BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam
menopang pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri. Besar kecilnya pajak akan menentukan kapasitas anggaran dalam negeri, baik dalam membiayai pengeluaran negara, pembangunan maupun untuk biaya rutin negara. Oleh karena itu segala upaya ditingkatkan agar penerimaan negara dari sektor pajak meningkat baik dari subjek ataupun pajak yang ada (Gunadi, 2012). Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kas ke sektor pemerintah berdasarkan Undang-Undang) dapat dipastikan dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (Soemitro, 1999). Langkah pemerintah sebagai fiskus untuk meningkatkan penerimaan pajak telah dimulai melalui reformasi perpajakan pada tahun 1983 dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Sejak berlakunya reformasi, Indonesia menganut sistem self assessment. Meskipun, penerapan sistem tersebut secara signifikan telah mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak, kendala pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak tetap saja sulit dihindari (Ameili, 2014).
1
2
Menurut Mardiasmo (2011) sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, dan With Holding System. Pada Official Assessment System tanggung jawab pemungutan pajak sepenuhnya pada pemerintah atau fiskus, sedangkan dalam Self Assessment System pemungutan pajak diserahkan kepada Wajib Pajak untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya mulai dari menghitung, memperhitungkan, membayar atau menyetor dan melaporkan berapa besar pajak terutang. Seperti berita yang diambil dari media pajak.go.id hari Selasa, 29 September 2015 dalam judul “Tahun Pembinaan Wajib Pajak, DJP Lebih Ramah Dalam Memungut Pajak” yang dikemukakan oleh Sigit Priadi Pramudito bahwa Indonesia menganut sistem self assessment dalam pemungutan pajaknya. Artinya, Wajib Pajak diberikan keleluasaan untuk mendaftarkan diri, menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya. Wajib Pajak adalah pahlawan bangsa melalui pajak yang dibayarkannya. Karena melalui sistem self assessment yang menjadi tujuan utama adalah kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak untuk jujur melaporkan usahanya. Kepatuhan Wajib Pajak adalah faktor penting dalam merealisasikan target penerimaan pajak. Semakin tinggi kepatuhan Wajib Pajak, maka penerimaan pajak akan semakin meningkat, demikian pula sebaliknya. Kepatuhan Wajib Pajak mencakup kepatuhan mencatat atau membukukan transaksi usaha, kepatuhan melaporkan kegiatan usaha sesuai peraturan yang berlaku, serta kepatuhan terhadap semua aturan perpajakan lainnya. Di antara ketiga jenis kepatuhan tersebut, yang paling mudah diamati adalah kepatuhan melaporkan
3
kegiatan usaha, karena seluruh Wajib Pajak berkewajiban menyampaikan laporan kegiatan usahanya setiap bulan dan setiap tahun dalam bentuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Namun, masih terdapat beberapa Wajib Pajak mempunyai kepatuhan yang buruk dengan tidak membuat dan menyampaikan laporan kegiatan usaha secara periodik, baik laporan bulanan maupun tahunan (Amin Laili, 2014). Berikut adalah data penerimaan pajak dan pelaporan SPT dari tahun 2009 hingga 2011: Tabel 1.1 Penerimaan Pajak dan Pelaporan SPT Tahun 2009-2011 Uraian/Tahun
2009
2010
2011
WP Terdaftar
10.682.099
15.911.576
19.112.590
33%
33%
17%
Wajib Pajak
9.996.620
14.101.933
17.694.317
SPT Tahunan
5.413.114
8.202.309
9.332.657
54%
58%
53%
243.591
265.265
315.490
6%
8%
16%
% kenaikan jumlah WP
Rasio kepatuhan SPT Tahunan Penerimaan PPH (Milyar Rupiah) % Kenaikan Penerimaan
Sumber : Buyung Muniriyanto (2014) Dilihat dari tabel 1.1 di atas dapat diketahui bahwa peneriman pajak dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 tidak mengalami kenaikan yang signifikan
4
jika dibandingkan dengan kenaikan Wajib Pajak terdaftar. Penerimaan pajak yang dapat dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak hanya tumbuh sekitar 13% pertahun. Meskipun Wajib Pajak terdaftar meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun 2009 sampai tahun 2011, penerimaan pajak hanya meningkat kurang dari 50% di tahun 2011. Hal tersebut menurut Buyung Muniriyanto sangat dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Rasio kepatuhan Wajib Pajak sendiri sangatlah rendah hanya berkisar dibawah 60%. Seperti berita yang diambil dari Harian Bisnis (www.ortax.org) hari Senin, 30 Juli 2012 dalam judul “Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Rendah” yang dikemukakan oleh Danny Darussalam selaku Pengamat Pajak Tax Centre UI Darussalam bahwa pada tahun 2012 persentase tingkat kepatuhan Wajib Pajak juga masih tergolong sangat rendah, tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut sumber data dari Dirjen Pajak, pada tahun 2012 jumlah