BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pengertian Pajak Menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann yang telah diterjemahkan oleh Wirawan B.
Ilyas dan Richard Burton (2010:6), “Pajak adalah prestasi yang dapat dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.” Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja yang ditulis oleh Waluyo (2010:3), “Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Dari definisi ini tidak tampak istilah “dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib”. Menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets yang telah diterjemahkan oleh Ilyas dan Burton (2010:6), “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. 9
Mengacu pada pendapat Waluyo (2010:3), ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
II.2
Fungsi Pajak Menurut Ilyas dan Burton (2010:12), pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1. Fungsi Budgeter Yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran
negara,
yaitu
pengeluaran
rutin
dan
pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah. 2. Fungsi Regulerend Yaitu suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Fungsi ini pada umumnya dapat dilihat dari sektor swasta. 10
3. Fungsi Demokrasi Yaitu suatu fungsi yang merupakan salah satu wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah. 4. Fungsi Redistribusi Yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan masyarakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).
II.3
Cara Pemungutan Pajak Menurut Herry Purwono (2010:13), pemungutan pajak dapat dilakukan
berdasarkan 3 stelsel : 1. Stelsel riil atau nyata (riele stelsel) Merupakan cara pengenaan pajak yang didasarkan pada objek (penghasilan) yang sesungguhnya, yang benar-benar ada, dan dapat ditunjuk. Sebagai contoh, dalam Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan penghasilan disini adalah penghasilan sesungguhnya yang diperoleh atau diterima dalam satu tahun baru diketahui pada akhir tahun sehingga pengenaan pajaknya baru dapat dilakukan pada akhir tahun tersebut.
11
2. Stelsel fiktif (fictieve stelsel) Cara pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu anggapan yang dilegalkan oleh undang-undang. Sebagai contoh : penetapan besaran angsuran pajak di awal tahun yang didasarkan pada anggapan bahwa pendapatan tahun ini adalah sama dengan pendapatan tahun lalu. 3. Stelsel campuran Pada dasarnya merupakan gabungan dari dua stelsel yang ada yaitu stelsel riil dan stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menggunakan stelsel fiktif dan setelah akhir tahun menggunakan stelsel riil. Contoh : Pajak Penghasilan.
II.4
Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009:7), sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga,
antara lain : 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b. Wajib pajak bersifat pasif. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 12
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. Withholding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
II.5
Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46 tentang
Akuntansi Pajak Penghasilan mendefinisikan “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.” Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam tahun pajak.”
II.5.1
Pajak Penghasilan Pasal 23 Mardiasmo (2009:231), PPh pasal 23 adalah pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha 13
Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotong PPh Pasal 23 : 1. Badan pemerintah. 2. Subjek pajak badan dalam negeri. 3. Penyelenggara kegiatan. 4. Bentuk usaha tetap. 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, yang meliputi : a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas. b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Objek pemotongan PPh pasal 23 : 1.
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
3.
Royalti; 14
4.
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21;
5.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan
6.
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
Berdasarkan Mardiasmo (2009:232), penghasilan yang tidak dipotong PPh 23 : 1.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2.
Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
4.
Dividen yang diterima oleh orang pribadi;
5.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 15
6.
Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; dan
7.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
II.5.2
Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Pajak penghasilan final (PPh final) merupakan salah satu cara pemerintah
menarik pajak dari wajib pajak dengan cara yang sederhana. Disebut sederhana karena wajib pajak dapat menghitung pajak dengan sekali hitung, yaitu penghasilan bruto kali tarif. Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan. Jumlah PPh final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh nya bersifat final tidak dapat dikurangkan. Mengacu pada Atep Adya Barata (2011:8), objek pajak PPh pasal 4 ayat (2) : 1.
Bunga deposito dan tabungan lainnya;
2.
Bunga obligasi dan surat utang negara;
3.
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
4.
Penghasilan berupa hadiah undian;
5.
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya;
6.
Transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa;
16
7.
Transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
8.
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan;
9.
Usaha jasa konstruksi;
10. Usaha real estate; 11. Persewaan tanah dan/atau bangunan; 12. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Mengacu pada Mardiasmo (2009:261), pemotongan PPh final tidak dilakukan terhadap : 1. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. 2. Bunga deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang terpecah-pecah. 3. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 4. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kavling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
17
II.6
Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi Mengacu pada Atep Adya Barata (2011:274), ada tiga dasar hukum
pelaksanaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi : 1) Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No.7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008). 2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. 3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Konstruksi jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Konstruksi. Atep Adya Barata (2011:277), pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi bersifat final dan pelunasannya dilakukan dengan cara : a) dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak; atau b) disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak. Yang dimaksud dengan “pemotong pajak” adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong pajak penghasilan. Yang dimaksud dengan “bukan
18
merupakan pemotong pajak” antara lain badan internasional yang bukan subjek pajak dan perwakilan negara asing. Billy Ivan Tansuria (2011:70), apabila pengguna jasa adalah pemotong pajak, maka PPh yang bersifat final wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pengguna jasa itu sendiri. - Pemotongan PPh. Pemotongan PPh dilakukan pada saat pembayaran dengan menggunakan formulir “Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi” (kode formulir F.1.1.33.16) yang diisi rangkap 3. Lembar pertama untuk wajib pajak, lembar kedua untuk KPP dan lembar ketiga untuk pemotong pajak. - Penyetoran PPh. Penyetoran PPh menggunakan formulir “Surat Setoran Pajak (SSP)” atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, yang diisi rangkap 4 serta mencantumkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 409. Penyetoran PPh ke kas negara dilakukan melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah dilakukannya pemotongan atau pada hari kerja berikutnya apabila tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu dan hari libur nasional. - Pelaporan PPh. PPh yang telah dipotong dan disetor wajib dilaporkan ke KPP tempat wajib pajak pemotong terdaftar menggunakan formulir “SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2)” (kode formulir F.1.1.32.04) dengan cara mengisi pada angka 6.a.1 “Jasa Perencana Konstruksi: Pengguna Jasa Sebagai Pemotong PPh”, atau angka 6.b.1 “Jasa Pelaksana Konstruksi: Pengguna Jasa Sebagai Pemotong PPh”, atau angka 6.c.1 “Jasa Pengawas Konstruksi: Pengguna Jasa Sebagai Pemotong PPh”, tergantung jenis usaha dari jasa konstruksi yang dipotong pajaknya. Batas 19
waktu pelaporan SPT Masa tersebut dilakukan paling lambat 20 hari setelah bulan dilakukannya pemotongan PPh, atau pada hari kerja berikutnya apabila batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu dan hari libur nasional. Apabila pengguna jasa bukan pemotong pajak maka PPh yang bersifat final wajib disetor dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak penyedia jasa konstruksi. - Penyetoran PPh. Penyetoran PPh menggunakan formulir “Surat Setoran Pajak (SSP)” atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, yang diisi rangkap 4 serta mencantumkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 409. Penyetoran PPh ke kas negara dilakukan melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah penerimaan pembayaran atau pada hari kerja berikutnya apabila tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu dan hari libur nasional. - Pelaporan PPh. PPh yang telah dipotong dan disetor wajib dilaporkan ke KPP tempat wajib pajak pemotong terdaftar menggunakan formulir “SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2)” (kode formulir F.1.1.32.04) dengan cara mengisi pada angka 6.a.2 “Jasa Perencana Konstruksi: Penyedia Jasa yang Menyetor Sendiri PPh”, atau angka 6.b.2 “Jasa Pelaksana Konstruksi: Penyedia Jasa yang Menyetor Sendiri PPh”, atau angka 6.c.2 “Jasa Pengawas Konstruksi: Penyedia Jasa yang Menyetor Sendiri PPh”, tergantung jenis usaha dari jasa konstruksi yang memotong pajak. Batas waktu pelaporan SPT Masa tersebut dilakukan paling lambat 20 hari setelah bulan penerimaan pembayaran, atau pada hari kerja berikutnya apabila batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu dan hari libur nasional Menurut Siti Resmi (2011:149), jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran tersebut merupakan bagian dari nilai kontrak jasa konstruksi. Dalam hal 20
terdapat selisih kekurangan pajak penghasilan yang terutang berdasarkan nilai kontrak jasa konstruksi dengan pajak penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh penyedia jasa. Dalam hal nilai kontrak jasa konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh pengguna jasa, atas nilai kontrak jasa konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan syarat nilai kontrak jasa konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih yang merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh. Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih ternyata dapat ditagih kembali, tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh penyedia jasa dari luar usaha jasa konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum undang-undang PPh. Penyedia jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha jasa konstruksi.
