BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK 2.1. Pengertian Tentang Pajak Secara umum pajak adalah iuran wajib anggota masyarakat kepada negara karena undang-undang dan atas pembayaran tersebut pemerintah tidak memberikan balas jasa yang langsung dapat ditunjuk44. Pajak adalah satu komponen pendapatan yang sangat penting bagi perkembangan dan pembangunan bangsa. Di sini pajak digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan untuk diberikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk subsidi. Sebagai sumber pendapatan Negara pajak merupakan fundamental dalam menentukan suatu anggaran untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran dalam pembangunan. Dari perspektif ekonomi pajak dipahami sebagai sumber daya sektor privat beralih ke sektor publik, pemahaman ini merupakan gambaran adanya perubahan situasi tentang pajak menjadi berubah pertama “berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa dan kedua bertambahnya kemampuan keuangan Negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat”45. Pajak merupakan pungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah sehingga membayar pajak merupakan kewajiban bagi wajib pajak, akan tetapi Negara wajib meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kewajiban dalam membayar pajak tidak secara langsung akan mendapat kontraprestasi dari 44
Kesit Bambang Prakosa, op.cit, hal. 1. Adrian Sutedi, 2011, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.
45
43
44 pemerintah hal ini dikarenakan kontraprestasi dari pemerintah terhadap wajib pajak diberikan secara kolektif dalam artian bahwa pengembalian pajak dilakukan dengan memberikan kepada masyarakat pelayanan kehidupan di dalam suatu Negara seperti pemerintah membuat berbagai fasilitas umum yang salah satunya pembuatan jalan raya, penerangan jalan dan lain-lain. Secara umum pajak dapat diartikan sebagai iuran ataupun pungutan yang dilakukan oleh pemerintah atau fiskus dari masyarakat berdasarkan Undang-Undang yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah dengan tanpa balas jasa yang ditunjuk secara langsung. Pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro mengemukakan bahwa: pajak merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga Negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada Negara, Negara mempunyai kekuatan untuk memaksa, dan uang pajak tersebut harus digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan46. Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang agar dapat menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan pemerintah sehingga pemungutan pajak tidak dilakukan sewenangwenang. Berbagai devinisi tentang pengertian pajak dapat dijelaskan oleh para sarjana yang diantaranya adalah pengertian pajak menurut Soemohamidjojo mengatakan “pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum“47.
46
Ibid. Josef Riwu Kaho, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 144. 47
45 PJA Adriani mengemukakan pengertian pajak adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran pada Negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh wajib membayarnya menurut perturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah48. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro juga memberikan pengertian bahwa “pajak adalah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan”49. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Iuran rakyat kepada Negara, yang berhak memungut pajak adalah Negara dan iuran tersebut berupa uang (bukan barang) 2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayarannya pajak tidak dapat ditujukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masayarakat luas.50 Pengertian Pajak dan unsur-unsur yang disebutkan diatas dapat diuraikan kembali bahwa pajak memiliki peranan dalam pembangunan yaitu pajak sangat berhubungan erat dan merupakan faktor penting dalam pembangunan nasional baik pada sektor swasta maupun sektor umum. Pemasukan dari hasil pemungutan pajak tersebut memberikan akses kepada pemerintah untuk dapat melaksanakan pembangunan dengan baik serta dapat memperlancar roda pemerintahan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. 48
H. Bohari, op.cit, hal. 23. ibid, hal. 25. 50 Mardiasmo, 2001, Perpajakan Edisi Revisi, Andi Offset, hal. 1. 49
46 2.1.1. Jenis-Jenis Pajak Dalam literatur pajak dan public finance, pajak dapat diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan dari golongan, wewenang sifat dan lain sebagainya, pembagian jenis pajak ini menjadi hal penting karena jenis pajak akan mempengaruhi kewenangan bagi daerah yang melakukan pemungutan, misalnya pajak pusat akan berbeda dengan pajak daerah dari segi kewenangan pemungutnya, pajak daerah akan dipungut oleh daerah otonomi dan pajak pusat akan dipungut oleh pusat. Jenis-jenis pajak dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Pajak menurut cara pemungutan, pajak dapat di bedakan menjadi dua yaitu : a. Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak, pajak ini tidak dapat dibebankan kepada orang lain sehingga pemungutan pajak langsung ini secara langsung membebani kepada wajib pajak. Contoh pajak langsung ini adalah pajak penghasilan (PPh). b. Pajak tidak langsung yaitu kewajiban pembayarannya dapat dibebankan kepada orang lain, dalam hal ini pengenaan beban pajaknya yang pada akhirnya dipikul oleh orang lain, contohnya pajak pertambahan nilai (PPn) 2. Pajak menurut sifatnya. Jenis pajak yang dikelompokkan menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : a. Pajak subyektif yaitu pajak yang dibebankan berdasarkan dari subyeknya, dalam artian bahwa dalam pemungutannya beban pajak memperhatikan keadaan dari diri wajib pajak, contohnya adalah pajak penghasilan seperti pengahsilan gaji seorang pegawai negeri sipil yang
47 beban
pajaknya
dibebankan
kepada
subyeknya
karena
telah
mendapatkan suatu penghasilan. b. Pajak obyektif yaitu pajak pengenaan pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa memperhatikan subyeknya, dalam artian bahwa pengenaan pajak ini disebabkan karena ada obyek yang menurut undang-undang obyek tersebut dikenakan pajak. Contonya pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan bermotor dan lain-lain. 3. Pajak menurut lembaga pemungutannya Pajak menurut pemungutannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang digunakan oleh Negara untuk pembiayaan Negara secara keseluruhan atau rumah tangga Negara, contohnya adalah pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai pajak penjualan atas barang mewah dan lain-lain. b. Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang digunakan nantinya untuk membiayai rumah tangga daerah, contohnya pajak bumi dan bangunan, pajak Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak hotel dan lain-lain. Dari pengelompokan jenis pajak diatas maka jika dilihat dari perturan undang-undang yang mengatur tentang pajak dan secara khusus diatur dalam ketentuan Pasal 2 di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka dapat disebutkan sebagai berikut : (1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
48 a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. (2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dilihat dari ketentuan diatas maka dapat diklasifikasikan bahwa di dalam ketentuan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah maka terdapat 11 jenis pajak yang terdiri 5 pajak provinsi dan 11 jenis pajak daerah kabupaten. Dalam ketentuan tersebut dapat juga dilihat bahwa dimasukkannya pajak bumi dan bangunan serta BPHTB yang dulunya menjadi pajak pusat kini telah beralih menjadi pajak daerah. Secara umum kriteria pajak daerah dan pajak pusat tidak
49 jauh berbeda, yang membedakan antara pajak pusat dan pajak daerah adalah pihak pemungutnya, pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat sedangkan pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah, kriteria pajak daerah secara spesifik terdiri dari empat hal yaitu : 1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan dari daerah sendiri, 2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan pemerintah pusat tetapi pendapatan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah 3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah 4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada pemerintah daerah51. Kriteria pajak daerah tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak daerah tersebut terdiri dari pajak yang ditetapkan dan atau dipungut diwilayah daerah dan bagi hasil pajak dengan pemerintah pusat.
2.1.2. Subyek dan Obyek Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Setiap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pajak yang berlaku di Indonesia secara umum mengatur mengenai subyek dan obyek pajak, subyek dan obyek pajak menjadi sangat penting karena berkaitan dengan hak dan kewajiban terhadap kewajiban membayar pajak, pengaturan mengenai subyek pajak dan obyek pajak akan menentukan apa yang menjadi obyek pajak, terhadap obyek pajak apa yang tidak dikenakan pajak, terhadap siapa yang akan membayar pajak dan siapa yang dikenakan pajak. Menentukan subyek dan obyek pajak akan sangat membantu untuk melakukan tertib administrasi dalam pemungutan pajak
51
Kesit Bambang Prakosa, op.cit, hal. 2
50 serta menjamin kepastian hukum terhadap pemungutan pajak oleh Negara sesuai dengan asas yuridis dalam pemungutan pajak dimana dikatakan bahwa segala pungutan pajak yang dilakukan oleh Negara harus berdasarkan undang-undang yang berlaku. 1. Pengertian Subyek Pajak Subyek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Yang dimaksud dengan badan menurut ketentuan umum UndangUndang No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 angka 11 menyebutkan : Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koprasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organiasi yang sejenis, lembaga bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. Subyek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif yaitu dalam artian bahwa subyek pajak tersebut telah diwajibkan menjadi wajib pajak dan wajib untuk membayar pajak apabila secara undang-undang materiil telah menentukan. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak yang masih di bawah umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu ditunjuk
51 orang atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kewajibankewajibannya. Secara umum yang menjadi subyek dalam hal pengenaan pajak adalah orang pribadi dan badan usaha yang telah memenuhi syarat secara objektif yaitu dalam artian telah memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku bahwa orang atau badan tersebut telah menjadi subjek pajak. Subjek pajak dalam hal pengenaan BPHTB menurut ketentuan Pasal 86 UU No 28 Th 2009 adalah: (1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. (2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dari ketentuan tersebut dapat terlihat bahwa yang menjadi subyek BPHTB adalah subyek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan sehingga, subyek BPHTB sebagaimana dimaksud adalah wajib pajak yang berkewajiban membayar atau menyetorkan ke kas Negara Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan52. Subyek pajak BPHTB adalah orang pribadi dan badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, maksudnya adalah pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak dari suatu peralihan hak atas tanah dan bangunan, sehingga orang atau pribadi atau badan hukum yang memperoleh hak atas tanah yang menjadi wajib pajak BPHTB dan pembayarannya harus dilakukan oleh wajib
52
Atep Adnya Berata, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Menghitung Objek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 15.
