BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pemahaman Perpajakan
II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan utama bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan guna kepentingan bersama. Ada beberapa definisi mengenai pajak yang memiliki arti sama yaitu; Definisi pajak menurut Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 angka 1 menjelaskan: ”Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Prof. Dr. PJA Adriani, Pajak yang dikutip kembali oleh buku karangan Brotodihardjo (2001), yang mendefinisikan pajak sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. (h.2). Sementara itu definisi menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H, yang dikutip dari buku karangan Mardiasmo (2006), ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa 6
timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar keperluan umum”. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya dengan bunyi sebagai berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya yang digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment” (h.1). Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai definisi di atas mengenai pajak adalah: 1. Iuran pajak berasal dari wajib pajak kepada negara 2. Pajak bersifat memaksa berdasarkan undang-undang serta peraturan-peraturan 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi yang secara langsung 4. Digunakan untuk keperluan umum yang bermanfaat bagi masyarakat luas
II.1.2 Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah: 1. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. 2. Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. 7
3. Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak yang harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan yaitu: a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang. b. Unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. 4. Teori Bakti Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
II.1.3 Fungsi-Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2006) sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, ada dua fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
8
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi. ( h. 1)
II.1.4 Pengelompokkan Pajak Pajak dapat dikelompokan berdasarkan golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutannya: 1. Pengelompokkan pajak menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai 2. Pengelompokkan pajak menurut sifatnya a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Menurut lembaga pemungutnya
9
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: •
Pajak Propinsi, yaitu Pajak kendaraan bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan bermotor, Bea Balik Nama kendaraan Bermotor
•
Pajak Kabupaten/Kota, yaitu pajak hiburan, pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame
II.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Ada tiga macam sistem pemungutan pajak, yaitu 1. Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 2. Self Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. 3. Witholding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
10
II.2
Pemahaman Pajak Penghasilan Pasal 21
II.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum PPh Pasal 21 Penghasilan adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dasar hukum Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 lalu diubah kembali menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun 1994. Perubahan ketiga yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009. Selain itu juga berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP545/PJ/2000 yang diubah dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 15/PJ/2006, yang terbaru adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan PER31/PJ/2009.
II.2.2 Wajib Pajak PPh Pasal 21 dan Wajib Pajak PPh Pasal 21 Yang Dikecualikan
11
Penerima Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 menurut KEP545/PJ/2000 yaitu: 1. Pejabat Negara, adalah Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/kota; Ketua dan Wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan; Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung; Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung; Menteri dan Menteri Negara; Jaksa Agung; Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Kabupaten; Walikota dan Wakil Walikota Kepala Daerah Kota. 2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Swasta (BUMD). 4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur dan terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung. 5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. 6. Pegawai Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang yang bersangkutan bekerja. 12
7. Penerima Pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. 8. Penerima honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya. 9. Penerima Upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan. Sedangkan untuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 terdapat perubahan terhadap Wajib Pajak PPh Pasal 21. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan: 1. Pegawai 2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya 3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi: a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya c. Olahragawan d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah 13
f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonom, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitian g. Agen iklan h. Pengawas atau pengelola proyek i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara j. Petugas penjaja barang dagangan k. Petugas dinas luar asuransi l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya 4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang e. Peserta kegiatan lainnya Dalam PMK-252/PMK.03/2008 mengalami perbaikan dan lebih jelas makna dari pegawai tetap dan pegawai tidak tetap atau pegawai lepas. Berikut definisinya: 1. Pegawai tetap, adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas
yang secara retatur terus menerus ikut mengelola kegiatan 14
perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut. 2. Pegawai tidak tetap atau pegawai lepas, adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Subjek Pajak tidak semuanya termasuk sebagai Wajib Pajak PPh Pasal 21. Pengecualian Wajib Pajak PPh Pasal 21 menurut PER-15/PJ./2006 adalah: 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan
No.574/KMK.04/2000
tentang
Organisasi-Organisasi
Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Sebagai Subjek Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No.601/KMK.03/ 2005, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
15
II.2.3 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 Wajib Pajak mempunyai hak atas PPh pasal 21 yaitu: 1. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. 2. Wajib Pajak berhak mengajukan keberatan kepada Direktur Jendral Pajak, jika PPh Pasal 21 yang dipotong tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. 3. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas ke Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatan.
Kewajiban Wajib Pajak PPh pasal 21 yaitu: 1. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak. 2. Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim. 3. Wajib Pajak berkewajiban memasukkan SPT tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja.