pajak yang terkumpul mencapai Rp 976 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 19% dari tahun sebelumnya, namun persentase tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada tahun 2012 masih tergolong sangat rendah, tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Realisasi pelaporan surat pemberitahuan pajak tahunan semester I/2012 yang hanya mencapai 45,5% dari 22 juta Wajib Pajak terdaftar, dinilai menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Penerimaan negara dari sektor pajak pada tahun 2013, menurut Fuad Rahmani yang dikutip dari “Penerimaan Pajak 2013 Sebesar Rp 1.072,1 Triliun” (www.ekon.go.id) pada hari Selasa 7 Januari 2014 menyatakan kementerian keuangan mencatat penerimaan negara dari sektor pajak sebesar Rp
5
1.072,1 triliun atau mencapai 93,4%. Namun pencapaian tersebut masih berada dibawah target Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 yang sebesar Rp 1.148,4 triliun. Fakta yang ditemukan di lapangan, tingkat kepatuhan masih tergolong rendah sementara tingkat Wajib Pajak yang terdaftar mengalami peningkatan, seperti berita yang diambil dari media ortax.org hari Senin, 7 September 2015 dalam judul “Realisasi Penerimaan Pajak Kian Suram” yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito. Beliau mengatakan, sampai akhir Agustus 2015, realisasi pajak hanya Rp 592,5 triliun. Ini 2,23% lebih rendah dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak periode sama 2014 yang mencapai Rp 606 triliun. Dengan gambaran itu, Dirjen Pajak mengindikasikan, kekurangan penerimaan pajak atau shortfall akan lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya, yaitu Rp 120 triliun. Fakta yang sama juga ditemukan di media online ortax.org pada Rabu, 16 September 2015 dalam judul “Kepatuhan Lapor Pajak 2015 Turun” menurut Mekar Satria Utama selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak menyatakan kewajiban formal Wajib Pajak Indonesia tergolong rendah. Dari tahun ke tahun, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan belum juga berhasil membenahi kepatuhan Wajib Pajak melaporkan pajaknya. Data Ditjen Pajak menunjukkan, tingkat kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi per 10 September 2015, baru 56,36%. Angka tersebut diperoleh dari jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak orang
6
pribadi dibandingkan dengan jumlah orang pribadi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Khususnya di Indonesia pajak sangat berdampak besar untuk kestabilitasan keuangan dan anggaran negara. Untuk itu dari tahun ke tahun kiatkiat dalam penerimaan pajak terus ditingkatkan. Mulai dari perbaikan sistem perpajakan itu sendiri, baik dari kualitas pelayanan, fasilitas, Sumber Daya Manusia yang ada dalam perpajakan dan sebagainya. Dalam hal ini kegiatan perpajakan dipegang oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah pengawasan Departemen Keuangan Republik Indonesia. Kebijakan tersebut dilakukan untuk memenuhi penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan yang berguna untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak dan untuk mendapatkan sumber hukum pajak lainnya (www.pajak.go.id). Salah satu kriteria Wajib Pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan NO.235/KMK.03/2003 adalah kepatuhan dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Berikut data jumlah Wajib Pajak yang terdaftar di Indonesia yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya pada periode 20092011 yang disajikan pada Tabel 1.2 berikut ini :
7
Tabel 1.2 Jumlah Wajib Pajak Terdaftar di Indonesia Periode 2009-2011 Tahun
Jenis Wajib Pajak
2009
2010
2011
Orang Pribadi
13.949.750
17.327.184
19.913.904
434.355
467.984
507.844
1.580.287
1.737.459
1.942.811
15.964.392
19.532.627
22.364.559
Bendahara Badan Jumlah
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak (2011) Kualitas pelayanan pajak atau fiskus dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak. Sehingga definisi kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta kegiatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono, 2007). Perilaku pelayanan fiskus dalam melayani masyarakat, besar kecilnya berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah agar dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas pelayanan fiskus atau pegawai pajak. Pelayanan fiskus juga merupakan hal penting dalam menggali penerimaan negara dimana fiskus seharusnya melayani para Wajib Pajak dengan jujur, profesional dan bertanggung jawab. Menurut Parasuraman dalam Lupiyoadi (2001), terdapat 5 aspek kualitas pelayanan agar dapat memberikan kepuasan bagi pengguna jasanya, yaitu Responsiveness (Ketanggapan), Reliability (Keandalan), Empathy (Empati), Assurance (Jaminan), dan Tangible (Bukti Fisik/Langsung).