II.7
Peralihan Peraturan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
Berdasarkan PP No. 140 Tahun 2000, pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur sebagai berikut :
21
Tabel 2.1 Kualifikasi Usaha, Sifat dan Tarif Pajak Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi Berdasarkan PP No. 140 Tahun 2000 No.
Kualifikasi Usaha
Sifat
1.
Kecil, serta nilai pengadaan sampai 1 Milyar
Final
2.
Non kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi)
Tidak final / sesuai dengan ketentuan umum PPh
Mekanisme Pelunasan Pengguna jasa pemotong PPh Dipotong sesuai tarif x penghasilan bruto pada saat pembayaran uang muka dan termin. Tarif yang digunakan : jasa perencanaan konstruksi 4% ; jasa pelaksanaan konstruksi 2% ; jasa pengawasan konstruksi 4% . Dipotong berdasarkan ketentuan Pasal 23 UU PPh pada saat pembayaran uang muka dan termin (tarif x DPP). Tarif pajak yang digunakan adalah 15%. DPP berdasarkan Peraturan DJP No. 70 Tahun 2007 : - jasa perencanaan konstruksi 26 2/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN (tarif efektif 4%) ; - jasa pelaksanaan konstruksi 13 1/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN (tarif efektif 2%) ; - jasa pengawasan konstruksi 26 2/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN (tarif efektif 4%).
Pengguna jasa bukan pemotong PPh Setor sendiri sesuai tarif x penghasilan bruto pada saat pembayaran uang muka dan termin. Tarif yang digunakan : jasa perencanaan konstruksi 4% ; jasa pelaksanaan konstruksi 2% ; jasa pengawasan konstruksi 4 % Setor sendiri sesuai ketentuan pasal 25 UU PPh
Dengan diterbitkannya peraturan ini, maka mulai tahun pajak 2001, wajib pajak yang memiliki penghasilan dari usaha jasa konstruksi serta pihak-pihak yang menggunakan jasa konstruksi melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang 22
terdapat dalam PP ini. Penggunaan PP No. 140 Tahun 2000 dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan sehubungan dengan penghasilan dari usaha jasa konstruksi berlangsung sampai dengan diterbitkannya PP No. 51 Tahun 2008 yang ditetapkan tanggal 20 Juli 2008 dan diundangkan tanggal 23 Juli 2008. PP No. 50 Tahun 2008 menetapkan bahwa ketentuan pajak penghasilan untuk usaha jasa konstruksi adalah sebagai berikut : Tabel 2.2 Kualifikasi Usaha, Sifat dan Tarif Pajak Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2008 Mekanisme Pelunasan No.
Jenis Jasa Konstruksi
Kualifikasi Usaha
Sifat
Tarif
1.
Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi
Tidak memiliki kualifikasi usaha
Final
6%
2.
Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi
Memiliki kualifikasi usaha (kecil, menengah dan besar) Tidak memiliki kualifikasi usaha Kecil
Final
4%
Menengah dan besar
3.
