BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT WAJIBAH
A. Pengertian Wasiat Wajibah Kata wasiat dalam, Al-Qur’an disebutkan 9 kali, dan kata lain yang seakar, disebut 25 kali. Secara Bahasa “ Wasiat ” artinya berpesan, menetapkan, memerintah seperti dalam Al-Qur’an (QS. Al-An’am 6 : 151, 152, 153, Al-Nisa’ 4 : 131 ), kemudian mewajibkan (QS. Al-Ankabut 29 : 8, Luqman 31 : 14, AlSyura 42 : 13, Al-Ahqaf 46 : 15 ), dan mensyari’atkannya ( Al-Nisa’ 4 : 11)1 Wasiat berarti pesan, baik berupa harta maupun lainnya. Sedangkan menurut syari’at, wasiat berarti pesan khusus yang dijalankan setelah orang itu meninggal dunia.2 Menurut Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah mengatakan bahwa wasiat adalah :
!" # (
$ % '
“ Pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, utang, atau manfaat agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal dunia ”.
1
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta : Raja Grafindo, 2002, hlm. 183. Abdul Ghofur, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 491. 3 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah,, Juz III, Beirut : Muassasah, 2002, hlm. 317. 2
20
Sementara menurut ‘Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Miras Al-Muqaran mendefinisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela dan tidak mengharapkan imbalan (Tabarru’) yang pelaksanaannnya di tangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.4 Fuqaha memberikan
yang hak
bermadzhab
memiliki
Hanafiyah
sesuatu
secara
menta’rifkan sukarela
wasiat
ialah
(Tabarru’)
yang
pelaksanaannya di tangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan , baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat. Fuqaha Malikiyah menta’rifkan ialah suatu perikatan yang mengharuskan kepada si penerima wasiat meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewasiat, sepeninggalnya atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta pewasiyat kepada penerima wasiat sepeninggalnya. Ulama-ulama
yang
bermadzhab
Syafi’iyah
dan
Hanabilah
menta’rifkannya dengan ta’rif yang hampir sama dengan ta’rif di atas. Sedang kitab Undang-Undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946,5 menta’rifkannya secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan macam-macam wasiat, yakni : mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang ditangguhkan kepada kematian seseorang.
4 5
‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, Al-Miras Al- Muqaran, Baghdad, tp.1969. hlm. 103. Ibid,
21
Ini berbeda dengan pengertian wasiat wajibah, wasiat wajibah sebagai suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. 6 Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah atas tindakan ikhtiariyah. Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat.7 Menurut asal hukum, wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim. 8 Namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat, yang terkenal dengan wasiat wajibah kepada orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah (wajib) disebabkan karena dua hal : 1. Hilangnya unsur ikhtiyar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat. 6
Ahmad Rafiq, op. cit, hlm.184. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : Al-Ma’arif, 1994, hlm. 62. 8 Hasby Ash-Siddieqhy, Fiqih Mawaris, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 300. 7
22
2. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. 9 Dari beberapa pengertian diatas tentunya sangat berbeda dengan pengertian wasiat wajibah, oleh karenanya penulis akan menguraikan beberapa pengertian wasiat wajibah diantaranya adalah : a.
Menurut Ibnu Hazm wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara si mayit meninggalkan harta, baginya berlaku kewajiban wasiat.10
b.
Menurut Drs. Fatchur Rahman wasiat wajibah adalah
wasiat
yang
ditetapkan berdasarkan penguasa ataupun keputusan hakim sebagai aparat negara yang mempunyai wewenang dapat memaksa seseorang memberi wasiat.11 c.
Menurut Dr. Ahmad Rofiq, MA, wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa , atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang
telah meninggal yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadan tertentu.12
9
Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 63. Ibnu Hazm, Al-Muhalla Bi Al-Astar, Juz VIII, Beierut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, t.th, hlm.
10
353.
11 12
Fatchur Rahman, loc. cit. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 462.
