BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pajak Secara Umum II.1.1
Definisi dan Unsur Pajak Pajak merupakan sumber pendapatan kas negara yang digunakan untuk pembelanjaan dan pembangunan negara dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Definisi menurut pasal 1 nomor 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Berikut ini adalah definisi pajak dari beberapa ahli: 1. Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, yang dikutip dari buku Perpajakan karangan Mardiasmo (2011:1): “Pajak adalah iuran rakyat iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” 2. Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani dikutip dari buku Perpajakan Indonesia karangan Waluyo (2011:2): “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian bahwa pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah atau
pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang bersifat dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi atau jasa timbal individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah.
II.1.2
Definisi Wajib Pajak dan Penanggung Pajak Berdasarkan pasal 1 nomor 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan. Sedangkan pengertian Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan seperti yang terurai dalam dua pengertian diatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 nomor 3 adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
II.1.3 Fungsi Pajak
Pajak memiliki peranan penting dalam tata kelola negara, khususnya membiayai
semua
pengeluaran
termasuk
pengeluaran
pembangunan.
Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi seperti yang terdapat dalam buku Waluyo (2011:6), yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgetair) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya guna pembiayaan pembangunan. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Suatu fungsi dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk untuk membiayai pembangunan.
II.1.4 Hambatan Pemungutan Pajak Dalam proses pemungutan pajak, tentunya pemerintah menghadapi berbagai
hambatan.
Menurut
Mardiasmo
(2011:8),
hambatan
dalam
pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu: 1. Perlawanan pasif, yaitu masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan aktif, meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax Avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax Evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
II.1.5 Timbul dan Hapusnya Utang Pajak Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak menurut H. Bohari (2010:111) dalam bukunya Pengantar Hukum pajak yaitu: 1. Ajaran formil Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment systems. 2. Ajaran Materiil Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment systems.
Hapus dan berakhirnya utang pajak menurut Muhammad Djafar Saidi (2011:208) dan Widyaningsih (2011:246) dapat disebabkan beberapa hal: 1. Pembayaran 2. Kompensasi 3. Daluarsa 4. Pembebasan dan penghapusan
II.1.6
Tarif Pajak Ada 4 macam tarif pajak yang dijelaskan dalam buku Wirawan Ilyas dan Richard Burton (2010:58) yaitu: 1.
Tarif sebanding / proporsional Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya yang dikenai nilai pajak.
Contoh : untuk penyerahan BKP dikenakan PPN 10% 2.
Tarif tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : besarnya tarif Bea Materai untuk Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
3. Tarif progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh : pasal 17 UU Pajak Penghasilan 4. Tarif degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
II.2
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten, dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayarkan utang pajaknya, sehingga penerimaan negara dari sektor pajak dapat meningkat dan dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh seksi penagihan di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Penagihan pajak dilakukan oleh fiskus atau jurusita kepada penanggung pajak.
II.2.1 Pengertian dan Latar Belakang Tindak Penagihan Pajak Menurut UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 9 penagihan pajak adalah: Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, serta menjual barang yang telah disita.
Jadi penagihan pajak adalah suatu proses yang diawali dengan timbulnya utang pajak kemudian dilanjutkan dengan tindakan-tindakan agar utang pajak beserta biaya penagihan pajak dilunasi oleh penanggung pajak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar belakang terjadinya tindak penagihan adalah timbulnya utang pajak. Pelaksanaan penagihan pajak dibagi menjadi 2 (dua) menurut Husna (2009) sesuai dengan SE-2/PJ.75/2004 tentang kebijakan Penagihan Pajak tahun 2004 yaitu:
a.
Penagihan secara persuasif (soft collection) Penagihan dengan cara persuasif adalah tindakan yang dilakukan oleh fiskus (jurusita pajak) dengan cara menghubungi wajib pajak atau penanggung pajak melalui telepon, mengundang wajib pajak atau penanggung pajak untuk memperoleh kejelasan penyelesaian utang pajaknya, mengirim surat pemberitahuan dan himbauan pelunasan utang dan meminta kepada wajib pajak atau penanggung pajak agar secara sukarela menyerahkan harta kekayaannya untuk pelunasan utang pajaknya.
b.
Penagihan tindakan keras (hard collection) Penagihan tindakan keras dilakukan terhadap wajib pajak atau penanggung pajak yang nonkooperatif. Penagihan dengan cara ini merupakan kelanjutan dari penagihan pajak dengan cara persuasif, dimana dalam penagihan ini fiskus harus bertindak lebih tegas dan keras dalam arti mulai menerbitkan surat perintah penagihan pajak seketika dan sekaligus, penyampaian
surat
paksa,
melakukan
penyitaan,
mengumumkan
pelelangan di media masa, melaksanakan pelelangan, melakukan pencegahan keluar negeri sampai pada pelaksanaan peyanderaan.
