16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT WAJIBAH
A. Pengertian Wasiat Wajibah Wasiat wajibah berasal dari dua kata, yaitu wasiat dan wajib. Secara umum, wasiat artinya adalah pesan. Sedangkan wajib artinya adalah keharusan untuk dilaksanakan. Adapaun pengertian tentang wasiat dan wajib adalah sebagai berikut. Wasiat adalah : “Pesan yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan).”1 “pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan sesudah seseorang meninggal.”2 “pemberian yang dilaksanakan setelah meninggal dunia orang yang memberi wasiat.”3 Wajib adalah : “tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan).”4 “khittab Allah yang menuntut pekerjaan dengan tuntutan pasti.”5 “amal yang mau tidak mau mestikerjakan.”6
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hlm. 1126. 2 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fikih, Jakarta : Pustaka Firdaus, Cet. I, 1994, hlm. 420. 3 Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, Bandung : Pustaka, 1987, hlm. 172. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit, hlm. 1123. 5 M. Abdul Mujieb, dkk, Op. Cit, hlm. 411. 6 Moh. E. Hasim, Op. Cit, hlm. 170.
17
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara etimologis, wasiat adalah pesan. Sedangkan secara terminologis wasiat adalah tindakan seseorang yang secara suka rela memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat dari suatu benda dengan tanpa mengharapkan suatu imbalan, yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat. Dalam Al Qur’an, kata wasiat terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut : 1. Surat Al-An’am : 151
(151 :ﺻّﺎﻛﹸﻢ ْ… )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ ﻭ ﻢ … ﹶﺫِﻟﻜﹸ Artinya : “… Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu …” 2. Surat Al-An’am : 153
(153 : ﻢ ِﺑ ِﻪ … )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ ﺻّﺎﻛﹸ ﻭ ﻢ … ﹶﺫِﻟﻜﹸ Artinya : “… Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu …” 3. Surat An-Nisa’ : 131
(131 :ﻢ … )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺒِﻠ ﹸﻜﻦ ﹶﻗ ﺏ ِﻣ ﺎﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘﻦ ﺃﹸﻭﺗ ﺎ ﺍّﹶﻟﺬِﻳﻴﻨﺻ ّ ﻭ ﺪ ﻭﹶﻟ ﹶﻘ … Artinya : “… dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu …” 4. Surat Al-Ankabut : 8
(8 :ﻳ ِﻪ … )ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺩﺪ ﺍِﻟﺎ ﹶﻥ ِﺑﻮﻧﺴﺎ ﺍﻹﻴﻨﺻ ّ ﻭ ﻭ
18
Artinya : “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya…”
5. Surat Luqman : 14
(14 : ﻳ ِﻪ … )ﻟﻘﻤﺎﻥﺪ ﺍِﻟﺎ ﹶﻥ ِﺑﻮﻧﺴﺎ ﺍﻹﻳﻨﺹ ّ ﻭ ﻭ Artinya : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya…” 6. Surat As-Syura : 13
ﺎﻭﻣ ﻚ ﻴﺎ ِﺇﹶﻟﻴﻨﺣ ﻭ ﺍّﹶﻟﺬِﻱ ﹶﺃﺎ ﻭﻮﺣﺻّﻰ ِﺑ ِﻪ ﻧ ﻭ ﺎﻦ ﺍﻟ ِﺪّﻳ ِﻦ ﻣ ﻢ ِﻣ ﻉ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺮ ﺷ (13 : ﻰ … )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯﻮﺳﻭﻣ ﻢ ﺍﻫِﻴﺑﺮﺎ ِﺑ ِﻪ ِﺇﻴﻨﺻ ّ ﻭ Artinya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa …” 7. Surat Al-Ahqaf : 15
(15 :ﺎ … )ﺍﻷﺣﻘﺎﻑﺎﻧﺣﺴ ﻳ ِﻪ ِﺇﺪ ﺍِﻟﺎ ﹶﻥ ِﺑﻮﻧﺴﺎ ﺍﻹﻴﻨﺻ ّ ﻭ ﻭ Artinya : “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya …” 8. Surat An-Nisa’ : 11
(11 : ﻢ … )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻻ ِﺩ ﹸﻛﻪ ﻓِﻲ ﹶﺃﻭ ﻢ ﺍﻟﹶّﻠ ﻳﻮﺻِﻴ ﹸﻜ Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu…” Wasiat Wajibah secara etimologis berarti wasiat yang hukumnya wajib. Sedangkan secara terminologis, Wasiat Wajibah adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang
19
mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Wasiat Wajibah menurut KHI adalah wasiat yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang diberikan kepada orang tua angkat atau anak angkat yang tidak menerima wasiat dari anak angkat atau orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia (pewaris). Kesimpulan ini penulis ambil karena KHI mengatur tentang orangorang yang memperoleh hak wasiat wajibah dalam pasal 209. Dalam pasal 209 disebutkan : 1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasalpasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat Wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;. 2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi Wasiat Wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Undang-Undang Mesir No. 71 tahun 1946 tentang Wasiat menetapkan
bahwa
perundang-undangan,
wasiat meskipun
diwajibkan orang
berdasarkan
yang
meninggal
hukum tidak
menghendakinya. Wasiat ini diperuntukkan bagi keturunan dari orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki maupun meninggal secara hukmi, sementara orang tua dari orang yang meninggal dunia ini masih hidup atau meninggal bersama pewaris.
