BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor pajak. Definisi pajak dikemukakan oleh Mardiasmo (2002:1) mengemukakan pengertian pajak sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut P.J.A. Adriani pajak merupakan iuran kepada Negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Yang artinya bahwa memasukan pajak sebagai suatu species ke dalam genus pungutan yang mempunyai fungsi sebagai budgeter. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment' 6
Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional,
agar
pemerintah
dapat
melaksanakan
tugas-tugasnya
untuk
menjalankan pemerintahan Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2012 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan
7
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'' 2.1.1 JENIS-JENIS PAJAK Pada umumnya Pajak dapat dikelompokkan menjadi: A. Menurut Golongannya
1. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Penghasilan 2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan nilai.
B. Menurut Sifatnya
1. Pajak subjektif, yaitu Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Penghasilan. 2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang mewah.
C. Menurut Lembaga Pemungutnya
1. Pajak Pusat, yaitu Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan
untuk
membiayai
rumah
tangga
negara. Contoh:
Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 8
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak kendaraan dan Bea balik nama kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran (pengganti pajak pembangunan), pajak hiburan, dan pajak penerangan jalan.
Asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Pudyatmoko (2000:4) bahwa pungutan pajak didasarkan pada :
1. Equality, adalah pungutan pajak yang adil dan merata. 2. Certainty, adalah Penetapan pajak yang tidak di tentukan wewenangwewenang. 3. Conveinance, adalah pembayaran pajak sebaiknya sesuai dengan saat yang tidak menyulitkan wajib pajak. 4. Economy, biaya pungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak ditetapkan seminimum mungkin.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan yakni Undang-Undang No.17 Tahun 2000, setiap wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari kegiatan usahanya wajib menyetor ke kas negara pajak atas penghasilan yang diterimanya. Besarnya kewajiban perpajakan wajib pajak tersebut diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dan peraturan pemerintah. Untuk mewujudkan keserasian dan mencapai tujuan pemungutan pajak, maka diperlukan adanya asas atau prinsip yang dapat menjadi pemahaman atas perlakuan pajak. Menurut Smith prinsip pemungutan pajak adalah :
9
1. Equality, Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan
kemampuannya,
yaitu
seimbang
dengan
penghasilan
yang
dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Dalam hal equity ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakuan berbeda 2. Certainty, Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi.
Dalam asa ini kepastian hukum yang diutamakan
adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya. 3. Convenience of payment, Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak,yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak. 4. Economic of collections, Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin,jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
2.1.2 TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK a. Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel yaitu: 1). Stelsel Nyata (Riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahun 10
2). Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undangundang, misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak terutang. 3). Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besar pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.
b. Asas Pemungutan Pajak 1). Asas Tempat Tinggal (Asas Domisili) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak (WP) yang bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak (WP) dalam negeri. 2). Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak (WP). 3). Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
11
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).
c. Sistem Pemungutan Pajak 1). Official Assessment System Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: •
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada pemerintah (fiskus).
•
Wajib Pajak (WP) bersifat pasif.
•
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh
pemerintah (fiskus).
2). Self Assessment System
Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak (WP) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya
pajak
yang
harus
dibayar.
Ciri-cirinya: •
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak (WP) sendiri.
12
•
Wajib Pajak (WP) aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutang.
•
Pemerintah (fiskus) tidak ikut campur dan hanya mengawasi
3). Withholding System
Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (WP)
2.2 DEFINISI PPH 22 Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. PPh sendiri di golongan menjadi beberapa jenis yaitu PPh 21, 22, 23, 25, 26, 28, 29 dan 31
PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang dipungut oleh :
1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama. 2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen.
13
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final (contohnya PPh Pasal 22 atas impor film).
