BAB III LANDASAN TEORI TENTANG PAJAK
A. Pengertian Pajak Pajak ialah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terhutang yang wajib membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara didalam menjalankan pemerintahan.21 Menurut Kamus Besar Bahasa Indinesia, pajak itu adalah punggutan yang dikenakan kepada rakyat sebagai iuran wajib untuk negara dari pendapatan seseorang atau dari yang perdagangkan.22 Sedangkan menurut Adriani, pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut undang-undang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan berguna untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan
dengan
tugas-tugas
negara
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan.23 Menurut Ismawan pajak adalah iuran kas negara berdasarkan undangundang dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (Contra Prestasi) yang langsung dapat di tujukan dan di gunakan untuk membayar pengeluaran 21
Tubagus Chairil Amachi Zandjani, Perpajakan (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1992),
hal. 1 22
Badudu, Zein, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), cet.ke-1 hal. 978 23 Waluyo, Perpajakan, (Jakarta, Salemba Empat : 2011) hal, 02
25
26
umum penarikan penarikan pajak secara yuridis dapat dipaksakan atau ditagih secara paksa oleh aparat yang berwenang. Apabila utang pajak tidak dibayar oleh wajib pajak (WP) dalam jangka waktu tertentu maka penagihan dapat dilakukan secara kekerasan seperti melalui surat paksa, sita, lelang dan sandra.24 Dan secara umum dapat dikatakan pajak adalah pungutan dari masyarakat kepada negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi (kontraprestasi/balas jasa) secara langsung yang hasilnya
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran
negara
dalam
penyelengggaraan pemerintahan dan pembangunan. Dari defenisi pajak di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak. 25 Ciri pertama pajak adalah pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah),
berdasarkan
kekuatan
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya. Ciri kedua adalah pembayaran pajak harus masuk kepada kas negara. Ciri ketiga adalah dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si pembayar pajak). Pajak keempat adalah penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan manifrestasi kontra prestasi dari negara. Ciri kelima adalah pajak diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat 24
Iswawan Indra, Memahami ReformasiPerpajakan, (Jakarta : PT.Gramedia, 2001) hal.4 Amin Widjaja Tunggal, Pelaksanaan Pajak Penghasilan Perseorangan, (Jakarta, Rineka Cipta:1991) hal. 15 25
27
kelebihan atau surplus, digunakan untuk tabungan publik (publik saving). Ciri keenam adalah pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.26 1. Pengertian Pajak Pribadi Sesungguhnya dasar pajak adalah ukuran individu dan harta. Ukuran pajak pribadi adalah individu atau personal, sedangkan ukuran pajak harta adalah harta itu sendiri. Yang termasuk pajak pribadi adalah penghasilan seseorang yang tidak dilihat dari segi ekonomisnya. Pajak diambil dari masyarakat dalam bentuk
yang luas dan sama di antara
masyarakat mukallaf dengan menyerahkan ketentuan pajak. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah pabean.27 Dilihat dari sifatnya terdapat berbagai macam pajak, yaitu sebagai berikut:28
26
Marihot P.Siahaan, Utang Pajak Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada: 2004) hal 5-8 27 Gazi Inayah, Teori Komprehensip Tentang Zakat Dan Pajak, (Yogya, PT Tiara Wacana Yogya: 2003) hal. 64 28 Nuruddin Mhdd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 39
28
1) Pajak pribadi. Dalam hal ini pengenaan pajak lebih memerhatikan keadaan pribadi seseorang, seperti istri, jumlah anak, dan kewajiban finansial lainnya (PPH Pribadi) 2) Pajak kebendaan. Yang diperhatikan adalah obyeknya, pribadi wajib pajak dikesampingkan (PPH Badaan Hukum). 3) Pajak atas kekayaan. Yang menjadi objek pajak adalah kekayaan seseorang atau badan hukum (PPK) 4) Pajak atas bertambahnya kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas seseorang yang mengalami kenaikan/pertumbuhan kekayaan, biasanya dikenakan hanya satu kali. 5) Pajak atas pemakaian (konsumsi). Pajak atas kenikmatan seseorang (PRT/PPI). 6) Pajak yang menambah biaya produksi, yaitu pajak yang dipungut karena jasa negara yang secara langsung dapat dinikmati para produsen. Perhitungan PPH terutang untuk wajib pajak orang pribadi adalah : 1) Penghasilan yang berasal dari usaha baik menjual barang atau jasa, termasuk pengusaha tertentu; 2) Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan; 3) Penghasilan sehubungan dengan permodalan; 4) Penghasilan sehubungan dengan tenaga ahli; 5) Penghasilan sehubungan dengan kegiatan; 6) Penghasilan sehubungan dengan hiburan atau presenter;