20
Ketentuan tentang Wasiat Wajibah ini termaktub dalam pasal 76 dan 77 UU tersebut : Pasal 76: “Sekiranya seorang pewaris tidak berwasiat untuk keturunan dari anak yang telah meninggal sebelum dia (pewaris), atau meninggal bersama-sama dengan dia, sebesar bagian yang seharusnya diterima anak itu dari warisan, maka keturunannya tersebut akan menerima bagian itu melalui wasiat (wajib) dalam batas 1/3 harta dengan syarat: a. Keturunan tersebut tidak mewarisi; b. Orang yang meninggal (pewaris) belum pernah memberikan harta dengan cara-cara yang lain sebesar bagiannya itu. Sekiranya telah pernah diberi tetapi kurang dari bagian yang seharusnya dia terima, maka kekurangannya dianggap sebagai wasiat wajib. Wasiat ini menjadi hak keturunan derajat pertama dari anak laki-laki dan perempuan serta keturunan seterusnya menurut garis laki-laki. Setiap derajat menghijab keturunan dari jurai yang lainnya. Setiap derajat membagi wasiat tersebut seolaholah sebagai warisan dari orang tua mereka itu.” Pasal 77: “Kalau seorang memberi wasiat lebih dari bagian yang seharusnya diterima, maka kelebihan itu dianggap sebagai wasiat ikhtiyariyah. Sekiranya kurang, kekurangan itu disempurnakan melalui wasiat wajib. Kalau berwasiat kepada sebagian keturunan dan meninggalkan sebagian yang lain, maka wasiat wajib diperlakukan kepada semua keturunan dan wasiat yang ada dianggap berlaku sepanjang sesuai dengan ketentuan pasal 76 di atas.7 Dari ketentuan pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut UU Mesir No. 71 tahun 1946 tentang wasiat, wasiat wajibah berarti 7
pemberian
wasiat
yang
diwajibkan
oleh
UU
yang
Alyasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab, Jakarta: INIS, 1998, hlm. 193-194.
