BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Dasar-Dasar Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Dalam suatu Negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Ada beberapa definisi dari para ahli pajak yang semua memiliki arti dan pengertian yang sama. Pengertian pajak secara umum adalah : “ Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung yang hasilnya dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara”. Soemitro, seperti dikutip Waluyo dan Ilyas (2002) mendefinisikan, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (h. 5). Feldmann yang diterjemahkan oleh Resmi, S (2003) mendefinisikan, “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi
dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran
pengeluaran umum” (h. 1). 6
Pengertian pajak menurut Adriani dalam Zain, M (2003) menyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h. 10) Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah: 1.
Pajak
dipungut
berdasarkan
atas
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2.
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk
3.
Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
4.
Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
II.1.2. Fungsi-Fungsi Pajak Menurut Ilyas dan Burton (2004), pajak mempunyai beberapa fungsi yang berbeda dalam pelaksanaannya, antara lain : 1. Fungsi Budgeter Yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk 7
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah atau keperluan negara lainnya. 2. Fungsi Regulerend Yaitu fungsi dimana pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan, yang terkait dalam aspek kehidupan sosial, kehidupan masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan guna menciptakan kesejahteraan rakyat atau penduduknya. Fungsi ini umumnya dapat dilihat di dalam sektor swasta atau masyarakat umum. 3. Fungsi Demokrasi Yaitu suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. 4. Fungsi Distribusi Yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan sosial ekonomi dalam kehidupan dan keadilan masyarakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil). (h.8).
8
II.1.3. Pengelompokan Pajak Menurut Mardiasmo (2003) dalam bukunya yang berjudul Perpajakan, pengelompokan pajak dibagi atas : 1. Menurut golongannya a.
Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan
b.
Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut sifatnya a.
Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan
b.
Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3. Menurut lembaga pemungutannya a.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. 9
b.
Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : ● Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. ● Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. (h. 5, 6)
II.1.4. Sistem Pemungutan Pajak 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : 1)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2)
Wajib Pajak bersifat pasif.
3)
Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak.
2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. 10
2)
Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3)
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. (h. 6, 7)
II.1.5. Subjek Dan Objek Pajak Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang memiliki potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak yang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Yang menjadi subjek pajak menurut Pasal 2 ayat (1) undang-undang N0. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan mengelompokkan subjek pajak sebagai berikut: a. Subjek pajak orang pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia atau berada di luar Indonesia.
11
b. Subjek pajak badan badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam nama dan bentuk apapun, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya termasuk reksa dana. c. Subjek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan Indonesia, untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia. d. Subjek pajak warisan yang belum terbagi sebagai salah kesatuan menggantikan yang
berhak. Warisan yang bekum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan
subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. 1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari : a)
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
12
bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b)
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c)
Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak luar negeri a)
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melelui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b)
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (h. 105).
Yang tidak termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan, sesuai Pasal 3 Undang-undang Pajak Penghasilan: a. Badan Perwakilan negara asing b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain 13
diluar jabatan atau pekerjaan tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal-balik. c. Organisasi-organisasi internasional yang menetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat: -
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
-
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota,
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yang dimaksud dengan penghasilan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan. Yang termasuk penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang termasuk penghasilan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, tunjangan, gratifikasi uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, misalnya honor koreksi ujian, uang lembur dan lain-lain. 14
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha. 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota. c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilan usaha. d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang. 7. Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royalti. 9. Sewa dari penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang 15
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi. 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. 16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
II.2. Pajak Penghasilan II.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No. 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000, menyatakan salah satu jenis Pajak Penghasilan
adalah Pajak
Penghasilan Pasal 21. disebut Pajak Pennghasilan Pasal 21 karena diatur dalam Pasal 21 UU No 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000. Gunadi (2003) mendefinisikan, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan jenis Pajak Subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Pajak Penghasilan ini dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. (h.3)
16
Menurut Suandy, E. (2002), Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas pajak penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak . (h. 75).
II.2.2. Wajib Pajak dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Salah satu jenis Pajak adalah Pajak penghasilan Pasal 21. disebut Pajak Penghasilan pasal 21 karena diatur dalam Pasal 21 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Wajib Pajak PPh pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 1. Pejabat Negara, adalah : a) Presiden dan Wakil Presiden. b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. c) Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung. e) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. f) Menteri dan Menteri Negara. g) Jaksa Agung. h) Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi. i) Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten. j) Walikota dan Wakil Walikota. 17
2.
Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1974.
3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD. 4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala. 5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. 6. Pegawai Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalam apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. 7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua. 8. Penerima Honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya. 9. Penerima Upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
18
Objek Pajak PPh Pasal 21 Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Penghasilan yang dimaksud dalam perpajakan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipaksakan sebagai konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama atau dalam bentuk apapun. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 tanggal 23 Pebruari 2006 Pasal 5 adalah : 1.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah honorarium
(termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak. 2.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
3.
Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai.
19
4.
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (JHT), uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja.
5.
Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lain yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari : a)
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.
b)
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
c)
Olahragawan.
d)
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e)
Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f)
Pemberi jasa dalam bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial.
g)
Agen iklan.
h)
Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat.
i)
Pembawa pesanan atau menemukan langganan
j)
Peserta perlombaan. 20
k)
Petugas penjaja barang dagangan.
l)
Petugas dinas luar asuransi.
m)
Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai.
n)
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
6.
Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lainnya yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangantunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.
Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 Pasal 7 adalah : 1.
Pembayaran
asuransi
dari
perusahaan
asuransi
kesehatan,
asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. 2.
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2).
3.
Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
4.
Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
21
II.2.3. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 Hak-hak Wajib Pajak PPh Pasal 21 menurut Mardiasmo (2003) adalah : 1.
Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh pasal 21 final.
2.
Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak, jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
3.
Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan surat salinan suratr keputusan tesebut. Apabila badan peradilan pajak belum terbentuk, maka permohonan banding dapat diajukan kepada padan peradilan pajak . putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
22
Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1.
Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri. Surat pernyataan tersebut dibuat untuk mendapatkan pengurangan PTKP. Surat pernyataan tersebut harus diserahkan saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun.
2.
Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim.
3.
Wajib Pajak berkewajiban memasukan SPT tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. (h. 146 dan 147).
II.2.4. Hak Dan Kewajiban Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Mardiasmo (2003), yang bertindak sebagai Pemotong Pajak PPh pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan penyelenggara jamsostek, perusahaan, bentuk usaha tetap, yayasan, penyelenggara kegiatan yang membayar honorarium kepada Wajib Pajak. Sedangkan yang tidak termasuk Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah Badan perwakilan Negara asing dan Organisasi internasional yang dikecualikan sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1.
Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan pasal 21. Pengajuan permohonan dilakukan 23
secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan pajak sementara pajak terutang dalam satu tahun pajak. Pengajuan permohonan paling lambat tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. 2.
Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun yang bersangkutan.
3.
Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitumhkan untuk bulan-bulan berikutnya.
4.
Pemotong Pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, dengan syarat Direktur Jendral Pajak belum melakukan pemeriksaan.
5.
Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil.
6.
Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1.
Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
24
2.
Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak.
3.
Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetor PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
4.
Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh pasal 21 sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
5.
Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, dan penerima dana pensiun.
6.
Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap.
7.
Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tariff UU Nomor 17 tahun 2000.
8.
Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar.
9.
Pemotong Pajak wajib melampiri SPT tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.
25
10.
Pemotong Pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh Pasal 21 yang disetor. (h. 146-149).
II.2.5. Tarif Dan Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 adalah sebagai berikut : 1.
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari a.
Pegawai tetap, termasuk pejabat Negara, PNS, Anggota TNI / Polri, pejabat Negara lainnya, pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris, atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
b.
Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan.
c.
Pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai.
d.
Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya.
Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar : a.
Bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, termasuk iuran Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang
26
dipersamakan dengan dana pensiun, dan PTKP, yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan; b.
Bagi penerima pensiun yang bibayarkan secara bulanan adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP, yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan;
c.
Bagi pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai, dalam hal penghasilan dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), adalah penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP, yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan;
d.
Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan."
PPh pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pasal 17 UU PPh
2.
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto berupa : a.
Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
27
b.
Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
c.
Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.
d.
Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun.
PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x tarif pasal 17 UU PPh
3.
Tarif sebesar 15 %, ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek,dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris). Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
PPh Pasal 21 = ( Penghasilan Bruto x 50% ) x 15%
4.
Tarif sebesar 5% ditetapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 110.000,sehari tetapi tidak melebihi Rp 1.100.000,- dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.
28
PPh Pasal 21 sehari = ( Penghasilan Bruto Sehari – Rp 110.000,- ) x 5%
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Tabel II.1. Tarif Pajak atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Rp 0,-
s.d. Rp 25.000.000,-
5%
Rp 25.000.000,-
s.d. Rp 50.000.000,-
10%
Rp 50.000.000,-
s.d. Rp 100.000.000,-
15%
Rp 100.000.000,-
s.d. Rp 200.000.000,-
25%
Diatas Rp 200.000.000,-
35%
II.2.6. Pengurangan Penghasilan Bruto Yang Diperbolehkan Untuk menghitung besarnya PPh pasal 21 yang terutang kepada penerima penghasilan tertentu sebagai Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : 1.
a)
Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang besarnya 5 % dari penghasilan bruto sebagaimana
29
dimaksud dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,- setahun atau 108.000,- sebulan. b)
luran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2.
Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,- setahun atau Rp 36.000,- sebulan.
3.