29
7) Penghasilan sehubungan dengan anak yang belum dewasa; Penulis hanya membahas mekanisme perhitungan dan pengisian SPT PPH orang pribadi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.29 2. Fungsi Pajak Pada dasarnya dua fungsi pemungutan pajak yaitu :30 a. Fungsi Budgetair/Penerimaan Fungsi budgetair (penerimaan) ini merupakan fungsi utama pajak, atau atau fungsi fiskal (fiscal function), yaitu suatu fungsi dalam mana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Disebut sebagai fungsi utama, karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali muncul. Pajak digunakan sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat tanpa ada kontraprestasi secara langsung dari zaman sebelum masehi sudah dilakukan. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan dengan cara memungut pajak dari penduduknya. Memasukkan dana secara optimal bukan berarti memasukkan dana secara maksimal, atau sebesar-besarnya, tetapi usaha memasukkan dana jangan sampai ada yang terlewatkan, baik wajib pajak maupun objek pajaknya. Diharapkan jumlah pajak yang memang seharusnya
29
Agus Setiawan dan Basri Musri, Ibid, hal. 364 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Teori, dan Isu, (Jakarta, Kencana : 2006) hal, 25-28 32
30
diterima kas negara benar-benar masuk semua. Dan, tidak ada yang luput dari pengamatan fiskus mengenai objek pajak. b. Fungsi Regulerend/Regulasi Fungsi regulerend/regulasi juga disebut fungsi mengatur, karena fungsi regulerend ini hanya sebagai mengatur atas fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair.oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi ini. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyakakat dapat dikurangi secara maksimal. 3. Jenis Pajak Jenis pajak dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu pajak menurut sifat, golongan, dan lembaga pemungutnya.31 a. Menurut Sifat 1) Pajak subyektif Adalah pajak yang didasarkan atas keadaan subyeknya memperhatikan keadaan dari wajib pajak yang selanjutnya dicari syarat obyektifnya. Contoh : Pajak Penghasilan (PPH) 2) Pajak Obyektif Adalah pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa memperhatikan dari wajib pajak. 31
hal.8
B. Wirawan Ilyas dan Richad Burian, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2007)
31
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). b. Menurut Golongan 1) Pajak Langsung Adalah pajak yang pembebananya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (PPH). 2) Tidak Langsung Adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). c. Menurut Lembaga Pemungut 1) Pajak Pusat (Negara) Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak pertambahan Nilai Barang Mewah, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. 2) Pajak Daerah Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
32
menjadi PP Nomor 34 Tahun 2000. Pajak daerah dibedakan menjadi 2, yaitu: a) Pajak Provinsi Contoh : pajak kendaraan Bermotor dan kenaraan diatas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Penghasilan, dan pemanfaatan Air di bawah Tanah dan Air Permukaan. b) Pajak Kabupaten atau Kota Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan. 4. Asas Pemungutan Pajak 1) Asas menurut filsafat hukum pajak harus dipungut dan berlandaskan kepada keadilan kerena keadilan sebagai asas pungutan pajak, ada beberapa teori yang muncul dalam asas keadilan.32 a) Teori Asumsi Dalam perjanjian diperlukan pembayaran premi maksudnya pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingan. b) Teori Kepentingan Teori memperhatikan kepada beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat. c) Asas Yuridis Asas ini berlandaskan kepada pemungutan pajak harus didasarkan kepada undang-undang pasal 23 ayat (2) undang-undang 1945. 32
Muda Markus, Perpajakan Inonesia Suatu Pengantar, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005) hal.38
33
d) Asas Ekonomi Dalam pemungutan pajak asas ekonomi ini menentukan kepada pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga tidak terganggu. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak dikenal beberapa pelaksanaan pemungutan pajak, yang masih berlaku sampai dengan sekarang ini33 : a) Official assessment system,yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. b) Self assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c) Witholding system, yaitu merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memungut besarnmya pajak terutang oleh wajib pajak. 5. Kewajiban Hak dan Wajib Pajak Setiap wajib pajak mempunyai kewajiban dan hak dalam melaksanakan ketentuan perpajakan. Kewajiban wajib pajak diantaranya adalah sebagai berikut:
33
Ibid,hal. 40.
