1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KORPORASI SEBAGAI WAJIB PAJAK
2.1 Pengertian Pajak, Wajib Pajak dan Korporasi Dalam kehidupan manusia, manusia merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan dan selalu berhubungan. Manusia tidak dapat hidup sendirian, selalu berkelompok, berkeluarga. Dalam keluarga, manusia selalu berusaha untuk senantiasa memenuhi segala kebutuhannya sendiri maupun keluarganya. Dalam lingkup kehidupannya manusia hidup bersama-sama dalam masyarakat untuk tataran yang lebih besar akan terwujud ke dalam suatu wadah yaitu Negara. Negara sebagai suatu organisasi membutuhkan sarana prasarana untuk mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama-sama dalam berbagai bentuk. Salah satu diantaranya adalah pajak. Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 ditentukan bahwa : “ segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang”. Berdasarkan perintah Pasal 23 UUD RI 1945, PJA Adriani dalam Simon Nahak menulis bahwa “Pajak adalah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis, untuk mendapatkan alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum tanpa adanya jasa timbal khusus terhadapnya.”1
1
Simon Nahak, 2014, Op-Cit, hal.6.
2
Menurut PJA Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang digunakan adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. H. Rochmat Soemitro menulis bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.2 Soeparman Soemahamidjaja menulis bahwa: “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
3
Pendapat para ahli hukum pajak tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak sebagai Pembayar Pajak kepada negara tidak mendapatkan imbalan secara langsung karena uang yang dibayarkan adalah sebagai pendapatan penerimaan negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, maka diperlukan
pembaharuan
dalam
Undang-Undang
perpajakan
yang
berorientasi pada pendapatan sebesar-besarnya bagi penerimaan negara. Dari berbagai difinisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut dapat dikatakan adanya beberapa ciri atau karakteristik pajak yaitu :
2 3
Sri Pudyatmoko Y, Op-Cit, hal. 87 Sri Pudyatmoko Ibid
3
1) Pajak dipungut berdasarkan adanya undang-undang ataupun peraturan pelaksanaanya; 2) Terhadap pembayaran pajak tidak ada tegen prestasi yang dapat ditunjukkan secara langsung; 3) Pemungutannya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sehingga ada istilah pajak pusat dan pajak daerah; 4) Hasil pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya digunakan untuk public investment; 5) Disamping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas Negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur. Jenis-jenis pajak menurut Direktorat Jenderal Pajak Indonesia dibedakan menjadi : 1. Berdasarkan pihak yang menanggung : 1) Pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya dimana harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat atau tidak bisa dialihkan kepada pihak lain. Contohnya adalah PPh (pajak penghasilan) dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). 2) Pajak Tidak langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain.
4
Contohnya adalah Pajak penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM), Bea Materai dan cukai. 2. Berdasarkan pihak yang memungut : 1) Pajak Negara adalah pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat. Pajak pusat merupakan sumber penerimaan Negara Indonesia. Contohnya
adalah
PPh
(pajak
penghasilan),
PPN
(Pajak
pertambahan nilai), Pajak barang Mewah. 2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah. Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah. Contohnya adalah pajak tontonan, pajak reklame, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 3. Berdasarkan sifatnya : 1) Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi Wajib Pajak itu sendiri. Contohnya PPh. 2) Pajak Objektif adalah pajak yang dinilai berdasarkan objektifitasnya dan tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contohnya PPN. Kejahatan di bidang perpajakan berada dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pengertiannya dapat ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis. Ketiga aspek tersebut perlu dicermati. Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak agar semua pihak yang terkait dapat mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
5