23
Sementara di kalangan ulama fikih dikenal dengan istilah al-Washiyyah al-Wajibah (wasiat wajib) yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’ misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non muslim, karena beda agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk menerima warisan. 13 Secara singkat, wasiat wajibah di negara-negara Islam di dunia sudah di kemukakan. Di Indonesia Wasiat Wajibah di muat dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, yakni untuk anak angkat dan atau orang tua angkat, kalau dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan dapat digantikan, artinya tidak dapat memaksa, tidak imperatif.14 Dalam hukum BW (hukum positif) istilah wasiat wajibah disebut dengan Platvervurlling. Secara garis besar antara pergantian kedudukan –atau-mawalidengan wasiat wajibah hampir sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat wajibah dibatasi penerimaannya, maka dalam penggantian kedudukan
adalah
menggantikan hak sesuai dengan hak yang di terima orang tuanya.15 Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh penguasa (dilaksanakan oleh hakim) untuk 13
hlm. 1930. 14
Dahlan Abdul Aziz , Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997,
Cik Hasan Bisri, et. al., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 93. 15 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 463.
24
orang-orang tertentu yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara si mayit meninggalkan harta, baginya berlaku kewajiban wasiat. Dengan demikian wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat wajibah ini tetap harus dilaksanakan baik diucapkan atau tidak diucapkan. Baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang meninggal dunia. Sehingga pelaksanaan wasiat wajibah tersebut diucapkan atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakannya. B. Pengertian Non Muslim Sebelum penulis memaparkan pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya wasiat wajibah kepada kerabat non muslim, terlebih dahulu penulis jelaskan mengenai, bagaimana kriteria kerabat non muslim menurut Ibnu Hazm yang nantinya wajib diberi wasiat wajibah ?. Dengan mengetahui tentang siapa saja kerabat non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah akan mempermudah kepada para pembaca untuk memahaminya. Selain itu untuk menghindari terjadinya suatu kesalahfahaman dalam menentukan kerabat non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah.
25
Apabila non muslim dilihat dalam jenis kafir, menurut ulama fikih membaginya kepada : Kafir Harbi, Kafir Kitabi, Kafir Muahid, Kafir Musta’min, Kafir Zimmi dan Kafir Riddah.16 Yang dimaksud kerabat non muslim menurut Ibnu Hazm yaitu para kerabat yang berbeda agama
dengan pewasiat. Kerabat tersebut merupakan
kerabat yang tidak dapat mewarisi, karena terhijab atau salah satunya disebabkan tidak beragama Islam (non muslim) sehingga wajib diberi wasiat.
Yang
dimaksud kerabat menurut Ibnu Hazm adalah semua keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai terus ke bawah. Mereka berada pada garis keturunan yang sama dengan orang yang meninggal dunia, dalam garis ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah dan ibu secara bersamaan.17 Disini yang dimaksudkan non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah adalah non muslim dari golongan Ahl Dzimmah. Menurut Syari’ah non muslim juga dikatakan sebagai Ahl Dzimmah, adalah orang-orang selain Islam yang tinggal di Darul Islam dan mematuhi seluruh hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Darul Islam. Dan mereka (non muslim) juga bebas melaksanakan berbagai aktivitas duniawi dan keagamaan selama tidak mengganggu kemaslahatan umum yang ada di Darul Islam. Sebagai jaminan keamanan bagi diri mereka diwajibkan membayar pajak,
16 17
Dahlan Abdul Aziz, op. cit., hlm. 875. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut : tp. t.th, hlm. 314.
26
yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah Darul Islam. Ahl Dzimmah ini juga disebut dengan Kafir Dzimmi.18 Mereka dikatakan Dzimmi karena berada di bawah perlindungan orang-orang Islam. Bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang sahnya wasiat antara sesama muslim, karena wasiat merupakan tali silaturrahmi, dan diberikan kepada kerabat dekat atau bukan kerabat, atau bahkan berlainan negara. Di mana silaturrahmi tersebut mempunyai kekuatan yang sangat kuat. Begitu sebaliknya tidak adanya suatu perbedaan tentang wasiat orang Islam kepada selain Islam (non muslim) yang dimaksud adalah dari golongan Ahl Dzimmah atau Yahudi dan Nasrani (non muslim yang tinggal di Darul Islam dan mematuhi seluruh perundang-undangan yang berlaku di Darul Islam tersebut.19 Menurut Shahibul Bakhru Zakhar sudah menjadi kesepakatan ijma’ bahwa wasiat kepada Ahl Dzimmah hukumnya sah. Yang disandarkan pada firman Allah yang berbunyi :
)*+,-./0 1/ +23 +,-.+45/6+7 4+,*1 /2+3% /8 +,-.94 /:*-;9*< 12+/=> /21?@ 4,-AB91*C O
LMN J K12+/D/+-; )4E /4FG@ >/H+,/+B1/H +-D/ );4:1 +,4+I61#1:
Artinya : “ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah 18 19
Dahlan Abdul Aziz, op. cit, hlm. 860. ‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit. hlm. 129.