52 pajak pada saat terhutangnya pajak sesuai dengan ketetntuan waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kepastian mengenai wajib pajak dalam BPHTB sangat penting karena tidak saja untuk menentukan siapa yang membayar pajak akan tetapi menentukan mengenai siapa yang berhak untuk mengajukan hak-hak wajib pajak yang mungkin akan diberikan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut. Sebagai wajib pajak yang telah ditentukan berdasarkan undang-undang tentunya mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan harus memenuhi kewajiban untuk membayar pajak atas hak yang telah diperolehanya, kewajiban pembayaran pajak tersebut harus dipenuhi oleh wajib pajak sendiri jika tidak dipenuhi maka perolehan hak tentunya tidak akan bisa terealisasi karena pejabat yang berwenang dalam hal ini PPAT tidak akan bisa melakukan pengesahan peralihan hak dikarenakan pejabat PPAT belum menerima bukti pembayaran pelunasan pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan. Setelah dapat ditentukan mengenai subyek pajak dalam BPHTB tentunya dasar yang menjadi objek BHTB haruslah dapat juga ditentukan, hal ini sangat penting karena tidak semua objek yang dapat dikenakan pajak. Terhadap objek pajak BPHTB di dalam ketentuan Pasal 85 UU No. 28 Th 2009 menyebutkan yang menjadi objek pajak adalah: (1) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. (2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: 1) jual beli; 2) tukar menukar; 3) hibah;
53 4) 5) 6) 7) 8) 9)
hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; atau 13) hadiah. b. pemberian hak baru karena: 1) kelanjutan pelepasan hak; atau 2) di luar pelepasan hak. 3) hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah susun; dan f. hak pengelolaan. Dasar perolehan hak yang menjadi obyek BPHTB sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa “yang menjadi obyek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan”. Obyek perolehan pada BPHTB haruslah tanah dan atau bangunan. Dengan demikian apabila obyek perolehan hak bukan tanah dan bangunan, misalnya jual beli saham suatu perusahaan yang memiliki kantor dan pabrik, maka perolehan hak yang terjadi bukan merupakan obyek BPHTB. Undang-undang BPHTB mengatur bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi obyek pajak terdiri karena 2 (dua) hal, yaitu : Pemindahan Hak dan Pemberian Hak Baru. Pemindahan Hak yang merupakan obyek BPHTB meliputi:
54 a. Perolehan hak karena jual beli adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli tanah atau bangunan (pemilik tanah dan bangunan atau kuasanya) yang terjadi melalui transaksi jual beli, dimana atas perolehan tersebut pihak pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual dan pihak penjual menyerahkan tanah yang menjadi objek jual beli tersebut. b. Perolehan hak karena tukar menukar adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diterima oleh seorang atau suatu badan hukum dari pihak lain dan sebagai gantinya orang atau badan hukum tersebut memberikan tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain tersebut sebagai pengganti tanah dan bangunan yang diterimanya. c. Perolehan hak karena hibah adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diperoleh oleh seorang penerima hibah berupa tanah atau bangunan yang berasal dari pemberi hibah pada saat pemberi hibah masih hidup. d. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia. e. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh ahli waris dari pewaris (pemilik tanah dan bangunan) yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dalam hal ini akan
55 terjadi pewarisan yang mengakibatkan si penerima waris akan mendapat hak atas tanah atau bangunan dari si pewaris f. Perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai hasil pengalihan hak atas tanah dan bangunan dari orang pribadi atau badan hukum kepada perseroan atau badan hukum lain. g. Perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah perolehan hak Atas tanah dan bangunan yang berasal dari pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. h. Perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh seorang atau suatu badan hukum yang ditetapkan sebagai pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang i. Perolehan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah terjadi dengan peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai pihak yang semula memiliki suatu tanah dan bangunan kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim menjadi pemilik baru dari tanah dan bangunan tersebut. j. Perolehan hak karena penggabungan usaha adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha yang tetap berdiri dari badan usaha yang telah digabungkan ke dalam badan usaha yang tetap berdiri tersebut.
56 k. Perolehan hak karena peleburan usaha adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru sebagai hasil dari peleburan usaha dari badan-badan usaha yang tergabung dan telah dilikuidasi. l. Perolehan hak karena pemekaran usaha yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha yang baru didirikan yang berasal dari aktiva badan usaha induk yang dimekarkan. m. Perolehan hak karena hadiah yaitu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. Terhadap pemindahan hak yang merupakan obyek BPHTB sebagaimana disebutkan diatas bahwa ada 6 hak atas tanah dan bangunan yang dikenakan BPHTB sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria. Obyek BPHTB yang terjadi karenan pemindahan hak atas tanah dan bangunan dimaksud adalah hak atas tanah dan bangunan yang meliputi hak-hak sebagai berikut : 1. Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah, turun termurun berarti hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu
57 tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain53. 2. Hak guna usaha yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh pertauran perundang-undangan. Dengan kata lain, hak guna usaha terikat oleh jangka waktu tertentu yaitu menurut Pasal 29 undangundang pokok agraria hak guna usaha diberikan waktu paling lama 25 tahun atau untuk perusahaan tertentu dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. 3. Hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditentukan dalam undang-undang pokok agraria. 4. Hak pakai
berdasarkan Pasal 41 UUPA Nomor 5 Tahun 1960
menyebutkan bahwa hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan 53
Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 90-91.
58 pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini. 5. Hak milik atas satuan rumah susun menurut UU No.16 tahun 1985 Tentang Rumah Susun. rumah susun diartikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. 6. Hak pengelolaan hak menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksannannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Sedangkan pemberian hak baru yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan obyek BPHTB meliputi 2 (dua) jenis perolehan hak, yaitu: 1. Perolehan hak karena pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
59 2. Perolehan hak karena pemberian hak baru diluar pelepasan hak yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping objek pajak yang dikenakan BPHTB ada juga beberapa objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 85 ayat (4) UU No. 28 Th 2009 sebagai berikut: (4) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing memiliki sistem yang berbeda-beda. Sistem pelaksanaan pemungutan pajak yang dikenal adalah : a. Sistem Withholding (Withholding Tax System) Sistem withholding adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Pemotongan pajak bisa dilakukan oleh majikan, bendahara atau pemberi kerja, disebut juga sistem Pay as You Earn (PYE) dan Pay as You Go (PYGO) yang
60 artinya bayarlah pajak bsebelum menerima gaji atau sebelum pergi. Contohnya di Indonesia : Pengenaan PPh yaitu pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri54. b. Sistem Official Assessment (official assessment system) Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besanya pajak terutang oleh wajib pajak. Adapun ciri-ciri dari Official Assessment System adalah sebagai berikut : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus; 2) Wajib pajak bersifat pasif; 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. Negara yang menganut sistem pemungutan pajak ini adalah Belanda. Kelemahan dari sistem pemungutan pajak ini adalah masyarakat kurang bertanggung jawab dalam memikul beban negara yang pada hakikatnya adalah untuk kepentingan mereka sendiri dalam hidup bermasyarakat, bernegara, dan berpemerintahan55, itu terjadi disebabkan oleh ciri yang kedua yang telah disebutkan di atas, yaitu si wajib pajak bersifat pasif.
54
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 1999, Perpajakan Indonesia (Pembahasan Sesuai Dengan Ketentuan Pelaksanaan Perundang-undangan Perpajakan ), (Jakarta : Salemba Empat), hal. 91. 55 Rimsky K. Judisseno, 1999, Pajak dan strategi Bisnis (Suatu Tinjauan Tentang Kepastian Hukum Dan Penerapan Akutansi Di Indonesia ), ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hal. 24.