Pelaksanaan konstruksi
4.
Pelaksanaan konstruksi Pelaksanaan konstruksi
5.
Final
4%
Final
2%
Final
3%
Pengguna jasa pemotong PPh
Pengguna jasa bukan pemotong PPh
Dipotong oleh pengguna jasa sebesar: tarif x jumlah pembayaran tidak termasuk PPN
Disetor sendiri oleh wajib pajak sebesar : tarif x jumlah penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN
Keberadaan PP No. 51 Tahun 2008 mencabut ketentuan yang berlaku dalam PP No. 140 Tahun 2000. Konsekuensinya, pajak yang sudah dipotong, disetor dan dilaporkan dengan berpedoman pada PP No. 140 Tahun 2000 oleh wajib pajak pengusaha konstruksi maupun pengguna jasa konstruksi yang merupakan pemotong pajak akan berbeda secara signifikan dengan yang seharusnya dipotong, disetor dan dilaporkan 23
berdasarkan PP No. 51 Tahun 2008. Perbedaan ini harus dikoreksi oleh wajib pajak pengusaha konstruksi maupun para pengguna jasa konstruksi yang merupakan pemotong pajak. Koreksi yang dilakukan tidak hanya terbatas pada pajak yang harus dipotong maupun disetorkan, tapi juga terhadap pelaporannya.
II.7.1
Evaluasi PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008 Evaluasi lebih mendalam untuk melihat perbedaan ketentuan yang terdapat
dalam PP No. 140 Tahun 2000 dengan PP No. 51 Tahun 2008 serta konsekuensinya akan dijelaskan pada 3 poin berikut : 1. Perbandingan Ketentuan Perpajakan untuk Perusahaan Usaha Jasa Konstruksi yang Memiliki Kualifikasi Usaha Kecil dengan Nilai Pengadaan Sampai Satu Milyar. Ketentuan perpajakan yang diatur di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi kecil serta nilai pengadaan sampai dengan 1 Milyar diringkas dalam tabel berikut : Tabel 2.3 Perbandingan PP No.140 Tahun 2000 dan PP No.51 Tahun 2008 untuk Kualifikasi Usaha Kecil No
Jenis Jasa
PP No. 140 Tahun 2000
PP No. 51 Tahun 2008
Sifat
Tarif
Sifat
Tarif
Beda
1.
Jasa perencanaan konstruksi
Final
4%
Final
4%
Tidak ada
2.
Jasa pelaksanaan konstruksi
Final
2%
Final
2%
Tidak ada
3.
Jasa pengawasan konstruksi
Final
4%
Final
4%
Tidak ada
Dari data tabel diatas, ketentuan perpajakan yang terdapat di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008 tidak ada bedanya, baik dalam sifat pengenaan pajak maupun dalam hal tarif yang digunakan. Dengan demikian, tidak ada koreksi dan 24
penyesuaian yang harus dilakukan baik oleh wajib pajak pengusaha konstruksi maupun penguna jasa yang merupakan pemotong pajak. 2. Perbandingan Ketentuan Perpajakan untuk Perusahaan Usaha Jasa Konstruksi dengan Kualifikasi Non Kecil yang Pengguna Jasanya Adalah Pemotong Pajak. Ketentuan perpajakan yang diatur di dalam PP No. 140 Tahun 2000 dan PP No. 51 Tahun 2008 untuk perusahaan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi non kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi) yang pengguna jasanya adalah pemotong pajak diringkas dalam tabel berikut : Tabel 2.4 Perbandingan PP No.140 Tahun 2000 dan PP No.51 Tahun 2008 untuk Kualifikasi Usaha Non Kecil yang Pengguna Jasanya Pemotong Pajak Jenis Jasa Konstruksi
Kualifikasi Usaha
1.
Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi
Tidak memiliki kualifikasi usaha
2.
Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi
Menengah dan besar
No.