27
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)20 Akan tetapi selain Kafir Dzimmi ada juga Kafir Harbi adalah kaum kafir yang memusuhi Islam. Sehingga harus dibedakan dengan Kafir Dzimmi yaitu non muslim yang mematuhi perundang-undangan Islam. Dalam hal wasiat terdapat perbedaan bahwa tidak diperbolehkan orang Islam berwasiat kepada Kafir Harbi. Ulama
dari
kalangan
Syafi’iyah,
Hanafiyah,
Hanabilah
telah
membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam (non muslim) dengan syarat yang diberi wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak demikian maka wasiatnya batal, tidak sah. Adapun dalil membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam (non muslim) adalah dikiaskan kepada hibah dan shadaqah.21. Sedangkan kepada kafir Harbi menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf tidak sah diberi wasiat karena Kafir Harbi berbeda dengan Kafir Dzimmi. Menurut ‘Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Miras Al-Muqaran bahwa Ahl Dzimmih merupakan golongan dari Yahudi dan Nasrani.22 Pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Rida terhadap golongan Yahudi dan Nasrani dapat di berlakukan dengan hukum Ahl Al-Kitab, khususnya dalah hal makanan
20
Depag Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : PT Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 924. 21 ‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit., hlm. 130. 22 Ibid,
28
(sembelihan), perkawinan, hak-hak sipil, dan kewajiban mereka sebagai warga negara dalam wilayah Islam. 23 Sedangkan menurut Ibnu Hazm, memahami term Ahl Al-Kitab mirip dengan pemahaman ulama salaf, yang memasukkan kaum Majusi sebagai kelompok Ahl Al-Kitab.24 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerabat non muslim yang wajib diberi wasiat wajibah adalah para kerabat yang berbeda agama dengan pewasiat. Kerabat tersebut merupakan kerabat yang tidak dapat mewarisi, karena terhijab atau bukan ahli waris. Yang dimaksud kerabat Ibnu Hazm adalah semua keturunan yang memiliki hubungan nasab dengan ayah dan ibu sampai terus ke bawah. Mereka berada pada garis keturunan yang sama dengan orang yang meninggal dunia, dalam garis ibu atau ayah atau bahkan dalam garis ayah dan ibu secara bersamaan. Disini non muslim yang dimaksudkan adalah Ahl Dzimmah yaitu dari golongan Yahudi dan Nasrani. Dikatakan Ahl Dzimmah karena mereka mematuhi peraturan perundang-undangan Islam, serta tidak memerangi orang Islam, selain itu mereka
berada di bawah perlindungan orang Islam. Sehingga menurut
syari’ah orang Islam harus berbuat adil kepada mereka (non muslim) dengan
23 24
Dahlan Abul Aziz, loc. cit. Ibnu Hazm, Al- Muhalla, Juz VI, Beirut : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 445.
29
memberikan haknya untuk dapat mewarisi kerabatnya yang beragama Islam. Dalam hal mendapatkan warisan melalui wasiat wajibah. C. Dasar Hukum Wasiat Wajibah Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat menetapkan wasiat wajibah atas dasar hasil mengkompromikan pendapat-pendapat ulama salaf dan ulama khalaf yakni : 1.
Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadist. Antara lain Said Ibnu Musaiyab, Hasan AlBishry, Thawus, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.
2.
Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat, adalah diambil dari pendapat madzhab Ibnu Hazm yang dinukil dari fuqaha tabi’in dan dari pendapat madzhab Imam Ahmad.
3.
Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan kepada sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pendapat Ibnu Hazm dan berdasarkan kaidah syari’ah :
R #5
&6 S
LT 2
6 P # &6
6Q
H KMU
30
“ Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang mubah. Karena ia (Ibnu Hazm) berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian, maka wajiblah ditaati. ”25 Sebagaimana dalam firman Allah telah disebutkan diantaranya adalah: 1. Dalam al-Quran Surat al- Baqarah ayat : 180
12+/&6)]GQ)1 /2+1%/ 1)/ *\/ 1) [6+1Z 1Y161:)/H4$ +*)4,-.1%1W*161X 1W *VH/ +,-A+*1 1E /M-. O
`6;#J K 12+/;1M-)1 1 _;1W /^ +46+*)/&
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa ”.26 Ibnu Hazm mengatakan bahwa wasiat itu hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka. Dalam ayat tersebut Tuhan mewajibkan kepada umat Islam untuk mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya dan mewajibkan untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang dari pada mempusakakan harta peninggalannya.27
25
Fatchur Rahman, op. cit. hlm. 66. Soenaryo, loc.cit., 27 Fatchur Rahman, op. cit, hlm. 52. 26
31
2. Dalam Hadist Nabi a.
Dasar hukum wasiat wajibah dalam hadist Nabi yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum wasiat wajibah diantaranya adalah :
@ @ a d0 a ] a ]6N 2& 2 b8 !2 c 6U eM R # 8 f g , h6 cW ,d 2 0 R j = k $ 6 6N 2&H a ] i & MA % CH mn KS l% CH Va ], @ a d0 “ Aku menerima dari jalur Malik dari Nafi’ dari Umar berkata : Rosulullah Saw bersabda : Hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan , sesudah bermalam selama dua malam tiada lain wasiatnya itu ditulis pada awal kebijakannya. Ibnu Umar berkata tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengarkan hadist itu kecuali wasiat selalu berada disisku.” Bermalam disini untuk perkiraan bukan sebagian batasan mutlak. 3. Salah satu yang dijadikan dasar hukum wasiat wajibah selain dari Al-Qur’an dan Hadits adalah Kitab Undang-undang Hukum Wasiat Mesir N0: 71 Tahun 1946. D. Rukun Dan Syarat Wasiat Wajibah 1. Rukun Dan Syarat Wasiat Wajibah Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya melalui pembebanan oleh hakim,sehingga wasiat wajibah tersebut tidak menggunakan 28
Malik bin Anas, Al-Muwattha, Beirut : Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 500.
32
atau tidak memerlukan adanya rukun-rukun wasiat. Di mana pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat wajibah ini tetap harus dilaksanakan baik di ucapkan atau tidak, baik dikehendaki atau tidak dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang meninggal dunia. Sebagaimana wasiat-wasiat lainnya yang pelaksanaannya harus memperhatikan beberapa unsur, diantaranya : a.
Mushi (Pemberi Wasiat).
b.
Mushalah (Penerima Wasiat).
c.
Mushabih (Barang yang Diwasiatkan).
d.
Redaksi Ijab Dan Qabul / Lafadz (Shighat) Meskipun wasiat wajibah tidak memerlukan adanya rukun-rukun
wasiat seperti wasiat-wasiat lainnya, akan tetapi wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat : Pertama yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris, apabila dia berhak menerima harta pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya. Maka jikalau seseorang meninggal dengan meninggalkan ibu, dua anak perempuan, dua anak lelaki, dua anak lelaki kandung, maka tidak ada wasiat untuk anak-anak dari anak lelaki karena mereka menerima 1/6 (seperenam) harta. Andaikata tidak ada dua anak lelai dari anak lelaki tidak
33
mendapat pusaka dan wajiblah untuknya wasiat wajibah dengan sejumlah harta peninggalan, lalu masing-masingnya menerima 1/6(seperenam) dari harta peningalan. Kedua orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek bukan memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain seperti hibah upamanya.29 2. Pelaksanaan Dan Batasan-Batasan Wasiat Wajibah Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir dalam pasal 78, mewajibkan pelaksanaan wasiat wajibah tersebut tanpa tergantung perizinan ahli waris, kendatipun si mati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang dengan wasiat wajibah tersebut didahulukan dari pada wasiat-wasiat lainnya. Artinya apabila ada sisa setelah pelaksanaan wasiat wajibah baru dilaksanakan wasiat-wasiat yang lain menurut urut-urutan yang telah ditentukan oleh undang-undang wasiat, kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.30
29 30
Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 304-305. Fatchur Rahman, op.cit., hlm. 65.
