BAB II LANDASAN TEORI II.1
Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Adriani seperti dikutip Brotodihardjo (1998) mendefinisikan, “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan–peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran–pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Mengacu pada pendapat Suandy (2000), berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan unsur-unsur pokok dari pajak diantaranya: 1. Peralihan kekayaan yang berasal dari orang pribadi atau badan ke pemerintah. 2. Pungutannya dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tidak menerima imbalan langsung dari pemerintah. 4. Dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. 5. Digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
7
6. Dipungut secara langsung maupun tidak langsung. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S. H. seperti dikutip Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2004) mendefinisikan, “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) uang langsung yang dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan
uang
pajak
tersebut
harus
dipergunakan
untuk
penyelenggaraan
pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
8
II.1.2 Sistem Pemungutan Pajak
Mengacu kepada Husein dan Tjahjono (2005), sistem pengenaan atau pemungutan Pajak ada 3, yaitu:
1. Sistem Official Assessment
Suatu sistem pemungutan pajak dimana memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Sistem Self Assessment
Suatu sistem pemungutan pajak dimana memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak terutang.
3. Sistem Withholding
Suatu sistem pemungutan pajak dimana memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus, bukan wajib pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II.2
Pemahaman Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan atas Barang Mewah .
9
II.2.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Husein dan Tjahjono (2005), “ Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam negeri ” .
II.2.2 Pemungutan, Penyetoran, Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
Muljono (2008) mengemukakan bahwa pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai pada setiap penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak kepada lawan transaksinya, dan apabila Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak tersebut tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap lawan transaksinya, maka bagi Pengusaha Kena Pajak lawan transaksi tidak mempunyai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Pengusaha Kena Pajak yang telah memungut Pajak Pertambahan Nilai pada saat penjualan ataupun penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak wajib menerbitkan Faktur Pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang telah melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak, harus memperhitungkan dengan Pajak Keluaran yang dimilikinya, dan apabila Pajak Keluaran lebih besar dengan Pajak Masukan pada suatu masa tertentu, maka selisihnya segera disetorkan setiap bulannya, dan juga menyetorkan PPnBM yang terutang. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap
10
bulannya, dilakukan tidak lebih dari tanggal 15 setelah masa Pajak Pertambahan Nilai terutang. Dan apabila batas waktu tersebut telah jatuh pada hari libur, maka pembayaran diundur pada hari kerja berikutnya.
PKP yang telah memungut dan menyetorkan PPN masih mempunyai kewajiban melaporkan PPN setiap bulannya, dengan Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPN, paling lambat tanggal 20 setelah bulan dipungutnya PPN. Kewajiban melaporkan SPT masa PPN ini merupakan sarana pertanggungjawabaan PKP atas kegiatannya memungut PPN pada saat penjualan atau penyerahan BKP atau JKP dan dipungut PPN pada saat pengadaan atau membeli BKP atau JKP.
II.2.3 Karakteristik , Subyek dan Obyek Pajak Pertambahan Nilai
Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai antara lain :
1. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak tidak langsung, artinya beban pajak dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemikul beban pajak dan penyetor pajak ke Negara berada pada pihak yang berbeda. 2. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang objektif, artinya timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh objek pajak. 3. Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menggunakan tarif tunggal 10%, kecuali Pajak Pertambahan Nilai ekspor tarifnya 0%. 4. Pajak Pertambahan Nilai bersifat multi stage tax , artinya dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi. 5. Pemungutan pajaknya menggunakan faktur pajak.
11
6. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang disetor ke Negara menggunakan indirect substraction method / credit method/ invoice method dengan cara mengkreditkan pajak masukan (Pajak Keluaran – Pajak Masukan).
Subjek Pajak Pertambahan Nilai dikenakan pada : -
Pengusaha Kecil
-
Pengusaha Kena Pajak
-
Pedagang Eceran Besar
-
Pedagang Besar
-
Hubungan Istimewa
Objek Pajak Pertambahan Nilai dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 adalah :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. 2. Impor Barang Kena Pajak. 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
12
II.3
Saat dan Tempat Pajak Terutang
II.3.1 Saat Pajak Terutang
Mengacu kepada Sukardji (2009) Pasal 11 UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengatur Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak . 2. Impor Barang Kena Pajak . 3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean. 4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. 5. Ekspor Barang Kena Pajak. 6. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. 7. Pada saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak, dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Saat pajak terutang seperti tersebut di atas diartikan sebagai saat mulai timbulnya utang pajak kepada negara, sehingga bukan merupakan batas akhir pembayaran pajak ke kas negara.Terutangnya Pajak atas Penyerahan Jasa Kena Pajak yaitu saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau keseluruhan.
