BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu pendapatan negara yang berasal dari masyarakat yang digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Pendapatan dari sektor perpajakan merupakan pendapatan dalam negeri yang terbesar dan merupakan pendapatan yang menjadi unsur utama dalam menunjang kegiatan perekonomian,
menggerakan roda pemerintahan,
penyediaan fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional. Secara persentase, pendapatan dari sektor perpajakan memenuhi kurang lebih 70% pos pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukan bahwa pajak memiliki peranan penting dalam mewujudkan stabilitas roda kehidupan negara sehingga penerimaan pajak harus semakin ditingkatkan mengingat makin tingginya tuntutan kebutuhan dan makin kompleksnya tantangan jaman, terutama memasuki Era Globalisasi. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia memiliki berbagai macam pengeluaran rutin dalam rangka pembiayaan kebutuhan negara. Semakin besar pengeluaran tersebut, maka Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak sebagai salah satu instansi pemerintahan yang berada di bawah Departemen
1
Keuangan yang bertugas mengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha untuk melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak dengan cara mereformasi pelaksanaan sistem perpajakan (tax reform). Pajak
pada
umumnya
bersifat
dinamis
dan
terus
mengikuti
perkembangan perekonomian sehingga menuntut adanya perbaikan secara sistemik maupun operasional berupa penyempurnaan kebijakan dan sistem administrasi
perpajakan.
Seiring
dengan
terus
meningkatnya
target
penerimaan pajak setiap tahun, maka Dirjen Pajak terus melakukan berbagai upaya dan strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya dengan meningkatkan jumlah wajib pajak. Untuk mencapai keberhasilan tersebut, Pemerintah terutama Dirjen Pajak mulai melirik kegiatan usaha para pelaku Usaha Menengah dan Mikro Kecil (UMKM). Kegiatan UMKM merupakan salah satu kegiatan usaha yang dapat berkembang dalam perekonomian nasional. Menurut data terbaru dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, perkembangan jumlah UMKM periode 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar 2,41 persen yaitu dari 55.206.444 unit usaha pada tahun 2011 menjadi 56.534.592 unit usaha pada tahun 2012. UMKM merupakan pelaku usaha terbesar dengan persentase sebesar 99,9 persen dari total pelaku usaha nasional di Indonesia. UMKM telah menyumbang 59,08 persen dari produk domestik bruto yaitu menyampaikan sekitar Rp. 4.869.568,1 Milyar.
2
UMKM terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun dan memiliki peranan yang sangat signifikan pada perekonomian negara. Oleh karena itu Pemerintah berupaya mengoptimalkan penerimaan pajak pada sektor UMKM. Minimnya kepatuhan pajak (tax complain) dan pengetahuan para pelaku UMKM pada peraturan perpajakan yang berlaku menyebabkan potensi penerimaan pajak dari sektor UMKM belum tergali secara optimal. Dengan kondisi ini, maka Pemerintah mengeluarkan peraturan perpajakan baru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 tahun 2013. Peraturan baru ini akan mengikat para pelaku UMKM untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dengan mengenakan PPh final sebesar 1% atas penghasilan bruto (omzet). Pemerintah memberlakukan PP No. 46 tahun 2013 dalam rangka memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM dalam menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakan. Kemudahan yang diunggulkan dalam peraturan ini adalah mekanisme perhitungan, penyetoran dan pelaporannya. Kemudahan dan penyederhanaan ini diharapkan mempunyai dampak yang cukup signifikan untuk meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance) pada pelaku UMKM untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sehingga dalam jangka panjang akan membawa dampak pada peningkatan penerimaan pajak negara. Disisi lain, Menteri Keuangan menyatakan bahwa kesediaan UMKM untuk menerapkan PP No. 46 Tahun 2013 ini akan membawa UMKM ke level yang lebih tinggi dalam hal kemampuan untuk memperoleh akses ke sektor perbankan.
