BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1
Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara demi tujuan membangun Negara yang makmur dan sejahtera. Menurut Mardiasmo (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan menurut Rochmat Soemitro (2006:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
6
2.1.2 Macam – macam Pajak Terdapat bermacam-macam jenis pajak yang berlaku di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Menurut Waluyo (2011:12), pajak yang berlaku di Indonesia adalah pajak menurut golongan atau pembebanan, sifat, dan pemungut atau pengelolanya. Pajak-pajak tersebut yaitu : 1) Menurut Golongan atau Pembebanan Pajak menurut golongan atau pembebanan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : (1) Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannnya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan (2) Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2) Menurut Sifat Pajak menurut sifat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : (1) Pajak Subyektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya yang selanjutnya dicari syarat obyektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. (2) Pajak Obyektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
7
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3) Menurut Pemungut atau Pengelolanya Pajak menurut pemungut atau pengelolanya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : (1) Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Materai. (2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan pedesaan. 2.1.3 Fungsi Pajak Menurut Waluyo (2011:6), fungsi pajak dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : 1) Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang di peruntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran
pemerintah.
Contoh
:
penerimaan dalam negeri bersumber dari APBN 2) Fungsi Mengatur (Regulerent) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : pajak yang 8
tinggi dikenakan terhadap minuman keras dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi minuman keras. Pajak yang tinggi juga dikenakan
atas
barang-barang
mewah
dengan
tujuan
untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif. 2.1.4
Tata Cara Pemungutan Pajak Tata cara pemungutan pajak ada 3 (tiga) yaitu : 1) Stelsel Nyata/Riil Stelsel Nyata/Riil adalah pengenaan pajak didasarkan pada objek penghasilan nyata sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yaitu setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Stelsel Nyata/Riil ini mempunyai kelebihan yaitu bagi Wajib Pajak maupun fiskus (pemerintah) tidak akan merasa dirugikan apabila terjadi perubahan terhadap objek pajak tersebut karena semua perubahan itu akan diperttimbangkan kembali dalam penentuan jumlah pajak sedangkan kekurangannya yaitu Pajak yang masuk dalam kas Negara akan terlambat sebab uang pajak yang akan masuk ke kas Negara baru akan masuk setelah tahun pajak itu berakhir 2) Stelsel Anggapan Stelsel Anggapan adalah pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Kelebihan dari Stelsel Anggapan yaitu Uang Pajak akan langsung masuk ke Kas Negara dan kekurangannya yaitu Bagi Wajib Pajak akan merasa rugi apabila ternyata wajib pajak selama masa atau tahun pajak berjalan terjadi 9
penurunan penghasilan dari wajib pajak dan sebaliknya juga akan merugikan Negara apabila selama masa atau tahun pajak berjalan terjadi kenaikan penghasilan dari wajib pajak 3) Stelsel Campuran Stelsel Campuran adalah kombinasi antara stelsel Nyata/Riil dengan stelsel Anggapan. Kelebihannya yaitu pada awal masa atau tahun pajak, uang hasil pajak sudah dapat masuk dalam kas Negara sehingga kas tersebut dapat digunakan. Bagi pemerintah dan wajib pajak tidak ada yang dirugikan apabila terjadi perubahan pada besarnya penghasilan. Karena bila terjadi perubahan
maka pajak
didasarkan pada stelsel fictie masih dapat dikoreksi dan kelemahannya yaitu pekerjaan, biaya dan tenaga menjadi tidak efisien karena adanya ketetapan yang dilakukan 2 (dua) kali selama masa atau tahun pajak yang bersangkutan. 2.1.5
Sistem Pemungutan Pajak Menurut (Mardiasmo, 2011:7), sistem pemungutan pajak ada 3 (tiga) sistem yaitu : 1) Official Assessment System Sistem tersebut adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang wajib pajak. Sistem ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984. Adapun ciri-ciri sistem ini yaitu : 10
(1) Pajak Terutang dihitung oleh pemerintah/petugas pajak (2) Wajib Pajak bersifat Pasif (3) Hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan cara diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak 2) Self Assessment System Sistem tersebut adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terhutang. Adapun ciri-ciri sistem ini yaitu : (1) Wajib Pajak berhak untuk menentukan besarnya pajak terutang (2) Wajib Pajak bersifat Aktif. Mulai dari menghitung, menyetor dan melapor pajak terhutang Wajib Pajak itu sendiri (3) Pemerintah/petugas pajak tidak dapat ikut campur dalam mengetahui pajak terutang Wajib Pajak tersebut dan hanya bisa mengawasi 3) With Holding System Sistem tersebut adalah sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan pada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga. Pihak selain Fiskus dan Wajib Pajak.