34
Mengenai batasan Wasiat Wajibah disandarkan kepada tafsiran hadis Rosulullah SAW, dalam peristiwa Sa’ad bin Abi Waqas, sewaktu dikunjungi Rosulullah pada waktu sakitnya timbul dialog sebagai berikut31 :
@ @ a d0 . a ] @ ko0 p ] q 2&% d 2 2 q w&%]uHR ;8iq v%MgHb5 2 ir sW t u ,d a ]yz {{&|%T:8 i &HCHu x6C ia V ! l6: b5 #. #. € { } € { } a ]• } C } a ;8y6D~ & R ;8} C } (m K• AM , 0=: 2 Z ‚ Mx0 0=: H !H Artinya :“ Bahwasanya Sa’ad Bin Abi Waqqash pulang, kemudian berkatalah ia kepada Rasulullah saw., “ Ya Rasulullah, sakitku telah demikian parah-sebagaimana engkau lihat-sedang aku memiliki harta, dan tidak ada yang bakal mewarisiku selain seorang anak perempuan saja. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku ? Maka berkatalah Rasulullah Saw, kepadanya “ Jangan ”. Maka Sa’ad beliau “ Bagaimana jika separuhnya ?” Rasulullah Saw berkata, “ Jangan ”. Kemudian Rasulullah Saw berkata pula, “ Sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta .” Hadits tersebut diatas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Wasiat Mesir N0 : 71 Tahun 1946, dalam pasal 76,77,78 yang menentukan biaya penerimaan wasiat wajibah tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta warisan .33
31 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Hukum Perdata (BW), Jakarta : Sinar grafika, 2000, Cet. II. Hlm. 138. 32 Ahmad Ibnu Ali Ibnu Hajar, Fatkh Al-Bari, Juz III, tp : Dar Al-fikr, t.th, hlm. 164 33 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media Offset, 2001, hlm. 116.
35
Pada prinsipnya besarnya wasiat itu ialah sepertiga harta peninggalan setelah diambil biaya-biaya perawatan dan pelunasan hutang-hutang si mati. Apabila melebihi sepertiga harta warisan menurut kesepakatan seluruh mazhab, membutuhkan izin dari ahli waris, jika semua mengizinkan wasiat tersebut dapat berlaku dan sebaliknya apabila ahli waris tidak mengizinkan maka batallah wasiat tersebut.34 3. Hal-hal Yang Membatalkan Wasiat Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197, Yang berbunyi sebagai berikut: 1)
Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai hukum tetap dihukum karena : a.
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c.
Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
34
Jawad Mughniyah, op. cit., hlm. 153.
36
2)
Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat ; b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerimanya ; c. Mengetahui wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
3)
Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.35 Apabila diperhatikan dari pasal tersebut dapat diperoleh kesan bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut di analogikan kepada Mawani’ Al-Irs (penghalang dalam kewarisan) meskipun tidak seluruhnya. Namun karena tujuannya jelas, yaitu demi terealisasinya tujuan wasiat itu maka ketentuan pasal tersebut perlu disosialisasikan.36
E. Wasiat Wajibah Menurut Pendapat Para Ulama Dalam menentukan hukum wasiat, kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukum wasiat adalah tidak wajib karena kewajiban wasiat tercantum dalam AlQuran telah dihapus (mansukh) oleh ayat kewarisan. 35
Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I Nomor I Tahun 1991Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : 2000, hlm. 90. 36 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 459.
37
Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa sejak munculnya ayat tentang wasiat, berwasiat untuk kedua orang tua dan para kerabat terdekat adalah kewajiban. Akan tetapi setelah turun ayat tentang kewarisan dengan sistem pembagian yang pasti, maka kewajiban berwasiat tersebut menjadi mansukh yang dan akhirnya hukum wasiat menjadi tidak wajib. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dipaparkan kembali tentang dasar pokok disyari’atkannya wasiat. Yaitu ayat Al-Quran yang tercantum dalam surat Al-Baqarah (2) : 180.
12+/&6)]GQ)1 /2+1%/ 1)/ *\/ 1) [6+1Z 1Y161: )/H4$ +*)4,-.1%1W*161X 1W *VH/ +,-A+*1 1E /M-. O K `6;#J K 12+/;\M-)1 1 _;1W /^ +46+*)/& Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan karib kerabat, secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa ”. (Al-Baqarah : 180)37 Sebagaimana telah di uraikan di atas, bahwa dasar kewajiban wasiat tersebut, menurut kebanyakan ulama telah dihapus oleh ayat-ayat kewarisan yang dimaksud salah satunya tersebut dalam surat An-Nisa’ ayat 7, yang berbunyi :
/ 1%/ 1)1Y161: \N3 4E +/T 1!/‚13/ 1 *94&16]9GQ)1 / 1%/ 1) 1Y161: \N3 4E +/T 1!/a 1536/ O 37
‚ J [o +46)\ ƒ#+/T 1!16-{*. +*4+/ >„*] \N3 *+4&16)]GQ)1
Depag R. I, op. cit, hlm. 1112.