PP No. 140 Tahun 2000 Sifat Tidak final (sesuai dengan ketentuan pasal 23)
Tarif 15%
Tidak final (sesuai dengan ketentuan pasal 23)
15%
DPP 26 2/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN 26 2/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN
PP No. 51 Tahun 2008
Beda
Sifat Final
Tarif 6%
DPP Jumlah pembayaran tidak termasuk PPN
Sifat Ya
Tarif Kurang potong 2%
Final
4%
Jumlah pembayaran tidak termasuk PPN
Ya
-
25
3.
Pelaksanaan konstruksi
Tidak memiliki kualifikasi usaha
Tidak final (sesuai dengan ketentuan pasal 23)
15%
4.
Pelaksanaan konstruksi
Menengah dan besar
Tidak final (sesuai dengan ketentuan pasal 23)
15%
13 1/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN 13 1/3% dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN
Final
4%
Jumlah pembayaran tidak termasuk PPN
Ya
Kurang potong 2%
Final
3%
Jumlah pembayaran tidak termasuk PPN
Ya
Kurang potong 1%
Dari data-data yang terdapat di dalam tabel diatas, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok. Perbedaan pertama adalah pada sifat pengenaan pajaknya dan perbedaan kedua adalah pada tarif yang digunakan. Kecuali untuk tarif PPh jasa perencanaan dan pengawasan konstruksi untuk pengusaha konstruksi dengan kualifikasi usaha besar dan menengah, tarif untuk jenis jasa konstruksi lainnya berbeda sama sekali. Perbedaan sifat pengenaan pajak akan berakibat formulir dan kode yang digunakan akan berbeda. Sedangkan perbedaan tarif pajak yang digunakan akan berakibat pajak yang telah dipotong, disetor dan dilaporkan akan berbeda jumlahnya. Oleh karena itu, pengusaha usaha jasa konstruksi maupun pengguna jasa konstruksi yang merupakan pemotong pajak harus melakukan koreksi dan penyesuaian terhadap pajak yang telah diperhitungkan serta administrasi pelaporannya. Dengan adanya perbedaan tersebut maka tindakan yang harus dilakukan oleh pengguna jasa adalah melakukan pemindahbukuan PPh pasal 23 menjadi PPh pasal 4 ayat (2) 26
sedangkan penyedia jasa berkewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran setelah pemindahbukuan.
3. Perbandingan Ketentuan Perpajakan untuk Perusahaan Usaha Jasa Konstruksi dengan Kualifikasi Non Kecil yang Pengguna Jasanya Bukan Pemotong Pajak. Penyedia jasa dengan kualifikasi non kecil (besar, menengah atau tidak punya kualifikasi) yang pengguna jasanya bukan pemotong pajak, harus memenuhi kewajiban perpajakan atas penghasilan yang diperoleh dengan sendirinya melalui pembayaran PPh Pasal 25 setiap bulan. Atas kontrak yang ditandatangani sebelum atau sejak 1 Januari 2008, pembayarannya melalui pembayaran PPh Pasal 25 yang disetor sendiri oleh wajib pajak pengusaha usaha jasa konstruksi.