61 Sistem pemungutan pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan dapat digolongkan kedalam official assessment sytem dikarenakan wajib pajak akan terutang pajak setelah fiskus melakukan menetapkan besarnya pajak terutang dan memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak yang dikenal yang Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB). SPPT PBB mempunyai fungsi untuk memberitahukan kepada wajib pajak tentang besarnya pajak terutang yang ditetapkan oleh fiskus atas objek pajak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkannya. Besarnya PBB terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak dengan NJOP, dimana NJOP terdiri dari NJOP tanah dan NJOP Bangunan. Besarnya NJOP tanah merupakan hasil kali NJOP permeter persegi tanah dengan luas tanah. Sementara besarnya NJOP Bangunan merupakan hasil kali antara luas bangunan dengan NJOP bangunan permeter persegi. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan dasar pengenaan PBB. Hal ini diatur dalam pasal 79 ayat (1) UU Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. NJOP terdiri dari NJOP tanah dan NJOP bangunan. NJOP ditetapkan untuk menghitung besarnya pajak terutang sesuai keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Artinya besarnya NJOP harus sudah ditetapkan sebelum tangggal 1 Januari tahun pajak, sehingga fiskus dapat menetapkan besaran PBB terutang atas setiap objek pajak yang ada diwilayahnya. Penentuan besarnya NJOP tanah maupun bangunan untuk kondisi tanggal 1 Januari tahun pajak dilakukan melalui proses penilaian tanah dan atau bangunan. Penilaian dilakukan dengan tujuan untuk menentukan NJOP tanah maupun bangunan per Meter persegi sebagai dasar
62 pengenaan PBB. NJOP ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah (Bupati atau Walikota). NJOP tanah ditetapkan dengan satuan rupiah per meter persegi tanah sesuai lokasi tanah, yang tercermin dalam zona nilai tanah. Sementara NJOP bangunan ditetapkan berdasar besarnya biaya permeter persegi material dan upah yang melekat pada setiap komponen bangunan, yang dalam pengelolaan PBB dikenal sebagai Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). PBB merupakan pajak yang dikenakan atas tanah (permukaan bumi) dan/atau bangunan yang berada diatasnya. PBB dapat dikenakan atas tanah saja, bangunan saja, atau tanah dan bangunan. PBB merupakan pajak tahunan, artinya hanya terutang sekali dalam setahun. Perhitungan besarnya PBB terutang dalam tahun pajak dilakukan berdasarkan pada keadaan tanah dan/atau bangunan pada tanggal 1 Januari tahun pajak. Hal ini jelas diatur dalam pasal 82 ayat (2) UU PDRD. Misalnya pada tanggal 1 Januari tahun 2015 objek pajaknya hanya berupa tanah kosong dan baru ada bangunan pada tanggal 3 Januari 2015, maka besarnya PBB terutang atas objek tersebut pada tahun pajak 2015 hanya atas tanah saja, sementara bangunannya akan terutang pada tahun pajak 2016. Demikian pula sebaliknya, kalau tanggal 1 Januari 2015 objek pajak terdiri atas tanah dan diatasnya berdiri sebuah bangunan dan pada tanggal 3 Januari 2015 bangunan tersebut dirobohkan, maka PBB terutang atas objek tersebut untuk tahun pajak 2015 terdiri dari tanah dan bangunan. Melalui system official assessment dalam pemungutan PBB, sehingga sebelum terjadinya utang pajak kepada wajib pajak, Pemerintah Daerah, dalam hal ini sebagai fiskus, harus menetapkan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB atas
63 objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh subjek pajak. NJOP ditetapkan setiap 3 tahun kecuali untuk objek pajak tertentu, yaitu yang mengalami perkembangan yang pesat, dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayahnya, yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan besarnya NJOP tersebut adalah Kepala Daerah, dalam hal ini Bupati atau Walikota. Pembahasan mengenai nilai jual objek pajak (NJOP) dalam penulisan tesis ini sangat penting karena NJOP berkaitan erat dengan dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan serta berkaitan dengan pengenaan BPHTB. Seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam ketentuan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah ditentukan bahwa NJOP merupakan acuan penting untuk menggantikan harga tarnsaksi jika harga transaksi terhadap tanah dan bangunan tidak diketahui. Dalam penentuan bersaran pajak yang harus dibayar dalam pajak PBB NJOP adalah dasar pengenaan pajak terhutang sehingga NJOP merupakan cikal bakal data penentuan PBB dan BPHTB. Nilai jual objek pajak (NJOP) merupakan dasar pengenaan terhadap objek pajak bumi dan bangunan, yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, dan yang dimaksud dengan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan sedangkan yang dimaksud pajak bumi dan bangunan adalah “penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah”56 pengertian Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dalam Pajak Bumi dan
56
Agus Prawoto, op.cit, hal 9.
64 Bangunan di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), pasal 1 angka 3 berbunyi: “Nilai jual obyek pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, nilai jual obyek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual obyek pajak pengganti”. Sedangkan pada pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Dasar pengenaan pajak
adalah nilai jual obyek. Pajak
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan
setiap tiga tahun oleh Menteri
Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. Sehubungan dengan keterangan di atas maka yang dimaksud dengan ketentuan
Pasal 1 angka 3 dapat dilihat dari penjelasan UU PBB yang
menjelaskan bahwa : - mengenai perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkan dengan obyek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dengan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. - Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan / metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
65 - Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan / metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat peran dari NJOP disamping merupakan patokan dasar sebagai dasar tarif pengenaan pajak bumi dan bangunan maka NJOP juga menjadi dasar patokan yang penting untuk menentukan nilai harga pasar yang wajar sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan pasal 1 angka 3 UU. PBB, sehingga NJOP PBB sebagaimana dikaitkan dengan dasar pengenaan BPHTB memiliki keterkaitan yang sangat erat hal itu dikarenakan NJOP juga merupakan salah satu faktor untuk menentukan besaran BPHTB yang akan dibayar atas dasar nilai transaksi jual beli tanah. NJOP memiliki kalsifikasi yang berbeda antara NJOP disatu bidang tanah dengan NJOP yang lain, hal ini dikarenakan NJOP yang menjadi dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan memiliki letak geografis dan fungsi yang berbeda jika suatu tanah memiliki letak geografis yang memiliki nilai ekonomis lebih tentunya NJOP PBB terhadap tanah itu akan semakin tinggi dan begitupun sebaliknya bahwa semakin letak tanah serta pemnafaatan tanah tersebut tidak memiliki ekonomis yang lebih maka NJOP tanah tersebut akan semakin rendah. NJOP memiliki klasifikasi yang begitu beragam sehingga kesulitan yang terjadi dalam menentukan penilaian NJOP begitu kompleks. Penentuan klasifikasi NJOP dalam PBB, tanah dan bangunan yangdipengaruhi oleh banyak faktor itu tidak mungkin nilainya dapat disamaratakan antar objek tanah yang satu dengan objek tanah yang lainnya. Penentuan klasifikasi atas NJOP dapat dilihat dalam penjelasan
66 ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU No. 12/1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan yaitu
yang
dimaksud
dengan
klasifikasi
bumi
dan
bangunan
adalah
pengelompokan dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terhutang. Penentuan NJOP sebagai dasar pembayaran berasan pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak ditentukan oleh suatu penilaian sehingga dari penilaian tersebut akan diperoleh data yang objektif yang memenuhi rasa keadilan di masayarakat. Pungutan pajak bumi dan bangunan merupakan pajak objektif dan bersifat kebendaan hal itu dikarenakan besarnya ketetapan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak ditentukan dengan ukuran tanah, letak tanah dan kualitas tanah. Terhadap bentuk , ukuran dan letak geografis suatu objek pajak dapat direprsentasikan dalam suatu data pendukung yang berupa peta wilayah. Pemetaan objek pajak berdasarkan dari peta wilayah dapat ditentukan dari berbagai faktor sebagai berikut : 1. Nomor Objek Pajak (NOP) yaitu system penomoran untuk memberikan identitas yang unik, tetap, dan standar bagi seluruh objek pajak57. Tujuan didari pada penomoran objek pajak adalah berfungsi untuk mempermudah pencarian lokasi objek tanah. 2. Melakukan penetapan blok tanah yaitu pengelompokan bidang tanah sebagai petunjuk lokasi dan sarana identifikasi objek pajak58. Didalam blok objek pajak memperlihatkan gambaran tentang kode, batas blok tanah dan batas-batas objek pajak serta memuat keterangan data 57
ibid, hal. 26. Ibid.
58
67 penunjang yang lain yang termasuk ke dalam penentuan blok tanah seperti letak dan batas-batas tanah dalam suatu wilayah keluarahan/ desa. 3. Zona nilai tanah (ZNT) yaitu zona geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang mempunyai satu nilai indikasi rata-rata (NIR)59. Zona berfungsi sebagai mengidentifikasi nilai tanah dalam bentuk gambar peta. Fungsi peta dalam penentuan nilai tanah adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi letak, ukuran dan luas objek pajak yang dituangkan dalam bentuk peta blok. 2. Representasi klarifikasi NJOP bumi yang dituangkan dalam peta ZNT 3. Kerangka pembinaan wilayah yang dituangkan dalam peta wilayah dan peta desa kelurahan 4. Input SIG PBB60 Disamping penentuan kelasifikasi disebutkan diatas penentuan klasifikasi NJOP pajak bumi/tanah juga harus diperhatikan faktor faktor sebagai berikut: 1) Letak tanah / bangunan 2) Peruntukan tanah / bangunan 3) Pemanfaatan 4) Kondisi lingkungan 5) Luas tanah, bumi dan bangunan 6) Kesuburan atau hasil tanah / bangunan 7) Adanya irigasi atau tidak dan lain sebagainya.
59
Ibid. Ibid.