13
II.3.2 Tempat Pajak Terutang
Tempat pajak terutang diatur dalam Pasal 12 UU PPN 1984 jo Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000
dan beberapa peraturan
pelaksanaan yang dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:
Gambar II.1 Skema Tempat Pajak Terutang
II.4
Faktur Pajak
II.4.1 Pengertian Faktur Pajak
14
Menurut Muljono (2008) Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak, karena penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur pajak, pada setiap melakukan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak seperti berikut:
-
Penyerahan Barang Kena Pajak didalam Daerah Pabean
-
Ekspor Barang Kena Pajak
-
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
II.4.2 Fungsi Faktur Pajak Berdasarkan memori penjelasan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 1 huruf (t) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984, Faktur Pajak berfungsi sebagai: a. Bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; b. Bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak; c. Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
II.4.3 Jenis Faktur Pajak
15
Menurut Pajak.Net (2009) Jenis Faktur Pajak ada 3 menurut Undang Undang PPN 1994 :
a. Faktur Pajak Standar
Faktur Pajak yang isinya dan bentuknya telah ditetapkan dalam Kep. Dirjen. Pajak No. Kep-53/PJ./1994 tanggal 29 Desember 1994, yang wajib dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP pada atau setelah tanggal 1 Januari 1995.
Faktur Pajak Standar harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua yaitu :
-
Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan.
-
Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran.
Faktur Pajak Standar harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa Faktur Pajak Standar paling sedikit harus memuat keterangan:
-
Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP;
-
Jenis Barang atau Jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
16
-
PPN yang dipungut;
-
PPnBM yang dipungut;
-
Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP; dan
-
Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak.
b. Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan pajak atas pernyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir yang tidak menunjukkan identitasnya secara lengkap.
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-524/PJ./2000 jo, No. KEP-425/PJ./2001 jo dan KEP-128/PJ./2004, syarat-syarat pembuatan faktur pajak sederhana adalah: 1) Faktur Pajak Sederhana dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan: a) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir; atau b) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak yang nama, alamat atau Nomor Pokok Wajib Pajaknya tidak diketahui. 2) Bentuk Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi kas register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. 3) Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat keterangan:
17
a) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. b) Jenis dan Kuantum Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan. c) Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak Pertambahan
Nilai
atau
besarnya
Pajak
Pertambahan
Nilai
dicantumkan secara terpisah. d) Tanggal Pembuatan Faktur Pajak Sederhana. 4) Faktur Pajak Sederhana dibuat pada saat penyerahan. Dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan, Faktur Pajak Sederhana dibuat pada saat pembayaran.
Faktur Pajak Sederhana harus dibuat paling lambat:
1) Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak. 2) Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak. 3) Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
18
4) Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahap pekerjaan; atau 5) Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Bentuk Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, Faktur Penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, yang dipakai sebagai tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP oleh PKP yang bersangkutan. Faktur Pajak Sederhana dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua:
-
Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP/ penerima JKP
-
Lembar ke-2 : Untuk arsip PKP yang bersangkutan.
c. Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
II.4.4 Proses Pembuatan Faktur Pajak
Mangacu pada Bawazier Fuad (1994) proses pembuatan Faktur Pajak terdiri dari :
a. Faktur Pajak Standar
19
1) Pengadaan Faktur Pajak Standar dilakukan oleh PKP dan dapat dibuat dengan menggunakan komputer sepanjang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Kep. Dirjen. Pajak No. Kep-53/PJ./1994 tanggal 29 Desember 1994. 2) Sebelum PKP mencetak Faktur Pajak Standar, diharuskan melaporkan nomor seri Faktur Pajak Standar yang akan diterbitkan kepada Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan. 3) Apabila diinginkan, PKP dapat menyesuaikan ukuran kolom-kolom Faktur Pajak, namun tidak diperkenankan menambah atau mengurangi kolom yang sudah ada. 4) Tidak diperkenankan menghilangkan kolom PPn BM, meskipun PKP tidak terutang PPn BM. 5) Identitas PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dan nomor seri Faktur Pajak dapat dicetak. 6) Pada ruangan-ruangan yang masih kosong dalam formulir Faktur Pajak atau di halaman sebaliknya dapat diisi dengan logo, nomor ijin usaha, nomor telepon, nomor faktur penjualan, dan tanggal jatuh tempo pembayaran, sepanjang penempatannya tidak mengubah bentuk dan ukuran Faktur Pajak.
b. Faktur Pajak Sederhana
Faktur Pajak Sederhana hanya dapat diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau JKP yang tidak
20
diketahui identitasnya secara lengkap atau penyerahan BKP/ JKP secara langsung kepada konsumen akhir.
II.4.5 Saat Pembuatan Faktur Pajak
a. Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya :
-
Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP.
-
Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/ atau JKP.
-
Pada saat pembayaran termijn dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
-
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN.
b. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/ atau JKP. c. Faktur Pajak Sederhana
-
Harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan/atau JKP
-
Pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP dan/ atau JKP.