34
1) Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. 2) Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar. 3) Mengisi dengan benar SPT dan memasukkan ke KPP dalam batas waktu yang telah ditentukan. 4) Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan. Adapun hak wajib pajak diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Mengajukan surat keberatan dan surat banding. 2) Menerima tanda bukti pemasukan SPT. 3) Melaksanakan pembetulan SPT yang telah dimasukkan. 4) Mengajukan permohonan penundaan pemasukkan SPT. 5) Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak. 6) Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak. 7) Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak. 8) Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat ketetapan yang salah. 9) Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. 10) Apabila pajak terutang wajib pajak dipotong oleh pemberi kerja, wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh 21 kepada pemotong pajak, mengajukan surat keberatan dan surat permohonan pajak.34
34
John Hutagaol, Op.Cit, hal.75-77
35
B. Pengertian Penagihan Pajak Penagihan pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang pajak khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang.35 Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara:36 1. Mengatur atau memperingatkan. 2. Melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. 3. Memberitahukan surat paksa. 4. Mengusulkan pencegahan. 5. Melaksanakan penyitaan. 6. Melaksanakan penyanderaan. 7. Menjual barang yang telah disita. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penagihan pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak atau Fiskus karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang pajak khususnya mengenai pembayaran pajak dengan
melaksanakan
pengiriman surat peringatan, surat teguran, penyitaan dan pelelangan. Pada dasarnya besarnya utang pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak. Apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam perhitungan pajak terhutang tersebut, maka Direktorat Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak 35 36
Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta : Andi Edisi II, 2006), hal.119 Djoko Muljono, (Yogyakarta : CV Andi Offset, 2007), hal.163
36
Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo, penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa. Adapun sebab diterbitkannya STP antara lain:37 1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. 2. Berdasarkan penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung. 3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa benda dan atau bunga. 4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu 5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tertapi tidak mengisi faktur secara lengkap. 6. PKP melaporkan faktur tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak. 7. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan. Surat ketetapan kurang bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus di bayar.38 Dasar penagihan pajak antara lain: 1. Surat Tagihan Pajak (STP) 2. Surat Ketetapan Pajak (SKP) 3. Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) 37
Kantor Pajak Pratama Rengat, Bahan Pegangan Peserta Penyuluhan Penagihan, hal. 3-4 Ibid, hal. 39
38
37
4. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT) 5. Surat keputusan pembetulan 6. Putusan banding 7. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) 8. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKBT) 9. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) 10. Surat ketetapan Bea perolehan Hak atas Tanah an Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) 11. Surat surat ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan kurang bayar tambahan (SKBKBT) 12. Surat tagihan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) 13. Surat ketetapan sejenis yang membuat besarnya jumlah utang pajak. 1. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa: Dasar hukum penagihan pajak dengan surat paksa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.39 Apabila fiskus telah melakukan tindakan secara aktif tetapi wajib pajak tidak juga membayar utang pajaknya, fiskus dapat melakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa. Surat paksa merupakan surat perintah kepada wajib pajak untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Tindakan penagihan dengan surat paksa dilakukan oleh
39
Mardiasmo, Op,Cit. Hal. 45
38
fiskus sebagai upaya untuk memaksa wajib pajak untuk membayar utang pajaknya. Hal ini merupakan perwujudan dari alat paksa yang dimiliki oleh negara dan yang diatur dalam hukum pajak. Pasal 20 UU KUP mengatur bahwa jumlah pajak yang terutang berdasarkan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, dan keputusan banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah yang tidak dibayar oleh penanggung pajak sesuai dengan jangka waktu pembayaran pajak yang telah ditentukan ditagih dengan surat paksa. 40 2. Tindakan Penagihan Pajak Dalam bidang administrasi perpajakan di kenal beberapa bentuk tindakan penagihan yaitu penagihan pasif dan penagihan aktif. a. Panagihan pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara memberikan himbauan kepada wajib pajak agar melakukan pembayaran pajak sebelum tanggal jatuh tempo, penagihan pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding. b. Penagihan aktif adalah tindakan berikutnya yang dilakukan oleh fiskus berdasarkan pantauan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam
40
Marihot P. Siahaan, Op,Cit. Hal. 284-285
39
membayar pajak. Penagihan pajak yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT dimana Undang-Undang telah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran yaitu 1 bulan terhitung mulai dari STP, SKPKB, SKPKBT diterbitkan. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak belum juga dilunasi maka 7 hari setelah tanggal jatuh tempo akan dilakukan tindakan penagihan pajak yang diawali dengan menerbitkan surat teguran dan menyampaikan surat paksa.41 Dalam pelaksaan penagihan aktif tersebut dapat dilakukan dengan 4 tahap, yaitu:42 a. Surat Teguran Penyampaian surat teguran merupakan awal pelaksaan tindakan penagihan aktif oleh fiskus untuk memperingatkan wajib pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai dengan keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat jatuh tempo. Surat teguran yaitu surat yang diterbitkan oleh pejabat berwenang untuk menegur wajib pajak agar melunasi utang pajaknya. Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat berwenang untuk menegur atau memperingatkan wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat teguran dikeluarkan apabila utang pajak yang 41
Ibid, hal. 283-284 Muhammad Rusdji, PSPP Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, (Jakarta : Ineks, 2005), hal. 23 42
40
tercantum dalam SPT, SKPKB, atau SKPKBT tidak dilunasi sampai melewati waktu 7 hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal Diterbitkannya SPT, SKPKB, atau SKPKPBT. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor. 561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap wajib pajak yang disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. b. Surat Paksa Jika utang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal surat teguran diterbitkan tidak dilunasi maka diterbitkan surat paksa yang disampaikan oleh juru sita pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak sebesar Rp 50.000. utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah surat paksa di beritahukan oleh juru sita pajak. 1) Pengertian Surat Paksa Pengertian surat paksa telah diatur dalam pasal 1 sub 10 Undang-undang nomor 19 Tahun 1997 dan kemudian mengalami perubahan menjadi pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa yang berbunyi: surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.43
43
Ibid, hal. 21
41
Menurut Rusdji surat paksa yaitu surat yang diterbitkan apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo.44 Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa surat paksa adalah surat perintah mambayar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang diterbitkan apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo. 2) Ciri-ciri Surat Paksa Surat
paksa
berkepala
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Surat paksa mempunyai kakuatan hukum yang sama seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada hakim atasan. Yang dapat ditagih dengan Surat Paksa, adalah semua jenis pajak pusat dan pajak daerah yang terdiri dari: a) Pajak pusat, b) Pajak daerah, c) Kenaikan, d) Denda (bukan denda pidana), e) Bunga, f) Biaya.