11
2.2 Pajak Penghasilan Undang-undang tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008. Dalam buku Mardiasmo (2011), Pajak Penghasilan mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam tahun pajak. Apabila subjek pajak dikenai pajak maka subjek pajak tersebut menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak inilah yang disebut Wajib Pajak. Menurut Mardiasmo (2011), Wajib Pajak dikenai Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. 2.2.1 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Dasar hukum Pajak Penghasilan dimulai pada tahun 1984. Pemerintah telah
mereformasi
undang-undang
dibidang
perpajakan
sehingga
menghasilkan beberapa undang-undang perpajakan. Undang-undang tersebut telah mengalami perubahan sebanyak 4 (empat) kali. Undangundang tersebut yaitu : 1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1991 tentang perubahan atas Undangundang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 2) Undang-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 12
3) Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang peeubahan ketiga atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 4) hingga Undang-undang yang terakhir dibuat yaittu Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undangundang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 2.2.2
Pajak Penghasilan Pasal 23 Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2.2.3
Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 Dasar Hukum Pajak Pengasilan Pasal 23 yaitu : 1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 2) PMK No.244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 3) PMK No.251/PMK.03/2008 tentang Pajak Penghasilan atas Jasa Keuangan yang dilakukan oleh Badan Usaha yang berfungsi sebagai Penyalur Pinjaman dan/atau Pembiayaan yang tidak dilakukan Pemotong PPh Pasal 23 13
4) SE-53/PJ/2009 tentang penjelasan PPh Pasal 23 5) SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Jasa Teknik dan Jasa Manajemen 6) Dan dasar hukum PPh Pasal 23 yang terbaru adalah PMK No. 141/PMK.03/2015 tentang Perubahan Jenis Jasa Lainnya 2.3 Pemotongan dan Penyetoran Pajak 2.3.1
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Menurut (Mardiasmo, 2011:255) tentang Pajak Penghasilan Pasal 23, pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah 1) Badan Pemerintah Pemotong PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah biasanya dilakukan oleh bendaharawan pemerintah 2) Subjek Pajak Badan Dalam Negeri Subjek Pajak Badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia 3) Penyelenggara Kegiatan Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan suatu event atau kegiatan 4) Bentuk Usaha Tetap Menurut pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan yaitu, bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam 14
jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, bengkel dan lain-lain. 5) Perwakilan Perusahaaan Luar Negeri Lainnya Perwakilan Perusahaaan Luar Negeri Lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23 seperti Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing. 6) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam Negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23, meliputi : (1) Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, Pengacara, dan Konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas. (2) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. 2.3.2
Pihak yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerimaan penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak Badan Dalam Negeri.