21
diperuntukkan bagi cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya sementara kakek atau neneknya masih hidup, sedangkan di kemudian hari saat kakek atau nenek ini meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat untuknya. Tentang Wasiat Wajibah, Ibnu Hazm berpendapat :
ﻮ ﹶﻥ ﻳ ِﺮﺛﹸ ﻦ ﻟﹶﺎ ﻳﺑِﺘ ِﻪ ﺍﻟﱠ ِﺬﺍﻰ ِﻟ ﹶﻘﺮ ﺻ ِ ﻮ ﺴِﻠ ٍﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻳ ﻋﻠﹶﻰ ﹸﻛﻞﱢ ﻣ ﺽ ﺮ ﻭ ﻓﹸ : ﺴﹶﺌﹶﻠ ﹲﺔ ﻣ ﻭ ﺙ ﹶﺃ ِ ﺍﻴﺮﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟ ِﻤ ﻢ ﻬﺠﺒ ِﺤ ﻦ ﻳ ﻣ ﻚ ﺎِﻟﻫﻨ ﺎ ِ َﻷﻥﱠﻭِﺇﻣ ﺎ ِﻟ ﹸﻜ ﹾﻔ ٍﺮﻭِﺇﻣ ﻕ ٍ ﺮ ﺎ ِﻟِﺇﻣ ﻚ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻲ ﺫﹶﺍِﻟ ﺪ ِﻓ ﺣ ﹶﻻﻪﻧ ﹾﻔﺴ ﺖ ِﺑ ِﻪ ﺑﺎ ﻃﹶﺎﻢ ِﺑﻤ ﻬ ﻰ ﹶﻟ ﺻ ﻮ ﻮ ﹶﻥ ﹶﻓﻴ ﻳ ِﺮﺛﹸ ﻢ ﻟﹶﺎ ﻬ ﻧِ َﻷ ﻩ ﺍﺍِﻟﺪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻭ,ﺻﻲ ِ ﻮ ﻭ ﺍﻟ ﺭﹶﺛﺔﹸ¸ﹶﺍ ﻮ ﺍﹾﻟﺭﹶﺍﻩ ﺎ ﻣﺑﺪ ﻭ ﹶﻻ ﺍ ﹶﺍﻋ ﹶﻄﻮ ﻌ ﹾﻞ ﹸﺍ ﻳ ﹾﻔ ﻢ ﹶﻟ ﻰ ﺻ ِ ﻮ ُﺎ ﹶﺍ ﹾﻥ ﻳﻳﻀﻴ ِﻪ ﹶﺍﻋﹶﻠ ﺽ ﺮ ﻮﻛﹰﺎ ﹶﻓﻔﹸ ﻤﹸﻠ ﻣ ﻭ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﹸﻜ ﹾﻔ ِﺮ ﹶﺍ ﺎﻫﻤ ﺪﻭ ﹶﺍﺣ ﹶﺍ ﻭ ﻰ ﹶﺍ ﻋ ِﻄ ﻌ ﹾﻞ ﺍﹸ ﻳ ﹾﻔ ﻢ ﻚ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻟ ﹶﻛﺬﹶﺍِﻟﺧﺮ ﻳﻜﹸ ِﻦ ﹾﺍ ﹶﻻ ﻢ ﺎ ِﺇ ﹾﻥ ﹶﻟﺣ ِﺪ ِﻫﻤ ﻭ ِ َﻷ ﺎ¸ﹶﺍﻬﻤ ﹶﻟ ﻰﻭﺻ ﻚ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺍ ﺪ ﺫﹶﺍِﻟ ﻌ ﺑ ﺎ َﺀﺎ ﺷﻴﻤﻮﺻِﻰ ِﻓ ﻳ ﹸﺛﻢﺑﺪ ﻭﻟﹶﺎ ﺎ ِﻝﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻋﻄِﻴﹶﺎ ِﻣ ﹶﺍ 8
...ﺰﹶﺍﻩ ﺟ ﻳ ِﻦ ﹶﺍﻮ ِﺭ ﻤ ﹾﺬ ﹸﻛ ﻦ ﹶﺍﻗﹶﺎ ِﺭِﺑ ِﻪ ﺍﹾﻟ ِﻟﹶﺜﻠﹶﺎﹶﺛ ٍﺔ ِﻣ
“Setiap muslim diwajibkan untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak bisa mewarisi, baik yang disebabkan karena adanya perbudakan, kekufuran (nonmuslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (bukan ahli waris). Maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka yang baik menurutnya. Apabila ia tidak berwasiat (bagi mereka) maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat tersebut harus memberikan wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan. Andaikata kedua orang tua atau salah satunya itu kufur atau menjadi budak, maka ia wajib berwasiat kepada keduanya atau 8
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut: Dar Al-Alaq, tt, Hlm. 314.
22
salah satu dari keduanya. Apabila ia tidak berwasiat, maka harus diberikan sebagian harta itu (kepada orang tua). Setelah itu ia boleh berwasiat sekehendaknya. Apabila berwasiat bagi tiga orang kerabat di atas, hal itu telah memadai,...” Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Ibnu Hazm Wasiat Wajibah adalah wasiat yang diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu tidak mendapatkan bagian warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku kewajiban untuk berwasiat.