60
68 Melalui faktor-faktor dalam melakukan klasifikasi penentuan nilai tanah maka data tersebut akan dilakukan suatu penilaian PBB, penilaian untuk menentukan PBB adalah “suatu kegiatan menghitung nilai jual beli bumi dan atau bangunan dalam rangka melakukan pembagian beban pajak bumi dan bangunan secara merata dan seadil mungkin berdasarkan karakteristik objek pajak dan sesuai dengan nilai jualnya”61. Fungsi penilaian merupakan salah satu indikator untuk menentukan kisaran harga pasar dari suatu objek pajak untuk menentukan perkiraan nilai yang selanjutnya dari hasil penilaian tersebut akan menghasilkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 disebutkan : Nilai jual objek pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat tarnsaksi jual beli nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai Jual Objek Pajak dan Pengganti Faktor-faktor tersebut diatas merupakan suatu dasar untuk melakukan suatu penilaian atau kalsifikasi terhadap NJOP PBB sehingga apa yang menjadi hasil penilaian akan sangat objektif dan memenuhi rasa keadilan bagi masayarakat dalam pembebanan pajak yang didasarkan atas NJOP PBB. Begitupun dalam penentuan klasifikasi terhadap suatu bangunan dimana bangunan yang merupakan salah saru objek pajak bumi dan bangunan memiliki suatu ukuran atau klasifikasi yang berbeda, dalam penentuan klasifikasi bangunan beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
61
ibid, hal 27.
69 1) Bahan yang digunakan 2) Rekayasa 3) Letak 4) Kondisi lingkungan dan lain-lain c. Sistem Self Assessment (Self Assessment System) Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Seperti halnya dalam pengenaan pajak lainnya, sistem perpajakan yang diterapkan dalam pengenaan BPHTB adalah menganut sistem self assessment. Secara umum sistem self assessment memiliki pengertian bahwa pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. “Sistem
pemungutan
yang
berlaku adalah self assesment system, di mana segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan”62. Pemerintah dalam hal ini memiliki peran untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kewajiban perpajakan tersebut. Pemberlakuan system self assessment dalam pemungutan pajak BPHTB mempunyai ciri tersendiri yaitu : 1. Bahwa pungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
62
Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006, Perpajakan Konsep, Teori dan Isu, Kencana, Jakarta, hal. 109.
70 bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional; 2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; 3. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendir pajak yang terutang (self asessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.63 Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya yang mengatur tentang BPHTB, dinyatakan bahwa setiap orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar BPHTB. Terhadap besarnya BPHTB yang terutang dibayar sendiri oleh wajib pajak melalui bank yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai tempat pembayaran dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) Besarnya BPHTB terutang dihitung sendiri oleh wajib pajak sesuai formula yang telah ditetapkan. Selanjutnya, atas pembayaran BPHTB yang dilakukan wajib dilaporkan sendiri oleh wajib pajak kepada pemerintah, salah satunya kepada pemerintah kabupaten/kota sebagai pengelola BPHTB. Besarnya BPHTB terutang dihitung dengan mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak yang sebelumnya dikurangi dengan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
63
Tjip Ismail, 2013, Analisis Dan Evaluasi Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, hal. 13.
71 Besarnya NPOPTKP untuk waris, hibah atau hibah wasiat ditetapkan paling rendah Rp300.000.000 dan untuk perolehan lainnya seperti jual beli paling rendah Rp 60.000.000. Besarnya NPOPTKP untuk setiap kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah. Tarif ditetapkan dengan peraturan daerah, dimana dalam Undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah diatur paling tinggi 5%. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yang ditentukan berdasarkan jenis transaksi perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Perolehan hak karena transaksi jual beli ditentukan NPOP-nya adalah harga transaksi. Perolehan hak karena penunjukan pemenang lelang ditentukan NPOP-nya adalah harga yang tercantum dalam risalah lelang, dan untuk jenis transaksi perolehan hak yang lainnya ditentukan NPOP nya adalah harga pasar. Selanjutnya diatur bahwa, apabila harga transaksi atau nilai pasar tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB tahun tersebut, maka ditentukan bahwa NPOP sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah sebesar NJOP PBB yang berlaku. Secara umum formula perhitungan BPHTB terutang adalah Tarif x (NPOP-NJOPTKP). Pembayaran BPHTB terutang dilakukan sendiri oleh wajib pajak melalui bank tempat pembayaran yang ditunjuk. Pembayaran dilakukan dengan menggunakan formulir SSPD yang dapat diperoleh di Bank tempat pembayaran, Kantor Badan Pertanahan Nasional, kantor Notaris, kantor Dinas Pendapatan Daerah setempat, atau tempat lain yang ditunjuk. Dalam formulir SSPD tersebut telah dengan jelas dicantumkan
penghitungan besarnya BPHTB terutang, sehingga wajib pajak
dengan mudah dapat menghitungnya sendiri. Pelaporan dilakukan wajib pajak
72 dengan menyampaikan salah satu lembar SSPD yang telah dicantumkan tanda pelunasan serta Nomor Tanda Penerimaan Negara (NTPN) dari bank tempat pembayaran, kepada pemerintah kabupaten/kota ( Dinas Pendapatan Daerah) sebagai pengelola BPHTB. Kewajiban pemerintah kabupaten/kota sebagai fiskus adalah melakukan pembinaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban BPHTB yang dilakukan wajib pajak. Apabila ternyata menurut fiskus ada ketidakbenaran dalam pelaporan yang dilakukan oleh wajib pajak, maka wajib
dilakukan
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan yang dilakukan fiskus dapat menambah jumlah BPHTB terutang sehingga harus diterbitkan Surat Ketetapan Kurang Bayar, dengan memperhitungkan (menambahkan) denda administrasi atas kekurangan bayar tersebut. Hasil pemeriksaan juga dapat menyatakan bahwa jumlah BPHTB yang telah dibayar oleh wajib pajak lebih besar dari yang seharusnya terutang, sehingga harus segera diterbitkan Surat Ketetapan Kelebihan Pembayaran dan dilanjutkan dengan restitusi atau kompensasi, atau hasil pemeriksaan menyatakan bahwa jumlah BPHTB yang telah dibayar sama dengan yang seharusnya terutang, sehingga harus diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil.
2.2.
TINJAUAN UMUM TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
2.2.1. Sejarah Berlakunya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1998. Didalam memori penjelasan Undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB
73 disebutkan bahwa bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki fungsi secara sosial dan juga memnuhi kebutuhan papan serta alat untuk berinvestasi yang dapat menguntungkan bagi kehidupan bermasayarakat secara umum dan bagi pemiliknya secara khusus. Oleh karea itu bagi seseorang yang mendapatkan atau memperoleh hak atas tanah dan bangunan sudah merupakan kewajiban untuk menyerahkan beberapa persen dari hasil yang telah dinikmatinya kepada Negara selaku penguasa yang mengusahakan tanah ataupun bangunan yang ada dan berdiri di wilayah Negara Indonesia dalam bentuk pungutan pajak dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Seperti yang telah diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia atau yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), setiap pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, dipungut Bea Balik Nama berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Obyek Bea Balik Nama (BBN) menurut ordonansi tersebut adalah 1. Semua perjanjian harta tetap yang terletak atau berada di Indonesia 2. Akta pendaftaran dan pemindahan kapal 3. Semua peralihan karena warisan atau legaat dari harta tetap atau kapal yang terdaftar yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mempunyai tempat tinggal terakhir di indinesia64 Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap ada perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena 64
Muhammad, 2005, PBB, BPHTB & BEA MATERAI: Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, hal. 126.
74 hibah wasiat. Pengertian dari harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barangbarang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undangundang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblaad 1834 Nomor 27.65 Berlakunya
Undang-undang
Pokok
Agraria
(UUPA)
membawa
konsekuensi, bahwa pungutan Bea Balik Nama (BBN) atas harta tetap berupa tanah tidak dapat dilaksanakan, karena pungutan tersebut melekat pada hukum tanah berdasarkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dicabut oleh Undangundang Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian sejak berlakunya Undangundang Pokok Agraria (UUPA), Bea Balik Nama (BBN) atas tanah tidak dipungut lagi. Pemberlakuan pemungutan BPHTB merupakan pengganti dari pada bea balik nama atas harta tetap yang berupa hak atas tanah yang pernah berlaku pada masa penjajahan belanda. setelah sekian lama tidak dilakukan pemungutan kembali oleh pemerintah maka dengan melihat suatu perkembangan yang terjadi di Indonesia serta kebutuhan suatu Negara demi terlaksananya pembangunan yang makmur maka pada tahun 1998 melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB pemungutan BPHTB diberlakukan kembali, kemudian beberapa tahun kemudian pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU Nomor 21 65
Heru Supriyanto, 2010, Cara Menghitung PBB, BPHTB, dan Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, hal. 111.