II.7.2
Terbitnya PP No. 40 Tahun 2009 PP No. 40 Tahun 2009 berisi tentang perubahan PP No. 51 Tahun 2008. PP ini
terbit tanggal 4 Juni 2009, setelah batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan untuk tahun pajak 2008 berakhir (dengan asumsi bahwa tahun pajak yang digunakan sama dengan tahun kalender). Artinya, pada masa ini, seluruh wajib pajak usaha konstruksi telah menyampaikan SPT Tahunannya. Sehingga koreksi, pemindahbukuan, pembetulan maupun pembayaran kekurangan pajak yang harus dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha non kecil, sehubungan dengan diberlakukannya PP No. 51 Tahun 2008 telah selesai. PP No. 40 Tahun 2009 ini membuat wajib pajak harus mengoreksi kembali hal-hal yang telah mereka koreksi pada saat diterbitkannya PP No. 51 Tahun 2008. Wajib pajak harus melakukan kalkulasi ulang atas pajak yang seharusnya terutang dan disetorkan, 27
melakukan pemindahbukuan, melakukan pembetulan terhadap SPT Masa yang telah disampaikan dan melakukan pembetulan terhadap SPT Tahunan yang juga telah disampaikan. PP No. 40 Tahun 2009 memuat ketentuan bahwa saat efektif berlakunya PP No. 51 Tahun 2008 tidak dari 1 Januari 2008 melainkan untuk kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008. Atas kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, atau untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh penyedia jasa dan pengguna jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 berlaku ketentuan yang esensinya sama dengan ketentuan yang diatur dalam PP No. 140 Tahun 2000. Mengacu pada Atep Adya Barata (2011:280), terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut: a.
Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember, apabila: 1) penyedia jasa telah dikenakan pemotongan pajak berdasarkan ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh Pengguna Jasa; dan 2) pemotongan pajak sebagaimana dimaksud telah dipindahbukukan menjadi PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi,
28
maka atas bukti pemotongan PPh yang bersifat final diubah menjadi bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan. b.
Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 yang telah dikenakan pemotongan PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas bukti pemotongan PPh yang bersifat final tersebut diubah menjadi bukti pemotongan PPh pasal 23 yang dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan sebesar tarif berdasarkan ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
c.
Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 dengan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan yang ditandatangani oleh penyedia jasa dan pengguna jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 dan telah dipotong PPh yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas bukti pemotongan PPh yang bersifat final tersebut diubah menjadi bukti pemotongan PPh pasal 23 yang dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan sebesar tarif berdasarkan ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Apabila terdapat kelebihan pemotongan PPh yang bersifat final setelah perubahan bukti pemotongan, kelebihan tersebut dikembalikan dengan tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang melalui permohonan secara tertulis yang disampaikan oleh penyedia jasa kepada KPP tempat penyedia jasa terdaftar.
29
Pembayaran PPh yang bersifat final yang dilakukan melalui mekanisme penyetoran sendiri oleh penyedia jasa, dapat dipindahbukukan. Untuk melakukan perubahan bukti pemotongan dari PPh yang bersifat final menjadi PPh pasal 23, penyedia jasa mengajukan permohonan secara tertulis kepada KPP tempat penyedia jasa terdaftar dengan menggunakan format sebagaimana contoh format dalam lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009, sebagai berikut :
“KOP SURAT” Nomor
:
Lampiran
:
Hal
:
Perubahan bukti pemotongan PPh yang bersifat final
Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak ......... Jl. ................. Di ................ Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 153/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dan Usaha Jasa Konstruksi, maka bersama ini kami: Wajib Pajak
:
NPWP
:
Alamat
:
30
mengajukan permohonan untuk melakukan perubahan bukti pemotongan PPh yang bersifat final menjadi bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa konstruksi atas bukti potong:
No.
Nomor
Bukti Potong Jumlah Nilai PPh yang Bruto dipotong
Identitas Pemotong Pajak Nama
NPWP
Alamat
1. 2. ...... JUMLAH
Demikian surat permohonan ini kami sampaikan.