3
Namun sejak pertama kali diberlakukan pada 1 Juli 2013, PP No. 46 tahun 2013 telah menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Hal yang wajar mengingat setiap kebijakan dalam perpajakan pada dasarnya tidak akan diterima dengan ikhlas oleh masyarakat, apalagi bagi para wajib pajak ataupun calon wajib pajak yang akan terkena langsung dampaknya. Niat baik Pemerintah untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan peraturan perpajakan serta memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara tidak disambut dengan baik oleh sebagian masyarakat khususnya para pelaku UMKM. Berbagai kalangan keberatan atas penerapan peraturan baru ini karena dianggap terdapat potensi ketidakadilan dan tidak berpihak pada UMKM. Pelaku UMKM menganggap tarif PPh final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) dapat mengancam kelangsungan usaha mereka. Tarif ini dianggap hanya menguntungkan bagi UMKM yang telah memperoleh laba (profit) besar. Namun bagi UMKM yang baru berdiri dan memulai usaha serta memperoleh laba (profit) kecil atau bahkan rugi justru peraturan ini akan semakin memberatkan para pelaku UMKM karena beban pajak penghasilan yang akan mereka tanggung lebih besar sehingga tidak sesuai dengan keuntungan usaha yang diterima. Jika ditinjau dari aspek keadilan dalam perpajakan (equity principle), pengenaan PPh final 1% dalam PP No. 46 tahun 2013 tidak sesuai dengan aspek keadilan karena tidak mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay) pada wajib pajak. Pengenaan pajak yang memenuhi aspek keadilan
4
adalah bahwa semakin besar penghasilan yang diterima wajib pajak, maka semakin besar pula beban pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak tersebut. Hal ini disebut dengan keadilan vertikal (vertical equity). Penghasilan yang dimaksud disini adalah penghasilan neto, yaitu penghasilan bruto (omzet) yang dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan dalam peraturan perpajakan yang berlaku. PPh final 1% dalam PP No. 46 tahun 2013 dianggap tidak sesuai dengan konsep keadilan karena tarifnya dihitung langsung dari peredaran bruto (omzet). Betapa tidak, besar atau kecilnya penghasilan neto wajib pajak tidak akan mempengaruhi besarnya beban pajak yang akan dibayar karena pajak dihitung dengan mengalikan tarif langsung dari peredaran bruto (omzet). Bahkan dalam keadaan rugi pun, dengan pengenaan PPh final 1% ini wajib pajak tetap diwajibkan membayar pajak. Selain itu dalam PP No. 46 tahun 2013, kerugian yang dialami wajib pajak tidak diakui dan tidak dapat dikompensasikan. Kondisi ini semakin dipersulit dengan berlikunya birokrasi dalam administrasi penerapan PP No. 46 tahun 2013. Banyak wajib pajak UMKM terkendala ketidakmudahan administrasi ketika penerapan PP No. 46 tahun 2013 ini dilengkapi dengan terbitnya Peraturan Direktorat Jendral Pajak No. 32 tahun 2013 yang mengatur ketentuan mengenai penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) dan persoalan legalisasi SKB yang sangat rumit. Ketidakmudahan administrasi tersebut terjadi pada dua hal yaitu proses permohonan SKB dan proses permintaan legalisasi SKB. Supaya pelaku
5
UMKM tidak dikenakan pemotongan PPh 21, 22, dan 23 oleh lawan transaksinya, maka setiap pelaku UMKM mengeluarkan tagihan (invoice) diharuskan melampirkan SKB yang telah dilegalisir oleh KPP terdaftar. Dalam permohonan legalisasi tersebut pelaku UMKM diharuskan membuat surat permohonan legalisasi SKB per masing-masing lawan transaksi dan dilampiri oleh Surat Setoran Pajak yang juga dipisah per masing-masing lawan transaksi. Hal inilah yang membuat administrasi pelaksanaan penerapan menjadi tidak mudah dan sesederhana seperti yang telah diumumkan Pemerintah. Persoalan lain timbul saat pajak penghasilan 1% telah disetor namun di sisi lain lawan transaksi (pemberi kerja) belum melakukan pembayaran. Ini artinya, pelaku UMKM harus membayar pajak