B. Dasar Hukum Wasiat Wajibah Dalil pokok tentang Wasiat Wajibah adalah surat Al-Baqarah :180 yang berbunyi:
ﻴﺔﹸﺻ ِ ﻮ ﺮﹰﺍ ﺍﹾﻟﺧﻴ ﻙ ﺮ ﺗ ﺕ ِﺇ ﹾﻥ ﻮ ﻤ ﺍﹾﻟﺪﻛﹸﻢ ﺣ ﺮ ﹶﺃ ﻀ ﺣ ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺐ ﻛﹸِﺘ (180 : ﲔ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﺘ ِﻘﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻤ ﺣ ﹼﻘﹰﺎ ﻑ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﲔ ﺑِﺎﹾﻟ ﺮِﺑ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﹾﻗﻳ ِﻦ ﻭﺪ ﺍِﻟِﻟ ﹾﻠﻮ Artinya : “Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” Sebagian besar ahli tafsir dalam menafsirkan ayat tentang kewajiban berwasiat di atas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Swt yang berbunyi “kutiba ‘alaikum” adalah ”faradza ‘alaikum” yang artinya adalah “diwajibkan kepada kamu”. Sedangkan firman Allah yang berbunyi “’ala al-muttaqin”
23
menunjukkan bahwa hukum wasiat tersebut tidak wajib. Hal ini beralasan seandainya hukum wasiat itu wajib, maka perintah wasiat itu tentu ditunjukkan dengan kata-kata untuk semua muslim, bukan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertaqwa saja, maka hal yang demikian ini menunjukkan bahwa hukum wasiat itu tidak wajib.9 Selain itu, arti “wajib” dalam ayat di atas juga tidak dipegang karena adanya beberapa qarinah, yaitu:
1. Adanya ayat-ayat kewarisan yang telah memberikan hak bagian tertentu kepada orang tua dan anggota kerabat lainnya; yaitu surat Annisa’ : 11 dan 12.
ﺎ ًﺀﻦ ِﻧﺴّ ﻴ ِﻦ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹸﻛﻴﻧﹶﺜﻆ ﺍﻷ ِّ ﺣ ﻢ ﻟِﻠ ّﹶﺬ ﹶﻛ ِﺮ ِﻣﹾﺜﻞﹸ ﻻ ِﺩ ﹸﻛﻪ ﻓِﻲ ﹶﺃﻭ ﻢ ﺍﻟﹶّﻠ ﻮﺻِﻴ ﹸﻜﻳ ﻒ ﺼ ﺎ ﺍﻟِّﻨﺪ ﹰﺓ ﹶﻓﹶﻠﻬ ﺍ ِﺣﺖ ﻭ ﻧﻭِﺇ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﻙ ﺮ ﺗ ﺎﻦ ﹸﺛﹸﻠﺜﹶﺎ ﻣّ ﻬ ﻴ ِﻦ ﹶﻓﹶﻠﺘﻨﻕ ﺍﹾﺛ ﻮ ﹶﻓ ﺪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻭﹶﻟ ﻙ ِﺇ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟﻪ ﺮ ﺗ ﻤّﺎ ﺱ ِﻣ ﺪ ّﺴ ﺎ ﺍﻟﻬﻤ ﻨﺍ ِﺣ ٍﺪ ِﻣﻳ ِﻪ ِﻟ ﹸﻜ ِّﻞ ﻭﻮ ﺑﻷﻭ ﻮﹲﺓ ﻓﹶﻸ ِّﻣ ِﻪ ﺧ ِﺇﺚ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟﻪ ﻩ ﻓﹶﻸ ِّﻣ ِﻪ ﺍﻟﹸﺜّﹸﻠ ﹸ ﺍﺑﻮ ﹶﺃﻭ ِﺭﹶﺛﻪ ﻭ ﺪ ﻭﹶﻟ ﻦ ﹶﻟﻪ ﻳ ﹸﻜ ﻢ ﹶﻟ ﻢ ﻻ ﺅ ﹸﻛ ﻨﺎﺑﻭﹶﺃ ﻢ ﺅ ﹸﻛ ﺎﻳ ٍﻦ ﺁﺑﺩ ﻭ ﺎ ﹶﺃﻮﺻِﻲ ِﺑﻬﻴ ٍﺔ ﻳّﺻ ِ ﻭ ﻌ ِﺪ ﺑ ﻦ ﺱ ِﻣ ﺪ ّﺴ ﺍﻟ ﺎﻋﻠِﻴﻤ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻦ ﺍﻟّﹶﻠ ِﻪ ِﺇ ّﹶﻥ ﺍﻟّﹶﻠ ﻀ ﹰﺔ ِﻣ ﺎ ﹶﻓﺮِﻳﻧ ﹾﻔﻌ ﻢ ﹶﻟ ﹸﻜﺮﺏ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻬ ﻳّﻭ ﹶﻥ ﹶﺃﺪﺭ ﺗ (11 : ﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺣﻜِﻴﻤ 9
Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988, hlm. 104.