15
Jika penerimaan penghasilan adalah Wajib Pajak Luar Negeri kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan. 2.3.3
Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 Tarif dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 menurut Undang-undang no 36 tahun 2008 pasal 23 dan PMK No. 141/PMK.03/2015 yaitu : 1) 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : (1) Dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi yang dikenakan pajak final, royalti dan bunga. (2) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. 2) 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas : (1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan. (2) Imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan. (3) Imbalan jasa lainnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Jasa- jasa Lainnya. Untuk Wajib Pajak yang tidak mempunyai NPWP akan dipotong 100% (seratus persen) lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
2.3.4
Pengecualian Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : 1) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Bank
16
2) Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi 3) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai
Wajib
Pajak
Dalam
Negeri
,
Koperasi,
BUMN/BUMD, dan penyertaan modal badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : (1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan (2) Bagi perseroan terbatas (PT), BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima) persen dari jumlah modal yang disetor. 4) Dividen yang diterima oleh orang pribadi 5) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang saham unit penyertaan kontrak investasi kolektif. 6) SHU / Koperasi yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya 7) Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan. 2.4 Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 23 Berdasarkan
UU
KUP
Nomor
28
tahun
2007
dan
PMK
Nomor
242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak, PPh Pasal 23 dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 17
(sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23, akan diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan dalam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukannya. Pembayaran dan Penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak (SSP). Umumnya penyetoran PPh Pasal 23 atas Jasa Lain-lain menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak) namun menurut Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-26/PJ/2014 tentang E-billing maka mulai tahun 2016, penyetoran pajak bisa menggunakan E-billing. E-billing yaitu sistem pembayaran pajak secara elektronik. Billing tersebut harus diisi data dari tanggal dan bulan sesuai dengan masa pajak dan jumlah yang harus disetor. Setelah mengisi data dengan benar dan lengkap maka Wajib Pajak akan menerima kode billing pajak yang disebut bukti E-billing. Bukti E-billing tersebut harus disetorkan kepada Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai tempat pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak terlambat menyetor atau tidak membayar pajak maka sanksi yang dikenakan dapat berupa sanksi administrasi, tetapi juga dapat berupa sanksi pidana apabila Wajib Pajak terlambat atau tidak menyetor SPT. Menurut pasal 9 ayat 2 huruf a UU KUP, bila pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran yaitu tanggal 10 (sepuluh), maka akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
18
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Sementara sanksi pidana akan dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara maka dikenakan sanksi pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan juga denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar sesuai pasal 39 ayat 1 huruf i UU KUP. 2.5 Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti potong PPh Pasal 23 adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut dan akan dikreditkan dalam SPT Tahunan. Apabila masa pajak telah berakhir, pemotongan PPh Pasal 23 Wajib Pajak harus melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Sarana Pelaporan ini mengunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26. Dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak Berakhir. 2.6 PPh Pasal 23 atas Jasa Lainnya PPh Pasal 23 atas Jasa Lainnya merupakan objek dari Pajak Penghasilan Pasal 23. Dalam hal ini, akan dibahas mengenai pengertian jasa, macam-macam jasa lainnya, objek, tarif dan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) dari PPh Pasal 23. 19
2.6.1 Pengertian Jasa Lainnya Jasa Lainnya merupakan imbalan atas jasa lainnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. 2.6.2 Objek, Tarif dan DPP PPh Pasal 23 atas Jasa Lainnya 1) Objek PPh Pasal 23 atas jasa lainnya yaitu : Menurut peraturan terbaru PMK No. 141/PMK.03/2015 tentang Perubahan Jenis Jasa Lainnya, Jasa-jasa lainnya yaitu (1) Jasa Penilai (Apprisal); (2) Jasa Aktuaris; (3) Jasa Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; (4) Jasa Hukum; (5) Jasa Arsitektur; (6) Jasa Perencanaan Kota dan Arsitektur Landscape; (7) Jasa Perancang (Design); (8) Jasa Pengeboran (Drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap (BUT); (9) Jasa Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas (migas); (10)
Jasa Penambangan dan jasa penunjang selain di bidang
usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
20
(11)