44
Muhammad Rusdji, Op.Cit, hal. 25
42
Penagihan pajak dengan surat paksa tersebut dilaksanakan oleh juru sita pajak daerah. 3) Isi dan karakteristik dari surat paksa Berbicara lebih lanjut tentang Surat Paksa, maka Surat Paksa dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu segi isinya dan segi karakteristiknya. Surat paksa ini dalam bahasa hukum disebut sebagai Parate Eksekusi (Eksekusi langsung), yang berarti bahwa penagihan pajak secara paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses pengadilan Negeri. Hal ini bisa dimengerti karena surat paksa itu mempunyai kekuatan Eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum
yang
pasti,
dimana
fiskus
dalam
melaksanakan
kewajibannya mempunyai hak “Parate Eksekusi”. a) Dilihat dari segi isinya surat paksa memuat hal-hal sebagai berikut: i. Berkepala kata-kata “Atas Nama Keadilan”yang dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 4 disesuaikan bunyinya menjadi “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. ii. Nama wajib pajak/penanggung pajak, keterangan cukup tentang alasan yang menjadi dasar penagihan, perintah membayar. iii. Dikeluarkan/ditandatangani oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan/Kepala Daerah. Sedangkan
43
b) Segi karakteristiknya adalah sebagai berikut: i. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan Hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan. ii. Mempunyai kakuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde). iii. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak (biaya-biaya penagihan). iv. Dapat dilanjutkan dengan
tindakan penyitaan atau
penyanderaan/pencegahan. c) Penyitaan Penyitaan adalah tindak lanjut
dari
pelaksanaan
penagihan dengan surat paksa, apabila pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan dengan pernyataan dan penyerahan surat paksa kepada wajib pajak. Penyitaan dilakukan oleh juru sita pajak yang telah disumpah terlebih dahulu dan didampingi oleh 2 orang saksi penduduk Indonesia yang telah mencapai usia dua pilih satu tahun, dikenal oleh jurusita pajak dan dapat dipercaya (Undang-undang No.19 Tahun 1997 Pasal 12 (2). Tujuan
penyitaan
adalah
memperolah
jaminan
pelunasan utang pajak dari penanggung pajak. Oleh karena itu, penyitaan
dapat
dilaksanakan
terhadap
semua
barang
44
penanggung pajak, baik yang berada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan penanggung pajak, atau di tempat lain sekalipun penguasaannya berada ditangan pihak lain.45 d) Lelang Lelang adalah setiap penjualan barang ditempat umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi
setelah
dilaksanakan,
pejabat
berwenang
melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang. Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (Empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media masa. Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan dua kali. Hasil lelang digunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar, dan sisanya untuk membayar utang pajak.46
45 46
Moeljo Hadi, Op.Cit. hal.47 Mardiasmo, Op,Cit. Hal. 50-51
45
C. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Menurut kamus umum bahasa Indonesia (1995:1013), istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.47 Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai “suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.48 Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak adalah suatu tindakan taat atau patuhnya wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan umum perpajakan yang berlaku. Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material: 47
Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Inonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 138 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op.Cit, hal. 110
48
46
a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang perpajakan. b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substansif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.49 2. Teori Kepatuhan Wajib Pajak Secara umum teori tentang kepatuhan dapat digolongkan dalam teori paksaan dan teori konsensus.50 a. Teori Paksaan Menurut teori paksaan, orang akan mematuhi hukun karena adanya unsur paksaan dari kekuasaan yang bersifat legal dari pemerintah. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa paksaan fisik sebagai monopoli penguasa adalah dasar terciptannya suatu ketertiban untuk tujuan hukum. Jadi menurut teori paksaan, unsur sanksi merupakan faktor yang menyebabkan orang mematuhi hukum. Persoalnanya, apabila suatu kaidah hukum hanya berdasarkan pada sanksi sebagai tuntutan ditaatinya hukum justru akan mengurangi wibawa hukum, baik terhadap hukum itu sendiri maupun terhadap penegak hukumnya.