24
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perermpuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
ﺪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻭﹶﻟ ﻦّ ﻬ ﻦ ﹶﻟ ﻳ ﹸﻜ ﻢ ﻢ ِﺇ ﹾﻥ ﹶﻟ ﺟ ﹸﻜ ﺍﺯﻭ ﻙ ﹶﺃ ﺮ ﺗ ﺎ ﻣﺼﻒ ﻢ ِﻧ ﻭﹶﻟﻜﹸ ﻳ ٍﻦﺩ ﻭ ﺎ ﹶﺃﲔ ِﺑﻬ ﺻ ِ ﻮﻴ ٍﺔ ﻳّﺻ ِ ﻭ ﻌ ِﺪ ﺑ ﻦ ﻦ ِﻣ ﺮ ﹾﻛ ﺗ ﻤّﺎ ﻊ ِﻣ ﺑّﺮ ﺍﻟﺪ ﹶﻓﹶﻠﻜﹸﻢ ﻭﹶﻟ ﻦّ ﻬ ﹶﻟ ﺪ ﻭﹶﻟ ﻢ ﺪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ ﹸﻜ ﻭﹶﻟ ﻢ ﻦ ﹶﻟ ﹸﻜ ﻳ ﹸﻜ ﻢ ﻢ ِﺇ ﹾﻥ ﹶﻟ ﺘﺮ ﹾﻛ ﺗ ﻤّﺎ ﻊ ِﻣ ﺑّﺮ ﻦ ﺍﻟّ ﻬ ﻭﹶﻟ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﻳ ٍﻦﺩ ﻭ ﺎ ﹶﺃﻮ ﹶﻥ ِﺑﻬﻮﺻﻴ ٍﺔ ﺗّﺻ ِ ﻭ ﻌ ِﺪ ﺑ ﻦ ﻢ ِﻣ ﺘﺮ ﹾﻛ ﺗ ﻤّﺎ ﻦ ِﻣ ﻤ ّﻦ ﺍﻟﹸﺜّ ﻬ ﹶﻓﹶﻠ ﺍ ِﺣ ٍﺪﺖ ﹶﻓِﻠ ﹸﻜ ِّﻞ ﻭ ﺧ ﻭ ﹸﺃ ﺥ ﹶﺃ ﹶﺃﻭﹶﻟﻪ ﺮﹶﺃﹲﺓ ﻣ ﺭﺙﹸ ﻛﹶﻼﹶﻟ ﹰﺔ ﹶﺃ ِﻭ ﺍ ﻮﺟ ﹲﻞ ﻳ ﺭ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺚ ِ ﺮﻛﹶﺎ ُﺀ ﻓِﻲ ﺍﻟّﹸﺜﻠﹸ ﺷ ﻢ ﻬ ﻚ ﹶﻓ ﻦ ﹶﺫِﻟ ﺮ ِﻣ ﻮﺍ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜﺱ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻛﹶﺎﻧ ﺪ ّﺴ ﺎ ﺍﻟﻬﻤ ﻨِﻣ
25
ﻪ ﺍﻟﹶّﻠﻦ ﺍﻟّﹶﻠ ِﻪ ﻭ ﻴ ﹰﺔ ِﻣّﺻ ِ ﻭ ّﺎ ٍﺭﻣﻀ ﺮ ﻴﻳ ٍﻦ ﹶﻏﺩ ﻭ ﺎ ﹶﺃﻰ ِﺑﻬﻮﺻﻴ ٍﺔ ﻳّﺻ ِ ﻭ ﻌ ِﺪ ﺑ ﻦ ِﻣ (12 : ﻢ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺣﻠِﻴ ﻢ ﻋﻠِﻴ Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari ke dua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Penyantun.” 2. Hadits yang menyatakan tidak boleh berwasiat kepada ahli waris;
ﻴ ﹶﻞﺣِﺒ ﺮ ﻦ ﺷ ﻋ ﺱ ٍ ﺎﻋﺒ ﻦ ﺑﺎ ﺍﺪﹶﺛﻨ ﺣ :ﺪ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺠ ﻧ ﻦ ﺑ ﺏ ِ ﺎﻮﻫ ﺍﹾﻟﺒﺪﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻋﻄﹶﻰ ﹸﻛ ﱠﻞ ﺪ ﹶﺍ ﷲ ﹶﻗ َ ِﺇﻥﱠ ﺍ:ﻮﻝﹸ ﻳﻘﹸ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭﺳ ﻌﺖ ﺳ ِﻤ ﺴِﻠ ٍﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺑ ِﻦ ﻣ
26
ﺑ ِﻦﺍﺮ ِﻣﺬِﻱ ﻭ ﺘﻭ ﺍﻟ ﺩ ﺩﻭ ﻮ ﺑﻩ ﹶﺍ ﺍﺭﻭ ) ﺙ ٍ ﺍ ِﺭﻴ ﹶﺔ ِﻟﻮﺻ ِ ﻭ ﻼ ﹶﻓ ﹶﺣﻘﱠﻪ ﻖ ﺣ ﻱ ِﺫ (ﻪ ﺟ ﺎﻣ
10
Artinya : “Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris.” (HR. Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah).” 3. Kenyataan sejarah bahwa Rasulullah Saw dan kebanyakan sahabat tidak melakukan (memberi) wasiat untuk anggota kerabatnya.11 Berdasarkan qarinah-qarinah ini, jumhur ulama’ menetapkan bahwa hukum wasiat kepada kerabat yang tidak mewarisi hanyalah sunnah, bukan wajib. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa wasiat itu hukumnya tidak wajib, karena kewajiban berwasiat yang tercantum di dalam Al-Qur’an telah dihapus (mansukh) oleh ayat-ayat tentang kewarisan. Menurut mereka, sebelum munculnya ayat tentang kewarisan, berwasiat kepada orang tua dan karib kerabat merupakan kewajiban. Akan tetapi setelah turun ayat-ayat kewarisan yang memberikan sistem pembagian yang pasti, maka kewajiban berwasiat tersebut terhapus sehingga wasiat tidak lagi wajib hukumnya.12 Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa surat AlBaqarah : 180 tersebut mengandung maksud adanya perintah
10
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Juz 2, 1996, Hlm. 322. 11 Alyasa Abubakar, Op. Cit, hlm. 191. 12 Ibid.
27
membuat wasiat kepada orang tua dan para kerabat. Hal ini hukumnya wajib sebelum turun ayat-ayat tentang kewarisan. Dan setelah turunnya ayat-ayat waris yang memberikan sistem kewarisan dengan pembagiannya yang pasti, menjadi ketentuan yang harus diambil dan dipegangi oleh orang-orang yang berhak.13 Ada pula yang berpendapat bahwa surat Al-Baqarah : 180 di atas telah di-nasakh oleh ayat-ayat waris secara keseluruhan dan sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukum yang terambil (mansukh) dari ayat itu hanyalah yang berhubungan dengan orang-orang yang mewarisi. Adapun untuk kerabat yang terhijab atau tidak menjadi ahli waris, kewajiban tersebut masih tetap ada.14 Sebagian mufassir juga menganggap bahwa ayat wasiat tersebut telah di-nasakh oleh Hadits yang menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris tidak diperbolehkan.15 Imam madzhab empat berpendapat bahwa hukum Wasiat Wajibah tidaklah wajib bagi setiap orang yang meningalkan harta, sekalipun terhadap kedua orang tua maupun para kerabat yang tidak menerima warisan.16 Akan tetapi menurut Ibnu Hazm, seseorang wajib berwasiat untuk anggota kerabat yang tidak mewarisi, baik karena perbedaan agama, perbudakan maupun karena terhijab. Ia 13
Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, Cet. V, Beirut: Dar AlMa’rifah, 1992, Hlm. 217. 14 Alyasa Abubakar, Op. Cit. 15 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Cet. II, 1992, hlm. 34. 16 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Juz 3, 1990, Hlm, 310.
28
berpendapat bahwa sekiranya seseorang meninggal dunia sebelum berwasiat, maka ahli waris wajib mengeluarkan (menyedekahkan) sebagian dari harta warisan sejumlah yang mereka anggap layak.