75 Tahun 1997 tersebut dengan dikeluarkannya UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 tahun 1997. BPHTB yang dalam undang-undang 20 Tahun 2000 merupakan pajak pusat yang dipungut langsung oleh pemerintah pusat, hal demikian memang sangat diapresiasi karena dengan diberlakukannya UU BPHTB akan lebih manjamin suatu kepastian hukum dibidang peralihan hak atas tanah. Dengan berlakunya otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan terakhir dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2014). Prinsip otonomi daerah mengandung arti bahwa daerah memiliki otonomi seluas luasnya dalam artian daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Seiring dengan prinsip otonomi seluas-luasnya tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang.66 Demi terlaksananya visi misi prinsip otonomi daerah maka dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang pada mulanya merupakan pajak pusat, dialihkan pemungutan dan pemanfaatannya bagi pemerintah daerah. Pemberian kewenangan baru pada daerah-daerah di Indonesia dalam melakukan pemungutan 66
Jantje D. South, 2013, “Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)”, Jurnal Hukum Universitas Samratulangi Vol. I Nomor 5, OktoberDesember 2013, hal. 80.
76 dan pengelolaan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, adalah sebuah penerapan dari sistem penyelenggaraan otonomi daerah. Prinsip dari pemberian hak otonomi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota tentunya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. The Liang Gie mengungkapkan bahwa : Tujuan menciptakan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah membahagiakan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan menciptakan daerah-daerah otonomi adalah untuk hal yang sama, sekurang-kurangnya untuk mengusahakan masyarakat yang adil dan makmur dalam masing-masing daerah yang bersangkutan.67 BPHTB adalah salah satu jenis pajak pusat yang kemudian dialihkan oleh pemerintah pusat menjadi pajak daerah melalui undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengaturan BPHTB sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000.68 Namun beberapa perbedaannya adalah adanya ketentuan dalam beberapa pasal dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut yang menentukan beberapa jenis pajak yang dialihkan dari awalnya pajak pusat menjadi pajak daerah. Tentunya dengan dialihkannya beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah melalui UU Nomor 28 Tahun 2009, akan meningkatkan
67
The Liang Gie, 1978, Kumpulan Pembahasan Terhadap Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Indonesia, Cet. II, Karya Kencana, Yogyakarta, hal. 10. 68 Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta, hal. 214.
77 akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah serta pemberian kewenangan yang lebih besar dibidang perpajakan khususnya untuk pajak daerah. Danny Burn, et.all, mengemukakan bahwa otonomi daerah dengan sistem desentralisasi mempunyai
fungsi
strategis
dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam pandangan para penulis ini dikemukakan : “Decentralisation offers an attractive alternative to market models because it has the potential not only to provide responsive, high quality services, but also a range of possibilities for strengthening citizen involvement in the governing process”69. Dalam terjemahan dapat diberi arti bahwa Desentralisasi memberikan suatu alternatif yang cukup menarik untuk model pemasaran, oleh karena tidak
saja
bersifat
responsive dan
mampu memberikan pelayanan yang
berkualitas tinggi, akan tetapi sangat memungkinkan memperkuat peran serta masayarakat dalam proses pemerintahan). BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas dasar perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pada dasarnya dikenakan kepada subyek hukum yaitu orang dan atau badan yang menerima perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terjadi di wilayah Negara Indonesia. Perolehan hak atas tanah merupakan suatu perolehan suatu hak yang didasarkan atas adanya suatu perbuatan atau peristiwa dimana karena suatu perbuatan hukum seseorang atau badan akan secara sadar melakukan suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan haknya kepada pihak lain yang menerima misalnya dalam hal jual beli, hibah dan lain-lain, sedangkan 69
Danny Burn, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, The Politics of Decentralisation, Revitalising Local, Democracy, The Macmillan Pres Ltd. London, hal. XIV.
78 peralihan hak karena suatu peristiwa hukum terjadi apabila karena adanya peristiwa hukum ,misalnya keematian yang mengakibatkan adanya pewarisan.
2.2.2. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Upaya pemenuhan suatu Negara berkaitan dengan anggaran untuk dapat berlangsungnya kehidupan negara adalah salah satu bersumber dari pemungutan pajak, pajak merupakan salah satu pendapatan suatu Negara yang digunakan untuk pembangunan agar terciptanya kemakmuran masayarakat. Pendapatan Negara yang bersumber dari sektor pajak adalah hal yang utama dan BPHTB merupakan salah satu sektor pendapatan yang bersumber dari pajak, Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu pajak baru yang dipungut oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota di Indonesia. Penerapan BPHTB sebagai pajak daerah diatur secara keseluruhan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Disamping dari pajak ada beberapa sumber pendapatan Negara yang mempunyai pengertian yang sama dengan pajak yaitu bea dan cukai. Pajak bea dan cukai merupakan peralihan suatu kekayayan dari sektor swasta ke sektor pemerintah. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) secara gramatikal tersusun dari beberapa kata yaitu: Bea, Perolehan, Hak, Tanah dan Bangunan yang menurut kamus besar bahas Indonesia masing-masing memiliki arti sebagai berikut : a. Kata bea dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu : 1. Pajak; cukai;
79 2. Biaya atau ongkos b. Kata perolehan diartikan memperoleh c. Kata hak diartikan milik atau kepunyaan d. Kata tanah diartikan sebagai permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperoleh suatu Negara atau menjadi daerah Negara e. Kata bangunan yang artinya yang didirikan; yang dibangun Jadi dari arti kata tersebut maka secara gramatikal bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat disimpulkan memiliki pengertian pajak yang harus dibayar oleh seseorang atau badan yang memperoleh hak atau kepemilikan tanah dan atau bangunan. Dari pengertian yang dijelaskan di atas maka terdapat tiga hal yang harus diketahui dan dipahami untuk memperjelas mengenai pengertian BPHTB, ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan suatu perbuatan hukum atau suatu peristiwa hukum yang mengakibatkan orang atau badan memperoleh hak atas tanah dan bangunan. 2. Hak atas bangunan yang dimaksud adalah hak-hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan undang-undang pokok agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1965 Tentang Rumah Susun serta ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku lainnya. 3. Surat setoran Bea Prolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau surat setoran pajak daerah adalah surat yang diperoleh oleh wajib pajak untuk digunakan sebagai alat untuk melaporkan pajak yang terhutang dan
80 untuk melakukan pembayaran pajak ke kas Negara melalui Bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Menurut peraturan perundang-undangan pengertian tentang pajak BPHTB terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 41 UU No. 28 Th 2009 disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Selanjutnya dalam angka 42 ditentukan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Dijelaskan lagi dalam angka 43 bahwa “Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan”. Pengertian diatas baik secara gramatikal maupun secara undang-undang memiliki kesamaan yaitu keduanya menegaskan bahwa bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan pajak yang mendasarkan terhadap objek perolehan hak atas tanah dan bangunan, BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimaksud adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada dasarnya dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima oleh orang pribadi atau badan
81 hukum yang terjadi dalam Wilayah Hukum Negara Indonesia. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak terhutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta peralihan hak seperti jual beli, hibah, tukar menukar, atau risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak atas tanah dapat dibuat dan ditanda tangani oleh Pejabat yang berwenang. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak70. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah jenis hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1)
yang
menyebutkan : (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. hak milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
70
Marihot Pahala Siahaan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek, Edisi I ,Cet. I, Jakarta : PT. Raja Grafindo, hal 59.
82 berbeda dengan pengertian bea dan cukai yang meskipun keduanya merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang bersumber dari pajak. Bea dalam hal ini dapat dibedakan menjadi atas dua yaitu bea masuk dan bea keluar. Bea masuk ialah, bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang di masukkan ke aerah pabean dengan maksud untuk dipakai, dan dikenakan bea menurut tarif tertentu yang penyelenggaraannya diatur dan ditetapkan dengan undang-undang dan keputusan menteri keuangan. Bea keluar ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang-barang yang tertentu yang dikirim keluar daerah Indonesia, dan dihitung berdasarkan tarif tertentu, hal mana diatur dan ditetapkan dalam undang-undang71. Dari definisi bea tersebut dapat dilihat bahwa bea masuk maupun bea keluar memiliki pengertian yang sama yaitu bahwa keduanya merupakan pengenaan pajak atas suatu barang baik barang yang dimasukkan ke dalam negeri maupun barang yang akan dikeluarkan ke daerah lain, sedangkan cukai dalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu72. Tidak semua barang akan dikenakan cukai hanya barang-barang tertentu saja yang dikenakan cukai seperti minuman keras, bensin dan jenis benda bergerak lainnya. Perbedaan antara BPHTB dengan bea cukai terlihat jelas dimana dasar pengenaan pajak terhadap BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan sedangkan bea dan cukai dasar pengenaan pajaknya dalah benda-benda yang bergerak yang ditentukan oleh undang-undang, perbedaan lainnya adalah BPHTB dalam pemungutan pajaknnya menggunakan system self assessment system yaitu dimana wajib pajak diberikan keleluasaan untuk menghitung dan membayarkan sendiri hutang pajaknnya, sedangkan bea dan cukai tarif pajak dan cara penghitungannya 71 72
H. Bohari, op.cit, hal. 13. Ibid.
83 ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan tarif yang telah ditentukan dalam pertauran perundang-undangan.