Besarnya PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu dengan UU PPh pasal 17 tahun 2000, Keputusan Menteri Keuangan No. 564/ KMK.03 /2004, dan Peraturan Menteri Keuangan No.137/ PMK.03 / 2005
Tabel II.2. Penyesuaian PTKP Dari Waktu ke Waktu Keterangan
UU PPh Pasal
KMK No 564/
KMK No
17 Tahun
KMK 03/2004
137/
2000
PMK 03/2005
(2000 – 2004)
(2005)
(2006)
1. Untuk diri pegawai.
Rp 2.880.000
Rp 12.000.000
Rp 13.200.000
2. Tambahan untuk pegawa yang kawin.
Rp 1.440.000
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
30
3. Tambahan untuk seorang isteri yang
Rp 2.880.000
Rp 12.000.000
Rp 12.000.000
Rp 1.440.000
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. 4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah / semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, menjadi tanggungan sepenuhnya, yang paling banyak tiga orang.
4.
Keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang.
5.
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
6.
Bagi karyawati yang menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan diberikan tambahan PTKP sebesar Rp 1.200.000,setahun atau Rp 100.000,- sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya.
7.
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
31
8.
Pengurangan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) sampai (3) tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. Dalam menghitung penghasilan kena pajak, anak yang belum dewasa, digabung
dengan penghasilan orang tuanya. Dengan demikian meskipun anak tersebut telah memiliki penghasilan sendiri dalam menghitung PTKP tetap diperhitungkan sebagai tanggungan wajib pajak (orang tuanya).pengertian belum dewasa menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah mereka yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan menurut Undang-undang pajak adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Penghasilan yang telah diperoleh atau diterima anak yang telah dewasa (telah berumur 18 tahun atau lebih) akan dikenakan pajak tersendiri. Anak yang telah berumur 18 tahun atau lebih dan telah memperoleh penghasilan sendiri, tidak lagi diperhitungkan sebagai tanggungan dalam menghitung besarnya PTKP. Sebaliknya apabila wajib pajak mempunyai anak yang telah berumur 18 tahun atau lebih, tetapi masih menjadi tanggungan sepenuhnya wajib pajak (dan belum menikah), anak tersebut masih diperhitungkan sebagai tanggungan Wajib Pajak dalam menghitung besarnya PTKP.
II.2.7. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Suandy, E. (2002), penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan mengkalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif Pajak Penghasilan Kena
32
Pajak adalah penghasilan neto dikurang dengan PTKP. Penghasilan neto dihitung dengan 2 cara yaitu: 1.
Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan.
2.
Penghasilan bruto dikalikan dengan persentase norma penghiungan penghasilan neto.Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP.
3.
Besarnya
PTKP
ditentukan
berdasarkan
keadaan
pada
awal
tahun
takwim.Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. (h.113).
Berikut ini perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang pada pegawai tetap secara umum :
Gaji pokok
xxx
Jamsostek
xxx
Tunjangan-tunjangan
xxx +
Penghasilan bruto
xxx
Pengurangan: Biaya jabatan
xxx
Iuran pensiun
xxx
Iuran Jaminan Hari Tua
xxx + xxx -
Penghasilan neto sebulan
xxx
Penghasilan netto setahun
xxx 33
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : Wajib Pajak
xxx
Tambahan menikah
xxx
Tanggungan (maksimum 3)
xxx +
Penghasilan Tidak kena Pajak
xxx -
Penghasilan Kena Pajak
xxx
PPh Pasal 21 setahun terutang: 5%
( Penghasilan sampai dengan Rp 25.000.000,- )
10%
( Diatas Rp 25.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- )
15%
( Diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,- )
25%
( Diatas Rp 100.000.000,- sampai dengan Rp 200.000.000,- )
35%
( Diatas Rp 200.000.000)
II.3. Perencanaan Pajak II.3.1. Definisi Perencanaan Pajak Menurut Suandy, E. (2006), perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak dengan melakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis penghematan pajak yang akan dilakukan. Tujuan dari perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak,karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali (h. 7)
34
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, dan apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya ( h. 8). Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak karena pajak itu ikut mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara menganalisis dengan cermat dan memanfaatkan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan : a.
Perbedaan tarif pajak (tax rate).
b.
Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base)
c.
Loopholes, shelters dan havens. (h. 13).
II.3.2. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak Menurut E. Suandy (2006), dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat local maupun internasional, maka agar tax planning dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perncanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut :
35
1.
Menganalisis informasi yang ada.
2.
Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinana besarnya pajak
3.
Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak.
4.
Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
5.
Mutakhirkan rencana pajak. (h. 14).
II.3.3. Pengelolaan Efisiensi PPh dengan pemberian kesejahteraan Peluang melakukan efisiensi PPh badan sangat banyak yang dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan. Strategi yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan, sebagai berikut : 1.
Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2.
Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura, karena pemberian natura kepada karyawan tidak termasuk objek pajak PPh pasal 21 dan tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan.
3.
Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian kenikmatan dan natura akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.
36