..................................... Cap dan Tanda Tangan
Direktur/Pengurus NPWP
Permohonan untuk melakukan perubahan bukti pemotongan harus dilampiri dengan: a. asli dan 2 (dua) lembar fotokopi bukti pemotongan PPh yang bersifat final; dan b. data atau keterangan pendukung yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa atas bukti pemotongan yang akan diubah berkaitan dengan penghasilan yang seharusnya dipotong PPh pasal 23, berupa : 1) fotokopi kontrak dan dokumen pembayaran; atau
31
2) fotokopi kontrak, dokumen pembayaran, dan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan. Dalam hal permohonan perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud disetujui maka atas seluruh atau sebagian bukti pemotongan, setiap lembar bukti pemotongan yang disetujui tersebut harus dibubuhi tulisan atau cap sebagai berikut : “DIUBAH MENJADI BUKTI PEMOTONGAN PASAL 23 DENGAN TARIF SEBESAR ....% SEJUMLAH Rp ............ BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR ...../PMK.03/2009” yang selanjutnya divalidasi oleh KPP. Bagi pengguna jasa yang telah melakukan pemotongan pajak penghasilan atas pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak untuk kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008 sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak tersebut dan telah menerbitkan bukti pemotongan serta telah melaporkan dalam SPT Masa, atas bukti pemotongan tersebut tidak perlu dilakukan perubahan bukti pemotongan dan dianggap sudah benar. Bagi wajib pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa konstruksi, sejak tahun pajak 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran PPh pasal 25 sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan. Kerugian dari usaha jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan tahun pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan tahun 2008 saja.
II.8
Metode Persentase Penyelesaian Mengacu pada Kieso, Weygandt dan Warfield (2011:967), pengakuan
pendapatan, biaya dan laba kotor untuk kontrak yang bersifat jangka panjang dicatat
32
menggunakan metode persentase penyelesaian. Metode ini mengakui pendapatan dan laba kotor pada setiap periode berdasarkan progress. Persentase penyelesaian dihitung dengan membandingkan biaya yang timbul sampai saat ini dengan estimasi total biaya yang timbul sampai kontrak selesai. Formulanya : Persentase Penyelesaian =
Biaya yang timbul sampai saat ini Estimasi total biaya untuk menyelesaikan kontrak
Untuk menghitung pendapatan atau laba kotor yang diakui sampai saat ini : Pendapatan (atau laba kotor) sampai saat ini = Persentase penyelesaian x Estimasi total pendapatan (atau laba kotor) dari kontrak. Untuk menghitung jumlah pendapatan atau laba kotor yang telah diakui tiap periode : Pendapatan (atau laba kotor) periode sekarang = Pendapatan (atau laba kotor) yang diakui sampai saat ini - Pendapatan (atau laba kotor) yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam ketentuan pajak, penghitungan penghasilan kena pajak dalam suatu tahun pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dilakukan sesuai dengan prinsip persandingan biaya dengan penghasilan (matching cost against revenue). Namun, berdasarkan PP 138 Tahun 2000, wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berusaha di bidang jasa konstruksi yang mengerjakan proyek-proyek konstruksi berjangka waktu lebih dari satu tahun, penghitungan penghasilan kena pajak menggunakan metode lain yang lazim dalam praktek akuntansi, yaitu metode persentase penyelesaian. Dengan metode ini, pengakuan penghasilan tahunan didasarkan atas penghitungan secara proporsional sesuai dengan tahap penyelesaian pekerjaan. Dalam penerapan metode ini, biaya-biaya yang dapat diperhitungkan adalah biaya-biaya yang
33
langsung dan semata-mata berhubungan dengan pelaksanaan proyek tersebut, yaitu : biaya pemakaian material, upah buruh langsung, serta biaya-biaya lainnya dengan karakteristik yang sama. Untuk menghitung laba bruto sampai dengan tahun tertentu digunakan formula : Laba bruto usaha sampai dengan tahun XX :
=
Akumulasi biaya sampai tahun XX
x
perkiraan laba bruto usaha proyek
Perkiraan biaya penyelesaian proyek
Laba bruto usaha untuk suatu tahun pajak : =
Laba bruto usaha sampai dengan tahun XX – Laba bruto usaha yang telah diakui pada periode sebelumnya.
Untuk menghitung penghasilan neto, laba bruto usaha dikurangi dengan biaya-biaya lainnya yang diperkenankan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, yaitu : biaya-biaya tidak langsung (termasuk penyusutan dan amortisasi) serta biaya umum dan administrasi.
34