Pph 22 atas film impor dijelaskan pada SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK NOMOR
SE-79/PJ/2011
PENYAMPAIAN
TANGGAL
PERATURAN
20
OKTOBER
MENTERI
2011
KEUANGAN
TENTANG NOMOR
102/PMK.011/2011 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN BERUPA FILM CERITA IMPOR DAN PENYERAHAN FILM CERITA IMPOR, SERTA DASAR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS KEGIATAN IMPOR FILM CERITA IMPOR Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam 14
Daerah Pabean berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor, bersama ini disampaikan Peraturan Menteri Keuangan tersebut untuk dapat dilaksanakan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 1) Pada intinya, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur: a. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean berupa Film Cerita Impor; b. penentuan dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan impor Film Cerita Impor; dan c. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud berupa Film Cerita Impor. 2) Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a, adalah sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor. Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Film Cerita Impor tersebut dipungut dan dibayar pada saat impor. 3) Dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan impor Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, adalah Nilai Impor atas
15
media Film Cerita Impor. Yang dimaksud dengan media Film Cerita Impor dapat berupa pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya. 4) Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Film Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf c, adalah sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor. Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Film Cerita Impor tersebut dipungut pada saat pertama kali masing-masing copy Film Cerita Impor tersebut diserahkan kepada Pengusaha Bioskop. Atas penyerahan copy Film Cerita Impor, Importir wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5) Apabila terjadi penyerahan berikutnya atas copy Film Cerita Impor yang sebelumnya telah diserahkan kepada Pengusaha Bioskop dan telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Bioskop lain, maka atas penyerahan tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sehingga tidak perlu diterbitkan Faktur Pajak. 6) Contoh penghitungan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean berupa film Cerita Impor, penyerahan Film Cerita Impor, dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas kegiatan impor Film Cerita Impor adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini. 7) Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011 tersebut, maka ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 mengenai Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk 16
penyerahan film cerita yaitu perkiraan hasil rata-rata per judul film tidak berlaku untuk penyerahan Film Cerita Impor, namun tetap berlaku untuk penyerahan film cerita produksi dalam negeri (nasional). 8) Pada saat diterbitkannya surat edaran ini, maka: a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.3/1986 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas film ceritera impor sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Nomor SE-29/PJ.3/1987 tanggal 4 Desember 1987 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.52/1996 tanggal 1 Februari 1996, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan b. penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE03/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor yang bertentangan
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
102/PMK.011/2011 dinyatakan tidak berlaku. Contoh penghitungan pengenaan pajak pertambahan nilai atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor serta pemungutan pajak penghasilan pasal 22 atas kegiatan impor film cerita impor : 1. Importir film PT A (memiliki Angka Pengenal Impor) pada tanggal 1 Agustus 2011 memasukkan Film Cerita Impor dalam bentuk pita seluloid dengan judul “XYZ” ke dalam Daerah Pabean dengan durasi 90 menit sebanyak 20 copy film. Maka penghitungan Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 atas pemasukan film cerita impor tersebut adalah sebagai berikut:
17
•
Bea Masuk
=
Rp21.450,00 x 90 x 20 copy
=
Rp38.610.000,00 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.011/2011 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor, tarif Bea Masuk atas Film Cerita Impor adalah sebesar Rp21.450,00 per menit per copy film. •
PPN
=
10% x Rp12.000.000,00 x 20
=
Rp24.000.000,00 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor, Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai
atas
pemanfaatan
Film
Cerita
Impor
adalah
sebesar
Rp12.000.000,00 per copy film. •
PPh Pasal 22 Impor
=
2,5% x Nilai Impor pita seluloid Film
“XYZ” =
2,5% x (CIF + Bea Masuk)
Diketahui bahwa:
durasi 1 menit film dikonversi menjadi sepanjang 27,42 meter pita seluloid;
18
nilai CIF pita seluloid sebesar US$0,43 per meter;
asumsi kurs US Dollar pada saat pemasukan tersebut US$1 = Rp9.100,00.Sehingga penghitungan PPh Pasal 22 Impor adalah sebagai berikut: =
2,5% x{(0,43 x 27,42 x 90 x Rp9.100 x 20) +
Rp36.610.000,00})
•
•
2,5% x (Rp193.130.028,00 + Rp38.610.000,00)
=
2,5% x Rp231.740.028,00
=
Rp5.793.500,00
Pada tanggal 5 Agustus 2011, PT A menyerahkan pertama kali 15 copy film XYZ kepada pengusaha bioskop PT B, maka penghitungan PPN atas penyerahan film XYZ tersebut adalah sebagai berikut:
“
”
“
”
PPN = 10% x DPP Nilai Lain atas penyerahan film cerita impor x jumlah copy =
10% x Rp12.000.000,00 x 15
=
Rp18.000.000,00
•
Atas penyerahan 15 copy film tersebut, PT A wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada PT B.