Secara yuridis, kejahatan di bidang perpajakan menunjukkan bahwa kejahatan itu merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak. Secara sosiologis, kejahatan dibidang perpajakan telah memperlihatkan suatu keadaan nyata yang terjadi dalam masyarakat sebagai bentuk aktivitas pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain. Secara filosofis, tersirat makna bahwa telah terjadi perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat ketika suatu aktivitas perpajakan dilaksanakan sebagai bentuk peran serta dalam berbangsa dan bernegara. Kejahatan di bidang perpajakan dapat merupakan melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan di bidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan di bidang perpajakan ketika memenuhi rumusan kaidah hukum pajak. Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sebagai bentuk kejahatan di bidang perpajakan memerlukan uraian analisis yang mendasar sehingga mudah dipahami secara prinsipil. Pertama, melakukan perbuatan tetapi bertentangan dengan kaidah hukum pajak, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya wajib pajak melakukan perbuatan berupa menyampaikan surat pemberitahuan tetapi substansinya tidak benar, tidak lengkap, tidak jelas,
atau tidak
6
ditandatangani. Kedua, tidak melakukan perbuatan, tetapi memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, sehingga dikategorikan sebagai melakukan kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya, wajib pajak tidak membayar pajak untuk suatu saat atau masa pajak bagi tiap-tiap jenis pajak.4 Ketika kejahatan di bidang perpajakan telah memenuhi unsur-unsur delik pajak, berarti pelaku kejahatan wajib dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam kaidah hukum pajak. Apabila ditelusuri sanksi pidana sebagai suatu ancaman hukuman yang ditujukan kepada pelaku kejahatan yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, hanya berupa hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda. Ketiga jenis hukuman ini berada pada tataran hukuman pokok. Dalam arti, ketika ditelusuri ancaman hukuman yang boleh dikenakan kepada pelaku kejahatan di bidang perpajakan, ternyata tidak mengaitkan hukuman tambahan sebagaimana dikenal dalam Pasal 10 KUHP yaitu ; 1. Pidana Pokok, terdiri dari : a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; dan d. Denda. 2. Pidana Tambahan, terdiri dari : a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; dan 4
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan Di Bidang Perpajakan”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.3-4.
7
c. Pengumuman putusan hakim. Dalam bidang pajak dikenal beberapa pihak yang saling berhubungan yaitu salah satunya adalah Wajib Pajak. Pasal 1 angka 2 UU Perpajakan secara tegas menentukan bahwa : “wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”. Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat objektif, selain juga syarat subjektif. Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak). Sedangkan syarat subyektif adalah syarat yang melekat pada diri wajib pajak yang bersangkutan seperti misalnya lahir di Indonesia, berdomisili di Indonesia, berkedudukan atau didirikan di Indonesia, atau jika tidak tinggal dan berkedudukan di Indonesia, maka memiliki kekayaan atau memperoleh kekayaan dari Indonesia. Pada hakikatnya wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks perorangan agar tetap dalam kedudukannya sebagai orang pribadi. Sementara badan sebagi wajib pajak, dapat berupa badan tidak berstatus badan hukum dan badan yang berstatus badan hukum, baik yang tunduk pada hukum privat maupun yang tunduk pada hukum publik. Frank Gilders menyatakan wajib pajak merupakan subjek hukum yang harus memiliki kepatuhan dalam hal sebagai wajib pajak :
8
“…..subject only to the limitations expressed in the constitutions the power with respect to taxationwas plenary and absolute, unlimited, as to amouths, as to subjects, as to objects, as to conditions, as to machinery, so that the Parliament has, prima facie, power to tax whom a chooses, power to exempt whom it chooses, power to impose such conditions as to liability or as toexemption as it chooses…..”5 Wajib pajak pada hakekatnya adalah subjek hukum yang wajib mentaati hukum pajak. Wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU Perpajakan terdiri dari : 1) Pembayar pajak; 2) Pemotong pajak; dan 3) Pemungut pajak. Wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU Perpajakan merupakan wajib pajak dalam arti normatif. Akan tetapi, bila dikaji secara keilmuan dalam bidang hukum pajak ternyata ketiganya terdapat perbedaan secara prinsipil. Pembayar pajak sebagai wajib pajak berada dalam tataran kebenaran karena telah memenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat-syarat objektif. Sementara itu, pemotong pajak dan pemungut pajak tidak boleh dikategorikan sebagai wajib pajak karena syarat-syarat objektif tidak terpenuhi. Pajak yang dipotong atau dipungut tidak boleh dikategorikan sebagai objek pajak yang dimiliki, melainkan adalah pajak dari pihak-pihak yang dikenakan pemotongan pajak atau pemungutan pajak. Pemotong pajak
5
Frank Gilders, 2004, Understanding Taxation Law (An Interactive Approach), Second Edition, LexisNexis Butterworths, Australia, page 9.