2.2.3. Dasar Hukum Pengaturan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Sebagai Negara yang berdasarkan oleh hukum sangatlah jelas bahwa segala tindakan pemerintah haruslah berdassar dengan hukum yang berlaku, hal itu sebagai pemenuhan asas legalitas suatu Negara. Konsepsi Negara hukum Indonesia tertuang secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” yang artinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (Machtsstaat), dan absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas)73 Di dalam ketentuan pasal 23A UUD RI 1945 yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang” hal tersebut berlaku secara limitativ dalam artian ketentuan mengenai pemungutan yang dilakukan oleh Negara haruslah berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut merupakan sebuah hal yang positif agar negara tidak sewenang-wenang membebankan pungutan baik itu berupa pajak atau pungutan lain yang bersifat memaksa kepada
73
Winarno, 2007, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal. 116.
84 warganya tanpa diatur dengan undang-undang sebagai sebuah perwujudan negara hukum.74 Dengan diberlakukannya suatu undang-undang maka secara hukum telah memiliki legalitas yang menjamin suatu Negara atau tindakan pemerintah dalam memungut pajak adalah sah secara hukum. Demikian juga dalam penerapan pemungutan BPHTB yang juga merupakan salah satu pendapatan Negara yang bersumber dari pajak juga harus didasarkan atas ketentuan pearturan perundangundangan yang sah dalam arti peraturan perundang-undangan tersebut berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Pemungutan pajak tidak dapat dipaksakan secara sewenang-wenang oleh pemerintah, pemungutan pajak tentunya harus mendapat persetujuan oleh rakyat, maka dari itu perwakilan rakyat melalui anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat membuat suatu rancangan undang-undang (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis RUU) yang mengatur tentang pajak yang seterusnya akan dibahas bersama presiden dan jika RUU tersebut telah mendapat persetujuan dari presiden maka suatu rancangan undang-undang akan menjadi berlaku setelah disahkan oleh presiden. Berlakunya RUU menjadi undang-undang maka secara hukum penerapan pemungutan pajak yang akan diterapkan oleh pemerintah tentunya sah secara hukum.
Dalam menyusun peraturan pajak,
pemerintah dapat memasukkan politik yang dikehendakinya dalam peraturan pajak. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pajak dapat digunakan oleh pemerintah
74
Muhammad Djafar Saidi, 2010, Pembaruan Hukum Pajak, (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 8.
85 sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya walaupun sebagian orang mengatakan bahwa pajak harus bersifat netral75. Pungutan uang pajak lazimnya adalah berupa uang atau natura yang diberikan oleh masayarakat dimana hal tersebut tidak akan mendapat kontraprestasi atau imbalan dari pemerintah secara langsung, uang pajak tersebut akan digunakan untuk membiayai kepentingan umum di dalam masyarakat, sehingga dapat disimpulkan bahwa pentinganya dasar hukum atas pemungutan pajak adalah untuk kepentingan umum. Maka dapat dikatakan hanya ada pajak jika ada masyarakat, dan jika ada masyarakat tentunya ada kepentingan umum76. Pentingnya suatu pungutan pajak yang melalui persetujuan oleh rakyat merupakan faktor terpenting dalam pemungutan pajak dalam suatu Negara, hal ini berkaitan dengan kepentingan umum yang dibiayai oleh uang pajak, tentunya penggunaan uang pajak untuk kepentingan umum disusun melalui anggaran belanja Negara (dalam tulisan ini selanjutnya ditulis APBN) yang disusun oleh pemerintah dan diajukan kepada DPR untuk mendapat persetujuan atas anggaran yang disusun untuk kepentingan belanja Negara atau untuk kepentingan umum. Apabila suatu rancangan APBN telah mendapat persetujuan dari DPR maka rancangan APBN tersebut menjadi dasar pengeluaran Negara untuk menggunakan uang yang berasal dari pajak sehingga peran masayarakat dalam hal ini dapat mengetahui dan melakukan control terhadap penggunaan uang pajak tersebut sehingga apa yang menjadi kesepakatan antara pemerintah dengan masayarakat
75
Rochmat Soemitro, 1990, Asas Dan Dasar Perpajakan I, PT. ERESCO, Bandung, (selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I), hal. 2. 76 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro II), hal. 9.
86 terkait pemungutan pajak dapat diberlakukan secara baik dan berlaku hukum secara sah. Dapat dilihat bahwa ikatan pemerintah dengan masayarakat dalam pemungutan pajak berkaitan sangat erat yaitu berjalannya pemerintahan merupakan dukungan dari pada masayarakat itu sendiri melalui setoran pajak, maka masayarakat mempunyai kewenangan untuk mengetahui uang pajak yang disetorkan kepada pemerintah guna menjaga kepercayaan masayarakat terhadap pemerintah.
Berkaitan dengan hal tersebut, satu semboyan yang dikenal di
inggris yaitu “no taxation without representation, dan di amerika dikenal dengan semboyan “taxation without representation is robbery” 77. Dari penjelasan tersebut dapat jelaskan bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan dengan undang-undang, karena dengan adanya undang-undang maka setiap tindakan pemerintah yang melakukan pemungutan pajak akan mejadi sah secara hukum serta dapat menjamin hak dan kewajiban secara seimbang. Demikian juga dalam pemungutan BPHTB tentunya harus didasarkan hukum melalui undang-undang serta peraturan-peraturan pemerintah sebagai aturan hukum pelaksana agar penerapan pemungutan BPHTB dapat berjalan sesuai aturan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang mengatur perpajakan dan BPHTB secara khusus yang pernah berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, undang-undang ini telah menggantikan ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Undangundang ini 77
diundangkan pada tanggal 29 Mei tahun 1997 dan
Tunggul Anshari Setia Negara, 2006, Pengantar Hukum Pajak, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 32.
87 diberlakukan pada tanggal 1 januari 1998 akan tetapi akibat adanya gejolak moneter pada saat itu pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 dutangguhkan dalam kurun waktu 6 bulan terhitung dari tanggal 1 januari 1998 sampai dengan tanggal 30 juni 1998. 2. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun
1997 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang No 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Perpu ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 desember 1997 dan dinyatakan berlaku pada saat diundangkan. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-unadang Nomor 1 Tahun 1997 Tentang penangguhan Mulai Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menjadi undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 dan disahkan pada tanggal 16 pebruari 1998 serta dinyatakan berlaku pada saat diundangkan. 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, undang-undang ini diundangkan pada tanggal 02 Agustus Tahun 2000 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 2001 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, tambahan lembaran Negara Nomor 3312 sebagaimana telah diubah dengan
88 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, lembaran Negara tahun 1994 Nomor 62, tambahan lembaran Negara Nomor 3569. 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei Tahun 1997 dan berlaku pada saat diundangkan yaitu pada tanggal 23 Mei Tahun 1997 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 246, undang-undang ini di sahkan di Jakarta pada tanggal 20 desember tahun 2000 dan berlaku pada saat diundangkan yaitu pada tanggal 20 desember tahun 2000 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, lembaran Negara tahun 2001 Nomor 118, berlaku pada saat diundangkan yaitu pada tanggal 13 September 2001 9. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, lembaran Negara tahun 2001 Nomor 119, berlaku pada saat diundangkan pada tanggal 13 september tahun 2001 10. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 serta tambahan Lembaran Negara Nomor 5049, undang-
89 undang ini di sahkan di Jakarta pada tanggal 15 September 2009 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 September 2009 UndangUndang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010 11. Peraturan pemerintah Nomor 34 Tahun 1997 Tentang Pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 12. Peraturan pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 Tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 13. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 14. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04.2000 Tentang Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dari berbagai perturan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak penulis mengkhususkan membahas tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BPHTB. Arti penting berlakunya undang-undang No 28 Tahun 2009 sebagai pengganti undang-undang retribusi daerah yaitu undang-undang Nomor 18 tahun 1997 serta perubahnnya undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 merupakan penyempurnaan dari UU No. 34 Tahun 2000
dan peraturan
pelaksanaannya yaitu peraturan pemerintah Nomor. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan peraturan pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Peraturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
diatur
dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
90 Daerah, pengaturan disini bersifat umum dan mengatur mengenai batasan pemerintah dalam memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Untuk pemberlakuan bagi masing-masing daerah, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengamanatkan harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah. karena UndangUndang
pajak
daerah
dan
retribusi
daerah adalah sekedar sarana untuk