•
Pada tanggal 5 Agustus 2011, PT A juga menyerahkan pertama kali 5 XYZ kepada pengusaha bioskop PT C, maka copy film penghitungan PPN atas penyerahan film XYZ tersebut adalah sebagai berikut:
•
“
”
“
”
PPN = 10% x DPP Nilai Lain atas penyerahan film cerita impor x jumlah copy =
19
=
10% x Rp12.000.000,00 x 5
=
Rp6.000.000,00
•
Atas penyerahan 5 copy film tersebut, PT A wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada PT C.
•
Pada tanggal 12 Agustus 2011, PT A menyerahkan 5 copy film XYZ , yang sebelumnya telah diserahkan kepada pengusaha bioskop PT C, kepada pengusaha bioskop PT D, maka atas penyerahan tersebut tidak terutang PPN. Atas penyerahan 5 copy film tersebut, tidak perlu diterbitkan Faktur Pajak
•
Atas transaksi-transaksi tersebut di atas, importir film PT A melaporkannya dalam SPT PPN Masa Agustus 2011 sebagai berikut:
-
“
”
Pajak Keluaran
=
Rp24.000.000,00
(Hasil pemungutan PPN kepada bioskop) -
Pajak Masukan
=
Rp24.000.000,00 ---------------------
(PPN yang dibayar pada saat impor) -
PPN Kurang/(Lebih) Bayar
=
NIHIL
2.3 DEFINISI PPH 26 ROYALTY FILM IMPOR Pph 26 diartikan sebagai hutang pajak wajib pajak luar negeri yang menerima penghasilan di Indonesia. Begitu pun dengan film impor yang masuk ke Indonesia. Hal ini dijelakan pada Surat Edaran Dirjen Pajak SE - 3/PJ/2011 10 Januari 2011 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 3/PJ/2011 TENTANG
PAJAK
PENGHASILAN
ATAS
PENGHASILAN
BERUPA
ROYALTI DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMASUKAN FILM IMPOR DIREKTUR JENDERAL PAJAK, 20
Dalam rangka memberikan pemahaman dan penerapan yang seragam terhadap perlakuan Pajak Penghasilan dari penghasilan berupa royalti dan Pajak Pertambahan Nilai atas pemasukan film impor ke Indonesia, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, mengatur antara lain: Pasal 4 ayat (1) huruf h, Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti atau imbalan atas penggunaan hak; Pasal 26 ayat (1) huruf c, Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan yaitu royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, mengatur antara lain: 21
a.
Pasal 1 angka 2, Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat dan
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud; b.
Pasal 1 angka 3, Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang ini; c.
Pasal 1 angka 10, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; d.
Pasal 1 angka 17, Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang; e.
Pasal 1 angka 19, Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f.
Pasal 1 angka 20, Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor
22
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.; g.
Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean; h.
Penjelasan Pasal 4 huruf g, yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud adalah : 1)
angka 1, penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industri atau hak serupa lainnya; 2)
angka 5, penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio. 3.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
mengatur bahwa yang dimaksud dengan Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
23
4.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, mengatur antara lain : a.
Pasal 2, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; b.
Pasal 4, Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut; c.
Pasal 5 ayat (1) dan (2), Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini : 1)
saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut
secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya; 2)
saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya; 3)
saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau penggantian Jasa
Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau 4)
saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya. Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak 24
berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud di atas tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; d.
Pasal 6 ayat (1), Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dipungut dan
disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak. 5.
Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana dikutip pada
butir 1, 2 dan 4, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut : a.
Pajak Penghasilan
1)
atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra; 2)
namun apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan
pembelian film impor tersebut :
25
a)
seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa
persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau b)
diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26; b.
Pajak Pertambahan Nilai
1)
Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai; 2)
Dasar Pengenaan
Pajak
yang digunakan
untuk
menghitung Pajak
Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar; 3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak; 4)
Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut
Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang 26
digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan nilai impor; 5)
Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di
dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar.
2.4 DEFINISI PPN FILM IMPOR DAN LOKAL
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
27
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009. Menteri Keuangan telah mengubah Nilai Lain yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN dari semula perkiraan hasil rata-rata per judul film menjadi Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) saja. Semula Nilai Lain DPP PPN (semua) diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang mengatur bahwa Nilai Lain DPP PPN adalah : a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor. c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata. d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film. e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran. f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar. g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan. 28
h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli. i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang; j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih. j. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Berbeda dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang mengatur "semua penyerahan film cerita" baik film impor maupun film lokal, Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 hanya mengatur film impor saja.Baik Nilai Lain DPP PPN saat impor maupun penyerahan ke bioskop. Menurut saya, ada tiga aturan baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini :
a. DPP PPN atas impor media Film Cerita Impor
b. DPP PPN atas penyerahan copy Film Cerita Impor kepada Pengusaha Bioskop
c. DPP PPh Pasal 22 atas impor media Film Cerita Impor.