II.2.2 Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak Dalam UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 8 pengertian utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Sedangkan biaya penagihan pajak, adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
II.2.3 Pejabat dan Jurusita Pajak Pengertian Pejabat dikutip dalam buku Mardiasmo (2011:119) sesuai dengan UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 5 adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Menteri Keuangan berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat, sedangkan Kepala daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah. Pengertian Jurusita Pajak dikutip dalam buku Irwansyah Lubis (2011:297) sesuai dengan UU Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 6 adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan. Tugas Jurusita Pajak adalah: 1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. 2. Memberitahukan Surat Paksa. 3. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 4. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan kepada Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertahanan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain. Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat
yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita. Objek sita, adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
II.2.4 Penagihan Seketika dan Sekaligus Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. Kondisi yang mengharuskan Surat tersebut diterbitkan berdasarkan UU No. 19 tahun 2000 pasal 6 ayat 1 yaitu: 1. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; 2. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; 3. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya,
atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; 4. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau 5. Terjadinya penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; 2. Besarnya utang pajak; 3. Perintah untuk membayar; dan 4. Saat pelunasan pajak.
II.2.5 Surat Teguran Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya, yang diterbitkan 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran utang pajak.
Surat Teguran tidak diterbitkan dalam hal hal sebagai berikut: 1. Dalam hal penagihan seketika dan sekaligus. 2. Dalam hal permohonan Penanggung Pajak atas angsuran atau penundaan dikabulkan.
II.2.6 Surat Paksa Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penerbitan Surat Paksa dilakukan setelah lewat dari 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran. Isi Surat Paksa tersebut adalah memerintahkan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk membayar sejumlah tunggakan pajak tersebut ke kantor pos dan giro atau ke bank yang ditunjuk, ditambah biaya penagihan dalam waktu 2x24 jam sesudah pemberitahuan surat paksa tersebut. Surat Paksa sekurang-kurangnya meliputi: 1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak 2. Dasar penagihan 3. Besarnya utang pajak dan 4. Perintah untuk membayar
Menurut UU No 19 tahun 2000 pasal 8 yat 1, Surat Paksa diterbitkan apabila: 1. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis 2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, atau 3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
1. Penanggung Pajak. 2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja ditempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai. 3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta peninggalannya apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi. 4. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada: 1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal. 2. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam (1).
Dalam hal Wajib pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator. Catatan: -
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat Paksa.
-
Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan.
II.2.7 Penyitaan Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak dalam waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan maka pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Penyitaan dilakukan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya. Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS) yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi. Barang yang dapat disita dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu barang bergerak dan tidak bergerak. Barang bergerak termasuk mobil, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Kemudian barang yang tidak bergerak termasuk tanah dan bangunan. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam
sidang berikutnya barulah menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan Negeri kemudian menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului negara untuk tagihan pajak. Penyitaan juga dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali. Maksudnya disini adalah apabila nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak atau setelah hasil lelang ternyata tidak cukup juga, maka dapat dilakukan penyitaan tambahan.
II.2.8 Lelang Definisi lelang dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 pasal 1 nomor 17 adalah penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Pada Undang-Undang yang sama pasal 26 dijelaskan pula mengenai penjualan secara lelang yang dilakukan melalui Kantor Lelang dan dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 hari terhitung sejak Pengumuman
Lelang.
Pengumuman
Lelang
sebagaimana
dimaksud
dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 hari terhitung sejak penyitaan. Lelang dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh wajib pajak belum memperoleh keputusan keberatan, dan lelang juga dapat dilaksanakan walaupun tidak dihadiri penanggung pajak. Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta
kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang tersebut. Namun demikian ada beberapa barang yang disita yang dikecualikan dari penjualan secara lelang. Barang tersebut antara lain uang tunai, deposito, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain (Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 yang ditetapkan tanggal 20 Desember 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa).
Barang-barang tersebut diatas digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
1. Uang tunai disetor ke kas negara atau ke kas daerah. 2. Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dipindahbukukan ke rekening kas negara atau kas daerah atas permintaan Pejabat kepada bank yang bersangkutan. 3. Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, Yang diperdagangkan di bursa efek, dijual oleh Pejabat melalui bursa efek sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan yang tidak diperdagangkan di bursa efek langsung dijual oleh Pejabat kepada pembeli. 4. Piutang yang hak menagihnya beralih kepada Pejabat berdasarkan berita acara persetujuan pengalihan hak, dijual oleh Pejabat kepada pembeli.