17
Pemahaman Ibnu Hazm di atas berbeda dengan jumhur ulama’ yang memahami bahwa kewajiban wasiat telah dihapus oleh ayat kewarisan dan atau Hadits tentang larangan berwasiat kepada ahli waris. Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya dengan beberapa Hadits, diantaranya:
ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ: ﺮ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻤ ﺑ ِﻦ ﻋﻋ ِﻦ ﺍ ﺎِﻓ ٍﻊﻦ ﻧ ﻋ ﻚ ﺎِﻟﺎ ﻣﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻴ ِﻦ ِﺍﻻﱠﺘﻴﹶﻠ ﹶﻟﻴﺖﻳِﺒ ﻴ ِﻪﻮﺻِﻲ ِﻓ ﻳ ﻴ ﹲﺊﺷ ﺉ ﹶﻟﻪ ٍ ﻣ ِﺮ ﻖ ﺍ ﺣ ﺎ ﻣ: ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ (ﻱ ﺎ ِﺭﺒﺨﻩ ﺍﹾﻟ ﺍﺭﻭ ) ﺑ ﹲﺔﻮ ﺘﻣ ﹾﻜ ﺪﻩ ﻨ ِﻋﻪﻴﺘﺻ ِ ﻭ ﻭ
18
Artinya : “Seorang muslim yang mempunyai sesuatu guna diwasiatkan itu tidak memiliki hak untuk tidur dua malam berturut-turut, kecuali wasiatnya itu sudah tertulis.” (HR. Imam Bukhori) Sekarang ini, Wasiat Wajibah dijadikan dasar oleh UU Wasiat Mesir (UU no. 71 tahun 1946 tentang Wasiat) untuk memberikan bagian kepada cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia mendahului pewaris, ataupun yang orang tuanya meninggal bersamaan dengan meninggalnya pewaris.
17
Ibnu Hazm, op. cit, hlm. 314. Imam Bukhori, Shohih Bukhori, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Juz 3, 1992, Hlm. 283. 18
29
Di Indonesia, Wasiat Wajibah dijadikan sebagai dasar oleh KHI untuk memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris kepada anak angkat yang tidak diberi wasiat oleh pewaris (orang tua angkatnya), atau orang tua angkat yang tidak diberi wasiat oleh pewaris (anak angkatnya).
C. Penerima Wasiat Wajibah dan Besar Bagiannya 1. Penerima Wasiat Wajibah a.
Anak Angkat dan Orang Tua Angkat Dalam KHI, penerima Wasiat Wajibah adalah anak angkat yang tidak menerima wasiat dari harta peninggalan orang tua angkatnya, ketika orang tua angkat tersebut meninggal dunia. Dan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat dari harta peninggalan anak angkatnya ketika anak angkat tersebut meninggal dunia (pasal 209 KHI).
b. Ahli Waris yang Terhijab Dalam UU Wasiat Mesir, penerima Wasiat Wajibah adalah cucu yang ditinggal mati oleh ayah dan atau ibunya, sementara kakek dan atau neneknya (yang kelak ketika meninggal dunia akan menjadi pewaris untuk ayah/ibu cucu tersebut) masih hidup, atau meninggal bersamaan dengan
30
ayah/ibu cucu tersebut. Baik hal ini karena kematian hakiki maupun kematian yang ditetapkan menurut hukum. Cucu yang ditetapkan oleh UU Wasiat Mesir berhak menerima Wasiat Wajibah tersebut adalah cucu dari garis laki-laki dan seterusnya terus ke bawah. Adapun cucu dari garis perempuan hanya terbatas pada cucu pada tingkatan pertama saja (pasal 76). Dari kelompok penerima Wasiat Wajibah dalam UU Wasiat Mesir tersebut dapat disimpulkan bahwa penerima Wasiat Wajibah adalah ahli waris yang terhijab. Hal mana berbeda dengan ketentuan dalam KHI yang menentukan bahwa penerima Wasiat Wajibah adalah anak angkat dan orang tua angkat. Ketentuan tentang penerima Wasiat Wajibah dalam UU Wasiat Mesir tersebut, yaitu cucu-cucu yang ditinggal mati oleh orang tua mereka ini seperti ketentuan tentang ahli waris pengganti dalam KHI. Dalam KHI, cucu-cucu ini akan mendapatkan bagian warisan dari orang tua mereka sesuai dengan bagian masing-masing orang tua mereka. Karena dalam hal ini mereka menempati posisi sebagai ahli waris pengganti. Jadi, mengenai ahli waris yang mahjub ini, antara KHI
dengan
UU
Wasiat
Mesir
memiliki
kesamaan
pandangan yakni bahwa mereka akan mendapatkan bagian
31
dari bagian waris orang tua mereka. Hanya saja dalam KHI disebut sebagai ahli waris pengganti, sementara dalam UU Wasiat Mesir disebut sebagai Wasiat Wajibah.
c.