II.2.4 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak PPh Pasal 21
16
Objek PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong oleh pemotong pajak untuk dikenakan PPh pasal 21, yang termasuk objek pajak PPh pasal 21 berdasarkan PER-15/PJ/2006 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun 2.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap
3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai 4.
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja
5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan 17
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri a. Tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) b. Pemain musik pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya c. Olahragawan d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial g. Agen iklan pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan h. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan i. Peserta perlombaan j. Petugas penjaja barang dagangan k. Petugas dinas luar asuransi l. Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan m. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang 18
sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya Namun di dalam PMK-252/PMK.03/2008 terdapat perubahan mengenai objek PPh Pasal 21. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya 3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan 5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorariumh, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. Sedangkan yang bukan merupakan objek PPh Pasal 21 adalah: 1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa
19
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah 5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan
II.2.5 Pemotong PPh Pasal 21 Pemotong PPh Pasal 21 yang wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pasal 21 atau ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 menurut KEP 545/PJ./2000 adalah: 1. Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap baik induk maupun cabang, perwakilan unit, bentuk usaha tetap, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dalam nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan pegawai atau bukan pegawai
20
2. Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi, atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dalam nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan 3. Dana pensiun, PT Taspen, PT Jamsostek, dan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua 4. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang membayar honorarium, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya 5. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang membayar honorarium, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri 6. Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga dan kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, perkumpulan, dan organisasi dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. 7. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.
21
8. Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional,
perkumpulan,
orang
pribadi
serta
lembaga
lainnya
yang
menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan Namun, menurut PMK 252/PMK.03/2008 terdapat beberapa perubahan mengenai pemotong PPh Pasal 21, untuk nomor empat (4) sampai dengan delapan (8) dihapus dan diubah menjadi: 1. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar: a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/ atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang 2. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan 22
II.2.6 Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Hak-hak pemotong pajak PPh Pasal 21 adalah: 1. Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan Pasal 21. Pengajuan permohonan dilakukan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai penghitungan pajak sementara pajak terutang dalam satu tahun pajak. 2. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun yang bersangkutan. 3. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT tahunan dengan PPh pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan. 4. Pemotong pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, dengan syarat Direktur Jendral Pajak belum melakukan pemeriksaan. 5. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetepan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil. 6. Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Kewajiban pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah: 23
1. Pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak setempat. 2. Pemotong pajak mengambil sendiri Formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak. 3. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang terhutang setiap bulan takwim. 4. Pemotong pajak wajib melakukan penyetoran PPh Pasal 21 sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke kantor pelayanan pajak selambatlambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya. 5. Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua dan penerima dana pensiun. 6. Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir 7. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah Pajak PPh Pasal 21 yang terhutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan. 8. Pemotong pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar. 9. Pemotong pajak wajib melampirkan SPT tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiranlampiran yang ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.
24
10. Pemotong pajak wajib menyetorkan kekurangan PPh Pasal 21 yang terhutang apabila jumlah PPh Pasal 21 yang terhutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripada PPh Pasal 21 yang disetor.
II.2.7 Tarif Pajak PPh Pasal 21 Tarif Pajak PPh Pasal 21 menggunakan tarif progresif dimana penghasilan yang semakin besar akan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Untuk perhitungan pajak berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 17 maka tarif yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel II.1 Tarif Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Menurut UU PPh no 17 Tahun 2000 Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
5%
Di atas Rp 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00
10%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00
15%
Di atas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 200.000.000,00
25%
Di atas Rp 200.000.000,00
35%
Sedangkan untuk tarif pajak berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009 adalah sebagai berikut: Tabel II.2 Tarif Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Menurut UU PPh no 36 Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
5%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 250.000.000,00
15%
Di atas Rp 250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00
25%
Di atas Rp 500.000.000,00
30% 25
Ada satu hal yang sangat penting untuk kita ketahui dan perhatikan, yaitu Pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP, yaitu Besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Hal ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (5a) Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008.
II.2.8 Penghasilan Tidak Kena Pajak Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan salah satu pengurang penghasilan dan sebagaimana diketahui telah beberapa kali mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan perkembangan ekonomi, harga kebutuhan bahan pokok yang semakin meningkat sehingga diperlukan penyesuaian besarnya PTKP. Sejak tercantum dalam Undang-Undang PPh nomor 17 tahun 2000 sampai dengan sekarang, PTKP telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Pada 29 November 2004 dikeluarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
nomor
564/KMK.03/2004
tentang
penyesuaian besarnya PTKP yang berlaku sejak 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2005. Pada 30 Desember 2005 Menteri Keuangan kembali mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Desember 2008. Berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 7, PTKP kembali mengalami perubahan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009.