8
Selain kualitas pelayanan fiskus yang harus diperhatikan, Wajib Pajak juga harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Biaya ini biasa disebut dengan Compliance Cost. Biaya kepatuhan adalah biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi persyaratan perpajakan yang dikenakan pada mereka oleh hukum dan otoritas tertentu (Sandford, 1989). Biaya kepatuhan bukan hanya dalam artian uang (Direct Money Cost), tetapi juga waktu (Time Cost) dan pikiran (Psychological Cost). Wajib Pajak yang telah berusaha patuh untuk membayar kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-Undang perpajakan yang berlaku, berharap agar dapat mengeluarkan biaya-biaya seminimal mungkin yang terkait dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Oleh sebab itu, apabila biaya kepatuhannya berubah maka akan berpengaruh terhadap kepatuhan itu sendiri. Hingga saat ini penelitian-penelitian perpajakan menyatakan bahwa biaya kepatuhan yang ditanggung oleh Wajib Pajak relatif besar. Temuan mengenai Tax Compliance Costs (Biaya Kepatuhan Perpajakan) pada National Tax Journal 2005 lalu dinyatakan dalam satuan uang dan waktu oleh John L.Guyton (2005) pada tabel 1.3 di bawah ini :
9
Tabel 1.3 Biaya Kepatuhan Perpajakan Berdasarkan Karakteristik Terpilih Waktu (Jam)
Biaya (Dollar)
Wage and Investment
14,90
$74
Self-Employed
58,80
$364
Berdasarkan Tipe Wajib Pajak
Berdasarkan Metode Persiapan Pembayaran Paid Preparation
27,50
$243
Self Preparation w/o Software
18,10
$17
Software Preparation
37,30
$53
Kertas
28,80
$154
TeleFile
9,50
$4
E-File lainnya
21,10
$152
RATA-RATA
26,40
$150
Bedasarkan Metode Submission
Sumber : John L. Guyton (2005) Penelitian terbaru oleh Sharon Smulders et. Al (2012) juga menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa biaya kepatuhan perpajakan yang ditanggung Wajib Pajak relatif besar. Dalam penelitiannya, Sharon menyajikan time costs pajak berdasarkan aktifitasnya dalam setahun pada tabel 1.4 dibawah ini :
10
Tabel 1.4 Time Costs Berdasarkan Aktifitas Biaya Kepatuhan Perpajakan AKTIFITAS
Waktu Rata-rata (Jam)
Persentase (%)
Pencatatan informasi terkait pajak.
289
66,7
Menghitung pajak, melengkapi return dan pembayaran.
47
10,8
Berhadapan dengan kantor pajak (mendatangi, telepon, email).
17
4,0
Tax Planning dan konsultasi perpajakan.
16
3,9
Berhadapan dengan konsultan eksternal dan penyedia informasi.
29
6,8
Belajar mengenai hukum pajak, membaca, web browsing.
33
7,7
Aktifitas lainnya.
3
0,1
434
100
TOTAL Sumber : Sharon Smulders et. al (2012)
Barbone et. AI (2012) menyatakan bahwa kepatuhan tidak akan terjadi tanpa adanya effort (usaha), dalam istilah ekonomi, effort hanyalah bahasa lain untuk “biaya”. Sehingga menjadi warga negara yang patuh pada hukum, dibutuhkan effort yang lebih, yakni Biaya Kepatuhan. Berdasarkan uraian di atas, keberhasilan penerimaan pajak suatu negara tergantung kepada upaya pemerintahnya dalam meningkatkan kepatuhan.
11
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah antara lain menciptakan pelayanan publik yang profesional, mengelola uang pajak secara adil dan transparan, membuat peraturan perpajakan yang sudah dipahami Wajib Pajak dan meningkatkan tindakan penegakan hukum kepada Wajib Pajak yang tidak patuh. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk memilih judul “Pengaruh Biaya Kepatuhan Perpajakan (Cost Of Compliance) dan Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak” 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas,
maka masalah penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) terhadap kepatuhan Wajib Pajak. 2. Bagaimana pengaruh kualitas pelayanan fiskus terhadap kepatuhan Wajib Pajak. 3. Bagaimana pengaruh biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) dan kualitas pelayanan fiskus terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
1.3
Tujuan Penelitian Maksud dilakukannya penelitian ini untuk memperoleh bukti empiris
mengenai variabel yang diteliti yaitu Biaya Kepatuhan Perpajakan (Cost Of Compliance) dan Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.
12
Kemudian, sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk menguji pengaruh Biaya Kepatuhan Perpajakan (Cost Of Compliance) terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. 2. Untuk menguji pengaruh Kualitas Pelayanan Fiskus terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. 3. Untuk menguji pengaruh Biaya Kepatuhan Perpajakan (Cost Of Compliance) dan Kualitas Pelayanan Fiskus terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.
1.4
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan
manfaat pada beberapa pihak diantaranya : 1. Bagi penulis Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama, serta untuk menambah wawasan pengetahuan dan daya nalar sebagai bagian dari proses belajar sehingga dapat lebih memahami bagaimana sebenarnya aplikasi dari teori-teori yang telah penulis peroleh selama duduk di bangku kuliah, tentunya dengan topik yang penulis pilih.
13
2. Bagi Instansi Pajak Sebagai sumber informasi dan bahan masukan bagi instansi pajak untuk mempertimbangkan
dan
menilai
kebijakan-kebijakan
yang
telah
ditetapkan oleh perusahaan dalam hal tentang pengaruh biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) dan kualitas pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib pajak. 3. Bagi Pihak Lain Sebagai masukan untuk meningkatkan pengetahuan dan menjadi bahan referensi untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, penulis akan
melaksanakan penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying di Jalan Purnawarman No. 21 Bandung, yang dilaksanakan pada bulan November tahun 2015 sampai dengan bulan Desember 2015.