II.5
Tarif Pajak Pertambahan Nilai dan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
21
Berdasarkan Pasal 7 UU PPN Nomor 18 Tahun 2000:
Tarif PPN = 10% x Dasar Pengenaan Pajak Tarif PPN atas Ekspor BKP = 0%. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15% Pasal 1 angka 17 UU PPN merumuskan: “Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.” Harga Jual
Penggantian
Nilai Impor DASAR PENGENAAN PAJAK
Nilai Ekspor
Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Keputusan Menteri Keuangan No. 567/KMK.04/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan No. 251/KMK.03/2002
Gambar II.2 Skema Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) artinya nilai uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak yang terutang, dengan mengalikan tarif pajaknya. Dalam 22
Pasal 1 angka 17 UU Pajak Pertambahan Nilai 1983, jenis Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah :
1. Harga Jual, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pemberi Jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 3. Nilai Impor, adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan menurut Undang Undang Kepabeanan, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. 4. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. 5. Nilai Lain, adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenui kriteria tertentu.
II.6
Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan Dalam menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu
masa pajak, sangat perlu untuk memperhatikan pajak masukannya terlebih dahulu.
23
Sukardji (2006) menjelaskan, “mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut: a. Prinsip dasar pengkreditan Pajak Masukan Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 prinsip dasar pengkreditan Pajak Masukan dirinci secara garis besar sebagai berikut: 1) Pajak Masukan dalam satu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2). 2) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a). 3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 9 ayat 3). 4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. (Pasal 9 ayat 4). 5) Pajak Masukan yang dapat kreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. (Pasal 9 ayat 5 jo ayat 8 huruf b) 6) Meskipun
berhubungan
langsung
dengan
kegiatan
usaha
menghasilkan
penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 8 dan Pasal16B ayat 3)
24
Misalnya : -
Transaksi menggunakan Faktur Pajak Sederhana.
-
Transaksi menggunakan Faktur Pajak Standar namun tidak memenuhi ketentuan (Faktur Pajak cacat).
-
Masa pengkreditan Pajak Masukan telah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak
b. Persyaratan umum Pajak Masukan yang dapat dikreditkan Kriteria umum bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan, adalah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 1) Memenuhi persyaratan formal, yaitu: a. Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; b. Belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN 1984 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002. 2) Memenuhi persyaratan materiil, yaitu: a. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) jo ayat (8) huruf b UU PPN 1984; b. Belum dibebankan sebagai biaya. c. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu sebagai berikut:
25
- Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. - Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. - Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pembelian atau pemeliharaan kendaraan bermotor berbentuk sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali sebagai barang dagangan atau disewakan (Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN 1984). - Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. - Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana. - Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (15) - Pajak Masukan yang pembayarannya ditagih menggunakan surat ketetapan pajak. - Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan dalam pemeriksaan. - Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak (Pasal 16B ayat 3).
26
II.7
Kewajiban Pelaporan SPT dan Bentuk SPT Masa PPN
Kewajiban melaporkan pajak terutang dalam pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 merupakan refleksi dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU KUP yang menentukan: “ Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan yakni memberikan indikasi bahwa kewajiban ini juga dibebankan kepada pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP selain yang terdaftar sebagai Wajib Pajak sehingga memperoleh NPWP. Fungsi SPT bagi PKP adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; c. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Mulai Masa Pajak Januari 2007, SPT Masa PPN yang semula menggunakan formulir 1195 diganti dengan formulir 1107 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tanggal 29 September 2006. SPT Masa PPN Formulir 1107 terdiri atas:
27
1. Induk SPT
- Formulir 1107
2. Lampiran 1 Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM
- Formulir 1107A
3. Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM
- Formulir 1107B
Kemudian dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2008 tanggal 23 Juni 2008 ditetapkan bahwa PKP yang menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hard copy) wajib menggunakan SPT Masa PPN Formulir 1108 yang terdiri atas: 1. Induk SPT
- Formulir 1108
2. Lampiran 1 Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM
- Formulir 1108A
3. Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM
- Formulir 1108B
Tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN adalah tanggal 20 Masa Pajak berikutnya. Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur, wajib disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Dalam hal SPT dikirimkan melalui Kantor Pos, tanda bukti serta tanggal penerimaan SPT oleh KPP. Atas keterlambatan penyampaian atau sama sekali tidak menyampaikan SPT Masa PPN, dikenakan sanksi administrasi berupa Denda sebesar Rp. 500.000,00- (Lima ratus ribu rupiah). Formulir SPT Masa PPN beserta buku petunjuk pengisiannya dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Kantor Pelayanan Pajak atau diunduh (download) melalui: www.pajak.co.id. II.8
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN Pembetulan SPT dilakukan kerena adanya kesalahan yang terjadi pada SPT.
Menurut Pasal 8 UU KUP ayat (2a) dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
28
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. WP Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dalam suatu laporan tersendiri, dimana pengungkapan tersebut terbatas pada: 1. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar 2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil 3. Jumlah harta menjadi lebih besar 4. Jumlah modal menjadi lebih besar
Hasil dari temuan pada pemeriksaan SPT Tahunan atau berdasarkan keterangan lain yang masih menimbulkan adanya pajak terhutang, maka terhadap Wajib Pajak dapat dikenakan sanksi berupa bunga. Kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
29