001), apabila pada tahap perencanaan pajak telah diketahui faktor-faktor yang akan dimanfaatkan untuk melakukan penghematan pajak, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikannya baik secara formal maupun material. 25
II.3.3. Pengendalian Pajak (Tax Control) Mengacu pada Suandy (2001), pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi persyaratan formal dan material. Dalam pengendalian pajak yang penting adalah pengecekan pembayaran pajak. Oleh sebab itu, pengendalian dan pengaturan arus kas sangat penting dalam strategi penghematan pajak, misalnya dalam melakukan pembayaran pajak pada saat terakhir tentu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan membayar lebih awal.
II.4.
Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak Mengacu pada Suandy (2001), banyak motivasi yang mendasari dilakukannya
suatu perencanaan pajak (tax planning), namun semua itu bersumber dari adanya 3 unsur perpajakan yaitu : a) Kebijaksanaan perpajakan (tax policy). Kebijaksanaan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijaksanaan pajak (tax policy), faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak (tax planning) antara lain adalah pajak yang akan dipungut,siapa yang akan dijadikan subjek pajak , apa saja yang merupakan objek pajak, berapa besarnya tarif pajak.dan bagaimana prosedurnya. b) Undang-undang perpajakan (tax law). Kita menyadari bahwa kenyataannya dimanapun tidak ada Undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan lain (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan 26
Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan Undang-undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijaksanaan dalam mencapai tujuan yang lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk digunakan perencanan pajak yang baik. c) Administrasi perpajakan (tax administration). Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak (tax planning) dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan Wajib Pajak akibat dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif.
II.5.
Tahap Perencanaan Pajak Mengacu pada Suandy (2001), agar tax planning dapat berhasil sesuai dengan
yang diharapkan, maka perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut : a) Analisis informasi (data base) yang ada. Tahap pertama dari proses pembuatan tax planning adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak (tax burden) yang harus ditanggung. b) Buat satu model atau lebih rencana besarnya pajak. Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakan-tindakan berikut : 27
1. Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. 2. Pemilihan dari negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari negara tersebut. 3. Penggunaan satu atau lebih negara tambahan. c) Evaluasi atas perencanaan pajak. Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategik perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak (tax burden), perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternative perencanaan. d) Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak. Hasil suatu perencanaan pajak bisa dikatakan baik atau tidak tentunya harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan atau perundang-undangan. e) Mutakhirkan rencana pajak. Pemutakhiran dari suatu rencana adalah konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial. 28
II.6.
Perencanaan Pajak dalam Mengefisiensikan Beban Pajak Mengacu pada Suandy (2001), beberapa strategi untuk mengefisiensikan beban
pajak yaitu antara lain sebagai berikut : a) Mengambil keuntungan semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh UU. b) Pemilihan metode penilaian persedian. c) Pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan oleh peraturan perpajakan yang berlaku. d) Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi yang bukan obyek pajak. e) Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan. f) Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo. g) Menghindari pemeriksaan pajak. Mengacu pada Suandy (2001), beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengefisiensikan beban PPh Badan yaitu antara lain sebagai berikut : a) Pembukuan. Cash basis atau accrual basis. b) Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian kesajahteraan kepada karyawan. c) Pemilihan metode penilaian persediaan. d) Pemilihan sumber dana dalam pengadaan aktiva. e) Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak berwujud. f) Transaksi yang berkaitan dengan withholding tax. g) Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar. 29