penerimaan daerah. Prinsip-prinsip yang dianut oleh Peraturan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti undang-undang pajak daerah dan retribusi sebelumnnya yang pernah berlaku adalah sebagai berikut: 1. Sistem perpajakan dalam pemenuhan kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dihitung berdasarkan system self assessment yaitu wajib pajak diberikan kewenangan untuk menghitung dan membayarkan pajak terhutang. 2. Tarif pajak ditetapkan sebesar 5 % dari nilai perolehan objek pajak kena pajak 3. Penegasan sanksi terhadap wajib pajak maupun kepada pejabat umum yang melanggar ketentuan sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang. 4. Hasil pemungutan pajak pajak dari BPHTB merupakan penerimaan Negara yang bersumber dari pajak yang sebagian besar akan diserahkan kepada daerah otonomi guna untuk meningkatkan
91 pendapatan asli daerah dalam rangka menjalankan prinsip otonomi daerah. 5. Pemungutan BPHTB yang semula merupakan pajak pusat dan dipungut oleh pusat beralih menjadi pajak daerah dan dipungut oleh daerah otonomi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Segala pungutan yang diluar undang-undang perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak diperkenankan. Berbagai
peraturan
perundang-undangan
mengatur
tentang
dasar
pemungutan BPHTB telah beberapa kali mengalami perubahan dan penggantian sampai akhirnya BPHTB yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pusat sekarang telah menjadi pajak daerah. BPHTB sebelumnya adalah merupakan pajak pusat yaitu bahwa BPHTB merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah hanya melakukan pemungutan sesuai peraturan yang berlaku. peraturan-peraturan yang mengatur Sebelum BPHTB diberlakukan sebagai Pajak Daerah yaitu Undang-Undang No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No.20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924
No.921 dimana di dalam peraturan tersebut BPHTB masih
merupakan pajak pusat yang dikelola oleh pusat dan kemudian adanya UndangUndang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB telah dilimpahkan atau dimasukkan kedalam pajak daerah sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 85 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang PDRD yang
92 secara umum memuat dasar pengenaan BPHTB. Sebagai akibat dilimpahkannya BPHTB yang sebelumnnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah maka daerah otonomi dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Badung membuat Peraturan Daerah No. 28 Tahun 2013 perubahan atas Perda Nomor 14 Tahun 2010 Tentang BPHTB yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai dasar hukum pemungutan pajak oleh daerah. Sebagai payung hukum atau dasar hukum yang dijadikan dasar pemungutan dan pengelolaan BPHTB oleh pemerintah daerah setempat maka di dalam Perda No. 28 Tahun 2013 perubahan atas Perda No. 14 Tahun 2010 Tentang BPHTB juga memuat ketentuan yang secara organis bersesuaian dengan ketentuan peraturan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah Dan Retribusi Daerah. Sebagai peraturan pelaksana pemungutan BPHTB maka pemerintah kabupaten badung juga mengeluarkan peraturan Bupati Badung No.72 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. Secara teknis bahwa sistem pemungutan BPHTB diatur dalam peraturan Bupati No. 72 Tahun 2014 dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) yang memuat antara lain sistem penelitian SSPD, didalam penelitian SSPD tersebut dilakukan suatu verifikasi terhadap kejelasan dan kebenaran serta penelitian lapangan dari pada SSPD yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dispenda Kabupaten Badung. Demikian telah dijelaskan dasar hukum pengaturan undang-undang yang mengatur tentang pajak dan secara khusus yang mengatur tentang BPHTB serta peraturan undang-undang yang mengatur mengenai dasar pemungutan pajak BPHTB yang dipungut oleh daerah otonomi sehingga dalam pemungutan BPHTB
93 oleh daerah dalam hal ini kabupaten Badung juga telah memiliki payung hukum sehingga pemungutan BPHTB oleh pemerintah kabupaten Badung melalui Dinas Pendapatan DaerahDispenda Kabupaten Badung dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pemungutan BPHTB oleh Daerah Kabupaten Badung yang nantinya melalui tahapan verifikasi merupakan suatu proses untuk melakukan pemeriksaan suatu laporan SSPD yang dilaporkan oleh wajib wajak atas kebenaran dan kejelelasan dari laporan pajak tersebut. Penulis dalam hal ini akan meneliti mengenai penerapan verifikasi yang dilakukan oleh dispenda menurut peraturan Bupati No. 72 Tahun 2014 yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
2.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Secara umum dasar pengenaan pajak (tax base) di dunia yang dikenal hingga saat ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu dari penghasilan dan dari bisnis (Income and business), konsumsi (Consumption) dan kekayaan (Wealth). pada masing-masing kategori dasar pengenaan tersebut dikenakan jenis pajak tertentu. Beberapa jenis kategori tersebut kemudian dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kategori kekayaan, terdiri dari jenis pajak bangunan (property tax), pajak bumi (estate tax), pajak warisan (inheritance tax), pajak hibah (transfer taxes).78
78
http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_pengenaan_pajak, diakses pada tanggal 2 November
2014.
94 2. Kategori penghasilan dan bisnis dikenakan pajak untuk jenis pajak seperti penghasilan orang pribadi, pajak penghasilan badan hukum , pajak pertambahan nilai, pajak pemotongan, pajak premi perusahaan asuransi dan pajak lisensi. 3. Kategori konsumsi dikenakan jenis pajak; pajak penjualan pajak honorarium, pajak bahan bakar minyak, pajak minuman beralkohol, pajak produk tembakau, pajak hotel/motel, pajak restaurant, pajak percakapan telepon. Ketiga kategori dasar pemungutan pajak tersebut diatas merupakan kategori umum atas pengenaan pajak dari hasil kegiatan masayarakat, sehingga dalam pemungutannya pemerintah tentunya menyiapkan istrumen berupa perundang-undangan yang jelas agar hak dan kewajiban atas pemungutan pajak tersebut dapat berjalan secara seimbang. Dari kategori dasar pengenaan pajak diatas dasar pengenaan pajak BPHTB termasuk kedalam kategori pajak atas kekayaan yang meliputi salah satunya kepemilikan property dalam hal ini tanah atau bangunan, pengenaan pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan sebagaimana diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu diatur di dalam UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dasar pengenaan BPHTB sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 87 UU No. 28 Tahun 2009 Tentang PDRD adalah : (1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. (2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
95 a. jual beli adalah harga transaksi; b. tukar menukar adalah nilai pasar; c. hibah adalah nilai pasar; d. hibah wasiat adalah nilai pasar; e. waris adalah nilai pasar; f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k. penggabungan usaha adalah nilai pasar; l. peleburan usaha adalah nilai pasar; m. pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. (3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. (4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas maka melalui tabel dibawah ini dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 2.2.4 Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB No. 1 2 3 4
Sumber Perolehan hak atas Tanah dan atau Bangunan Jual Beli Tukar Menukar Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Pemasukan dalam perseroan
Dasar Pengenaan Pajak Harga transaksi Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar
Pengaturan Pasal 87 ayat (2) Pasal 87 ayat (2) Pasal 87 ayat (2) Pasal 87 ayat (2)
96
5 6
7
8 9 10 11
atau badan hukum lainnya Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak Penunjukan lelang
pembeli
dalam
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran usaha Hadiah
Nilai pasar Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang
Pasal 87 ayat (2) Pasal 87 ayat (2)
Pasal 87 ayat (2) Nilai pasar Pasal 87 ayat (2) Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar Nilai pasar
Pasal 87 ayat (2) Pasal 87 ayat (2) Pasal 87 ayat (2)
Dari keterangan tabel diatas bahwa dasar pengenaan BPHTB berbeda-beda dalam hal jual beli dasar pengenaan BPHTB menggunakan harga transaksi dan jika dalam harga transaksi tidak diketahui maka menurut pasal 87 ayat (3) harga transaksi digantikan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Harga transaksi yang dimaksud adalah harga yang telah disepakti oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, harga transksi juga menunjukkan jumlah uang yang diserahkan oleh pembeli kepada penjual atas penjualan tanah dan bangunan sebagai pemilik. Harga transaksi merupakan suatu harga yang riil atas objek jual beli yang telah terlebih dahulu telah disepakti oleh kedua belah pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli terlepas dari harga yang dipatok berdasarkan nilai pasar. Nilai pasar yang dimaksud adalah harga rata-rata dari transaksi yang terjadi secara wajar berdasarkan letak dan kondisi peruntukan tanah dan atau bangunan. Nilai
97 pasar juga mencerminkan sejumlah uang yang seharusnya diterima oleh pihak penjual atas hasil penjulan atas tanah dan atau bangunan yang dimiliki oleh pihak penjual, nilai pasar biasanya ditentukan oleh tim penilai yang berkompeten dalam melakukan penilaian atas objek tanah dan bangunan berdasarkan atas data-data harga transaksi yang terbaru sehingga akan mencerminkan harga atau nilai ekonomis dari tanah dan bangunan mencerminkan harga yang sebenernya secara hitungan ekonomi. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK/2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menyebutkan yang dimaksud dengan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah aharga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang. Harga lelang biasanya akan lebih rendah dari harga pasar yang ada. Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat dasar pengenaan BPHTB yaitu dalam hal jual beli dasar pengenaannya dalah harga transaksi, harga transaksi merupakan patokan dasar yang dipakai untuk nantinya menghitung besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak atas pembelian tanah dan bangunan. Besaran tarif pengenaan BPHTB yaitu ditentukan paling tinggi 5 persen dan didalam ketentuan peraturan daerah juga mengatur dan menetapkan tarif BPHTB sebesar 5 persen setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan harga nilai tarnsaksi dikurangi nilai perolehan tidak kena pajak dan selanjutnya hasil pengurangan tersebut dikalikan dengan tarif besaran BPHTB.