9
atau pemungut pajak adalah tepat kalau dimasukkan ke dalam kategori sebagai petugas pajak bukan merupakan wajib pajak.6 Wajib Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : a. Wajib Pajak Orang Pribadi Adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dimana batasan PTKP telah ditentukan oleh undang-undang pajak penghasilan. b. Wajib Pajak Badan Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Batasan pengertian atau definisi korporasi, erat kaitannya dengan masalah dalam bidang hukum perdata. Sebab pengertian korporasi merupakan terminologi yang berhubungan dengan istilah Badan Hukum (rechtpersoon), dan Badan Hukum itu merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata. 6
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan di Bidang Perpajakan, ed. 1, Cet. Ke 2, Jakarta, Rajawali Pers, hal. 34.
10
Secara etimologi kata korporasi (Belanda : corpratie, Inggris : corporation, Jerman : corporation), berasal dari kata “corporation” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhiran “tio”, maka “corporatio” sebagai kata benda, berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai oleh orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia=badan), yang berarti badan atau membadankan. Dengan demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7 Satjipto Rahardjo, memaknai korporasi sebagai suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu seperti dikemukakan sebelumnya, selain orang pribadi, badan atau badan hukum atau korporasi juga merupakan wajib pajak. Dewasa ini dalam pergaulan hukum dan kepustakaan, istilah Badan Hukum terdiri, dari “corpus” yaitu struktur fisiknya dan ke dalamya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena itu Badan Hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditetapkan oleh hukum.8 Menurut Subekti dan Tjitrosudibyo yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah satu perseroan yang merupakan badan hukum. Adapun menurut Yan Pramadya Puspa, korporasi adalah : 7 Muladi dan Dwidja Priyatno, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Ed. Revisi, Cet. 4, Kencana, Jakarta, hal. 23. 8 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, alumni, Bandung, hal. 110.
11
“suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT, bahkan Negara juga merupakan badan hukum.9 Menurut Rudi Prasetyo dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, kata korporasi merupakan
sebutan yang lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum
pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtpersoon, persona moralis (Latin), legal persons (Inggris). 10 Menurut Wirjono Prodjodikoro, korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporsi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang merupakan anggota korporasi itu, anggota manapun mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.11 Pengertian
korporasi
sebagaimana
tercantum
dalam
Black’s
Law
Dictionary, diartikan sebagai : “an entity (usually a business) having authority under law to act as a single person distinct from the share holders who own it and having right to issue stock and exist indefinitely, a group or uccession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural person who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers that is constitution gives it.12
9
Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum, CV Aneka, Semarang, hal. 257. Muladi dan Dwidja Priyatno, Op-Cit, hal. 27. 11 Chidir Ali, Op-cit, hal. 47. 12 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co, page 339 10
12
Badan Hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepatnya lagi bukan manusia. Badan Hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala riil, merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia atau benda. Penting bagi pergaulan hukum ialah hal Badan Hukum itu mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak dan
kewajiban
anggotanya.
Badan
Hukum
menjamin
kontinuitas.
Logemann: bestendigheid (hak-kewajiban sesatu penjelmaan korporasi atau yayasan), walaupun pengurus penjelmaan itu selalu diganti. Badan Hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetap ada, diteruskan, sedangkan pengurusnya, yang menjadi wakil kontinuitas itu, dapat berganti-ganti.13 Menurut Subekti dalam Chidir Ali, menyatakan bahwa Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.14 Menurut R Rochmat Soemitro dalam Chidir Ali mengemukakan, Badan Hukum pada pokoknya adalah ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.15 Menurut Frank E Hagan, korporasi adalah :
13
Chidir Ali, Op-cit, hal. 20-21 Chidir Ali, Ibid, hal 19 15 Chidir Ali, Ibid 14
13
“organizational crème refers to crème committed on behalf of a legatimate organization. Corporate crime is a and crème is a type of organizational crème committed in free enterprise economy and thus involves criminal activity on behalf of and for the benefit of private bussiness or corporation.”16 Dari uraian tersebut diatas adapun unsur-unsur dari Badan Hukum adalah : 1) perkumpulan orang (organisasi); 2) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubunganhubungan hukum (rechtsbetrekking); 3) mempunyai harta kekayaan sendiri; 4) mempunyai pengurus; 5) mempunyai hak dan kewajiban; 6) dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
2.2 Pembagian Badan Hukum Korporasi merupakan istilah lain dari Badan Hukum. Badan Hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut macamnya, jenis, dan sifatnya. 1) Pembagian Badan hukum Menurut Macamnya : a. Badan Hukum Orisinil (murni, asli), contohnya Negara. b. Badan Hukum yang tidak orisinil (tidak murni, tidak asli) yaitu badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan pasal 1653 KUH Perdata. 16
Frank E Hagan, 1986, Introduction to Criminology Theoris, Methods, and Criminal Behavior, Chicago USA, page 128.