49
Ibid, hal. 110 Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta :Andi Edisi II ,2006), hal. 83
50
47
b. Teori Konsensus Pada teori kensensus, dasar ketaatan hukum terletak pada penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum, yaitu sebagai dasar legalitas hukum. Pemungutan wajib pajak mempunyai sifat yang dapat dipaksakan karena pelaksanaannya didasarkan pada Undang-Undang. 3. Kriteria Wajib Pajak Patuh Kemudian merujuk pada kriteria wajib pajak patuh menurut keputusan Menteri Keuangan No. 554/KMK.04/2000, bahwa kriteria kepatuhan wajib pajak adalah:51 a. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terkhir. b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. c. Tidak pernah dijatuhi hukuman kerena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. d. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yeng terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tenpa
51
Siti Kurnia Rahayu, Op.Cit,hal.139-140
48
pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Maka Pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara. Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib pajak yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan pada kas negara. Karena pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara, jika masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi perdiket wajib pajak patuh.
D. Pajak dalam Ekonomi Islam Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan jasa imbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.52 Zakat menurut pemikir ekonomi islam adalah sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau individu yang bersifat mengikat dan final, tanpa mendapat imbalan 52
Rochmat Soemitro, Op.Cit. hal. 01
49
tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang ditentukan oleh Alquran, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuagan islam.53 Adapun persamaan antara zakat dan pajak yaitu: 1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan. 2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat). 3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi. 4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi, dan sosial. Sedangkan perbedaan antara zakat pajak yaitu:54 1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci, tumbuh, pajak (dharabah): upeti. 2. Mengenai hakikatnya. Zakat dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada allah, sedangkan pajak tidak. 3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang pembuat syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambahtambah oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak hal ini bisa berubahubah sesuai dengan polcy pemerintah. 4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya. Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
53
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 7 54 Ibid, hal 29-38
50
5. Mengenai pengeluarannya. Sasaran zakat telah terang dan jelas, sedangkan pajak untuk pengeluaran umum negara. 6. Hubungannya dengan penguasa. Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. 7. Maksud dan tujuannya. Zakat memiliki tujuan spritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Berdasarkan poin-poin diatas dapatlah dikatakan “zakat adalah ibadat dan pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa
harta
yang
pengurusannya
dilakukan
oleh
negara.
Negara
memintannya secara paksa, bila seseorang tidak mau membayarnya secara sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat dan negara. Adapun perintah mengeluarkan zakat dan mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kepentingan umat terkandung dalam surat Al-Baqarah :254.
Artinya: “wahai orang-orangyang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim” (Al-Baqarah : 254).
51
Namun sebagai ‘terjemahan’ dari kata yang ada dalam Al-Quran (Bahasa Arab), terdapat kata pajak, yaitu pada terjemahan Qs AT-Taubah (9): 29. Hanya satu kali saja kata “pajak” ada dalam terjemahan Al-Quran.
Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada allah dan tidak (pula) hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), (yaitu orangorang yang diberikan Al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk). (At-Taubah: (9): 29 Pada ayat diatas, kata “jizyah” diterjemahkan dengan “pajak”, jadi jizyah itu adalah pajak kepada yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang yang bukan islam, sebagai imbalan bagi jaminan keadaan diri mereka. Kaum muslim sebagai pembayar pajak harus mempunyai batasan pemahaman yang jelas tentang pajak menurut pemahaman islam, sehinggaa apa-apa yang dibayar memang termasuk hal-hal yang memang diperintahkan oleh Allah SWT (ibadah). Jika hal itu bukan perintah, tentunya tidak termasuk ibadah. Demikian pula bagi petugas pajak, jika pajak itu sesuai syariat, maka apa yang ia lakukan tentu bernilai jihad baginya. Sebab, sekecil apapun perbuatan (kebaikan dan keburukan), pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan
52
Allah SWT dan mendapat balasan yang tertuang dalam Al-Quran Surat Alzalzalah ayat : 7 yang berbunyi :
Artinya: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya)55. (Al-zalzalah: 7) 1. Pengertian Pajak menurut Syari’ah Pajak dalam bahasa arab disebut dengan Dharibah yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan. Dalam istilah bahasa arab, pajak dikenal dengan nama Al- Dharibah, yang artinya adalah beban. Ia disebut beban karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara.56 Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama dominan memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban hal ini tampak jelas dalam ungkapan bahwa jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintah Islam), Al-Jizyah kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara), Al-usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masukagama islam). dipungut secara 55 56
Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah, (Jakarta : Gema Insani Pressh, 2005), hal 33 A. Jazuli Op.Cit, hal. 66
53
dharibah, yakni secara wajib bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah. Ada beberapa ulama yang mendefenisikan tentang pajak, yaitu Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-zakah, Gazi Inayah dalam kitabnya Al-iqtisha al-islami az-zakah wa ad-dharibah, dan Abdul Qadim Zallum
dalam
kitabnyaAl-amwal
fi
daulah
al-khilafiyah,
yang
ringkasannya sebagai berikut: Abdul Karim Zaidan mendefenisikan syariat “syariat adalah apa saja ketentuan yang telah di tetapkan oleh Allah SWT. Untuk hambanya baik melalui Al-Qur’an atau pun sunnah nabi Saw berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan. 57 Dr. Yusuf Qardhawi mendefenisikan syariat “syariat adalah apa saja ketentuan Allah SWT yang dapat di buktikan melaui dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan lainnya seperti Ijma, qiyas , dan lain sebagainya. ”Mengingatnya betapa mutlaknya peranan pajak bagi eksistensi Negara dan kemaslahatan rakyat (jika dikelola secara benar), Islam memberi perhatian super serius melalui ajaran utamanya (Rukun Islam), yakni zakat. Sepanjang sejarah Negara, pajak telah berkembang (berevolusi) melalui tiga konsep. a. Pajak sebagai upeti (dharibah) yang harus dibayar oleh rakyat sematamata karena mereka adalah hamba yang harus melayani kepentingan sang penguasa sebagai tuannya, sang penguasa.
57
Ibid, hal. 92
54
b. Pajak dikonsepsikan sebagai imbalan jasa (jizyah) dari rakyat kepada penguasanya. Konsep ini muncul setelah rakyat pembayar pajak (tax payers) mulai menyadari bahwa raja. Penguasa bukanlah dewa yang boleh memperlakukan rakyat semaunya. Penguasa adalah manusia juga yang memegang kuasa karena mandat dari rakyatnya. Baik rakyat pembayar pajak maupun penguasa pemungut pajak kurang lebih adalah manusia yang setara. Maka, jika penguasa memungutpajak, tidak boleh lagi cuma-cuma. Pajak harus diimbangi dengan pelayanan kepada rakyat yang membayarnya. c. Pajak sebagai sedekah karena Allah SWT, sang pencipta langit dan bumi, untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua. 58 Ada cacat bawaan dan struktural yang dapat memperlebar kesenjangan antara rakyat yang kuat di satu pihak dan rakyat lemah dilain pihak. Karena konsepnya imbal jasa (jizjah), pembayar pajak berhak mendapatkan pelayanan besar dari negara, sementara pembayar pajak kecil hanya berhak atas pelayanan kecil dan hanya berhak atas pelayanan kecil dan rakyat miskin yang tidak mampu membayar pajak harus menerima dengan sisa pelayanan (tricle down effect), jika masih ada. Jika ingin menegakkan keadilan, seperti dalam pancasila, tidak ada pilihan lain bagi kita selain yang ketiga, yakni pajak sebagai sedekah karena Allah SWT, sang pencipta langit dan bumi, untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua. Islam menyebut pajak dengan makna zakat, yang secara hafiah berarti kesucian dan pertumbuhan. Artinya dengan 58
Ali Hasan,Zakat Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 41
55
pajak sebagai zakat, kita mensucikan hati dari kedengkian sesama, sekaligus mengembangkan kemakmuran dan keadilan untuk semua. Pajak bukan lagi sebagai persembahan (upeti) ataupun imbalan jasa (jizjah) kepada penguasa, melainkan sebagai pembebasan untuk keadilan dan kemakmuran bagi semua, terutama mereka yang lemah, miskin, dan tak punya apa-apa (At-taubah: 60)
Artinya: ”sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allahdan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan allah, dan allah maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.59( At-taubah: 60 ) Dalam konsep ini, setiap rupiah dari uang pajak adalah uang Allah yang diamanatkan kepada pejabat Negara
sebagai pelayan Allah dan
rakyat (amil) dengan penuh tanggung jawab, mereka yang menyalah gunakan uang pajak bertanggung jawab kepada rakyat didunia dan Allah Diakhirat kelak.