DPP PPN ditetapkan hanya Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) saja. Baik atas impor media Film Cerita Impor maupun atas penyerahan copy Film Cerita Impor kepada Pengusaha Bioskop. Sedangkan DPP PPh Pasal 22 atas impor Film Cerita Impor sebesar Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
29
Mekanisme Pengenaan PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar di atur dalam ( SE - 13/PJ.51/2000 Jo SE - 24/PJ.51/2001 Jo KEP - 552/PJ./2001 Jo KEP - 337/PJ./2003) :
1) Dalam penghitungan Dasar Pengenaan Pajak tersebut telah diperhitungkan nilai tambah atas penyaluran/keagenannya, maka penyalur/agen kaset isi, compact disc (CD), laser disc (LD), video compact disc karaoke (VCD.K) atau laser disc karaoke (LD.K) tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 2) Meskipun demikian, bagi PKP Pedagang Eceran yang menggunakan Nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak wajib mengenakan PPN 10% atas penyerahan kaset/CD/LD/CD.K/LD.K sebagai barang dagangannya. PPN yang disetor ke kas negara dihitung sebesar 10% x 20% x seluruh penyerahan barang dagangan. 3) Produsen media rekaman yang menyerahkan media rekaman wajib memotong PPnBM yang terutang, karena media rekaman adalah Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. 4) Produsen media rekaman yang melakukan pembelian media rekaman, secara terpisah-pisah (pita kosong sendiri, C-zero sendiri, snappac sendiri), diperlakukan sebagai pabrikan media rekaman yang siap rekam dan atas penyerahannya terutang PPn BM dengan tarif 20%. 5) PPn BM yang dibayar atas impor atau perolehan bahan baku media rekaman oleh pabrikan yang memproduksi media rekaman tidak dapat dikompensasi atau dikemba1ikan namun dapat dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan. 6) Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Setandar atas :
- pembelian media rekaman (kaset kosong, CD kosong, atau LD kosong);
30
- pembayaran royalty; - pembayaran pencetakan label; - pembayaran jasa rekaman; - pembelian atau pembuatan master rekaman lagu/ suara; - pembayaran jasa periklanan pada televisi, radio, majalah, dan surat kabar.
dapat digunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penembusan stiker lunas PPN. Unsur PPn BM yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak ikut diperhitungkan. 7) Dalam hal jumlah nilai stiker lunas PPN yang diminta lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan tersebut di atas kekurangannya disetor tunai menggunakan SSP ke kas negara. 8) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan selain yang tersebut di atas, tetap dapat dikreditkan sehingga dapat dikompensasi atau direstitusi. 9) Dalam hal sampai dengan akhir suatu Masa Pajak masih terdapat Pajak Masukan yang dimaksud pada huruf di atas, yang belum digunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan stiker, maka Pajak Masukan tersebut dapat dipergunakan sebagai bukti pembayaran PPN untuk penebusan stiker Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah akhir tahun buku yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai dengan ketentuan perundangundangan Pajak Penghasilan.
31
2.5 PENGERTIAN FILM Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya;
Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya.Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa.Pada generasi berikutnya fotografi bergeser padapenggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.
Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat.Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip).Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film
cerita dapat
diproduksi tanpa
menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar.Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat 32
disimpan pada media yang fleksibel.Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan Pada media selluloid, analog maupun digital.
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk karya seniaudio-visual.Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya.Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa.
Pada generasi berikutnya fotografi bergeser padapenggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat.Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip).Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya
sinematografi
yang
memanfaatkan
media
selluloid
sebagai
penyimpannya.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian
film
telah
bergeser.Sebuah
filmcerita
dapat
diproduksi
tanpa
menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar.Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel.Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan Pada media selluloid, analog maupun digital. 33
Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah mengubah pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yeng mengacu pada bentuk karya seniaudio-visual.Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.
Film lokal atau nasional adalah sebuah hasil gambar berjalan yang di buat oleh perusahaan film yang berada di Indonesia yang di edarkan di Indonesia. Sedangkan film impor di artikan sebagai film asing yang di buat oleh Negara lain yang masuk ke Indonesia dan di nikmati masyarakat Indonesia.
34