14
2) Pembagian Badan Hukum Menurut Jenisnya; a. Badan Hukum Publik Suatu Badan Hukum di Indonesia yang merupakan badan hukum publik
adalah
Negara.
Dalam
lapangan
hukum
perdata,
penyelenggaraan badan hukum publik masih merupakan persoalan yang harus ditentukan apakah berdasarkan hukum adat atau KUHPerdata. Badan hukum publik meliputi badan hukum publik yang mempunyai teritorial dan badan hukum publik yang tidak mempunyai teritorial. Badan hukum publik yang mempunyai teritorial pada umumnya harus memperhatikan kepentingan mereka yang di wilayahnya. Sedangkan badan hukum publik yang tidak mempunyai teritorial adalah suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib hanya untuk tujuan tertentu saja. b. Badan Hukum Privat Hal yang penting dalam badan hukum keperdataan yaitu badanbadan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang secara perorangan. Disamping itu, badan hukum publik pun dapat juga mendirikan suatu badan hukum privat. 3) Pembagian Badan Hukum Menurut Sifatnya; Menurut sifatnya, badan hukum itu ada dua macam, yaitu korporasi (corporatie) dan yayasan (stichting). Korporasi dan yayasan adalah badan hukum; badan hukum bagi hukum. Hukum adalah suatu hubungan yang para pihak-pihaknya mempunyai titik-titik peralihan di dalam subjek dan objek. Hubungan
15
antara subjek hukum dengan subjek hukum yang lain mengenai benda, dan bukan hubungan antara benda dengan benda. Oleh karena itu korporasi dan yayasan adalah subjek hukum, subjek hukum dalam hubungan hukum sebagai pembawa hak dan kewajiban-kewajiban hukum.17
Berikut ini beberapa macam bentuk badan hukum :
1) Perusahaan perseorangan adalah badan usaha yang kepemilikannya dimiliki oleh satu orang. Individu dapat membuat badan usaha perseorangan tanpa izin dan tata cara tertentu. Semua orang bebas membuat
bisnis
personal
tanpa
adanya
batasan
untuk
mendirikannya. Pada umumnya perusahaan perseorangan bermodal kecil, terbatasnya jenis serta jumlah produksi, memiliki tenaga kerja/buruh yang sedikit dan penggunaan alat produksi teknologi sederhana. Ciri dan sifat dari perusahaan perseorangan : - Relatif mudah didirikan dan dibubarkan; - Tanggungjawab tidak terbatas dan bisa melibatkan harta pribadi; - Tidak ada pajak, yang ada adalah pungutan dan retribusi; - Seluruh keuntungan dinikmati sendiri; - Sulit mengatur roda perusahaan karena diatur sendiri; - Keuntungan yang kecil yang terkadang harus mengorbankan penghasilan yang lebih besar; - Sewaktu-waktu dapat dipindahtangankan.
17 Setiyono, 2009, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Ed. 2, Cetakan Keempat, Malang, Bayumedia Publishing, hal. 7.
16
2) Perusahaan / Badan Usaha Persekutuan adalah badan usaha yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang secara bersama-sama bekerjasama untuk mencapai tujuan bisnis. Yang termasuk dalam badan usaha persekutuan adalah firma dan persekutuan komanditer (CV). Untuk mendirikan badan usaha persekutuan membutuhkan izin khusus pada instansi pemerintah yang terkait : a. Firma adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua
orang
atau
lebih
dengan
nama
bersama
yang
tanggungjawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya. Ciri dan sifat Firma : - Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi dengan harta pribadi; - Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin; - Seorang anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota yang lainnya; - Keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup - Seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma; - Pendiriannya tidak memerlukan akte pendirian; - Mudah memperoleh kredit usaha. b. Persekutuan komanditer (CV) adalah suatu bentuk badan usaha bisnis yang didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dengan tingkat keterlibatan yang
17
berbeda-beda di antara anggotanya. Satu pihak dalam CV mengelola usaha secara aktif yang melibatkan harta pribadi dan pihak lainnya hanya menyertakan modal saja tanpa harus melibatkan harta pribadi ketika terjadi krisis finansial. Yang aktif mengurus perusahaan CV disebut sekutu aktif, dan yang hanya menyetorkan modal disebut sekutu pasif. Ciri dan sifat CV : - Sulit untuk menarik modal yang sudah disetor; - Modal besar karena didirikan banyak pihak; - Mudah mendapat kredit pinjaman; - Ada anggota aktif yang memiliki tanggungjawab tidak terbatas dan ada yang pasif tinggal menunggu keuntungan; - Relatif mudah untuk didirikan; - Kelangsungan hidup perusahaan CV tidak menentu. 3) Perseroan Terbatas / PT / Korporasi adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggungjawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta kekayaan pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya. Di dalam PT pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT dibutuhkan sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai persyaratan lainnya.