59
Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung : PT Syamil Cipta Media, 2005), hal. 196
56
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sector privat kepada publik. Pemahaman ini memberikan pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sector privat kepada publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasa barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan Negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Adapun pendapat ulama tentang pajak antara lain: Pendapat Pertama: menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda:
ﻖ ّ َﺴﻔِﻲ ا ْﻟﻤَﺎﻟﺤ ِ اﻟَ ْﯿ Artinya: "Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat." (HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah (Maimun), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari: dia tidak cerdas) Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah :60
60
www.ahmadzain.com/.../hukum-pajak-dalam-islam/
57
a. Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda : ُﺲ ﻟَ ُﻐﻔِ َﺮﻟَﮫ ٍ ﺻﺎ ﺣِﺐُ َﻣ ْﻜ َ ﻓَ َﻮ اﻟﱠﺬِي ﻧَ ْﻔ ِﺴﻲ ﺑِﯿَ ِﺪ ِه ﻟَﻘَ ْﺪ ﺗَﻮْ اﺑَﺘْﺖَ ﺑَﺔً ﻟَﻮْ ﺗَﺎ ﺑَﮭَﺎ Artinya: “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." (HR Muslim, no: 3208) b. Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
ﺲ ٍ ﻻَ ﯾَﺪْﺧُ ُﻞ اﻟْﺠَ ﻨﱠﺔَ ﺻَﺎ ﺣِ ﺐُ َﻣ ْﻜ Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim) “(HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) . Pendapat Kedua : menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan ini pun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
إِنﱠ ﻓِﻲ ا ْﻟﻤَﺎلِ ﻟَﺤَ ﻘًّﺎ ﺳِ ﻮَى اﻟ ﱠﺰﻛَﺎ ِة Artinya: "Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat." (HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah (Maimun)
58
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari umat Islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahatan umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh. 2) Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak. 3) Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat. 4) Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempattempat tertentu atau untuk kepentingan dan kampanye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi. 5) Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja. 6) Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja. 7) Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
59
2. Tujuan Pengunaan Pajak menurut Syariah Tujuan pajak itu adalah untuk membiayai berbagai pos pengeluaran Negara, yang memang diwajibkan atas mereka (kaum muslimin) pada saat kondisi Baitul Mal lagi kosong atau tidak mencukupi. Jika ada tujuan yang mengikat dari dibolehkan memungut pajak itu yakni pengeluaran yang memang sudah menjadi kewajiban kaum muslimin.61 Sedangkan kebutuhan kaum muslim atas pendidikan, banyak sekali dasar perintahnya menurut Zallum, ada 6 jenis pengeluaran yang bisa dibiayai oleh pajak yaitu: a. Pembiayaan jihad seperti : pembentukan dan pelatihan pasukan, pengadaan senjata dan sebagainya. b. Pembiayaan untuk pengadaan dan pengembangan industri militer dan industri penduduk. c. Pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir miskin dan ibnu sabil d. Pembiayaan untuk gaji tentara, hakim, guru, dan semua pegawai. e. Pembiayaan untuk pengadaan kemaslahatan atau fasilitas umum. f. Pembiayaan untuk penaggulangan bencana.62 3. Pendapat ulama tentang pajak: Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakah berpendapat63:
61
Didin Hafiudin, Zakat dalam Perekonomian Moderen, (Jakarta: Gema Insani Perss),
hal. 52-55 62
Nuruddin Mhd Ali, Op.Cit. hal. 185 Zulkifli, Panduan Prakktis Pintar Memahami Zakat, (Pekanbaru: Suska Press, 2014),
63
hal. 23-24
60
“pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap
wajib pajak, yang
harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluran umum disatu pihak dan untuk merealisasikan sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara”. Gaji Inayah dalam kitabnya Al-Iqtishad az-Zakah wa az-Dharibah berpendapat: “pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan sipemilik harta dan dialokasikan untuk mencakupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah”. Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal Fi daulah al-Khilafah berpendapat: “pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT, kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta”. 4. Istilah pajak hanya tepat untuk Dharibah Dalam kitab Al-Ahkam al-sultaniyah karya Imam Al mawardi, kharaj diterjemahkan dengan kata pajak (pajak tanah), sedangkan jizyah
61