Jasa Penunjangan di bidang penerbangan dan Bandar
udara; (12)
Jasa Penebangan Hutan;
(13)
Jasa Pengolahan Limbah;
(14)
Jasa Penyedia Tenaga Kerja dan/atau tenaga ahli
(outsourcing service); (15)
Jasa Perantara dan/atau keagenan;
(16)
Jasa di bidang perdagangan suraat-surat berharga,
kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI); (17)
Jasa Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang
dilakukan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI); (18)
Jasa Pengisian Suara (Dubbing) dan/atau sulih suara;
(19)
Jasa Mixing Film;
(20)
Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster,
photo, slide, klise, banner, pamphlet, baliho, dan folder; (21)
Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau
sistem computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan; (22)
Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
(23)
Jasa internet termasuk sambungannya;
21
(24)
Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran
data, informasi, dan/atau program; (25)
Jasa Instalansi / pemasangan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi, dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; (26)
Jasa perawatan / perbaikan / pemeliharaan
mesin,
peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi, dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; (27)
Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi
darat, laut dan udara; (28)
Jasa Maklon;
(29)
Jasa Penyelidikan dan Keamanan;
(30)
Jasa Penyelenggaraan Kegiatan atau event organizer;
(31)
Jasa Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media
massa, media luar negeri atau media lainnya untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan; (32)
Jasa Pembasmian Hama;
(33)
Jasa Kebersihan atau cleaning service;
(34)
Jasa sedot septic tank; 22
(35)
Jasa pemeliharaan kolam;
(36)
Jasa Katering atau tata boga;
(37)
Jasa freight forwarding;
(38)
Jasa logistik;
(39)
Jasa pengurusan dokumen;
(40)
Jasa pengepakan;
(41)
Jasa loading dan unloading;
(42)
Jasa laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang
dilakukan oleh lembaga atau insitusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis; (43)
Jasa pengelolaan parker;
(44)
Jasa penyondiran tanah;
(45)
Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
(46)
Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
(47)
Jasa pemeliharaan tanaman;
(48)
Jasa pemanenan;
(49)
Jasa
pengolahan
hasil
pertanian,
perkebunan,
perikanan, peternakan dan/atau kehutanan; (50)
Jasa Dekorasi;
(51)
Jasa pencetakan/penerbitan;
(52)
Jasa penerjemahan;
(53)
Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur
dalam Pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan; 23
(54)
Jasa pelayanan kepelabuhanan;
(55)
Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
(56)
Jasa pengelolaan penitipan anak;
(57)
Jasa pelatihan dan/atau kursus;
(58)
Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
(59)
Jasa sertifikasi;
(60)
Jasa survey;
(61)
Jasa tester;
(62)
Jasa
selain
jasa-jasa
tersebut
di
atas
yang
pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sehubungan dengan pengenaan PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 2 UU PPh dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 dan perubahan terbatu yaitu pp no 79 tahun 2015, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. 2) Tarif dan DPP PPh Pasal 23 atas jasa lainnya yaitu sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) maka akan dipotong 100% (seratus persen) lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23 menjadi sebesar 4% (empat persen). Sedangkan 24
yang menjadi DPP adalah jumlah bruto atas jasa lainnya. Jumlah bruto yang dimaksud sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk jumlah bruto
Jasa
Katering
atau
Tata
Boga
sesuai
PMK
No.
141/PMK.03/2015 yaitu seluruh jumlah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Sedangkan untuk jumlah bruto selain Jasa Katering atau Tata Boga yaitu seluruh jumlah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri, tidak termasuk : (1) Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebagai penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa (2) Pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material yang terkait dengan jasa yang diberikan 25
(3) Pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan melalui penyedia jasa, terkait jasa yang diberikan oleh penyedia jasa dan/atau (4) Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan penggantian (reimburst) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga dalam rangka pemberian jasa bersangutan Pembayaran tersebut tidak termasuk dalam jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 jika dapat dibuktikan dengan : a. Kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan b. Faktur pembelian atas pengadaan/pembelian barang atau material c. Faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis dan d. Faktur tagihan dan/atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga Apabila tidak dapat dibuktikan maka jumlah bruto adalah sebesar keseluruhan pembayaran kepada penyedia jasa dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2.6.3 Pengecualian Pasal 23 atas Jasa Lainnya Pengecualian Pasal 23 atas Jasa Lainnya yaitu 1) Semua jasa-jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 26
2) Imbalan sehubungan dengan jasa lain tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat FINAL
27