18
Ciri dan sifat PT : - Kewajiban terbatas pada modal tanpa melibatkan harta pribadi; - Modal dan ukuran perusahaan besar; - Kelangsungan hidup perusahaan PT ada di tangan pemilik saham; - Dapat dipimpin oleh orang yang tidak memiliki saham; - Kepemilikan mudah berpindah tangan; - Mudah mencari tenaga kerja; - Keuntungan dibagikan kepada pemilik modal/saham dalam bentuk deviden; - Kekuatan dewan direksi lebih besar daripada kekuatan pemegang saham ; - Sulit untuk membubarkan PT; - Pajak berganda pada pajak penghasilan / pph dan pajak deviden; - Tanggungjawab sosial dan lingkungan, dan memiliki hak dan kewajiban. Memang peraturan hukum memperlakukan sama, hubungan hukum antara manusia dengan badan hukum, antara badan hukum dengan badan hukum lainnya, seperti hubungan antara manusia dengan manusia. Hukum tidak membedakan, tidak pula membuat peraturan khusus bagi hubungan tertentu, dimana badan hukum menjadi pihak atau pihak-pihaknya. Badan hukum mempunyai kepentingan (interest) sendiri sebagaimana ada pada manusia. Kepetingannya dilindungi hukum, dan dilengkapi dengan suatu aksi, jika kepentingan itu diganggu. Dalam mempertahankan
19
kepentingan itu, badan hukum itu sendiri yang tampil didalam proses persidangan.18 Pembagian badan hukum (korporasi) yang demikian ini mempunyai arti penting dalam pertanggungjawaban pidana dari badan hukum (korporasi) yang bersangkutan, misalnya pertanggungjawaban korporasi publik berbeda dengan pertanggungjawaban korporasi privat.19 2.3
Kewajiban Korporasi di Bidang Perpajakan Beberapa pasal dalam UU Perpajakan mengatakan bahwa korporasi mempunyai sejumlah kewajiban perpajakan. Kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kepada negara idealnya akan menempatkan seorang wajib pajak untuk mengutamakan kewajibannya daripada menuntut hak-haknya. Kewajiban perpajakan memang harus diletakkan pada segi kepentingan negara. Kepentingan negara disini berhubungan erat dengan tujuan dan fungsi kewajiban membayar pajak yaitu untuk menunjang penerimaan negara bagi pembiayaan dan kelangsungan pembangunan. Adapun kewajiban Wajib Pajak yang harus dipenuhi berdasarkan UU Perpajakan adalah : 1. Kewajiban
Mendaftarkan
Diri.
Setiap
Wajib
Pajak,
wajib
mendaftarkan diri pada Kantor Jenderal Pajak dalam wilayah tempat Wajib Pajak tinggal, dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
18 19
Setiyono, Ibid Sutiyono, Ibid.
20
2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT, menandatangani dan kemudian menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak setempat, dengan batas waktu 20 hari setelah akhir masa pajak untuk SPT Masa dan 3 bulan setelah akhir tahun pajak untuk SPT Tahunan; 3. Kewajiban mengisi dan menyampaikan SPT dengan benar. Wajib Pajak diwajibkan mengisi dan menyampaikan SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatanganinya, dengan ketentuan apabila Wajib Pajak adalah badan. SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau Direksi. Sedangkan jika SPT ditandangani oleh orang lain harus dilampiri surat kuasa khusus; 4. Kewajiban menyetor Pajak di Kas Negara. Wajib Pajak, wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui kantor pos dan atau bank Badan Usaha Milik Negara atau bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran yang lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; 5. Kewajiban
membayar
pajak
berdasarkan
Perundang-undangan.