38
Artinya : ” Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, bagi orang wanita hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan ”.38 Dalam menafsirkan ayat yang dijadikan dasar pokok disyari’atkannya wasiat sebagaimana tersebut di atas, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah yang berbunyi (,A
E M.) adalah ( … 68
,A ) yang artinya adalah diserahkan kepada kamu.39 Sedangkan firman Allah yang berbunyi (e ;M
menunjukkan bahwa
wasiat tersebut adalah tidak wajib. Hal ini beralasan seandainya hukum wasiat itu wajib, maka perintah wasiat tersebut tentu ditujukan dengan kata-kata untuk semua muslim, dan bukan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertaqwa. Oleh karena itu dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertaqwa saja, maka hal yang demikian ini menunjukkan bahwa hukum wasiat tersebut tidak wajib.40 Sementara itu Imam Ibnu Kastir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa ayat 180 surat Al-Baqarah tersebut mengandung maksud adanya perintah membuat wasiat kepada orang tua dan para kerabat. Hal ini hukumnya wajib 38
Ibid, hlm. 116. Muhammad Ali As-Sayyis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut : t.th, hlm. 55. 40 Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Quran, Cet. I, Beirut : Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1988, hlm. 104. 39
39
sebelum turun ayat tentang kewarisan (pembagian harta peninggalan), maka hukum wasiat tersebut dihapus oleh ayat-ayat tentang kewarisan, dan sistem kewarisan dengan pembagiannya yang pasti, menjadi ketentuan yang harus diambil dan dipegangi oleh orang-orang yang berhak.41 Imam mazhab empat, golongan Zaidiyah dan juga golongan Imamiyah berpendapat bahwa hukum wasiat tidaklah wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, sekalipun terhadap kedua orang tua para kerabat yang tidak menerima warisan.42 Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa menurut kebanyakan ulama, hukum wasiat adalah tidak wajib, karena kewajiban berwasiat telah di hapus oleh sistem kewarisan. Jika hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ tersebut dikaitkan dengan kitab disyari’atkannya wasiat sebagaimana tersebut dalam surat AlBaqarah ayat 180 juga tentang ayat-ayat kewarisan yang salah satunya telah disebutkan diatas, maka tidak wajib, khususnya untuk kerabat dekat. Akan tetapi jika dikaitkan dengan sifat hukum, maka hukum wasiat bisa bermacam-macam. Adakalanya hukum wasiat menjadi wajib apabila wasiat itu ditujukan untuk membayar hutang atau mengembalikan barang titipan.43
195-196.
41
Ismail Ibnu Kastir, Tafsir Al-Quran Al-Azim, Beirut : Al-Maktab Al-Ilmiyah, 1994, hlm.
42
‘Abd Al-Rahim Al-Kisyka, op. cit., hlm. 109. Ibid,
43
40
Hukum wasiat menjadi sunnah apabila wasiat tersebut ditujukan kepada kerabat yang tidak menerima warisan atau untuk membuat kebijakan secara umum. Hukum wasiat menjadi mubah apabila wasiat tersebut di tujukan untuk saudara dan para kerabat yang kaya. Dan adakalanya hukum wasiat menjadi haram apabila wasiat ditujukan untuk kejelekan dan kemaksiatan.44 Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah dari surat Al-Baqarah ayat 180-181 yang intinya dapat dituturkan sebagi berikut: “ Bahwa orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sedangkan ia memiliki harta peninggalan yang cukup banyak maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Dan sesungguhnya orang yang mengubah isi wasiat tersebut akan menanggung akibatnya.45 Pada akhirnya sebagai tindak lanjut pendapat-pendapat tersebut di atas, para fuqaha tidak membatasi tentang siapa-siapa yang memperoleh wasiat itu, asalkan dengan syarat orang yang menerima wasiat tersebut mempunyai kecakapan dalam memegang harta di samping dia bukan termasuk ahli waris.
44
Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Islami Wa Adiillatuh,, Beirut : Dar Al-Fikr, 1989, hlm., 12-13. Amrullah Ahmad, et.al, Dimensi hukum Islam Di Indonesia Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. Xiii. 45