26
Tabel II.3 Perubahan PTKP Keterangan
Untuk Diri Wajib Pajak
UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 7
PerMenkeu No. 564/KMK.03/ 2004 Rp 12.000.000
PerMenkeu No. 137/PMK.03/ 2005 Rp 13.200.000
Rp 15.840.000
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
Rp 1.320.000
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
Rp. 1.320.000
Orang Pribadi Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga . Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Dalam Garis lurus, dibedakan garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas. Garis lurus ke bawah merupakan hubungan antara bapak dan keturunannya; sedangkan garis lurus ke atas adalah hubungan antara seseorang dan mereka yang menurunkannya. 27
Sedangkan Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami-istri dan kelurga sedarah dari pihak lain. Derajat kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama seperti cara menghitung derajat kekeluargaan sedarah. Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Hubungan sedarah: a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak kandung b. Kesamping satu derajat : Saudara Kandung (kakak, Adik kandung) 2. Hubungan Semenda : a. Lurus satu derajat : Mertua, Anak Tiri b.
Kesamping satu derajat : Saudara Ipar (Adik Ipar, kakak Ipar) Berdasarkan skema tersebut, yang termasuk dalam pengertian keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus yaitu : ayah, ibu dan anak kandung. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yaitu: ayah mertua, ibu mertua dan anak tiri. Anggota keluarga sedarah dan semenda berikut ini tidak dapat diperhitungkan sebagai tanggungan untuk penghitungan tambahan PTKP. 1. Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu derajat 2. Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu derajat 3. Saudara dari bapak atau ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus 28
Selain untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat, tambahan PTKP juga diberikan untuk wajib pajak yang memiliki tanggungan anak angkat. Namun demikian jumlah tanggungan yang diperhitungkan dalam PTKP dibatasi maksimum 3 orang. Pengertian anak angkat yang dapat diperhitungkan dalam perundang-undangan pajak ditentukan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Seseorang yang belum dewasa 2. Yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus dari Wajib Pajak 3. dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak. Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan keadaan yang dapat terlihat dari keadaan yang nyata yaitu tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak, nampak secara nyata tidak mempunyai penghasilan sendiri, tidak pula turut dibantu oleh lain-lain anggota keluarga atau oleh orang tuanya sendiri. Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung jawab dan sebagainya, maka tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya. Status Wajib Pajak terdiri dari: 1. Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misal TK/1: tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2, TK/3, dan TK/0 2. Kawin beserta tanggungannya. Misal Kawin tanpa tanggungan (K/0), kawin dengan satu tanggungan (K/1), K/2, K/3. Wajib Pajak untuk status seperti ini berarti Wajib Pajak Kawin, istrinya tidak mempunyai penghasilan atau mempunyai penghasilan tetapi tidak digabungkan dengan penghasilan suaminya di SPT PPh Orang Pribadi 29
3. Kawin, istri punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suaminya, serta jumlah tanggungannya. Misal K/I/1 artinya Wajib Pajak kawin, istri berpenghasilan dan digabungkan dengan suami di SPT dengan satu tanggungan. Menentukan besarnya PTKP untuk karyawati yang bekerja yaitu: 1. Status kawin suami bekerja, maka PTKP yang didapat hanya untuk diri sendiri. 2. Status tidak kawin, maka besarnya PTKP untuk diri sendiri dan tanggungan jika ada maksimal tiga orang. 3.
Status kawin, suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan maka besarnya PTKP untuk diri sendiri, status kawin, dan tanggungan maksimal tiga orang dengan syarat menunjukkan surat keterangan tertulis dari pemda setempat minimal tingkat kecamatan. Besarnya PTKP bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah berdasarkan status Wajib
Pajak yang bersangkutan. Sedang status Wajib Pajak ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
II.2.9 Biaya Jabatan, Iuran Pensiun dan Biaya Pensiun Biaya jabatan adalah salah satu pengurang untuk pegawai tetap dalam menghitung penghasilan neto. Besarnya biaya jabatan sebelumnya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998. Berdasarkan ketentuan ini besarnya biaya jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan maksimal diperkenankan setinggi-tingginya adalah Rp 1.296.000 setahun atau Rp 108.000 sebulan. Mulai tahun 2009 ini besarnya maksimal biaya jabatan diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 menjadi Rp 6.000.000 setahun atau Rp500.000 sebulan. 30
Selain biaya jabatan dan PTKP, biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan yaitu iuran pensiun dan THT yang dibayar pegawai yayasan dana pensiun yang di setujui menteri keuangan dan jumlahnya tidak dibatasi. Dan juga biaya pensiun khusus untuk penerima pensiun berkala atau bulanan Besarnya 5% dari uang pensiun maksimum Rp 432.000 setahun atau Rp 36.000 sebulan. Namun besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan untuk tahun 2009 sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000 setahun atau Rp. 200.000 sebulan.