Kewajiban lain dari Wajib Pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan,
dengan
tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Hal ini dapat dilakukan oleh Wajib Pajak yang telah menghitung, dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar berdasarkan ketentuan
21
peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam surat pemberitahuan; 6. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan/atau pencatatan. Wajib Pajak Badan diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan yang menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk dijadikan dasar pengenaan pajak; 7. Kewajiban mentaati pemeriksaan pajak. Apabila Wajib Pajak diperiksa dalam rangka pemeriksaan pajak, maka wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak, memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan,
serta
memberikan
keterangan
yang
diperlukan. Melihat beberapa kewajiban yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa
tanggungjawab
perpajakan
terletak
sepenuhnya pada diri Wajib Pajak dan bukan aparat pajak.
Hal ini
menunjukkan
bahwa
pemenuhan
Wajib
Pajak
kewajiban
mempunyai
kewajiban
untuk
menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang (self assessment). Ketentuan di bidang perpajakan merupakan landasan dan pedoman dalam pelaksanaan administrasi pemungutan pajak bagi aparatur perpajakan dan bagi Wajib Pajak sendiri, yang berisi aturan
22
dasar dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133), pada Pasal 21 ayat (1) mengatur kewajiban pajak, yaitu kewajiban melakukan pemotongan pajak. Kewajiban ini sebenarnya bukan merupakan kewajiban langsung dari Wajib Pajak tetapi kewajiban pihak tertentu yang terkait, Pihak-pihak itu misalnya pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan dana pensiun, dan sebagainya. Pihak-pihak yang berkewajiban itu melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan denga pekerjaan jasa, atau kegiatan lain dan penyetorannya ke kas negara. Kewajiban perpajakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 150), membebankan kewajiban tersebut kepada pengusaha dan/atau pengusaha kena pajak sebagai Wajib Pajak. Berbagai kewajiban dari pengusaha kena pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah : 1) Kewajiban melaporkan usahanya ke Dirjen Pajak. Pengusaha yang berdasarkan ketentuan perpajakan dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya kepada Dirjen Pajak ditempat pengusaha itu bertempat
23
tinggal atau berkedudukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. (Pasal 3 ayat (1)); 2) Kewajiban membuat faktur pajak. Pengusaha Kena Pajak mempunyai kewajiban membuat faktur pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (Pasal 13). Tujuannya adalah karena faktur pajak adalah merupakan bukti yang menjadi sarana mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai; 3)
Kewajiban melaporkan perhitungan pajak. Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan perhitungan-perhitungan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 9 dan Pasal 10). Pajak yang dimaksud adalah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
2.4
Kerugian Yang Diderita Negara Akibat Tindak Pidana Perpajakan Pasal 11 ayat (3) dan penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menentukan bahwa : “Pendapatan Negara terdiri atas penerimaan pajak, peneriman bukan pajak, dan hibah”. Untuk penerimaan Negara tentang penerimaan Negara Bukan Pajak menentukan bahwa : “Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pusat yang tidak berasal dari penerimaan Perpajakan”.
24
Kerugian Negara, diatur pada Pasal 1 ayat (22) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menentukan bahwa: “kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian Negara dapat dihitung akibat perbutan melawan hukum baik karena kelalaian maupun kesengajaan, yang berasal dari pungutan Negara yang tidak dibayar atau tidak disetor kepada kas Negara oleh pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2007 tetang Perubahan Ketiga Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1983, bahwa : “setiap orang karena kealpaannya : a. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; b. Menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Bentuk pelanggaran yang lain juga diatur dalam Pasal 39 ayat (1), bahwa : Setiap orang dengan sengaja : a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; d. Menyampaikan surat pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; e. Menolak untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29; f. Memperlihatkan pembukuan pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan yang sebenarnya;
25
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperilihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (11); atau i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara……” Sedangkan, pasal 39 ayat (3) menyatakan bahwa : “setiap orang yang melakukan pencobaan untuk melaksanakan Tindak Pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan pengusaha kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,…..” Pasal 39 A huruf a dan b menentukan : Setiap orang yang dengan sengaja : a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Tindakan kelalaian dan kesengajaan tersebut mengakibatkan Negara tidak dapat memungut uang tersebut sesuai ketentuan UndangUndang Perpajakan diatas, sehingga berdampak negatif karena penerimaan Negara menjadi berkurang, dimana pendapatan Negara bersumber dari pajak dan perekonomian Negara. Pada akhirnya, pelaksanaan pembangunan nasional yang ditujukan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi terhambat.