tidak diterjemahkan dengan pajak, melainkan tetap disebut Jizyah. Namun dalam kitab Shahih Abu Daud, seorang pemungut jizyah diterjenahkan dengan seorang pemungut pajak, padahal yang dimaksud adalah petugas jizyah. Dalam kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i, Jizyah diterjemahkan dengan pajak. Istilah pajak (Dharibah) juga tidak bisa untuk menyebut ‘ushr (bea cukai), yakni pungutan yang dipungut dalam besaran tertentu dari importir atau eksportir yang bukan warga negara khilafah, baik muslim maupun zimmi, dan bukan mu’ahad. Sebab ‘ushr hanyalah tindakan balasan atas tindakan negara mereka. Oleh karena itu, besarnya ‘ushr sama dengan besaran yang dipungut oleh negara mereka dari warga negara khilafah ketika mengimpor
komoditas dari negara tersebut atau mengekspor
komoditas ke negara tersebut. Ada sebuah hadis yang berbunyi,” tidak masuk surga petugas pajak.” Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan petugas pajak ini adalah “orang yang mengambil ‘ushr dari harta kaum muslim secara paksa yang melampaui batas, sehingga dikhawatirkan dosa dan sanksi baginya. Petugas pemungut ‘ushr dalam hadis ini juga diterjemahkan sebagai petugas pajak, padahal maksudnya adalah petugas pemungut ‘ushr. Dari dharibah sebagai harta yang dipungut secara wajib dari rakyat untuk keperluan pembiayaan negara. Dengan demikian, dharibah bisa kita artikan dengan pajak (muslim). Istilah dharibah dalam arti pajak (tax)
62
secara syar’i dapat kita pakai sekalipun istilah ‘pajak’ (tax) itu berasal dari Barat, karena realitasnya ada dalam sistem ekonomi islam. Untuk menghindari kerancuan makna antara pajak menurut syariah dengan pajak (tax) non-islam, maka dipilihlah padanan kata dalam bahasa Arab yaitu Dharibah. Dharibah adalah pajak tambahan dalam Islam yang sifat dan karakteristiknya berbeda dengan pajak (tax) menurut teori ekonomi nonislam. Bagaimana kharaj dan jizyah? Oleh karena objek dari kharaj adalah tanah, maka jika dipakai istilah pajak untuk kharaj dalam sistem ekonomi Islam akan rancu dengan istilah pajak atas penghasilan atau pendapatan. Untuk itu, biarkanlah pajak atas tanah disebut dengan kharaj saja. Demikian pula dengan jizyah, objeknya adalah jiwa, tidak sama dengan Dharibah.64 5. Karakteristik Pajak menurut Syariah: 1. Pajak bersifat temporer, tidak bersifat kontiniu, hanya boleh dipungut ketika baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. 2. Pajak hanya boleh di pungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. 3. Pajak hanya diambil dari kaum muslim untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim.
64
Guspahmi, Op.Cit. hal. 29-30
63
4. Pajak hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya. 5. Pajak hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih. 6. Pajak dihapuskan bila sudah tidak diperlukan.65 6. Hubungan pajak dengan syariat Pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (Mu’amalah), oleh sebab itu ia merupakan bagian dari syariat. Tanpa adanya rambu-rambu syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh penguasa kepada rakyat (kaum muslim). Tanpa batasan syariat, pemerintah akan menetapkan dan memungut pajak sesuka hati, dan menggunakannya menurut apa yang diinginkannya (pajak dianggap sebagai upeti-hak milik penuh sang raja). Hanya syariat yang boleh menjadi pemutus perkara, apakah suatu jenis pajak boleh dipungut atau tidak. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut syariat (apa yang telah ditetapkan Allah Swt), maka dia adalah zalim (Qs. Al-Maidah [5]: 45).
65
Ibid, hal. 34
64
Artinya: Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Oleh karena pajak adalah bagian dari syariat, maka sebagai batang dari suatu pohon, ia harus memiliki akar yang kuat. Akar itu adalah Iman atau Aqidah. Hukum pajak mesti memiliki landasan/akar (dalil), yaitu Alquran dan hadis. Jika ia memiliki landasan Al-quran dan hadis, tentu ia akan memberi manfaat (buah), bagi kemaslahatan umat. Untuk itu, undang-undang pajak harus disusun hanya oleh orang yang beriman (Mukmin) kepada Allah Swt, bukan oleh mereka yang dimurkai-Nya (Nasrani) atau orang-orang yang sesat (Yahudi), (Qs. AlBaqarah [2]:7).66
66
Ibid, hal. 21
65
Artinya:
Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.
7. Ciri-ciri pajak syariah 1. Penerapan atau perlakuan pajak atas kegiatan ekonomi yang berdasarkan aturan islam (dikenal dengan syariah). 2. Dharibah bersifat tidak memaksa, berlaku hanya pada keadaan darurat (temporer), dan sesuai kebutuhan (tidak ada istilah lebih). 3. Kegiatan usaha berbasis syariah dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kehalalan produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi dan riba. 4. Adanya prinsip mutatis mutandis. 5. Adanya pajak kas, yaitu sebagai pengatur penawaran uang dalam ekonomi makro. Dimana pajak kas dapat menambah dari penawaran uang.67 8. Unsur pajak menurut syariah 1. Harus adanya nash (Al-quran dan al-Hadis) yang memerintahkan setiap sumber pendapatan dan pemungutannya. 2. Adanya pemisahan sumber penerimaan dari kaum muslim dan nonmuslim. 3. Golongan
makmur yang mempunyai kelebihan saja yang memikul
beban utama. 4. Adanya tuntutan kemaslahatan umum.68 67
Riyathozain.blogspot.com/.../perbedaan-pajak-syariah-dan-konvensional.ht...
66
68
Gusfahmi, Op,Cit. Hal. 33