II.3
Cara Perhitungan PPh Pasal 21
1. Bagi pegawai tetap, Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, termasuk iuran Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang dipersamakan dengan dana pensiun, dan PTKP, yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan 2. Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan, Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP, yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan 3. Bagi pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai, dalam hal penghasilan dibayarkan secara bulanan, Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP, yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan 31
4. Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap bulan dikurangi PTKP perbulan.
PPh Pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pasal 17 UU PPh
5. Bagi Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. 6. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pangawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama. 7. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai. 8. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun
PPh pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh
9. Tarif sebesar 15%, ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris).
Besarnya perkiraan
penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
PPh Pasal 21 = (Penghasilan Bruto x 50%) x 15%
32
10. Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh pegawai upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan sampai dengan jumlah Rp 110.000,00 sehari tidak dipotong PPh Pasal 21 untuk perhitungan sebelum tahun 2009 dan Rp 150.000,00 sehari tidak dipotong PPh Pasal 21 untuk tahun 2009. Tarif 5% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan yang jumlahnya melebihi jumlah tersebut.
PPh Pasal 21 sehari = (Penghasilan Bruto sehari – Rp 110.000,00) x 5% atau
PPh Pasal 21 sehari = (Penghasilan Bruto sehari – Rp 150.000,00) x 5%
Namun ketentuan ini tidak berlaku jika penghasilan bruto ini telah melebihi Rp 1.100.000 dan melebihi Rp 1.320.000,00 untuk tahun 2009 (jika upah harian tersebut diakumulasikan selama sebulan) atau jika penghasilan upah harian ini dibayarkan secara bulanan. (Pasal 1 dan Pasal 2 PMK 254/PMK.03/2008)
PPh Pasal 21 = (Penghasilan Bruto- PTKP/360) x 5%
II.5
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pasal 21 SPT Tahunan PPh Pasal 21 (formulir 1721) adalah surat yang diguanakan oleh
pemotong untuk melaporkan pemotongan, perhitungan, dan penyetoran pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, kegiatan. SPT Tahunan PPH Pasal 21 dapat diambil di: 1. Kantor Pelayanan Pajak 33
2. Kantor Penyuluhan Pajak atau 3. Tempat lain yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak 4. Download dari situs resmi Dirjen Pajak, www.pajak.go.id Angka-angka Rupiah dalam SPT tahunan PPh pasal 21 beserta lampirannya dinyatakan dalam Rupiah penuh, kecuali untuk besarnya PKP dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 adalah 30 April setelah akhir Tahun Pajak SPT Tahunan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau dikukuhkan dengan cara menyampaikan langsung atau melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 Maret setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan. SPT Tahunan PPh Pasal 21 terdiri dari induk SPT dan lampiran-lampirannya yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Induk SPT dan lamiranlampirannya masing-masing diberi nomor, kode, dan nama pada formulirnya sebagai berikut: No
Kode
Nama Formulir
Keterangan
1
1721
SPT Tahunan PPh Pasal 21
Induk SPT
2
1721-A
Daftar Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun/ Lampiran I THT/JHT
3
1721-A1
Penghasilan dan Penghitungan PPh Pasal 21 Lampiran I-A Pegawai tetap atau Pensiun/ THT/JHT
4
1721-A2
Penghasilan dan Penghitungan PPh Pasal 21 Lampiran I-B 34
PNS, Anggota ABRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya 5
1721-B
Daftar Pegawai Tidak Tetap/ Penerima Lampiran II Honorarium
dan
Penghasilan
Lainnya/
Penerima Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21 Bersifat Final/ Pegawai dengan Status WP Luar Negeri 6
1721-C
Daftar Penghasilan yang dibayarkan kepada Lampiran III Pengurus/
Dewan
Komisaris/
Dewan
Pengawas/ Tenaga Ahli
35