5. Penyertaan modal pada perusahaan lain yang penguasaannya beralih kepada Pejabat berdasarkan akte persetujuan pengalihan hak dijual oleh Pejabat kepada pembeli. 6. Hasil penjualan barangsitaan sebagaimana dimaksud pada nomor 3, 4, dan 5 disetor ke kas negara atau kas daerah.
II.3
Pemblokiran dan Penyitaan Pada Bank Dasar hukum yang terkait dan mengatur mengenai pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER - 109/PJ./2007 yaitu Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-627/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
II.3.1 Pemblokiran Pada Bank Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak berwenang melaksanakan pemblokiran dan penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank. Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai. Pemblokiran diajukan oleh Pejabat kepada pimpinan bank
tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran. Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
II.3.2 Harta Kekayaan Yang Diblokir Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi rekening, simpanan, dan bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan. 1. Rekening adalah dana yang tersimpan pada bank dalam bentuk rekening koran. 2. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 3. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
4. Deposito Berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank. 5. Sertifikat Deposito Berjangka adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. 6. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Penyitaan atas kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank berupa saldo rekening koran, simpanan, giro, deposito berjangka, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu bertujuan untuk memindahbukukan saldo rekening tersebut ke kas negara untuk keperluan pembayaran pajak. Melalui mekanisme pemblokiran tersebut, hasil pencairan tunggakan pajak tergantung dari besar atu kecilnya saldo rekening yang diblokir. Dengan adanya pemblokiran tersebut Penanggung Pajak tidak dapat melakukan transaksi bisnis kepada pihak ketiga.
II.3.3 Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Prosedur sebelum pemblokiran Pemblokiran dilakukan setelah penagihan dengan surat paksa dilakukan. Setelah 2x24 jam surat paksa diterbitkan apabila masih tidak ada tanggapan barulah dilakukan tindakan berikutnya yaitu dilakukan pemblokiran dan penyitaan.
Sebelum pelaksanaan pemblokiran mula-mula Jurusita melaporkan ke Kepala Penagihan Pajak lalu Kepala Penagihan Pajak menyampaikan ke Kepala Pelayanan Pajak sehubungan dengan surat permohonan pemblokiran yang akan dikirimkan ke bank. Surat tersebut dikirimkan ke seluruh bank yang ada di Indonesia. Dilakukan pengiriman ke semua bank jika pejabat KPP tidak mengetahui nomor rekening si penanggung pajak. Atau jika ada indikasi si penanggung pajak memiliki lebih dari 1 (satu) nomor rekening.
Surat tersebut diajukan kepada Pimpinan Bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan Salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Pemblokiran dapat dilakukan tanpa meminta persetujuan dari Bank Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar saldo dalam rekening tersebut tidak dipindahkan oleh penanggung pajak. Setelah dilakukan pemblokiran, barulah fiskus meminta surat kuasa dari penanggung pajak untuk mengetahui isi rekening tersebut. Jika penanggung pajak tidak mau memberikan surat kuasa kepada fiskus, maka fiskus dapat meminta persetujuan kepada Bank Indonesia.
Pemblokiran rekening bank Setelah diterimanya surat tersebut Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak. Kemudian Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang nantinya akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran.
Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Penyitaan rekening bank
Penyitaan dilakukan oleh jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang penanggung pajak, baik yang berada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan penanggung pajak atau di tempat lain sekalipun penguasaannya berada di tangan pihak lain.
Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan sebagai berikut: 1. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak. 2. Kalau Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank untuk memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak, Pejabat meminta Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Pejabat.
3. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan. 4. Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk. 5. Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
II.3.4 Pencabutan Pemblokiran
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Kalau jumlah yang diblokir lebih besar dari yang disita maka permintaan atas sisa tersebut dapat diajukan untuk meminta pencabutan pemblokiran oleh Pejabat kepada bank. Namun apabila tunggakan belum dilunasi maka pemblokiran sampai kapanpun belum bisa dicabut. Seperti yang terurai pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 135 tahun 2000 pasal 5 ayat 3 huruf f yaitu “Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak”.
II.3.5 Pemindahbukuan ke Kas Negara Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Pejabat segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta
kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara atau kas daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita. Namun sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari tersebut Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan barang sitaan untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.