penghasilan 1% ini terlebih dahulu atau istilah lainnya menalangi pajak tersebut dengan kas nya sendiri. Hal ini juga memberatkan mereka dalam mengatur kas dalam operasional usahanya. Penerapan PP No. 46 tahun 2013 juga dianggap mundur dari konsep Self-Assesment. Penerapan peraturan ini tidak tepat jika hanya dilihat dari sisi kemudahan dan kesederhanaan. Bagi wajib pajak yang selama ini kesulitan dalam menjalankan pembukuan bagi usahanya, peraturan ini dapat memudahkan dan membantu mereka. Namun bagi wajib pajak yang selama ini telah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dan menghitung pajak penghasilan dari penghasilan kena pajak yang senyatanya dari hasil
6
pembukuan setelah dilakukan koreksi fiskal, penerapan peraturan ini menjadi suatu kemunduran bagi mereka. Betapa tidak, konsep dari Self-Assesment yang memberikan kepercayaan bagi wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetor,
dan
melaporkan
sendiri
kewajiban
perpajakannya jelas menjadi tidak berfungsi. Kebijakan pengenaan pajak dalam peraturan ini juga tidak selaras dengan tujuan utama Self-Assesment yaitu kepatuhan membayar pajak secara sukarela (Voluntary Compliance). Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan penerapan PP No. 46 tahun 2013 dan dampaknya bagi beban pajak penghasilan yang harus ditanggung oleh UMKM. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat perkembangan penerapan PP No. 46 tahun 2013 dan dampaknya bagi kelangsungan usaha para Pelaku UMKM dalam mempertahankan usahanya. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta yang merupakan salah satu daerah strategis yang banyak terdapat UMKM. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu adanya analisa atas dampak yang ditimbulkan oleh penerapan PP No. 46 tahun 2013 terhadap beban pajak penghasilan yang harus ditanggung para pelaku UMKM dan dampaknya terhadap kelangsungan UMKM itu sendiri. Penulis berharap penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya serta dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis membuat
judul “Pengaruh Penerapan Peraturan
7
Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Terhadap Beban Pajak Penghasilan dan Profitabilitas Pada Usaha Mikro Kecil Menengah (Studi Kasus Pada Wajib Pajak Badan UMKM di Wilayah Jakarta Selatan)”.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan pada penelitian ini, sebagai berikut: 1. Apakah penerapan PP No. 46 Tahun 2013 berpengaruh terhadap beban pajak penghasilan? 2. Apakah penerapan PP No. 46 Tahun 2013 berpengaruh terhadap profitabilitas?
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi mengenai pengaruh penerapan Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 terhadap beban pajak penghasilan dan profitabilitas pada usaha mikro kecil menengah. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah: 1.1. Untuk menguji pengaruh penerapan PP No. 46 Tahun 2013 terhadap beban pajak penghasilan.
8
1.2. Untuk menguji pengaruh penerapan PP No. 46 Tahun 2013 terhadap profitabilitas. 2. Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan wawasan yang dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 2.1. Manfaat penelitian bagi pengembangan ilmu: Manfaat dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan
dalam
memahami
dan
menerapkan
kebijakan
Pemerintah terkait Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013. 2.1.1. Manfaat penelitian bagi praktisi: a. Bagi Pemerintah: Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membuat kebijakan peraturan perpajakan yang dapat memperbaiki sistem perpajakan demi meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan penerimaan pajak; b. Bagi Wajib Pajak UMKM: Memberikan saran dan masukan agar Wajib Pajak UMKM dapat memahami dan menerapkan peraturan perpajakan yang berlaku dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak guna membantu Pemerintah dalam pengelolaan perekonomian Negara.
9