98 Menurut Peraturan Daerah No. 28 Tahun 2013 perubahan atas Perda Nomor 14 Tahun 2010 Kabupaten Badung tentang BPHTB memuat juga dasar pengenaan dan tarif BPHTB dimana peraturan daerah tersebut juga mengatur ketentuan yang sama sebagiamana yang diatur dalam ketentuan undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD dan didalam ketentuan ketentuan Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa tarif pajak yang ditetapkan oleh daerah adalah sebesar 5% dan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) adalah sebesar Rp. 60.000.000,-. Dimana NPOTKP tersebut adalah
menjadi
pengurangan atas nilai objek pajak BPHTB. Contoh pajak terhutang: Tuan A membeli sebidang tanah dengan nilai transaksi sebesar Rp. 100.000.000,- sedangkan nilai objek tidak kena pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sebesar Rp. 60.000.000,- sehingga dari harga transaksi Rp. 100.000,- dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak Rp. 60.000.000,mendapatkan hasil Rp. 40.000.000,- dikalikan besaran tariff pajak daerah sebesar 5 persen maka tuan A dikenakan pajak sebesar Rp. 2.000.000,Contoh Pajak tidak terhutang: Tuan A membeli sebidang tanah seluas 100 M2 dengan nilai transaksi Rp. 45.000.000, nilai jual objek pajak pada tahun tersebut yaitu sebesar 20.000/M2 maka nilai jual objek pajak adalah 20.000 dikalikan luas tanah yaitu 100 M2 mendapatkan hasil 20.000.000,-, sedangkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah sebesar Rp. 60.000.000,- sehingga tuan A tidak memiliki pajak terhutang dari transaksi tanah
99 tersebut hal ini dikarenakan harga transaksi tuan A dibawah nilai objek tidak kena pajak yaitu transaksi tuan A di bawah Rp. 60.000.000,-. Setelah dapat menentukan dasar pengenaan BPHTB serta dasar perhitungannya maka akan ditentukan kapan saat terhutangnya pajak tersebut, menentukan saat terhutangnya pajak sangat penting karena berkaitan dengan hak dan kewajiban terhadap pemegang hak dan si penerima hak atas tanah dan bangunan. Menurut Pasal 90 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan saat terhutangnya pajak BPHTB adalah : (1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk: a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
100 m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan o. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang. (2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dari ketentuan pasal diatas maka saat terhutangnya pajak BPHTB dalam hal jual beli adalah pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta peralihan yang dibuat oleh PPAT. pada saat dibuat dan ditandanganinya akta akan muncul hak dan kewajiban bagi wajib pajak, dan pada saat itu juga sudah ditentukan siapa yang menjadi subyek dan objek pajak serta berkewajiban bagi wajib pajak untuk menghitung hutang pajak yang harus dibayarkan kepada fiskus atas hak yang diterimanya berupa tanah dan atau bangunan. Penghitungan pajak yang terhutang sesuai dengan yang telah ditentukan oleh undang-undang dan sesuai dengan system self assessment yaitu waji pajak sendiri yang menghitung, melaporkan dan membayar besaran pajak yang terhutang.
2.2.5. Pengertian Verifikasi. Menurut kamus besar Indonesia verifikasi berarti pemeriksaan tentang kebenaran laporan, Verifikasi dalam bahas Inggris berarti verification adalah teori filsafat positifis logis dalam memilih yang menyatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber dasar pengetahuan dan dalam analisa logis dapat dilakukan dengan bantuan simbol-simbol logika dengan menggunakan metode untuk memecahkan masalah melalui metode verifikasi empirik yaitu bila terdapat sesuatu yang tidak dapat diverifikasi secara empirik maka hasilnya adalah sia-sia.
101 penganut teori radikal ini memiliki masalah konsekuensi untuk filosofi tradisional, karena, jika benar, akan menyebabkan banyak pekerjaan sia-sia pada filosofis masa lalu, antara lain pada metafisika dan etika. Verifikasi berasal dari bahasa Inggris, yakni „Verification‟, yang artinya pemeriksaan tentang suatu kebenaran atas laporan, pernyataan, dan lain-lain. Verifikasi merupakan salah satu cara pengujian hipotesis yang tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi, dan hukum-hukum. Verifikasi adalah pandangan yang dikembangkan oleh Neo-Positivisme atau yang di kenal Positivisme Logis. Verifikasi merupakan pengamatan empiris secara langsung, artinya pernyataan yang di ambil langsung dari objek yang di amati itulah yang benar-benar mengandung makna. Oleh karenanya, pengetahuan di mulai dari suatu pengamatan peristiwa. Verifikasi merupakan suatu cara untuk merumuskan suatu proposisi (pernyataan) jika pernyataan yang diungkapkan itu dapat di analisis atau dapat di verifikasi secara empiris. Pada dasarnya verifikasi di gunakan untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Artinya, jika suatu pernyataan dapat di verifikasi, maka pernyataan tersebut adalah bermakna (ilmiah), sebaliknya jika suatu pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan tersebut tidak bermakna (non ilmiah). Dalam hal ini, prinsip dasar verifikasi ialah terletak pada proposisinya (suatu pernyataan). Suatu proposisi dinyatakan bermakna jika dapat diuji dengan pengalaman (empiris) dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). perbedaan antara verifikasi langsung dan tidak langsung dapat dijelaskan apabila suatu pernyataan
102 yang menunjukkan sebuah persepsi sekarang, seperti “sekarang saya melihat lapangan merah dengan dasar biru”, maka saya pernyataan ini dapat diuji secara langsung dengan persepsi kita sekarang. Pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara langsung dengan penglihatan. Artinya, jika tidak dilihatnya, maka pernyataan tersebut terbantah. Sementara terhadap verifikasi tidak langsung dapat dilihat melalui jalan deduksi dari pernyataan perseptual. Suatu pernyataan yang mengandung makna teoritis, tidak mungkin diverifikasi dengan menghadirkan image sesuatu. Dengan kata lain yang dimaksud dengan verifikasi adalah teori filsafat logis yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari pengalaman yang kemudian diuji dengan metode verifikasi yang dibuktikan kebenarannya secara empiris. Apabila pernyataan tersebut dapat diverifikasi maka pernyataan tersebut bermakna (ilmiah), dan apabila pernyataan itu tidak dapat diverifikasi maka pernyataan itu tidak bermakna (non ilmiah) seperti estetika, etika, agama, metafisika. Tujuannya untuk menemukan teori-teori, generalisasi dan hukum. Sedangkan verifikasi yang menurut Perbup sebagaimana dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) merupakan proses verifikasi menyangkut pelitian atas kebenaran, kejelasan, kelengkapan domumen serta penelitian lapangan SSPD. Ketentuan tersebut dapat memiliki pengertian bahwa verifikasi yang dilakukan oleh Dispenda badung merupakan suatu proses pembuktian terhadap kebenaran laporan wajib pajak yang dilaporkan melalui SSPD terkait dengan harga transaksi jual beli tanah. Verifikasi yang dilakukan oleh dispenda juga termasuk kebenaran secara formal dan materiil, secara formal dispenda melakukan pengecekan data-
103 data yang menjadi persyaratan atas kelengkapan data dan kemudian melakukan verifikasi secara langsung yaitu dengan melakukan penelitian kelapangan secara langsung terkait dengan objek yang dijadikan jual beli. Verifikasi dalam konteks penelitian SSPD oleh Dispenda merupakan serangkaian proses pemeriksaan administrasi guna mendapatkan suatu hasil kebenaran atas suatu laporan dari wajib pajak kepada pemerintah atas perolehan dan perhitungan hutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pemeriksaaan dokumen yang dilakukan oleh dispenda merupakan suatu proses untuk menentukan layak atau tidak, sah atau tidak suatu laporan dari wajib pajak atas hutang pajak sehingga dari serangkaian proses verifikasi yang dilakukan oleh Dispenda dapat memberikan suatu hasil yang menyatakan bahwa suatu laporan atas hutang pajak yang disampaikan oleh wajib pajak adalah benar. Sesuai dengan self assessment system maka wajib pajak dalam hal ini diberikan kewenangan untuk mengisi dan menghitung sendiri hutang pajak yang akan dibayar, situasi seperti ini memungkinkan wajib pajak akan melakukan suatu pembohongan atau memanipulasi data suatu laporan atas hutang pajak yang akan dibayar, maka pemerintah dalam hal ini dispenda selaku sebagai fiskus yang menerima dan memungut pajak tentunya akan memeriksa apakah suatu laporan hutang pajak yang telah dilaporkan sendiri oleh wajib pajak itu sudah benar atau tidak benar. Masyarakat dalam hal ini cenderung akan menghindari hutang pajak yang tinggi dan wajib pajak cenderung melakukan manipulasi terhadap kebenaran nilai harga transaksi kepada pemerintah. PPAT dalam menjalankan tugasnya akan menerima dan menuangkan apa yang menjadi keinginan para pihak. terkait harga
104 yang dilaporkan oleh para pihak yaitu penjual dan pembeli yang menjadi wajib pajak akan melakukan manipulasi terhadap harga tanah yang akan diperjual belikan. Atas situasi tersebut maka verifikasi menjadi penting dilakukan oleh pemerintah guna menghindari kebocoran pajak, di sisi lain dari penjelsan tersebut dapat disimpulkan bahwa verifikasi yang dilakukan oleh dispenda merupakan suatu proses pemeriksaaan atas kebenaran kejelasan serta kelengkapan dari pada suatu dokumen yang berisi laporan hutang pajak oleh wajib pajak.