Kerabat yang Tidak Menjadi Ahli Waris Dalam KHI maupun UU Wasiat Mesir, ahli waris yang terhalang, misalnya karena perbedaan agama tidak akan mendapatkan bagian warisan karena ia tidak termasuk sebagai ahli waris. Dalam KHI pasal 171 disebutkan bahwa seseorang itu akan termasuk ahli waris manakala pada saat pewaris meninggal dunia ia dalam keadaan beragama Islam, memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris
serta
memperoleh
tidak
bagian
terhalang warisan.
secara Dengan
hukum
untuk
mengacu
pada
ketentuan pasal 171 di atas, maka ahli waris yang terhalang tidak termasuk sebagai ahli waris dan oleh karena itu tidak akan memperoleh bagian warisan. Mengenai kerabat yang tidak termasuk sebagai ahli waris ini, Ibnu Hazm berpendapat kalau ia berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris atas dasar Wasiat Wajibah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa para kerabat yang tidak menerima warisan berhak menerima Wasiat Wajibah sebagaimana telah beliau tegaskan dalam Al-
32
Muhalla yang telah dikutip di atas. Oleh karena itu, menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh ahli waris untuk membemberikan wasiat tersebut kepada para kerabat yang tidak dapat menerima warisan, baik karena ia menjadi budak, karena berbeda agama ataupun karena adanya kerabat lain yang menghijab, maupun karena ia bukan sebagai ahli waris.19
2. Besar Bagian Wasiat Wajibah Dalam KHI, besarnya persentase harta peninggalan yang boleh dialokasikan untuk Wasiat Wajibah adalah maksimal sebesar 1/3 dari harta peninggalan pewaris. Serta dalam pasal 209 disebutkan tentang orang-orang yang berhak menerima Wasiat Wajibah yaitu anak angkat dan orang tua angkat saja, tanpa menyebutkan bagaimana metode pemberian Wasiat Wajibah tersebut. Dalam UU Wasiat Mesir, batas penerimaan Wasiat Wajibah adalah dalam batas 1/3 dari harta peninggalan (pasal 76). Hal itu pun dengan syarat bahwa keturunan yang akan diberikan Wasiat Wajibah tersebut tidak turut mewarisi harta peninggalan pewaris, serta belum pernah diberikan harta oleh pewaris dengan cara-cara lain. Dan mengenai metode pemberian wasiat tersebut, dalam UU
19
Ibnu Hazm, Ibid.
33
Wasiat Mesir tidak diatur lebih lanjut. Tetapi, dari ketentuan dalam pasal 76, terlihat jelas tentang kewajiban untuk memberikan Wasiat Wajibah yang didasarkan atas ketentuan perundang-undangan. Menurut Ibnu Hazm, karena kewajiban berwasiat itu berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseorang meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat, maka hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi kewajiban wasiat tersebut. Adapun mengenai jumlah atau perbandingan harta yang diwasiatkan, menurut Ibnu Hazm tidak ada ketentuan. Hal itu diserahkan kepada pertimbangan, kepatutan dan ketulusan masing-masing, asalkan masih dalam batas 1/3 warisan (harta). Namun beliau memberi batas minimal tentang jumlah orang yang akan menerimanya. Yaitu kalau kerabat yang mewarisi itu banyak, maka dia harus berwasiat sekurang-kurangnya kepada tiga orang. Sekiranya ia berwasiat kepada orang yang bukan kerabat, maka dua dari wasiatnya tersebut harus dialihkan kepada kerabat dan hanya 1/3 saja yang diserahkan sesuai dengan wasiat asli. Dan yang berkewajiban untuk melaksanakan (“mengubah”) wasiat tersebut adalah ahli waris atau pemegang wasiat.20
20
Ibnu Hazm, op. cit., hlm. 193.